DEKOLORISASI METHYL ORANGE OLEH LACTOBACILLUS ACIDOPHILUS DALAM KOLOM UNGGUN TETAP DECOLORIZATION OF METHYL ORANGE BY LACTOBACILLUS ACIDOPHILUS IN FIXED BED COLUMN Kartika Rahmayani Djauhari (1), M. Natsir Djide (2), dan Tri Harianto (3) 1 Makasiswa Program Studi Teknik Lingkungan Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin Makassar 90915 2 Dosen Jurusan Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin, Makassar 90915 3 Dosen Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin, Makassar 90915 Email :
[email protected] ABSTRAK : Pada proses produksi industri komersial seperti tekstil, kertas, plastik, kulit, dan farmasi menggunakan zat warna sintetik yang dapat menghasilkan limbah warna yang berbahaya jika tidak diolah lebih lanjut. Zat warna sintetik tersebut bersifat rekalsitran, xenobiotik, toksik, mutagenik, dan karsinogenik terutama pada organisme perairan. Dekolorisasi secara biosorpsi merupakan metode pengolahan limbah warna yang menjanjikan karena murah, efisien, dan ramah lingkungan. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui kemampuan bakteri dalam biosorpsi methyl orange dalam kolom unggun tetap dengan dikaji menggunakan parameter kurva breakthrough dan model prediksi BDST. Methyl orange dialirkan secara kontinu dari atas ke bawah dengan konsentrasi awal 0,59 mg/L dan debit aliran 1,4 ml/menit melewati L. acidophilus yang terimobilisasi dengan alginat dalam kolom unggun tetap sepanjang 30 cm dengan divariasikan tinggi bed secara berturut β turut yaitu 5, 10, dan 15 cm, pada pH 6 dan suhu ruangan. Kurva breakthrough yang diperoleh semakin landai seiring dengan kenaikan tinggi bed. Hasil efisiensi penyerapan dan kapasitas biosorpsi yang maksimal secara berturut β turut yaitu sebesar 29, 97 % dan 0,224 x 10 -5 mg/g terdapat pada tinggi bed 15 cm. Nilai koefisien korelasi yang diperoleh yaitu R2 > 0,9 yang menunjukkan model BDST dapat digunakan untuk memprediksi performa biosorben. Semakin meningkat tinggi bed maka semakin landai kurva breakthrough dan meningkat efisiensi penyerapan serta kapasitas biosorpsi. Kata kunci :, biosorpsi, Lactobacillus acidophilus, kolom unggun tetap, kurva breakthrough, model BDST
ABSTRACT : On the production process of commercial industries such as textile, paper, plastic, leather, and pharmaceutical were used synthetic dyes which can form hazardous colored wastewater if not treated further. In addition, synthetic dyes were recalcitrant, xenobiotic, toxic, mutagenic, and carcinogen especially for equatic life. Decolorization by biosorption technique was a promising alternative method for removal dye from wastewaters due to cheap, efficient, and eco-friendly. The aim of research was to explore the feasibility of Lactobacillus acidophilus for methyl orange decolorization by biosorption technique onto fixed bed column through breakthrough curve parameters and Bed Depth Service Time (BDST) model analysis. Methyl orange flowed continuously with down-flow system, constant initial dye concentration of 0,59 mg/L and flow rate of 1,4 ml/min through immobilized Lactobacillus acidophilus with alginat which was conducted in a glass column with a height of 30 cm at varied bed heights of 5 cm, 10 cm, and 15 cm, pH 6 and room temperature. The slope of breakthough curves decreased with increasing bed heights. The results showed that the maximal biosorption efficiency and biosorption capacity were 29,97 % and 0,224 x 10-5 mg/g respectively at bed depth of 15 cm. The results fitted well to the BDST model with coefficients of correlation R2 > 0.9. As the bed height increased, the slope of breakthrough curves decreased, the biosorption efficiency and the capacity biosorption increased. Keywords : biosorption, Lactobacillus acidophilus, fixed bed column, breakthrough curves, BDST model
NOTASI Z : tinggi unggun (cm) qtot : massa adsorbat yang terserap (mg) mtot : massa ion yang terserap (mg) qeq : kapasitas biosorpsi (mg/g) R% : efisiensi biosorpsi (%) MTZ : zona transfer massa (cm) EBCT : waktu kontak antara adsorbat dan biosorben (menit) N0 : kapasitas adsorpsi (mg/g) Ka : koefisien kecepatan linear (L/mg/menit) F : kecepatan linear (cm/menit) Q : debit aliran (ml/menit) Z0 : tinggi minimum unggun (cm) t0,1 : waktu 10% breakthrough (menit) t0,9 = waktu 90% breakthrough (menit) ts = waktu operasi (menit)
PENDAHULUAN Industri tekstil dengan kontribusi besarnya dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadikannya sebagai salah satu sektor manufaktur yang penting di Indonesia. Dalam proses produksi, industri tekstil menggunakan zat warna sintetik karena lebih murah, lebih praktis, tidak mudah luntur, dan warnanya lebih bervariasi dibandingkan zat warna alami (Aksu et al., 2007 ; Kumar dan Sumangala, 2012). Namun proses tersebut menghasilkan limbah warna yang berbahaya jika tidak dilakukan pengolahan terlebih dahulu. Limbah warna adalah indikator yang jelas dari pencemaran air dan tidak menyenangkan dari segi estetika serta menyebabkan kerusakan besar pada organisme perairan (Tripathi dan Srivastava, 2011 ; Koupaie et al., 2013). Tidak hanya pada produksi tekstil, zat warna sintetik juga digunakan pada industri komersial seperti pada pabrik kertas, plastik, kulit, makanan, kosmetik, dan farmasi (Aksu et al., 2007 ; Komala et al., 2008 ; Singh et al., 2012 ; Dave et al., 2015). Di antara semua jenis zat warna sintetik, zat warna azo merupakan zat warna serbaguna dengan satu atau lebih gugus (N = N-) yang membentuk sekitar >50 % zat warna sintetik (Singh et al., 2012 ; Koupaie et al., 2013 ; Dave et al., 2015). Methyl orange adalah salah satu jenis zat warna azo yang paling banyak digunakan (Fan et al., 2009 ; Tantiwa et al., 2013).
Zat warna azo dengan struktur kompleks aromatik menjadikannya bersifat rekalsitran dan stabil sehingga sulit untuk dibiodegradasi dan xenobiotik di alam (Stolz, 2001 ; Singh et al., 2012). Selain itu zat warna azo memiliki sifat yang toksik, mutagenik, Teknik pengolahan untuk limbah warna masih menggunakan metode fisika atau kimia yang diantaranya adalah ozonasi, foto oksidasi, elektrokoagulasi, adsorpsi, karbon aktif, froth flotation, reverse osmosis, pertukaran ion, membran filtrasi, dan flokulasi. Metode fisikakimia tersebut membutuhkan biaya yang mahal dan masih berpotensi menghasilkan lumpur (Padmesh et al., 2005 ; Singh et al., 2012). Oleh karena itu pendekatan secara biologi dijadikan teknologi alternatif dalam dekolorisasi zat warna karena bersifat ramah lingkungan dan murah (Chakraborty et al., 2012 ; Hazirah, 2014 ; Dave et al., 2015 ; Sing et al., 2015). Metode biologi seperti biosorpsi, bioakumulasi, dan biodegradasi telah dibuktikan memiliki potensial dalam penghilangan zat warna (dekolorisasi) pada limbah warna (Padmesh et al., 2005). Namun di antara ketiga metode tersebut, biosorpsi yang menggunakan bakteri, fungi ataupun mikroalga dinilai lebih bermanfaat untuk pengolahan limbah warna karena pada prosesnya menggunakan organisme yang mati / inaktif, tidak memerlukan suplai nutrien secara kontinu dan dapat diregenerasi seta digunakan berulang kali (Padmesh et al., 2005 ; Chakraborty et al., 2012). Masih sedikit studi tentang biosorpsi oleh bakteri dalam penghilangan zat warna yaitu pada bakteri Bacillus amyloliquefaciens oleh Yenikaya et al. (2010), Corynebacterium glutamicum oleh Won et al. (2006) dan Vijayaraghavan et al. (2008), Streptomyces rimosus oleh Nacera dan Aicha (2006), Paenibacillus macerans oleh Colak et al. (2009), Pseudomonas sp. oleh Du et al. (2012). Bagaimanapun mikroorganisme tersebut banyak digunakan pada industri makanan/farmasi dan dihasilkan sebagai limbah sehingga dapat diperoleh dengan mudah dan murah (Vijayaraghavan et al., 2008). Sama halnya dengan bakteri Lactobacillus acidohilus yang dijadikan biosorben pada penelitian ini, bakteri tersebut dapat diperoleh
pada hasil efluen pengolahan makanan fermentasi seperti yogurt ataupun susu. Namun untuk studi biosorpsi oleh Lactobacillus sp. yang ada masih dilakukan untuk penghilangan logam seperti pada studi biosorpsi Ag+ oleh Lin et al. (2005) dan Al+3 dan Cd+2 oleh Berecka et al. (2014). Penelitian yang terkait sebelumnya masih menggunakan metode batch yang kurang efisien dibandingkan dengan metode kolom. Metode batch tidak praktis bila diterapkan pada proses industri (Suhendrayatna, 2001 ; Adak et al., 2006 ; Aksu et al., 2007 ; Han et al., 2007). Dalam metode kolom diperlukan bakteri inaktif atau non-living yang dinilai lebih unggul dibandingkan dengan bakteri hidup karena tidak mudah terkontaminasi dan tidak memerlukan nutrisi yang memadai (Fu dan Viraraghavan, 2003 ; Padmesh et al., 2005). Dengan metode kolom, dapat diperoleh kurva jenuh/ breakthrough untuk diketahui besar efisiensi penyerapan atau kapasitas adsorpsi dan dapat diprediksikan dengan beberapa model prediksi namun untuk penelitian ini hanya menggunakan model prediksi BDST yang diperlukan dalam perencanaan kolom unggun tetap skala pilot. Oleh karena itu dalam tugas akhir ini, penulis menggunakan bakteri L. acidophilus inaktif dalam kolom unggun tetap untuk biosorpsi zat warna azo (Methyl Orange). Tujuan dari penelitian ini yaitu Menganalisis kemampuan biosorpsi methyl orange oleh bakteri Lactobacillus acidophilus dan menganalisis pengaruh tinggi unggun / media dalam proses biosorpsi methyl orange dengan imobilisasi bakteri Lactobacillus acidophilus pada kolom unggun tetap. TEORI DASAR Dekolorisasi Dekolorisasi diartikan sebagai penghilang warna (Koneman, 1994 dalam Firdaus, 2011). Dekolorisasi dengan metode biologi dapat dilakukan dengan tiga mekanisme yaitu biosorpsi, biodegradasi, dan bioakumulasi. Untuk sistem kolom khususnya fixed-bed, biasanya digunakan metode biosorpsi yang dinilai lebih bermanfaat untuk pengolahan air karena pada prosesnya, biomassa yang mati
tidak dipengaruhi oleh limbah yang beracun, tidak memerlukan lagi nutrisi yang kontinyu dan dapat diregenerasi dan digunakan kembali (Vieira dan Volesky, 2000 dalam Padmesh, et al., 2005).
Kurva Breakthrough Kurva breakthrough merupakan kurva yang biasanya digambarkan dengan fraksi konsentrasi terhadap waktu, yang menunjukkan profil mekanisme perpindahan massa yang dapat diramalkan dan digunakan dalam perhitungan untuk fluida yang keluar dari bed. Biasanya kurva ini dipakai di dalam industri khususnya untuk menentukan kapan resin harus diganti untuk diregenerasi kembali (Treyball, 1993 dalam Rita, dkk ). Untuk menentukan nilai parameter kinetik pada kolom unggun tetap, perlu dianalisa persamaan β persamaan berikut ini: ππππ = π Γ π‘π (1) π.π΄
π
π‘=π‘
ππ‘ππ‘ππ = 1000 = 1000 β«π‘=0 π πΆππ ππ‘
(2)
ππ‘ππ‘ππ =
(3)
πΆ0 .π.π‘π
1000 ππ‘ππ‘ππ
%π
= π
π‘ππ‘ππ
πππ = ππ΅ =
Γ 100
(4)
ππ‘ππ‘ππ π
(5)
π
(6)
π
πΈπ΅πΆπ =
ππππ’ππ πππ (ππ΅) ππππ€ πππ‘π (π)
(7)
Model BDST Model BDST merupakan salah satu model untuk menganalisa kurva breakthrough yang memprediksi hubungan antara tinggi bed (Z) dan waktu operasi (t) dalam kaitannya dengan proses dan parameter biosorpsinya (Zulfadhly et al 2001 dalam Rao et al, 2015). Persamaan yang dihasilkan dari model ini adalah hasil modifikasi persamaan Adam dan Bohart oleh Hutchins sehingga menjadi persamaan sebagai berikut: π π 1 πΆ π‘π = πΆ0πΉ β πΎ πΆ ln (πΆ0 β 1) (8) 0
π 0
π
Dari persamaan linear di atas akan diperoleh nilai Ka dan N0 dari plot tinggi bed (Z) terhadap waktu (t) (Rao et al., 2015).
Dengan mengetahui nilai kapasitas biosorpsi dan kecepatan biosorpsi, dapat diperoleh parameter BDST lainnya sepeti nilai tinggi bed kritis (Z0) yang dikalkulasikan dengan aturan t = 0 dan Ct = Cb, sehingga menjadikan persamaannya sebagai berikut: πΉ πΆ π0 = πΎ π ln (πΆ0 β 1) (9) π
0
cm yang menghasilkan massa sebanyak 3,44 gram, 7,59 gram, dan 11,06 gram. Tiap interval waktu 10 menit, sampel diambil dan dianalisis absorbansinya menggunakan spektrofotometer UV-Vis. HASIL DAN PEMBAHASAN
π
METODOLOGI PENELITIAN Bahan Bahan β bahan yang dipergunakan adalah strain bakteri Lactobacillus acidophilus medium MRS Broth, Methyl Orange 0,6 ppm, CaCl2 5% (b/v), Sodium alginat 2 % (b/v). Persiapan Biomassa Setelah diinokulasi pada medium Broth sebagai kultur kerja, bakteri tersebut disimpan dalam inkubator selama 48 jam dengan suhu 37Β°C. kemudian bakteri disentrifugasi 3000 Β£g pada suhu 4β°C selama 15 menit sesampai diperoleh suspense biomassa basah. Kemudian suspense tersebut dikeringkan menggunakan freeze drier selama 12 jam. Imobilisasi Biomassa Pada imobilisasi sel dengan metode jebakan, biakan sel sebanyak 0,3 gr dicampur dengan 2% sodium alginat (b/v). Kemudian dilanjutkan dengan pembuatan bead dengan meneteskan larutan tersebut ke dalam 100 ml larutan CaCL2 5% (b/v) menggunakan spoit (syringe).
Pengujian Kolom Biosorpsi Limbah zat warna methyl orange artifisial yang telah diukur absorbansi dengan spektrofotometer Uv-Vis dan pH dengan pHmeter dialirkan secara kontinu dan downflow ke dalam kolom unggun tetap dengan kecepatan 1,4 ml/menit yang berdiameter dalam 1 cm dan panjang 30 cm yang telah diisi dengan urutan dari atas yaitu glass woll, L. acidophilus yang telah diimobilisasi dan glass wool. Pada kolom unggun tetap dilakukan variasi tinggi bed dengan tinggi 5, 10, dan 15
Karakterisasi Biosorben Bahan untuk imobilisasi menggunakan alginat yaitu salah satu bahan matriks yang stabil dan popular. Studi oleh Chen dan Chang (2005) tentang imobilisasi sel pada bioreaktor unggun tetap dalam dekolorisasi limbah cair, menunjukkan imobilisasi dengan alginat lebih efektif dalam proses dekolorisasi dibandingkan dengan Polyacrylamide (PAA). Hasil yang sama juga berlaku pada studi yang dilakukan oleh Saratale., et al (2011), tentang dekolorisasi dan degradasi zat warna azo reaktif pada kolom unggun tetap oleh sel Proteus vulgaris yang diimobilisasi. Bakteri yang diimobilisasi dicampurkan dengan 5 % CaCl2. Senyawa tersebut berfungsi untuk proses gelatinisasi kalsium alginat sehingga menjadi bentuk unggun. Proses tersebut terjadi karena adanya penukaran ion antara kalsium algninat dan CaCl2. Pada proses ini dilakukan penyimpanan unggun yang baru terbentuk dalam larutan CaCl2 selama sehari dalam lemari pendingin. Kekuatan gel akan meningkat seiring dengan meningkatnya waktu perendaman alginat dalam CaCl2. Menurut Mahbubillah dan Shovitri (2014), ketika ion kalsium dan alginat bereaksi, gelatinisasi akan terjadi pada permukaan matriks alginat. Unggun yang dihasilkan tidak berbentuk bulat sempurna dan berwarna kuning keruh. Jumlah dan ukuran unggun dipengaruhi oleh diameter pipa pada siring (spoit) yang menghasilkan volume tetesan yang berbutir. Unggun yang dihasilkan pada penelitian ini mempunyai diameter Β±3-4 mm. Ukuran diameter unggun tersebut sesuai dalam proses imobilisasi karena jika ukuran lebih besar akan menghambat proses dekolorisasi dalam kolom unggun tetap karena besarnya volume ruangan yang harus dilewati (Worch, 2012 : Rao, et al, 2013).
Kurva Breakthrough
mendekati jenuh dengan nilai Ct/Co sebesar 0,911. Dengan diperolehnya kurva breakthrough, performa kolom unggun dapat diketahui dengan beberapa parameter pada Tabel 1. Parameter β parameter ini dapat digunakan untuk perencanaan skala pilot / scale up. Tinggi Unggun qtot (x 10-5) mtot (x 10-5) (Z) (mg) (mg) (cm) 5 0,568 4.130 10 1,663 7.434 15 2,476 8.260
Sumber: Hasil penelitian Gambar 1. Kurva Breakthrough
Berdasarkan kurva breakthrough di atas, diketahui bahwa semakin tinggi unggun/media maka semakin lama waktu yang diperlukan untuk mendekati jenuh. Dekolorisasi methyl orange pada kolom unggun tetap sangat tergantung pada ketinggian unggun/media, dimana secara langsung memengaruhi kuantitas imobilisasi bakteri pada kolom.. Kurva breakthrough yang tercepat dapat dilihat pada tinggi unggun 5 cm, sedangkan yang terlama terjadi pada tinggi unggun 15 cm. Kurva breakthrough pada Gambar 1. menunjukkan kenaikan konsentrasi sedikit demi sedikit pada tiap tinggi unggun (Z) sehingga kurva lebih landai dan menunjukkan bahwa nilai Ct/Co terus mengalami kenaikan hingga mendekati 1, yang artinya konsentrasi efluen mendekati 100 % atau semakin lama akan semakin sama dengan konsentrasi influennya. Pada tinggi unggun tertinggi menghasilkan penurunan bentuk kurva atau kurva yang landai dari tinggi unggun lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa tinggi unggun tersebut memiliki zona massa transfer (MTZ) yang lebar atau luas. Nilai MTZ dapat dilihat pada Tabel 4 nilai tersebut juga menunjukkan setiap kenaikan tinggi unggun terjadi juga kenaikan nilai MTZ. Pada tinggi unggun 5 cm, konsentrasi efluen lebih dulu memasuki tahap jenuh dan dapat dihentikan pada waktu 50 menit dengan nilai Ct/C0 sebesar 0.924. Sedangkan pada tinggi unggun 10 cm, konsentrasi/efluen mendekati jenuh pada waktu 90 menit dengan nilai Ct/C0 sebesar 0,969. Kemudian pada tinggi unggun 15 cm konsentrasi efluen
R% 13,76 22.31 29,97
VB (ml) 3,259 7,174 10,467
MTZ
EBCT
(cm) (menit) 4,831 2,328 9,756 5,125 14,582 7,476
qe (x 10-5) (mg/g) 0,165 0,219 0,224
Sumber: hasil penelitian
Tabel 1. Parameter Kolom Unggun Tetap Performa biosorpsi dapat dilihat pada nilai dari beberapa parameter kolom unggun tetap (Tabel 1) yang menunjukkan performa nilai terbaik terjadi pada tinggi bed yang tertinggi yaitu 15 cm dengan nilai efisiensi biosorpsi, MTZ, qtot, mtot, qe dan EBCT terbesar. Hal ini sesuai yang dikemukakan oleh Rahayu (2003) bahwa kenaikan tinggi unggun akan mengakibatkan kenaikan waktu pengoperasian kolom yang akan memperbanyak massa biosorben sehingga kapasitas biosorpsi bertambah besar dan semakin memperlama waktu pengoperasian. Hal ini sesuai dengan studi oleh Padmesh et al. (2005) tentang biosorpsi zat warna asam dengan menggunakan makro alga Azolla filiculoides. Studi oleh Han et al. (2007) tentang biosorpsi methylene blue dengan menggunakan kulit beras juga menghasilkan hasil yang sama. Studi oleh Chakraborty et al. (2012) menunjukkan hal yang sama pada biosorpsi congo red dan crystal violet oleh bulu ayam. Massa total yang terserap atau qtot (mg) terjadi kenaikan seiring dengan kenaikan tinggi unggun. Hal yang sama juga berlaku pada massa ion zat warna yang terserap atau mtot (mg), volume bed atau VB (ml), zona transfer massa atau MTZ (cm), lama waktu kontak antara biosorbat dan biosorben atau EBCT (menit). Efisiensi biosorpsi atau R% yang terbaik terjadi pada tinggi unggun 15 cm dengan nilai efisiensi terbesar yaitu 33%. Kapasitas biosorpsi (qe) mengalami kenaikan seiring kenaikan tinggi unggun dengan nilai kapasitas biosorpsi terbesar ada pada tinggi unggun yang tertinggi yaitu 15 cm sebesar 0, 224 x 10-5 mg/g.
Model BDST Semakin meningkat tinggi unggun, maka semakin meningkat secara berurutan waktu pada saat 10% dan 90% breakthrough seperti yang terlihat pada Tabel 2. Tabel 2. Bed Depth Service Time Tinggi Unggun, t0,1 Z (cm) (menit) 5 1,46 10 1,82 15 2,65 Sumber: hasil penelitian
t0.9 (menit) 43,2 74,6 95,1
Semakin meningkat tinggi unggun, maka semakin meningkat waktu breakthrough (tb) dan waktu exhaustion (te). seperti yang terlihat pada Tabel 2 . Pada unggun yang terendah, waktu jenuh lebih cepat terjadi yang dikarenakan oleh unggun terendah yang secara langsung memiliki massa media yang sedikit yang memungkinkan cepat terjadi kejenuhan dibandingkan dengan tinggi unggun lainnya. Hal ini sesuai dengan studi oleh Al-Degs (2009) pada kolom isian karbon aktif untuk menghilangkan zat warna reaktif juga mengungkapkan, waktu exhaustion (90% dari Ct/Co) meningkat seiring kenaikan tinggi unggun karena berlangsungnya peningkatan zona biosorpsi pada kenaikan tinggi unggun atau massa media. Hal yang sama berlaku juga pada studi adsorpsi beberapa zat warna asam dengan menggunakan karbon aktif oleh Lee et al. (2000).
Gambar 2. Model BDST Waktu operasi pada 10 % dan 90% breakthrough yang diperoleh dapat ditentukan persamaan linear antara waktu operasi dan tinggi unggun (Z) atau model BDST (Gambar
2). Persamaan linear tersebut yang menentukan nilai N0 (mg/L) dan Ka L/(mg/menit) dengan mensubstitusikan nilai slope (a) dan intercept (b) pada persamaan BDST (t=aZ + b). Pada Gambar 2, diketahui nilai korelasi (R2) pada waktu breakthrough (t0,1) dan waktu jenuh (t0,9) secara berturut β turut adalah 0,951 dan 0,9855. Nilai ini menunjukkan bahwa model BDST dapat digunakan untuk menentukan parameter kinetik kolom unggun tetap seperti yang terlihat pada Tabel 3. Nilai korelasi (R2) pada model BDST menunjukkan validitas model BDST untuk digunakan pada skala yang lebih besar (scale-up) dengan kecepatan aliran dan konsentrasi yang berbeda tanpa harus melakukan penelitian secara laboratorium lagi seperti yang diungkapkan oleh Han et al (2009), Han et al, (2007), dan Padmesh et al. (2005). Tabel 3. Parameter BDST biosorpsi MO oleh Lactobacillus acidophilus Ct/C0 F Slope Intercept N0 Ka Z0 R2 (%) (cm/menit) (a) (b) (mg/l) (L/mg/menit) (cm) 10 1,783 0,119 0,7867 0,9506 0.126 -6.611 -4.715 90 1,783 5,190 19,067 0,9855 5.480 0.195 Sumber: Hasil Penelitian
Nilai kapasitas biosorpsi, N0 (mg/l) yang diperoleh menunjukkan bahwa tiap kenaikan waktu operasi terjadi kenaikan kapasitas biosorpsi (N0). Kemudian terjadi kenaikan pada nilai konstanta kecepatan linear biosorpsi (Ka). Tinggi unggun kritis / minimum (Z0) seperti yang terlihat pada Tabel 3 untuk 10 % waktu breakthrough diperoleh nilai -6,6 cm, hal ini berarti tinggi unggun terendah yaitu 5 cm belum tepat untuk memenuhi tinggi minimum pada waktu 10 % breakthrough.
KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: 1. Semakin tinggi bed yang digunakan maka semakin besar pula efisiensi dekolorisasi yang terjadi. 2. Berdasarkan kurva breakthrough yang diperoleh, diketahui bahwa semakin tinggi bed/media maka semakin lama waktu yang
diperlukan untuk mendekati jenuh. Semakin meningkat tinggi bed, maka semakin meningkat waktu breakthrough (tb) dan waktu exhaustion (te). Kemudian dengan model BDST, dapat diketahui bahwa kenaikan tinggi bed mempengaruhi kenaikan nilai kapasitas adsorpsi (N0) dan kecepatan biosorpsi (Ka) sebagai parameter yang dibutuhkan dalam perencanaan kolom unggun tetap.
DAFTAR PUSTAKA Aksu, Z., Cagatay, S. S., Gonen, F. 2007. Continuous Fixed Bed Biosorption of Reactive Dyes by Dried Rhizopus arrhizus: Determination of Column Capacity. Journal of Hazardous Materials. 143 : 362 β 371. Al-Degs, Y.S., Khraisheh, M.A.M., Allen, S.J. Ahmad, M.N. 2008. Journal of Hazardous Materials Adsorption Characteristics of Reactive Dyes in Columns of Activated Carbon.. 165: 944β949. Apostol, L.C., Pereira, L., Pereira, R., Gavrilescu, M., Alves, M.M. 2012. Biological decolorization of Xanthene dyes by anaerobic granular biomass. Biodegradation. 23(5):725-37. Banat, I.M., Nigam, P., Singh, D., Marchant, R. 1996. Microbial DEcolorization of Textile-dye Containing Effluents : A Review. Bioresource Technology. 58 : 217-227. Chakraborty, S., Chowdhury, S., Saha, P.D. 2012. Biosorption of Hazardous Textile Dyes from Aqueous Solutions by Hen Feathers: Batch and Column Studies. Korean J. Chem. Eng. 29 (11) : 15671576. Crittenden, B., Thomas, W.J. 1998. Adsorption Technology and Design. Oxford : Butterworth-Heinemann. Dave, S.R., Patel, T.L.,dan. Tipre, D.R. 2015. Bacterial Degradation of Azo Dye Containing Wastes pada Singh, S.N. (ed). Microbial Degradation of Synthetics Dyes in Wastewater. Switzerland: Springer International Publishing Switzerland.
Firdaus, Yunita. 2011. Dekolorisasi Zat Warna Remazol Brilliant Blue Menggunakan Membran Padat Silika. Skripsi. Semarang : Universitas Negeri Semarang. Fu, Yuzhu, Viraraghavan, T. 2003. Column Studies for Biosorption of Dyes from Aqueous Solutions on immobilized Aspergillus Niger Fungal Biomass. Water SA. 29 (4) : 465-472. Gopal, P.K. 2011. Lactobacillus spp: Lactobacillus acidophilus. Fonterra Research Centre. 91 -95. Han R., Yu, W., Zhao, X., Wang, Y., Xie, F., Cheng, J., Tang, M. 2008. Adsorption of Methylene Blue by Phoenix Tree Leaf Powder in A Fixed-bed Column : Experiments and Prediction of Breakthrough Curves. Desalination. 245 : 284-297. Han, R., Ding, D., Xu, Y., Zou, W., Wang, Y., Li, Y., Zou, L. 2007. Use of Rice Husk for The Adsorption of Congo Red From Aqueous Solution in Column Mode. Bioresource Technology. 99 : 2938-2946. Hood, S.K., dan Zottola, E.A. 1998. Effect Of Low Ph on The Ability Of Lactobacillus Acidophilus to Survey and Adherence to Human Intestinal Cells. Journal of Food Science. 53: 1514-1516. Katoh, S., Yoshida, F. 2009. Biochemical Engineering : A Textbook for Engineers, Chemists, and Biologists. Germany: WILEY-VCH. Koupaie, E.H., Moghaddam, M.R.A., Hashemi, S.H. 2013. Evaluation of integrated anaerobic/aerobic fixed-bed sequencing batch biofilm reactor for decolorization and biodegradation of azo dye Acid Red 18: Comparison of using two types of packing media. Bioresource Technology. 127 : 415-421. Kumar, P.G.N., Sumangala B.K. 2012. Decolorization of Azo dye Red 3BN by Bacteria. International Research Journal of Biological Sciences. 1(5) : 46-52. Laksono, S. (2012). Pengolahan Limbah Batik dengan Media Biofilter. Skripsi. Depok : Universitas Indonesia Leja, K., DembczyΕski, R., Bialas, W., Jankowski, T. 2009. Production of Dry
Lactobacillus rhamnosus gg Preparations by Spray Drying and Lyophilization in Aqueous Two-phase Systems. Acta Sci. Pol., Technol. Aliment. 8(4) : 39-49. Mahbubillah, M.A. 2013. Imobilisasi Sel Bacillus S1 dengan Matriks Alginat untuk Proses Reduksi Merkuri. Skripsi. Surabaya : Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS). Manurung, R., Rosdanelli, H., dan Irvan. 2004. Perombakan Zat Warna Azo Reaktif Secara Anaerob-Aerob. e-USU Repository. Jurnal Teknik Kimia Universitas Sumatra Utara. Nussinovitch, A. 2010. Polymer macro- and micro-gel beads: fundamentals and applications. Springer, Berlin, 303 pp Padmesh, T.V.N., Vijayaraghavan, K., Sekaran, G., Velan, M.. 2005. Batch and Column Studies on Biosorption of Acid Dyes on Fresh Water Macro Alga Azola filiculoides. Journal of Hazardous Materials. B125 : 121-129. Prameswari, Tania. 2013, Sintesis Membran Kitosan-Silika Abu Sekam Padi Untuk Dekolorisasi Zat Warna Congo Red. Skripsi. Semarang : Universitas Negeri Semarang. Puntener, A.C. 2004. European Ban on Certain Azo Dyes. Quality and Environment, TFL. Rahayu, S.S. 2003. Analisis dan Modelisasi Pola Adsorpsi Air Buangan Proses Pencelupan Kain dengan Zat Warna menggunakan Kolom Adsorpsi. Tesis. Semarang : Universitas Diponegoro Semarang. Rai, H.S., Bhattacharyya, M.S., Singh, J., Vats, P., Banerjee, U.C. 2005. Removal of Dyes from The Effluent of Textile and Dyestuff Manufacturing Industry: A Review of Emerging Techniques with Reference to Biological Treatment. Critical Rev Environ Sci Tecnhol. 35: 219β238. Rao, D.G., Senthilkumar, R., Byrne, J.A., Feroz, S. 2013. Wastewater Treatment : Advanced Processes and Technologies. London: IWA Publishing. Rita, H.P., Apprisiani, G.W., Rahman, S. 2002. Perhitungan Koefisien Perpindahan Massa
pada Purolite sebagai Resin Penukar Ion. Skripsi. Surabaya : Universitas Surabaya. Sami, Muhammad. 2012. Penyisihan COD, TSS, dan pH dalam Limbah Cair Domestik dengan Metode Fixed-Bed Column Up Flow. Jurnal Reaksi (Journal of Science and Technology). 10 (21) : 111. Saratale, R.G., Saratale, G.D., Chang, J.S., dan Govindwar, S.P. 2011. Decolorization and Degradation of Reactive Azo Dyes by Fixed Bed Bioreactors Containing Immobilized Cells of Proteus vulgaris NCIM-2007. Biotechnoloy and Bioprocess Engineering. 16 : 830-842. Sayilgan, E., dan Cakmakei, O. 2013. Treatment of textile dyeing wastewater by biomass of Lactobacillus: Lactobacillus 12 and Lactobacillus rhamnosus. Environ Sci Pollut Res. 20 : 1556β1564. Seesuriyachan, P., Takenaka, S., Kuntiya, A., Klayraung, S., Murakami, S., Aoki, K. 2007. Metabolism of Azo Dyes by Lactobacillus Casei Tistr 1500 and Effects of Various Factors on Decolorization. Water Research. 41 : 985992. Selle, K.M., Klaenhammer, T.R. 2014. Lactobacillus acidophilus. Elsevier.2 : 1151-1157. Sharma, S.K. (Ed). 2015. Green Chemistry for Dye Removal from Wastewater. Canada : Wiley. Singh S.N (Ed). 2015. Microbial Degradation of Synthetics Dyes in Wastewater. Switzerland: Springer International Publishing Switzerland. Suksabye, P., Paitip, T., Woranan, N. 2008. Column Study of Chromium(VI) Adsorption from Electroplating Industry by Coconut Coir Pith. Journal of Hazardous Materials, 160 : 56-62 Tripathi, A., dan Srivastava, S.K. 2011. Ecofriendly Treatment of Azo Dyes : Biodecolorization using Bacterial Strains. International Journal of Bioscience, Biochemistry and Bioinformatics. 1 (1) : 37-40.
Van der Zee, F.P. 2002. Anaerobic dye reduction. Disertasi. Wageningen : Wageningen University. Vijayaraghavan, K., Mao, J., Yun, Y.S,. 2008. Biosorption of Methylene Blue from Aqueous Solution Using Free and Polysulfone-immobilized Corynebacterium glutamicum: Batch and Column Studies. Bioresource Technology. 99 : 2864-2871. Vijayaraghavan, K., Yun, Y.S. 2008. Bacterial Biosorbents and Biosorption. Biotechnology Advances. 26 : 266-291. Wahyudin, Agus. 2006. Uji Daya Hidup dan Kemurnian Bakteri yang Diawetkan dengan Metode Kering Beku. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. : 269β272. Worch, E. 2012. Adsorption Technology in Water Treatment : Fundamentals, Processes, dan Modelling. Germany : De