Edisi 019, September 2011 Kolom
Pro
D
ig
ital
ct
DIMENSI FILSAFAT je DALAM WAHYU
kaa
n
Pradana Boy ZTF 1 Kolom | Edisi 019, September 2011
Edisi 019, September 2011
P
c
Dem
Dimensi Filsafat dalam Wahyu
o
Kolom
cy a r
Pe
osisi wahyu dalam Islam sangatlah sentral. Berdasarkan kondisi historis maupun normatif, posisi wahyu itu demikian penting dalam mengarahkan, membimbing, r dan meletakkan dasar relasi antara p manusia dengan realitas transenden u s ta yang diyakininya. Wahyu pulalah yang mampu menjadi mediasi strategis bagi proses komunikasi ilahiah antara manusia dengan Tuhannya. Dalam tradisi filsafat Islam, wahyu bahkan bertindak sebagai sumber pengetahuan (Bakar, 1997). Pengetahuan manusia yang 2
Edisi 019, September 2011 Kolom
Pro
je
D
ig
ital
ct
diperoleh melalui wahyu memiliki status yang spesifik, karena seorang penerima pengetahuan melalui wahyu adalah orang yang memiliki otoritas keagamaan tinggi yang sering diistilahkan dengan Nabi. Sementara manusia biasa menerima keberadaan wahyu sebagai rukun iman yang harus dipercayai secara taken for granted , para filosof berusaha untuk mendudukkan wahyu sebagai realitas keilmuan yang bisa dikaji secara teoretis. Atas dasar asumsi inilah, tulisan ini bermaksud mengkaji dimensi-dimensi filsafat dalam wahyu.
kaa
n
Dalam filsafat ilmu terdapat dua aliran yang sering dianggap sebagai cara yang dikotomik dalam memperoleh pengetahuan: rasionalisme di satu sisi, dan empirisisme di sisi yang lain. Aliran pertama lebih menekankan pada dominasi akal dalam memperoleh pengetahuan, sementara yang kedua lebih mengakui pengalaman sebagai sumber otentik pengetahuan (Bahm, 1990). Kedua aliran ini, dengan sendirinya, secara ekstrem tidak 3
Edisi 019, September 2011 Kolom
mengakui realitas lain di luar akal dan pengalaman atau fakta. Wahyu sebagai sebuah realitas di luar realitas itu, dengan demikian, tidak diakui sebagai sumber pengetahuan.
Dem
o
Islam sebagai sebuah agama yang menekankan keseimbangan, tidak cy memihak atau menolak salah satu a r aliran itu secara ekstrim. Bahkan, c Islam menawarkan satu konsep epistemologi moderat yang sering disebut oleh Kuntowijoyo (1997) sebagai epistemologi relasional. Konsep ini, jelas Kunto, bermaksud menggabungkan akal, pengalaman dan wahyu dalam satu hubungan dialektik yang tidak pernah putus. Wahyu sebagai respon ilahiah r terhadap persoalan kemanusiaan, p us lahir dalam satu kondisi historisitas ta tertentu (Zaid, 2001). Tesis ini juga dengan sangat optimis dipegang oleh Thaha Hussein yang membagi wahyu kepada dua dimensi: the first massage di satu sisi, dan the second massage , di sisi lain.
Pe
Semua penjelasan ini mengemukakan bahwa wahyu tidak berdiri sendiri 4
Edisi 019, September 2011 Kolom
Pro
je
D
ig
ital
ct
dalam mengatasi persoalan kemanusiaan. Inter vensi akal menjadi hal yang tidak bisa dihindari dalam menerjemahkan “kemauan” wahyu yang seringkali -atau bahkan selalu- turun dengan rumusanrumusan bahasa langit. Intervensi akal kemanusiaan inilah yang menghubungkan wahyu dengan fakta dan realitas historis yang dihadapi. Peristiwa Tahkim yang mengakhiri peperangan kelompok Ali dan Muawiyah, yang kemudian diselewengkan oleh Muawiyah sebagai bentuk penyerahan kekuasaan oleh Ali kepadanya, menjadi satu bukti historis bahwa wahyu sangat terbuka terhadap interpretasi kemanusiaan, bahkan ketika interpretasi itu menyesatkan. Itulah al-Qur’an, kata Ali, yang hanya bisa bicara ketika manusia menafsirkannya.
kaa
n
Al-Farabi ketika menjelaskan tentang wahyu menuliskan bahwa ketika seorang Nabi menerima wahyu, setidaknya ada tiga jenis intelek yang dilibatkan: Pertama, intelek aktif, yakni satu entitas 5
Edisi 019, September 2011 Kolom
Dem
o
kosmik yang bertindak sebagai perantara transenden antara Tuhan dan manusia. Kedua, intelek perolehan ( al-‘aql al-mustafad ) yang diperoleh Nabi hanya jika jiwanya bersatu dengan intelek aktif. Dalam persenyawaan ini, tulis Osman Bakar, intelek perolehan menerima cy a pengetahuan transenden dari intelek r c aktif. Ketiga, intelek pasif ( al-aql al-munfail ) yang merupakan kondisi intelek penerimaan wahyu secara umum.
Pe
Wahyu yang diterima oleh para Nabi, menurut Abdul Kalam Azad, bukanlah sesuatu yang baru, melainkan pesan-pesan yang pernah diberikan kepada para Nabir p pendahulunya. Muhammad, tulis us ta Azad, tidak datang dengan pesanpesan baru, melainkan dengan pesan-pesan yang sama seperti yang pernah diterima oleh Nabi Adam, Nuh, Ya’kub, Ismail, Yusuf, Sulaiman, Daud, Musa, Isa dan Nabinabi lain yang diutus di seantero dunia ini. Meskipun ada di antara Nabi-nabi itu yang disebutkan dalam 6
Edisi 019, September 2011 Kolom
Pro
al-Qur’an dan tidak, tetapi pesan yang mereka bawa adalah sama, yakni kepercayaan kepada Tuhan dan melakukan kebaikan (ma’ruf) serta menghindari kemungkaran (munkar) dan agama adalah jalan yang tepat untuk menuju semuanya.
je
D
ig
ital
ct
Tesis Azad ini, mengingatkan kepada konsep kekekalan ide dalam filsafat. Bahwa konsep-konsep filosofis yang pernah digagas oleh Aristoteles misalnya, memberikan pengaruh yang cukup kuat dalam tradisi pemikiran umat Islam. Para filosof Muslim yang menganggap Aristoteles sebagai “guru pertama” (al-mu’allim alawwal) menunjukkan pengaruhnya yang besar kepada jalan pikiran para filosof Muslim (Nurcholish, 2000: 226). Kuatnya pengaruh Aristoteles dalam tradisi pemikiran filosof muslim itu makin tegas ketika, AlFarabi dikukuhkan sebagai “guru kedua” (al-mu’allim al-tsani) setelah Aristoteles.
kaa
n
Dengan demikian, wahyu sebagai guidance bagi umat beragama dalam 7
Edisi 019, September 2011 Kolom
Dem
o
kehidupannya harus selalu terbuka terhadap intervensi kemanusiaan dan penjelasan akal. Tradisi hermeneutika sebenarnya lahir untuk menjembatani manusia membongkar dimensidimensi filosofis yang terkandung dalam wahyu. Wahyu tidak tertutup bagi penjelasan-penjelasan cy a r filosofis yang memihak manusia, c justru akan menjadi persoalan ketika penjelasan filosofis wahyu memenangkan kehendak Tuhan dengan mengabaikan kepentingan kemanusiaan.
Pe
Walaupun wahyu sering disepadankan dengan agama, dan akal disepandankan dengan filsafat, bukan rp berarti tidak ada kemungkinan untuk mempertemukannya. Dalam hal ini, u sta al-Farabi bahkan meyakini bahwa agama adalah tiruan dari filsafat. Ketika seseorang memperoleh pengetahuan tentang wujud atau memetik pelajaran darinya, jika dia memahami sendiri gagasangagasan tentang wujud itu dengan inteleknya, dan pembenaran atas gagasan tersebut dilakukan dengan 8
Edisi 019, September 2011 Kolom
Pro
je
Tantangan menyelaraskan penafsiran wahyu dengan dinamika zaman yang makin mekanistis ini, jelas menuntut satu penelusuran serius terhadap dimensi-dimensi filosofis dalam wahyu. Penelusuran inilah yang akan mengantarkan umat Islam memandang adil terhadap wahyu: menjadikan wahyu sebagai pedoman kehidupan beragama, sekaligus sebagai sumber inspirasi pembangunan keilmuan dan peradaban Islam yang saat ini tengah dirindukan kembali kejayaannya. Wallahu a’lam bi al-Shawab .
D
ig
ital
ct
bantuan demonstrasi tertentu, maka ilmu yang tersusun dari pengetahuan-pengetahuan ini disebut dengan filsafat. Tetapi jika gagasan-gagasan itu diketahui dengan membayangkannya lewat kemiripankemiripan yang merupakan tiruan dari mereka, dan pembenaran atas apa yang dibayangkan atas mereka disebabkan oleh metode-metode persuasif, maka pengetahuan yang dihasilkannya disebut dengan agama.
kaa
n
9
Edisi 019, September 2011
Kolom ini diterbitkan oleh Democracy Project, Yayasan Abad Demokrasi.
10
Pe
Untuk berlangganan, kunjungi www.abad-demokrasi.com Kode kolom: 019K-PDB001
c
cy a r
Dem
© 2011
o
Kolom
rp
us
ta