GAGASAN DAN DESAIN PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI INDONESIA Wasitohadi
Program Studi SI PGSD FK1P Universitas Kristen Satya Wacana
Indonesia ibarat taman bunga yang indah di mana beragam jenis bunga tumbuh berkembang dan menebarkan bau mewangi. Pluralisme hams dihidupkan dalam ekspresi identitas budaya. Perbedaan itu kenyataan yang indah. Jika perbedaan ini dikelola, ia bisa mengonsolidasi kekuatan (Kompas, 21 Januari 2009, h.12). PENDAHULUAN
Di antara berbagai isu strategis dalam dunia pendidikan di Indonesia, satu di antaranya adalah isu multikulturalisme. Bahkan berbeda dengan isu strategis yang lain, isu multikulturalisme dipandang sebagai isu strategis terkini, yang merupakan suatu tuntutan yang tidak dapat ditawar-tawar di dalam membangun Indonesia baru (Riant Nugroho, 2008:9c))'. Bangsa Indonesia terlahir sebagai bangsa yang multikultur, yang melihat budaya yang beragam bukan hanya sebagai kekayaan, tapi juga berkenaan dengan kelangsungan hidup bersama sebagai warga bangsa. 1 Di samping isu multikulturalisme, ada tiga isu strategis yang lain, yaitu
pemerataan, mutu dan manajemen. Pemerataan pendidikan berkenaan dengan seberapa luas pendidikan telah menjangkau seluruh warga negara. Mutu pendidikan berkenaan dengan seberapa mendalam pendidikan memberikan nilai tambah kepada para peserta didik, khususnya guru dan murid. Manajemen pendidikan berkenaan dengan pengelolaan institusi pendidikan sehingga mencapai tujuan kelembagaan. Pemerataan berkenaan dengan pertanyaan siapa (yang memperoleh, apakah semua sudah mendapatkannya), mutu berkenaan dengan pertanyaan apa (yang diberikan sehingga memberikan nilai), dan manajemen berkenaan dengan pertanyaan bagaimana (dikelola sehingga mencapai hasil). 116
Scholaria, Vol. 2, No. 1 Januari 2012: 116-149 ,
banyak pihak menyatakan bahwa dalam konteks keindonesiaan pendidikan multikultural adalah sebuah keharusan, dan bukan pilihan. Sebuah keharusan mengenai bagaimana mengelola atau memanajemeni keanegaragaman yang ada dengan segala potensinya baik yang positif maupun negatif sedemikian rupa sehingga pluralitas budaya yang ada bukan sebagai masalah, tetapi sebagai modal untuk meraih kemajuan, dan mendukung kepada pengembangan kompetensi global bangsa Indonesia. Oleh karena itu
,
Masalahnya adalah bahwa hingga kini belum ada satu model pendidikan multikultural yang cocok untuk bangsa Indonesia (Anita Lie, Kompas, 1 September 2006). Sementara banyak pendapat yang menyatakan bahwa mengadopsi begitu saja politik multikulturalisme sebagaimana dipraktekkan di negara-negara Barat, juga merupakan tindakan yang kurang
bijaksana (Will Kymlicka, 2003:xvi).2 Jadi, dengan melihat kepada relevansi dan kepentingannya yang mendesak, maka sangatlah perlu segera dipikirkan gagasan dan desain pendidikan multikultural di Indonesia. Sebuah gerakan terhadap pelaksanaan pendidikan multikultural perlu dibangun, direncanakan dan dilaksanakan.
2 Menurut F. Budi Hardiman, dalam tulisannya berjudul Belajar dari Politik Multikulturalisme", di negara Barat, telah berkembang sistem hak-hak, etos demokrasi, proseduralisme legal dan netralisme politis "
dalam tradisi kehidupan bernegara" yang mendukung diterapkannya politik multikulturalisme. Sedang di negara kita, hal semacam itu belum cukup berkembang, sehingga masyarakat kita justru membutuhkan sebuah politik yang dapat mengatasi perpektif etnosentrisme, mentransformasi berbagai budaya politik yang tidak adil, dan lain sejenisnya. Demikian juga, tindakan diskriminatif masih
fenomenal dalam birokrasi negara kita, sehingga politik multikulturalisme -jika tidak hati-hati- malah bisa melegitimasikannya. 117
Gagasan dan Desain Pendidikan Multikultural di Indonesia (Wasitohadi) Atas dasar itulah
,
makalah ini akan membahas mengenai
gagasan dan desain pendidikan multikultural di Indonesia. Agar sistematis, uraian akan dimulai dengan membahas tentang konsep dasar pendidikan multikultural Asumsinya, seperti apakah desain pendidikan multikultural yang digagas amat tergantung .
,
dari pemahaman atas konsep dasar dari pendidikan multikultural tersebut. Sesudah itu, pembahasan dilanjutkan mengenai konteks kondisi perkembangan sosial politik, ekonomi dan budaya ,
Indonesia dan implikasi-implikasinya bagi pendidikan multikultural, dalam rangka menghasilkan model desain pendidikan multikultural yang cocok untuk Indonesia
.
KONSEP DASAR PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
Konsep adalah pemahaman tentang sesuatu secara menyeluruh dan mendasar Dengan demikian, konsep pendidikan .
multikultural berarti memahami pendidikan multikultural tersebut secara menyeluruh dan mendasar Pemahaman semacam itu .
paling tidak menyangkut persoalan mengenai apa itu pendidikan multikultural, mengapa itu perlu dan bagaimana pendidikan ,
multikultural tersebut dilaksanakan
.
Apa pendidikan multikultural itu?
Mengenai konsep dasar pendidikan multikultural Zamroni (2008) menyatakan bahwa pendidikan multikultural merupakan suatu pendekatan dalam proses belajar mengajar yang berlandaskan pada keyakinan dan nilai-nilai demokrasi dengan pengakuan mengenai keberadaan masyarakat sebagai ,
,
masyarakat yang kebudayaannya majemuk serta dengan maksud mengoptimalkan pengembangan intelektual sosial dan personal semua siswa tanpa melihat latar belakangnya. ,
,
Sementara itu
,
James Banks (2001) menyatakan bahwa
sebagai sebuah ide pendidikan multikultural berusaha memberi ,
kesempatan pendidikan yang sama bagi semua peserta didik 118
,
Scholaria, Vol. 2 No. 1, Januari 2012: 116-149 ,
termasuk mereka yang berasal dari kelompok ras, etnik, dan kelas sosial yang berbeda. Pendidikan multikultural berupaya menciptakan kesempatan pendidikan yang sama bagi semua siswa dengan merubah lingkungan sekolah secara menyeluruh agar supaya sekolah dapat mencerminkan kelompok-kelompok dan budaya yang beragam dalam masyarakat dan dalam ruangruang kelas. Pendidikan multikultural adalah sebuah proses karena tujuannya adalah ideal-ideal, yang mana para guru dan administrator seharusnya secara terus-menerus berusaha untuk mencapainya.
Bahwa pendidikan multikultural sebagai sebuah proses juga diungkapkan oleh para ahli lain. Sonia Nieto (Jana Noel, 2000:300),misalnya, menempatkan pendidikan multikultural dalam konteks sosial politik. Baginya, pendidikan multikultural adalah a process of comprehensive school reform and basic education for all students Ia juga menyatakan bahwa pendidikan multikultural itu melawan dan menolak rasisme dan ,
"
"
.
berbagai bentuk diskriminasi lain di sekolah dan masyarakat serta menerima dan mengakui pluralisme (etnik ras, bahasa, agama, ekonomi, and jenis kelamin, dan Iain-Iain). Pendidikan multikultural menurutnya menggunakan pedagogi kritis sebagai ,
dasar filosofinya3 serta berfokus pada ilmu pengetahuan, 3
Pedagogik kritis adalah pedagogik yang lahir dari pandanganpandangan postmodernisme dan pedagogik libertarian. Pedagogik kritis melihat masyarakat pendidikan, persekolahan, merupakan ,
arena-arena di mana terjadi kontestasi kekuasaan dan kontrol dalam masyarakat. Pedagogik kritis tidak bersifat netral didalam kontestasi
tersebut tetapi mempunyai komitmen untuk memberdayakan yang tertindas atau kelompok-kelompok yang disubordinasikan. Pedagogik kritis mempertanyakan mengenai isi kurikulum metode yang digunakan, lembaga-lembaga pendidikan yang didirikan dengan ,
maksud menimbulkan kesadaran kepada para guru dan kelompokkelompok yang tertindas untuk mengubah keadaan. Dalam kaitan ini
pedagogik kritis adalah pedagogik transformatif yaitu pedagogik yang 119
Gagasan dan Desain Pendidikan Multikultural di Indonesia (Wasitohadi)
pemikiran dan tindakan {praxis) sebagai dasar perubahan sosial. Pendidikan multikultural menjunjung tinggi prinsip demokratis keadilan sosial.
Lebih lanjut, ia mendorong para pendidik untuk menciptakan pendidikan multikultural menjadi sebuah pendidikan umum berbasis sekolah. Secara rinci, ia mengemukakan ada tujuh karakteristik dasar dari pendidikan multikultural, yaitu: anti rasisme, sebuah pendidikan dasar, penting untuk semua anak didik, dapat menembus semua kalangan masyarakat {pervasive), merupakan pendidikan untuk keadilan sosial, merupakan sebuah proses dan mendasarkan pada pedagogi kritis. Menurutnya, anti rasisme merupakan inti dari perspektif multikultural. Sebuah sekolah yang menerapkan falsafah pendidikan multikultural, akan memperhitungkan pandangan anti rasisme dalam menentukan kebijakan-kebijakan, program-program, dan kegiatankegiatannya. Demikian juga guru, akan membuat anti rasisme dan anti diskriminasi sebagai bagian integral dari kurikulum dan mampu mengajar anak-anak ketrampilan untuk memerangi rasisme. Sangatlah diperlukan adanya pengajar yang mengabdikan diri pada sebuah falsafah anti rasisme. Sebagai pendidikan dasar, pendidikan multikultural harus tercermin dalam kurikulum yang berlaku di pendidikan dasar. Kurikulum yang berlaku harus memberi kemungkinan untuk memahami fenomena dari berbagai perspektif dan pengalaman. Melalui pendidikan seperti itu, peserta didik diharapkan dapat mengembangkan ketrampilan untuk menghargai perbedaan dari setiap orang. Selanjutnya, pendidikan multikultur penting untuk seluruh peserta didik, bukan hanya bagi peserta didik dari budaya bertujuan untuk mengubah proses pendidikan sebagai proses yang mengubah status quo dan memberikan kesadaran akan kebebasan manusia dari berbagai jenis penindasan. 120
Scholaria, Vol. 2, No. 1 Januari 2012: 116-149 ,
dominan. Ia masyarakat, kelamin, ras multikultural
merupakan pendidikan tentang masyarakat, untuk tanpa memperhatikan etnik, bahasa, agama, jenis ataupun kelas mereka. Sebuah konsep pendidikan semacam itu berpusat pada perlunya reformasi sekolah, merubah kurikulum, lingkungan, struktur sekolah dan
strategi pemberian materi supaya seluruh peserta didik merasa diuntungkan.
Pendidikan multikultural bersifat pervasive dapat menembus semua kalangan masyarakat. Artinya dapat berlangsung dalam suasana di sekolah, lingkungan sekolah, dalam kurikulum, dan dalam hubungan antara para pengajar dan peserta didik serta masyarakat. Pendidikan multikultural adalah sebuah falsafah, cara bagaimana kita memandang dunia, tidak hanya dipandang sebagai sebuah program ataupun sebuah kelas atau seorang pengajar. Dalam cara yang umum, pendidikan multikultural membantu kita memikirkan kembali mengenai reformasi sekolah. Bagaimana sekolah dengan pendidikannya dapat membantu mewujudkan keadilan sosial. Caranya, menurut Sonia Nieto, dengan selalu menghubungkan teori dengan tindakan. Jadi, mengembangkan pandangan multikultural berarti belajar berpikir bagaimana dengan cara yang lebih terencana dan lebih luas, mengupayakan agar apa yang kita pelajari, dapat dilaksanakan dalam tindakan. Pendidikan multikultural mengajak para peserta didik dan pengajar untuk mempraktikan apa yang telah dipelajari untuk menciptakan keadilan masyarakat. ,
,
Lain dari itu, seperti tersurat dari definisinya, pendidikan
multikultural adalah sebuah proses. Ia terus berlangsung dan dinamis, melibatkan hubungan antar masyarakat dan berfokus pada sesuatu yang ideal yang perlu diperjuangkan, menyangkut misalnya harapan seorang pengajar, lingkungan tempat belajar,
gaya peserta didik belajar, dan hal kebudayaan lainnya yang 121
Gagasan dan Desain Pendidikan Multikultural di Indonesia (Wasitohadi)
sangat penting bagi sekolah untuk memahami bagaimana supaya berhasil dengan seluruh peserta didik mereka. Dan yang terakhir pendidikan multikultural adalah sebuah pedagogi kritis. Artinya, sama seperti pedagogi kritis, pendidikan multikultural mengakui perbedaan, bukannya menekan perbedaan kebudayaan dan bahasa. Pedagogi kritis membantu mengungkap kebenaran dan membantu menganalisanya secara kritis dan hati-hati terhadap berbagai ,
persoalan, seperti keadilan untuk semua orang, persamaan
perlakuan di depan hukum, dan persamaan kesempatan untuk memperoleh pendidikan, walaupun hal-hal tersebut tidak selalu terwujud dalam kenyataan. Pedagogi kritis berdasar pada pengalaman dan sudut pandang peserta didik, karena berkeyakinan bahwa pendidikan yang sukses adalah pendidikan yang dimulai dari peserta didiknya. Peserta didik itu sendiri yang menjadi dasar dari penyusunan kurikulum.
Akhirnya, Sonia Nieto menyatakan bahwa pendidikan multikultural adalah good pedagogy (ilmu mendidik yang baik). Setiap pendidikan yang baik memandang peserta didik secara serius, menggunakan pengalaman mereka sebagai dasar dari pelajaran, dan membantu mereka untuk berkembang menjadi warga negara yang kritis dan penuh tanggung jawab. Apakah yang multikultural tentang hal tersebut? Untuk menyederhanakannya, dalam masyarakat yang multikultural, semua pendidikan yang baik perlu mempertimbangkan adanya perbedaan-perbedaan dalam peserta didiknya. Oleh sebab itu, pendidikan multikultural merupakan pendidikan yang baik untuk sejumlah besar peserta didik. "
"
Sementara itu, Gloria Boutte (1998:29) menyatakan bahwa sebagai sebuah proses ada tiga tahap pertumbuhan multikultural, sebagaimana tampak dari tabel berikut. ,
122
Scholaria, Vol. 2, No. 1 Januari 2012: 116-149 ,
Tabel 1: Stages of Multicultural Growth Stage I
Stage II
Stage III
My perspective is right {only one)
My perspective is one of many
My perspective is
Emotional
Fear/Rejection/Denial
Interest
Response
/We're all alike
Appeciation/Respect/Joy/Enthusia
Level of
Self Awareness
Awareness
to Differences
Mode of
Openness
changing and being enhanced.
sm
Active seeking
Isolation
Integration
Transforming
Avoidance
Interaction
Internalizing
action
Hostility
Acceptance
Rewarding
Approach
Eurocentric/Ethno-
Learning about other
Learning from
to
centric Curriculum
cultures
other cultures
Monocultural
Compliance
Collaborative
Autocratic
Tolerance
Cultural Inter-
Teaching Approach to
management
Directive
Valuing Diversity/Maximizing Potensial
Tabel tersebut menunjukkan bahwa tahap-tahap pertumbuhan multikultural itu meliputi lima dimensi, yaitu dimensi tingkat kesadaran diri, respon emosional terhadap perbedaan, mode interaksi budaya, pendekatan pengajaran, dan pendekatan manajemen. Semua dimensi tersebut mengilustrasikan bagaimana seorang individu berkembang dari perspektif tahap satu ke tahap tiga, dari yang semula satu dimensi ke multidimensi. Dengan sudut pandang yang berbeda James A.Bank (1994), menyatakan bahwa dalam pendidikan multikultural, dapat diidentifikasikan perkembangan sikap seseorang dalam kaitannya dengan kebudayaan-kebudayaan lain dalam masyarakat sampai kepada masyarakat dunia. Ia mengemukakan beberapa tipologi dari sikap seseorang terhadap identitas etnik, yaitu: ,
123
Gagasan dan Desain Pendidikan Multikultural di Indonesia (Wasitohadi) 1
.
2
.
Ethnic psychological captivity. Pada tingkat ini seseorang masih terperangkap di dalam stereotip dari kelompoknya sendiri dan menunjukkan rasa harga diri yang rendah. Sikap tersebut menunjukkan sikap kefanatikan terhadap nilai-nilai budaya sendiri dan menganggap budaya lainnya sebagai inferior. Ethnic encapsulation. Pribadi demikian juga terperangkap dalam kapsul kebudayaannya sendiri terpisah dari budaya kelompok lain. Sikap ini biasanya mempunyai perkiraan bahwa hanya nilai-nilai budayanya sendiri yang paling baik dan paling tinggi dan biasanya mempunyai sikap curiga terhadap budaya kelompok-kelompok yang lain atau bangsa lain.
3
.
Ethnic
identifies
clarification.
Pribadi
macam
ini
mengembangkan sikapnya yang positif terhadap kelompok budayanya sendiri dan menunjukkan sikap menerima dan memberikan jawaban yang positif kepada
budaya-budaya lainnya. Untuk mengembangkan sikap yang demikian maka seseorang lebih dahulu perlu mengetahui kelemahan-kelemahan dari budayanya sendiri atau bangsanya sendiri. 4
The ethnicity. Pribadi macam ini menunjukkan sikap yang menyenangkan terhadap bentuk-bentuk budaya lain yang datang dari kelompok etnis atau budaya lainnya seperti budayanya sendiri.
5
.
Multi ethnicity. Pribadi ini telah menunjukkan sikap yang mendalam dalam menghayati jenis-jenis kebudayaan lain di lingkungan masyarakat bangsanya.
6
.
.
Globalism. Pribadi macam ini telah dapat menerima dan bergaul di berbagai jenis budaya dan bangsa lain. Mereka 124
Scholaria, Vol. 2, No. 1 Januari 2012: 116-149 ,
dapat bergaul secara internasional dan telah mengembangkan keseimbangan keterkaitannya terhadap budaya bangsa dan budaya global. Sementara itu
menurut Bennett (2003:33), konsep dasar pendidikan multikultural meliputi dua hal: pertama, nilai-nilai inti {core values) dari pendidikan multikultural. Kedua, tujuan pendidikan multikultural. Kedua hal tersebut tampak dari gambar ,
berikut:
Dari gambar tersebut, tampak ada empat nilai inti dari
pendidikan multikultural, yaitu: (a) apresiasi terhadap adanya kenyataan pluralitas budaya dalam masyarakat, (b) pengakuan terhadap harkat manusia dan hak asasi manusia, (c) pengembangan tanggung jawab masyarakat dunia, (d) 125
Gagasan dan Desain Pendidikan Multikultural di Indonesia (Wasitohadi)
pengembangan tanggung jawab manusia terhadap planet bumi. Berdasarkan nilai-nilai inti tersebut, dapat dirumuskan enam
tujuan pendidikan multikultural: pertama, mengembangkan perspektif sejarah yang beragam dari kelompok-kelompok masyarakat. Kedua, memperkuat kesadaran budaya yang hidup di masyarakat. Ketiga, memperkuat kompetensi interkultural dari budaya-budaya yang hidup di masyarakat. Keempat, membasmi rasisme, seksisme, dan berbagai jenis prasangka {prejudice). Ketima, mengembangkan kesadaran atas kepemilikan planet bumi. Keenam, mengembangkan ketrampilan aksi sosial. Konsep dasar tersebut terintegrasi dan sangat komprehensif. Konsep ini perlu dijabarkan: pertama, dalam reformasi kurikulum, diperlukan analisis buku-buku pelajaran yang tidak sesuai dengan pluralisme budaya. Kedua, mengajarkan prinsip-prinsip keadilan sosial. Ketiga, mengembangkan kompetensi multikultural. Keempat, melaksanakan pedagogik kesetaraan. Pedagogik kesetaraan dilaksanakan di sekolah misalnya di dalam cara mengajar dan belajar yang tidak menyinggung perasaan atau tradisi dalam suatu kelompok tertentu. Pendidikan multikultural adalah suatu studi tentang keanekaragaman kultural hak-hak asasi manusia serta pengurangan atau penghapusan berbagai jenis prasangka (prejudice) demi membangun masyarakat yang adil dan tenteram. Inti dari pendidikan multikultural adalah mengembang,
kan kesadaran atas kebanggaan seseorang terhadap bangsanya. Mengapa dan untuk apa pendidikan multikultural itu? Pendidikan multikultural sangat penting karena bila dikelola dengan baik aneka kultur yang ada dalam masyarakat dapat merupakan kekuatan bagi masyarakat tersebut. Dalam hal ini sekolah harus menjadi model bagaimana kehidupan dengan aneka kultur berlangsung sehingga masing-masing warga memahami dan menghormati kultur yang ada sehingga terjadi ,
,
,
126
Scholaria, Vol. 2, No. 1 Januari 2012: 116-149 ,
toleransi.
Keadilan
dan
kesetaraan
sosial
dalam
hal
itu
merupakan dasar penting dalam pelaksanaan pertgembangan kurikulum dan proses belajar mengajar. Nilai-nilai dan sikap yang mendorong kehidupan demokratis hendaknya terus dikembangkan di sekolah. Pendidikan dapat menyediakan pengetahuan, ketrampilan dan sikap guna pemerataan kekuasaan dan pendapatan diantara berbagai kelompok masyarakat. Dari berbagai sumber pustaka dapat dipahami tentang tujuan pendidikan multikultural, antara lain: ,
a
.
b
c
.
.
d
.
Untuk menolong para individu agar memperoleh pemahaman diri yang lebih besar dengan memandang mereka sendiri dari perspektif budaya lain; Untuk menyediakan alternatif-alternatif budaya dan etnik pada peserta didik; Untuk memberikan kepada semua peserta didik ketrampilan, sikap dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk berfungsi dalam budaya etnik mereka, dalam budaya dominan dan dalam lintas budaya etnik lain yang beragam;
Untuk mengurangi perasaan sakit dan diskriminasi yang dialami oleh anggota-anggota beberapa kelompok etnik dan ras karena karakteristik budaya, fisik dan ras yang unik;
e
Untuk mengembangkan pemahaman yang dalam mengenai proses penciptaan lingkungan relajar yang adil bagi kepentingan pendidikan multikultural;
f
Untuk menghubungkan pengembangan kurikulum dengan aspek pedagogi, iklim kelas, dan kontek bagi sebuah visi luas tentang lingkungan belajar yang adil;
.
.
127
Gagasan dan Desain Pendidikan Multikultural di Indonesia (Wasitohadi)
Khusus untuk kondisi Indonesia, pendidikan multikultural
memiliki signifikansi, di antaranya: (a) sebagai sarana alternatif pemecahan konflik sosial, (b) pembinaan agar siswa tidak tercerabut dari akar budayanya, (c) sebagai landasan pengembangan kurikulum pendidikan nasional, dan (d) menciptakan masyarakat multikultur (Choirul Mahfud, 2006:251). Bagaimana
pendidikan
multikultural
tersebut
dilaksanakan?
Mengenai bagaimana pendidikan multikultural dilaksanakan, dapat didekati dari berbagai sudut pandang. Dari segi pendekatan, sejak tahun 1960-an dapat diidentifikasi ada empat pendekatan bagaimana pendidikan multikultural itu dilaksanakan (James P.Bank, 2002), yaitu pendekatan kontribusi (contributions approach), pendekatan aditif etnik (ethnic additive approach), pendekatan transformasi (transformation approach), dan pendekatan aksi sosial serta pembuatan keputusan (decision making and social action approach). Keempat pendekatan tersebut pada intinya berupaya mengintegrasikan materi etnis dan multikultural ke dalam kurikulum pendidikan multikultural. Pada pendekatan kontribusi, elemen kultur masyarakat seperti peringatan hari-hari besar, hari pahlawan, hari libur, kebiasaan dan ritual kultural, makan, pakaian, seni dan Iain-Iain yang berhubungan dengan kelompok etnis, dibawa masuk ke sekolah dan ditambahkan pada kurikulum tanpa mengubah
strukturnya. Kriteria mengenai elemen budaya mana yang dimasukkan, dipilih dengan menggunakan kriteria budaya dominan. Kelemahan dari pendekatan ini, antara lain: (a) cenderung mengabaikan konsep dan isu penting yang berkaitan dengan korban dan penindasan dari kelompok etnis dan perjuangan melawan rasisme dan kekuasaan, (b) seringkali menghasilkan peremehan budaya etnis studi tentang karakteristik aneh dan eksotis mereka dan penguatan stereotip ,
,
128
Scholaria, Vol. 2 No. 1, Januari 2012: 116-149 ,
dan salah konsepsi dan (c) dapat memberi siswa dengan pengalaman sesaat yang dapat diingat tentang pahlawan etis, namun seringkali gagal untuk membantunya mernahami peran dan pengaruh pahlawan itu dalam konteks keseluruhan dari sejarah dan masyarakat. ,
Pendekatan
aditif
etnik
merupakan
pendekatan
pengintegrasian materi etnis dan multikultural ke dalam kurikulum pendidikan multikultural, dengan menambah isi, konsep dan materi pembelajaran tanpa merubah struktur, tujuan dan karakteristik kurikulum-keilmuan. Beberapa kelemahannya, antara lain: (a) pendekatan aditif gagal membantu siswa melihat masyarakat dari perspektif budaya dan etnis yang berbeda dan mernahami cara yang saling berhubungan antara sejarah dan budaya dari kelompok etnis, ras, budaya dan religi yang berbeda (b) menambah materi etnis ke dalam kurikulum menurut cara yang sporadis dan terpilah-pilah dapat menyebabkan masalah pedagogis, kesulitan bagi guru, kebingungan siswa, dan kontroversi masyarakat. ,
Sementara, dalam pendekatan transformatif ada upaya untuk merubah struktur kurikulum-keilmuan agar siswa dapat mengkaji materi dan kondisi masyarakat dari berbagai perspektif kultural. Pendekatan transformasi mengubah asumsi dasar kurikulum dan menumbuhkan kompetensi siswa dalam melihat konsep, isu, tema dan problem dari beberapa perspektif dan sudut pandang etnis. Sedangkan dalam pendekatan aksi sosial siswa membuat keputusan dan mengambil tindakan berkaitan dengan masalah personal dan sosial kemasyarakatan. Tujuan utama dari pengajaran dengan pendekatan ini adalah mendidik siswa melakukan kritik sosial dan perubahan sosial serta mengajari mereka ketrampilan pembuatan keputusan. Selain itu tujuan lainnya adalah untuk membantu siswa memperoleh pengetahuan, nilai dan ketrampilan yang mereka butuhkan untuk ,
,
129
Gagasan dan Desain Pendidikan Multikultural di Indonesia (Wasitohadi)
berpartisipasi dalam perubahan sosial sehingga kelompokkelompok ras dan etnis yang terabaikan dan menjadi korban menjadi berpartisipasi penuh dalam masyarakat dan negara sehingga menunjang terwujudnya demokrasi. Menurut Sutarno (2007:25), keempat pendekatan untuk integrasi materi multikultural ke dalam kurikulum tersebut, dapat dipadukan dalam situasi pengajaran aktual. Satu pendekatan, seperti pendekatan kontribusi, dapat dipakai sebagai wahana untuk bergerak ke yang lain, yang lebih menantang secara intelektual seperti pendekatan transformasi dan pendekatan aksi sosial. Tidak realistis, menurutnya, untuk mengharapkan guru berpindah secara langsung dari kurikulum yang amat berpusat pada paham budaya yang dominan ke pendekatan yang berfokus pada pembuatan keputusan dan aksi sosial. Pergerakan dari pendekatan yang satu yang lebih rendah levelnya ke tahap yang lebih tinggi dalam mengintegrasikan materi multikultural dapat terjadi secara bertahap dan kumulatif.
Sementara itu dari sudut dimensinya, pelaksanaan pendidikan multikultural melibatkan lima dimensi (James P. Banks, dalam Zamroni, 2008:207), yaitu: Integrasi isi Integrasi isi berkaitan dengan upaya perluasan di mana guru menggunakan contoh-contoh dan isi dari berbagai budaya dan kelompok untuk mengilustrasikan konsep-konsep pokok, prinsip-prinsip, generalisasi, dan teori-teori di dalam daerah atau disiplin mata pelajaran yang diajarkan. Jadi, penggabungan etnik dan isi budaya ke dalam matapelajaran 1
.
adalah logis. Dalam kenyataan, ada lebih banyak kesempatan untuk melakukan integrasi etnik dan substansi kultural ke
dalam beberapa mata pelajaran daripada yang lain. Ada 130
Scholaria, Vol. 2, No. 1 Januari 2012: 116-149 ,
kesempatan yang lebih banyak dan sering bagi guru untuk menggunakan substansi kultural dan etnik untuk mengilustrasikan konsep tema dan prinsip-prinsip pada studi sosial, seni bahasa dan musik. Meskipun demikian, kesempatan juga ada pada matematika dan sains, meski kurang luas jika dibandingkan dengan studi sosial dan seni bahasa. Integrasi konten sering disalahkan oleh para praktisi sekolah karena meliputi keseluruhan pendidikan multikultural dan dipandang tidak sesuai untuk pengajaran beberapa disiplin, seperti matematika dan ilmu. ,
,
2
.
Proses konstruksi pengetahuan.
Ini
merupakan
proses
yang
mendeskripsikan
kegiatan-kegiatan yang menolong siswa untuk memahami, menyelidiki dan menentukan bagaimana asumsi-asumsi
budaya yang tersirat, kerangka acuan, sudut pandang dan bias-bias peneliti dan penulis-penulis buku teks yang mempengaruhi cara bagaimana pengetahuan dikonstruksi. Pengajaran multikultural melibatkan tidak hanya bagaimana memasukkan isi etnik ke dalam kurikulum sekolah, tetapi juga merubah struktur dan organisasi pengetahuan sekolah. Itu juga termasuk merubah cara bagaimana guru dan siswa memandang dan berinteraksi dengan pengetahuan, menolong mereka sebagai penghasil pengetahuan, tidak hanya sebagai pemakai pengetahuan yang dihasilkan orang lain. Proses konstruksi pengetahuan menolong guru dan siswa untuk memahami mengapa identitas budaya dan posisi sosial dari para peneliti perlu untuk diperhitungkan ketika menilai keabsahan claim-claim pengetahuan. Teori-teori multikultural menyatakan bahwa nilai-nilai, sejarah personal, sikap dan keyakinan peneliti tidak dapat dipisahkan dari 131
Gagasan dan Desain Pendidikan Multikultural di Indonesia (Wasitohadi)
pengetahuan yang mereka ciptakan. Mereka secara konsekuen menolak claim kaum positivistik ketidaktertarikan dan mengambil jarak dengan produksi pengetahuan. Mereka juga menolak kemungkinan menciptakan pengetahuan yang tidak dipengaruhi oleh asumsi-asumsi budaya dan posisi sosial penghasil pengetahuan. Dalam pengajaran dan pembelajaran multikultural,
paradigma, tema dan konsep yang berada di luar atau bukan merupakan bagian dari pengalaman hidup, sejarah dan berkontribusi terhadap kelompok-kelompok marginal yang dihadapi. Pedagogi multikultural mencoba merekonseptualisasi dan mengembangkan pembelajaran, untuk membuat lebih mewakili dan inklusif dalam keragaman bangsa, dan untuk membentuk kembali kerangka acuan, sudut pandang dan konsep-konsep yang membangun pengetahuan sekolah. 3
.
Pengurangan prasangka Dimensi pengurangan prasangka dari
pendidikan multikultural mencoba membantu siswa mengembangkan sikap-sikap rasial yang demokratis dan positif. Itu juga menolong siswa memahami bagaimana identitas etnik yang dipengaruhi oleh konteks sekolah dan sikap-sikap dan keyakinan kelompok dominan. Teori yang dikembangkan oleh Gordon Allport telah secara siknifikan mempengaruhi penelitian dan teori hubungan antar kelompok. Dia berhipotesa bahwa prasangka dapat direduksi oleh kontak antar rasial jika situasi kontak mempunyai karakteristik antara lain: (1) mereka kooperatif daripada kompetitif, (2) status yang sama pengalaman individual, (3) kontak tidak dibatasi
oleh otoritas seperti orang tua, kepala sekolah dan para guru.
132
Scholaria, Vol. 2 No. 1, Januari 2012: 116-149 ,
4
.
Pedagogi kesetaraan
Sebuah pedagogi yang adil akan terjadi bila para guru memodifikasi pengajaran mereka dengan cara yang memfasilitasi pencapaian akademik siswa dari kelompok bahasa, sosial ekonomi, budaya, rasial yang berbeda. Ini termasuk menggunakan variasi gaya belajar dan pendekatanpendekatan yang konsisten dengan tingkat gaya belajar sampai kelompok-kelompok etnik dan budaya yang bervariasi. Itu juga meliputi penggunaan teknik-teknik kooperatif di dalam pengajaran matematika dan sains untuk meningkatkan pencapaian akademik beragam siswa. Sebuah
pedagogi
yang
adil
menolak paradigma
penghilangan budaya. Paradigma ini meyakini bahwa pengalaman sosialisasi di rumah dan masyarakat dari siswa
yang berpenghasilan rendah mencegah mereka dari pemerolehan pengetahuan, ketrampilan dan sikap-sikap yang diperlukan bagi kesuksesan akademik. Karena praktek-
praktek budaya siswa yang berpenghasilan rendah dipandang tidak sesuai dan rendah, para ahli teori penghilangan budaya berfokus pada perubahan perilaku siswa sehingga perilakunya semakin sesuai dengan budaya sekolah yang diidealkan. Sebuah pedagogi yang adil berasumsi bahwa para siswa dari budaya dan kelompok yang berbeda datang ke sekolah dengan beberapa kelebihan. Para ahli multikultural mendeskripsikan bagaimana identitas kultural, gaya komunikasi dan harapan-harapan sosial siswa dari kelompok ras dan etnik yang terpinggirkan sering konflik dengan nilai, keyakinan dan asumsi-asumsi budaya para guru. Budaya dominan kelas menengah di sekolah menciptakan disonansi budaya yang mana hak-hak istimewa siswa yang telah terinternalisasi oleh budaya sekolah dan gaya komunikasi.Guru menerapkan secara 133
Gagasan dan Desain Pendidikan Multikultural di Indonesia (Wasitohadi)
Indonesia, khususnya kondisi sosial, politik, ekonomi dan budayanya. Pertama, bangsa Indonesia terlahir sebagai bangsa yang multikultur. Dengan populasi penduduk sekitar 226 juta, ada kira-kira 300 kelompok yang secara etnis dan bahasa berbeda, dalam sebuah negara kepulauan yang paling luas di dunia (Adiwoso-Suprapto, 1982). Selain itu, menurut Hildred Geertz, masing-masing kelompok tersebut memiliki bahasa dan identitas kultural yang berbeda. Sementara itu, dengan mengutip William Liddle, Kamanto Sunarto (2004:50) menyatakan bahwa 82,2 % dari populasi itu berisi 14 kelompok etnik yang besar dengan anggota lebih dari satu juta, dan hingga tahun 1986 kirakira 99,4 % dari populasi itu adalah pengikut dari empat agama besar dunia: Islam (86,9 %), kristen protestan (6,5%), katolik (3,1%), Hindu (1%) dan Budha (0,6%). Menurut Nasikun (1987:30), struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh dua cirinya yang bersifat unik. Secara
horisontal, ia ditandai oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan perbedaan-perbedaan suku bangsa, perbedaan-perbedaan agama, adat serta perbedaan-perbedaan kedaerahan. Secara vertikal, struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh adanya perbedaan-perbedaan vertikal antara lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup tajam. Struktur masyarakat yang demikian tentu membutuhkan pengelolaan yang baik, karena kemajemukan tersebut tidak sekedar sebagai kekayaan budaya, namun juga terkait dengan kelangsungan hidup bersama sebagai bangsa. Kesadaran semacam itu sangat penting, karena menurut Rabushka dan Shepsle (Bambang Suteng, 2002: 101), semua masyarakat majemuk mempunyai tiga kecenderungan pokok,
yaitu: (a) berkembangan konflik di dalam hubungan antar kelompok, (b) pelaku konflik melihat konflik sebagai all-out war, dan (c) berkembangnya proses integrasi sosial melalui suatu 136
Scholaria, Vol. 2 No. 1, Januari 2012: 116-149 ,
dominasi suatu kelompok atas kelompok lain. Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa dalam kenyataan seringkali terjadi kecenderungan pertama dan kedua terutama akan berkembang apabila perbedaan-perbedaan sosial berdasarkan parameter etnik jatuh berhimpitan dengan parameter lain (misalnya: agama, tingkat sosial ekonomi, kasta), sehingga sentimen-sentimen yang bersumber pada perbedaan-perbedaan sosial berdasarkan parameter struktur sosial yang satu berkembang saling mengukuhkan dengan sentimen-sentimen yang bersumber pada perbedaan-perbedaan sosial berdasarkan parameter yang lain. Dalam banyak kasus di Indonesia terutama pada masa Orde Baru, keragaman tersebut telah menyebabkan maraknya berbagai kerusuhan dan konflik dalam kehidupan politik Indonesia selama ini. Pluralitas bangsa Indonesia yang selama Orde Baru sering disebut Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan (SARA) telah menjadi hal yang amat sensitif dan sering dijadikan kambing hitam dalam kehidupan bangsa kita. Padahal sesungguhnya keberadaan SARA dalam kehidupan bangsa Indonesia yang majemuk adalah hal yang wajar, dan bahkan ,
dapat dijadikan energi penggerak dinamika kehidupan bangsa.
Uraian tentang kerusuhan-kerusuhan sosial di bawah ini akan menggambarkan bagaimana sulitnya membangun integrasi nasional di tengah masyarakat majemuk, dimana SARA terlibat di daiamnya. Gelombang kerusuhan yang terjadi sejak paroh kedua tahun 1990-an (di Jakarta, Solo, Medan, Sidotopo-Surabaya, Situbondo, Tasikmalaya, Sanggau Ledo, Rengasdenglok, Mataram,Yogya, Poso maupun Ambon), menampilkan diri dalam wajah konflik SARA. Yang tampak ke permukaan adalah (a) pertikaian antar pemeluk agama yang berbeda (Islam v.s Kristen), (b) pertikaian antar kelas sosial yang berbeda (Pribumi miskin v.s Cina kaya), dan (c) pertikaian antar suku (Dayak asli v s Madura pendatang). .
137
Gagasan dan Desain Pendidikan Multikultural di Indonesia (Wasitohadi)
Menurut F. Budi Hardiman (2002), fakta kerusuhan dan konflik tersebut sudah lama ada, tetapi rezim Orde Baru meredam dan menekan gejolak itu. Baru dengan krisis ekonomi dan politik di Indonesia, dan jatuhnya Soeharto, kita "dipaksa" untuk melihat dan mengakui kenyataan itu. Sementara itu, Bambang Suteng Sulasmono (2002:108) memandang bahwa masing-masing kerusuhan dan konflik yang terjadi mengandung baik sebab-sebab yang berdimensi lokal sektoral maupun sebabsebab yang bersifat global nasional. Faktor-faktor itu terdiri atas (a) rekayasa politik, dan (b) lahan yang mendukung. Dugaan adanya rekayasa politik dalam "beberapa kasus" tersebut, menurutnya, ditopang oleh fakta, misalnya (a) tidak adanya alasan nyata bagi tumbuhnya pertikaian, dan (b) lambatnya kehadiran aparat keamanan dalam menindak para perusuh. Selain itu, bagaimanapun gencarnya sebuah rekayasa, hal itu tidak akan membawa hasil apabila tidak terdapat lahan yang baik bagi berjalannya program rekayasa tersebut. Kondisi kehidupan bangsa kita saat itu menurutnya telah menyediakan lahan subur bagi rekayasa, antara lain: (a) kesenjangan ekonomi, dan (b) kesumpegan sosial politik. Pada aspek ekonomi, krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 telah menyebabkan bertambahnya penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan. Hal ini bertolak belakang dengan keadaan sebelum krisis, yang menunjukkan berkurangnya jumlah penduduk miskin dari tahun ke tahun. Menurut standar 1996, pada tahun 1996 jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan diperkirakan 22,5 juta jiwa atau sekitar 11,3 persen dari seluruh penduduk Indonesia. Dari jumlah ini 7,2 juta orang berada di perkotaan atau 9,7 persen dari seluruh penduduk perkotaan, dan 15,3 juta atau 12,3 persen dari seluruh penduduk pedesaan. 138
Scholaria, Vol. 2 No. 1, Januari 2012: 116-149 ,
Akibat krisis ekonomi yang terus berkelanjutan, sampai dengan akhir tahun 1998, jumlah penduduk miskin telah menjadi 49,5 juta jiwa atau sekitar 24,2 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Perlu juga diketahui bahwa peningkatan jumlah penduduk miskin menjadi 49,5 juta jiwa pada akhir tahun 1998 tersebut tidak sepenuhnya terjadi akibat adanya krisis ekonomi melainkan sebagian terjadi karena perubahan standar yang digunakan. Sebagaimana diketahui, standar kemiskinan yang digunakan BPS bersifat dinamis, menyesuaikan perubahan pola konsumsi. Maka, jumlah penduduk miskin pada tahun 1996 jika diukur dengan standar yang sama (1998) adalah 34,5 juta (17,7 persen). Garis kemiskinan menurut standar 1998 adalah 42.032 rupiah untuk perkotaan dan 31.366 rupiah untuk pedesaan. Perbaikan
ekonomi
dan
situasi
politik yang
sedikit
membaik pada tahun 1999 telah mempengaruhi jumlah penduduk miskin. Dibandingkan dengan perkiraan akhir tahun 1998 jumlah penduduk miskin pada akhir tahun 1999 sedikit menurun, tetapi bila dibandingkan dengan tahun 1996 jumlahnya
masih jauh lebih tinggi. Pada Februari tahun 1999 jumlah penduduk miskin Indonesia tercatat sebesar 48,4 juta jiwa, sekitar 67,6 persennya tinggal di daerah pedesaan. Dibandingkan
dengan akhir tahun 1998 jumlah penduduk miskin tersebut mengalami penurunan sebesar 2,2 persen. Jumlah penduduk miskin di Indonesia menurut pulau dapat dilihat dalam tabel berikut:
139
Gagasan dan Desain Pendidikan Multikultural di Indonesia (Wasitohadi) Tabel 2: Jumlah Penduduk Miskin Menurut Pulau Kelompok pulau
Jumlah penduduk
Prosentase penduduk
miskin
miskin
2003
2004
2003
2004
Sumatera
8 12
7,88
16,23
17,47
Jawa + Bali
21,49
20,71
16,49
15,73
Kalimantan
1,38
1 30
11,83
11,00
Sulawesi
2 69
2 60
17,56
16,73
Pulau lainnya
3,65
3,66
29,25
28,55 16,17
,
,
,
,
Kawasan Barat Indonesia
29,61
28,59
16,93
Kawasan Timur Indonesia
7 72
7 56
19,57
18,81
Indonesia
37,33
36,15
17,42
16,66
,
,
Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa jumlah penduduk miskin lebih banyak terdapat di pulau-pulau yang berada di kawasan timur Indonesia yang dapat diduga mereka mendiami pulau-pulau kecil yang tersebar di sana. Sebaran penduduk miskin menurut provinsi pada tahun 2003 dan 2004 akan dapat diketahui pada tabel berikut:
140
Scholaria, Vol. 2 No. 1, Januari 2012: 116-149 ,
Tabel 3: Jumlah dan Prosentase Penduduk Miskin Menurut Provinsi Provinsi
Jumlah Penduduk Miskin
Prosentase
(ribu)
Penduduk Miskin
2003
2004
2003
2004
Nanqroe Aceh Darussalam
1 254,2
1 157,2
29,76
28,47
Sumatera Utara
1 883,6
1 800,1
15,89
14,93
Sumatera Barat
501,1
472,4
11,24
10,46
Riau
751,3
744,4
13,52
13,12
Jambi
327,3
325,1
12,74
12,45
Sumatera Selatan
1 397,1
1 379,3
21,54
20,92
Benqkulu Lampunq
344,2
345,1
22,69
22,39
1 568,0
1 561,7
22,63
22,22
Banqka Belitunq
98,2
91,8
10,06
9,07
.
.
.
.
.
.
.
.
DKI Jakarta
294,1
277,1
3 42
3 18
Jawa Barat
4 899,0
4 654,2
12,90
12,10
Jawa Tenqah
6 980,0
6 843,8
21,78
21,11
DIY
636,8
616,2
19,86
19,14
Jawa Timur
7 578,4
7 312,5
20,93
20,08
Banten
855,8
779,2
9,56
8 58
Bali
246,1
231,9
7 34
6,85
NTB
1 054,8
1 031,6
26,34
25,38
NTT
1 166,0
1 152,1
28,63
27,86
Kalimantan Barat
583,7
558,2
14,79
13,91
Kalimantan Tenqah
207,7
194,1
11,37
10,44
Kalimantan Selatan
259,0
231,0
8 16
7,19
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
,
,
,
,
,
Kalimantan Timur
328,6
318,2
12,15
11,57
Sulawesi Utara
191,6
192,2
9,01
8 94
Sulawesi Tenqah
509,1
486,3
23,04
21,69
,
Sulawesi Selatan
1 301,8
1 241,5
15,85
14,90
Sulawesi Tenqqara
428,4
418,4
22,84
21,90
Gorontalo
257,7
259,1
29,25
29,01
Maluku
399,9
397,6
32,85
32,13
.
.
Maluku Utara
118,8
107,8
13,92
12,42
Papua
917,0
966,8
39,03
38,69
Indonesia
37.339,4
36,146
17,42
16,66
Sedangkan jumlah penduduk miskin mulai tahun 2001 sampai dengan 2005 dapat dilihat pada tabel berikut:
141
Gagasan dan Desain Pendidikan Multikultural di Indonesia (Wasitohadi)
Tabel 4: Jumlah penduduk miskin (juta jiwa) 2001 - 2005 Tahun
Kota
Desa
Kota + Desa
2001
8 6 ,
29,3
37,9
2002
13,3
25,1
38,4
2003
12,2
25,1
37,3
2004
11,3
24,8
36,1
2005
12,4
22,7
35,1
Dari paparan data SUSENAS di atas dapat diketahui bahwa jumlah penduduk miskin Indonesia masih sangat banyak, terutama di desa-desa. Orang miskin hidup dalam lingkaran setan yang kompleks, maka cara berpikirnya juga sangat sederhana, yaitu memenuhi kebutuhan pokok bagi keberlangsungan kehidupannya. Celakanya lagi, mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan tersebut, hampir selalu berada di pihak yang dirugikan oleh sistem pendidikan yang ada, sehingga yang menjadi persoalan terkait dengan pendidikan multikultural khas Indonesia adalah bagaimana mengatur sedemikian rupa agar mereka memperoteh kesempatan yang sama dalam pendidikan sehingga prestasinya sama dengan pihak-pihak yang seiama ini diuntungkan. Kiranya, dalam konteks itu, dibutuhkan sebuah kebijakan "affirmative policy berianjut", dengan didahului oleh upaya opportunity to be equal baq\ mereka. "
"
Kemudian dari segi budaya, ada begitu banyak problem penyakit budaya , yang secara potensial dapat mengancam kelangsungan hidup bersama sebagai bangsa. Beberapa di antaranya adalah prasangka, stereotipe, "
"
etnosentrisme, rasisme, diskriminasi, dan scape goating ( Sutarno, 2007:13; Jana Noel, 2000: 81-109). Prasangka berasal dari praejudicium, yakni pernyataan atau kesimpulan tentang sesuatu berdasarkan perasaan dan pengalaman yang dangkal terhadap orang atau kelompok tertentu baik yang bersifat positif maupun negatif. Kalau prasangka berubah menjadi tindakan nyata, maka prasangka sudah berubah menjadi diskriminasi ,
,
142
Scholaria, Vol. 2 No. 1, Januari 2012: 116-149 ,
yaitu tindakan menyingkirkan status dan peranan seseorang darihubungan pergaulan dan komunikasi antar manusia. ,
Stereotipe merupakan salah satu bentuk prasangka. Stereotipe adalah pemberian sifat tertentu terhadap seseorang berdasarkan kategori yang bersifat subyektif, hanya karena dia berasal dari kelompok yang lain. Etnosentrisme adalah kecenderungan untuk mengagung-agungkan kebudayaan etnisnya sendiri, dan meremehkan kebudayaan etnis lain. Sementara rasisme merupakan pembedaan manusia berdasarkan
kategori atau karakteristik warna kulit dan bentuk wajah. Setelah itu, orang lalu menetapkan hierarkhi manusia berdasarkan karakteristik fisik. Sedangkan diskriminasi pada intinya menunjuk pada prasangka yang telah mengarah pada tindakan. Tindakan diskriminasi biasanya dilakukan oleh orang yang memiliki prasangka kuat akibat tekanan tertentu, misalnya tekanan budaya, adat istiadat, kebiasaan atau hukum. Antara prasangka dan diskriminasi ada hubungan yang sangat erat, dimana ada prasangka, di sana ada diskriminasi. Jika prasangka dipandang sebagai keyakinan atau ideologi, maka diskriminasi adalah terapan keyakinan atau ideologi. Jadi diskriminasi merupakan tindakan yang membeda-bedakan dan kurang bersahabat dari kelompok dominan terhadap kelompok subordinasinya. Sementara itu, teori scape goating menyatakan bahwa bila seorang individu tidak bisa menerima perlakuan tertentu yang tidak adil,maka perlakuan itu dapat ditanggungkan kepada orang lain. GAGASAN DAN DESAIN PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI INDONESIA
Dari uraian di atas, maka dapat kemukakan beberapa hal sehubungan dengan desain pendidikan multikultural di Indonesia. Pertama, pendidikan multikultural menjadi tantangan bagi
masyarakat Indonesia baru. Ia menempati tempat yang sangat 143
Gagasan dan Desain Pendidikan Multikultural di Indonesia (Wasitohadi)
sentral untuk membangun masyarakat demokratis. Kedua, model pendidikan multikultural di Indonesia harus berdasar Pancasila yang telah disepakati para pendiri bangsa sebagai jaminan NKRI. Menurut Eka Darmaputera (1987:145), Pancasila merupakan pilihan terbaik satu-satunya yang tersedia bagi bangsa Indonesia yang majemuk. Dari Pancasila dapat dipahami gambaran manusia yang diidealkan dalam konteks kemajemukan, yaitu manusia Pancasila, yang cirinya: menjunjung tinggi nilainilai etika dan moral, HAM, kerukunan hidup antar warga/agama,
kerjasama,
saling
menghargai
perbedaan,
kemauan
untuk
bersatu, menghormati simbol-simbol negara persatuan, rasa bangga sebagai orang Indonesia, menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi, punya rasa solidaritas sosial, dan Iain-Iain. Selain itu, pendekatan studi kultural melihat manusia itu sebagai suatu yang utuh yang hidup di tengah-tengah kebudayaannya. Dengan tepat Tilaar (2003:183) menyatakan: Masalah pendidikan tak dapat lepas dari masalah kebudayaan. Kita sebagai negara bangsa membutuhkan rasa persatuan yang didasarkan kepada pendidikan yang berakar dari budaya masyarakat Indonesia. Apabila kita lepaskan kebudayaan dari pendidikan bukan hanya kita menghilangkan wahana lahirnya pendidikan itu tetapi kita juga menghilangkan kesatuan eksistensial antara praksis pendidikan dengan lingkungan budaya di mana praksis itu terjadi. Sebab kalau demikian halnya memisahkan
kebudayaan dari pendidikan akibatnya ialah kita akan jatuh kembali kepada rasionalisme yang hanya mementingkan pembinaan akal tetapi mengabaikan manusia yang utuh dalam kebudayaannya. Demikian pula pendidikan yang 144
Scholaria, Vol. 2 No. 1, Januari 2012: 116-149 ,
terlepas dari kebudayaan akan mengubah fungsi pendidikan sebagai fungsi reproduksi dalam kebudayaan yang ada sehingga akibatnya bukan hanya kebudayaan itu mandeg tidak berkembang tetapi juga membawa kebudayaan itu sebagai alat represi politik pemerintah.
Ketiga,
model pendidikan multikultural di Indonesia
harus didasarkan pada kondisi perkembangan sosia/ politik, ekonomi dan budaya Indonesia, bukan basil adopsi pendidikan multikultural bangsa lain. Sebab kebutuhan mengenai desain pendidikan multikultural di Indonesia adalah kebutuhan untuk mengatasi berbagai problema sosial politik ekonomi, dan budaya yang aktual dan real ada di Indonesia sebagaimana sudah ,
,
diuraikan di muka.
Keempat, dari segi penyajiannya desain pendidikan multikultural di Indonesia sebaiknya tidak diberikan dalam satu rnata pelajaran yang terpisah tetapi terintegrasi di dalam mata pelajaran-mata pelajaran yang relevan. Dalam mata pelajaran ilmu-ilmu sosial dan bahasa misalnya, tujuan pendidikan multikultural dapat dicapai tanpa memberikan suatu mata pelajaran tersendiri. Demikian juga, dalam mata pelajaran kewarganegaraan (civic education) ataupun pendidikan moral (moral education) dapat sebagai wadah untuk menampung program-program pendidikan multikultural. ,
,
Selain itu, pendidikan multikultural dapat disajikan dalam seluruh budaya lembaga pendidikan, baik dalam keluarga, lingkungan sekolah, maupun masyarakat luas. Dengan demikian, pendidikan multikultural lebih tepat disebut sebagai suatu proses mata pelajaran. Atau, dengan kata lain, di dalam lingkungan sekolah pendidikan multikultural merupakan pengembangan 145
Gagasan dan Desain Pendidikan Multikultural di Indonesia (Wasitohadi)
budaya pluralisme dalam kehidupan sekolah sebagai lembaga masyarakat.
Selain itu, pendidikan multikultural merupakan bagian dari reformasi kurikulum dan reformasi pendidikan nasional dalam rangka otonomi daerah dan otonomisasi pendidikan dalam membina masyarakat madani yang demokratis. Salah satu ciri masyarakat madani adalah lahirnya persatuan nasional yang sehat, yang memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi setiap warga negara dengan budayanya yang pluralisms untuk berkembang sehingga masing-masing kelompok dengan budayanya masing-masing merupakan kekuatan dari suatu bangsa Indonesia yang besar (Tilaar, 2003:186). Kelima, keempat pendekatan dalam pendidikan multikultural, dapat digunakan secara terpadu, meskipun tekanannya pada pendekatan transformasi dan pendekatan aksi sosial. Selain itu, dimensi-dimensi pendidikan multikultural sebagaimana dikemukakan oleh James P. Banks serta berbagai elemen dan urutan pendidikan transformatif kiranya dapat dipakai sebagai acuan dalam membangun sebuah desain pendidikan multikultural yang cocok untuk Indonesia. Khusus mengenai kurikulum multikultural, model kurikulum pendidikan multikultural mencakup kurikulum yang resmi serta the hidden curriculum (kurikulum tak tertulis dan terencana tetapi proses internalisasi nilai, pengetahuan dan
ketrampilan justru terjadi dikalangan peserta didik). Pengetahuan multikultural dimulai dari pengenalan, penghormatan, dan penghargaan terhadap diri-sendiri (termasuk institusi yang membentuk seperti keluarga, lingkungan terdekat). Kemudian sesuai dengan tahap perkembangan anak dan jenjang pendidikan, pengenalan dan penghormatan atas diri sendiri diperluas dan dikembangkan menjadi pengenalan dan ,
146
Scholaria, Vol. 2, No. 1 Januari 2012: 116-149 ,
penghargaan
terhadap
orang
lain.
Misalnya,
pengetahuan
tentang berbagai suku etnis, adat, tradisi, agama, bahasa daerah di satu daerah, di Indonesia dan di dunia. ,
,
SIMPULAN
1
.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa; Pendidikan multikultural menjadi tantangan bagi masyarakat Indonesia baru. Ia menempati tempat yang sangat sentral untuk membangun masyarakat demokratis.
2
.
Model
pendidikan
multikultural
di
Indonesia
harus
berdasar Pancasila yang telah disepakati para pendiri bangsa sebagai jaminan NKRI. 3
.
Model
pendidikan
multikultural
di
Indonesia
harus
didasarkan pada kondisi perkembangan sosia/ politik, ekonomi dan budaya Indonesia, bukan hasil adopsi pendidikan multikultural bangsa lain. 4
Desain pendidikan multikultural di Indonesia sebaiknya tidak diberikan dalam satu mata pelajaran yang terpisah tetapi terintegrasi di dalam mata pelajaran-mata pelajaran yang relevan.
5
Keempat pendekatan dalam pendidikan multikultural, dapat digunakan secara terpadu, meskipun tekanannya pada pendekatan transformasi dan pendekatan aksi sosial. Dimensi-dimensi pendidikan multikultural sebagaimana dikemukakan oleh James P. Banks serta berbagai elemen dan urutan pendidikan transformatif kiranya dapat dipakai sebagai acuan dalam membangun sebuah desain pendidikan multikultural yang cocok untuk
.
.
Indonesia. 6
.
Model
kurikulum
kurikulum
yang
pendidikan resmi
serta
147
multikultural
mencakup
the hidden curriculum
Gagasan dan Desain Pendidikan Multikultural di Indonesia (Wasitohadi)
(kurikulum tak tertulis dan terencana tetapi proses internalisasi nilai, pengetahuan dan ketrampilan justru terjadi dikalangan peserta didik). Pengetahuan multikultural dimulai dari pengenalan, penghormatan,
dan penghargaan terhadap diri-sendiri (termasuk institusi yang membentuk seperti keluarga, lingkungan terdekat), kemudian diperluas dan dikembangkan menjadi pengenalan dan penghargaan terhadap orang lain. DAFTAR PUSTAKA
Anita
Lie. Mengembangkan Mode! Pendidikan Multikultural, Kompas, 1 September 2006, h.6
Bambang Suteng. 92002). Mengkaji Ulang Dasar Negara Pancasila. Salatiga: UKSW
Choirul Mahfud. (2006). Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Dony Kleden. (2008). A was Politik Anarki. Kompas, Selasa, 16 Desember,h. 6.
Eka Darmaputera. (1987). Pancasila Identitas dan Modernitas. Jakarta: BPK.
Gloria
Boutte.
(1998).
Multicultural
education.
Raising
Consciousness. United Status of America. HAR .
.
.
Tilaar. (2005). Manifesto Pendidikan Nasional Jakarta: Kompas.
HAR
.
HAR
.
.
.
.
.
Tilaar. (2004). Multikulturalisme. Jakarta: Grasindo.
Tilaar. (2003). Kekuasaan dan Pendidikan. Magelang: Indonesiatera.
James Lynch. (1986). Multicultural Education.Londorw Routledge & Kegan Paul. 148
Scholaria, Vol. 2, No. 1 Januari 2012: 116-149 ,
_
Jana Noel. (2000). Notable Selections Multicultural Education. United States of America.
Kamanto Sunarto. (2004). Multicultural Education in Indonesia and Southeast Asia\ Stepping into the Unfamiliar. Depok: Jurnal Antropologi Indonesia. M
.
Ainul Yaqin. (2005). Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Nuansa Akasara.
Mochtar Buchori. Pendidikan Multikultural. Kompas Jumat, 12 Januari 2007, h.6 ,
Masdar Hilmy. Pendidikan Berbasis Multikulturalisme. Kompas 14 ,
Januari 2002, h.4
Riant
Nugroho. 92008). Pustaka Pelajar.
Pendidikan
Indonesia.Yogyakarta:
Ricardo L Garcia. Teaching in A Pluralistic Society. London: Harper & Row.
Sutarno. (2007). Pendidikan Multikultural. Jakarta: Depdiknas. Zamroni. (2007). Pendidikan dan Demokrasi dalam Transisi. Jakarta: PSAP Muhammadiyah.
Zamroni. (2007). Pendidikan Untuk Demokrasi. Yogyakarta: Bigraf Publishing.
149