Seminar Management Diakonia Gereja Terhadap Credit Union (CU) Kantor Pusat HKI P. Siantar, 19-21 September 2016.
Diakonia Dalam Kajian Teologis Biblika Batara Sihombing
1. Pengertian Diakonia Secara etimologi istilah “diakonia” berasal dari kata Yunani. Kata tersebut terdapat di dalam Alkitab untuk mengukapkan pelayanan. Kata benda “diakonia” digunakan sebanyak 34 kali dalam PB.1 Kata tersebut tersebar dalam 4 bentuk kata benda di dalam beberapa kitab PB seperti yang ditunjukkan oleh tabel berikut.2
1
Bentuk kata benda diakonia
2
diakonian
3
diakonias
4
diakonion
No
Referensi Kis 6:1; 6:4; Rm 12:7; 15:31; 2 Kor 3:7; 3:8; 3:9 (2x); 6:3; 9:12 Luk 10:40; Kis 11:29; 12:25; 20:24; Rm 11:13; 12:7; 1 Kor 16:15; 2 Kor 4:1; 5:18; 11:8; Kol 4:17; 1 Tim 1:12; 2 Tim 4:5; 4:11; Ibr 1:14; Why 2:19 Kis 1:17; 1:25; 21:19; 2 Kor 8:4; 9:1; 9:13; Ef 4:12 1 Kor 12:5
Keterangan Kata benda datif feminin tunggal dari diakonia Kata benda akusatif feminin tunggal dari indikatif imperfect aktif orang ketiga jamak dari diakonia
Kata benda genitif feminin tunggal dari diakonia Kata benda genitif feminin jamak dari diakonia
Menurut Bullinger3 diakonia berarti pekerjaan yang berguna (serviceable labour), pelayanan yang diberikan secara khusus untuk memberi manfaat bagi orang lain, pelayanan di segala bentuk. Sementara itu Vine mendefinisikannya sebagai, “the office and work of a
1). A. Weiser, “diakoneo”, dalam Exegetical Dictionary of the New Testament. Volume 1. Ed. Horst Balz dan G. Schneider (Michigan: Eermans, 1994), 302. 2). Bandingkan Schmoller, Handkonkordanz zum Grieschischen Neun Testament (Germany: Biblia PWB, 1960), 115-116. 3 Ethelbert W. Bullinger, A Critical Lexicon and Concordance to the English and Greek New Testament (Grand Rapids: Zondervan Publishing House, 1975), 684.
1
diakonos, service, ministry.”4 Vine juga menjelaskan penggunaan kata tersebut ke dalam dua bagian, yakni pertama, tugas-tugas pelayanan rumah (domestic duties) seperti dalam Lukas 10:40, dan kedua, pelayanan kerohanian atau agama, yakni: (a) pelayanan kerasulan (Kis 1:7; 25; 6:4; 12:25; 21:19; Rom 11:13), (b) pelayanan orang-orang percaya (Kis 6:1; Rom 12:7; 1 Kor 12:5; 1 Kor 16:15), (c) pelayanan Roh Kudus dalam Injil (2 Kor 3:8); (d) pelayanan para malaikat (Ibr 1:14), (e) karya Injil secara umum (2 Kor 3:9; 5:18); (f) pelayanan umum dari hamba Tuhan di dalam berkhotbah dan mengajar (Kis 20:24; 2 Kor 4:1; 6:3; 11:8); (g) tentang hukum Taurat, pelayanan yang memimpin kepada kematian (2 Kor 3:7; 3:9). Secara mendalam Beyer5 mendefinisikan kata diakonia/pelayanan sebagai aktifitas dari diakoneo/melayani. Di dalam PB kata diakonia berarti: pertama, “pelayanan di meja”, atau arti yang lebih luas “menyediakan makanan jasmani” seperti dalam Lukas 10:40 (sedang Marta sibuk sekali melayani). Pengelolaan makanan untuk orang banyak dalam gereja mulamula disebut diakonia ( Kis. 6:1). Kedua, kata ini juga digunakan untuk “melaksanakan pelayanan” di dalam kasih yang tulus. Demikianlah rumah Stefanus menjadi tempat untuk melayani orang-orang kudus (1 Kor 16:15). Di dalam Wahyu 2:19, melakukan pelayanan dihubungkan dengan pekerjaan, kasih, iman, dan kesabaran. Titik yang menentukan di dalam memahami konsep tersebut adalah bahwa kekristenan mula-mula belajar memahami dan menggambarkan semua aktifitas yang signifikan untuk kemajuan jemaat sebagai diakonia (Ef 4:11-12). Ketiga, kata ini juga menunjukkan arti “melaksanakan kewajiban-kewajiban tertentu di tengah-tengah komunitas”. Jabatan kerasulan merupakan pelayanan (Rom. 11:13; 2 Kor. 4:1;
4). Vine, Vine’s Expository of Old and New Testament World. Ed. F.F. Bruce (New York: Revell Company, 1981), 74. 5 Beyer, “diakoneo” dalam Theological Dictionary of the New Testament. Volume 2. Ed. G. Kittel (Michigan: Eermans, 1993), 87-88.
2
6:3; 11:8). Demikian juga tugas pemberitaan Injil (2 Tim 4:5), atau aktifitas Markus, yang menggabungkan pelayanan pribadi dengan pekerjaan misionaris (2 Tim 4:11), merupakan sebuah pelayanan atau diakonia. Dan keempat, sesuai dengan penggunaan Paulus tentang kata diakonein di mana pengumpulan dana bantuan untuk Gereja di Yerusalem diungkapkan sebagai diakonia. Sang rasul menekankan bahwa pengumpulan dana itu tidak dianggap hanya sebagai sebuah pemberian biasa, akan tetapi sebagai sebuah tindakan kasih yang sejati (Rom 15:30-33; 2 Kor 8:1-6; 9:1, 12; bnd. juga Kis 11:29-30; 12:25). Istilah diakonia dapat ditafsirkan dengan cara yang berbeda, tetapi tiga arti dapat disebutkan sebagai yang paling umum: 1. Melayani meja 2. Menolong seseorang dalam arti yang lebih luas 3. Menerima tugas atau misi khusus, dalam surat-surat Paulus paling sering mengacu kepada pelayanan kepemimpinan di Gereja.
2. Contoh Pelayanan Kasih di Perjanjian Lama PL juga merekam aktivitas pelayanan khususnya menolong orang yang membutuhkan. Konsep pelayanan itu salah satunya dapat dilihat dari istilah go’el yang artinya “penebus, pelindung, penolong dan pembebas”. Kata itu digunakan dalam dua bidang. Pada satu pihak berhubungan dengan kehidupan hukum dan sosial, dan di pihak lain berhubungan dengan tindakan penebusan Allah. Pada penggunaan terbanyak dari kata kerja itu artinya “menyelamatkan”. Kata itu menunjuk kepada saudara seseorang, atau paman, atau kerabat dekat yang lain yang bertanggungjawab untuk membela seseorang itu dalam kondisi tertentu (Im. 25:48). Dalam hal ini anggota keluarga mempunyai kewajiban untuk melindungi atau menolong satu sama lain. Di belakang konsep kewajiban itu terletak perasaan kuat akan solidaritas. Setiap gangguan terhadap
3
kesatuan dipahami sebagai sesuatu yang tidak dapat ditoleransi dan sesuatu akan dilakukan untuk memulihkannya6. Umat Israel mencari keluarganya untuk mendapat pertolongan dan perlindungan secara khusus ketika harta atau kelanjutan namanya terancam. Sebagai contoh jika seseorang menjual rumah atau harta milik yang lain untuk membayar hutang maka ada kesempatan untuk menebusnya. Saudara yang terdekat dari orang yang menjual itu menurut ketentuan akan membeli kembali harta yang terjual itu sehingga harta keluarga dipulihkan (Im. 25:25-34; Yer. 32:6). Jika orang yang menjual tidak mempunyai penebus tetapi mempunyai harta yang tersedia maka dia sendiri dapat menebus harta yang telah dijualnya (Im. 25:26-27). Jika tidak maka harta itu akan kembali kepadanya secara otomatis menunggu tahun Yobel (Im. 25:28). a. Peran Go’el dalam Menebus Budak dan Darah Jika seorang Israel harus menjual dirinya ke perbudakan dengan maksud membayar hutangnya, maka dia berhak ditebus oleh salah satu kerabat dekatnya (Im. 25:47-54). Kerabat dekat yang bertanggungjawab menebusnya adalah saudaranya, saudara bapaknya, anak pamannya, dan orang lain di keluarganya (Im. 25:48-49). Secara realita penebusan tidak hanya dilakukan oleh kerabat dekat tetapi dapat juga dilakukan oleh budak itu sendiri seandainya dia mampu melakukannya (Im. 25:49). Ini berarti penebusan di perbudakan mencakup tanggungjawab budak itu sendiri sehingga seorang dapat bertindak sebagai go’el bagi dirinya sendiri. Bila seorang terbunuh maka kematiannya dibalas oleh go’el yang bertanggungjawab membunuh pembunuh. Di sini go’el bertindak sebagai pembalas darah di mana pembalas darah pertama-tama adalah anak dari yang terbunuh atau saudara laki-laki yang lain. Pembunuh dapat mengusi dari pembalas darah di kota-kota pengusian (Bil. 35:19-27; Ul. 19:6,12; Yos. 20:2,5,9).7 Beberapa perikop (Ams. 23:11; Yer. 50:34; Rat. 3:58; Maz. 119:154; Ay. 19:25) menggunakan go’el dalam arti figuratif untuk menampakkan bahwa go’el dapat nampak sebagai penolong di pengadilan. Ini dilakukan untuk memastikan keadilan dilakukan bagi orang yang dilindunginya8. 6
Ringgren, “ga’al” dalam Theological Dictionary of the Old Testament. Ed. G. Kittel and H. Ringgren. Volume 2. (Michigan: Eerdmans, 1977), 351. 7 Ringgren, “ga’al”, 357. 8 Ringgren, “ga’al”, 352.
4
Dengan demikian, go’el juga mempunyai kewajiban melindungi hak dan kehormatan anggota keluarganya. b. Allah Sebagai Penebus Israel Ketika Allah bertindak sebagai penebus di dalam arti kerohanian maka itu berbeda dari tugas para penebus atau go’el di dalam masyarakat Israel yang bertindak di wilayah hukum sosiologis. Allah diakui sebagai penebus umat Israel dari perbudakan Mesir (Kel. 6:6; 15:13; Ul. 7:8; 9:26; 15:15), dan juga dari perbudakan Babilonia (Yes. 51:10; 48:20; 41:14). Kemudian Allah juga dikenal sebagai pelindung atau penebus para janda, anak yatim piatu, orang lemah dan orang miskin (Ams. 23:11; Yer. 50:34; Maz. 149:9). Umat Israel meminta Allah untuk melepaskan mereka dari penderitaan seperti kesakitan, ketakutan, penyakit, dan kejahatan (Kej. 48:16; Yes. 29:22; 2 Sam. 4:9; 1 Raja 1:29; Maz. 25:32; 69:17-19; 107:2). Kemudian Allah juga disebut sebagai penebus dari kematian (Hos. 13:14; Maz. 49:16; 103:4; Ayub 5:20) dan juga penebus dari hukuman dosa (Hos. 7:13; Yes. 44:22; Maz. 130:7-8). Sejajar dengan peran Allah sebagai penebus atau pelindung mereka yang lemah dan membutuhkan maka umat Israel juga diminta melakukan pekerjaan yang sama di tengah kehidupan mereka, menjadi penebus atau pembebas semua penderitaan, bukan pembawa kepedihan atau penderitaan. 3. Diakonia dalam Perjanjian Baru: Yesus datang untuk Melayani Markus 10 menceritakan bagaimana Jesus bergumul bersama murid-muridnya sementara mereka berjalan menuju Jerusalem dengan maksud agar murid-murid memahami hakekat yang benar dari pelayananNya. Para murid-murid memikirkan kuasa apa yang ada pada mereka. Akan tetapi, Jesus membalikkan pemikiran mereka dan menyimpulkan: “Karena Anak Manusia pun tidak datang untuk dilayani (“deaconed”); tetapi Dia datang untuk melayani (to “deacon”) dan memberikan nyawaNya menjadi tebusan banyak orang” (Markus 10:45). Di sini kita melihat hubungan yang sangat dekat antara peranan mesianis Anak Manusia, yang dijanjikan oleh para nabi, dan diakonia. Kitab Injil menginformasikan bahwa murid-murid telah melihat hakekat ilahi Jesus. Petrus secara terbuka memberikan pengakuan pada Dia sebagai “ Mesias, Anak Allah Yang Hidup” (Matius 16:16). Namun mereka belum melihat dengan jelas
5
arti inkarnasi di mana misiNya sebagai Mesias Allah adalah melayani dan menyerahkan nyawaNya menjadi tebusan banyak orang.9 Para murid-murid cenderung memahami kedatangan Mesias menurut pengalaman mereka secara duniawi. Tetapi Jesus menolak model kuasa tersebut: “ Kamu tahu, bahwa mereka yang disebut pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi, dan pembesarpembesarnya menjalanan kuasanya dengan keras kepada mereka. Tidaklah demikian diantara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya” (Markus 10:42-44). Mengapa demikian? Jawabnya ada pada ayat berikutnya: melalui pelayanan, banyak orang ditebus. Misi messianis tidak bertujuan memberi keselamatan kepada sekelompok kecil orang dan mereka yang benar: “Anak Manusia datang untuk mencari dan menyelamatkan yang hilang” (Luk 19:10); …”Bapamu di sorga tidak menghendaki supaya seorangpun dari anak-anak ini hilang” (Mat 18:14). Jesus menghadirkan ungkapan kuasa yang berbeda (exousia). KuasaNya adalah melayani dan menyelamatkan, dan itu dialami sebagai kuasa dari seseorang yang hadir bersama kita, sebagai kuasa yang menguatkan mereka yang tidak berkuasa atau lemah. Bagaimana hal itu dimanifestasikan dalam misi Jesus? Ini dilakukan secara pokok melalui kehadiranNya ke dalam dunia dengan cara inkarnasi. Berikut ini secara singkat dipaparkan beberapa pandangan dasar yang berhubungan dengan inkarnasi Jesus dalam Perjanjian Baru: -
Dia adalah nyata dan hadir dalam kehidupan manusia, berbagi kondisi dengan orang-orang sederhana;
-
Agar dekat kepada orang lain, Dia aktif hadir, berkeliling, mengobservasi dan merasakan realita kehidupan manusia;
-
KehadiranNya prophetis. Jesus mengecam ketidakadilan dan system pengucilan.
-
Melalui kehadiranNya, kerajaan Allah dan dinamikanya tersedia.
-
KehadiranNya membawa penyembuhan, transformasi, dan keselamatan; Dia membawa kemenangan hidup terhadap kematian.
9
Kjell Nordstokke, “Dasar Alkitaiah dan Teologis Diakonia”. Paper yang disampaikan pada Diaconal Meeting Gereja-Gereja Lutheran di Indonesia dengan partner dari LWF Geneva, Amerika, dan Australia di Pematangsiantar tgl 28-31 Agustus 2006. Diterjemahkan oleh Pdt. Batara Sihombing.
6
Banyak cerita di Perjanjian Baru yang menggambarkan: bahwa Dia melayani orang miskin dan sakit, dengan cara membela dan menyembukan mereka yang membutuhkan. Ingatlah bagaimana Dia menjawab Yohanes Pembaptis yang menderita di penjara dan mengirimkan muridnya untuk bertanya kepada Yesus: “Engkaukah yang akan datang itu?”. Jesus mengutus mereka kembali dengan pesan ini: “Katakanlah kepada Yohanes apa yang kamu dengar dan kamu lihat: orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang kusta menjadi tahir, orang tuli mendengar, orang mati dibangkitkan dan kepada orang miskin diberitakan kabar baik (Matius 11:4-5). Itulah diakonia Jesus, jenis pelayanan yang memenuhi misi mesianisNya. Dari latarbelakang ini kita akan pahami firmanNya pada Lukas 22:29: “Aku ada di antara kamu sebagai seorang yang melayani”. Berbicara pada malam penderitaan dan kematian, yang membawa diakoniaNya kepada dasar penderitaan dan kematian manusia, Dia mengatakan bahwa Perjamuan Makan Malam bersama para muridNya adalah peristiwa Messianis, sebagai antisipasi pemenuhan dari apa yang orang Kristen harapkan. Dengan demikian diakonia Jesus dari pandangan tersebut mempunyai arti penyangkalan-diri yang rendah hati dan “berjalan dalam jalan ketaatan hingga kematian” (Phil 2:8). Tetapi dari pandangan lain hal itu juga berarti pelaksanaan kuasa yang diakonia/melayani. Kuasa ilahi diikutsertakan dalam pengakuanNya “ Aku adalah” (ego eimi) dalam cara yang Jesus lakukan, karena itu memberitakan kebangkitan dan kehidupan (John 11:25). Pada Markus 10 diberitakan bahwa kuasa itu berbeda dari yang digunakan oleh para pemerintah dunia. Mereka ini memerintah. Kuasa mereka digunakan untuk membuat orang tunduk, diam, dan terancam. Sedangkan kuasa diakonia selalu untuk orang. Kuasa untuk mengangkat yang jatuh karena terpukul, menyembuhkan dan memanggil, menguatkan yang tak berdaya, dan merobah orang untuk menjadi teman sekerja dalam kebun anggur Tuhan. Praksis yang radikal dari Jesus membuat para penguasa agama dan politik pada waktu itu mempertanyakan kuasaNya. Oleh karena itulah Jesus dianiaya, disiksa, dan dibunuh dengan cara yang brutal. Dalam saat yang kritis itu Dia ditolak, diejek, dan para muridNya lari, dan sementara Dia disalibkan bahkan Dia mengalami ditinggalkan oleh BapaNya di sorga. Tetapi Allah bersama Dia di sepanjang pelayananNya dan membangkitkan Dia dari kematian – “Dialah yang ditentukan Allah menjadi Hakim atas orang-orang hidup dan orang-orang mati. Tentang 7
Dialah semua nabi bersaksi bahwa barangsiapa percaya kepadaNya, ia akan mendapat pengampunan dosa oleh karena nama-Nya (Petrus dalam Kis 10:38-43). Para murid ditantang untuk tidak mengikuti contoh para penguasa dunia ketika menjalankan tugas. “Tidaklah demikian di antara kamu” (Markus 10:43). Ini memberi pengertian kepada kita bahwa diakonia tidak hanya mengacu kepada misi Jesus tetapi juga kepada misi yang diberikan kepada para muridNya. Hal yang sama ditekankan pada Yohanes 20:21, ketika Jesus bertemu murid-muridNya setelah kebangkitan, Dia berkata: “Sebagaimana Bapa mengutus Aku, Aku juga mengutus kamu”. Dengan kata lain: ada kelanjutan antara misi Jesus dan misi para muridNya; misi yang diakonia berakar baik pada apa yang Jesus lakukan (kristologi) dan pada tugas yang diberikan pada Gereja (ekklesiologi). Pada pihak lain, kelanjutan hanya mungkin karena para murid menerima Roh Kudus (Johanes 20:21) dan dengan demikian menguatkan mereka untuk mengerjakan diakonia yang diberikan kepada para murid. Ini adalah dimensi diakonia yang pneumatologis yang menjelaskan bahwa diakonia pertama-tama bukanlah tugas moral tetapi suatu ungkapan dari kesatuan yang organik di dalam Kristus. Pada waktu yang sama, dalam hubungan antara Jesus dan para murid aspek keterputusan/discontinuity juga fundamental. Cara bagaimana Jesus ber-diakonia adalah khusus di mana Dia dilahirkan tanpa dosa dan satu-satunya yang mampu memenuhi misi Messianis yang diberikan Bapa. Hanya kematianNya yang bertindak sebagai kematian penebusan. Hubungan antara kelanjutan dan keterputusan dinampakkan dalam cerita Yoahanes 13 ketika Jesus membasuh kaki para murid-muridNya. Pada mulanya Petrus menolak tetapi kemudian ditolong untuk melihat dimensi diakonia dari misi gurunya: “Jika Aku tidak mencuci kakimu, kamu tidak lagi muridKu” (Yoh 13:8). Apa yang dipertaruhkan di sini adalah kehidupan yang ditebus, dan penerimaan Mesias di dalam peranan seseorang yang melayani. Kemudian, ketika Yesus selesai membasuh, Dia berkata: “Aku telah memberikan contoh bagimu agar kamu juga melakukan hal yang sama seperti yang Aku perbuat padamu (Yoh 13:15). Apa yang Jesus perbuat adalah diakonia. Para muridNya diminta hidup menurut kehidupan baru yang diberikan kepada mereka. Rasul Paulus menggambarkan apa yang dia sebut “diakonia perdamaian”. 8
“Semuanya ini dikerjakan Allah, yang melalui Kristus telah merobah kita dari musuh menjadi sahabatNya dan menugaskan kita untuk membuar orang lain menjadi saabatNya juga” (2 Kor 5:18). Kontinuitas/kelanjutan berhubungan semuanya kepada penyampaian misi. “Sama seperti Bapa mengutus Aku, demikian juga Aku mengutus kamu”. Sama seperti Yesus berinkarnasi dalam kenyataan pada masa itu, Gereja juga dipanggil pada saat ini untuk berinkarnasi dalam kehidupan nyata. Mengikuti contoh Yesus, itu berarti hadir secara aktif khususnya di tempat di mana orang menderita dan terpinggirkan. Maka di sana diakonia Gereja memberitakan janji kerajaan Allah dan memberikan pelayanan yang menyembuhkan, mendamaikan, dan merubah. Jika hal tersebut dimengerti dengan benar, maka diakonia adalah bagian integral dari kehidupan dan identitas Gereja. Diakonia tidak dapat dikurangi menjadi suatu aktivitas yang diperbuat oleh beberapa orang yang setia atau terbatas kepada lembaga-lembaga tertentu saja. Atau tindakan diakonia dikondisikan oleh konteks sosiopolitis dan ekonomi. Dikaonia begitu dalam berkaitan dengan keberadaan Gereja, dengan apa yang Gereja rayakan dalam liturgi dan beritakan dalam khotbah. Untuk melukiskan hubungan yang hakiki ini, antara leturgi, pemberitaan, dan diakonia di dalam persekutuan orang percaya maka gambaran berikut akan menolong kita: Perayaan (leiturgia) ●
● Pemberitaan/martyria
● Pelayanan/diakonia
Inilah model apa yang disebut Gereja di tingkat local, di tingkat nasional Gereja sebagai tubuh, dan juga di tingkat internasional, di konteks kita sebagai persekutuan sedunia GerejaGereja Lutheran.
9
4. Diakonia Menurut Lutheran10 Pandangan Lutheran •
Menjadi persekuatan yang diakonia – pemberian dan tugas
•
Mutual penyertaan – membangun persekutuan
•
Dipanggil menjadi dan bertindak di dalam Kristus
•
Pekerjaan baik – ungkapan kebebasan orang Kristen
Dari pandangan Lutheran dimensi ekklesiologi menjadi bagian persekutuan Gereja-Gereja sebaiknya diperlihatkan sebagai inti dalam arti bahwa tugas melayani pertama-tama bukanlah tugas etis tetapi ungkapan menjadi bagian di dalam persekutuan anugerah. Sidang LWF di Curitiba mendaftarkan 5 dimensi menjadi bagian dalam persekutuan Lutheran: rohani, sakramen, pengakuan, bersaksi dan melayani (atau diakonia), dengan demikian dinyatakan bahwa persekutuan adalah keduanya pemberian dan tugas. Tugas itu pertama-tama dijelaskan sebagai saling menyertai, berbagi sukacita dan beban, saling mendukung dan berbagi sumber. Dengan cara ini maka persekutuan dibangun dan dikuatkan. Lagi, perlu digarisbawahi bahwa praksis diakonia ini dimotivasi dan diteguhkan oleh kita, persekutuan orang yang percaya, yang dipanggil menjadi satu dalam Kristus. Di dalam Dia kita menghidupi kehidupan baru, dalam Dia kita diperlengkapi untuk pekerjaan yang baik. Para Lutheran selalu curiga ketika pekerjaan baik ditekankan sebagai yang penting. Ditakutkan bahwa terlalu banyak perhatian pada pekerjaan baik (atau perbuatan) akan mengganggu prinsip pembenaran hanya oleh iman. Kita mengetahui bahwa sekolompok orang Lutheran yang orthodox mengkritik tidak hanya bidat tradisional yang melihat pekerjaan baik sebagai kontribusi manusia untuk selamat, tetapi juga pietisme yang menekankan pekerjaan baik sebagai sesuatu dampak yang perlu dari mereka yang diselamatkan.
10
Lihat Kjell Nordstokke, “Diakonia Dalam Konteks Lutheran World Federation”. Paper disampaikan pada Diaconal Meeting Gereja-Gereja Lutheran di Indonesia dengan partner dari LWF Geneva, America, dan Australia di Pematangsiantar, 28-31 Agustus 2006. Diterjemahkan oleh Pdt. Batara Sihombing
10
Sering diabaikan bahwa Konfesi Ausgustana artikel 6 mencakup pengajaran mengenai pekerjaan baik sebagai elemen penting dari iman:
“Demikian juga, mereka mengajarkan bahwa iman ini terikat kepada buah-buah yang baik dan wajib melakukan perbuatan baik yang diperintah Allah atas dasar kehendak Allah dan bukan supaya kita percaya kepada perbuatan baik ini untuk dibenarkan di hadapan Allah. Sebab pengampunan dosa dan pembenaran dikerjakan oleh iman, sebagaimana perkataan Kristus juga menyaksikkannya (Lukas 17:10): “Ketika kau telah melakukan semua (hal-hal)…katakanlah, “Kami adalah hamba yang tidak layak.” Para penulis dari Gereja mula-mula mengajarkan hal yang sama. Karena Ambrosius berkata, “Telah ditetapkan oleh Allah bahwa siapa yang percaya di dalam Kristus akan diselamatkan tanpa bekerja, hanya oleh iman, menerima pengampunan dosa sebagai pemberian.” Apa yang ditolak adalah pemahaman akan pekerjaan baik sebagai perbuatan yang dimaksudkan untuk mendapatkan jasa di hadapan Allah (dan juga di hadapan manusia). Apa yang dipertahankan adalah pekerjaan baik sebagai ungkapan yang terlihat dari kehidupan baru dalam Kristus yang diberikan dalam iman. Luther lebih jelas memaparkan dalam bukunya kebebasan Kristen di mana dia menyatakan bahwa orang Kristen sungguh bebas di dalam hubungannya kepada Allah, dan pada saat yang sama terikat sebagai budak dalam hubungannya kepada sesama manusia. Ini hanya dapat dimengerti dalam istilah yang ontologis. Hal itu bukan karena kita melakukan yang baik tetapi karena keberadaan kita dalam Kristus. Dalam Kristus kita berpartisipasi di dalam inkarnasiNya untuk melayani dan membebaskan saudara-saudara yang dalam kondisi kekurangan dan perbudakan. Bagi Luther hal ini secara teguh dikaitkan kepada pemahamannya akan kasih Allah yang hadir di dunia melalui Kristus. Semua yang dibaptis dalam Kristus diberi kasih yang sama, dan perbuatan mereka mengungkapkan kebaikan Allah untuk semua ciptaan. Dengan demikian ketaatan orang Kristen pertama-tama adalah ketaatan kepada keberadaan kita di dalam Kristus, bukan ketaatan kepada standar moral atau kesalehan untuk menjadi seperti Kristus. Hal itu tidak bergantung pada komitmen dan keinginan yang kuat, tetapi mengalir keluar dari kehidupan yang baru di dalam Kristus dan dari kehadiran Roh Kudus yang menguatkan. 11
Hal yang sama diungkapkan dalam Deklarasi Bersama mengenai doktrin pembenaran: “Anugerah sebagai persekutuan orang yang dibenarkan oleh Allah di dalam iman, pengharapan, dan kasih biasanya diterima dari pekerjan Allah penyelamat dan pencipta. Tetapi meskipun demikan adalah tanggungjawab orang yang dibenarkan untuk tidak meremehkan anugerah ini tetapi menghidupi-nya. Nasehat untuk melakukan perbuatan yang baik adalah nasehat untuk mempraktekkan iman …”(JDDJ, Annex 2D). Kesimpulan pada bagian ini: Untuk merenungkan diakonia secara teologis maka dibutuhkan pendekatan metode yang luas. Tidak hanya nats alkitab harus dipertimbangkan, tetapi juga pengajaran sistematis mengenai realitas Allah Tritunggal dan kehadiranNya di dunia – sebagai Pencipta, Penebus, dan Pemberi kehidupan. Dengan demikian teologia diakonia tidak dapat dibatasi hanya pada sub-bab di dalam buku-buku teologis.
12