Januari 2016
Artikel 1 Upload 2016.01.06 Dasar Hukum Cuti dan Libur Kerja
ICCA – Perusahaan wajib memberikan cuti dan hari libur baik kepada pegawai maupun buruh pabrik. Hal ini disebutkan dalam Pasal 79 ayat (1) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ("UUK"). Cuti tahunan itu sendiri sekurang-kurangnya 12 (dua belas) hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (duabelas) bulan secara terus-menerus seperti yang ditetapkan dalam Pasal 79 ayat (2) huruf c Undang-Undang Ketenagakerjaan. Masih berdasarkan Pasal 79 ayat (3) Undang-Undang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa pelaksanaan waktu istirahat tahunan diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama (PKB). Hal ini berarti bahwa pengajuan cuti tahunan boleh diajukan secara tiba-tiba atau tidak dengan mencau kembali pada perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau PKB di perusahaan tersebut. Walaupun pernyataan di atas berlaku sebagai dasar hukum, akan tetapi peraturan di setiap perusahaan tentu saja berbeda dan sangat bergantung pada kondisi perusahaan. Sebagai ilustrasi, perusahaan dengan pegawai atau buruh dalam jumlah banyak untuk melaksanakan produksi kemungkinan besar tidak masalah jika ada karyawan yang mendadak mengajukan cuti. Namun demikian akan berbeda di perusahaan dengan jumlah pegawai terbatas. Perusahaan tentu harus mengatur ulang proses produksi agar tetap berjalan atau tidak terganggu karena ada karyawan yang mengajukan cuti. Sebagian besar perusahaan mensyaratkan pengajuan cuti tahunan minimal 5 (lima) hari kerja sebelum tanggal dimulainya cuti. Walau ada juga perusahaan yang memberikan jangka waktu pengajuan cuti 3 (tiga) hari sebelum masa cuti dimulai. Hal ini bertujuan agar atas langsung mempunyai cukup waktu untuk mempertimbangkan kelancaran operasional perusahaan sebelum cuti disetujui.
Sebagai pegawai atau buruh lebih baik Anda merencanakan kapan ingin mengambil cuti tahunan dan ajukan sesuai dengan peraturan perusahaan Anda. Cara seperti ini tidak hanya berguna demi menjaga kenyamanan perusahaan tapi juga kenyamanan Anda. Untuk keperluan mendesak, mungkin Anda bisa menggunakan cuti untuk keperluan penting seperti yang disebutkan di Pasal 93 ayat (4) Undang-Undang Ketenagakerjaan. Keperluan penting yang dimaksud adalah pernikahan, menikahkan anak, mengkhitan anak, membaptis anak, istri melahirkan atau mengalami keguguran, keluarga terdekat meninggal atau keluarga serumah meninggal.
Artikel 2 Upload 2016.01.13 PERMASALAHAN TUNJANGAN TRANSPORTASI PEGAWAI
ICCA – Untuk mendukung produktivitas kerja, perusahaan memberikan tunjangan transportasi bagi pegawai atau buruh mereka. Tunjangan transportasi ini bisa berupaya penyedia layanan transportasi atau dimasukkan ke dalam komponen upah yang akan digabung dengan upah pokok yang diterima setiap bulan. Tujuan dari diberikannya tunjangan transportasi ini selain untuk meningkatkan produktivitas kerja juga untuk memicu pegawai atau buruh untuk semangat hadir bekerja. Tunjangan transportasi, sama seperti tunjangan makan bisa dimasukkan sebagai tunjangan tetap tetapi juga bisa dianggap tunjangan tidak tetap. Hal ini bergantung pada sistem yang digunakan oleh setiap perusahaan. Jika tunjangan transportasi dibayarkan dalam satuan jangka waktu yang sama dengan pembayaran upah pokok maka tunjangan trasportasi dimasukkan dalam komponen tunjangan tetap. Tetapi jika secara langsung mau pun tidak langsung berkaitan dengan pegawai atau buruh dan dibayar menurut satuan waktu yang tidak sama dengan waktu pembayaran upah pokok, misalnya tunjangan transportasi dibayarkan berdasarkan pada kehadiran pegawai atau buruh maka tunjangan transportasi dimasukkan ke dalam tunjangan tidak tetap. Dasar perhitungan di atas sesuai dengan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia No. SE-07/MEN/1990 Tahun 1990 tentang Pengelompokan Komponen Upah dan Pendapatan Non Upah. Sebenarnya tidak ada pengaruhnya jika tunjangan transportasi masuk ke dalam tunjangan tetap atau tidak tetap karena tunjangan ini memang merupakan komponen dari upah. Hal utama adalah dimana upah pokok tidak kurang dari 75% (tujuh puluh lima persen) dari jumlah upah dan tunjangan-tunjangan seperti yang tertulis pada Pasal 94 UU Ketenagakerjaan. Surat Edaran Menteri dan Undang-Undang tidak mengatur mengenai besaran tunjangan transportasi. Besaran nilai tunjangan transportasi dikembalikan kepada pihak perusahaan. Sepanjang tidak melanggar prinsip-prinsip kebijakan pengupahan, besaran dan tolak ukur penentuan tunjangan merupakan wewenang pihak perusahaan dan pegawai atau buruh untuk mengatur dan ditulis dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Jika terjadi perselisihian maka harus dilakukan perundingan secara bipartit. Jika dirasa tidak menemukan titik temu baru dibawa ke pengadilan.
Artikel 3 Uplaod 2016.01.20 BISAKAH RESIGN SEBELUM KONTRAK BERAKHIR
ICCA – Berhenti kerja atau resign adalah hal yang lumrah. Bisa dikatakan resign adalah proses pengembangan dan perbaikan baik untuk pegawai atau buruh maupun bagi perusahaan. Akan tetapi, sebelum memutuskan untuk resign, jangan lupa untuk mempertimbangkan perjanjian kerja antara Anda sebagai pegawai atau buruh dengan perusahaan tempat Anda bekerja. Di dunia kerja, terutama di Indonesia dikenal dua macam perjanjian kerja. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). Biasanya proses permintaan untuk berhenti kerja yang menggunakan perjanjian dengan jangka waktu tidak ditentukan akan lebih mudah. Hal ini setidaknya jauh lebih mudah dari proses resign dengan perjanjian yang mencantumkan jangka waktu, terlebih ketika Anda ingin resign sebelum waktu yang ditetapkan di kontrak belum berakhir. Hal pertama yang harus dipahami adalah kondisi yang dapat mengakhiri perjanjian kerja waktu tertentu tersebut adalah: Pegawai atau buruh meninggal dunia; Berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja; Adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah memiliki kekuatan hukum tetap; atau Adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja. Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu atau berakhirnya hubungan kerja bukan karena ketentuan yang sudah disebutkan di atas, pihak yang memutuskan untuk mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pegawai atau buruh sampai batas waktu berakhirnya perjanjian kerja. Pernyataan ini sesuai dengan yang tertera di Pasal 62 Undang-Undang Ketenagakerjaan. Dalam hukum ketenagakerjaan memang tidak diatur mengenai besarnya denda yang dikenakan kepada pegawai atau buruh yang melakukan pemutusan hubungan kerja, begitu juga
dengan denda yang akan dikenakan. Denda tersebut bisa berupa berbagai hal (tidak hanya materi) tergantung dengan apa yang tertera di dalam isi surat perjanjian kerja waktu tertentu. Anda sebagai pegawai atau buruh bersama dengan perusahaan wajib memenuhi isi perjanjian yang telah disepakati karena perjanjian tersebut memiliki kekuatan hukum. Oleh karena itu ketika Anda memutuskan untuk berhenti bekerja sebelum masa kontrak berakhir Anda berkewajiban membayarkan denda, tetapi besarannya hanya yang sesuai dengan isi PKWT yang telah Anda tandatangani. Apabila tidak sesuai, Anda bisa menanyakannya kepada perusahaan dan bisa terjadi pelanggaran hukum yang membuat perusahaan tempat Anda bekerja digugat secara perdata.
Artikel 4 Upload 2016.01.27 BAGAIMANA PROSEDUR INVESTASI ASING DALAM E-COMMERCE INDONESIA
ICCA – Perkembangan situs perdagangan online di Indonesia semakin berkembang. Baik hanya sebagai marketplace atau murni perdagangan online atau yang lebih dikenal dengan ecommerce. Sayangnya perkembangan ini masih belum mampu berkontribusi secara signifikan terhadap keseluruhan nilai Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia yang diperkirakan pada tahun 2016 akan memasuki posisi tertinggi ke-lima di antara negera G-20. Potensi e-commerce untuk berkembang di Indonesia sangatlah besar. Selain karena banyaknya jumlah penduduk Indonesia yang mencapi 250 juta orang, juga karena semakin banyak penduduk yang melek internet. Selain itu dengan e-commerce, perdagangan yang semula hanya terpusat pada beberapa kota atau daerah tertentu akan menyebar secara merata. Hal ini tentu saja membuka banyak peluang dan kemungkinan bagi penduduk Indonesia untuk meningkatkan taraf hidup mereka. Sayangnya, sejak tanggal 28 Juni 2013 melalui surat resmi yang dikeluarkan oleh Sekjen Kemendagri Nomor 689/SJ-DAG/SD/6/2013 dinyatakan bahwa seluruh pelarangan yang selama ini diberlakukan pada industri retail offline juga diberlakukan untuk para pelaku usaha industri retail online. Ketentuan ini akan menimbulkan sebuah masalah baru. Para pelaku e-commerce Indonesia pada saat ini benar-benar membutuhkan investor. Ketentuan ini menyebabkan mereka tidak mungkin memperoleh dana dari investor asing. Hal ini adalah merupakan kabar buruk bagi perkembangan e-commerce Indonesia yang ironisnya memiliki potensi yang cukup besar. Akan tetapi ada celah yang mungkin bisa dimanfaatkan oleh pelaku e-commerce untuk mendapatkan suntikan dana dari investor asing. Beberapa di antaranya dengan berpegangan pada: Utang Pararel dan Seri Ekuitas. Dengan berinvestasi ke seri utang, investor bisa mendanai perusahaan start-up tanpa menjadi pemegang kepentingan. Metode investasi ini tidak akan membuat investor terkena aturan regulasi-investasi yang diterapkan di Indonesia. Perusahaan asing juga bisa menjual note seolah mereka memiliki ekuitas kepemilikan perusahaan tersebut.
Membuat Banyak Entitas. Jika memiliki banyak waktu untuk memfinalisasi investasi, cara yang lebih baik adalah untuk memecah perusahaannya menjadi beberapa entitas. Beberapa startup di Indonesia sadar akan masalah ini dan sejak awal mengatasinya dengan membuat perusahaan holding yang berada di luar Indonesia. Akan tetapi skema seperti ini membuat negara kehilangan kesempatan yang lebih besar. Investasi Langsung Melalui Entitas Lokal. Cara lain untuk mengakali aturan investasi di Indonesia di sektor e-commerce adalah melalui kerja sama dengan entitas lokal pihak ketiga. Entitas ini akan berperan sebagai nominee yang berarti di atas kertas, entitas ini yang memegang saham. Cara ini cukup umum di Indonesia terutama untuk urusan kepemilikan lahan. Solusi ini bisa dibilang mudah dan sederhana, tapi dengan risiko yang cukup tinggi. Di lapangan, investor cenderung menjauhi cara ini ketika ingin berinvestasi di perusahaan e-commerce di Indonesia. Aturan investasi untuk e-commerce di Indonesia sejak awal memang kontroversial. Ketika peraturan ini diperkenalkan pertema kali di tahun 2013 tampaknya dirumuskan tanpa melalui konsultasi apa pun dengan industri terkait. Harapannya peraturan ini ke depannya akan menghilang. Budi Gandasoebrata, wakil ketua iDEA, mengatakan bahwa aturan tersebut bisa saja hilang dalam dua atau tiga tahun ke depan.
Februari 2016
Artikel 1 Upload 2016.02.03 Kurangnya Kejelasan Regulasi yang Mengatur Cloud Computing
ICCA – Cloud Computing sudah berkembang menjadi tren terbaru yang mulai dikenal oleh banyak orang di seluruh dunia. Seiring dengan perkembangannya saat ini, sudah pasti lama-kelamaan Indonesia juga akan terkena imbasnya. Hanya dengan mencari beberapa detik saja di dunia maya, Anda sudah bisa menemukan berbagai vendor yang menawarkan Cloud Computing Service. Sungguh merupakan suatu terobosan, namun apakah Cloud Computing sudah menjadi satu hal yang legal di Indonesia ini? Penyedia jasa Cloud Computing sendiri dapat disimpulkan sebagai Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) yang dimana penyelenggaraannya diatur oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP PTSE). Berdasarkan kumpulan Undang-Undang tersebut, ada satu hal menarik yang patut untuk dicermati yaitu "Penempatan Pusat Data dan Pusat Pemulihan Bencana serta mitigasi atas rencana keberlangsungan kegiatan Penyelenggaraan SE” (Pasal 17 UU PTSE). Berdasarkan pasal ini, penempatan pusat data (Data Center) dan pusat pemulihan bencana (Disaster Recovery Center) harus berada di wilayah Indonesia. Dengan semakin menjamurnya penyedia layanan Cloud Computing, tentunya hal ini menjadi satu permasalahan tersendiri yang perlu dicermati. Dengan kondisi Data Center dan Disaster Recovery Center yang tidak berada dalam wilayah Indonesia, aktivitas bisnis mereka dapat berhenti dan termasuk kategori ilegal.
Walaupun demikian, belum adanya sanksi tegas yang mengatur kelalaian pelaksanaan pasal 17 UU PTSE tersebut di atas. Ketidaktegasan pemerintah tentunya sangatlah disayangkan mengingat Cloud Computing sangat besar pengaruhnya untuk mendukung aplikasi perkembangan teknologi mengikuti kemajuan jaman. Selain kemajuan teknologi yang sudah pasti, aplikasi Cloud Computing juga sangat berpengaruh untuk mengurangi investasi Information Technology (IT) sekitar 10% yang pada akhirnya meningkatkan produktivitas usaha. Sebenarnya kekhawatiran pemerintah terhadap ketidakhadiran Data Center dan Disaster Recovery Center di Indonesia bisa dimaklumi. Sebagai sebuah pelayanan publik, Cloud Computing Service perlu dipastikan untuk "memiliki rencana keberlangsungan kegiatan untuk menanggulangi gangguan atau bencana sesuai dengan risiko dari dampak yang ditimbulkannya" (Pasal 17 ayat [1] PP PSTE). Pernyataan "memiliki rencana keberlangsungan" ini tentunya menjadi poin penting yang harus diperhatikan dengan seksama jika sebuah layanan Cloud Computing memiliki tanggung jawab sebagai penyedia layanan publik yang dapat dipercaya. Menarik untuk ditunggu reaksi pemerintah terhadap perkembangan Cloud Computing yang sudah sangat berkembang hingga sekarang ini.
Artikel 2 Upload 2016.02.10 Fenomena Drone
ICCA – Kehadiran drone (pesawat tanpa awak) sudah semakin sering terlihat di langit Indonesia saat ini. Baik untuk keperluan bisnis ataupun keperluan pribadi, kehadiran drone sudah bukan merupakan "barang baru". Awalnya pesawat tanpa awak ini hanya digunakan untuk keperluan militer di Negeri Paman Sam. Namun seiring dengan perkembangannya, penggunaan drone mulai dilirik oleh pasar konsumen untuk berbagai tujuan mulai dari fotografi, videografi hingga sekedar melihat-lihat pemandangan dari sisi atas. Dengan adanya "kebebasan" bagi banyak orang untuk menggunakan drone yang seringkali dipamerkan di social media, lantas bagaimana dengan regulasinya? Adakah penggunaan drone di langit bebas adalah merupakan sebuah kebebasan yang dapat digunakan oleh setiap orang tanpa terkecuali untuk berbagai keperluan? Mengikuti perkembangan jaman, regulasi khusus perihal drone diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia No. PM 90 Tahun 2015 tentang Pengendalian Pengoperasian Pesawat Udara Tanpa Awak di Ruang Udara yang Dilayani Indonesia. Secara garis besar, regulasi drone di atas mengatur mengenai kawasan-kawasan yang diperbolehkan dalam pengoperasiannya. Selain itu, terkait dengan fungsi drone sebagai media pengambilan gambar (kamera/video) penggunaannya perlu disertai dengan surat ijin tertulis dari institusi berwenang termasuk Pemerintah Daerah yang memiliki wewenang khusus untuk memperbolehkan areanya dijadikan sebagai tempat pengambilan gambar secara komersil. Penggunaan drone secara komersil untuk keperluan pribadi ataupun bisnis dapat dilakukan dengan batas maksimum 150 meter yang termasuk area uncontrolled air space. Di atas ketinggian tersebut, penggunaan drone hanya diperbolehkan jika dimaksudkan untuk keperluan negara dalam hal patroli keamanan.
Lebih lanjut, penggunaan drone juga erat kaitannya dengan penggunaan frekuensi radio seperti yang terdapat pada Pasal 33 ayat (1) Undang Undang Nomor 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi (UU Telekomunikasi) yang mengatur bahwa "penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit wajib mendapatkan izin pemerintah." Perihal pengambilan gambar dengan kamera, Anda bisa merujuk pada UndangUndang Nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta (UUHC) khususnya Pasal 12 hingga Pasal 15 yang mengatur mengenai hak ekonomi atas potret. Dalam pasal ini, penggunaan secara komersial terkait suatu gambar perlu menggunakan ijin tertulis agar tidak melanggar hak cipta. Secara garis besar, penggunaan drone sebenarnya tidak dilarang selama masih digunakan dalam batas uncontrolled air space. Selain itu, pengguna juga perlu memperhatikan regulasi komersial yang mengiringinya yang rentan terhadap risiko pelanggaran Hak Cipta.
Artikel 3 Upload 2016.02.17 Menangani Keterlambatan Pembayaran Gaji
ICCA – Tidak selamanya pekerjaan berjalan dengan lancar. Sering kali ada kendala atau permasalahan yang terjadi di dunia kerja. Salah satu permasalahan yang mungkin akan mengganggu produktivitas dan semangat bekerja adalah keterlambatan pembayaran gaji. Terlebih jika hal ini terjadi tanpa alasan atau tanpa informasi yang jelas. Jika terjadi keterlambatan pembayaran gaji biasanya karyawan hanya akan mengeluh atau menyimpan kesal sendiri. Ingin menyampaikan keberatan tapi takut kalau protes itu bukannya membuat gaji dibayarkan tepat waktu malah surat pemecatan yang diterima. Sebenarnya, bila berada di posisi ini karyawan tidak perlu takut untuk mengingatkan atau menyampaikan keberatan karena karyawan memiliki hak penuh untuk menuntut hak mereka, salah satunya gaji, di tempat kerja. Berdasarkan Pasal 1 angka 30 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 yang dimaksud dengan upah adalah: "... hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dan pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan atau peraturan perundangundangan, termasuk tunjungan bagi pekerja/buru dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan."
Artinya upah atau gaji adalah hak berupa uang yang diberikan oleh pengusaha dan sudah disepakati dalam sebuah perjanjian kerja. Pengaturan Pasal 54 ayat (1) UU Ketenagakerjaan tersebut mempertegas bahwa seseorang yang sudah membuat kesepakatan dengan pengusaha atau perusahaan, maka ada hubungan hak dan kewajiban yang harus ditunaikan. Karyawan wajib menjalankan tugas yang harus dikerjakan sehingga berhak atas upah atau gaji dari hasil pekerjaannya. Sementara itu, pengusaha atau perusahaan wajib membayarkan upah agar mendapatkan hal berupa tenaga dari para karyawan. Berdasarkan penjelasan di atas, jelas terlihat kalau pengusaha atau perusahaan tidak boleh sewenang-wenang melakukan keterlambatan pembayaran gaji pegawai. Walau ada Undang-Undang yang mengatur tapi ada baiknya karyawan atau pegawai yang mengalami keterlambatan pembayaran gaji tidak langsung menariknya ke ranah hukum. Lebih baik karyawan bertanya atau menyampaikan keberatan secara baik kepada atasan atau perusahaan. Bisa saja keterlambatan gaji bukan disengaja melainkan keterlambatan karena masalah di luar kendali perusahaan.
Artikel 4 – 2016.02.24 Regulasi Perihal Tenaga Kerja Asing di Indonesia
ICCA – Seiring dengan pelaksanaan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) pada tahun 2015 ini, serbuan tenaga asing menjadi salah satu hal yang tidak dapat dihindari. Indonesia diprediksi akan kebanjuran banyak tenaga asing, termasuk para pekerja ataupun top management yang akan masuk ke Indonesia untuk mencari peruntungan. Tentunya fenomena ini akan menimbulkan satu permasalahan sosial yang baru dimana tenaga kerja lokal akan merasa terancam terhadap kesempatan lapangan kerja yang semakin terbatas, pun juga halnya dengan ketimpangan upah. Berkaitan dengan hal ini, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi menetapkan regulasi mengenai tenaga kerja asing yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenakertrans) No. 12 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA). Permenakertrans ini menggantikan Permenakertrans yang sama sebelumnya pada tahun 2008. Untuk menjamin tersedianya lapangan pekerjaan bagi tenaga kerja lokal, pemberi kerja haruslah berbadan hukum. Pemberi kerja bukan berbadan hukum seperti persekutuan komanditer (CV) saat ini tidak memiliki wewenang lagi untuk mempekerjakan Warga Negara Asing (WNA). Dalam Permenakertrans No. 12 Tahun 2013 ini juga diatur mengenai penggunaan TKA terhadap empat jenis pekerjaan yang bersifat sementara. Penggunaan TKA dapat dilakukan hanya pada pekerjaan pemasangan mesin, elektrikal, layanan purnajual, dan produk dalam masa penjajakan usaha. Selain itu, TKA yang ingin mengadu nasib di Indonesia harus memiliki sertifikasi kompetensi kerja di bidang yang bersangkutan minimal lima tahun. Pemberian kerja bagi TKA memang nyatanya jauh lebih rumit. Ada banyak hal yang menjadi pertimbangan yang harus dipenuhi terlebih dahulu baik dari sisi pemberi kerja
ataupun dari sisi TKA sendiri. Oleh karena itu, untuk meminimalisir adanya penyimpangan dalam praktiknya, pemberi kerja haruslah berbadan hukum. Hal ini sangat berguna untuk menjamin minimnya pelanggaran. Sebagai gambaran, Kemenakertrans mencatat bahwa pada tahun 2013 jumlah Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA) untuk pekerjaan sementara yang diterbitkan mencapai 68.957 izin. Menurut catatan, TKA di Indonesia kebanyakan berasal dari negara China, Jepang, Korea Selatan, India dan Malaysia.
Maret 2016
Artikel 1 Upload 02.03.2016 Menghadapi Pelecehan Seksual di Tempat Kerja ICCA – Pelecehan seksual sering terjadi di mana-mana. Di lingkungan tempat bekerja, dalam perjalanan berangkat dan pulang kerja bahkan ketika sampai di rumah. Bentuk pelecehan seksual bisa macam-macam, verbal maupun non-verbal.
Secara sederhana pelecehan seksual adalah tindakan seksual yang tidak diinginkan. Dapat berupa permintaan untuk melakukan perbuatan seksual, tindakan lisan atau fisik bahkan isyarat yang bersifat seksual atau perilaku lain yang bersifat seksual dan membuat seseorang merasa tersinggung, dipermalukan dan/atau terintimidasi. Dengan kata lain, pelecehan seksual adalah: Penyalahgunaan perilaku seksual Permintaan untuk melakukan perbuatan seksual (termasuk ajakan atau undangan berkencan yang menimbulkan perasaan terintimidasi) Pernyataan lisan atau secara fisik melakukan gerakan atau menggambarkan perbuatan seksual, mengirim konten seksual secara eksplisit dalam bentuk cetak maupun elektronik Tindakan ke arah seksual yang tidak diinginkan
Tindakan langsung seperti menyentuh, mencium, menepuk, mencubit atau kekerasan fisik seperti perkosaan. Sikap seksual yang merendahkan, seperti melirik atau menatap bagian tubuh seseorang. Pelecehan seksual termasuk dalam kejahatan kesusilaan yang diatur dalam Pasal 294 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dan dalam Pasal 86 ayat (1) UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUK) diatur bahwa pekerja berhak atas perlindungan atas moral dan kesusilaan. Sesuai ketentuan Pasal 294 ayat (2) KUHP, pejabat yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang karena jabatan adalah bawahannya atau dengan orang yang penjagaannya dipercayakan atau diserahkan kepadanya diancam dengan pidana penjara selama 7 tahun. Bila ditemukan adanya dugaan tindak pelecehan seksual, korban atau saksi dapat memberitahukan bahwa perilakunya tidak dapat diterima. Apabila pelecehan tersebut masih terjadi atau korban merasa tidak puas makan korban dapat melaporkannya kepada penyelia (pengawas, supervisor, dll), manajer lain, pimpinan perusahaan bahkan serikat pekerja atau Dinas Tenaga Kerja setempat. Pelecehan seksual ini dapat dipergunakan sebagai dasar dari pekerja yang menginginkan untuk dilakukan pemutusan hubungan kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan kerja. Disebutkan di dalam buku Pedoman Pencegahan Pelecehan Seksual di Tempat Kerja yang merupakan kerja sama antara Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan International Labour Organization (ILO), setiap langkah dalam penyelesaian pelecehan seksual di tempat kerja harus memenuhi prinsip-prinsip keadilan. Di samping itu, harus ada keseimbangan informasi dari kedua belah pihak.
Artikel 2 Upload 10.03.2016 Pasangan Tidak Boleh Satu Kantor?
Salah satu peraturan perusahaan yang cukup mengganggu pegawai adalah larangan suami istri bekerja di satu kantor. Bagi sebagian besar pegawai terlebih dengan jam atau tuntutan pekerjaan yang tinggi, kantor merupakan tempat terbaik untuk bersosialisasi atau menjadi pasangan. Pada dasarnya tidak ada peraturan perundangan-undangan yang mengatur mengenai boleh atau tidaknya suami istri bekerja di perusahaan atau instansi yang sama. Tetapi Undang-Undang Ketenagakerjaan memberikan kebebasan kepada perusahaan untuk lebih lanjut mengatur mengenai hal ini sesuai yang diatur dalam Pasal 153 ayat (1) huruf f Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketegakerjaan) yang berbunyi: (f) pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Ada banyak alasan mengapa sebagian besar perusahaan menerapkan larangan suami istri bekerja di satu perusahaan yang sama. Beberapa di antaranya adalah:
Resiko terjadinya konflik kepentingan. Mungkin bisa dihindari tapi bukan tidak mungkin suami atau istri mengunakan jabatan atau wewenang pasangan untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan terkait pekerjaan dengan tujuan untuk mendapatkan kemudahan atau hasil yang diinginkan. Jika dibiarkan konflik kepentingan ini bisa berkembang menjadi KKN. Imbas konflik pribadi ke lingkungan kerja. Hubungan suami istri tidak mungkin selamanya akur dan bahagia. Sesekali pasti terjadi masalah yang berujung pada percekcokan atau pertengkaran. Nah, suasana ini bisa saja terbawa ke kantor dan akan membuat suasana kantor menjadi tidak nyaman. Potensi terjadinya subyektivitas. Hal ini mencakup beragam hal. Contoh paling kecil dalam hal promosi. Siapa yang bisa menjamin promosi yang didapat murni disebabkan prestasi kerja atau karena kebetulan pasangannya yang berwewenang untuk memutuskan? Dari tiga alasan yang sudah dikemukakan di atas, jelas kenapa perusahaan lebih memilih untuk melarang suami istri bekerja di satu perusahaan yang sama. Fokus utama perusahaan adalah mencegah terjadinya situasi yang menganggu kenyamanan bekerja dan akan mengakibatkan kerugian bagi perusahaan.
Artikel 3 Upload 16.03.2016 Status Pengojek dan Perusahaan Penyedia Aplikasi Layanan Ojek
2016 ditandai dengan fenomena semakin maraknya aplikasi layanan transportasi umum. Tidak hanya terbatas pada ojek tapi juga mulai merambah moda transportasi lain seperti taksi dan mobil pribadi. Hampir di setiap sudut kota sudah dapat ditemui pengendara ojek dengan atribut khas salah satu aplikasi layanan ojek. Makin maraknya sehingga pemerintah melalui Kementerian Perhubungan juga sudah sempat melontarkan wacana membuat regulasi untuk mengatur bisnis ini. Salah satu penyebab fenomena ini adalah animo masyarakat yang terus meningkat. Ditambah dengan banyaknya pemberitaan mengenai pengojek online yang berhasil memperbaikinya membuat semakin banyak yang mendaftar untuk menjadi pengojek. Menurut masyarakat, pengojek ini memiliki hubungan kerja dengan perusahaan penyedia aplikasi. Salah satu alasannya
karena pengojek diwajibkan untuk memberi
jaminan berupa surat penting seperti ijazah ketika mendaftarkan diri. Juga karena masalah upah dan asuransi yang diberikan kepada pengojek. Pendapat seperti ini tidak sepenuhnya salah. Pada praktiknya banyak pekerja yang memang diminta untuk menitip[kan ijazahnya ketika mulai bekerja. Begitu juga dengan asuransi dan upah yang diberikan oleh perusahaan kepada pekerja.
Undang
Undang
Nomor
13
Tahun
2003
tentang
Ketenagakerjaan
(UU
Ketenagakerjaan) sudah memberi ketentuan untuk melihat ada atau tidaknya suatu hubungan kerja. Menentukan ada atau tidaknya hubungan kerja ini penting agar kita bisa melihat bagaimana bentuh hubungan pekerja dan pengusaha di perusahaan tersebut. Kalau tidak ada hubungan kerja maka bisa dikatakan tidak ada istilah pekerja dan pengusaha. Melainkan hubungan kemitraan. UU Ketenagakerjaan mendefinisikan hubungan kerja sebagai hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerjaan upah dan perintah. Berdasarkan putusan Mahkamah Agung dapat dijabarkan bahwa yang dimaksud dengan pekerjaan adalah unsur terpenuhinya jika pekerjaan hanya melaksanakan pekerjaan yang sudah diberikan perusahaan. Upah adalah kompensasi berupa udang tertentu yang besar jumlahnya tetap dalam periode tertentu, bukan berdasarkan kmisi atau persentase. Sedangkan perintah, unsur ini akan terpenuhi jika pemberu perintah kerja adalah perusahaan bukan atas inisiatif pekerja. Berdasarkan pemberitaan para pengemudi ojek online tidak mendapatkan gaji dari perusahaan aplikasi. Pengojek malah harus membagi 10 hingga 20 persen pendapatannya ke perusahaan. Sedangkan jumalh pendapatan yang mereka terima bergantung pada jumlah pesanan atau penumpang yang diantarkannya. Perintah mengantar juga tidak datang dari perusahaan melainkan dari penumpang dan atas persetujuan pengojek. Dalam kondisi ini terlihat jelas tidak ada unsur hubungan kerja pada relasi pengojek dan perusahaan penyedia aplikasi. Dikarenakan tidak ada hubungan kerja antara pengojek dan perusahaan aplikasi maka pengojek tidak berhak menuntut hak-hak yang biasa diterima seorang pekerja. Pengojek tidak berhak mendapatkan upah lembur, jamsostek, maupun pengason jika hubungan kerjasama berakhir.
Artikel 4 Upload 23.03.2016 Perusahaan Wajib Mengikutsertakan Karyawan dalam BPJS BPJS adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial. Sesuai dengan yang disebutkan dalam Pasal 1 angka 1 Undang Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS).
UU BPJS ini menjadi dasar dibentuknya dua BPJS, yaitu BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. BPJS Kesehatan sesuai dengan namana bertanggung jawab untuk menyelenggarakan
program
jaminan
kesehatan
dan
BPJS
Ketenagakerjaan
menyelenggarakan program jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun dan jaminan kematian bagi karyawan. Pada Pasal 1 Angka 4 UU BPJS dikatakan kalau peserta BPJS adalah: "Pesertanya adalah setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia, yang telah membayar iuran." Dan dalam Pasal 15 ayat (1) UU BPJS diatur: "Pemberi Kerja secara bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan pekerjanya sebagai Peserta kepada BPJS sesuai dengan program Jaminan Sosial yang diikuti." Dipertegas kembali dalam Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 86 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administrasitif Kepada
Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara dan Setiap Orang, Selain Pemberi Kerja, Pekerja, dan Penerima Bantuan Iuran Dalam Penyelenggaraan Jaminan Sosial (PP 86/2013): Pemberi Kerja selain Penyelenggara Negara wajib: a. mendaftarkan dirinya dan pekerjanya sebagai peserta kepada BPJS secara bertahap sesuai dengan program jaminan sosial yang diikutinya; dan b. memberikan data dirinya dan pekerjanya berikut anggota keluarganya kepada BPJS secara lengkap dan benar. Penyelenggara kerja yang tidak mendaftarkan pekerjanya dalam BPJS bisa dikenakan sanki administratif berupa teguran tertulis, denda dan/atau tidak akan mendapatkan pelayanan publik tertentu. Hal ini dikarenakan mendaftarkan pekerja ke BPJS adalah demi kebaikan para tenaga kerja yang bekerja di perusahaan tersebut agar lebih terjamin kesejahteraannya.
Artikel 5 Upload 30.03.2016 Menggunakan Informasi Pribadi Orang Lain dari Internet Untuk Kepentingan Komersil
Internet sudah menjadi bagian hidup dari masyarakat modern. Sekadar browsing informasi, membaca berita juga berinteraksi dengan teman dan keluarga melalui media sosial sudah menjadi rutinitas yang tidak terpisahkan dari keseharian. Bisa dikatakan hampir setiap orang memiliki setidaknya satu akun media sosial. Beberapa media sosial mensyarakatkan pemilik akun untuk memberikan informasi pribadi seperti nomor telepon, alamat email dan berbagai informasi lainnya. Informasi ini memang tidak sensitif. Tapi tidak sedikit yang berpikir untuk memanfaatkan informasi ini demi kepentingan bisnis baik iklan maupun promosi produk. Dalam perspektif Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) setidaknya ada dua topik yang bisa menjadi bahan diskusi mengenai penggunaan data orang lain yang diunggah di internet untuk kepentingan bisnis: 1. penggunaan data mengenai produk atau informasi yang bukan merupakan data pribadi, misalnya informasi mengenai jenis dan spesifikasi barang dan jasa atau mengenai konsep usaha, website dan logo 2. penggunaan data pribadi taitu informasi atau dokumen elektronik mengenai atau yang terkait dengan baik langsung maupun tidak langsung pribadi kodrati. Informasi
tersebut dapat berupa informasi nama, alamat, jenis kelamin, pekerjaan, kondisi kesehatan, ekonomi dan budaya. Pada prinsipnya semua informasi yang bersifat publik, artinya informasi yang dapat diakses secara bebas oleh publik dapat digunakan sepanjang tetap mencantumkan sumber dan tunduk pada ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang hak kekayaan intelektual seperti hak cipta atau merek. Penting digarisbawahi dalam penggunaan data pribadi untuk kepentingan komersial khususnya dalam transaksi elektronik- dalam konteks hukum Indonesia masih merupakan diskusi komplek. Indonesia belum memiliki undang-undang yang secara khusus mengatur mengenai data pribadi atau privasi. Tetapi Pasal 26 ayat (1) UU ITE yang mengatur bahwa kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan, penggunaan setiap informasi melalui media elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan orang yang bersangkutan, bisa menjadi dasar kebijakan. Dapat disimpulkan kalau secara normatif, penggunaan data pribadi orang lain harus berdasarkan persetujuan orang yang bersangkutan. Selalu bersikap bijak ketika menggunakan internet baik untuk kepentingan pribadi maupun komersial.
April 2016
Artikel 1 Upload 06.04.2016 Kenaikan Tunjangan Tidak Tetap Tanpa Kenaikan Gaji Pokok, Bolehkah? Upah? Pasti Anda sudah paham apa yang dimaksud dengan upah. Menurut Pasal 1
ayat 30 UU No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, upah adalah hak pekerja atau buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja atau buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja atau buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan atau jasa yang telah atau akan dilakukan. Tapi, untuk menetapkan besarnya upah, pengusaha dilarang keras untuk membayar lebih rendah dari ketentuan upah minimum yang sudah ditetapkan oleh pemerintah setempat (Pasal 90 ayat 1 UU No. 13/2003), karena setiap pekerja atau buruh sangat berhak untuk memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan (Pasal 88 ayat 1 No. 13/2003). Lalu, bolehkan perusahaan menaikan tunjangan tidak tetap tanpa menaikan gaji pokok? Dasar hukum tentang komponen gaji yang terdiri dari gaji pokok, tunjangan tetap, dan tunjangan tidak tetap itu sudah tertulis jelas dan diatur dalam peraturan pemerintah No. 78 tahun 2015 tentang pengupahan. Komponen upah pada dasarnya sudah diatur dalam pasal 5 ayat (1) PP tentang Pengupahan. Dalam hal komponen upah sendiri tendiri dari upah pokok, tunjangan tetap, dan tunjangan tidak tetap. Besarnya upah pokok paling sedikit 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari jumlah upah pokok dan tunjangan tetap. Jadi pada dasarnya, Tunjangan tidak tetap tidak termasuk dalam perhitungan tentang syarat besarnya upah pokok.
Jika di perusahaan tempat Anda bekerja membagi upah pekerja berdasarkan tiga komponen di atas, maka hal itu dibenarkan dan sah-sah saja, karena hal tersebut sesuai dengan PP Pengupahan. Apabila kondisi perusahaan tempat Anda bekerja menghendaki bahwa kenaikan gaji itu hanya kenaikan tunjangan tidak tetapnya, maka hal tersebut juga masih dibenarkan. Tapi, ketika perusahaan tempat Anda bekerja hanya menaikan tunjangan tetap tanpa menaikan upah pokok sehingga mengakibatkan prosentase upah pokok menjadi kurang dari 75 % (tujuh puluh lima perseratus) hal inilah yang tidak diperbolehkan dan tidak dibenarkan.
Artikel 2 Upload 13.04.2016 Jaminan Keselamatan Kerja Sesuai dengan UU BPJS
ICCA - BPJS Ketenagakerjaan (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan) merupakan program publik yang memberikan perlindungan bagi tenaga kerja untuk mengatasi risiko sosial ekonomi tertentu dan penyelenggaraannya menggunakan mekanisme asuransi sosial. Sebagai lembaga negara yang bergerak dalam bidang asuransi sosial BPJS Ketenagakerjaan yang sebelumnya bernama PT. Jamsostek (Persero) merupakan pelaksana undang-undang jaminan sosial tenaga kerja. BPJS Ketenagakerjaan sebelumnya bernama Jamsostek (Jaminan sosial tenaga kerja), yang dikelola oleh PT. Jamsostek (Persero), tapi sesuai UU No. 24 tahun 2011 mengenai BPJS, PT. Jamsostek berubah menjadi BPJS Ketenagakerjaan terhitung sejak tanggal 1 Januari 2014. BPJS Kesehatan sebelumnya bernama Askes bersama BPJS Ketenagakerjaan merupakan sebuah program pemerintah dalam kesatuan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diresmikan pada tanggal 31 Desember 2013. Untuk BPJS Kesehatan mulai beroperasi sejak tanggal 1 Januari 2014, sedangkan BPJS Ketenagakerjaan mulai beroperasi sejak 1 Juli 2015. Sebelum UU BPJS berlaku, penetapan Jaminan Kecelakaan Kerja juga telah diatur dalam UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) dan
diselenggarakan dengan tujuan menjamin agar peserta memperoleh manfaat pelayanan kesehatan dan santunan uang tunai bila seorang pekerja mengalami kecelakaan kerja atau menderita penyakit akibat kerja, demikan disebut dalam Pasal 29 ayat (2) UU SJSN. Jaminan kecelakan kerja sendiri merupakan salah satu program yang diselenggarakan oleh BPJS Ketenagakerjaan di antara program-program lainnya sebagaimana yang disebut dalam Pasal 9 ayat (2) UU BPJS. Jaminan Kecelakaan kerja telah diatur dalam Pasal 29 s.d Pasal 34 UU SJSN yang antara lain mengatur bahwa jaminan kecelakaan kerja diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan diselenggarakan dengan tujuan menjamin agar peserta mendapatkan manfaat pelayanan kesehatan dan santunan uang tunai apabila seorang pekerja mengalami kecelakaan kerja atau menderita penyakit akibat kerja. Selain itu, besarnya iuaran jaminan kecelakaan kerja sebesar persentase tertentu dari upah atau penghasilan yang ditanggung seluruhnya oleh pemberi kerja (Pasal 34 ayat 1 UU SJSN). Kesehatan dan keselamatan tenaga kerja merupakan tanggung jawab pengusaha sehingga pengusaha memiliki kewajiban untuk membayar iuran jaminan kecelakaan kerja yang berkisar antara 0,24% s/d 1,74% sesuai dengan kelompok jenis usaha. Iuarn ini sepenuhnya dibayarkan oleh perusahaan. Dengan demikian, pada dasarnya JKK yang diselenggarakan oleh BPJS Ketenagakerjaan sesuai dengan penyelenggara JKK yang diatur dalam Pasal 29 sampai dengan Pasal 34 UU SJSN. Pasal-pasal tersebut antara lain mengatur bahwa peserta yang mengalami kecelakaan kerja berhak mendapatkan manfaat berupa pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medisnya dan mendapatkan manfaat berupa uang tunai bila terjadi cacat total tetap atau meninggal dunia. Selain itu, manfaat jaminan kecelakaan kerja yang berupa uang tunai diberikan sekaligus kepada ahli waris pekerja yang meninggal dunia atau pekerja yang mengalami cacat sesuai dengan tingkat kecacatannya.
Artikel 3 Upload 20.04.2016 Peraturan Terkait Uang Saku Perjalanan Dinas, Ada?
ICCA - Tak dapat dipungkiri lagi, tak sedikit perusahaan dan pekerja atau buruh yang mengalami kebingungan mengenai peraturan terkait uang saku untuk perjalanan dinas. Perjalanan dinas sendiri merupakan salah satu kegiatan yang dilakukan oleh pekerja atau buruh dalam sebuah perusahaan, bahkan hal ini juga tejadi pada instansi pemerintah. Tentu saja, untuk meningkatkan kelancaran pelaksanaan tugas tersebut pekerja atau buruh perlu diberikan penggantian ataupun dengan cara pemberian uang muka untuk biaya-biaya yang dikeluarkan sehubungan dengan kedinasannya. Sehubungan dengan hal ini, perusahaan perlu mengatur peraturan perjalanan dinas yang mencakupi biaya akomodasi, biaya transportasi dan uang saku untuk dijadikan pedoman oleh pekerja atau buruh sehingga mereka mengetahui tugas-tugas yang harus diselesaikan, fasilitas yang didapatkan selama perjalanan dinas, jumlah biaya-biaya yang akan diganti perusahaan, tata tertib yang harus dipatuhi, dan prosedur administratif yang harus ditempuh sebelum dan sesudah perjalanan dinas tersebut. Lalu, Adakah peraturan terkait pemberian uang saku untuk perjalanan dinas? Ketentuan mengenai uang saku saat perjalanan dinas mungkin dapat dikategorikan sebagai salah satu bentuk kebijakan pengupahan (Salary). Akan tetapi untuk peraturan atau undang-undang yang mengatur masalah ini belum ada atau bahkan mungkin tidak akan mengatur mengenai kebijakan uang saku bagi perusahaan. Menurut UU No. 13 tahun 2003 mengenai ketenagakerjaan, khususnya pada Pasal 88 ayat 3, memang mengamanatkan kepada pemerintah untuk menetapkan beberapa kebijakan pengupahan guna memberikan perlindungan kepada para pekerja ataupun
buruh. Tapi yang harus digaris bawahi pemerintah tidak bisa mengatur semua hal dan segala persoalan dalam peraturan dan perundang-undangan. Ada wilayah-wilayah tertentu yang memang merupakan domain para pihak terkait untuk mengatur dan memperjanjikannya secara terbuka (tidak harus diatur undang-undang). Apabila semua hal (akan) diatur dalam peraturan perundang-undangan, maka hilanglah kemerdekaan dan kebebasan para pihak untuk memperjanjikan apa saja dengan siapa saja berdasarkan prinsip consensualism (Pasal 1321 jo, Pasal 1320 dan Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Jadi intinya, peraturan terkait pemberian uang saku untuk perjalanan dinas merupakan kebijakan internal manajemen perusahaan. Kebijakan pemberian uang saku untuk perjalanan dinas bukan merupakan kebijakan umum (domain public), cukup diatur di internal manajemen perusahaan secara wajar dan pantas serta proporsional.
Artikel 4 Upload 27.04.2016 Bagaimana Jika Lembur Kurang dari 30 Menit? ICCA - Lembur atau overtime, terkadang seperti dua sisi uang logam, diinginkan saat ingin mengejar target produksi, namun di sisi lainnya dalam jumlah tertentu juga dapat menjadi indikator rendahnya volume produksi saat jam kerja normal. Tapi apapun latar belakangnya setiap pekerja atau buruh mutlak harus mengetahui masalah regulasi atau ketentuan yang mengatur tentang mekanisme pelaksanaan hingga perhitungan nominal upah lembur yang harus dibayarkan.
Upah kerja lembur adalah upah yang diterima oleh pekerja atau buruh atas pekerjaan sesuai dengan jumlah waktu kerja lembur yang telah dilakukannya dan waktu kerja lembur adalah waktu kerja yang melebihi 7 jam sehari untuk 6 hari kerja dan 40 jam dalam seminggu atau 8 jam sehari untuk 8 hari kerja dan 40 jam dalam seminggu atau waktu kerja pada hari istirahat mingguan atau pada hari libur resmi yang telah ditetapkan oleh pemerintah (Pasal 1 ayat 1 peraturan menteri no. 102/MEN/VI.2014).. Ketentuan tentang waktu kerja lembur dan upah kerja lembur telah diatur dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang ketenaga kerjaan pasal 78 ayat (2),(4), pasal 85 dan lebih lengkapnya diatur dalam Kepmenakertrans No. 102/MEN/VI/2004 mengenai waktu dan upah kerja lembur.
Lalu bagaimana jika waktu lembur kurang dari 30 menit? Memang dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kepmenakertrans) republik Indonesia No. KEP-102/MEN/VI/2004 tentang waktu kerja lembur dan upah kerja lembur tidak diatur secara rinci apakah jika kurang dari 30 menit tidak dihitung lembur atau tidak. Pada Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 1954 tentang pekerja dan pemerintah memang pernah ada peraturan yang mengatur waktu lembur di bawah 30 menit. Dalam peraturan pemerintah tersebut disebutkan bahwa waktu lembur yang kurang dari 30 menit dihapuskan dan 30 menit atau lebih dibulatkan ke atas menjadi 60 menit. Namun Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia yang menjadi dasar PP 31/1954 Sudah tidak berlaku lagi. Saat ini, mengenai lembur pegawai negeri sipil diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 125/PMK.05/2009 tentang Kerja Lembur dan Pemberian Uang Lembur Bagi Pegawai Negeri Sipil. Pada dasarnya pengusaha yang mempekerjakan pekerja atau buruh melebih waktu kerja, wajib membayar upah kerja lembur. Akan tetapi, ketentuan waktu kerja lembur ini tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu.
Mei 2016
Artikel 1 Upload 2016.05.04 Jika Perusahaan Pailit Bagaimana Hak dan Nasib Karyawan?
ICCA - Hubungan kerja yang terjadi antara pengusaha dengan pekerja atau buruh selalu berdasarkan perjanjian kerja. Perjanjian kerja merupakan perjanjian antara pekerja atau buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak terkait. Pekerja atau buruh memang memiliki fungsi dan peranan yang sangatlah penting dalam suatu perkembangan usaha atau bisnis. Dapat diibaratkan, pekerja atau buruh merupakan lokomotif penggerak suatu entitas bisnis yang tergabung dalam suatu manajemen perusahaan. Tanpa adanya buruh atau pekerja tidak mungkin suatu perusahaan dapat melakukan operasional bisnisnya untuk mewujudkan tujuan perusahaan dalam mendapatkan laba. Lalu bagaimanakah nasib dan hak karyawan atau buruh bila perusahaan mengalami pailit? Idealnya, begitu upah tidak dibayarkan, saat itu pula pekerja atau buruh harus segera menuntut haknya. Ketika perusahaan mengalami krisis finansial dan kondisi tersebut terjadi hingga bertahun-tahun lamanya maka semakin tak jelas pulalah nasib semua pekerja atau buruh yang bekerja di perusahaan tersebut. Kepailitan adalah suatu proses di mana seseorang debitur yang sedang memiliki keuangan untuk membayar utangnya dan dinyatakan pailit oleh pengadilan, dalam hal ini adalah pengadilan niaga dan dikarenakan debitur tersebut tidak dapat membayar utangnya. Harta
debitur dapat dibagikan kepada para kreditur sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Proses kepailitan merupakan proses panjang yang melelahkan. Di satu sisi akan banyak pihak (kreditor) yang akan terlibat dalam proses tersebut, karena pihak debitor yang dipailitkan pasti memiliki utang lebih dari satu, sedangkan di sisi lain, belum tentu harta pailit mencukupi, apalagi dapat memenuhi semua tagihan yang ditunjukan pada debitor. Menurut Pasal 95 ayat (4) UU Ketenagakerjaan memang mewajibkan perusahaan yang pailit harus mendahulukan pemenuhan hak-hak pekerja seperti perseorangan dan hak-hak lainnya. Tapi, dalam praktiknya, terdapat urutan peringkat penyelesaian tagihan kreditor setelah selesainya kreditor separatis, dimana upah pekerja atau buruh harus menunggu urutan setelah tagihan hak Negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk pemerintah untuk didahulukan. Dalam Pasal 1149 KUH Perdata, piutang pekerja atau buruh terhadap perusahaan atau majikan berkedudukan sebagai kreditor atau piutang preferen, sehingga dengan dinyatakan pailitnya debitor tidak akan menghilangkan hak-hak pekerja ataupun buruh sebagai kreditor terhadap perusahaan tersebut. Pekerja atau buruh dapat menuntut pembayaran upahnya sebagai kreditor dengan mengajukan tagihan kepada kurator yang ditunjuk oleh Pengadilan Niaga yang bertugas untuk mengurus dan membereskan harta debitor yang pailit. Kurator harus mendahulukan pembayaran upah pekerja ataupun buruh sebagai kreditor preferen dari hasil penjualan boedel pailit daripada pembayaran kepada kreditor konkuren. Jadi Anda tak perlu khawatir lagi apabila perusahan tempat Anda bekerja dinyatakan pailit, karena secara teoritis hak Anda sebagai karyawan atau buruh cukup terjamin.
Artikel 2 Upload 2016.05.11 Diskriminasi Di Tempat Kerja, Masalah Serius Kah?
ICCA - Dunia kerja memang dunia yang dinamis. Ragam karakter manusia berkumpul di suatu tempat dan akan bertemu setiap hari. Dalam sebuah perusahaan, karyawan adalah orang yang memiliki peranan penting dalam menggerakan roda bisnis. Tapi semua itu akan berubah bila masih adanya perlakuan yang berbeda atau diskriminasi di tempat kerja. Diskriminasi yang terjadi dalam dunia kerja memang tidak bisa dipungkiri bahwa masih sering terjadi hingga saat ini, meskipun tidak semua tempat kerja seperti itu. Diskriminasi di tempat kerja berarti mencegah seseorang untuk memenuhi aspirasi profesional dan pribadinya tanpa mengindahkan prestasi yang dimilikinya dan diskriminasi juga dapat dikatakan sebagai kegiatan yang melanggar hukum. Menurut UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan (UUK) disebutkan bahwa perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin hak-hak dasar pekerja atau buruh dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja ataupun buruh beserta keluarganya dengan
tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha. Serta, setiap pekerja atau buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha (Pasal 6 UUK). Diskriminasi dalam hal pekerjaan dan jabatan juga telah disahkan dengan UU No. 21 Tahun 1999 yang meliputi: Setiap pembedaan, pengecualian, atau pengutamaan atas dasar ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, keyakinan politik, kebangsaan atau asal-usul sosial yang berakibat meniadakan atau mengurangi persamaan kesempatan atau perlakuan dalam pekerjaan atau jabatan. Perbedaan, pengecualian atau pengutamaan yang berakibat meniadakan atau mengurangi persamaan kesempatan atau perlakuan dalam pekerjaan atau jabatan sebagaimana ditentukan oleh anggota yang bersangkutan setelah berkonsultasi dengan wakil organisasi pengusaha dan pekerja bila ada, dan dengan badan lain yang sesuai. Salah satu contoh diskriminasi di tempat kerja adalah masalah gender. Diskriminasi gender merupakan bentuk perlakuan yang merujuk kepada ketidakadilan yang diterima oleh individu tertentu , dalam bentuk pelayanan atau fasilitas yang disebabkan karakteristik tertentu yang dimiliki oleh individu tersebut. Dalam diskriminasi gender, perlakuan tidak adil memang kerap diterima oleh wanita. Orang sering mengaitkan wanita dengan kodratnya sebagai ibu rumah tangga dan sekaligus menjadi pembenaran bahwa wanita itu harus berada di belakang laki-laki dalam segala aspek kehidupan. Dari ketentuan diatas, sebenarnya perlindungan atau payung hukum sudah ada hanya saja praktek di lapangan masih sering kali tidak sesuai. Selain itu, membuktikan tindakan diskrimasinasi juga cukup sulit.
Artikel 3 Upload 2016.05.18 Karyawan Kontrak, Apakah Berhak Mendapat Pesangon?
ICCA - Apakah karyawan kontrak akan mendapatkan pesangon jika masa kontraknya selesai? Pertanyaan seperti ini mungkin sering Anda dengar juga diutarakan oleh karyawan kontrak. Bagi Anda yang sedang mempertanyakan hal ini, semoga artikel ini dapat membantu Anda menemukan jawabannya. Di dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, sebenarnya tidak ada istilah kontrak atau tetap. Tapi yang ada adalah Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PWKT) dan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu atau tetap (PKWTT). Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PWKT) adalah perjanjian kerja antara pekerja atau buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerjaan tertentu. Menurut pasal 59 Ayat (1 s/d 8) Undang-Undang No. 13 tahun 2003 mengenai Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PWKT), bahwa:
Penyimpangan yang kerap terjadi yang dilakukan oleh perusahaan terhadap buruhnya adalah kontrak kerja yang berkepanjangan atau terus menerus. Padahal PKWT itu hanya boleh dilakukan 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali dengan jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.
Pelanggaran berikutnya yang kerap dilakukan oleh perusahaan adalah meng-PKWT-kan semua jenis pekerjaan. Padahal PKWT itu hanya berlaku pada jenis pekerjaan tertentu seperti yang telah tertulis di dalam Kep.100/Men.VI/2004.
Jika ketentuan yang telah tertulis dilanggar oleh perusahaan, maka demi hukum PWKT tersebut menjadi batal dan jatuh secara otomatis menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PWKTT). Maka jika karyawan atau buruh kontrak diberhentikan dengan alasan masa kontrak habis, padahal masa berlaku kontraknya telah melebihi batas waktu yang telah ditentukan oleh hukum atau karyawan ataupun buruh diberhentikan dengan alasan serupa padahal dia bekerja bukan pada jenis pekerjaan yang diperbolehkan untuk PKWT, maka karyawan ataupun buruh tersebut berhak mendapatkan pesangon. Intinya, Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PWKT) pada dasarnya hanya boleh untuk pekerjaan tertentu dengan jangka waktu 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali dengan jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun, atau hanya dapat diperbarui 1 (satu) kali untuk paling lama 2 (dua) tahun. Apabila pengusaha melanggar ketentuan tersebut maka PKWT akan berubah menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PWKTT). Jika Anda adalah pekerja dengan PKWTT (karena pengusaha melanggar ketentuan UU Ketenagakerjaan) dan bila Anda mendapatkan pemutusan hubungan kerja, maka Anda berhak atas uang pesangon. Akan tetapi, jika Anda PKWT dan perjanjian kontrak telah berakhir, maka Anda tidak akan mendapatkan pesangon.
Artikel 4 Upload 2016.05.25 Bagaimana Cara Menghitung Tunjangan Hari Raya? Ini Dia Dasar-Dasarnya
ICCA - Tunjangan Hari Raya (THR) merupakan pendapatan non upah yang menjadi kewajiban untuk dibayarkan oleh pengusaha kepada pekerja atau buruh menjelang hari raya keagamaan. THR ini wajib dibayarkan oleh pengusaha paling lambat tujuh hari sebelum hari raya keagamaan. THR berlaku bagi seluruh pekerja atau buruh dan wajib dibayarkan pada saat hari besar agama, seperti hari raya Idul Fitri untuk pekerja atau buruh yang beragama islam, hari raya Natal untuk yang beragama Kristen Katholik dan Prostestan, hari raya Nyepi untuk yang beragama Hindu, hari raya Waisak untuk yang beragama Budha. Sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 6 tahun 2016 bahwa karyawan yang telah memiliki masa kerja satu bulan berhak mendapatkan THR dengan perhitungan proporsional. Pada prinsipnya, setiap pengusaha yang mempekerjakan pekerja atau buruh dalam suatu hubungan kerja dengan memberikan upah maka diwajibkan untuk membayar THR. Lalu Bagaimana Cara Menghitung Besaran THR? Menurut Pasal 3 Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 6 tahun 2016 bahwa:
1.
Besaran THR Keagamaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) ditetapkan sebagai berikut: a. Pekerja atau buruhh yang telah mempunyai masa kerja 12 (dua belas) bulan secara terus menerus atau lebih, diberikan sebesar 1 (satu) bulan upah. b. Pekerja atau buruh yang mempunyai masa kerja 1 (satu) bulan secara terus menerus tetapi kurang dari 12 (dua belas) bulan, diberikan secara proporsional sesuai masa kerja. Dengan perhitungan, Masa kerja x 1 (satu) bulan upah / 12 bulan 2. Upah 1 (satu) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas komponen upah: a. Upah tanpa tunjangan yang merupakan upah bersih (clean wages) atau b. Upah pokok termasuk tunjangan tetap. 3. Bagi pekerja atau buruh yang bekerja berdasarkan perjanjian kerja harian lepas, upah 1 (satu) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sebagai berikut: a. Pekerja atau buruh yang telah mempunyai masa kerja 12 (dua belas) bulan atau lebih upah 1 (satu) bulan dihitung berdasarkan rata-rata upah yang diterima dalam 12 (dua belas) bulan terakhir sebelum Hari Raya Keagamaan. b. Pekerja atau buruh yang mempunyai masa kerja kurang dari 12 (dua belas) bulan, upah 1 (satu) bulan dihitung berdasarkan rata-rata upah yang diterima tiap bulan selama masa kerja. Jadi intinya adalah pekerja atau buruh yang telah mempunyai masa kerja 12 (dua belas) bulan secara terus menerus atau lebih, wajib diberikan THR sebesar 1 (satu) bulan upah dan sedangkan pekerja atau buruh yang mempunyai masa kerja 1 (satu) bulan secara terus menerus tetapi kurang dari 12 (dua belas) bulan wajib diberikan THR secara proporsional.
Agustus 2016
Artikel 1 Upload 2016.08.03 Peraturan dan Ketentuan Khusus Mengenai Masa Kerja WNA di Indonesia
ICCA - Perkembangan globalisasi mendorong terjadinya pergerakan aliran modal dan investasi ke berbagai penjuru dunia. Juga mendorong pergerakan tenaga kerja antar negara. Lalu apakah ada ketentuan khusus untuk masa kerja WNA di Indonesia? Tenaga kerja Asing (TKA) itu dipekerjakan dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) pada dasarnya masa kerja Warga Negara Asing (WNA) atau TKA bergantung pada perjanjian kerjanya. Pada Pasal 42 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003 (Tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu) dan dapat dipastikan bahwa TKA bukan pekerja permanen melainkan pekerja untuk waktu tertentu. Inilah yang menjadi ketentuan khusus untuk mengatur mengenai tenaga kerja asing. Pengaturan TKA berbeda dengan TKI Peraturan perundang-undangan di Indonesia sangatlah jelas untuk memberikan perlakuan yang berbeda antar Tenaga Kerja Asing dan tentunya dengan Tenaga Kerja Indonesia. Mengapa harus dilakukan secara berbeda antara TKI dan TKA? Tujuan dari
pembedaan ini untuk membatasi penggunaan Tenaga Kerja Asing dan lebih mengutamakan penggunaan Tenaga Kerja Indonesia. Perlakuan yang berbeda terhadap TKA bukan untuk melakukan diskriminasi, hal ini sejalan dengan tujuan dibentuknya UU No. 13 Tahun 2003 sebagaimana tertuang dalam penjelasan umum, yaitu untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing tenaga kerja Indonesia. Tujuan ini didukung pula dengan pasal 2 ayat 1 Keputusan Presiden No. 75 Tahun 1995 Tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing Pendatang yang menyatakan, bahwa pengguna Tenaga Kerja Asing wajib mengutamakan penggunaan Tenaga Kerja Indonesia di semua bidang dan jenis pekerjaan yang tersedia. Pembatasan Tenaga Kerja Asing tersebut diwujudkan dengan adanya mekanisme dan prosedur yang ketat terutama dengan diadakannya kewajiban untuk mendapatkan persetujuan atas RPTKA (Pasal 43 (1) UU No. 13 Tahun 2003 serta kewajiban untuk memperoleh IMTA bagi setiap Tenaga Kerja Asing (Pasal 42 (1) UU No. 13 Tahun 2003) dan untuk para pengguna Tenaga Kerja Asing juga diwajibkan untuk membayar dana pengembangan keahlian dan keterampilan sebesar $ 100 setiap bulannya sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja PER.02/MEN/III/2008 tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing. Jadi intinya adalah PKWT yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun dan Pembaruan PKWT hanya dapat diadakan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari dari hari berakhirnya PWKT yang lama. Pembaruan PKWT ini hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali dan paling lama 2 (dua) tahun.
Artikel 2 Upload 2016.08.10 Gajian Tidak Tepat Waktu? Ini yang Harus Kamu Lakukan!
ICCA - Terlambat menerima gaji merupakan salah satu lika-liku di dunia kerja yang mungkin juga pernah Anda alami. Entah karena sistem pembayaran yang sedang down atau memang ada masalah keuangan yang sedang dialami oleh perusahaan tempat Anda bekerja. Sebagai karyawan, sangatlah wajar bila lantas Anda marah atau kesal karena keterlambatan pembayaran ini. Upah atau gaji merupakan hak dari seorang pekerja. Dalam undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan), disebutkan bahwa upah adalah hak pekerja atau buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja ataupun buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja ataupun buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan atau jasa yang telah atau akan dilakukan. Pada dasarnya pengusaha diwajibkan untuk membayarkan upah atau gaji tepat pada waktu yang telah diperjanjikan antara pengusaha atau buruh. Dalam hal ini termasuk hari atau tanggal yang telah disepakati apakah jatuh pada hari libur atau hari yang diliburkan. Pembayaran upah atau gaji ini telah diatur dalam sebuah perjanjian kerja, peraturan perusahaan, ataupun perjanjian kerja bersama dan yang paling penting untuk diingat bagi para pengusaha adalah upah para kerja atau buruh harus dibayarkan seluruhnya pada setiap periode dan per tanggal pembayaran upah atau gaji. Lalu bagaimana bila kondisi ini menimpa Anda?
Apabila pengusaha tidak membayarkan upah atau gaji tepat waktu sesuai dengan waktu yang telah diperjanjikan, maka pengusaha tersebut dapat dikenakan denda dengan ketentuan sebagai berikut: a. Mulai dari hari keempat sampai hari kedelapan terhitung tanggal seharusnya upah atau gaji dibayarkan, maka pengusaha dikenakan denda sebesar 5% (lima persen) untuk setiap hari keterlambatan dari upah atau gaji yang seharusnya dibayarkan. b. Sesudah hari kedelapan, apabila upah atau gaji masih belum dibayarkan juga, pengusaha akan dikenakan denda keterlambatan sebagaimana dimaksud dihuruf a dan ditambah 1% (satu persen) untuk setiap hari keterlambatan dengan ketentuan 1 (satu) bulan tidak boleh melebihi 50 % (lima puluh persen) dari upah atau gaji yang seharusnya dibayarkan. c. Sesudah sebulan, apabila upah atau gaji masih belum dibayarkan juga, maka pengusaha akan dikenakan denda keterlambatan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b ditambah bunga sebesar suku bunga yang berlaku pada bank pemerintah. Dari pengenaan denda-denda yang tercantum diatas tentu saja tidak menghilangkan kewajiban pengusaha untuk tetap membayarkan upah atau gaji kepada pekerja ataupun buruh. Sebelum Anda memutuskan untuk menempuh jalur hukum mengenai masalah ini langkah awal yang harus Anda lakukan adalah membicarakan hal ini terlebih dahulu dengan pengusaha atau pihak yang berwenang di perusahaan Anda bekerja (jalur biparit). Apabila tidak kunjung menemukan penyelesaian, Anda dapat melakukan penyelesaian perselisihan tersebut melalui triparit dengan cara mediasi. Jika dengan proses mediasi tidak juga berhasil, maka Anda dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Hubungan Industrial. Demikianlah penjelasn mengenai Pembayaran upah atau gajian yang tidak tepat waktu.
Artikel 3 Upload 2016.08.18 Ini Langkah Awal Jika Ingin Menjual Saham Perseroan Terbatas
ICCA - Saham adalah tanda penyertaan modal pada suatu Perseroan Terbatas (PT) dan saham juga di identifikasikan sebagai surat bukti kepemilikan dalam suatu Perseroan Terbatas (PT) yang diperoleh melalui pembelian atau cara lain yang kemudian memberikan hak atas deviden dan lain-lain sesuai dengan besar kecilnya investasi modal pada perusahaan tersebut atau dengan kata lain saham adalah surat berharga yang dapat menunjukkan kepemilikan atau penyertaan pasar modal investor dalam suatu perusahaan. Saham juga memberikan indikasi kepemilikan atas perusahaan sehingga para pemegang saham berhak menentukan arah kebijaksanaan perusahaan lewat Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Para pemegang saham juga turut menanggung risiko sebesar saham yang dimilikinya apabila perusahan tersebut bangkrut. Menurut Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan terbatas (UU PT) dan berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-undang Perseroan Terbatas (UU PT), definisi Perseroan Terbatas (PT) adalah Badan hukum yang merupakan persekutuan modal yang didirikan berdasarkan perjanjian dan melakukan semua kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham, serta memenuhi persyaratan
yang telah ditetapkan dalam Undang-undang ini serta pelaksanaannya. Lalu bagaimanakah langkah awal bila Anda ingin menjual saham yang dimiliki? Simaklah, penjelasan dibawah ini: Apabila Anda berniat untuk menjual saham di Perseroan Terbatas (PT) mak ada proses dan aturan yang harus ditaati, baik itu yang telah diatur dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) ataupun yang diatur dalam Anggaran Dasar Perseroan, seperti yang telah diatur dalam UU PT diantaranya Pasal 56, Pasal 57 dan Pasal 59 yang berbunyi: Pasal 56 UU PT 1. Pemindahan hal atas saham dilakukan dengan akta pemindahan hak. 2. Akta pemindahan hak sebagaimana dimaksud pada ayat 1 atau salinannya disampaikan secara tertulis kepada Perseroan. Pasal 57 UU PT 1. Dalam anggaran dasar dapat diatur persyaratan mengenai pemindahan hak atas saham, yaitu: a. Keharusan menawarkan terlebih dahulu kepada pemegang saham dengan klasifikasi tertentu atau pemegang saham lainnya. b. Keharusan mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari Organ Perseroan dan atau. c. Keharusan mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 59 UU PT 1. Pemberian persetujuan pemindahan hak atas saham yang memerlukan persetujuan organ perseroan atau penolakannya harus diberikan secara tertulis dalam jangka waktu paling lam 90 (Sembilan puluh) hari terhitung sejak tanggal organ perseroan menerima permintaan persetujuan pemindahan hak tersebut. 2. Dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud ayat 1 telah lewat dan organ perseroan tidak memberikan pernayataan tertulis, maka organ perserian dianggap menyetujui pemindahan hal atas saham tersebut. 3. Dalam hal pemindahan hak atas saham disietujui oleh Organ Perseroan, pemindahan hak harus dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 dan dilakukan dalam jangka waktu paling lama 90 (Sembilan puluh) rai terhitungsejak tanggal persetujuan diberikan. Dengan sedikit penjelasan di atas, maka yang dapat di simpulkan sebelum Anda menjual saham ada baiknya lakukanlah 5 hal seperti dibawah ini: 1. Anda perlu memperhatikan ketentuan mengenai keharusan menawarkan terlebih dahulu saham tersebut di antara para pemegang saham perseroan, keharusan terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari Organ Perseroan, keharusan terlebih dahulu untuk mendapatkan persetujuan dari Organ Perseroan yakni Rapat
Umum Pemegang Saham (RUPS), direksi dan Dewan Komisaris ataukeharusan untuk mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari instansi yang berwenang. 2. Jika untuk melakukan pemindahan saham maka Anda harus mendapatkan persetujuan dai RUPS , maka mengajukan permohonan atau permintaan pemindahan hak atas saham kepada Organ Perseroan yakni RUPS, Direksi, dan Dewan Komisaris. 3. Persetujuan atau penolakan diberikan dalam jangka waktu 90 hari sejak tanggal Organ Perseroan menerima permohonan atau permintaan pemindahan hak atas saham. 4. Jika setelah lewat dari 90 (Sembilan puluh) hari Organ Perseroan tidak memberikan pernyataan tertulis, maka dianggap meneyetujui pemindahan hak atas saham. 5. Jika tahap 1 s.d 4 telah Anda lakukan maka langkah selanjutnya adalah buatlah Akta Pemindahan Hak atas Saham dan salinannya disampaikan kepada Perseroan. Demikianlah penjelasan singkat mengenai Langkah awal apabila Anda ingin menjual saham perseroan terbatas.
Artikel 4 Upload 2016.08.24 Perusahaan Tidak Dapat Membayar Hutang dalam Proses PKPU Setelah Putusan Homologasi? Ini Dia Akibatnya!
ICCA - Penundaan kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) diatur pada BAB II UU Kepailitan, tepatnya Pasal 212 sampai Pasal 279 Undang-undang Kepailitan. PKPU adalah prosedur hukum (atau upaya hukum) yang memberikan hak kepada setiap debitur yang tidak dapat atau memperkirakan bahwa tidak akan dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat memohon penundaan kewajiban pembayaran utang, dengan maksud pada umumnya untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawarn pembayaran seluruh atau sebagian utang kepada kreditur konkuren ( Pasal 212 UU Kepailitan). Maksud dan tujuan dari PKPU telah tercantum pada ketentuan pada Pasal 222 Ayat (2) dan (3) UU No. 37 Tahun 2004: 2. Debitor yang tidak dapat atau memperkirakan tidak akan dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat
memohon penundaan kewajiban pembayaran utang dengan maksud untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagai atau seluruh utang kepada kreditor. 3. Kreditor yang memperkirakan bahwa debitor tidak dapat melanjutkan membayar utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat memohon agar kepada debitor diberi penundaan kewajiban pembayaran utang untuk memungkinkan debitor mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada kreditornya. Dari Pasal-pasal tersebut dapat diartikan bahwa maksud dari PKPU adalah untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran seluruh atau sebagian utang kepada kreditur konkuren agar seorang debitor dapat meneruskan usahanya meskipun ada kesukaran pembayaran dan tentu saja untuk menghindari kepailitan. Lalu bagaimana bila perusahaan tersebut tetap tidak dapat membayar hutang sebagaimana yang telah diatur dalam Putusan Homologasi? Apabila situasi ini terjadi dapat dikatakan bahwa perusahaan tersebut telah lalai dalam memenuhi Putusan Homologasi. Dari situasi seperti ini dampak yang akan terjadi bagi perusahaan yang telah lalai dalam pemenuhan putusan homologasi adalah perusahaan tersebut harus dinyatakan pailit, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 291 ayat (2) Undang-undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan). Bila perusahaan tersebut tidak dapat memenuhi putusan homologasi, maka pihak kreditor dapat mengajukan tuntutan pembatalan perjanjian. Tuntutan pembatalan perdamaian atas PKPU diatur dalam Pasal 291 jo. Pasal 170 Ayat (1) jo. Pasal 171 jo. Pasal 294 UU Kepailitan. Demikianlah penjelasan singkat mengenai Proses PKPU dan Putusan Homologasi.
Artikel5 Upload 2016.08.31
Perusahaan Memaksakan Pekerja Bekerja Lembur! Bolehkah?
ICCA - Memaksa pekerja untuk mengerjakan suatu pekerjaan yang tidak sesuai dengan kehendak mereka dengan ancaman hukuman dapat menjadi indikasi kerja paksa, meskipun paksaan untuk bekerja itu dilakukan saat waktu kerja biasa atau waktu kerja lembur. Waktu kerja lembur adalah waktu kerja yang melebihi 7 jam sehari untuk 6 hari kerja dan 40 jam dalam seminggu atau 8 jam sehari untuk 8 hari kerja dan 40 jam dalam seminggu atau waktu kerja pada hari istirahat mingguan dan atau pada hari libur resmi yang ditetapkan Pemerintah (Pasal 1 Ayat 1 Peraturan Menteri No. 102/MEN/VI/2004) dan waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 jam/hari dan 14 jam dalam 1 minggu diluar istirahat mingguan atau hari libur resmi. Lalu, bagaimana hukumnya bila perusahaan memaksakan waktu kerja lembur dan tidak membayarkan upah kerja lembur? Simaklah ulasan berikut ini. Menurut UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjan (UUK) Pasal 78 ayat (2) adalah Kewajiban bagi pengusaha yang mempekerjakan pekerja atau buruh melebihi
waktu kerja untuk membayar upah kerja lembur. Pengusaha yang mempekerjakan pekerja atau buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib membayar upah kerja lembur. Akan tetapi, ketentuan waktu kerja lembur dan upah kerja lembur tersebut tidaklah berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu. Hal ini telah diatur dalam Pasal 78 Ayat (4) UUK, bahwa untuk sektor usaha atau pekerjaan tertentu diatur lebih lanjut secara khusus oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Dalam pasal 4 Ayat (2) Keputusan Menteri Ketenagakerjaan dan Transmigrasi No. KEP-102/MEN/VI/2004 Tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur (Kepmenakertrans), diatur bahwa pekerja atau buruh yang termasuk dalam golongan jabatan tertentu, tidak berhak atas upah kerja lembur dengan ketentuan mendapat upah yang lebih tinggi. Bagi pengusaha yang tidak membayarkan upah kerja lembur yang menjadi hak pekerjanya, Pasal 187 Ayat (1) UUK mengatur bahwa pengusaha tersebut dapat dikenakan sanksi pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Memang tidak bisa dipungkiri bahwa masih banyak pekerja atau buruh yang mengalami kejadian seperti tidak mendapatkan upah kerja lembur dan ada pula yang mendapatkan paksaan untuk waktu kerja lembur oleh perusahaan dimana tempat mereka bekerja, serta masih banyak pula pekerja yang tidak mengetahui secara jelas mengenai perhitungan upah kerja lembur.
September 2016
Artikel 1 Upload 2016.09. 07 Jam Kerja Pegawai Negeri Sipil di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang
ICCA - Pegawai Negeri Sipil (PNS) menurut UU No. 43 tahun 1999 adalah setiap warga Negara Republik Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pegawai Negeri Sipil bertugas menjamin penyelenggaraan tugas pemerintahan dan pembangunan. Jam kerja adalah waktu untuk melakukan pekerjan, dapat dilaksanakan siang hari atau malam hari. Jam kerja bagi para pekerja di sektor swasta telah diatur dalam undangundang No.13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, khususnya pasal 77 sampai dengan pasal 85.
Pada pasal 77 ayat 1, UU No. 13 tahun 2003 tertulis bahwa mewajibkan setiap pengusaha untuk melaksanakan ketentuan jam kerja. Ketentuan jam kerja ini telah diatur dalam 2 sistem yaitu: 7 jam kerja dalam 1 hari atau 40 jam kerja dalam 1 minggu untuk 6 hari kerja dalam 1 minggu. 8 jam kerja dalam 1 hari atau 40 jam kerja dalam 1 minggu untuk 5 hari kerja dalam 1 minggu. Pada kedua sistem diatas jam kerja tersebut juga diberikan batasan jam kerja yaitu 40 (empat puluh) jam dalam 1 (satu) minggu. Apabila melebih dari ketentuan waktu kerja tersebut, maka waktu kerja biasa dianggap masuk sebagai waktu kerja lembur sehingga pekerja atau buruh berhak mendapatkan upah lembur. Lalu bagaimanakah dan adakah undang-undang yang mentaur jam kerja Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Indonesia? Pada prinsipnya, ketentuan dalam Undang-Undang No,13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) tidak berlaku bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Maka untuk Pegawai Negeri Sipil (PNS) ketentuan yang berlaku adalah Undang-Undang No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) beserta peraturan pelaksananya. Dalam Pasal 1 angka 3 UU ASN telah disebutkan bahwa Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai Pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN) secara tetap oleh pejabat pembina kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintah dan yang menjadi dasar waktu kerja bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) bukanlah pasal 77 ayat (2) UU Ketenagakerjaan, melainkan Pasal 3 angka 11 Peraturan Pemerintah No. 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (PP Disiplin PNS) sebagai peraturan pelaksana UU ASN (yang masih berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti berdasarkan UU ASN) dan Keputusan Presiden Nomor 68 Tahun 1995 tentang hari kerja di lingkungan Lembaga Pemerintah (Keppres 68/1995). Dalam pasal tersebut juga diatur beberapa kewajiban Pegawai Negeri Sipil (PNS), salah satunya adalah PNS wajib masuk kerja dan menaati ketentuan jam kerja. Jam kerja Pegawai Negeri Sipil (PNS) tidak diatur secara rinci dalam PP Disiplin PNS, akan tetapi diatur lebih lanjut dalam Keputusan Presiden Nomor 68 Tahun 1995 tentang Hari Kerja di Lingkungan Lembaga Pemerintah (Keppres 68/1995) sebagai berikut: 1. Hari kerja bagi seluruh lembaga Pemerintah Tingkat Pusat dan Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya ditetapkan lima hari kerja mulai hari Senin sampai dengan hari Jumat. 2. Jumlah jam kerja efektif dalam lima hari kerja tersebut adalah 37,5 jam, dan ditetapkan sebagai berikut: a. Hari senin sampai dengan hari kamis: Jam 07.30 – 16.00, Waktu istirahat: Jam 12.00 – 13.00. b. Hari Jumat: jam 07.30 – 16.30, Waktu istirahat: Jam 11.30 – 13.00.
3.
Jam kerja dalam angka 1 dan 2 tidak berlaku bagi: a. Unit-unit di lingkungan lembaga pemerintah yang tugasnya bersifat pemberian pelayanan kepada masyarakat. b. Lembaga pendidikan mulai dari sekolah dasar (SD), Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), dan Sekolah Lanjutan Atas (SLTA). Jadi intinya adalah ketentuan mengenai waktu kerja bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) berbeda dengan ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan. Ketentuan dalam UU ASN dan aturan-aturan pelasananya lah yang berlaku untuk Pegawai Negeri Sipil (PNS). UU ASN berisi ketentuan-ketentuan umum yang kemudian diatur kembali dalam peraturan pelaksannya serta peraturan lain yang dikeluarkan oleh masing-masing instansi, badan, lembaga sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Artikel 2 Upload 2016.09.14 Penuhi Syarat Ini Bila Tenaga Kerja Asing Ingin Bekerja di Indonesia
ICCA - Makin banyak tenaga kerja asing yang bekerja di Indonesia, tentu saja membuat sebagian masyarakat Indonesia kesal dan tidak sedikit juga masyarakat Indonesia yang merasa tersingkir dari negaranya sendiri. Mengapa demikian? Perkembangan globalisasi yang mendorong terjadinya pergerakan akan aliran modal dan investasi ke berbagai penjuru dunia, serta terjadi pula migrasi penduduk atau pergerakan tenaga kerja antar negara. Sebenarnya masyarakat Indonesia tidak perlu merasa tersingkir untuk bekerja di negaranya sendiri karena, pada dasarnya filosofi ketenagakerjaan Indonesia adalah untuk melindungi tenaga kerja berkewarganegaraan Indonesia yang bekerja di Indonesia. Tenaga Kerja Asing (TKA) adalah warga asing pemegang visa yang memiliki maksud untuk bekerja di wilayah Indonesia. Setiap pengguna atau pemberi kerja Tenaga Kerja Asing (TKA) sangat diwajibkan untuk mengutamakan penggunaan Tenaga Kerja Indonesia di semua bidang dan semua jenis pekerjaan yang tersedia. Apabila pengusaha ingin mempekerjakan TKA, maka harus diketahui bahwa ada jabatan atau posisi yang tidak boleh diduduki oleh TKA. Misalkan Direktur Personalia (Personnel Dricetor), Manajer Hubungan Industrial (Industrial Relation Manager), Manajer Personalia (Human Resource Manager), dan lain-lain.
Tentu saja Tenaga Kerja Asing (TKA) yang dipekerjakan oleh pemberi kerja di Indonesia wajib memenuhi persyaratan yang harus dilengkapi. Apa saja persyaratan itu? Simaklah penjabatan dibawah ini. Syarat Tenaga Kerja Asing (TKA) Dipekerjakan di Indonesia: Semua TKA yang dipekerjakan oleh pemberi kerja sangat diwajibkan untuk memenuhi semua persyaratan seperti, a. Memiliki pendidikan yang sesuai dengan syarat jabatan yang akan diduduki oleh TKA. b. Memiliki sertifikat kompetensi atau memiliki pengalam kerja sesuai dengan jabatan yang akan diduduki oleh TKA paling kurang lima (5) tahun. c. Membuat surat pernyataan wajib mengalihkan keahliannya kepada TM pendamping yang dibuktikan dengan laporan pelaksanaan pendidikan dan pelatihan. d. Memiliki NPWP bagi TKA yang sudah bekerja lebih dari enam bulan. e. Memiliki bukti polis asuransi pada asuransi yang berbadan hukum Indonesia. f. Kepesertaan Jaminan Sosial Nasional bagi TKA yang bekerja lebih dan enam bulan. Selain syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh TKA sebagaimana telah tertulis diatas. Perusahaan pemberi kerja TKA juga wajib memiliki izin tertulis dari Menteri atau Pejabat yang ditunjuk. Izin yang dimaksud adalah Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA) seperti yang telah diatur dalam Pasal 37 ayat (1) Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 35 Tahun 2015 tentang perubahan Atas Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 16 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Permenaker 35/2015). Lalu bagaimanakah cara mendapatkan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA)? Untuk mendapatkan IMTA, pemberi kerja harus melakukan permohonan dengan menyertakan beberapa dokumen, salah satunya keputusan pengesahan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA).
Artikel 3 Upload 2016.09.21 Pemotongan Gaji Karena Ketidakhadiran, Bolehkah?
ICCA - Anda tentu pernah mengalami ketika gaji atau upah yang diterima tidak sesuai dengan yang biasa Anda dapatkan. Setelah Anda telusuri ternyata ada potongan yang tidak biasa. Ternyata potongan itu koensekuensi dari ketidakhadiran Anda sebelumnya. Walaupun Anda tahu penyebabnya tetap saja rasa kesal itu tidak hilang. Anda juga pasti bertanya, bolehkah perusahaan melakukan ini kepada Anda dan pegawai lain? Nah, menurut Pasal 1 ayat 30 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Upah atau gaji adalah hak pekerja atau buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja atau buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja atau buruh dan keluarganya atas suatu pekerja atau jasa yang telah atau akan dilakukan. Lalu bolehkan perusahaan atau pemberi kerja melakukan pemotongan upah atau gaji karena ketidakhadiran? Upah atau gaji tidak dibayarkan oleh perusahaan atau pemberi kerja apabila pekerja atau buruh tidak melakukan pekerjaan (no work,no pay) dan pada prinsipnya hukum Ketenagakerjaan tidaklah melarang perusahaan untuk tidak membayar
upah atau gaji pekerja jika memenuhi ketentuan Pasal 93 ayat (1) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan). Ketentuan no work, no pay bisa saja dilakukan oleh perusahaan atau pemberi kerja tetapi ada pengecualiannya, yaitu pengusaha atau pemberi kerja tetap wajib membayarkan upah atau gaji (Tidak berhak memotong) bila pekerja atau buruh tidak hadir untuk melakukan pekerjaannya karena: a. Pekerja atau buruh sakit sehingga tidak dapat hadir untuk melakukan pekerjaannya. b. Pekerja atau buruh perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua masa haidnya sehingga tidak dapat hadir untuk melakukan pekerjaannya. c. Pekerja atau buruh tidak masuk bekerja karena pekerja atau buruh tersebut menikah, menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan anaknya, istri melahirkan atau keguguran kandungan, suami atau istri atau anak atau menantu atau orang tua atau mertua atau anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia. d. Pekerja atau buruh tidak dapat hadir untuk melakukan pekerjaannya karena sedang menjalankan kewajiban terhadap negara. e. Pekerja atau buruh tidak dapat hadir untuk melakukan pekerjaannya karena menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya. f. Pekerja atau buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya, baik karena kesalahan sendiri ataupun halangan yang seharusnya dapat dihindari oleh pengusaha. g. Pekerja atau buruh tidak dapat hadir untuk melakukan pekerjaannya karena melaksanakan hak istirahat (cuti). h. Pekerja atau buruh melaksanakan tugas serikat pekerja atau serikat buruh atas persetujuan pengusaha. i. Pekerja atau buruh melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan. Jadi, intinya apabila pekerja tidak dapat hadir untuk melakukan pekerjaannya bukan karena alasan-alasan yang telah tertulis diatas, perusahaan atau pemberi kerja berhak untuk tidak membayarkan upah atau gaji pekerjanya dan yang perlu Anda ingat adalah penyebutan yang dipakai bukanlah pemotongan gaji atau upah tetapi gaji atau upah memang tidaklah diberikan oleh pengusaha atau pemberi kerja perihal pekerja tidak hadir untuk melakukan pekerjaan tanpa alasan sesuai ketentuan yang telah tertulis diatas. Pemotongan gaji atau upah berarti gaji atau upah tersebut telah diberikan akan tetapi dipotong oleh perusahaan karena suatu kondisi.
Artikel 4 Upload 2016.09.28 Ingin Mendirikan CV? Ini Dia Cara dan Syarat Untuk Mendirikannya
ICCA - CV atau Comanditaire Venootschap atau Persekutuan Komanditer adalah salah satu alternatif yang dapat dipilih oleh para pengusaha yang ingin menjalankan sebuah bisnis atau kegiatan usaha. Proses pendirian CV ini dapat dikatakan relatif mudah karena tidak memerlukan suatu pengesahan oleh negara dan tidak ada syarat tertentu yang berkaitan dengan modal minimum untuk mendirikan CV. Pada hakikatnya, CV adalah persekutuan firma yang memiliki satu atau beberapa orang sekutu komanditer. Sekutu Komanditer adalah sekutu yang hanya menyerahkan uang, barang, ataupun tenaga sebagai pemasukan kepada persekutuan dan ia tidak ikut campur dalam pengurusan atau penguasaan dalam persekutuan dan yang paling penting penting untuk Anda ingat bahwa CV bukanlah badan hukum seperti halnya Perseroan Terbatas (PT), maka aspek pertanggungjawabanya hingga ke harta pribadi. Lalu bagaimanakah atau langkah seperti apakah yang harus dilakukan untuk membuat atau mendirikan CV? Pada dasarnya syarat pendirian CV telah diatur dalam pasal 19,20, dan 21 KUHD. Dalam Pasal 19 KUHD disebutkan bahwa persekutuan secara melepas
uang atau persekutuan komanditer, didirikan oleh satu atau beberapa orang yang bertanggung jawab secara pribadi dan tanggung jawab bersama untuk keseluruhannya, dengan satu atau beberapa orang pelepas uang. Karena, CV termasuk dalam salah satu bentuk persekutuan firma, maka dalam mendirikan CV harus dilakukan dengan akta otentik dan dengan syarat-syarat sebagai berikut: 1. Anda harus membuat akta pendirian CV di notaris. Dalam pembuatan akta ini, minimal harus ada 2 orang pendiri dimana satu pendiri akan menjadi sekutu aktif dan satu pendiri lainnya akan menjadi sekutu pasif. 2. Langkah berikutnya Anda harus segara mendaftarkan akta pendirian CV tersebut di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Setempat. Setelah CV Anda telah memperoleh penetapan dari Pengadilan Negeri setempat, langkah berikutnya Anda dapat dengan segara mengurus dokumen lainnya sebagai kelengkapan legalitas CV, sebelum Anda memulai atau menjalankan bisnis yang telah direncanakan. Pada umumnnya kelengkapan dokumen lain yang mendukung legalitas pendirian CV adalah: 1. Surat Keterangan Domisili Perusahaan (SKDP), dalam mengurus surat ini dapat Anda lakukan di kelurahan setempat sesuai domisili CV Anda. Untuk mengurus SKDP, Anda perlu menentukan terlbih dahulu dimana CV Anda akan berdomisili sesuai keterangan dalam akta pendirian CV. 2. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), yang berikutnya Anda juga harus menyertakan NPWP sebagai dokumen pendukung legalitas pendirian CV. NPWP ini dapat di urus di Kantor Pajak setempat sesuai domisili CV Anda. Tahapan selanjutnya, anda juga perlu mengurus izin usaha yang sesuai dengan bidang usaha apa yang akan CV Anda jalankan. Pengurusan izin ini dapat diurus di instansi tergantung domisili CV, tetapi untuk memudahkan pembuatan izin ini juga dapat diurus melalui kantor Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) atau di kantor perwakilan dinas terkait, dan yang terakhir adalah Anda juga perlu mengurus dokumen Tanda Daftar Perusahaan (TDP). Terlepas dari apapun izin usaha yang Anda perlukan, TDP adalah dokumen legalitas yang sangat wajib untuk dimiliki oleh CV Anda.
Oktober 2016
Artikel 1 Upload 2016.10.05 Corporate Social Reponsibility, Perlukah Dilakukan?
ICCA - Corporate Social Responsibility (CSR) atau Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan adalah suatu konsep atau tindakan yang dilakukan oleh perusahaan sebagai rasa tanggung jawab terhadap seluruh pemangku kepentingan, diantaranya adalah konsumen, karyawan, pemegang saham, komunitas, dan lingkungan di mana perusahaan itu berada. Maka dari itu Corporate Social Responsibility (CSR) dapat dikatakan memiliki hubungan erat dengan pembangunan berkelanjutan. Sebagai contoh, perusahaan bisa saja melakukan kegiatan Corporate Social Responsibility (CSR) seperti melakukan suatu kegiatan yang bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar perusahaan itu berada atau dengan kata lain perusahaan ikut serta di dalam pembangunan ekonomi masyarakat setempat di mana perusahaan itu berada . Tidak hanya itu Corporate Social Responsibility (CSR) juga memiliki kewajiban dalam melestarikan lingkungan setempat di mana perusahaan itu berada. Pada dasarnya Corporate Social Responsibility (CSR) atau tanggung jawab sosial dan lingkungan telah diatur dalam Pasal 74 UUPT dan penjelasannya. Pengaturan ini berlaku untuk perseroan dan berdasarkan Pasal 1 angka 1 UUPT, Perseroan (Perseroan Terbatas) adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian,
melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta pelaksanaannya. Berikut ini adalah penjelasan dan pengaturan yang telah tertulis di dalam Pasal 74 UUPT: a. Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan ini wajib menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan atau berkaitan dengan sumber daya alam, yang dimaksud dengan perseroan terbatas yang kegiatan usahanya mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam. Sedangkan yang dimaksud dengan perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya yang berkaitan dengan sumber daya alama adalah perseroan yang tidak mengelola dan tidak memanfaatkan sumber daya alam, tetapi kegiatan usahanya berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam. b. Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan ini merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. c. Mengenai sanksi, dikatakan bahwa perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan akan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait. Kemudian, dalam Pasal 1 angka 3 UUPT dijelaskan bahwa Tanggung jawab sosial dan lingkungan adalah komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat, ataupun masyarakat pada umumnya. Selain itu, menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UU 25/2007) dalam Pasal 15 huruf b UU 25/2007 diatur bahwa setiap penanam modal wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan. Menurut penjelasan Pasal 15 huruf b UU 25/2007 mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan adalah tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat. Sedangkan yang dimaksud dengan penanam modal adalah perseorangan atau badan usaha yang melakukan penanaman modal yang dapat berupa penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing (Pasal 1 angka 4 UU 25/2007). Selain itu dalam Pasal 16 UU 25/2007 juga dijelaskan bahwa setiap penanam modal bertanggung jawab untuk menjaga kelestaraian lingkungan hidup. Ini juga merupakan bagian dari Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan. Apabila penanam modal tidak melakukan kewajibannya untuk melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan, maka berdasarkan Pasal 34 UU 25/2007 penanam modal dapat dikenai sanksi administratif berupa: a. Peringatan tertulis.
b. Pembataan kegiatan usaha. c. Pembekukan kegiatan usaha atau fasilitas penanam modal. d. Pencabutan kegiatan usaha atau fasilitas penanam modal. Jadi Corporate Social Responsibility (CSR) atau Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan wajib dilakukan oleh perseroan untuk pembangunan berkelanjutan dan memiliki kewajiban dalam melestarikan lingkungan setempat dimana perusahaan itu berada.
Artikel 2 Upload 2016.10.12 Pentingnya Mengetahui Cara Menghitung Uang Pesangon
ICCA - Sebagai pekerja atau buruh tentu saja akan ada waktu mengakhiri masa kerjanya di
sebuah perusahan bukan? Baik itu karena mengundurkan diri (resign), pensiun, penutupan perusahaan, dipecat, diberhentikan ataupun terjadinya kematian oleh pekerja atau buruh tersebut. Setiap berakhirnya masa kerja antara sebuah perusahaan dengan pekerja atau buruhnya ini disebut dengan sebuah istilah PHK (Pemutusan Hubungan Kerja). Dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, PHK diartikan sebagai pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja dan pengusaha. Secara normatif, ada dua jenis PHK yaitu secara sukarela dan dengan tidak sukarela. Pemutusan hubungan kerja secara sukarela misalkan PHK yang terjadi karena pekerja atau buruh melakukan pengunduran diri (resign) tanpa paksaan dan tekanan dari pihak perusahaan, atau karena habisnya masa kontrak, atau karena tidak lulus disaat masa percobaan (probation), pekerja atau buruh telah memasuki usia pensiun dan yang terakhir pekerja atau buruh meninggal dunia. Pemutusan hubungan kerja secara tidak sukarela dapat terjadi apabila pekerja atau buruh melakukan kesalahan berat seperti mencuri atau menggelapkan uang milik perusahaan atau pekerja atau buruh tersebut melakukan perbuatan asusila, dan perjudian di lingkungan pekerjaan. PHK sering dikaitkan dengan pemberian uang pesangon. Tetapi apakah
Anda telah mengetahui dengan pasti apa yang dimaksud dengan uang pesangon itu? Berikut penjelasannya. Uang pesangon adalah pembayaran berupa uang yang diberikan oleh pengusaha kepada pekerja atau buruh sebagai akibat adanya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Di dalam Pasal 156 ayat (1) Undang-Undang No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) berbunyi “Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK), pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.” Lalu bagaimana cara menghitung uang pesangon? Mungkin Anda juga akan bertanyatanya mengenai hal ini. Perhitungan uang pesangon telah ditentukan dalam Pasal 156 ayat (2) UU Ketenagakerjaan yang berbunyi sebagai berikut. a. Masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah. b. Masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan upah. c. Masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan upah. d. Masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan upah. e. Masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan upah. f. Masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan upah. g. Masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan upah. h. Masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan) bulan upah. i. Masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah.
Artikel 3 Upload 2016.10. 19 Kewenangan. Tugas dan Tanggung Jawab Direksi Perseroan Terbatas
ICCA - Berdasarkan Pasal 1 angka 5 UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT), pengertian Direksi adalah Organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam ataupun diluar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar. Tentu saja Perseroan Terbatas (PT) sebagai badan hukum dalam melakukan perbuatan hukum mesti melalui pengurusnya. Tanpa adanya pengurus, badan hukum tidak akan dapat berfungsi, ketergantungan antara badan dan pengurus menjadi sebab mengapa antara badan hukum dan pengurusnya memiliki Hubungan Fidusia (Fiductary Duties) di mana pengurus selaku pihak yang dipercaya bertindak dan menggunakan wewenangnya hanya untuk kepentingan perseroan semata. Hubungan Fidusia (Fiductary Duties) di dalam Perseroan Terbatas pada dasarnya berkaitan dengan kedudukan, wewenang, dan tanggung jawab Direksi. Direksi merupakan dewan Direktur (Board of Director) yang dapat terdiri dari 1 (satu) atau beberapa Direktur. Apabila di dalam sebuah Perseroan memiliki Direksi lebih dari 1 (satu) orang Direktur, maka salah satunya menjadi Direktur Utama atau Presiden Direktur dan yang lainnya menjadi Direktur atau Wakil Direktur. Dalam Pasal 97 ayat 2 UUPT menentukan bahwa setiap
anggota Direksi wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab dalam menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha Perseroan. Selain berwenang untuk pengurusan sehari-hari Perseroan, Direksi juga memiliki wewenang untuk mewakili Perseroan baik di dalam ataupun di luarpengadilan (Pasal 98 ayat 2 UUPT) dan Direksi juga memiliki tanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian Perseroan, apabila anggota Direksi yang bersangkutan bersalah atau lalai dalam menjalankan tugasnya. Lalu apa saja tugas dan wewenang Direksi? Tugas dan wewenang Direksi sesuai dengan Pasal 100 UUPT, Direksi berkawajiban menjalankan dan melaksanakan beberapa tugas selama jabatannya, seperti: 1. Membuat daftar pemegang saham, daftar khusus, risalah Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dan rapat Direksi. 2. Membuat Laporan tahunan dan dokumen keuangan Perseroan. 3. Memelihara seluruh daftar, risalah dan dokumen keuangan Perseroan. Seluruh daftar, risalah, dokumen keuangan Perseroan dan dokumen Perseroan lainnya disimpan di tempat kedudukan Perseroan atas permohonan tertulis dari pemegang saham. Anggota Direksi juga wajib melaporkan kepada Perseroan mengenai saham yang dimiliki anggota Direksi atau kekeluarganya. Menurut Pasal 102 UUPT tugas dari Direksi sehubungan dengan pengurusan kekayaan Perseroan dimana Direksi berkewajiban untuk memperoleh persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) untuk mengalihkan kekayaan Perseroan atau Menjadikan kekayaan Perseroan sebagai jaminan hutang. Pembagian tugas dan wewenang pengurusan di antara anggota Direksi ditetapkan berdasarkan keputusan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Jika kemudian ternyata Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) tidak menetapkan pembagian tugas dan wewenang Direksi maka ditetapkan berdasarkan keputusan Direksi (Pasal 92 ayat 6 UUPT). Jadi intinya adalah Direksi merupakan Dewan Direktur (Board of Director) yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam ataupun diluar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar.
Artikel 4 Upload 2016.10.26 Gaji Di Bawah Upah Minimum, Bolehkah?
ICCA - Dalam Pasal 90 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) pada prinsipnya telah mengatur dan menetapkan bahwa pengusaha dilarang keras untuk memberikan upah di bawah upah minimum untuk para pekerja atau buruh. Pasal 91 UU Ketenagakerjaan kembali dipertegas dengan menyebutkan bahwa pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja atau buruh atau serikat pekerja atau serikat buruh tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam kesepakatan antara pengusaha dan pekerja lebih rendah atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, maka kesepakatan tersebut batal demi hukum, dan pengusaha wajib membayar upah pekerja atau buruh menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Walau, menurut undang-undang yang berlaku bahwa pengusaha tidak diperbolehkan membayar upah di bawah upah minimum, tetapi pengusaha diperbolehkan menangguhkan pembayaran upah minimum sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 90 ayat (2) UU Ketenagakerjaan. Tentu saja penangguhan upah ini telah diatur dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor Kep.231/MEN/2003 tentang Tata Cara Penangguhan Pelaksanaan Upah Minimum
(Kepmenaker 231/2003) dan permohonan penangguhan harus memenuhi syarat yang harus dipenuhi, seperti: 1. Permohonan penangguhan harus diajukan kepada Gubernur melalui instansi ketenagakerjaan yang bertanggung jawab di Propinsi. 2. Permohonan penangguhan didasarkan atas kesepakatan tertulis atara pengusaha dengan pekerja atau buruh atau serikat pekerja atau serikat buruh yang tercatat. Permohonan penangguhan pelaksanaan upah minimum juga harus disertai dengan: 1. Naskah asli kesepakatan tertulis antara pengusaha dengan pekerja atau buruh atau serikat pekerja atau serikat buruh yang bersangkutan. 2. Laporan keuangan perusahaan yang terdiri dari neraca, perhitungan rugi atau laba beserta penjelasan-penjelasan untuk 2 (dua) tahun terakhir. 3. Salinan akte pendirian perusahaan. 4. Data upah menurut jabatan pekerja atau buruh. 5. Jumlah pekerja atau buruh seluruhnya dan jumlah pekerja atau buruh yang dimohonkan untuk penangguhan pelaksanaan upah minimum. 6. Perkembangan produksi dan pemasaran selama 2 (dua) tahun terakhir, serta rencana produksi dan pemasaran untuk 2 (dua) tahun yang akan datang. Pengesahan atau keputusan penangguhan akan ditetapkan oleh Gubernur dengan jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan dan setelah berakhirnya izin penangguhan tersebut, maka pengusaha wajib melaksanakan ketentuan upah minimum yang baru. Jadi, apabila ada perusahaan yang memberikan gaji atau upah dibawah upah minimum karena bergantung pada pendapatan perusahaan dan perusahaan tersebut tidak menjalankan proses penangguhan maka sudah jelas perusahaan tersebut telah melanggar peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai ketentuan pengupahan yang sudah ditetapkan.
November 2016
Artikel 1 Upload 2016.11.02 Hal Yang Harus Diperhatikan Sebelum Mendirikan Kantor Cabang
ICCA - Kantor cabang menurut definisinya adalah kantor yang mengurus kepentingan suatu perusahaan atau instansi di tempat lain yang kedudukannya berada di bawah kantor pusat. Dalam mendirikan atau pembentukan kantor cabang harus didasarkan pada ketentuan anggaran dasar yang memperbolehkan perusahaan tersebut untuk mendirikan kantor cabang dan yang perlu diperhatikan bahwa dalam mendirikan kantor cabang tidak harus dalam akta notaris tetapi untuk kebutuhan pengurusan izin biasanya pendirian dilakukan dalam akta notaris. Lalu apakah kantor cabang dan kantor perwakilan sama? Kantor cabang dan kantor perwakilan memiliki perbedaan yaitu terletak pada otoritas dari keduanya di mana kantor cabang memiliki kewenangan lebih luas dalam mengoperasikan kantornya dibandingkan kantor perwakilan. Kantor cabang dapat melakukan kegiatan sesuai dengan maksud dan tujuan yang tertera dalam anggaran dasar perusahaan, sedangkan kantor perwakilan hanyalah sebagai kantor yang mengurusi administrasi saja, tidak melakukan main business dari kantor pusat.
Dalam mendirikan kantor cabang Anda diwajibkan untuk membuat Tanda Daftar Perusahaan (TDP) kantor cabang. Hal ini telah tertulis didalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 37/M-DAG/PER/9/2007 tentang penyelenggaraan Pendaftaran Perusahaan (Permendag 37/2007) yang berbunyi: “Setiap perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT), Koperasi, Persekutuan Komanditer (CV), Firma (Fa), Perorangan, dan Bentuk Usaha lainya (BUL), termasuk Perusahaan Asing dengan status Knator Pusat, Kantor Tunggal, Kantor Cabang, Kantor Pembantu, Anak Perusahaan, Agen Perusahaan, dan Perwakilan Perusahaan yang berkedudukan dan menjalankan usahanya di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib didaftarkan dalam daftar perusahaan”. Ada hal terpenting yang mesti Anda ketahui dalam mendirikan kantor cabang adalah mendirikan kantor cabang tidak wajib untuk membuat Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) sendiri, tetapi cukup dengan menggunakan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) kantor pusatnya. Hal ini juga telah ditetapkan didalam Pasal 4 ayat (1) huruf “b” Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36/M-DAG/PER/9/2007 tentang Penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan (Permendag 36/2007) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 46/M-DAG/PER/9/2009 tentang Penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan (Permendag 46/2009) yang berbunyi: Kewajiban memiliki Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), dikecualikan terhadap: a. Perusahaan yang melakukan kegiatan usha di luar sektor perdagangnya. b. Kantor Cabang atau Kantor Perwakilan c. Perusahaan Perdagangan Mikro dengan kriteria: 1. Usaha perseorangan atau persekutuan. 2. Kegiatan usaha diurus, dijalankan, atau dikelola oleh pemiliknya atau anggota keluarga/kerabat terdekat. 3. Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp. 50.000.000(Lima puluh juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha. Ada baiknya dalam mendirikan kantor cabang Anda juga mengurus Surat Izin Tempat Usaha (SITU) sesuai dengan domisili usahanya. Hal ini dikarenakan Surat Izin Tempat Usaha (SITU) diatur dalam level peraturan daerah, artinya tiap daerah memiliki persyaratan yang berbeda-beda mengenai Surat Izin Tempat usaha (SITU). Sama halnya dengan izin gangguan/HO, dimana telah diatur dalam level peraturan daerah. Kedua izin ini sama-sama bertujuan untuk mencegah adanya gangguan dari kantor cabang yang akan Anda dirikan terhadap lingkungan sekitar.
Artikel 2 Upload 2016.11.09 Bilamana Pelaksaan RUPS Tahunan Ditunda
ICCA - Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) menurut Pasal 1 angka 4 UndangUndang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas adalah Organ Perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang ini dan/ atau anggaran dasar. Pengaturan mengenai RUPS terdapat di dalam UU Perseroan Terbatas (UUPT) mengenai RUPS Pasal 75 sampai dengan Pasal 91. Pemegang saham berhak memperoleh keterangan yang berkaitan dengan Perseroan dari Direksi dan/ atau Dewan Komisaris, sepanjang masih berhubungan dengan mata acara rapat dalam RUPS dan tidak beretentangan dengan kepentingan Perseroan. RUPS diadakan di tempat kedudukan Perseroan atau di tempat Perseroan melakukan kegiatan usahanya berdasarkan anggaran dasar. Bagi RUPS Perseroan Terbuka dapat diadakan di tempat kedudukan bursa dimana saham Perseroan dicatatkan dan yang terpenting adalah tempat dilaksanakannya RUPS harus terletak di wilayah Negara Republik Indonesia. Selain itu, RUPS dapat juga diselenggarakan melalui media telekonferensi, video kenferensi, atau sarana media elektronik lainnya yang memungkinkan semua peserta RUPS
saling melihat dan dan mendengar secara langsung serta dapat berpasrtisipasi dalam rapat tersebut. Apabila penyelenggaraan RUPS yang dilakukan melalui media telekonferensi atau sarana media elektronik lainnya harus dibuatkan risalah rapat yang disetujui dan ditandatangani oleh semua peserta RUPS. Lalu bolehkan pelaksanaan RUPS tahunan ditunda atau diundur bila salah satu Direksi berhalangan hadir karena sakit? Berdasarkan Pasal 78 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT), Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) wajib diadakan dalam jangka waktu paling lambat 6 (enam) bulan setelah tahun buku berakhir. Dalam RUPS tahunan harus diajukan semua dokumen dari laporan tahunan Perseroan dan penyelengaraan RUPS lainnya dapat dilakukan setiap waktu berdasarkan kebutuhan dan/ atau kepentingan Perseroan. Apabila kita telah mengkaji Undang-Undang Perseroan Terbatas (UUPT) lebih dalam, maka dapat dilihat tidaklah ada pasal yang mengatur tentang penundaan penyelengaraan RUPS tahunan atau terhadap RUPS yang dilaksanakan melebihi 6 bulan setelah tahun buku berakhir. Penyelenggaraan RUPS tahunan bisa terus berlanjut tanpa perlu diundur karena salah satu Direksi berhalangan hadir karena sakit, maka Direksi tersebut dapat memberikan kuasa kepada Direksi lainnya (atau pihak lain) untuk menghadiri RUPS tersebut. Pengaturan kuasa Direksi telah diatur di dalam Pasal 103 UUPT yang berbunyi “Direksi dapat memberi kuasa tertulis kepada 1 (satu) orang karyawan Perseroan atau lebih atau kepada orang lain untuk dan atas nama Perseroan melakukan perbuatan hokum tertentu sebagaimana yang diuraikan dalam surat kuasa”. Dari Pasal 103 UUPT dapat disimpulkan bahwa surat kuasa yang dimaksud dalam penjelasan pasal diatas adalah surat kuasa khusus, dimana dalam surat kuasa tersebut Direksi yang bersangkutan dapat menguasakan kewajibannya kepada Direksi lainnya termasuk dalam hal menghadiri RUPS. Jadi Penyelengaraan RUPS tahunan bisa tetap berjalan tanpa adanya penundaan dan bisa juga ditunda tergantung anggaran dasar masing-masing perusahaan.
Artikel 3 Upload 2016.11.16 Peraturan Mengenai Akuisisi Perusahaan Lintas Negara (Cross Border Acquisition)
ICCA - Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (UUPT) istilah akuisisi lebih dikenal dengan dikenal istilah “Pengambilalihan”. Definisi dari pengambilalihan dalam UUPT adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hokum atau orang perseorangan untuk mengambil alih saham Perseroan yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas perseroan tersebut. Kelebihan dari melakukan akuisisi adalah dalam proses akuisisi saham tidak memerlukan rapat pemegang saham dan suara pemegang saham sehingga apabila pemegang saham tidak menyukai tawaran bidding firm, mereka dapat menahan sahamnya dan tidak menjual kepada pihak bidding firm. Selain itu, akuisisi juga memiliki kekurangan dia ntaranya yaitu apabila di perusahaan tersebut memiliki cukup banyak pemegang saham minoritas yang tidak menyetujui pengambilan tersebut, maka akuisisi akan batal terjadi. Pada umumnya anggaran dasar perusahaan menentukan paling sedikit dua per tiga (sekitar 67%) suara setuju pada akuisisi agar akuisisi terjadi. Lalu adakah pengaturan yang mengatur mengenai akuisisi lintas negara? Menurut Isil Erel, Rose C. Liao dan Michael S. Weisbach, menyebutkan dalam artikel di The Journal Of
Finance dengan judul “Determinants of Cross-Border Mergers and Acquisitions” bahwa, cross border acquisitions, atau pengambilalihan (akuisisi) lintas negara, sebenarnya tidak berbeda dengan pengambilalihan secara domestik. Berdasarkan definisi tersebut, cross border acquisition dapat dilakukan oleh badan usaha di dalam negeri (mengambil alih badan usaha di luar negeri) atau badan usaha di luar negeri (mengambil alih badan usaha di dalam negeri). Suatu tindakan cross border acquisition oleh suatu badan usaha di dalam negeri terhadap suatu badan usaha di luar negeri haruslah tunduk pada hukum negara yang menjadi domisili badan usaha yang diambil alih, karena tindakan cross border acquisition tersebut dilakukan di luar yuridiksi Indonesia. Selanjutnya, untuk tindakan cross border acquisition yang dilakukan oleh badan usaha di luar negeri haruslah tunduk pada ketentuan-ketentuan mengenai pengambilalihan dalam peraturan-peraturan sebagai berikut: a. Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1998 tentang Penggabungan, Peleburan dan Pengambilalihan Perseroan Terbatas. b. Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 2010 tentang Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha dan Pengambilalihan Saham Perusahaan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Selain itu, badan usaha di luar negeri hanya dapat melakukan pengambilalihan terhadap badan usaha di dalam negeri yang berbentuk Perseroan Terbatas, karena menurut pasal 5 ayat (2) Undang-undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal mewajibkan penanam modal asing berbentuk Perseroan Terbatas berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di dalam wilayah negara Indonesia dan penanaman modal asing dilakukan dengan membeli saham suatu Perseroan Terbatas yang menjadi cara untuk mengambilalih suatu Perseroan Terbatas yang menjadi cara untuk mengambilalih suatu Perseroan Terbatas berdasarkan Pasal 1 angka (11) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Artikel 4 Upload 2016.11.23 Klasifikasi Pemegang Saham MEnurut Undang-Undang Perseroan Terbatas
ICCA - Istilah saham memang telah banyak ditemui di dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) dan Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, akan tetapi di dalam kedua peraturan perundang-undangan tersebut tidak menjelaskan apa itu definisi dari saham. Dalam Pasal 1 angka 1 UUPT dijelaskan bahwa “Perseroan Terbatas yang selanjutnya disebut Perseroan adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini serta peraturan pelaksananya”. Dalam Pasal 31 ayat (1) UUPT juga telah dijelaskan bahwa “Modal dasar Perseroan terdiri atas seluruh nilai nominal saham”. Selain itu, berdasarkan Pasal 7 ayat (2) UUPT dapat disimpulkan bahwa saham adalah penyertaan modal yang dimaksudkan oleh subjek hukum ke dalam suatu Perseroan Terbatas pada saat pendirian Perseroan Terbatas tersebut.
Pada dasarnya di dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) tidak mendefinisikan atau tidak menjelaskan arti kata Pemegang Saham dan sebenarnya UUPT juga tidak mengenal jenis-jenis pemegang saham, tetapi setiap pemegang saham dibedakan dari haknya dalam sebuah perusahaan. Hak dari pemegang saham tersebut yaitu sebagai berikut: 1. Saham Biasa (Common Stocks). Pada jenis saham ini, kedudukan para pemegang saham sama dan tidak ada yang diistimewakan. Terhadap klasifikasi saham ini menurut Pasal 52 UUPT menyatakan bahwa saham memberikan hak kepada pemiliknya untuk: a. Menghadiri dan mengeluarkan suara dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). b. Menerima pembayaran dividen dan sisa kekayaan hasil likuidasi. c. Menjalankan hak lainnya berdasarkan UUPT. 2. Saham Preferen (Preferred Stocks) atau sering disebut saham prioritas. Apabila terdapat saham yang memiliki hak khusus selain daripada hak yang diberikan pada Pasal 52 UUPT, maka Anggaran Dasar Perseroan wajib menetapkan salah satu diantaranya sebagai klasifikasi saham biasa. Klasifikasi saham selain saham biasa menurut Pasal 53 ayat (4) UUPT antara lain: a. Saham dengan hak suara atau tanpa hak suara. b. Saham dengan hak khusus untuk mencalonkan anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris. c. Saham yang setelah jangka waktu tertentu ditarik kembali atau ditukar dengan klasifikasi saham lain. d. Saham yang memberikan hak kepada pemegangnya untuk menerima dividen lebih dahulu dari pemegang saham klasifikasi lain atas pembagian dividen secara kumulatif atau nonkumulatif. e. Saham yang memberikan hak kepada pemegangnya untuk menerima dividen lebih dahulu dari pemegang saham klasifikasi lain atas pembagian sisa kekayaan Perseroan dalam likuidasi. Bermacam-macam klasifikasi saham seperti yang telah dijabarkan diatas, tidak selalu menunjukan bahwa klasifikasi tersebut masing-masing berdiri sendiri, terpisah satu sama lain, tetapi dapat merupakan gabungan dari 2 (dua) klasifikasi atau lebih. Ketentuanketentuan tersebut dapat berlaku apabila saham telah dicatat dalam daftar pemegang saham atas nama pemiliknya yang dibuat oleh Direksi Perseroan, sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 50 UUPT.
Artikel 5 Upload 2016.11.30 Tata Cara Mengundurkan Diri Secara Profesional
ICCA - Mengundurkan diri atau resign, dapat dikatakan sebagai satu kata yang sangat tabu untuk diucapkan sembarangan, terutama di lingkungan kantor atau perusahaan. Sehingga terkadang proses pengunduran diri atau resign kerap kali menjadi sebuah “drama” tersendiri terutama bila ada yang salah dengan cara Anda ketika harus mengakhiri masa kerja di kantor atau perusahaan tersebut. Pengunduran diri atau resign bukannya tidak setia kepada perusahaan yang selama ini memberikan pekerjaan bagi Anda, tetapi perlu diketahui bahwa pindah kerja bisa jadi salah satu cara untuk Anda mengembangkan diri atau mencoba hal baru di perkantoran atau perusahaan lain. Pengunduran diri atau resign adalah hal mudah yang dapat Anda lakukan, tetapi melakukan pengunduran diri dengan cara yang terhomat tidaklah mudah. Prosedur untuk mengundurkan diri atau resign dapat dikatakan cukup sederhana seperti Anda hanya harus memberikan pemberitahuan kepada perusahaan Anda bekerja, tapi bila Anda tidak ingin mengakhiri hubungan yang tidak bisa diperbaiki di masa depan dan Anda ingin tetap menciptakan peluang di masa depan, maka Anda haruslah berhati-hati dan bijaksana ketika ingin melakukan penguduran diri.
Sebelum mengundurkan diri, ada baiknya Anda telah mempertimbangkan semuanya dengan matang. Misalkan, apakah tempat kerja Anda yang sekarang memang sudah tidak lagi memfasilitasi semua kebutuhan Anda untuk menekuni bagian tertentu sesuai latar belakang pendidikan Anda, apakah mungkin masih dimungkinkan terjadi transfer ke departemen lain yang Anda minati, apakah Anda juga memiliki peluang promosi di departemen saat ini, dan hal lain yang masih memberatkan Anda untuk tetap di tempat kerja yang sekarang. Tetapi dari semua hal mengenai pengunduran diri atau resign ada salah satu syarat yang wajib Anda penuhi sebagai pekerja yang ingin mengundurkan diri, yaitu Anda harus mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis dan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri. Aturan jangka waktu ini bertujuan agar perusahaan yang akan Anda tinggalkan memiliki waktu untuk mencari pengganti posisi Anda yang ingin mengundurkan diri. Lalu, sebenarnya perlukah Anda melakukan One Month Notice ketika resign? Pada dasarnya persoalan pekerja yang mengundurkan diri telah diatur dalam Pasal 162 Undang-Undang No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) yaitu: 1. Pekerja /buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, memperoleh uang pengganti hak sesuai ketentuan Pasal ayat (4). 2. Bagi pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, yang tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung, selain menerima uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaanya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. 3. Pekerja/buruh yang mengundurkan diri sebagaimana dalam ayat (1) haruslah memenuhi syarat: a. Mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai penguduran diri. b. Tidak terikat dalam ikatan dinas, dan c. Tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai penguduran diri. 4. Pemutusan hubungan kerja dengan alasan pengunduran diri atas kemauan sendiri dilakukan tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Bagaimanakah bila Pengunduran diri atau resign tanpa melakukan one month notice? Mengenai apakah ada sanksi menurut undang-undang bila seorang pekerja/buruh melakukan pengunduran diri atau resign tanpa one month notice, menurut UndangUndang Ketenagakerjaan dan Kepnaker 78/2001 tidak memberikan ketentuan mengenai hal ini. Aka tetapi yang harus Anda perhatikan apakah perusahaan dimana Anda
bekerja memiliki peraturan tersebut dan apakah ada sanksi bila pengunduran diri dilakukan kurang dari 30 hari? Jika ada, maka tentu saja Anda akan terikat dengan peraturan tersebut dan Anda harus tunduk pada ketentuan tersebut. Jadi dapat disimpulkan bahwa Anda berkewajiban untuk mengajukan permohonan pengunduran diri selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari (one month notice) sebelum tanggal mulai pengunduran diri.
Desember 2016
Artikel 1 Upload 2016.12.07
3 Ketentuan Wajib Sebelum Mutasi Karyawan
ICCA - Mutasi Pegawai mungkin sudah tidak asing lagi di telinga para karyawan atau buruh yang bekerja di sebuah perusahaan ataupun sebuah instansi pemerintah bukan? Tapi apakah Anda tahu apasih sebenarnya mutasi itu? Yuk simak ulasannya dibawah ini. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata mutasi dalam bahasa administrasi berarti pemindahan dari satu jabatan ke jabatan lain. Mutasi atau rotasi kerja pada umumnya dilakukan untuk menghindari kejenuhan karyawan, pekerja, pegawai, ataupun buruh pada rutinitas pekerjaan yang terkadang bisa membuat bosan. Mutasi juga dapat diartikan sebagai perpindahan tenaga kerja dari satu departemen lainnya baik secara mutasi biasa, mutasi dengan promosi, dan mutasi dengan status degradasi. Mutasi Biasa, adalah mutasi yang didasarkan kepada kondisi tenaga kerja baik fisik atau lingkungan kerja yang tidak memungkinkan bagi tenaga kerja itu sendiri, maupun hal lainnya yang menurut penilaian pimpinan manajemen perusahaan harus melakukan kegiatan mutasi atas tenaga kerjanya.
Mutasi dengan Promosi, adalah mutasi yang didasarkan atas penilaian prestasi atau kemampuan tenaga kerja yang memenuhi persyaratan untuk mengisi formasi yang tersedia. Mutasi dengan Degradasi, adalah mutasi yang didasarkan atas ketidak mampuan atau bisa juga sebagai sanksi sebagai akibat dari kesalahan yang dilakukan oleh pekerja tersebut. Pelaksanaan kegiatan mutasi ini tentu saja harus dilengkapi dengan administrasi yang jelas dan benar. Tujuan dari mutasi atau rotasi ini dilakukan oleh perusahaan diantaranya agar karyawan, pekerja, pegawai, atau buruh tersebut bisa menguasai dan mendalami pekerjaan lain di bidang yang berbeda pada suatu perusahaan tersebut. kegiatan mutasi atau rotasi ini bisa dikatakan juga sebagai tahapan awal atau batu loncatan untuk mendapatkan promosi di waktu mendatang. Akan tetapi, perusahaan pemberi kerja tidak bisa bertindak sewenang-wenang atau sembarangan untuk melakukan kegiatan mutasi atau rotasi kerja kepada karyawan, pekerja, pegawai, atau buruh. Memang pada dasarnya tidak ada peraturan khusus dan spesifik yang mengatur mengenai mutasi karyawan di dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan). Walau tidak ada peraturan khusus yang spesifik mengenai mutasi karyawan, perusahaan pemberi kerja harus tetap memperhatikan berlakunya Pasal 32 UU Ketenagakerjaan sebelum melakukan kegiatan mutasi atau rotasi karyawan, pegawai, pekerja, atau buruh. Berikut ini adalah isi dari Pasal 32 Undang-Undang Ketenagakerjaan: 1. Penempatan tenaga kerja dilaksanakan berdasarkan asas terbuka, bebas, obyektif, serta adil, dan setara tanpa diskriminasi. 2. Penempatan tenaga kerja diarahkan untuk menempatkan tenaga kerja pada jabatan yang tepat sesuai dengan keahlian, keterampilan, bakat, minat, dan kemampuan dengan memperhatikan harkat, martabat, hak asasi, dan perlindungan hukum. 3. Penempatan tenaga kerja dilaksanakan dengan memperhatikan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja sesuai dengan kebutuhan program nasional dan daerah. Jadi pada intinya perusahaan pemberi kerja harus mengacu kepada ketiga ayat di atas sebelum melakukan kegiatan mutasi atau rotasi karyawan dan perusahaan pemberi kerja juga diwajibkan untuk memperhatikan mengenai hal-hal penting yang berkaitan dengan aspek diskriminasi, jabatan, keahlian, harkat, martabat, hak asasi, perlindungan hukum dan pemerataan kesempatan kerja.
Artikel 2 Upload 2016.12.14
Panduan Khusus Dalam Membuat Kontrak Bisnis
ICCA - Kontrak atau dalam pengertian luas sering disebut dengan istilah perjanjian adalah dimana dua orang atau lebih saling berjanji untuk melakukan peruatan tertentu, umumnya secara tertulis. Para pihak yang bersepakat mengenai hal-hal yang diperjanjikan, berkewajiban untuk mentaati dan melaksanakannya, sehingga perjanjian tersebut menimbulkan hubungan hukum yang disebut dengan perikatan (verbintenis). Dengan demikian kontrak dapat menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak yang membuat kontrak tersebut, karena kontrak yang mereka buat adalah sumber hukum formal, asalkan kontrak tersebut adalah kontrak yang sah. Karena hukum kontrak di Indonesia masih mengacu pada kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau Burgerlijk Wetboek Bab III tentang Perikatan (selanjutnya disebut buku III) dalam Pasal 1233 KUH Perdata (Burgerlijk Wetboek) disebutkan bahwa “Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang”. Jadi bisa dikatakan makna perikatan bisa lebih luas dari kata perjanjian, karena perikatan bisa terjadi karena undang-undang dan sebuah perjanjian.
Kontrak bisnis tidak hanya sekedar bentuk perikatan antara pengusaha dengan partner bisnisnya. Seiring dengan majunya suatu bisnis yang Anda jalani, maka tidak bisa di pungkiri bahwa kontrak bisnis menjadi hal utama yang harus diperhatikan. Dalam suatu kontrak bisnis, ikatan kesepakatan di tuangkan dalam suatu perjajian yang tertulis. Hal ini dimaksudkan untuk apabila di kemudian hari terjadi suatu hal yang tidak diinginkan terjadi misalkan terjadinya sengketa berkenaan dengan kontrak itu sendiri, maka para pihak yang bersangkutan bisa mengajukan kontrak bisnis tersebut sebagai salah satu alat buktinya. Berikut ini adalah 4 tips yang bisa Anda terapkan dalam menyusun kontrak bisnis: Isi Klausul Secara Umum. Berbicara mengenati kontrak tentu saja akan merujuk kepada ketentuan atau syarat-syarat terjadinya suatu perjanjian yang sah. Berdasakan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat yaitu: Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan. Suatu hal tertentu. Suatu sebab yang halal. Maka dari aturan ini dikenal yang namanya syarat subjektif dan objektif atas sah atau tidaknya suatu perjanjian. Setelah itu, rancanglah klausul-klausul dalam kontrak sesuai dengan rencana bisnis (business plan) Anda. Apabila terdapat ide yang berbeda-beda maka tuangkanlah ide tersebut dalam klausul yang berbeda, agar susunan klausul-klausul tersebut tersusun secara sistematis. Selain itu, apabila dalam bisnis tersebut berkaitan dengan aspek hak kekayaan intelektual (HKI), maka perlu ada klausul-klausul khusus terkait upaya perlindungannya. Pada umumnya, perlindungan yang mungkin diatur dalam kontrak bisnis terkait dengan hak ekonomis seperti royaliti. Hindari Multitafsir. Hal penting lainnya yang sering sekali terlewatkan adalah penggunaan bahasa atau pilihan kata (diksi) yang seringkali menimbulkan penafsiran ganda. Pada prinsipnya, kontrak yang baik bukanlah kontrak yang memuat semua hal yang disepakati oleh para pihak dan sebaiknya kontrak bisnis cukup mengatur terhadap hal-hal penting seputar para pihak yang terkait, masa berlaku kontrak, dan objek yang diperjajikan. Dalam membuat sebuah kontrak bisnis gunakanlah kalimat yang sederhana dan tidak terlalu panjang, hal ini bertujuan untuk meminimalisir potensi munculnya asumsi yang berbeda atau dengan kata lain “Kontrak yang baik itu adalah kontrak yang mudah dimengerti”. Gunakanlah Bahasa Indonesia. Dalam UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara mewajibkan penggunaan bahasa Indonesia dalam nota kesepahaman, termasuk kontrak bisnis. Lalu bagimana apabila rekan bisnis Anda berkewenegaraan asing? Dalam UU Nomor 24 Tahun 2009 juga telah mengatur bahwa bahasa dalam kontrak tersebut dapat dibuat secara dwi bahasa (bilingual).
Aturlah Soal Penyelesaian Sengketa. Salah satu esensi aturan terkait penyelesaian sengketa adalah domisili hukum. Mengapa Anda harus memperhatikan point ke empat ini? Karena ini bisa dikatakan sebagai bentuk antisipasi apabila terjadi sengketa (dispute) dalam pelaksanaan di kemudian hari. Selain memperjelas soal domisili hukum, hal penting lainnya adalah soal cara penyelesaian sengketa yang harus tegas dan harus di buatkan dalam klausul khusus pada kontrak bisnis.
Artikel 3 Upload 2016.12.21
Ini Dia 5 Hak Cuti Karyawan yang Wajib Diketahui!
ICCA - Apakah Anda merasa membutuhkan liburan sejenak untuk melepaskan penat atau ingin meluangkan waktu bersama orang-orang terkasih? Sebagai seorang pekerja atau karyawan, pasti Anda sudah tidak asing lagi bukan dengan istilah cuti. Tetapi, apakah Anda mengetahui hak cuti apa saja yang bisa didapatkan oleh seorang karyawan? Berikut ulasannya. Cuti adalah keadaan tidak masuk kerja yang diizinkan dalam jangka waktu tertentu dan telah diatur dalam Undang-Undang No.13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Hak cuti karyawan bisa dibedakan menjadi 5 jenis yaitu: Hak Cuti Tahunan. Berdasarkan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Pasal 79 ayat (2), seorang pekerja berhak atas cuti tahunan sekurang-kurangnya 12 hari kerja dan hanya karyawan yang sudah bekerja minimal 12 bulan atau 1 tahun yang berhak mendapat cuti tahunan 12 hari kerja. Tetapi dalam Undang-undang tersebut disebutkan bahwa pelaksanaan cuti tahunan juga ditentukan dari perjanjian kerja bersama atau peraturan perusahaan. Artinya, cuti
tersebut bisa dikatakan bergantung dari kesepakan antara karyawan atau buruh dengan pengusaha. Hak Cuti Sakit. Apabila sakit, Anda berhak mendapatkan cuti. Sakit yang dimaksudkan adalah sakit menurut keterangan dokter. Jadi, Anda diwajibkan menyertakan surat keterangan dokter apabila Anda ingin memperoleh cuti sakit. Selain itu, apabila Anda karywan perempuan, Anda juga bisa mendapatakan hak cuti sakit ketika sedang menstruasi karena hak cuti karena menstruasi pada perempuan juga telah tercantum di dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. Lau apakah cuti sakit akan mempengaruhi hak cuti tahunan Anda? Keterkaitan antara cuti sakit dan cuti tahunan seharusnya telah diatur secara jelas oleh perusahaan. Apabila Anda ingin tahu apakah cuti sakit dapat mempengaruhi terhadap hak cuti tahunan? Makan Anda dapat melihat kembali pada peraturan perusahaan atau perjanjian kerja dimana Anda bekerja. Pada dasarnya, hal ini kembali lagi kepada kesepakatan atara perusahaan dengan karyawan. Hak Cuti Bersalin atau Melahirkan. karyawan perempuan berhak mendapatkan cuti bersalin atau melahirkan. Cuti ini dapat diambil sebelum, saat, dan setelah melahirkan. Hak cuti bersalin atau melahirkan diberikan agar karyawan perempuan dapat mempersiapkan diri sebelum proses bersalin atau melahirkan tersebut tiba dan diharapkan dapat merawat anaknya sebaik mungkin setelah proses persalinan atau melahirkan. Dalam pasal 82 ayat (1) Undang-Undang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa karyawan perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan dan selanjutnya pada ayat (2) juga disebutkan bahwa pekerja atau buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan juga berhak memperoleh isirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan. Hak Cuti Besar. Cuti besar dapat juga disebut dengan istirahat panjang yang dimana istirahat panjang ini diperuntukkan untuk Anda yang loyal bekerja selama bertahun-tahun di perusahaan yang sama. Akan tetapi yang perlu Anda ketahui adalah tidak semua perusahaan memberikan cuti besar kepada karyawan atau buruhnya. Cuti besar hanya dapat dilaksankan oleh perusahaan tertentu saja. Bagi perusahaan yang memberikan hak cuti besar bai karyawan atau buruhnya, maka hak cuti ini dapat Anda gunakan ketika Anda telah memiliki masa kerja selama 6 tahun. Anda dapat mengajukan hak cuti ini pada tahun ke- 7 dan ke -8 masing-masing selama satu bulan. Hak Cuti Karena Alasan Penting. Alasan atau keperluan penting yang dimaksud adalah sebagai berikut Pekerja menikah, dibayar untuk 3 (tiga) hari, menikahkan anaknya, dibayar untuk 2 (dua) hari, mengkhitankan anaknya, dibayar untuk 2 (dua) hari. Membaptiskan anaknya dibayar untuk 2 (dua) hari, istri melahirkan atau mengalami keguguran kandungan,
dibayar 2 (dua) hari, suami atau istri, orang tua atau mertua, anak atau menantu meninggal dunia, dinbayar untuk 1 (satu) hari.
Artikel 4 Upload 2016.12.28
Ini Dia Ketentuan Kontrak Kerja Menurut Undang-Undang
ICCA - Kontrak kerja atau Perjanjian kerja menurut Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah Perjanjian antara pekerja atau buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak yang bersangkutan. Dalam kontrak kerja pada umumnya akan terpapar dengan jelas mengenai pekerja memiliki hak mendapat kebijakan perusahaan yang sesuai dengan Undang-undang ketenagakerjaan yang berlaku di Indonesia dan di dalam kontrak kerja umumnya juga terdapat prosedur kerja dan kode disiplin yang telah ditetapkan oleh perusahaan pemberi kerja. Kontrak kerja menurut bentuknya terbagi menjadi dua yaitu kontrak kerja berbentuk lisan atau tidak tertulis dan kontrak kerja berbentuk lisan. Berikut penjelasannya. a. Kontrak kerja berbentuk Lisan atau Tidak tertulis Meskipun kontrak kerja dibuat secara tidak tertulis, namun kontrak kerja jenis ini tetap bisa mengikat pekerja dan pengusaha untuk tetap melaksanakan isi dari kontrak kerja tersebut.
Tentu saja kontrak kerja jenis ini juga memiliki kelemahan yaitu apabila ada beberapa isi kontrak kerja yang ternyata tidak dilaksanakan oleh pengusaha karena tidak pernah dituangkan secara tertulis sehinga dapat merugikan pekerja. b. Kontrak kerja berbentuk tulisan Perjanjian yang dituangkan dalam bentuk tulisan, dapat dipakai sebagai alat bukti tertulis apabila nanti muncul perselisihan hubungan industrial yang memerlukan adanya bukti-bukti dan tentu saja dapat dijadikan pegangan terutama untuk para pekerja atau buruh apabila ada beberapa kesepakatan yang tidak dilaksanakan oleh pengusaha pemberi kerja yang merugikan pekerja atau buruh. Pada umumnya kontrak kerja yang berbentuk tulisan akan dibuat dalam rangkap 2 yang memiliki kekuatan hukum yang sama, masing-masing buruh atau pekerja dengan pengusaha harus mendapat dan menyimpan Perjanjian Kerja tersebut. seperti yang telah tertulis dalam pasal 54 ayat 3 UU 13 tahun 2003. Kontrak kerja atau perjanjian kerja juga dapat dibedakan menurut waktu berakhirnya, yaitu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). a. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) adalah perjanjian kerja antara pekerja atau buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau pekerja tertentu. Pada umumnya para pekerja yang menjalankan PKWT sering disebut dengan karyawan kontrak. PKWT dibuat tentu saja harus memenuhi syaratsyarat sebagai berikut: Didasarkan atas jangka waktu paling lama tiga tahun atau selesainya suatu pekerjaan tertentu. Dibuat secara tertulis dalam tiga rangkap, untuk Pekerja atau Buruh, Pengusaha, dan Disnaker (Permenaker No. Per-02/Men/1993), apabila dibuat secara lisan maka dinyatakan sebagai perjanjian kerja waktu tidak tertentu. PKWT harus dibuat menggunakan Bahasa Indonesia dan huruf latin atau dalam Bahasa Indonesia dan bahasa asing dengan Bahasa Indonesia sebagai yang utama. Dalam PKWT tidak ada masa percobaan kerja (probation), apabila disyaratkan maka perjanjian kerja tersebut akan batal demi hukum (Pasal 58 UU No. 13/2003). b. Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) Berdasarkan Pasal 1 angka 2 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor KEP. 100/MEN/VI/2004 Tentang Ketetntuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, pengertian Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu adalah perjanjian antara pekerja atau buruh dengan pengusaha untuk mengadakan
hubungan kerja yang bersifat tetap dan umumnya para pekerja atau buruhnya disebut dengan karyawan tetap. Selain tertulis, PKWTT dapat juga dibuat secara lisan dan tidak wajib mendapat pengesahan dari instansi ketenagakerjaan terkait. Apabila PKWTT dibuat secara lisan maka perusahaan pemberi kerja diwajibkan membuat surat pengangkatan kerja bagi karyawan yang bersangkutan. PKWTT dapat mensyaratkan adanya masa percobaan kerja (probation) paling lama tiga bulan, apabila ada yang mengatur lebih dari tiga bulan maka demi hukum sejak bulan keempat, Si pekerja sudah dinyatakan sebagai pekerja tetap (PKWTT). Selama masa percobaan, Perusahaan atau pemberi kerja diwajibkan membayar upah pekerja dan upah tersebut tidak boleh lebih rendah dari upah minimum yang berlaku.