Aquatic Science & Management, Edisi Khusus 1, 10-16 (Mei 2013) Pascasarjana, Universitas Sam Ratulangi http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/jasm/index
ISSN 2337-4403 e-ISSN 2337-5000 jasm-pn00017
Determination of core zone of marine sanctuary in Bahoi Village, North Minahasa Regency Penentuan zona inti daerah perlindungan laut di Desa Bahoi, Kabupaten Minahasa Utara Sonny Tasidjawa1*, Stephanus V. Mandagi2, and Ridwan Lasabuda2 1
Program Magister Ilmu Perairan, Pascasarjana, Universitas Sam Ratulangi. Jl. Kampus Unsrat Bahu, Manado 95115 2 Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Sam Ratulangi, Manado. E-mail:
[email protected]
Abstract: Bahoi village is located in West Likupang District of North Minahasa Regency. It is one of the villages that is included in the conservation network of North Sulawesi Province. A marine sanctuary has been established in this village in 2003 and it has been managed by local community, known as community-based marine sanctuary management, since then, this sanctuary has been in operation. As a small community-based marine protected area with lots of users, it requires an appropriate method to determine the Core Zone that allows an effective preservation of the marine biota. This is the driving factor of this study. The purpose of this study is to examine the processes and output of determining the core zone of a Marine Sanctuary using a conventional method and Marxan Method. The conventional method is a simple method in determining a core zone such as using manta tow technique. While Marxan, it only requires input of data such as spatial and figures to generate information for determining the core zone. After comparing the processes of these two methods in the study site, it was found that Marxan method was more effective and more accurate with lower costs than the conventional one. In addition, the final decision of the core zone depended on the outcome of the village meetings when the conventional method was applied. This long process could be avoided when Marxan method was used. Therefore, it is highly recommended to use Marxan in determining core zones© Keywords: : Marxan; marine conservation area; spatial analysis; Bahoi; North Minahasa Regency. Abstrak: Desa Bahoi terletak di Kecamatan Likupang Barat Kabupaten Minahasa Utara. Desa ini merupakan salah satu desa yang masuk dalam jejaringan kawasan konservasi di Provinsi Sulawesi Utara. Sebuah Daerah Perlindungan Laut telah didirikan di desa ini pada tahun 2003 dan dikelolah oleh masyarakat setempat, yang dikenal sebagai pengelolaan Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat, sejak saat itu Daerah Perlindungan Laut ini telah beroperasi. Sebagai Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat yang kecil namun memiliki banyak pengguna, diperlukan metode tepat yang akan menentukan Zona Inti yang memungkinkan pelestarian biota laut menjadi sangat efektif. Ini adalah faktor pendorong dari penelitian. Selanjutnya, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji proses dan hasil penentuan zona inti Daerah Perlindungan Laut dengan menggunakan metode konvensional seperti survei manta tow dan marxan. Metode konvensional adalah metode sederhana dalam menentukan zona inti seperti teknik manta tow. Sedangkan marxan, hanya perlu memasukan data seperti spasial dan angka untuk menghasilkan informasi penentuan zona inti. Setelah membandingkan proses dari dua metode di lokasi penelitian, ditemukan bahwa metode marxan jauh lebih baik dari pada metode konvensional, karena lebih efektif, lebih akurat dengan biaya yang lebih rendah. Selain itu, keputusan akhir dari zona inti tergantung pada hasil rapat desa ketika metode konvensional diterapkan, proses panjang ini dapat dihindari jika metode marxan digunakan© Kata-kata kunci: Marxan; kawasan konservasi laut; analisis spasial; Bahoi; Kabupaten Minahasa Utara.
tersebut dimanfaatkan oleh masyarakat baik sebagai permukiman maupun untuk kegiatan perikanan (Anonimous, 2002). Kabupaten Minahasa Utara memiliki tujuh belas Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat (DPL-BM) dan sebagian wilayahnya masuk dalam Kawasan Taman Nasional Bunaken (Anonimous, 2003). Jumlah wilayah
PENDAHULUAN Kondisi kawasan konservasi laut di Provinsi Sulawesi Utara banyak yang mempunyai habitat penting seperti terumbu karang, seagrass dan mangrove. Saat ini hampir semua habitat penting 10
Tasidjawa et al.: Determination of core zone of marine sanctuary in Bahoi Village,…
konservasi yang luas membutuhkan suatu metode yang memiliki keakuratan tinggi dan efisien untuk penentuan zona inti (Wilson et al., 2009). Kawasan ini akan bertambah luas karena adanya rancana strategi pemerintah pusat untuk memperluas target pencapaian kawasan konservasi di Indonesia menjadi 1,2 juta Ha pada Tahun 2012, 1,7 juta Ha pada Tahun 2013 dan 2 juta Ha pada Tahun 2014 (Anonimous, 2012). Desa Bahoi yang terdapat di Kecamatan Likupang Barat, Kabupaten Minahasa Utara, Provinsi Sulawesi Utara merupakan salah satu desa yang masuk dalam jejaring kawasan konservasi dan mempunyai pengelolaan DPL-BM (pengelolaan secara konvensional) yang masih aktif hingga saat ini. Desa Bahoi mempunyai luas wilayah 250 Ha dan sebagian besar masyarakatnya adalah nelayan. Sebagian besar masyarakat Desa Bahoi menggunakan perairan pesisir untuk mencari ikan, sebagian lagi menjalankan usaha budidaya ikan kerapu, transportasi laut dan wisata bahari (CRMP, 2005).
Tingginya pemanfaatan perairan pesisir oleh masyarakat Desa Bahoi dapat mempengaruhi keanekaragaman hayati (biodiversity) dan sumberdaya ekosistem, terutama tempat memijah dan mencari makan ikan. Disamping itu perairan desa tersebut juga belum mempunyai pengaturan ruang perairan yang optimal, sehingga menyebabkan adanya konflik dan tumpang tindih pemanfaatan ruang oleh penggunanya. Akibat lain diantaranya adalah terpengaruhnya ekonomi masyarakat nelayan desa tersebut yang selama ini sangat bergantung pada keberadaan sumberdaya pesisir dan laut di sekitar mereka. Untuk memaksimalkan pengelolaan DPL-BM yang sudah ada perlu dilakukan kajian terhadap rencana pengelolaan (management plan) khususnya dalam penentuan zona inti. Penetapan zona inti adalah bagian yang paling penting dalam managemen plan (Anonimous, 2006). Adapun tujuan penelitian ini adalah mengkaji proses penentuan zona inti dengan metode konvensional dan marxan pada DPL Desa Bahoi.
Tabel 1. Perbedaan metode konvensional dan marxan Metode konvensional Pengumpulan data dengan metode sederhana (manta tow) Penentuan lokasi zona inti dengan musyawarah atau rapat desa Hasil keputusan penentuan zona inti berdasarkan kebutuhan masyarakat dengan pertimbangan hasil survei manta tow Penerapan metode ini hanya pada wilayah yang kecil (desa) Mudah disosialisasikan ke masyarakat
Metode marxan Pengumpulan data berupa data ekologi, sosial yang di jadikan data spasial Penentuan lokasi zona inti dengan perhitungan marxan
Tidak mengharuskan menggunakan perangkat computer dan menggunakan program standar (office)
Menggunakan perangkat computer dan program khusus
Tidak memerlukan keahlian yang advands (mahir) dalam membuat zonasi Pengolahan datanya menggunakan program standar (office) Data input berdasarkan data ekologi (karang, ikan, mangrove, seagrass)
Memerlukan keahlian khusus terutama pada bidang spasial Pengolahan datanya menggunakan software Arc Gis 9,3 Arc View 3,3 3,2 dan ER Mapper 07 Data input berdasarkan data ekologi (karang, ikan, mangrove, seagrass dan habitat penting lainnya yang akan dilindumgi) dan data sosial, pemanfaatan lahan perairan dalam bentuk tabular dan spasial
Tidak mempunyai sistem pembobotan pada data Daerah kajian berdasarkan sebaran habitat ekologi
Terdapat sistem pembobotan pada data Daerah kajian yang jelas (luas dan batas)
Menganalisis bagian wilayah berdasarkan panjang meter atau kuadran
Mempunyai satuan perencanaan unit dalam menganalisis setiap bagian areal yang akan di lindumgi
Hasil keputusan berdasarkan database dan di sajikan dalam bentuk skenario zona inti Penerapan metode ini bisa dilakukan pada wilayah kecil sampai besar (Benua) Tidak mudah menjelaskan langsung ke masyarakat
11
Aquatic Science & Management, Edisi Khusus 1 (Mei 2013)
maka heksagon tersebut beratribut present sebaliknya jika satu herksagon tidak bertupang tindih dengan fitur konservasi maka disebut absen (Smith, 2007). Demikian juga dengan pemasukkan data fitur pemanfaatan (cost) ke dalam satuan perencanaan. Data fitur cost tersebut harus dalam format shp untuk perhitungan spasial di marxan (Possingham et al., 2000). Penentuan zona inti dalam penelitian ini didapatkan dengan menggunakan algoritma simmulated annealing, dimana nilai hasil perhitungan yang memiliki nilai lebih rendah merupakan solusi yang lebih baik (Ball dan Possingham, 2000). Demikian juga dengan konsistensi hasil proses penentuan zona inti, metode marxan mengeluarkan keputusan dengan berbagai skenario yang didasarkan pada pertimbangan ilmiah, sedangkan metode konvensional tergantung dari rapat desa yang hasil keputusannya tergantung kepada pertimbangan kebutuhan desa. Daftar perbedaan hasil dari kedua metode tersebut dapat pada Tabel 1.
MATERIAL DAN METODE Penelitian ini memiliki data primer dan sekunder, data primer terdiri dari dua jenis yaitu data hasil diskusi atau wawancara kelompok dengan menggunakan metode Focus Group Disscusion (FGD), dan data survei karang dengan menggunakan metode Point Intercept Transect (PIT). Sedangkan data sekunder yaitu data hasil survei karang yang dilakukan oleh masyarakat dengan menggunakan metode manta tow. Metode konvensional Kajian tentang penentuan zona inti di Desa Bahoi ini dilakukan selama dua bulan (JanuariFebruari 2013). Untuk memperoleh informasi tentang pembuatan DPL-BM atau metode konvensional telah dilakukan FGD. Metode FGD terhadap 22 responden di Desa Bahoi (Kelompok pengelola DPL-BM = 10 orang, Pemerintah Desa = 5 orang, mantan karyawan proyek pesisir = 3 orang, tokoh masyarakat = 4 orang,). Metode Marxan Marxan (marine reserve design using spatially explicit anealling) dikembangkan sebagai sebuah produk pengembangan Spexan untuk memenuhi kebutuhan Great Barrier Reef Marine Park Authority (Ball dan Possingham, 2004). Pengumpulan data spasial merupakan komponen kunci dalam proses menjalankan marxan. Data spasial yang dikumpulkan berupa data fitur habitat penting dan pemanfaatannya, sedangkan untuk data tabular dikumpulkan lewat data tabel atau informasi terkait dari data spasial yang diambil. Pengumpulan data spasial ini dilakukan dengan menggunakan Citra Lansat 07, Google Earth, data Vector, peta dan posisi koordinat lokasi pengamnbilan data. Pengecekan data spasial tersebut perlu dilakukan sebagai tahap lanjutan dari proses pengumpulan data dan verifikasi terhadap data yang sudah ada (Barmawi dan Darmawan, 2007) Dengan metode marxan perlu ditentukan suatu daerah kajian (area of interest) dan perlu dibuat satuan unit perencanaan (planning unit). Satuan unit perencanaan merupakan luasan terkecil suatu daerah yang digunakan untuk satuan analisis (Watts et al., 2008 dan Watts et al., 2009). Kemudian data fitur konservasi dalam format shp dimasukan kedalam satuan perencanaan. Metode yang digunakan dalam proses ini adalah present atau absent, artinya, jika suatu heksagon bertumpang tindih dengan suatu fitur konservasi
Metode point intercept transect Pengambilan data karang dilakukan dengan menggunakan metode Point Intercept Transect (PIT). Data tersebut digunakan untuk melihat keakuratan dan keefektifan lokasi seleksi untuk
Gambar 1. Peta sebaran persentasi tutupan karang di Desa Bahoi
12
Tasidjawa et al.: Determination of core zone of marine sanctuary in Bahoi Village,… Tabel 2. Komposisi fitur konservasi dan skor di Desa Bahoi
metoda konvensional dan marxan. Pengambilan data dimulai dari peletakan meteran di lokasi yang sudah di tentukan, kemudian titik variabel substrat seperti karang keras, karang lunak, karang mati, alga) dicatat setiap 50 cm, pada setiap transek sepanjang 50 m. jumlah transek pada setiap lokasi pengambilan data sebanyak 3 transek dengan interval antar transek sepanjang 5 meter. untuk 3 transek yang berbeda (Manuputty dan Djuwariah, 2009).
konvensional, ditemukan langkah-langkah penentuan zona inti sebagai berikut; a. Survei ekologi. Pengumpulan data tutupan persentasi karang dengan metode manta tow untuk mendapatkan calon lokasi zona inti. b. Sosialisasi secara terus menerus terhadap calon zona inti didasarkan hasil survei manta tow dan tambahan pengetahuan tentang perlindungan ekosistem secara optimal. c. Pembentukan kelompok pengelola dan pengembangan kapasitas masyarakat. d. Pemetaan lokasi yang potensial untuk dilindungi atau di jadikan lokasi zona inti e. Konsultasi kembali dengan masyarakat desa. f. Penetapan DPL-BM lewat peraturan desa g. Pelaksanaan program kerja pengelolaan DPLBM (lokasi konvensional). Hasil survei karang dengan metode manta tow
HASIL DAN PEMBAHASAN Proses penentuan zona inti dengan cara konvensional Berdasarkan hasil diskusi dengan masyarakat dan para pihak terkait pengelolaan lokasi
Gambar 2. Peta zona inti hasil perhitungan marxan
13
Aquatic Science & Management, Edisi Khusus 1 (Mei 2013)
23.3 Ha dengan luas zona intin hasil metode marxan sebesar 3.5 Ha, seperti yang diperlihatkan pada Gambar 2. Hasil survei memperlihatkan lokasi konvensional jaraknya lebih dekat ke arah Desa, dengan luas total wilayah sebesar 8 Ha, dengan jumlah karang keras sebanyak 186 karang keras, 11 Genera karang keras dan 6 Family karang keras. Sedangkan lokasi hasil seleksi metode marxan yang di tandai dengan garis berbentuk sebuah bidang area berwarna merah di samping area konvensional bergaris kotak persegi panjang (Gambar 2), yang mempunyai luas area sebesar 3.5 Ha dari total luasan habitat terumbu karang, jumlah karang keras sebanyak 219 karang keras dengan jumlah genera sebanyak 15 genera dan 8 famili. Lokasi hasil seleksi metode marxan juga menunjukan biomassa ikan Serranidae dan Labridae lebih tinggi di bandingkan dengan lokasi konvensional dan lokasi seleksi metode marxan merupakan area feeding ground dugong dan jalur penyu ke darat untuk bertelur. Hasil survei tersebut memperlihatkan keakuratan penentuan zona inti yang dilakukan oleh metode marxan; dari segi ekologi, dalam hal ini terumbu karang di lokasi seleksi jumlah karang kerasnya lebih tinggi 33 karang keras demikian juga dengan jumlah genere, lebih banyak 4 genera dan 2 family, lokasi tersebut juga tingkat pemanfaatannya lebih rendah di bandingkan dengan lokasi konvensional. Di bawah ini merupakan data karang di lokasi penentuan zona inti dengan metode konvensional dan marxan (Tabel 4). Lokasi konvensional merupakan lokasi penyelaman dan jalur perahu nelayan, juga berdekatan dengan lokasi budidaya masyarakat yang dampak dari kegiatan perikanan tersebut ke lokasi konvensional besar di bandingkan dengan lokasi seleksi metode marxan.. Dari segi efisiensi, lokasi seleksi metode marxan hanya 10% dari total habitat dengan biaya pengelolaan yang relative kecil, jarak lokasi ke desa juga dekat sehingga mudah di lakukan pemantauan dari darat. Terdapat banyak perbedaan diantara kedua metode tersebut, penentuan zona inti dengan metode marxan, sudah melewati proses kajian dan survei yang mendalam dalam hal pertimbangan ekologi dan sosial dengan cakupan data dan area mulai dari yang kecil (desa) sampai ke daerah yang luas (benua) sedangkan metode konvensional kajiannya hanya terbatas pada area yang kecil (desa).
Tabel 3. Komposisi fitur Cost dan skor di Desa Bahoi No 1 2 3 4 5 6
Fitur Cost Pemukiman Lokasi Penyelaman Lokasi Memancing Lokasi Budidayan Ekowisata Dermaga
Sumber Data Survei 2010 Survei 2011 Survei 2012 Survei 2012 Survei 2012 Survei 2012
Bobot 5 3 3 4 3 5
memperlihatkan bahwa persentase tutupan karang yang lebih besar 40-50% berada pada titik towing ke 4, 6, 8, 9 dan 10. Sebaran titik pengambilan data karang diwakili dengan simbol lingkaran, dimana semakin besar lingkaran di peta menandakan semakin besar tutupan karang yang ditemukan, Sehingga potensi daerah yang bisa mewakili untuk dijadikan zona inti berada pada 5 titik towing. Untuk detailnya dapat dilihat pada Gambar 1. Penentuan zona inti dengan menggunakan metode marxan Hasil survei tentang fitur konservasi ditemukan 6 habitat penting yaitu terumbu karang, Biomassa Serranidae, Balistidae, Labridae, lokasi Dugong, Lokasi Penyu rencananya akan dilindungi. Bobot tertinggi merupakan bobot yang diprioritaskan untuk dilindungi seperti yang diperlihatkan oleh Tabel 2. Hasil survei tentang fitur cost ditemukan 6 kegiatan pemanfaatan di perairan Desa Bahoi yaitu pemukiman, lokasi penyelaman, lokasi memancing, lokasi bididaya, ekowisata dan dermaga. Bobot tertinggi merupakan yang paling tinggi dampak negatifnya terhadap habitat konservasi yang akan dilindungi dan dampak terhadap biaya pengelolaan suatu daerah perlindungan laut. Untuk lengkapnya dapat dilihat pada Tabel 3. Planing unit di desa bahoi digunakan nilai 500 pada generate hexagon untuk luasan 500 m2 per unit heksagon dan total hexagon yang di luasan perairan tersebut sebanyak 506 hexagon. Setelah melalui proses perhitungan, metode marxan mengeluarkan hasil akhirnya. Daerah yang terseleksi di tandai dengan garis merah yang membentuk sebuah bidang areal. Persentase daerah zona inti tersebut telah memenuhi syarat pembentukan sebuah zona inti. Pameroy at al. (2004) dan Roberts dan Hawkins (2000) menyatakan bahwa sebuah wilayah konservasi dapat dibentuk dengan wilayah 10-40% dari total areal. Luas wilayah terumbu karang di Desa Bahoi
14
Tasidjawa et al.: Determination of core zone of marine sanctuary in Bahoi Village,…
marine sanctuaries. Final report (October 1999-April 2003) submitted to the David and Lucile Pacard foundation. ANONYMOUS (2006) Daerah perlindungan laut berbasis masyarakat. Buku Panduan. Volume 2. Jakarta: PT. Bina marina nusantara. ANONYMOUS (2012) Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan (KKJI). http://www.kp3k.kkp.go.id/webbaru/conten t/show/kkji [Accessed 24 December 2012]. BALL, I.R. and POSSINGHAM. H.P. (2004) Marxan reserve system tool http://www.eocology.uq.edu.au/marxan.htm [Accessed 24 February 2013]. BOHNSACK, J.A., AULT, J.S. and CAUSEY, B. (2004) Why have no-take marine protected areas? In American fisheries society. Proceeding American fisheries society symposium, 42, pp. 185-193. BERMAWI, M. dan DARMAWAN, A. (2007) Marxan (v1.8.2) dengan arcview 3.3 dan CLUZ untuk perencanaan jejaring kawasan perlindungan laut. Modul -4. Tutorial. CRMP (2005) Survei potensi wisata berbasis masyarakat. Likupang. MANUPUTTY, A.E.W. and DJUWARIAH. (2009) Method guide Point Intercept Transect (PIT) for community Baseline study and coral health at marine no take zone area. Jakarta: Coral reef rehabilitation and management program. Indonesia institute of sciences COREMAP II-LIPI. MEERMAN, J.C. (2005) NPASP – Protected areas system assessment & analysis: marxan analysis. Report to the protected areas systems plan office (PASPO), pp. 1-10. POMEROY, R.S., PARKS, J.E. and WATSON, L. M. (2004) How is your MPA doing? : a guidebook of natural and social indicator for evaluating marine protected area management effectiveness. IUCN. Gland. Switzerland and Cambridge., UK. POSSINGHAM, H., BALL, I. and ANDELMAN, S. (2000) Chapter 17 Mathematical methods for identifying representative reserve networks: Quantitative methods for conservation biology. Ferson, S. and Burgman, M. (eds). New York: SpringerVerlag, New York, pp. 291-305. ROBERTS, C.M. and HAWKINS, J.P. (2000) Fully-protected marine reserves. a guide. WWF endangered seas campaign, 1250 24thstreet, NW, Washington, DC 20037, USA
Tabel 4. Distribusi genera karang keras di lokasi areal konvensional dan marxan
Lokasi Marxan No Genera N 1 Acropora 2 Coeloseris 3 Favia 4 Favites 5 Galaxea 6 Goniopora 7 Millepora 8 Montipora 9 Pavona 10 Platygyra 11 Pocillopora 12 Porites 13 Porites 14 Stylophora 15 Symphyllia Total
Lokasi konvensional Genera N 42 Acropora 133 1 Anacropora 4 3 Coeloseris 1 2 Favia 4 5 Favites 2 5 Goniopora 3 2 Millepora 3 1 Montipora 3 5 Platygyra 5 5 Porites 21 2 Turbinaria 7 134 2 9 1 219 186
KESIMPULAN Penentuan zona inti di Desa Bahoi dengan menggunakan Metoda Marxan jauh lebih baik daripada metode konvensional, karena lebih efektif, lebih akurat dan berbiaya lebih rendah dibandingkan dengan metode konvensional.
Ucapan terima kasih. Penelitian ini terlaksana berkat dukungan dari WCS Manado untuk bantuan data citra dan peralatan pengambilan data lapangan, masyarakat Desa Bahoi (Hukum Tua, Ketua DPL, Ketua Ekowisata) untuk dukungan pengambilan data lapangan dan anonimous editor, kepada mereka semua disampaikan terima kasih.
REFERENSI ANONYMOUS (2002) Atlas Sumberdaya Wilayah Pesisir Minahasa, Manado, Bitung. Manado: Proyek Pesisir (USAID Indonesia, Coastal Resources Management Project). ANONYMOUS (2003) Fostering marine conservation in Indonesia: Developing capacity to implement community-based 15
Aquatic Science & Management, Edisi Khusus 1 (Mei 2013)
and environment department, University of York, Y010 5DD, UK. SMITH, B. (2007) Conservation assessments using cluz and marxan: Mosaic conservationtwelve steps to conservation planning using cluz and marxan. http://www.mosaic-conservation.org/cluz/steps.html Hal 1-3. [Accessed 24 December 2012]. WATTS, M.E.C., STEINBACK, and E.C. KLEIN. (2008) Applying marxan with zones. User guide. University of Queensland and Ecotrust.
WATTS, M.E. at al. (2009) Marxan with zones: software for optimal conservation based land- and sea-use zoning. Environmental modeling &software. Doi:10.1016/j.envsoft. 2009.06.005. WILSON R.J., DARMAWAN,A. and SUBIJANTO, J. (2009) Rancangan ilmiah jejaring kawasan konservasi laut yang tangguh di ekoregion Sunda Kecil. Laporan akhir. Bali: Laporan TNC Indonesia marine program No. 2B/09. Diterima: 22 April 2013 Disetujui: 29 April 2013
16