Dimensi Peristiwa Dombreng Dalam Ideologi Makna Serat Kalatidha Akbar Priyono, FX. Rahyono Sastra Daerah untuk Sastra Jawa Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
[email protected]
Abstrak Jawa adalah suku mayoritas di negara Indonesia, beragam kreasi dan kearifan terlahir di komunitas ini. Ada satu hal yang menjadi acuan dalam kehidupan bermasyarakat yakni moralitas dalam kepemimpinan. Di dalam Serat Kalatidha disinggung moralitas kepemimpinan yang kian merosot dan memicu huru-hara. Dalam tulisan ini akan dibahas peristiwa Dombreng, sebuah peristiwa berupa hukuman yang dilahirkan oleh rakyat di pinggiran pantai utara Jawa (eks Karisidenan Pekalongan: Tegal, Brebes, dan Pemalang). Dombreng adalah hukuman bagi pemimpin yang lalim dan korup serta meninggalkan nilai-nilai kemanusiaan. Peristiwa Dombreng seolah merepresentasikan makna yang tersirat di dalam Serat Kalatidha. Melalui pendekatan Linguistik akan dilakukan analisis terhadap dua kasus yang berbeda zaman ini. . Kata kunci: Kalatidha, Dombreng, Ideologi Makna
Dimension of the Dombreng Event in the Ideological meaning of the Serat Kalatidha Abstract Javanese is a majority tribe in Indonesia. Creation and wisdom were born in this comunity. There is one thing to be a reference in their community life, which is morality of leadership. In Serat Kalatidha which was written in leadership morality was decreased and chaos. In this writing will discuss about an event of Dombreng punishment, it was born by “Pantura” „North Central Java‟ Peoples (Eks Karisidenan Pekalongan: Pemalang, Tegal, Brebes). Dombreng is the punishment for a bad leader, corruptly, and who leave humans value. The Dombreng event is representation a means is written in Serat Kalatidha. Linguistic approximation method will be used to analize on two these different cases. Keyword: Kalatidha, Dombreng, Ideological Meaning
Pendahuluan
Dimensi peristiwa..., Akbar Priyono, FIB, 2014
Indonesia negara luas dan kaya akan suku bangsa serta budaya, memiliki banyak keanekaragaman, kearifan dan keluhuran yang dimiliki oleh masing-masing suku bangsa, termasuk suku Jawa. Telah diketahui bahwa wujud kebudayaan manusia secara ringkas dapat dibedakan menjadi tiga komponen yakni rasa, karsa, dan karya. Sedangkan unsur-unsur kebudayaan menurut C. Kluckhohn dalam karyanya Universal Categories of Culture (1953) menyebutkan ada tujuh unsur kebudayaan yang ada pada setiap bangsa yaitu: Peralatan dan perlengkapan
hidup
manusia,
mata
pencarian
hidup
sistem-sistem
ekonomi,
sistem
kemasyarakatan, bahasa, kesenian, sistem pengetahuan, religi (Widyosiswoyo, 2006, h. 33). Kebudayaan Jawa yang penuh dengan cita rasa kehalusan dan selalu terhubung dengan tindakan kontrol moral serta etika, selama ini menjadi daya tarik semua orang. Namun terdapat pula peristiwa-peritiwa penting dan menarik tentang hal yang mungkin saja kontradiktif dengan pandangan umum tentang komunitas Bangsa Jawa tersebut. Seperti halnya dengan apa yang terjadi dalam peristiwa Revolusi Tiga Daerah di eks Karisidenan Pekalongan (Pemalang, Tegal, Brebes) tahun 1945. Pada peristiwa ini terjadi gerakan radikal, peristiwa Dombreng1, sikap benci terhadap keningratan priyayi bermunculan seperti penghilangan nama gelar ningrat Raden Mas dan gelar priyayi lainnya yang tersemat di nama-nama pejabat setempat, pembunuhan dan penggulingan terhadap pemimpin ningrat di beberapa wilayah atas rasa jerah masyarakat yang diperlakukan tidak manusiawi oleh pemimpin mereka pada masa sebelumnya. Masa-masa tersebut seperti yang diungkapkan Lucas (2004) sebagai masa yang seolah menjadi representasi dari zaman edan pada “Serat Kalatidha” karya Ranggawarsito. Menurut kepustakaan Jawa mereka menganggap zaman itu sebagai zaman edan. Ramalan-ramalan ini telah lama tersebar sebelum terjadi pendudukan Jepang di Tiga daerah (Lucas,2004, h. 198). Bait ketujuh dalam Serat Kalatidha di bawah inilah yang menceritakan jaman edan //Amenangi jaman Edan/ Ewuh aya ing pambudi/ Melu edan ora tahan/ Yen tan melu anglakoni/ Boya keduman melik/ Kaliren wekasanipun/ Ndilalah kersa Allah/ Begja-begjane wong kang lali/ Luweh begja kang eling lawan waspada//2
1
“Dombreng” adalah hukuman yang diberikan oleh rakyat terhadap pemimpin atas tindakan penghiantan yang dilakukan, dengan mengarak pemimpin di depan umum di Eks Karisidenan Pekalongan tahu 1945. Sejarah ini ditulis dalam buku One Soul One Struggle oleh Anto E. Lucas (2004) 2 Serat Kalatidha bait ketujuh karya Pujangga Terakhir Kasunanan Surakarta bernama Ronggowarsito (1802-1873)
Dimensi peristiwa..., Akbar Priyono, FIB, 2014
„Mengalami zaman edan, semua tindakan serba salah, mengikuti kegilaan hati tak tahan, Namun bila tak mengikuti, Tak akan memperoleh bagian, Akhirnya akan kelaparan pula, Namun betapapun mujurnya mereka yang lalai, Masih beruntung mereka yang ingat waspada‟
Bait tersebut menyiratkan tentang sebuah zaman yang berisi kekacauan dan ketidakpastian, tidak lazim sebagaimana layaknya manusia yang taat asas dan norma. Zaman tersebut lebih dipandang sebagai “zaman edan” yang dipandang penuh dengan huru-hara. Sehingga tidak mengherankan jika masyarakat pada waktu itu menganggap dirinya berada di zaman edan, dengan beragam fenomena penyimpangan pemimpin. Tentu saja hal ini semakin membenarkan pandangan Roland Barthes dalam karyanya Mythologies (1957) tentang Mitos yang berawal dari konotasi, ketika konotasi menjadi mapan maka ia akan menjadi mitos, dan ketika mitos menjadi mapan maka ia akan menjadi ideologi (Hoed, 2007, h. 17). Serat Kalatidha merupakan teks yang berkembang menjadi ideologi gerakan Penyimpangan-penyimpangan pemimpin seperti yang diuraikan Lucas (2004) diantaranya adalah memeras petani dengan meminta setoran hasil panen secara paksa serta beragam kelicikan lainnya seperti 1) Menaksir setoran kurang dari berat sebenarnya; 2) Sengaja menjatuhkan gabah saat dilakukan penimbangan; 3) Menjual padi ke pasar gelap untuk sendiri; 4) Mengurangi timbangan, serta beragam kesewenangan lainnya dan justru berbuat baik terhadap penjajah. Perlakuan ataupun tindakan lalim penguasa tersebutlah yang pada akhirnya memicu peristiwa “Dombreng” sebuah gerakan radikal masyarakat Jawa di wilayah pantai utara Jawa Tengah, lebih tepatnya di eks Karisidenan Pekalongan (Pemalang, Tegal Brebes) pada tahun 1945. Beberapa daftar rekam peristiwa “Pendombrengan” , penculikan, dan pembunuhan terhadap Pangreh Praja (pejabat birokrat) yang korupsi berusumber pada buku One Soul One Struggle (2004) adalah beberapa peristiwa berikut ini: 1. Minggu, 7 Oktober 1945 Pukul 11 malam, Rumah kediaman lurah Desa Cerih, Kecamatan Jatinegara, Tegal Selatan dikepung masa rakyat untuk diadili di esok harinya. Pada hari Seninnya, 8 Oktober 1945 Lurah Desa Cerih didombreng sejauh 15 Kilometer ke Jatinegara, hal ini membuat Camat setempat kabur. Aksi oleh masyarakat yang dikenal dengan Dombreng ini merupakan tanda dimulainya revolusi
Dimensi peristiwa..., Akbar Priyono, FIB, 2014
sosial yang penuh kekacauan, dan aksi serupa juga merembet ke daerah lainnya di eks Karisidenan Pekalongan 2. Rabu, 10 Oktober 1945 Dibunuhnya Camat Adiwerna setelah berpidato di depan rapat Desa Lemah Duwur, hal ini membuat Wedana setempat kabur. 3. Jumat, 12 Oktober 1945 Camat Kecamatan Moga dikepung warga yang hendak “Mendombreng” tetapi berhasil kabur dengan kondisi luka-luka. 4. Jumat, 12 Oktober 1945 Camat Lebaksiu daerah Tegal digelandang dari dokar dan “Didombreng” untuk selanjutnya dibunuh ketika dalam perjalanan bersama istrinya untuk menemui Wedana Slawi. 5. Jumat, 19 Oktober 1945 Bupati Pemalang digiring ke penjara bersama beberapa priyayi lainnya, kekisruhan mulai melanda Pemalang 6. Sabtu, 10 November 1945 Wedana dan Bupati Brebes digiring paksa untuk dipenjarakan di penjara Tegal bersama pangreh praja lainnya 7. Minggu, 11 November 1945 Wedana Pangkah diculik Berawal dari permasalahan terebut penulisan ini dilakukan dalam rangka membaca pesan yang dikomunikasikan pada Serat Kalatidha secara lebih jauh dan mendalam dalam usaha memotret ataupun membaca peristiwa Dombreng secara rinci, dimana Anton E. Lucas (2004) menuturkan konteks “zaman” edan Dombreng dengan “zaman edan” dalam tembang Jawa Serat Kalatidha. Tinjauan Teoritis 1. Teori Segitiga Makna Seperti juga yang diungkapkan oleh Odgen dan Richard (1923) yang dikenal dengan model segitiga makna: Gambar 1: Teori Segitiga Makna
Dimensi peristiwa..., Akbar Priyono, FIB, 2014
Pikiran atau referensi
Lambang ------------------------------ Referen/Acuan Unsur esensial dalam diagram ini adalah bahwa ia membedakan tiga komponen makna. Dalam hal ini tidak ada hubungan langsung antara Lambang (sudut kiri-bawah diagram) dan benda atau hal yang diacunya (sudut kanan-bawah), melainkan harus melalui titik puncak: kata itu “melambangkan” “pikiran atau referensi”, dan referensi ini “mengacu” unsur atau peristiwa yang dibicarakan (Ullmann, 2007, h.67). Teori Odgen dan Richard memberikan wacana tentang setiap benda yang pada dasarnya memiliki “nama” karena memiliki keterkaitan erat dengan fungsinya dalam kehidupan manusia yang memiliki bahasa untuk berkomunikasi. Seekor hewan misalkan saja burung, burung di setiap zaman dapat dijumpai, begitu pula di setiap tempat yang berbeda bahasa memiliki sebutan tersendiri terhadap hewan tersebut, untuk memberikan sebuah tanda bahwa makhluk tersebut memiliki nama dan peran yang sudah diketahui bersama sesuai dengan wujud dari referen tersebut. Sedikit penjelasan tentang teori ini dengan studi penulisan yang dilakukan yakni peristiwa Dombreng, teori Odgen dan Richard tersebut dapat digunakan untuk membaca peristiwa yang terjadi di sekeliling kita berdasar lambang, referen, dan pikiran. Seperti pada bentuk kasus Dombreng yang menjadi pembahasan dalam tulisan, bahwa Dombreng adalah sebuah bentuk “lambang” peristiwa, sedangkan bentuk “referennya” adalah “zaman edan” dan bentuk “pikiran” adalah “kejadian yang tidak karuan/ huru-hara” sesuai dengan identitas peristiwa tersebut yakni “zaman edan. Sehingga jika dianalogikan “zaman edan” sebagai seekor “ayam” yang dapat dijumpai di setiap zaman dan memiliki penamaan/ lambang berbeda secara bahasa sesuai wilayah. Dapat dilihat di bawah ini studi kasus peristiwa Dombreng dengan pendekatan teori segitiga makna tersebut. Gambar. 2 Studi Kasus Peristiwa Serat Kalatidha dan zaman edan
Dimensi peristiwa..., Akbar Priyono, FIB, 2014
Pikiran atau referensi
Serat Kalatidha
----------------------------- Jaman Edan Gambar. 3
Studi Kasus Peristiwa Dombreng dan zaman edan
Pikiran atau referensi
Dombreng
----------------------------- Jaman Edan
Dombreng dan Serat Kaltidha sebagai lambang atau identitas, sedangkan Jaman Edan sebagai Referen atau Objek. Lambang (Dombreng, Serat Kaltidha) dan Jaman Edan tidak berhubungan langsung melainkan harus melewati titik puncak “Kehidupan yang dipenuhi kekacauan/ Huru-hara” sebagai alam pikir (referensi). 2. Komponen Makna Dalam bukunya yang berjudul Linguistic Widdowson (1966) mengemukakan analisis komponen makna atau yang sering disebut “Componenetal Analysisis”.3 Hal yang terpenting dari analysis komponensial ini adalah teknik untuk mendeskripsikan hubungan makna suatu referensial, dengan memisah-misahkan tiap-tiap konsep menjadi komponen-komponen makna yang lebih minimal, seperti berdasarkan keadaan, proses, hubugan sebab-akibat, hubungan relasi kelas atau jenis kelompok, dimensi, lokasi, dan arah. Teori ini tentu dibutuhkan dalam rangka menggali makna yang tertulis di setiap baris Serat Kalatidha pada Bait ketujuh. Selanjutnya akan dilakukan pemilah kata yang sekiranya menjadi data utama, seperti komponen makna pada “Amenangi zaman edan” „Mengalami zaman edan‟ maka penulis hanya akan mengambil kata 3
H.G Widdowson, Linguistic, London: Oxford University Press, 1966, h. 57
Dimensi peristiwa..., Akbar Priyono, FIB, 2014
“zaman” dan “edan” „gila‟ untuk kemudian dilakukan analisis komponen. Misalkan, komponen dari kata “zaman” adalah waktu, dan lama, sedangkan komponen kata “edan” „gila‟ adalah sakit, dan tidak normal. Tentunya untuk lebih menguatkan analisis komponen yang ada, akan dicarikan pula kata paduannya, misalkan kata “edan” „gila‟ di dalam kalimat “orang-orang gila terjaring razia di pasar” dengan kalimat “para pejabat yang menjadi wakil rakyat sangat gila harta”, katakata pembanding ini digunakan sebagai usaha untuk menemukan makna yang lebih tepat. 3. Konotasi dan Denotasi Ada dua jenis makna yang selama ini kita pahami, yaitu konotasi dan denotasi. Lyons (1989:176) menjelaskan: „‟… the connotation of a world is thought of as a emotive or affective component additional to its central meaning.” Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa makna konotasi merupakan makna sebuah kata atau ekspresi yang dibentuk oleh makna sentral ditambah dengan makna sampingan (peripheral). Makna tambahan ini berupa komponen psikologis yang bersifat emotif atau afektif. Sedangkan Denotasi, Lyons (1989:207) menjelaskan bahwa “By denotation of lexeme will be meant the relationship that holds between that lexeme and persons, things, place, properties, processes and activities external to the language system.” Dari penjelasan tersebut denotasi menuntut keberadaan objek (orang, benda, tempat, sifat, proses atau aktivitas di luar sitem bahasa) yang ditunjukkan oleh leksem (Rahyono, 2009, h. 76-77). Contoh kalimatnya: “Cinta telah membuatnya gila” (merupakan bentuk konotasi) “Cintanya tertolak dan membuatnya sakit jiwa” (merupakan bentuk denotasi)
Makna Konotasi dan denotasi akan ditemukan di dalam teks Serat Kalatidha bait ketujuh seperti pada kata zaman edan, ewuh aya ing pambudi „segala tindakan serba salah‟, kaliren wekasanipun „akhirnya kelaparan‟ dan bebarapa baris lain yang menunjukkan teks ini sebagai teks yang syarat akan kata tersirat. 4. Metafora Struktur dasar metafora itu sangat sederhana di sana selalu ada dua hal: sesuatu yang sedang kita bicarakan (yang dibandingkan) dan sesuatu yang kita pakai sebagai bandingan. Lakoff dan Johnson (1980:5) menyatakan “The Essence of metaphor is understanding and
Dimensi peristiwa..., Akbar Priyono, FIB, 2014
exprencing one kind of thing in term of another” (Rahyono, 2009, h. 189). Bahwa lazimnya penamaan terhadap objek secara metafora merupakan pengalaman dari pemberi nama tersebut berdasarkan objek lain yang pernah dilihatnya, contoh “untuk menjadi orang sukses ia harus melewati masalah setinggi gunung seluas samudera”. Mengibaratkan masalah setinggi gunung dan seluas samudera tentunya berdasar pada pengalaman alam pikir yang merekam bahwa gunung itu tinggi dan samudera itu luas, sehingga memberikan kiasan sedemikian rupa. 5. Teori Pragmatik Tindak Tutur Tulisan Austin tentang How to do things with words menunjukkan pandangan bahwa kebanyakan kalimat tidak memiliki kondisi kebenaran (have no truth conditions). Karya Austin (1984) tentang teori tindak tutur (theory of speech act) merupakan sebuah upaya untuk mengatasi keterbatasan teori „truth conditional semantics‟. Austin berpendapat bahwa dengan bahasa tepatnya dengan kata-kata penutur tidak hanya dapat mendeskripsikan atau mengatakan sesuatu (to make statements), tetapi melakukan sesuatu (perform action) (Rahyono, 2009, h. 210). Teori ini digunakan untuk menggali makna yang ingin disampaikan oleh penutur dalam kata, berada di wilayah pragmatik yang tentunya tidak terlepas dari konteks di sekitar teks tersebut. Sejatinya Serat Kalatidha adalah tulisan biasa tetapi ketika ditempatkan pada suatu wadah dengan posisinya sebagai alat potret suatu peristiwa tentu memiliki makna yang lebih dalam rangka menggali makna-makan lainnya khususnya objek yang dipotret tersebut. Ada pula kategori tindak tutur seperti yang diungkapkan Searle (1975) diantaranya adalah kategori asertif, direktif, komisif, ekpresif, deklarasi. 1) Kategori Asertif adalah tindak tutur yang membuat penutur terlibat di dalam pernyataan yang terungkapkan; 2) Kategori Direktif adalah tindak tutur yang bermaksud mempengaruhi kawan tutur; 3) Kategori Komisif adalah tindak tutur yang menuntut komitmen penutur pada tindakan yang akan dilakukan; 4) kategori Ekspresif adalah tindak tutur yang berfungsi mengutarakan sikap perasaan penutur terhadap keadaan tersirat di dalam ilokusi. 5) Kategori deklarasi adalah tindak tutur yang digunakan dalam menyatakan perubahan status tuturan terhadap kawan tutur (Rahyono, 2009, h. 216). Untuk memahami makna yang dikomunikasikan di dalam Serat Kalatidha analisis tindak tutur Searle (1975) lebih diutamakan, seperti kategori Asertif yang mengarahkan pemahaman terhadap pesan implisit dalam makna dari segi pernyataan, pemberitahuan, ataupun anjuran. Metode Penelitian
Dimensi peristiwa..., Akbar Priyono, FIB, 2014
Metode penelitian merupakan serangkaian aspek dan bagaimana cara mendapatkan bahan untuk kepenulisan ilmiah yang dilakukan. Metode kepenulisan yang digunakan adalah analisis deskriptif, dengan langkah kerja penelitian melalui data literatur. Selanjutnya akan penulis paparkan tahapan-tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini: -
Pengambilan data Serat Kalatidha karya R. Ng. Ranggawarsita untuk dilakukan analisis makna yang tertulis di dalam teks secara semantik dan pragmatik, data yang digunakan adalah Serat Kalatidha bait ketujuh.
-
Akan dihasilkan makna semantik dan pragmatik dari analisis yang dilakukan
-
Makna pragmatik yang dihasilkan tetap mempertimbangkan aspek makna semantik yang berlaku
-
Hasil analisis semantik dan pragmatik akan diolah dan diklasifikasikan lebih lanjut untuk menentukan makna utama yang akan dijadikan sebagai alat analisis selanjutnya terhadap data sejarah Dombreng
-
Pengambilan data peristiwa Dombreng dengan latar belakang peristiwanya, dengan mengacu pada data sejarah di dalam buku berjudul “One Soul One Struggle Peristiwa Tiga Daerah” Karya Anton E. Lucas, tahun 2004
-
Selanjutnya dilakukan pengklasifikasian (validasi) terhadap macam-macam peristiwa yang terjadi di dalam peritiwa Dombreng untuk ditentukan apa saja yang menjadi cerminan konteks ideologi di dalam teks Serat Kalatidha yang tersirat dari hasil analisis teks sebelumnya yang berupa makna utama.
Gambar 3: Peta konsep pengelolahan data
Serat Kalatidha (Data) (1)
Analisis Semantik (2)
Hasil Analisis Makna Semantik
Analisis Pragmatik (3)
Hasil Analisis Makna Pragmatik
Dimensi peristiwa..., Akbar Priyono, FIB, 2014
Makna Utama (Alat Potret)
Peritiwa Dombreng (Data) (4)
Hasil Potret Makna Terhadap Peristiwa
Keterangan: (1) Data Serat Kalatidha yang dijadikan bahan penelitian adalah Serat Kalatidha bait ketujuh (2) Teori Semantik yang digunakan di dalam analisis antara lain teori makna Odgen dan Richard (1923) Widdowson (1966) (3) Teori Pragmatik yang digunakan di dalam analisis antara lain teori Tindak Tutur Austin (1984) dan Searle (1975)
(4) Untuk melihat peristiwa Dombreng digunakan data sejarah Anton E. Lucas (2004) Hasil Penelitian Beberapa hasil potret peristiwa terangkum dari segi makna yang terkomunikasikan Serat Kalatidha untuk melihat peristiwa Dombreng. Ada beberapa tahapan yang sebelumnya harus dilakukan dalam menggali makna semantik dan pragmatik pada teks yakni mengubah struktur bait ketujuh Serat Kalatidha yang notabenenya adalah teks sastra berbentuk klausa menjadi sebuah komposisi proposisi yang lebih memiliki arti luas. Mc Cawley dalam The Role of Semantic Grammar menyatakan bahwa di dalam menganalisis bahasa tidak bisa dilakukan secara kalimat terpisah melainkan memperhatikan beberapa aspek berikut 1) Memperhatikan kalimatkalimat lain baik yang mendahului maupun mengikuti dalam suatu wacana; 2) Memperhatikan faktor-faktor ekstra linguistik atau konteks di luar bahasa seperti siapa yang berbicara, kepada siapa, dan tentang apa (Chaer, 2002, h. 20). Untuk itu dapat di lihat tranformasi teks pada tabel di bawah ini
Dimensi peristiwa..., Akbar Priyono, FIB, 2014
Tabel 1. Tranformasi bentuk teks Serat Kalatidha bait ketujuh
Teks Klausa
Teks Proposisi
1. Amenangi jaman edan
1. Amenangi jaman edan ewuh aya ing
2. Ewuh aya ing pambudi
pambudi
3. Melu edan nora tahan
2. Melu edan nora tahan
4. Yen tan melu anglakoni
3. Yen tan melu angklakoni boya keduman
5. Boya keduman melik
melik kaliren wekasanipun
6. Kaliren wekasanipun
4. Dilalah kersa Allah sebegja-begjane
7. Dilalah kersa Allah
wong kang lali luwih begja wong kang
8. Begja-begjane kang lali luwih begja
iling lawan waspada
kang iling lawan waspada
Transformasi bentuk teks tersebut berlandaskan pada kebutuhan pemaknaan semantik dan pragmatik dengan segi pemahaman proposisi oleh Jan Renkema (2004)4 dimana proposisi yang tercipta tidak lain adalah bentuk makna yang sederhana tanpa mengurangi korelasi antar kalimat yang ada. Dari teks Serat Kalatidha tersebutlah dihasilkan beberapa potret peristiwa sebagai berikut: Tabel 2. Potret Peristiwa Dombreng melalui teks Kalatidha
Teks Serat Kalatida
Peristiwa Dombreng
Amenangi jaman edan ewuh aya ing pambudi
Penyimpangan: Pemerasan,
Kelalaian,
Ketidakadilan, Pemberontakan,
Pembunuhan
4
Jan Renkema dalam“Introduction to Discourse Studies” (2004) menyebutkan bahwa proposisi: (a).The propoposition can be described as the meaning of a simple assertive sentence , (b) In discourse studies proposition is used in a more general sense, to denote the minimal unit of meaning, (c) A propotional analyisis can best be describe as a list of minimal meaning units showing which ones are directly related.
Dimensi peristiwa..., Akbar Priyono, FIB, 2014
Melu edan nora tahan
Kebimbangan: Bergabung dengan sistem, Menghindari sistem
Yen tan melu anglakoni boya keduman melik Konsekuensi: kaliren wekasanipun
Konsekuensi
atas
kebenaran, Konsekuensi atas kesalahan
Dilalah kersa Allah begja-begjane kang lali Kepasrahan: Ingat dan waspada luwih begja kang iling lawan waspada
Hasil potret tersebut tidak lain berdasarkan pada seputar peristiwa Dombreng yang kurang lebihnya menjadi representasi dengan apa yang di sampaikan pada makna Serat Kalatidha. 1. Amenangi jaman edan ewuh aya ing pambudi <potret> Penyimpangan -
Di sebuah Desa bernama Ambowetan, petani hanya diizinkan menyimpan 5 persen dari hasil rata-rata panenan buat makan dan benih. Itu berarti 95 persen harus diserahkan ke kelurahan. Di sinilah empat cara baru tindakan korupsi oleh kepala desa bermula, berlaku dalam penyerahan padi oleh masing-masing petani kepada petugas penerima. Cara-cara itu: 1) Lurah menaksir setoran kurang dari berat sebenarnya dengan dalih padi terlalu basah, sehingga mengurangi rata-rata 3 persen perkuintal dari berat sebenarnya; 2) Banyak gabah jatuh ke tanah sewaktu ditimbang di halaman kelurahan, sehingga sekitar 1 kilogram dari setiap kuintal gabah jatuh ke tangan lurah; 3) Dengan menilai sangat rendah panenan lurah sendiri dari bengkoknya, dan menutup jatah setorannya dengan padi penduduk, sedangkan padinya sendiri dilempar ke pasar gelap; 4) Dengan menggunakan dacin (timbangan) yang hanya berkapasitas maksimum 60 kg, sehingga harus menimbang dua kali untuk setiap satu kuintal. Kecurangan gampang terjadi karena lurah bisa “mencuri” 1-2 kilogram padi setiap kali timbang (Lucas, 2004, h. 57). Potret seputar: Ketidakadilan, Pemerasan, Korupsi
-
Setelah terjadinya Proklamasi, kelaparan dan kekurangan yang dialami rakyat selama masa penjajahan Jepang tidaklah menjadi lebih ringan. Berton-ton padi yang disetorkan sehabis panen (Mei-Juni 1945) di tiga daerah, menumpuk digudang-gudang tak
Dimensi peristiwa..., Akbar Priyono, FIB, 2014
digunakan.Tuntutan rakyat desa agar padi itu dibagikan, sama sekali tidak ditanggapi oleh Pamong Desa maupun Camat (Lucas, 2004, h. 57). Potret seputar: Kelalaian -
Lurah dengan nama Den Mas Harjowiyono dikepung oleh rakyatnya, dengan ancaman akan dibakar rumahnya jikalau tidak mau keluar dari rumahnya. Ia kemudian dilucuti dan diberi pakaian dari karung goni, sedangkan istrinya diberi kalung padi. Suami istri tersebut diarak dan dihina bagai binatang, disuruh makan dedak dan diiringi dengan bunyi alat musik gamelan sebagai lambang kedudukan dan kekayaannya. Peritiwa berlangsung pada tanggal 7 Oktober 1945. Potret seputar: Pemberontakan
-
Pembunuhan terhadap beberapa petinggi daerah seperti terhadap Camat Lebaksiu daerah Tegal Selatan (tidak disebutkan nama), pembunuhan terhadap Camat di Kawedanan Adiwerna pada tanggal 10 Oktober 1945 atas nama R.M Suparto Sastrosuworo oleh warganya yang memberontak (Lucas, 2004, h. 57). Pembunuhan pula dilakukan terhadap camat Comal bernama Raden bambang Basirun karena merampas hak petani di lingkungannya. Potret seputar: Pembunuhan
2. Melu edan nora tahan <potret> Keraguan -
Karena keadaan yang berat, lebih separuh dari jumlah petani terpaksa “mencuri” padinya sendiri,
biasanya
dengan
memaneni
secara
diam-diam di
malam
hari, lalu
menyembunyikan di dalam tanah atau di atas langit-langit rumah. Dengan berbuat begitu mereka menempuh risiko besar kalau sampai ketahuan polisi desa dan dilaporkan ke lurah, atau lebih mengerikan lagi kepada Kenpetai (Lucas, 2004, h.71). Seperti yang dilakukan oleh Camat Comal bernama Raden Bambang Basirun yang suka menampar muka petani, mengambil beras dengan paksa, mengancam dan memburu warganya jika belum setor padi. Perkara tersebut memberikan gambaran bahwa para pemimpin yang selayaknya melindungi justru ikut merampok rakyatnya bersama kolonial, hal ini menunjukkan bahwa pemimpin tersebut menjadi bagian “kegilaan”, dan bimbang dalam memilih. Potret Bergabung dengan sistem - Lucas (2004) menuturkan di beberapa tempat tindakan menghindari pengumpulan paksa itu berhasil, tergantung kepada kemurahan hati para penguasanya. Kadang-kadang sebanyak 30 persen dari setoran dapat ditahan. Dalam keadaan demikian para pejabat itu
Dimensi peristiwa..., Akbar Priyono, FIB, 2014
sama rawannya dengan para petani terhadap retribusi Jepang. Pejabat-pejabat yang jujur mendapat penganiayaan bahkan penahanan oleh pihak yang berwenang kala itu, banyak yang melindungi petani miskin justru ditangkap dan ditahan. Rupanya di tengah kegilaan yang ada masih terdapat pemimpin yang mampu mengayomi rakyatnya, yang tentunya memberikan citra bahwa pemimpin seperti ini masuk dalam kategori pemimpin yang menghindar dari “kegilaan” dan kuat menghadapi kebimbangan. Potret Menghindari Sistem 3. Yen tan melu anglakoni boya keduman melik kaliren wekasanipun <potret> Konsekuensi -
Para pejabat yang melakukan pembelaan terhadap petani kecil dianiaya oleh penguasa yang berwenang yakni penguasa pribumi yang bersekongkol dengan Jepang, selain dianiaya juga dipenjarakan (Lucas, 2004, h. 58). Potret Konsekuensi atas Kebenaran
-
Seorang Camat Comal bernama Raden Basirun sering melakukan tindakan kekerasan saat menagih jatah padi petani dibunuh dengan bambu runcing saat sedang menagih setoran dengan paksa terhadap warganya (Lucas, 2004, h. 58). Potret Konsekuensi atas Kesalahan
-
Seorang pejabat yang korup bernama Den Mas Harjowiyono lurah dari desa Cerih, Tegal dipaksa keluar dari rumahnya. Setelah dikeluarkan Lurah tersebut ditelanjangi dan diganti pakaiannya dengan karung goni, mereka mengarak layaknya binatang dengan alunan musik tradisional seperti gamelan dan perkusi kentongan dan kaleng, aksi ini kemudian dikenal dengan nama Dombreng. Potret Konsekuensi atas Kesalahan
4. Begja-begjane kang lali luwih begja kang iling lawan waspada <potret> Kepasrahan: Iling dan Waspada -
Dalam catatan selanjutnya (Lucas, 2004) menyebutkan bahwa Camat kota Taman yang bernama Gunodo Suryo adalah salah satu camat yang dapat bertahan dari pemberontakan seperti hukuman Dombreng. Tidak lain karena dia pasrah dengan Yang Kuasa untuk memihak pada kebenaran di saat Camat lainnya melakukan tindakan semena-mena. Pada masa gelap “edan” dia senantiasa membantu rakyatnya yang tertindas, dengan membagibagikan jatah kain untuk pakaian, membagi-bagikan beras, dan tidak korupsi yang tentu
Dimensi peristiwa..., Akbar Priyono, FIB, 2014
ancamannya begitu besar. Kehendak Tuhanlah yang menjadikannya tetap berkomitmen dan diselamatkan dari penyimpangan setelah memasrahkan sepenuhnya dengan apa yang dilakukan, yakni membela rakyat kecil. Pembahasan Dalam rangka memahami makna semantik dan pragmatik atau komunikatif dibutuhkan beberapa analisis mendasar terhadap teks yang dibahas, seperti yang diterangkan sebelumnya bahwa dalam menggali makna Serat Kalatidha bait ketujuh ini digunakan beberapa pendekatan untuk mengurai makna seperti memahami komponen makna, metafora, konotasi dan denotasi, serta pemahaman tindak tutur maupun bentuk teknis teks yang mengalami perubahan. 1. Amenangi jaman edan ewuh aya ing pambudi Jaman di dalam kamus bahasa Indonesia5 kata “zaman” adalah jangka waktu yang panjang atau pendek yang menandai sesuatu, sedangkan kata “edan” memiliki arti gila. - Jaman Beberapa contoh kalimat “Jaman” (1). Pada zaman globalisasi seperti sekarang ini banyak orang yang mempelajari budaya-budaya negara lain, luasnya arus informasi yang terjadi menjadikan manusia mudah untuk saling mempengaruhi.6 (2). Wis ora jamane mbojo kok ngenteni dijodhoke7 Komponen “zaman” : waktu, lama, pengaruh luas, perubahan - Edan Beberapa contoh kalimat “Edan”
5
KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) Offline versi 1.5 freeware (2010-2013) oleh Ebta Setiawan mengacu pada KBBI Daring III Pusat Bahasa. Pada referensi lain dengan judul Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (KLBI) (2005) karangan Hoetomo “zaman”: waktu yang panjang atau pendek yang menandai sesuatu, sedangkan “edan”: gila kasmaran 6 Contoh kalimat ini dalam rangka usaha mencari referen 7 Penulis meminta kepada seorang penutur asli Jawa untuk membuat kalimat dari kata “jaman” (29 Mei 2014)
Dimensi peristiwa..., Akbar Priyono, FIB, 2014
(3). Sabur (45), warga Desa Aur Cina, Kecamatan Selagen Raya, Kabupaten Mukumuko, Bengkulu, sempat dianggap gila karena memiliki ide membangun sekolah gratis untuk anak-anak petani di desa tersebut.8 (4). Luwung edan timbang urip rekasa9 Komponen “Gila”: Tidak sehat, tidak berakal, terbelakang Komponen yang ada menghadirkan pemaknaan bahwa “zaman” edan adalah masa yang di dalamnya terdapat orang-orang layaknya mereka yang tak memiliki akal sehat dan terbelakang. Dari ungkapan “Amenangi zaman edan ewuh aya ing pambudi” „Mengalami zaman edan segala tindakan serba salah” memiliki nilai asertif Searle (1975) yakni “menyatakan”, bahwa penutur merasakan zaman yang berubah, zaman yang tidak normal lagi ketika aturan-aturan yang mencirikan moralitas manusia tidak menjadi patokan, penutur merasakan kebimbangan yang lauar biasa karena tidak bisa mengimbangi jalan kehidupan yang ada, 2. Melu edan nora tahan Seperti pada analisis pertama berkenaan dengan kososkata “edan” yang memiliki arti gila maka kata “edan” pada kalimat “Melu edan nora tahan” di atas tentunya memiliki arti yang sama dengan pemaknaan sebelumnya. Sedangkan Tahan „tahan‟
Dalam
kamus
berbahasa
Indonesia10, memiliki arti (1. Tetap keadannya/ kedudukannya meskipun mengalami berbagai hal, tidak lekas rusak dan berubah; 2. Kuat atau menaggung derita terhadap sesuatu; 3.Dapat menyabarkan diri; 4.Tidak lekas merasa; 5. Cukup). Beberapa contoh kalimat “tahan”: (5). Memiliki pertahanan yang tangguh adalah sebuah kebutuhan mendasar bagi setiap bangsa.11 (6). Aku ora bakal tahan nek mbok kongkon pasa ngalong12 Komponen: Kokoh, kuat, konsisten, mandiri
8
http://regional.kompas.com/read/2014/04/21/1919354/Dirikan.Sekolah.Gratis.di.Bengkulu.Petani.Ini.Sempat.Diang gap.Gila (Diakses pada tanggal 28/04/2014 pukul 17:28 wib) 9
Penutur asli Jawa menulis kalimat dari kata “edan” (29 Mei 2014) Mengacu pada KBBI Offline versi 1.5 dan KLBI (2005). Di dalam KLBI (2005) “tahan”: tetap keadaanya, kuat dan sanggup menderita 11 http://nasional.kompas.com/read/2012/11/23/17382762/Era.Kebangkitan.Industri.Pertahanan (Diakses pada tanggal 28/04/2014 pukul 16.26 wib) 10
12
Penutur asli menulis kalimat dari kata “tahan” (29 Mei 2014)
Dimensi peristiwa..., Akbar Priyono, FIB, 2014
Dari komponen makna yang hadir dapat diartikan bahwa Melu edan nora tahan memiliki arti ketidak mampuan untuk konsisten dalam menghadapi masa-masa “zaman edan”. Merupakan kategori asertif, pesan yang dikomunikasikan adalah bahwa penutur merasakan keadaan labil dan bimbang saat menjadi bagian dari sistem kehidupan yang tidak dibenarkan oleh hati nurani 3. Yen tan melu anglakoni boya keduman melik kaliren wekasanipun
-
Keduman Kata “keduman” „bagian‟ menurut Kamus Bahasa Indonesia13 adalah “hasil membagi;
perolehan atau penerimaan; jatah; penggal; sepenggal dari sesuatu yang utuh; sesuatu yang menjadi pelengkap; pecahan dari kesatuan”. Dalam konteks makna yang lebih luas, misalkan saja di wilayah kekuasaan “bagian” lazimnya berkaitan erat dengan jabatan ataupun posisi penting dan juga anggaran proyek pemerintahan yang sering diselewengkan melalui konteks “bagi-bagi” tersebut. Kalimat “Boya keduman melik” bersinggungan dengan kalimat sebelumnya “yen tan melu anglakoni”. Keduman (Memperoleh Bagian)
Mendapatkan porsi atas suatu yang berbentuk utuh
Analisis lebih lanjut dapat dilihat beberapa kalimat berikut ini: (7). Dermawan tersebut membagi-bagikan uang untuk fakir miskin, ia sadar bahwa kekayaannya adalah karunia Tuhan sehingga harus memotong penghasilannya untuk diamalkan. (8). Keluwargane padha kuciwa jalaran ora keduman warisan14 Komponen makna “Bagi”: Hak, bagian, potongan
-
Kaliren “Kaliren” „Lapar‟, dalam Kamus Bahasa Indonesia15 “Lapar” adalah “Rasa ingin
makan”.
Dalam konteks ini “Lapar” dimungkinkan adalah metafor dan merupakan makna
13
KBBI offline versi 1.5 dapat dibandingkan dengna makna pada KLBI (2005) “Bagian”: hasil membagi, perolehan atau penerimaan, jatah, penggal, cabang, pecahan, satuan. 14 Penutur asli menulis kalimat dari kata “Kaliren” (24 Mei 2014) 15 Mengacu pada KBBI offline versi 1,5. Di dalam KLBI (2005) “Lapar”: berasa ingin makan, kelaparan, kekurangan makan
Dimensi peristiwa..., Akbar Priyono, FIB, 2014
konotatif, bukan lapar sebatas pada makna “rasa ingin makan” melainkan “tidak memperoleh sesuatu yang sifatnya materi, seperti jabatan dan pangkat”. Jika demikian maka “Kaliren” atau “Lapar” adalah acuan atas tindakan manusia yang mendapat konsekuensi lapar atas tindakannya. Berikut adalah perbandingan kata lapar dalam beberapa kalimat: (9). Selama dua hari tersesat di hutan, dia mengalami kelaparan dan dehidrasi (10). Dheweke kaliren jalaran ora dhuwe dhuwit kanggo tuku beras16 Komponen Makna: Perut, Rasa Tidak Kenyang Melihat komponen maka makna pada proposisi “Yen tan melu anglakoni boya keduman melik, kaliren wekasanipun” yaitu: Imbas atau konsekuensi seseorang yang tidak memperoleh bagian bahkan kelaparan atas tindakannya. Jika dikaitkan dengan “zaman “edan” maka tidak mendapatkan jatah bagian berupa materi harta maupun jabatan, yang tentunya mejadikan orang berpegang prinsip tersebut “lapar” dikucilkan, dan tak mendapat hak istimewa. Merupakan makna asertif yang memberikan pesan bahwa Penutur merasakan kelaparan karena tidak mendapatkan jatah atau bagian dari proses perubahan yang tejadi yakni “zaman edan” tersebut.
4. Dilalah karsa Allah begja-begjane kang lali, luwih begja wong kang eling lawan waspada
-
Kersa Allah
Karsa “Kehendak” dalam kamus Bahasa Indonesia berarti “Kemauan; Keiginan; dan Harapan yang keras”. Analisis makna lebih lanjut dapat dilihat di bawah ini: (11).”Saya betul-betul tidak habis pikir atas musibah ini. Apa yang dikehendaki Tuhan memang terlalu jauh dari pikiran manusia,” kata suster Patricia (38) dengan suara lirih.17 (12). Sing jenenge manungsa ora bakal bisa nrajag karsane Sang Hyang Werang18 Komponen “Hendak”: Bersedia, Setuju, Bersiap 16
Penutur asli menulis kalimat dari kata “Kaliren” (24 Mei 2014) http://nasional.kompas.com/read/2009/02/19/05432887/kehendak.tuhan.di.luar.jangkauan.akal.manusia (Diakses pada tanggal 28/04/2014 pukul 17.07 wib) 18 Penutur asli menulis kalimat dari kata “Karsa” (24 Mei 2014) 17
Dimensi peristiwa..., Akbar Priyono, FIB, 2014
Memiliki makna yang kurang lebihnya “Bentuk kehendak Tuhan atas hak prerogative-Nya untuk memberikan apa saja kepada makhluk-Nya yang harus disikapi dengan kepasrahan” -
Lali
Lali “Lalai” adalah “kurang hati-hati, tidak mengindahkan; tidak ingat kerena asyik melakukan sesuatu”, kata Lalai juga memiliki sinonim yaitu “Luput” yang mengandung arti “hilang, lepas, tidak kelihatan; tidak terjangkau; tidak terhindar”, sinonim lain yang lebih umum adalah kata “Lupa” yang memiliki arti “lepas dari ingatan; tidak teringat; tidak sadar; lalai”.19 “Lali” „Lalai‟, „Luput‟, Lupa biasanya merujuk pada hal-hal yang negatif (13). Pejabat tersebut melalaikan amanahnya, tak ingat dulu janji-janji kampanyenya seperti apa (14). Aja nganti lali karo dheweke sing gelem cawe-cawe20 Komponen Makna “Lalai”: Daya ingat, daya pikir, alasan tidak disengaja Pemaparan komponen makna “lalai” tersebut memberikan makna bahwa “Lali” „Luput‟ adalah tindakan atau sikap yang berkaitan dengan daya ingat untuk melakukan tindakan sesuatu namun tidak berhasil dikerjakan atau tidak dikerjakan. - Eling
(15). Orang yang selalu ingat Tuhannya akan berpikir dua kali untuk bertindak jahat dan menyakiti perasaan orang lain. (16). Eling-eling siro manusa, yen mu urip ana ing alam dunya, malaikat juru pati21
Komponen Makna: Daya ingat, Berpikir, Tidak Lupa . Komponen makna “Ingat” atau “Eling” memberikan makna sikap berpikir dalam rangka mengenang suatu hal agar tidak lupa dan rugi. 19
Dapat dilihat di KBBI versi offlie versi 1.5. Sedangkan pada KLBI (2005) “Untung”: Sesuatu yang digariskan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa bagi perjalanan hidup seseorang, mujur, bahagia dan arti “Lalai”: lengah, kurang ingat, tidak mengindahkan kewajiban 20 Penutur asli menulis kalimat dari kata “lali” (24 Mei 2014) 21 Penutur asli menulis kalimat dari kata “eling” (24 Mei 2014)
Dimensi peristiwa..., Akbar Priyono, FIB, 2014
- Waspada (17). Sangat dibutuhkan sikap waspada
ketika naik angkutan umum di Jakarta
sebagai bentu kehatia-hatian menghindari kejahatan yang mengancam kapan saja dan siapa saja. (18). Urip ing kutha gedhe aja kurang waspada22 --> Komponen: Sikap bertahan, daya tubuh, kehati-hatian Komponen makna “Waspada” memberikan pemaparan makna “waspada” adalah selalu berhati-hati dalam rangka menjaga diri dari berbagai ancaman yang membahayakan. Untuk itu makna “Ndilalah kersa Allah, begja-begjane kang lali isih begja kang iling lawan waspada” adalah sudah menjadi hak Tuhan memberikan hambanya karunia meskipun hambanya tersebut di luar jalur ketuhanan atau luput namun meskipun orang luput mendapat nilai keberuntungan tetap saja mereka yang mendapat keuntungan dan kebahagiaan adalah mereka yang selalu menjaga dirinya dengan igat Tuhannya dan selalu waspada.
Merupakan
kategori
asertif yang memberikan pesan bahwa dalam menjalani kehidupan zaman edan sepatutnya tetap di jalan kebenaran untuk memperopleh rahmat Tuhan, karena ganjaran seseorang sesuai dengan apa yang diperbuat. Kesimpulan Setelah membahas lebih jauh Serat Kalatidha dalam konteks pemaknaan dan interpretasi dalam rangka memotret peristiwa Dombreng melalui analisis makna semantik dan pragmatik, maka dapat disimpulkan beberapa hal di bawah ini: 1.
Serat Kalatudha memiliki makna yang melampaui batas ruang dan waktu, serta dapat dijadikan alat untuk memotret peristiwa setelahnya.
2.
Dombreng pada dasarnya adalah salah satu contoh peristiwa yang dijadikan oleh penulis sebagai kajian penelitian dengan tendensi pembahasan terhadap kasus kesewenangan pemimpin dalam hal korupsi. Pada dasarnya peristiwa lainpun memungkinkan untuk dipotret atau dikaji dengan menggunakan makna-makna yang dikandung oleh Serat Kalatidha. Meski demikian, aspek historis yang ada lebih
22
Penutur asli menulis kalimat dari kata “waspada” (24 Mei 2014)
Dimensi peristiwa..., Akbar Priyono, FIB, 2014
menguatkan dasar mengkaji Dombreng dalam sudut pandang ideologi makna Serat Kalatidha 3.
Ada beberapa hasil potret ataupun representasi pada makna yang dikandung di dalam Serat Kalatidha yang berkaitan dengan beberapa masalah yang berlangsung di tengah kehidupan masyarakat, yaitu: Penyimpangan, kebimbangan, konsekuensi atas tindakan, dan kepasrahan hidup
Referensi Buku:
Abdul Wahab. (1991). Isu Linguistik Pengajaran Bahasa dan Sastra. Surabaya: Airlangga University Press. Abdul Chaer. (2002). Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: PT
Rineka Cipta.
Abdul Chaer. (2007). Linguistik Umum. Jakarta: PT Rineka Cipta Benny H. Hoed. (2007). Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Depok: FIB UI. Eriyanto. (2012). Analisis Wacana”Pengantar Analisis Teks Media”. Yogyakarta: LKiS Fischer, TH. (1952). Pengantar Anthropologi Kebudajaan Indonesia. Jakarta: PT Pembangunan. Geertz, Clifford. (1964). The Religion of Java. London: The Free Press of Glencoe. Hoetomo. (2005). Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya: Mitra Pelajar Lucas, Anton. E. (2004). One Soul One Struggle “Peristiwa Tiga Daerah”. Yogyakarta: Resist Book. Lyons, John. (1995). Pengantar Teori Linguistik “Introduction to Theoritical Linguistics”.Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Widdowson, H.G. (1966). Linguistic, London: Oxford University Press. Wiryanto. (2004). Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: Grasindo. Parera, J.D. (1991). Teori Semantik. Jakarta: Erlangga
.
Dimensi peristiwa..., Akbar Priyono, FIB, 2014
Paul Gee, James. (2006). An Introduction to Discourse Analyisis Theoy and Method.New York: Routledge. Rahyono. (2009). Kearifan Budaya Dalam Kata. Jakarta: Wedatama Widya Sastra Rahyono. (2012). Studi Makna. Jakarta: Penaku Sutrisno Sastro Utomo. (2007). Kamus Lengkap Jawa-Indonesia. Yogyakarta:Kanisius. ---. (2005). Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto (edit.). Teori-teori Kebudayaan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Soeparno. (1995).Dasar-dasar Linguistik.Yogyakarta: Mitra Gama Widya Sudaryanto.1992. Metode Linguistik. Yogyakarta: Gadjah Mada University. Supartono Widyosiswoyo. (2006). Sejarah Kebudayaan Indonesia , (Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti) Renkema, Jan. (2004). Introduction to Discourse Studies.Amsterdam: John Benjamins B.V. Muridan S. Widjojo, dkk. (2004). Bahasa Negara Versus Bahasa Gerakan Mahasiswa..Jakarta:LIPI Press. ---. (2004). Tommy Christonny dan Untung Yuwono (Peny.).Semiotika Budaya. Depok: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Univesitas indonesia. Ullman, Stephen. (2007). Pengantar Sematik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Non Buku:
Ebta Setiawan. (2013). KBBI Offline (Versi 1.5) [Computer software]. KBBI Daring Edisi III: Pusat Bahasa Kemdiknas (http://www.pusatbahasa.kemdiknas.go.id//kbbi)
Dimensi peristiwa..., Akbar Priyono, FIB, 2014
Dimensi peristiwa..., Akbar Priyono, FIB, 2014