Diagnosis dan Tatalaksana Manifestasi Refluks Esofagus dan Komorbiditasnya Hamida Hayati Faisal Abstrak Penyakit Refluks Gastro Esofagus (PRGE) atau yang lebih dikenal dengan nama Gastro Esophageal Reflux Disease (GERD) merupakan kondisi yang terjadi bila aliran balik isi lambung ke esofagus memberikan keluhan dan mengganggu kualitas hidup seseorang. PRGE dapat memberikan berbagai manifestasi klinis dan komplikasi. Manifestasi dari refluks dapat terjadi di luar esophagus, salah satunya adalah laryngopharyngeal reflux (LPR). Konsep United Airway Disease menyatakan bahwa saluran napas atas dan bawah memiliki keterkaitan dalam proses inflamasi sehingga gangguan yang terjadi pada saluran napas atas dapat mempengaruhi fungsi dari saluran napas bawah. Pada makalah ini dilaporkan dua buah contoh kasus pasien dengan laryngopharyngeal reflux dengan komorbiditas rinitis alergi dan asma yang mempengaruhi proses penyembuhannya. Kata kunci : GERD, LPR, rinitis alergi, asma Abstract Gastro Esophageal Reflux Disease (GERD) is a condition in which the reflux of gastric contents into the oesophagus provokes symptoms and impairs quality of life. GERD have varied manifestations and complications, one of the manifestations occur on extra esophageal, such as laryngopharyngeal reflux (LPR). United airway disease concept proposes that upper and lower airway disease are both manifestations of a single inflammatory process, so that in any impairment of upper airway function will affect the lower airway as well. We report two examples of LPR cases with different comorbidity such as allergic rhinitis and asthma that affect the healing process. Keywords: GERD, LPR, allergic rhinitis, asthma Pendahuluan Refluks Gastro Esofagus (RGE) didefinisikan sebagai aliran retrograd isi lambung ke dalam esofagus, merupakan proses fisiologis yang terjadi secara intermitten terutama setelah makan. Penyakit Refluks Gastro Esofagus (PRGE) disebut sebagai refluks yang patologis atau simptomatik, merupakan kondisi yang kronik dan berulang, sehingga menimbulkan perubahan patologi
pada traktus aerodigestif atas dan organ lain di luar esophagus. Manifestasi klinis PRGE di luar esofagus didefinisikan sebagai Refluks Ekstra Esofagus (REE). REE melibatkan beberapa area seperti paru (asma, pneumonia, fibrosis), sindrom telinga, hidung dan tenggorok (laringitis, otitis, polip, dan karsinoma laring), nyeri dada, erosi oral dan dental.1-3
Universitas Indonesia | 1
Refluks Laringo Faring (Laryngopharyngeal Reflux/ LPR) adalah REE yang menimbulkan manifestasi penyakit-penyakit oral, faring, laring dan paru. REE telah dianggap berperan penting pada banyak penyakit saluran napas atas dan paru. Oleh karena itu ahli THT harus mewaspadai adanya hubungan yang kompleks untuk menegakkan diagnosis dan terapi REE akibat PRGE.4 Epidemiologi PRGE merupakan penyakit gastrointestinal yang sering ditemui di daerah barat, 10% - 20% populasi mengalami keluhan PRGE setiap minggunya. Di Asia dilaporkan prevalensinya bervariasi namun relatif lebih rendah. 5 Hye-Kyung Jung melaporkan prevalensi PRGE di Asia antara lain; 10.5% di Singapura, 12.4% di Taiwan, 3.58.5% di Korea, 7.7 % di Jepang, 4.17.7% di Cina, .3-8.2% di Iran, dan 20 % di Turki. PRGE dalam studi ini didefinisikan sebagai sensasi terbakar pada dada atau mengalami regurgitasi asam yang dirasakan setiap minggu.6 Di Indonesia belum ada data epidemiologi mengenai PRGE, namun di Divisi Gastroenterologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSCM menunjukkan peningkatan prevalensi PRGE dari 6 % pada tahun 1997 menjadi 26 % pada tahun 2002, dan didapatkan pria lebih banyak mengalami PRGE daripada wanita.7 Tingginya gejala refluks pada populasi di negara Barat diduga disebabkan karena faktor diet dan meningkatnya obesitas.8 Refluks
Laringofaring terjadi pada 4% - 10% pasien dengan PRGE/ GERD.9 Pada studi yang dilakukan Bor dkk. seperti yang dikutip oleh Aras dkk. bahwa pada pasien asma dan kontrol prevalensi GERD (rasa terbakar di dada/ regurgitasi satu kali dalam seminggu) adalah 25,4 % dan 19,4%, dan tidak didapatkan adanya perbedaan yang signifikan dari prevalensi asma dan atau obstruksi saluran napas pada pasien dengan dan tanpa GERD.10 United Airway Disease Hipotesis United Airway Disease menyatakan bahwa saluran napas atas dan bawah merupakan manifestasi dari proses inflamasi tunggal dari saluran napas.11 Mukosa nasal dan bronkus terdiri dari epitel pseudostratified, kolumnar bersilia yang berada di membran basalis. Di bawah membran basalis terdapat lapisan submukosa, yang terdiri dari pembuluh darah, kelenjar mukus, sel, saraf, dan beberapa sel inflamasi. Perbedaan utama dari saluran napas atas dan bawah adalah patensi saluran napas atas dominan dipengaruhi oleh tonus pembuluh darah, sedangkan pada saluran napas bawah dipengaruhi oleh fungsi otot polos.12 Patofisiologi Refluks PRGE dapat berupa gangguan fungsional (90% kasus) atau gangguan struktural (10% kasus). PRGE menimbulkan gejala refluks yang disebabkan oleh disfungsi sfingter esofagus bawah, sedangkan PRGE struktural gejala refluks
Universitas Indonesia | 2
menimbulkan kerusakan mukosa esofagus. Sfingter bawah esofagus berperan penting dalam patofisiologi refluks. Pada orang normal, sfingter bawah esofagus mencegah aliran retrograd refluksat dari lambung ke dalam esofagus dengan mempertahankan sawar barier yang berupa perbedaan tekanan antara esofagus dan lambung. Tekanan intraabdomen lebih tinggi daripada tekanan intratoraks. Tekanan sfingter bawah esofagus individu normal 2535 mmHg. 4 Studi yang dilakukan pada 10 sukarelawan sehat ditemukan bahwa tekanan pada sfingter bawah esofagus bervariasi dalam 12 jam. Episode refluks tidak berhubungan tekanan pada saat istirahat. Sekitar 70% – 100% episode refluks muncul saat episode relaksasi sfingter sementara, komplit maupun parsial yang berlangsung selama 5 – 30 detik. Mekanisme dari relaksasi ini tidak diketahui namun diperkirakan berhubungan dengan aktivasi nervus vagus, yang kemungkinan sebagai akibat distensi lambung.1 Patogenesis PRGE merupakan peristiwa multifaktorial yang dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu; perubahan anatomi dari sawar refluks, komponen fisiologis seperti perbedaan tekanan abdominotoraks, efisiensi pengosongan esofagus, faktor makanan, obesitas, kehamilan. Relaksasi sementara sfingter bawah esofagus (transient LES relaxation) memegang peranan penting dalam patogenesis PRGE, relaksasi ini terjadi pada saat tidak ada peristaltik, periode hipotonus sfingter sesudah makan. 4
Gambar 1. Sfingter bawah esofagus13
Pada pasien dengan esofagitis atau setelah makan makanan berlemak, relaksasi sementara ini dapat terjadi yang dicetus oleh refleks vagal, distensi gaster atau gangguan pernapasan. Peristiwa menelan memegang peranan penting pada pembersihan asam esofagus karena dapat menimbulkan gelombang peristaltik esofagus primer, yang mengeluarkan air liur kaya bikarbonat yang menetralkan dan membersihkan refluksat ke bagian distal esofagus. Sfingter bawah esofagus merupakan sawar terakhir untuk mencegah refluksat masuk ke laringofaring.4 REE akibat PRGE diperkirakan terjadi melalui dua mekanisme, yaitu; kontak langsung refluks asam lambung dan pepsin ke esofagus proksimal dan sfingter atas esofagus yang berlanjut dengan kerusakan mukosa faring, laring, paru; mekanisme kedua adalah melalui pajanan asam esofagus distal yang merangsang refleks vagal sehingga terjadi bronkospasme, batuk, sering meludah, dan perubahan inflamasi laring dan faring.4
Universitas Indonesia | 3
PRGE dan LPR LPR mengindikasikan adanya gangguan ekstra esofageal akibat refluks. LPR dan PRGE muncul dengan mekanisme yang sama, yaitu keluarnya isi lambung ke esofagus atau struktur di atasnya. Gejala klasik seperti pada PRGE tidak khas pada LPR, sehingga sering mengakibatkan diagnosis ini terabaikan.14 Terdapat tiga area yang menjadi perhatian di dalam pemahaman hubungan antara PRGE dengan saluran napas atas dan bawah, yaitu; pertama, perkembangan evolusi yang unik dari saluran aerodigastif manusia yang membuat kita lebih rentan untuk mengalami PRGE. Kedua, komposisi material refluks yang tidak hanya berupa asam atau cairan namun juga berbentuk gas yang disertai pepsin dan garam empedu. Ketiga, kerusakan histologi yang disebabkan material refluks pada epitel saluran napas. 15 LPR berbeda dengan PRGE, dimana defek yang menyebabkan LPR adalah sfingter atas esofagus sedangkan pada PRGE yang mengalami defek adalah sfingter bawah esofagus. Pasien dengan LPR biasanya menyangkal keluhan sensasi terbakar pada dada dan regurgitasi. Pasien LPR lebih mengeluhkan masalah tenggorokan daripada masalah pencernaan, seperti disfonia, batuk kronik, globus faringeus, dan mendehem yang kronik.16 Refluks, Rinitis dan Asma Kasus Refluks Ekstra Esofagus (REE) sering ditemui pada pasien-
pasien di bagian gastroenterologi maupun di bagian THT. Refluks dari asam dan pepsin dapat memberikan efek pada saluran pernapasan sehingga mengakibatkan masalah pernapasan seperti asma dan pneumonia. Keluhan batuk kronik, laringitis kronik, dan asma secara signifikan berkaitan dengan PRGE. 10
Prevalensi PRGE pada pasien asma meningkat 4 – 5 kali lebih tinggi daripada pasien bukan asma. Pada sebuah studi didapatkan 80 % pasien asma yang dievaluasi memiliki PRGE berdasarkan pemeriksaan pemantauan pH.11 Pada asma dan PRGE terdapat hubungan sebab akibat yang membentuk lingkaran setan. Refluks dapat mempercepat terjadinya asma melalui refleks vagal yang dipicu oleh adanya cairan lambung di dalam esophagus yang menghasilkan batuk dan/atau bronkospasme, dapat pula disebabkan oleh mikro aspirasi isi lambung ke dalam trakea.3 Sebaliknya, asma dapat menimbulkan refluks sehubungan dengan adanya peningkatan gradien tekanan antara rongga abdomen dan rongga dada, melebihi tekanan barier sfingter bawah esophagus. 10 Hiperinflasi paru pada asma merendahkan diafragma dan bertentangan dengan mekanisme katup pada muara esofagus pada lambung. Tekanan yang fluktuatif antara intratorakal dan intraabdomen meningkatkan risiko terjadinya refluks.16 Selain itu, pengobatan asma seperti teofilin, beta-2 agonis atau prednison, dapat meningkatkan
Universitas Indonesia | 4
kejadian PRGE dengan melawan mekanisme proteksi pernapasan. 3
Gambar 2. Asma dan PRGE dapat mengeksaserbasi satu sama lainnya.17
Studi yang dilakukan oleh Belafsky dkk seperti yang dikutip oleh Mehtap Kilic dkk, skor reflux symptom secara signifikan lebih tinggi pada pasien asma yang tidak terkontrol (p: 0.001), namun tidak didapatkan perbedaan yang signifikan antara pasien dengan dan tanpa LPR dan PRGE. 16 Studi lain yang dilakukan oleh Ferrari dkk seperti yang dikutip oleh Galvan dkk15, pada 29 pasien asma yang menjalani pemantauan pH, mereka menyimpulkan hambatan sekresi asam lambung tidak mempengaruhi hiperreaktivitas bronkus, namun meningkatkan sensitivitas batuk dan efek ini berkaitan dengan refluks proksimal. 15
Asma bronkial didefinisikan sebagai gangguan inflamasi kronik dari saluran napas dimana elemen selular memegang peranan penting. Inflamasi kronik berhubungan
dengan respon berlebih saluran napas yang mengakibatkan episode berulang mengi, sulit bernapas, batuk, terutama pada malam atau pagi hari. Asma dapat dikontrol dengan edukasi yang baik, kontrol lingkungan, menghindari hal yang menjadi pemicu, dan pengobatan. Asma yang tidak terkontrol dapat disebabkan oleh karena adanya komorbiditas yang mempengaruhi pengobatannya. Oleh karena itu, penting untuk mengetahui komorbiditas asma pada pasien dan merupakan bagian integral dari tatalaksana penting dari asma.2 Masalah saluran napas atas seperti rinitis alergi atau non alergi dan sinusitis, sering berhubungan dengan asma serta mempengaruhi pengobatan asma. Konsep united airway disease menjelaskan proses inflamasi yang terjadi pada saluran napas atas dan bawah seperti rinitis dan asma adalah sama. Rinitis dapat mempengaruhi asma melalui mekanisme yang bermacam-macam, termasuk di antaranya: 1) pelepasan mediator ke saluran napas atau sirkulasi perifer, 2) refleks vagal, 3) peningkatan produksi progenitor bone marrow sel radang, 4) peningkatan paparan saluran napas bawah terhadap kontaminasi udara yang masuk melalui pernapasan mulut, dan 5) meningkatnya kebutuhan udara inspirasi.2 Hubungan antara rinitis dan asma (saluran napas atas dan bawah) menjadi perhatian khusus pada studi epidemiologi. Mukosa saluran pernapasan kaya akan sel mast dan jaringan limfoid yang membentuk jaringan limfoid bronkial/mukosa (BALT atau MALT). Saluran napas atas berfungsi sebagai penyaring,
Universitas Indonesia | 5
pengatur suhu dan melembabkan udara yang dihirup. Gangguan pada salah satu fungsi ini biasanya akan mengakibatkan gangguan homeostasis pada saluran napas 18 bawah. Pada saat reaksi alergi muncul, fase awal yang diperantarai histamin langsung terjadi. Reaksi ini diikuti oleh hubungan kompleks antara fenomena inflamasi yang melibatkan limfosit T, sitokin, dan molekul adhesi. Molekul adhesi ini penting dalam recruitment sel radang pada target organ.selama fase awal, molekul adhesi spesifik diekspresikan pada permukaan endotel dan epitel yang membantu ekstravasasi dan infiltrasi sel radang. Infiltrasi yang lemah dari sel radang dapat terjadi pada lapisan mukosa tanpa menimbulkan gejala pada saat terjadi paparan alergen. Proses ini dikenal dengan nama MPI (Minimal Persistent Inflammation), yang terjadi pada rinitis alergi serta asma. MPI juga melibatkan ekspresi molekul CD54 (ICAM-1) yang lemah dan menetap yang merupakan reseptor utama dari rhinovirus pada manusia.18 Pasien rinitis, inflamasi saluran napas bawah dibuktikan dengan peningkatan kadar nitrit oksida dan temuan eosinofil pada sputum, cairan bilasan bronkus, dan biopsi bronkus. Sama halnya dengan asma, biopsi nasal menunjukkan adanya inflamasi eosinofilik, meskipun pada pasien yang tidak memiliki gejala rinitis. 12 Refluks asam lambung ke esofagus telah lama dikenal sebagai PRGE. meskipun secara anatomis esofagus berhubungan langsung dengan lambung, hingga tahun 1968 tidak
diketahui bahwa refluks asam merupakan faktor penyebab dari laringitis yang saat ini dikenal dengan nama LPR.15
Gambar 3. Asma dan komorbiditas terkait2
Refluks asam merupakan etiologi yang paling sering namun gejala yang ada pada PRGE dan LPR sangat bervariasi. 19 Del Gaudio menyatakan pada pasien dengan rinosinusitis kronik menetap setelah operasi sinus lebih sering terjadi refluks nasofaring, sfingter atas esofagus, dan sfingter bawah esofagus. Mekanisme sebenarnya belum dapat diterangkan namun terdapat dua kemungkinan, yaitu akibat efek langusng refluksat ke sinonasal yang menyebabkan inflamasi dan edema serta disfungsi mukosilier sehingga terjadi sumbatan dan infeksi ostium sinus.20 Refleks rinobronkial merupakan hubungan kausal antara stimulasi primer nasal dan penyakit bronkopulmoner. Rinitis dan asma berbagi banyak komponen patofisiologi yang mengakibatkan Universitas Indonesia | 6
keduanya dapat terjadi secara bersamaan. Stimulasi saraf akibat agen iritan, dimana memberi efek sumbatan pada hidung dengan dilatasi kapasitas pembuluh darah, sementara pada saluran napas bawah agen yang menyebabkan konstriksi alveolar membuat kontraksi otot polos bronkus. Pada kedua kondisi ini, aktivasi sel mast mengakibatkan pelepasan mediator, eosinofil dan aktivasi limfosit T serta produksi mediator.21 Diagnosis Diagnosis LPR ditegakkan dari anamnesis dimana terdapat keluhan seperti suara serak, batuk dan sering mendehem. Faktor yang menjadi predisposisi seperti merokok, konsumsi alkohol, makan makanan pedas, berlemak atau bersoda perlu diketahui.1, 16 Sekitar 50 % pasien dengan gejala ekstra esofagus tidak selalu memiliki gejala khas seperti rasa terbakar di dada dan regurgitasi.
Gambar 4. Perbandingan gambaran laring normal dengan LPR dari hasil rinolaringoskopi 1
Pemeriksaan rinolaringoskopi serat lentur dengan video rekaman untuk mengevaluasi laring membantu dalam penegakan diagnosis. Temuan yang didapatkan seperti eritema, edema, obliterasi ventrikular, hiperplasia post krikoid dan pseudosulkus. 1
Refluks cairan lambung ke faring dan laring dapat menimbulkan gejala akibat kerusakan mukosa dengan variasi gejala yang luas dan sulit untuk ditentukan pada masingmasing individu. Refluks dapat berupa cairan maupun gas atau keduanya dengan tingkat keasaman yang bervariasi dari normal hingga asam. Oleh karena itu dibutuhkan suatu penanda untuk mengetahui adanya LPR dan laringitis akibat refluks. Reflux Symptom Index (RSI) dan Reflux Finding Score (RFS) merupakan parameter yang berguna. RSI didisain untuk memastikan kecurigaan klinis dari LPR pada pasien dengan keluhan telinga, hidung, dan tenggorokan. RFS digunakan untuk melihat karakteristik lesi morfologis yang diperkirakan berkaitan dengan LPR. Skor RSI > 13 dikatakan abnormal dan dipikirkan kemungkinan LPR sebagai diagnosis, sementara pada RFS > 7 dinyatakan sebagai abnormal1, 14, 22 Pemantauan pH selama 24 jam. (faring dan esofagus) merupakan pemeriksaan yang sensitif dan spesifik untuk menegakkan diagnosis LPR..16 Pemantauan yang hanya dilakukan pada pH esofagus tidak selalu mampu untuk mendeteksi adanya refluks, terutama bila material refluks sedikit atau tidak mengandung asam. 15 Literatur mengatakan tes Proton Pump Inhibitor (PPI) dengan dosis tinggi untuk tujuan diagnostik dapat dilakukan untuk mendiagnosis refluks, namun hingga saat ini belum ada studi yang cukup adekuat mendukung hal tersebut, sehingga penelitian lebih lanjut masih
Universitas Indonesia | 7
dibutuhkan terutama dengan 15, 23 manifestasi ekstra esofagus. PRGE tidak memiliki pemeriksaan baku emas untuk menegakkan diagnosis. Pemeriksaan endoskopi mendapatkan hasil positif hanya pada 40 % kasus. Selain itu, evaluasi penggunaan terapi anti refluks berdasarkan membaiknya gejala bersifat subjektif. Rasa terbakar di dada dan regurgitasi merupakan gejala karakteristik dari sindrom refluks sehingga tanpa melakukan tes pemeriksaan diagnostik pada pasien yang memiliki keluhan ini, diagnosis adanya refluks dapat ditegakkan. Pada tes penggunaan PPI pasien dengan keluhan yang membaik mengarah ke diagnosis PRGE. Pada pasien dengan gejala refluks yang menetap diindikasikan untuk pemeriksaan manometri untuk mencari diagnosis lain seperti abnormalitas motorik esofagus. Manometri berfungsi untuk menganalisis fungsi dan aktivitas peristaltik esofagus dan sfingter bawah esofagus, tetapi tidak diindikasikan untuk menegakkan diagnosis PRGE. Pasien yang tidak memberi respon terhadap terapi obatobatan sebaiknya dievaluasi dengan pemantauan pH. Pemantauan impedansi pH esofagus merupakan pemeriksaan yang menjanjikan. Sensor pH yang digunakan dapat mendeteksi berbagai tipe refluks (asam, asam lemah, basa lemah). Tes ini mengukur resistensi konduksi listrik dari isi esofagus dan mendeteksi perubahan pH esofagus terkait dengan adanya cairan atau gas refluksat.5 Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan keluhan gejala yang khas yaitu terdapatnya serangan
bersin berulang. Gejala lain seperti keluar ingus yang encer dan banyak, hidung tersumbat, kadang-kadang disertai keluarnya air mata yang banyak. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior didapatkan mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala menetap, maka akan tampak mukosa inferior hipertrofi. Selain itu juga terdapat gejala atopi lainnya seperti: allergic shiner, allergic salute dan allergic crease. Pemeriksaan hitung eosinofil, IgE total, tes cukil kulit merupakan contoh pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk membantu penegakan diagnosis. Klasifikasi rinitis alergi yang digunakan berdasarkan rekomendasi WHO Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi intermitten dan persisten. Rinitis alergi intermiten bila gejala kurang dari 4 hari /minggu atau kurang dari 4 minggu. Persisten/ menetap bila gejala lebih dari 4 hari/ minggu dan lebih dari 4 minggu. Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi ringan bila tidak ditemukan gangguan tidur, aktivitas harian, bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal lainnya. Dikatakan sedang-berat bila terdapat satu atau lebih gangguan tersebut. 24 Asma merupakan gangguan inflamasi kronik dari saluran napas yang melibatkan banyak elemen selular. Inflamasi kronik berhubungan dengan respon berlebih yang mengakibatkan terjadinya episode berulang mengi, sulit bernapas, sesak, batuk, terutama pada malam hari dan saat bangun.
Universitas Indonesia | 8
Tabel 1. Klasifikasi asma24
Karakteristik
Terkontrol
Terkontrol Tidak Terkontrol sebagian Tidak ada (< 2 > 2 kali/ 3 atau lebih gejala Gejala siang hari kali / minggu minggu dari asma terkontrol sebagian Tidak ada Ada Batasan aktivitas ada Gejala malam hari/ Tidak ada terbangun ada > 2 kali/ Kebutuhan reliever/ Tidak (kurang dari 2 minggu inhaler kali / minggu <80 % Fungsional paru (PEF normal atau FEV1) lebih direkomendasikan daripada Klasifikasi asma berdasarkan tingkat makanan denngan porsi besar. Pada kontrolnya dibagi menjadi asma beberapa individu, tidur dengan posis terkontrol, terkontrol sebagian dan kepala sedikit ditinggikan tidak terkontrol. Penjelasan memberikan efek yang baik untuk mengenai klasifikasi tersebut 25 mencegah refluks di malam hari saat terdapat didalam tabel 1. tidur. Selain dengan menjalani diet, Penatalaksanaan kombinasi dengan pemberian proton pump inhibitor (PPI) dapat Tujuan terapi adalah menghilangkan memberikan hasil yang baik. 15 gejala, menyembuhkan esofagitis, Pasien dengan hasil RSI dan RFS pencegah rekurensi dan komplikasi. mengindikasikan adanya LPR Manifestasi refluks secara umum diterapi dengan menggunakan 40-80 ditatalaksana dengan kombinasi diet mg pantoprazole setiap hari selama 3 dan obat-obatan. Diet yang dimaksud bulan. Di RSCM penatalaksanaan termasuk mengurangi berat badan LPR dilakukan dengan edukasi diet (pasien dengan kelebihan berat LPR yang dikombinasi dengan badan). Makanan dan minuman yang pemberian lansoprazole 30 mg dua mengandung kafein harus dihindari kali per hari. Evaluasi dapat mengingat pengaruhnya pada dilakukan dalam rentang waktu 2 sfingter esofagus. Minuman minggu hingga setiap bulannya.5, 15 berkarbonasi menghasilkan distensi lambung yang dapat memicu Intervensi operasi merupakan pilihan transient lower esophageal reflux. terapi pada pasien LPR yang tidak berhasil diterapi menggunakan obatKonsumsi minuman asam dapat obatan atau menolak untuk mereaktivasi pepsin pada refluks mengkonsumsi obat dalam jangka yang bersifat kurang asam. Nikotin waktu lama. Nissen fundolipification juga merangsang produksi asam serta merupakan standar operasi untuk memicu terjadinya TLOSR, sehingga GERD dan pada kebanyakan kasus merokok harus dihindari. Makanan dilakukan secara laparoskopik.26 dengan porsi kecil namun sering Universitas Indonesia | 9
Penatalaksanaan rinitis alergi di antaranya dengan menghindari kontak dengan alergen penyebab dan eliminasi. Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamin H-1 yang bekerja secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini pertama pengobatan rinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral. Prepart kortikosteroid dipilih bila gejala terutam sumbatan hidung akibat respon lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain. Kortikosteroid topikal yang sering dipakai seperti beklometason, budesonid, flutikason, mometason furoat dan triamsinolon. Kortikosteroid topikal bekerja untuk mengurangi jumlah sel mastoit pada mukosa hidung, mencegah pengeluaran protein sitotoksik dari eosinofil, mengurangi aktivitas limfosit dan mencegah bocornya plasma. Hal ini menyebabkan epitel hidung tidak hiper-responsif terhadap rangsangan alergen. Pengobatan baru untuk rinitis alergi adalah leukotriene (zafirlukast/ montelukast), anti IgE, DNA rekombinan. Tindakan operasi seperti konkotomi parsial, konkoplasti atau inferior turbinoplasty perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25 % atau triklorasetat.24 Menurut guidelines terbaru, penatalaksanaan pasien asma terdiri dari penggunaan dosis tinggi glukokortikosteroid inhalasi atau oral dengan kombinasi LABAs dan atau obat-obatan untuk mengontrol.25
Laporan Kasus Seorang laki-laki berusia 59 tahun dikonsul oleh Divisi Alergi Imunologi THT dengan keluhan rasa mengganjal di tenggorok disertai sering mendehem dan suara serak. Keluhan tersebut dirasakan sangat mengganggu pasien. Keluhan lendir di tenggorok, kesukaran menelan, batuk setelah makan/ berbaring, kesukaran bernapas, batuk yang mengganggu serta rasa terbakar di dada atau nyeri dada dan gangguan pencernaan disangkal. Dari evaluasi berdasarkan Reflux Symptom Index (RSI) didapatkan jumlah skor 9. Pada pemeriksaan Rino faringolaringoskopi didapatkan gambaran edema subglotik, obliterasi ventrikel komplit, eritema difus, edema pita suara moderat, edema laring difus ringan, hipertrofi komisura posterior ringan, tidak ada jaringan granulasi atau thick endolaryngeal mucus, sehingga disimpulkan skor Reflux Finding Score (RFS) sebesar 14. Pasien didiagnosis dengan LPR sejak hampir 2 tahun yang lalu. Keluhan dirasakan kadang membaik namun sering kembali muncul saat pasien terserang flu. Tatalaksana dengan menggunakan lansoprazole 2 x 30 mg rutin dijalani oleh pasien, namun diet makanan yang harus dihindari tidak selalu dipatuhi pasien. Dari divisi Alergi imunologi pasien telah didiagnosis dengan rinitis alergi persisten sedang berat sejak tahun 2008, rutin kontrol dan mendapat terapi dengan steroid topikal seretide pada hidung sejak 2 tahun yang lalu. Pasien pernah dilakukan reduksi konka 1 tahun yang lalu pada kedua hidung. Saat ini keluhan hidung tersumbat kadang masih dirasakan. Pasien mengidap asma sejak 25
Universitas Indonesia | 10
tahun yang lalu, dengan hasil spirometri FEV1 / FVC 87,71% dan FEV1 93,80%, saat ini sangat jarang kambuh (1-2 kali setiap bulan).
(metilprednisolon 3 x 4 mg) selama 3 hari.
Seorang wanita berusia 21 tahun dikonsulkan dari divisi Alergi Imunologi THT dengan keluhan suara serak, banyak lendir di tenggorokan serta rasa mengganjal di tenggorokan. Pasien sebelumnya rutin kontrol LPR, dan sejak satu bulan yang lalu keluhan dirasa sudah jauh membaik. Satu minggu sebelumnya pasien terkena flu sehingga lendir kembali terasa banyak di tenggorokan. Pasien didiagnosis dengan rinitis alergi persisten sedang berat sejak 2008 dan mendapat terapi steroid semprot hidung. Pasien memiliki riwayat asma sejak kecil, namun sejak 4 hari terakhir timbul sesak yang disertai napas berbunyi. Pada penilaian RSI didapatkan keluhan suara serak disertai sering mendehem, lendir di tenggorokan dirasakan sangat banyak, suit bernapas, batuk yang mengganggu, serta rasa mengganjal di tenggorok, dengan jumlah skor RSI 16. Pada pemeriksaan rinofaringolaringoskopi didapatkan gambaran laring eritema difus, edema laring difus moderat, hipertrofi komisura posterior moderat,dan terdapat thick endolaryngeal, sehingga jumlah skor RFS adalah 12. Pasien didiagnosis dengan LPR lalu diberikan edukasi untuk menjalani diet LPR serta mendapat terapi lansoprazole 2 x 30 mg dan dikonsulkan ke bagian pulmonologi IPD untuk evaluasi asma. Bagian pulmonologi IPD mendiagnosis dengan asma bronkial ringan, mendapat terapi steroid topikal (ventolin nasal spray 2 x 2 puff), mukolitik serta steroid sistemik
Dua contoh kasus di atas menggambarkan manifestasi dari refluks. Sesuai dengan literatur dikatakan, refluks dapat memberikan manifestasi pada esofagus dan ekstra esofagus. Pada contoh kasus pertama, kedua manifestasi refluks didapati pada pasien tersebut, sementara pada contoh kasus kedua keluhan yang mengarah kepada GERD tidak ada. Hal ini sesuai dengan literatur yang menyatakan bahwa refluks tidak selalu disertai oleh gejala tipikal seperti sensasi terbakar atau regurgitasi asam.
Diskusi
Pada kasus pertama, pasien didiagnosis dengan rintis alergi persisten sedang berat sejak lama. Meskipun pasien sudah diberi terapi LPR yang adekuat, namun keluhan dirasakan terus muncul, terutama saat terserang asma dan rinitis. Hal ini sesuai dengan literatur yang menyatakan LPR sebagai manifestasi refluks ekstraesofagus dieksaserbasi oleh kondisi alergi, dalam hal ini adalah asma dan rinitis alergi. Pasien memiliki riwayat reduksi konka, dimana pada literatur dikatakan reduksi konka dilakukan pada pasien dengan keluhan hidung tersumbat yang menetap dan didapati adanya hipertrofi konka pada pemeriksaan.24 Tindakan ini bertujuan untuk menghilangkan keluhan hidung tersumbat sehingga pasien dapat bernapas secara normal dan tidak bernapas dari mulut yang akan menimbulkan keluhan LPR. Selain rinitis alergi, penyakit asma pada pasien juga mempengaruhi penatalaksanaan LPR. Hal ini sesuai
Universitas Indonesia | 11
dengan hipotesis united airway disease yang menganggap proses inflamasi yang terjadi pada saluran napas atas dan bawah merupakan satu kesatuan. Kasus kedua juga membuktikan bahwa komorbiditas asma memperngaruhi dalam pengobatan refluks. Pada pasien ini tidak didapati adanya keluhan sensasi terbakar atau regurgitasi, sehingga diagnosis GERD dapat disingkirkan. Dari evaluasi yang dilakukan menggunakan skala RSI dan RFS didapatkan gambaran bahwa pengobatan yang diberikan pada pasien ini menunjukkan hasil yang signifikan terhadap keluhan yang mengarah pada LPR. Namun pada saat terjadi inflamasi pada saluran napas atas, dalam hal ini adalah rinitis (inflamasi pada mukosa hidung) memperngaruhi keberhasilan pengobatan. Pasien kembali mengeluhkan gejala banyak lendir dan suara serak yang dirasakan bertambah setelah timbulnya keluhan hidung tersumbat dan ingus encer. Dalam proses pemantauan keberhasilan terapi pada kedua kasus digunakan sistem penilaian RSI dan RFS. Pada literatur dikatakan bahwa sistem ini masih memerlukan studi lebih lanjut, namun pada kedua kasus ini tampak bahwa sistem penilaian tersebut bermanfaat dalam proses pemantauan keberhasilan terapi. DAFTAR PUSTAKA 1. Barry DW, Vaezi MF. Laryngopharyngeal reflux: More questions than answers. Cleveland Clinic journal of medicine. 2010;77(5):327-34. Epub 2010/05/05.
2. Boulet LP. Influence of comorbid conditions on asthma. The European respiratory journal. 2009;33(4):897-906. Epub 2009/04/02. 3. Saritas Yuksel E, Vaezi MF. Extraesophageal manifestations of gastroesophageal reflux disease: cough, asthma, laryngitis, chest pain. Swiss medical weekly. 2012;142:w13544. Epub 2012/03/24. 4. Yunizaf MH, Iskandar N. Penyakit refluks gastroesofaus dengan manifestasi otolaringologi. In: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, editors. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala & leher. 6 ed. Jakarta: Balai penerbit FKUI; 2008. p. 303-10. 5. Nwokediuko SC. Current trends in the management of gastroesophageal reflux disease: a review. ISRN gastroenterology. 2012;2012:391631. Epub 2012/07/31. 6. Jung HK. Epidemiology of gastroesophageal reflux disease in Asia: a systematic review. Journal of neurogastroenterology and motility. 2011;17(1):14-27. Epub 2011/03/04. 7. Simadibrata M, Rani A, Adi P, Djumhana A, Abdullah M. The Gastro-esophageal reflux disease questionnaire using Indonesian language: a language validation survey. Med J Indones. 2011;20(2 May 2011):125-30. 8. Makmun D. Penyakit Refluks Gastroesofageal. In: Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, K. MS, Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Depatrtemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006. p. 315-9.
Universitas Indonesia | 12
9. Shockley WW, Das S. Esophageal Disorders. In: Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD, editors. Head & Neck Surgery-Otolaryngology. Philadelphia: Lippincot Williams & wilkins; 2006. p. 755-70. 10.Aras G, Kanmaz D, Kadakal F, Purisa S, Sonmez K, Tuncay E, et al. Gastroesophageal reflux disease in our asthma patients: the presence of dysphagia can influence pulmonary function. Multidisciplinary respiratory medicine. 2012;7(1):53. Epub 2012/12/19. 11. Turbyville JC. Applying principles of physics to the airway to help explain the relationship between asthma and gastroesophageal reflux. Medical hypotheses. 2010;74(6):1075-80. Epub 2010/01/19. 12. Rimmer J, Ruhno JW. Rhinitis and asthma: united airway disease. MJA. 2006;185:565-71. 13. W.Mark J. Gastroesophageal reflux diseases. Medicinet; 2011 [updated 5/9/2013]; Available from: http://www.medicinenet.com/gastr oesophageal_reflux_disease_gerd/ page2.htm. 14. Neri G, Pugliese M, Castriotta A, Mastronardi V, Pasqualini P, Colasante A, et al. White-line: a new finding in laryngopharyngeal reflux objective evaluation. Medical hypotheses. 2013;80(6):769-72. Epub 2013/04/16. 15. Pacheco-Galvan A, Hart SP, Morice AH. Relationship between gastro-oesophageal reflux and airway diseases: the airway reflux paradigm. Archivos de bronconeumologia.
2011;47(4):195-203. Epub 2011/04/05. 16. Kilic M, Ozturk F, Kirmemis O, Atmaca S, Guner SN, Caltepe G, et al. Impact of laryngopharyngeal and gastroesophageal reflux on asthma control in children. International journal of pediatric otorhinolaryngology. 2013;77(3):341-5. Epub 2013/01/02. 17. Saritas Yuksel E, Vaezi MF. New developments in extraesophageal reflux disease. Gastroenterology & hepatology. 2012;8(9):590-9. Epub 2013/03/14. 18. Passalacqua G, Ciprandi G, Canonica GW. United airway disease: therapeutic aspect. Thorax. 2000;55:26-7. 19. Lenderking WR, Hillson E, Crawley JA, Moore D, Berzon R, Pashos CL. The clinical characteristics and impact of laryngopharyngeal reflux disease on health-related quality of life. Value in health : the journal of the International Society for Pharmacoeconomics and Outcomes Research. 2003;6(5):560-5. Epub 2003/11/25. 20. Delehaye E, Dore MP, Bozzo C, Mameli L, Delitala G, Meloni F. Correlation between nasal mucociliary clearance time and gastroesophageal reflux disease: our experience on 50 patient. Auris Nasus Larynx. 2009;36:157-61. 21. Cassano M, Maselli A, Mora F, Cassano P. Rhinobronchial Syndrome: Pathogenesis and correlatin with allergic rhinitis and children. International journal of
Universitas Indonesia | 13
pediatric otorhinolaryngology. 2008;72:1053-8. 22. Habermann W, Schmid C, Neumann K, Devaney T, Hammer HF. Reflux symptom index and reflux finding score in otolaryngologic practice. Journal of voice : official journal of the Voice Foundation. 2012;26(3):e123-7. Epub 2011/04/12. 23. Labenz J. Facts and fantasies in extra-oesophageal symptoms in GORD. Best practice & research Clinical gastroenterology. 2010;24(6):893-904. Epub 2010/12/04.
24. Irawati N, Kasakeyen E, Rusmono N. Rinitis Alergi. In: Arsyad E, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, editors. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. 6 ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2008. p. 128-33. 25. Wener RRL, Bel eH. Severe refractory asthma: an update. The European respiratory journal. 2013;22:227-35. 26. Hawkshaw MJ, Pebdani P, Sataloff RT. Reflux Laryngitis. Journal of Voice. 2013;27:486-94.
Universitas Indonesia | 14