Biomarker aberasi kromosom akibat paparan radiasi pengion (Ora. Yanti Lusiyanti)
BIOMARKER ABERASI KROMOSOM AKIBA T PAPARAN RADIASI PENGION Yanti Lusiyanti Pusat Teknologi Keselamatan dan Metrologi Radasi, SATAN, Jakarta e-mail:
[email protected]
ABSTRAK BIOMARKER ABERASI KROMOSOM AKIBAT PAPARAN RADIASI PENGION. Ketika tubuh terpapar radiasi pengion, sebagian besar sel akan mengalami kerusakan sitogenetik yang dapat teramati sebagai perubahan struktur kromosom pada sel limfosit darah tepi. Perubahan struktur kromosom tersebut dinamakan aberasi kromosom, yang dikategorikan sebagai biomarker yang spesifik yang diinduksi oleh radiasi pengion yang dapat memberikan informasi tentang tingkat kerusakan pada tubuh. Aberasi kromosom yang teramati dalam sellimfosit dapat berupa aberasi yang tidak stabil seperti kromosom disentrik dan cincin, dan aberasi yang stabil seperti translokasi. Pemeriksaan terhadap kromosom disentrik dan translokasi merupakan indikator yang sangat penting untuk memprediksi dan mengkaji efek segera maupun tertunda akibat radiasi. Kromosom disentrik telah dimanfaatkan untuk estimasi dosis radiasi yang diterima pad a kasus kecelakaan radiologik terutama apabila dosimeter fisik tidak tersedia. Kromosom translokasi merupakan biomarker sitogenetik untuk biodosimeter retrospektif. Frekuensi aberasi kromosom yang terinduksi akibat paparan radiasi alam atau latar adalah 1-3 disentrik dan 3-5 translokasi dalam 1000 sel. Karya tulis ini melaporkan mengenai penguasaan, pengembangan, dan aplikasi teknik pemeriksaan aberasi kromosom pada sel limfosit yang dilakukan di laboratorium Sitogenetik - PTKMR. Metode Giemsa staining untuk deteksi aberasi kromosom disentrik telah dikuasai dan ditetapkan sebagai metode standar, serta telah dimanfaatkan untuk pemeriksaan aberasi kromosom disentrik pada pekerja radiasi di lingkungan BATAN dan di industri pengguna teknik nuklir. Selain itu telah dilakukan penguasaan teknik pengecatan kromosom Fluorescence In Situ Hybridization (FISH) sebagai metode untuk mendeteksi kromosom translokasi menggunakan variasi whole chromosom probe. Metode pewarnaan kromosom telah dilakukan terhadap kromosom no. 1, 2, 4, 5, 6, 8 dan 10 yang dilabel dengan FITC, Texas Red atau pan centromic probe dan diamati dengan mikroskop fluorescence. Oari hasil pemeriksaan aberasi kromosom tak stabil yang dilakukan di BATAN (88 pekerja) dan di industri (95 pekerja), frekuensi aberasi kromosom tak stabil pada sellimfosit masih dalam kisaran normal, sedangkan kromosom translokasi tidak ditemukan pad a pekerja radiasi yang diperiksa. Hasil visualisasi kromosom menunjukkan bahwa FISH dapat dimanfaatkan dan harus dikembangkan dengan menggunakan jumlah dan warna whole chromosom probe yang berbeda untuk mendapatkan gambar yang lebih baik. Oalam rangka pengembangan laboratorium sitogenetik PTKMR menjadi laboratorium biodosimeter sitogenetik yang mampu mengkaji dosis radiasi, perlu dibuat kurva respon dosis sebagai kurva standar aberasi kromosom pekerja radiasi di Indonesia. Salah satu program penelitian dan pengembangan di PTKMR tahun 2010-2014 adalah Pengembangan Teknik Analisis Sitogenetik sebagai Biodosimetri Radiasi untuk memperoleh kurva standar aberasi kromosom yang diinduksi oleh radiasi foton. Kata kunci: aberasi kromosom, sellimfosit,
disentrik, FISH, dan translokasi,
biodosimeter.
ABSTRACT CHROMOSOME
ABERRATION
BIOMARKER
INDUCED BY IONIZING RADIATION.
When a
body is exposed to ionizing radiation, most of the cells can suffer cytogenetic damages that can be seen as structural alterations of chromosome in pheripheral blood lymphocytes. Those changes of chromosome structure called chromosome aberrations categorized as biomarker specifically induced by ionizing radiation which can be used to obtain information concerning the level of damages in the body. Chromosome aberrations that can be detected in lymphocyte cells could be unstable aberrations such as dicentric or ring chromosomes, and stable aberrations such as translocations. Measurement of dicentric and translocation chromosomes becomes a very important indicator to predict and assess immediate and late radiation effects, respectively. Oicentric chromosomes have been applied to the estimation of radiation dose received radiological accidents especially in the absence of physical dosimeters. Translocation is a cytogenetic biomarker for long-term retrospective biodosimetry. Frequency of chromosome aberrations induced by natural radiation exposure is about 1-5 dicentric and 3-5 translocation in 1000 cell. This paper reports about the mastery, development, and application of chromosome aberration detection techniques in pheripheral blood lymphocytes that have been
15
Iptek Nuklir: Bunga Rampai Presentasi IImiah Jabatan Peneliti
ISSN 2087-8079
terluarnya. Keadaan ini menyebabkan radikal bebas menjadi tidak stabil, sangat reaktif dan toksik terhadap molekul organik vital tubuh. Radikal bebas yang terbentuk dapat saling bereaksi, salah satunya menghasilkan suatu molekul hidrogen peroksida yang stabil dan berfungsi sebagai oksidator[1]. Kerusakan pad a DNA sebagai akibat radiasi dapat menyebabkan terjadinya perubahan struktur molekul gula atau basa, putusnya ikatan hidrogen antar basa, dan hilangnya gula atau basa. Kerusakan yang lebih parah adalah putusnya salah satu rantai DNA yang disebut single strand break dan putusnya kedua rantai DNA yang disebut double strand breaks. Jenis kerusakan pad a struktur DNA yang diinduksi oleh radiasi ditunjukkan pada Gambar 1[3].
Pembentukan
Radikal
Inter Strand Cross-Links
Intra Strand Cross-Links
Gambar 1. Kerusakan pada struktur DNA akibat pajanan radiasi pengion[13J. Secara alamiah sel mempunyai kemampuan untuk melakukan proses perbaikan terhadap kerusakan pad a DNA dengan menggunakan beberapa jenis enzim yang spesifik. Proses perbaikan dapat berlangsung tanpa kesalahan sehingga struktur DNA kembali seperti semula. Tetapi dalam kondisi tertentu, proses perbaikan tidak berjalan sebagaimana mestinya, sehingga walaupun kerusakan dapat diperbaiki tetapi tidak secara tepat atau sempurna sehingga menghasilkan DNA dengan struktur yang berbeda yang dikenal sebagai mutasi[1,2].
2.2.
Interaksi Radiasi dengan Kromosom
Struktur kromosom terdiri dari dua lengan yang dihubungkan satu sama lain dengan suatu penyempitan yang disebut sentromer. Kerusakan yang diinduksi oleh radiasi dapat berupa perubahan struktur pada kromosom atau aberasi kromosom yang bersifat tak stabil dan stabil. Aberasi kromosom yang bersifat tak stabil contohnya disentrik (kromosom dengan dua sentromer), cincin (kromosom bentuk cincin) dan fragmen asentris (kromosom tanpa sentromer). Kromosom ini bersifat tak stabil karena sel yang mengandung kromosom ini akan mati pada saat pembelahan sel sehingga tidak diturunkan pada sel anak. Kromosom yang bersifat stabil contohnya translokasi yaitu kromosom yang mengalami perpindahan bagian kromosom antar dua kromosom atau antar kromosom yang sama. Aberasi kromosom yang diinduksi oleh radiasi ditunjukkan pada Gambar 2[1,13]
18
Biomarker aberasi kromosom akibat paparan radiasi pengion (Ora. Yanti Lusiyanti)
Olcentrtc chromosome
Ring Chromosome
" aIt / §~ aa In r., inversi . .
na liS Ii
.
IIA
..
1\
I II
l\ 6d
i
A
7>11
(b) fS'& IX ¥il n
Inv~rsio"
Translocatiun
" A'
".,II U.
i If .U ~i 13
"..II6/1 / .... .. .. "~~ .. II IA ill) XI §TranslokBsi OK
/ U
~I
111\ 61\ U
11
• I( III "
21
(a) Gambar 2. Aberasi kromosom pada sel darah limfosit manusia{13J. Aberasi kromosom yang diinduksi oleh radiasi pengion adalah kerusakan komosom yang berupa patahan dan atau pertukaran kromosom yang terjadi ketika sel berada pada tahap G1 pada siklus sel sebelum direplikasi pada tahap mitosis[2]. Beberapa jenis aberasi kromosom yang paling relevan dengan dosimeter biologi yaitu kromosom translokasi dan disentrik yang masing-masing dianggap sebagai kromosom simetris dan asimetris[14J. Mekanisme pembentukkan kromosom translokasi (resiprokal dan non resiprokal) dan disentrik ditunjukkan pad a Gambar 3.
Reciprocal
a
c>~l/~~ -= ;M ,~-
~iI" ~
c::=:>
fragment
Repair
0
D~N~A rePlica~tlon~ Dlcentric plus
Gambar 3. Skematis pembentukan translokasi dan disentrik. (a) kromosom translokasi resiprokal dan disentrik, (b) translokasi non resiprokaP4J. Kromosom disentrik merupakan aberasi kromosom yang spesifik akibat paparan radiasi. Pembentukan terjadinya aberasi kromosom disentrik diperlukan dua patahan yang dihasilkan oleh jejak ionisasi tunggal atau interaksi dua jejak ionisasi yang terpisah. Aberasi ini dapat segera diamati dan dihitung dalam preparat limfosit perifer manusia yang dipapari secara in vitro maupun in vivd1,15J• Kromosom translokasi terbentuk karena adanya penggabungan patahan dari dua lengan kromosom yang terinduksi oleh radiasi. Patahan yang satu berpindah posisi pada kromosom yang lain sehingga terbentuk kromosom yang baru yang berbeda dengan aslinya. Kromosom translokasi dapat terjadi baik di dalam kromosom yang sama (intra-chromosome) seperti kromosom inversi parasentrik, maupun antar dua kromosom (inter-chromosome) seperti kromosom translokasi resiprokal. Kromosom translokasi berperan dalam perkembangan kelainan atau penyakit genetik dan dalam proses karsinogenesis termasuk proses aktivasi onkogen yang menyebabkan sel normal berkembang menjadi sel malignan.
19
Iptek Nuklir: Bunga Rampai Presentasi IImiah Jabatan Peneliti
ISSN 2087-8079
Dengan demikian pemeriksaan kromosom translokasi berguna untuk mendeteksi kerusakan sitogenetik akibat radiasi dalam memprediksi dan mengkaji efek tertunda sebagai indikator terjadinya akumulasi kerusakan untuk pendugaan risiko timbulnya kerusakan yang mengarah pada pembentukan kanker akibat radiasi[16,17J• Aberasi kromosom dapat diamati dalam sel darah limfosit. Sel ini tersebar dan bersirkulasi pada seluruh tubuh sehingga kerusakan yang terjadi dalam darah perifer akan mewakili kerusakan yang terjadi di dalam tubuh. Jumlah total limfosit dalam tubuh orang dewasa sehat sekitar ± 500 x 109 sel, dan sekitar 2% terdapat dalam darah perifer. Umur limfosit dalam darah bervariasi, dan 90% dari sel limfosit dalam darah perifer berumur panjang dengan waktu paruh sekitar 3 tahun. Limfosit yang bersirkulasi dalam perifer adalah limfosit yang berada pada tingkat pre-sintesa DNA dari siklus sel (GO). Sel ini dapat distimulasi secara in-vitro untuk melakukan pembelahan mitotik dengan bantuan protein mitogen Phytohemaglutinin (PHA) dan dihentikan pada tahap metafase dalam siklus sel[18,19]. Pada tahun 1986 International Atomic Energy Agency telah menerbitkan buku Chromosomal Aberration Analysis for Dose Assessment dan telah menetapkan metode baku untuk mendeteksi aberasi kromosom. Terhadap negara-negara yang memanfaatkan teknologi nuklir, IAEA menghimbau untuk memiliki fasilitas laboratorium sitogenetik dan menerapkan metode ini sebagai dosimeter biologi pada kasus kedaruratan radiologik. Metode deteksi untuk pemeriksaan aberasi kromosom tersebut, meliputi proses pembiakan, pemanenan, preparasi preparat, dan pengamatan[20J• Kromosom disentrik dapat diamati pada sel tahap metafase yang telah diwarnai dengan larutan Giemsa (Giemsa Staining) dengan menggunakan mikroskop cahaya dengan perbesaran 1000x, sedangkan visualisasi aberasi kromosom translokasi dilakukan dengan melakukan pewarnaan kromosom dengan teknik Fluorescence in situ hybridization (FISH).Tehnik FISH ini didasarkan pada hibridisasi pada molekul DNA pendek yang probenya dilengkapi dengan complementary sequence pad a genom. Probe selanjutnya dilabel dengan fluorescent dye yang akan menunjukkan warna pendar pada fragmen kromosom yang mengalami translokasi. Penggunakan probe dengan urutan genom yang spesifik memungkinkan untuk memperoleh informasi sejumlah gambaran dan lokasi patahan kromosom. Dengan proses hibridisasi yang simultan dengan probe yang dilabel dan penggunaan f1urescent dye yang berbeda dapat mendeteksi beberapa translokasi yang berbeda pada genom secara bersamaan[3J• Mekanisme proses hibridisasi wcp probe kromosom dengan kromosom target ditunjukkan pada Gambar 4.
Gambar 4. Skematik proses denaturisasi dan hibridisasi probe kromosom dengan kromosom target
2.3.
Aberasi Kromosom sebagai Dosimeter Biologi
Prinsip dosimeter biologi adalah memperkirakan dosis serap radiasi berdasarkan perubahan yang terjadi akibat radiasi pad a tubuh manusia. Dosimeter biologi terutama diaplikasikan dalam kasus kecelakaan radiasi yang tidak disertai dengan dosimetri fisiko
20
Biomarker aberasi kromosom akibat paparan radiasi pengion (Ora. Yanti Lusiyanti)
Kadangkala metode dosimetri fisik masih harus dilengkapi atau didukung oleh uji biologik. Sebagai contoh terjadinya papa ran sebagian tubuh (parsial) dengan dosimetri fisik di luar area radiasi. Cek silang dosis yang diukur secara fisik memang diperlukan pad a kondisi tertentu. Akan tetapi, jika dosis ditentukan secara biologi, variabilitas biologik akan mempengaruhinya karena setiap individu yang radiosensitif akan memiliki efek yang lebih besar pad a materi biologinya dari pad a yang tidak radiosensitif. Metode fisik sama sekali tidak sesuai untuk maksud ini. Dosimetri fisik pada umumnya dilakukan dengan menggunakan peralatan yang sensitif terhadap efek fisik dari radiasi pengion. Akan tetapi dalam banyak kasus yang melibatkan paparan radiasi akibat kecelakaan secara nyata atau terduga, seseorang tersebut tidak menggunakan dosimeter, dan karena itu dosimetri fisik tidak dapat mewakili. Dalam situasi demikian maka studi efek biologik khususnya aberasi kromosom yang diinduksi oleh radiasi pengion telah diusulkan baik sebagai pelengkap maupun metode alternatif untuk penentuan dosis[4J. Aberasi kromosom dapat diinduksi oleh semua jenis radiasi. Frekuensi terjadinya aberasi kromosom, khususnya disentrik, bergantung pada linear energy transfer (LET), laju dosis dan dosis. Dengan diketahui frekuensi disentrik sebagai fungsi dosis suatu jenis radiasi, dapat dibuat kurva standar untuk jenis radiasi tersebut. Jadi setiap jenis radiasi dengan laju dosis tertentu mempunyai kurva standar yang spesifik yang menggambarkan daya rusak jenis radiasi tersebut terhadap sistem biologik, dalam hal ini adalah sel Iimfosit[1.3.21J. Umumnya kurva dosis respon diasumsikan sesuai dengan persamaan linier kuadratik Y = a + aO + 1302, dimana Y adalah jumlah disentrik, a adalah disentrik akibat radiasi latar, a adalah koefisien korelasi linier untuk aberasi yang yang diinduksi oleh radiasi jejak tunggal (single track) dan 13 sebagai koefisien kuadrat dosis untuk aberasi yang produksi oleh radiasi jejak ganda[ J. Bentuk dari kurva dosis respon salah satunya dipengaruhi oleh kualitas radiasi yang diindikasikan oleh nilai LET. Dengan meningkatnya LET, probabi litas dua kerusakan dalam target akan diinduksi oleh dua kejadian ionisasi sepanjang jejak yang sama. Kurva dosis respon akan linier pad a LET di atas sekitar 20 keV/lJm. Dengan demikian, kurva dosis respon untuk LET rendah tidak akan linier dan cocok atau sesuai dengan model Linear Quadratik (LQ)[1.3J. Untuk pembuatan kurva kalibrasi aberasi kromosom terhadap dosis dilakukan dengan mengiradiasi limfosit dan dibiakkan secara in vitro. Pad a umumnya untuk radiasi dengan Linear Energy Transfer (LET) rendah menggunakan hubungan respon dosis model La. Sedangkan untuk radiasi LET tinggi, hubungan respon dosis untuk disentrik akan linear. Radiasi LET tinggi akan lebih efisien mengakibatkan disentrik disbanding dengan LET rendah, contohnya sinar a lebih efisien dari pad a sinar y. Menurut penelitian pada dosis di atas 8 Gy atau setara dengan hasil 5 disentriklsel kejenuhan dari kurva akan muncul[1.6J•
BAB III METODOLOGI
Metode yang digunakan untuk deteksi aberasi kromosom tak stabil disentrik dengan Giemsa Staining adalah metode IAEA tahun 1986[20], sedangkan metode aberasi kromosom stabil dengan tehnik FISH adalah metode IAEA tahun 2001 J. Kedua metode tersebut telah dimodifikasi sesuai dengan kondisi laboratorium di PTKMR, menjadi metode standar yang diterapkan di laboratorium Sitogenetik-PTKMR. Tahapan dalam metode tersebut meliputi pengambilan sampel darah, pembiakan, pemanenan, preparasi sampel, dan pengamatan. Metode Giemsa staining telah dimanfaatkan pertama kali untuk pemeriksaan aberasi kromosom tak stabil pad a pekerja radiasi pad a tahun 1995[22]. Sedangkan teknik FISH telah dikembangkan untuk meningkatkan kualitas teknik terhadap pewarnaan kromosom single probe yang dilabel den~an f1uorochrom kromosom no. 1, 4, 5 dan 823Jdan untuk dual no. 1 dan 2, 1 dan 5, 2 dan 5, 1 dan 8, kromosom triple probe yang dilabel dengan terhadap komposisi probe kromosom no 1,2 10[25].
Fluorescent isothiocyanate [FITC] terhadap probe terhadap pasangan kromosom komposisi 2 dan10 serta 4 dan 8[24J.Untuk pengecatan f1uorochrom FITC dan Texas Red dilakukan dan 5; 1,5 dan 10; 2,5 dan 10; serta 5, 6 dan
21
ISSN 2087-8079
Iptek Nuklir: Bunga Rampai Presentasi IImiah Jabatan Peneliti
3.1.
Pengambilan sam pel darah
Sam pel darah diperoleh dari pekerja radiasi dengan rentang usia antara 29-59 tahun. Setiap pekerja diminta mengisi formulir biodata yang meliputi riwayat penyakit dan pekerjaan yang berkaitan dengan radiasi, dan menandatangani informed consent (kesediaan memberikan sam pel darah). Sekitar 5 mL darah tepi diambil menggunakan syringe dan segera ditambah 0,03 mL heparin sebagai anti koagulan. Sampel darah tersebut kemudian dibiakkan secara triplo. Terhadap 5 mL sam pel darah yang telah diambil, selanjutnya dilakukan proses dimulai dari pembiakan, pemanenan, preparasi preparat, sampai pengamatan. 3.2.
Pembiakan
sel darah
limfosit
Ke dalam tabung kultur, dimasukkan secara berurutan media pertumbuhan 7,5 mL RPMI-1640; 0,1 mL L-Glutamin; 1 mL Fetal Bovine Serum; 0,2 mL Penicillin-Streptomycin; 1 mL sam pel darah dan 0,25 mL Phytohaemaglutinin (PHA). Tabung kemudian ditutup dan disimpan dalam inkubator 37°C selama 48 jam. Pada 3 jam sebelum pemanenan, ke dalam biakan ditambahkan 0,1 mL colchisin untuk menghentikan proses pembelahan sehingga diperoleh sel pada tahap metafase. 3.3.
Pemanenan
sel limfosit
Sam pel darah yang telah dibiakkan, disentrifus dengan kecepatan 1500 rpm selama 10 menit. Pad a endapan darah yang diperoleh, ditambahkan 10 mL KCI 0,56%, diaduk dengan pipet Pasteur dan disimpan pada waterbath 37°C selama 20 menit. Larutan selanjutnya disentrifus kembali dengan kecepatan yang sama. Pada endapan ditambahkan 4 mL larutan carnoy (metanol : asam asetat = 3 : 1), divortex, ditambahkan lagi larutan carnoy sampai volume total mencapai 10 mL, dan disentrifus. Tahap terakhir ini dilakukan beberapa kali sampai diperoleh endapan sellimfosit yang berwarna putih. 3.4.
Preparasi
preparat
untuk deteksi aberasi kromosom
tak stabil
Endapan sel limfosit diteteskan di atas gelas objek pad a tiga tempat yang berbeda. Setelah kering, pada preparat diberi pewarnaan Giemsa 4% selama 5 menit. Setelah dicuci dan dikeringkan, preparat ditutup dengan cover glass dan siap untuk dilakukan pengamatan dengan mikroskop cahaya. 3.5.
Preparasi
preparat
untuk deteksi aberasi kromosom
stabil
Endapan kromosom diteteskan di atas kaca preparat sebanyak 2 tetes dan dikeringkan di atas hot plate 65°C selama 1% jam. Kemudian dilakukan dehidrasi terhadap preparat, menggunakan serial larutan etanol 70, 90 dan 100% selama waktu tertentu. Selanjutnya slide dikeringkan di atas hot plate 65°C selama 1% jam. Pada waktu yang bersamaan whole chromosome probe sebanyak 1 IJL dalam buffernya di vortex, di sen trifuse, dan didenaturasi pada suhu 65°C dan kemudian disimpan dalam waterbath suhu 37°C selama 45 menit. Kemudian preparat didenaturasi dengan menginkubasinya dalam larutan formamida dalam water-bath 65°C selama 1% menit dan dicuci berturut-turut dengan serial larutan alkohol 70% dingin, 90% dua kali dan 100% masing-masing selama 5 men it. Proses hibridisasi untuk pewarnaan dengan fluorochrom FITC diawali dengan meneteskan probe pad a preparat yang telah didenaturasi kemudian ditutup dengan coverslip serta bagian pinggir diolesi lem kuning untuk mencegah udara masuk (penguapan). Kemudian preparat diletakkan dalam lunch box berwarna gelap dan diinkubasi pad a suhu 37°C selama 16 jam. Setelah proses hibridisasi, coverslip dibuka dan preparat direndam dalam waterbath 45°C selama 30 menit. Proses hibridisai untuk pewarnaan menggunakan campuran fluorochrome FITC dan Texas Red, dilanjutkan dengan proses pencucian pasca hibridisasi dengan proses inkubasi dengan larutan RNAase, kemudian pencucian dilakukan kembali dengan melakukan inkubasi preparat dengan reagen campuran biotinylated Anti Avidin pada larutan pencuci detergen. Preparat selanjutnya direndam berturut-turut dalam kopling jar yang masing-masing berisi stringency wash solution dua kali, larutan 1xSSC dua kali, dan akhirnya larutan detergen selama 4 menit. Setelah dikeringkan, preparat ditetesi dengan DAPI.
22
Biomarker aberasi kromosom akibat paparan radiasi pengion (Ora. Yanti Lusiyanti)
3.6.
Pengamatan
Pengamatan terhadap aberasi kromosom tak stabil diawali dengan penghitungan terhadap jumlah kromosom pada setiap sel metafase. Bila sebaran metafase kromosom berjumlah 46 buah, dilanjutkan dengan penghitungan dan peneatatan terhadap jumlah kromosom disentrik, cincin dan/atau fragmen atau potongan kromosom terhadap 200-1000 sel metafase. Pengamatan dilakukan dengan menggunakan mikroskop eahaya pada perbesaran 1000 kali. Pengamatan terhadap aberasi kromosom stabil dilakukan pada sel metafase dengan mikroskop epifluorescent yang dilengkapi dengan filter tunggal biru, untuk pengamatan pada probe kromosom yang dilabel dengan fluorochrome FITC. Kemudian segera dilakukan pemotretan terhadap kromosom yang memilki pendaran probe kromosom. Sedangkan pengamatan untuk probe kromosom yang dilabel fluorochrom FITC dan Texas Red. Pengamatan dilakukan dengan menggunakan mikroskop epifluorescent yang telah dilengkapi filter triple band pass, yaitu filter yang mampu memvisualisasikan pendaran probe dengan fluoroehrom FITC, Texas Red dan DAPI seeara bersamaaan. Selain itu mikroskop telah dilengkapi komputer yang telah dilengkapi dengan Applied Imaging System menggunakan program software Cytovision Dengan program tersebut pemotretan dapat dilakukan dengan lebih baik, dan data pemotretan kromosom dapat disimpan, dianalisis dan dibuat pemetaan kromosom (kariotyping).
3.7.
Iradiasi sam pel darah untuk studi awal respon dosis
Sebagai studi awal untuk mempelajari hubungan respon dosis terhadap frekuensi aberasi kromosom, dilakukan irradiasi seeara in vitro terhadap sam pel darah masing-masing sebanyak 5 ml dalam tabung sentrifus dengan variasi dosis 0,5; 0,75; 1,5; 2; dan 3 Gy. Untuk setiap dosis, iradiasi dilakukan dengan 3 kali ulangan. Irradiasi dilakukan dengan menggunakan pesawat Linae di Bagian Radioterapi RSCM. Sebelum pesawat digunakan untuk menyinari sampel darah, terlebih dahulu dilakukan pengukuran keluaran berkas radiasi sinar-X 6 MV dengan menggunakan Dosimeter Farmer tipe 2570A/531 yang terangkai dengan detektor kamar ionisasi bervolume 0,6 ee. Pengukuran keluaran dilakukan dalam fantom air pada jarak sumber ke permukaan fantom 100 em, luas lapangan radiasi 10 x 10 em pad a kedalaman 5 em air, berdasarkan protokol untuk pengukuran dosis serap maksimum, berkas sinar-X 6 MV yan~ dihitung berdasarkan persamaan yang terdapat dalam Technical Reports Series No. 277[26. Selanjutnya dilakukan proses pembiakan, pemanenan dan preparasi sam pel dan pengamatan aberasi kromosom tak stabil dilakukan dengan prosedur yang sama seperti prosedur in vivo di atas.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.
Deteksi aberasi kromosom tak stabil
Sampling terhadap sam pel darah pekerja radiasi telah dilakukan untuk mendeteksi aberasi kromosom disentrik sebagai biomarker spesifik akibat radiasi untuk mengevaluasi kondisi tingkat kerusakan kromosom pad a sel darah yang diinduksi oleh papa ran radiasi. Pad a tahun 1995 dilakukan studi awal pemeriksaan aberasi kromosom tak stabil dengan Giemsa staining dengan metode standar Lab Sitogenetik PTKMR pada beberapa pekerja radiasi di BATAN[22]. Selanjutnya penelitian telah dilakukan juga pada pekerja di BATAN, untuk pusat PTBIN, P2RR, PTLR, PATIR, PTAPB, dan PTNBR, sebagai kegiatan litbang maupun pada pekerja yang diduga telah menerima dosis berlebih dalam kasus kedaruratan. Pemeriksaan aberasi kromosom yang dilakukan terhadap pekerja radiasi di industri pengguna teknologi nuklir khusus pad a bidang Logging dan NOT ditampilkan pad a Gambar 5, sedangkan hasil pemeriksaan terhadap frekuensi aberasi kromosom tak stabil ditampilkan pada Gambar 6.
23
ISSN 2087-8079
Iptek Nuklir: Bunga Rampai Presentasi IImiah Jabatan Peneliti
...-I 0'\
Co. ~ ~
TAHUN
N ...-I m 0 00 r-l.D Lf') 0'\ < :t 10 30 15 20 25 ....• w 45 35 5 w :I: Lf') 0 40 ::::>
• BATAN
.Industri
Gambar 5. Jumlah pekerja yang telah melakukan pemeriksaan aberasi kromosom tak stabil
N 0 00 0'\ r-<:t 10 5 20 0
I
w Vi ...-INNNNN N Lf')mLf')r--ooO'\ 0'\00000 Vi 15 25 20 5 25 0 ---;;;-
LL. w ~ ex: Disentrik •• Ring Fragmen
0 0~30 ~ z(b) TAHUN
wII)
tXI ex: ::::>
Gambar 6. Frekuensi kromosom tak stabil pada pekerja radiasi. (a) BA TAN dan (b) Industri. Pengamatan aberasi kromosom disentrik dilakukan terhadap sel yang berada pad a tingkat metafase dan diwarnai dengan pewarna giemsa. Visualisasi sebaran kromosom beserta bentuk aberasinya diamati dengan mikroskop cahaya pada perbesaran 1000x ditampilkan pad a (Gambar 7). Namun dari hasil pemeriksaan tersebut menunjukkan bahwa frekuensi aberasi kromosom disentrik masih berada dalam batas normal yaitu 1-2 disentrik/1000 sel[27]. Menurut IAEA frekuensi terbentuknya disentrik yang diinduksi oleh radiasi adalah 1-3 disentrik/ 1000 sel metafase[3].
24
Biomarker aberasi kromosom akibat papa ran radiasi pengion (Ora. Yanti Lusiyanti)
(a)
(b)
Gambar 7. Sebaran kromosom pada tingkat metafase dengan pewarna Giemsa. (a) Kromosom ring dan (b) kromosom disentrik dan fragmen (tanda panah)'23J. Kromosom disentrik tidak ditemukan pada semua pekerja radiasi. Hal ini kemungkinan karena papa ran yang diterima tidak cukup besar untuk menginduksi terbentuknya aberasi kromosom. Kemungkinan lain bahwa memang telah terinduksi aberasi kromosom stabil tetapi sel limfosit yang membawa kromosom tersebut telah mengalami kematian dan diganti dengan sel limfosit baru. Identifikasi disentrik didukung oleh adanya fragmen asentrik sebagai akibat adanya patahan pad a lengan kromosom. Fragmen asentrik berasal dari delesi terminal (patahan ujung lengan kromosom) atau delesi interstitial (hilangnya sebagian kecil bagian tengah kromosom). Fragmen tidak dapat digunakan sebagai dosimeter biologi karena fragmen dapat muncul sebagai kejadian alamiah dalam tubuh dan diperkirakan terdapat 1 dalam 250 sel dan jumlahnya akan meningkat pad a sel yang terpapari oleh bahan kimia yang bersifat mutagen[8] Menurut Hall kromosom disentrik akan muncul dengan indeks kerusakan akibat radiasi yang tetap sekitar 60% dari seluruh aberasi kromosom yang diamati pada paparan radiasi akut[1].
4.2.
Deteksi Aberasi kromosom dengan teknik FISH
Terhadap individu yang terpapar radiasi secara kronik dalam waktu yang lama dapat dilakukan pemeriksaan aberasi kromosom yang bersifat stabil yaitu translokasi. Kromosom ini tidak hilang dengan berjalannya waktu karena sel yang mengandung kromosom bentuk ini tidak mengalami kerusakan ketika melakukan pembelahan sel. Dengan demikian keberadaan kromosom translokasi dapat digunakan sebagai indikator kerusakan genetik pada sel darah individu yang terpapar radiasi setelah waktu yang lama (retrospektif) atau sebagai indikator terjadinya akumulasi kerusakan untuk pendugaan risiko timbulnya kerusakan yang mengarah pada pembentukan kanker akibat radiasi. Translokasi berperan dalam proses perkembangan kelainan atau penyakit genetik dan dalam karsinogenesis termasuk proses aktivasi onkogen yang menyebabkan sel normal berkembang menjadi sel malignan. Translokasi berperan dalam proses perkembangan kelainan atau penyakit genetik dan dalam karsinogenesis termasuk proses aktivasi onkogen yang menyebabkan sel normal berkembang menjadi sel malignan[? . Pengembangan teknik deteksi kromosom stabil menggunakan teknik Pengecatan FISH telah dikembangkan di PTKMR-BATAN sejak tahun 2005, dengan melakukan studi penguasaan metode teknik FISH untuk pewarnaan kromosom single probe yang dilabel fluorochrome (FITC), untuk pengamatan terhadap translokasi pada sel limfosit pekerja, yang masing-masing dihibridisasi menggunakan probe kromosom no 1, 4, 5 dan 8 yang berlabel. Sel metafase yang terdeteksi adalah sel dengan kromosom yang menunjukkan sinyal warna berpendar. Kromosom dengan dua warna berpendar dan satu sentromer diklasifikasikan sebagai translokasi (Gambar 8)[23].
25
ISSN 2087-8079
Iptek Nuklir: Bunga Rampai Presentasi IImiah Jabatan Peneliti
(a)
(b)
Gambar B. Pewarnaan kromosom dengan teknik FISH single probe. (a) kromosom no.1 (b) kromosom no.5 dengan indikasi transloaksl23J• Oari hasil pewarnaan tersebut indikasi translokasi hanya dijumpai pada kromosom no 5. Hasil pewarnaan dengan single probe belum menunjukkan hasil yang maksimal, karena kemungkinan kromosom translokasi lainnya dapat terjadi pad a kromosom yang tidak dilabel. Oi sam ping itu pemotretan hanya dilakukan secara manual dengan mikroskop Epi fluorescent. Pengembang kualitas teknik FISH selanjutnya dilakukan dengan pewarnaan kromosom dual probe yang berlabel FITC pada 2 nomor target kromosom, masing-masing 1 dan 2, 2 dan 8, 2 dan 10, serta 2 dan 5. Sebagian dari hasil yang diperoleh ditampilkan dalam Gambar 9[24].
(a)
(b)
Gambar 9Pewarnaan kromosom dengan teknik FISH dual probe. (a) kromosom no.2 dan 10, (b) kromosom no.5 dan 10 dengan indikasi transloaksF4J. Aspek
penting dari pengamatan
aberasi kromosom
dengan
teknik
FISH adalah
seleksi kromosom ~ang akan dianalisis. Pemilihan nomor kromosom tersebut mengacu pada pendapat Oarroudi[ 8] yang menyarankan untuk melakukan pewarnaan pada minimal 3 buah kromosom dengan ukuran besar untuk kelompok kromosom nom or 1 hingga 12 karena kromosom tersebut berdasarkan ukurannya, mampu memvisualisasikan sekitar 20% dari genom sehingga mampu mendeteksi adanya translokasi sekitar 33%. Sensitivitas setiap kromosom terhadap radiasi pengion berbeda satu sama lain dan bagian tertentu pada kromosom mungkin lebih sensitif terhadap mekanisme pertukaran kromosom dibandingkan dengan bagian yang lain[29]. Penghitungan frekuensi kromosom translokasi dengan menggunakan tiga probe akan mengakibatkan pengamatan yang berbeda dibanding dengan teknik Multiplex FISH (MFISH). Hal ini didasarkan pada 3 alasan yaitu (1) formula empirik yang digunakan dalam mengekstrapolasi seluruh genom terhadap hasil translokasi yang dapat diamati dengan FISH 3 probe, (2) beberapa kromosom tidak dapat dideteksi dengan baik dengan FISH biasa karena perpindahan materi genetik kromosom yang terjadi sangat kompleks, dan (3) keberadaan klon pada sampel akan mempersulit identifikasi[29.30]. Untuk itu pengembangan terhadap kualitas penguasaan teknik FISH dilanjutkan dengan menggunakan triple probe yang berlabel fluorochrom FlrC dan texas red dilakukan
26
Biomarker aberasi kromosom akibat paparan radiasi pengion (Ora. Yanti Lusiyanti)
untuk mendapatkan hasil yang lebih baik terhadap pengecatan kromosom yang mengalami translokasi. Kombinasi probe yang digunakan adalah kromosom 1, 2, dan 5; kromosom 1, 5, dan 10; kromosom 2, 5, dan 10, kromosom 2, 6, dan 10, dan kromosom 5, 6, dan 10. Sebagian dari hasil yang diperoleh ditampilkan dalam Gambar 10[25J.
(a)
(b)
Gambar 10. Pewarnaan kromosom dengan teknik FISH triple probe. (a) Kromosom 1 dan 10 dengan FITC, dan kromosom 5 dengan Texas Red. (b) Kromosom 2 dengan FITC, dan kromosom 1 dan 5 dengan Texas Red25]. Oari semua rangkaian hasil pengamatan terhadap pewarnaan aberasi kromosom stabil, menunjukkan indikasi kromosom translokasi hanya terdeteksi pada kromosom no. 5 dengan jumlah yang masih jauh di bawah jumlah terbentuknya kromosom translokasi latar. Hal ini kemungkinan disebabkan karena papa ran radiasi yang diterima tidak cukup besar untuk menginduksi terbentuknya aberasi kromosom yang dimaksud atau translokasi terjadi pada kromosom yang tidak dilakukan proses pewarnaan. Oosis ambang radiasi secara akut yang dapat menginduksi aberasi kromosom translokasi adalah sekitar 200mGy. Frekuensi latar akibat radiasi alam untuk aberasi kromosom translokasi adalah 5 translokasil1000 se!. Waktu paro translokasi berkisar 3-11 tahun akibat radiasi lokal pada tubuh dengan dosis tinggi[3J• Pengembangan kualitas teknik FISH, selanjutnya dilakukan terhadap kromosom triple probe yang dikombinasikan dengan pan centromic probe, untuk mendeteksi aberasi kromosom stabil dan tak stabil dalam waktu bersamaan dengan menggunakan mikroskop Fluorescent dengan triple band pass, yang dilengkapi komputer yang telah dilengkapi dengan Applied Imaging system yang menggunakan program software Cytovision. Salah satu pemanfaatan program ini yaitu pemetaan kromosom dapat dibuat dan dianalisis, sehingga adanya aberasi kromosom disentrik dan translokasi daRat terdeteksi dengan jelas. Sebagian dari hasil pengamatan ditampilkan pada (Gambar 11
p ].
(a)
(b)
Gambar 11. Pewarnaan kromosom dengan teknik FISH triple probe dikombinasikan dengan pan centromic probe. (a) kromosom no. 1 dan 3 dengan Texas Red dan kromosom no. 6 dengan FITC. (b) Kromosom no. 1 dan 6 dengan FITC dan kromosom no. 8 dengan Texas Red31].
27
Iptek Nuklir: Bunga Rampai Presentasi IImiah Jabatan Peneliti
ISSN 2087-8079
Hasil penelitian terdahulu (Morton) menunjukkan bahwa sejumlah kromosom tertentu ternyata lebih sensitif terhadap radiasi dibanding dengan kromosom lainnya sehingga lebih sering mengalami kerusakan pertukaran fragmen. Distribusi patahan kromosom ternyata bersifat tidak random pada genom man usia. Berdasarkan ukuran panjang fisik kromosom pad a genom manusia, kromosom nomor 1, 4, 5 dan 8 masing-masing mempunyai panjang sekitar 8,29%, 6,28%, 5,97%, dan 4,75% dari genom[32]. Kromosom 1 dan 4 mempunyai lebih banyak patahan pad a bagian tengah lengan p dan q, sementara patahan relatif merata sepanjang kromosom nomor 2[33J. Dengan teknik FISH telah diketahui bahwa DNA strand break yang disebabkan oleh radiasi pengion tidak bersifat random (terdistribusi dalam genom) dan kebanyakan terjadi pada bagian eukromatin. Namun demikian efisiensi perbaikan (repair) pad a patahan tersebut cukup tinggi dibanding daerah pada heterokromatin. Karena disebabkan karakteristik pada sequence base pair (deret pasangan basa) pada daerah telomeri maka kromosom 8 lebih susceptible (mudah terpengaruh oleh radiasi pengion) dibanding kromosom lain[29]. Sejumlah studi yang lain pada kromosom manusia menunjukkan keretakan kromosom yang berbeda terhadap patahan akibat paparan radiasi in vitro. Hal ini mengindikasikan bahwa terjadinya translokasi pada kromosom tidak berhubungan dengan kandungan DNA[28,29J.Fraksi aberasi kromosom pada kromosom nomor 10 ternyata lebih besar bila dibandingkan dengan kromosom nomor 1 atau 3. Data ini menunjukkan bahwa, bila dibandingkan dengan kromosom 1 dan 3, keterlibatan kromosom 10 dalam pembentukan aberasi kromosom ternyata lebih besar dari yang diperkirakan berdasarkan kandungan DNA nya. Studi lain dengan teknik FISH mengindikasikan keterlibatan berbagai kromosom dalam pembentukan aberasi tidak selalu berhubungan dengan kandungan DNA dari setiap kromosom. Semua ini membuktikan bahwa probabilitas induksi patahan pad a kromosom oleh radiasi tidak terdistribusi secara random dan tidak bergantung pad a kandungan DNA kromosom[34,35]. Dari hasil penelitian Tucker menunjukkan bahwa untuk patahan kromosom lebih banyak terjadi pad a posisi dekat tengah lengan kromosom dibanding dekat telomer dan lebih banyak lagi patahan terjadi dekat centromer. Untuk kromosom no 2 menunjukkan pola yang sama yaitu patahan terjadi dekat telomer, namun untuk sentromer tidak menunjukkan seperti halnya kromosom 1, sedangkan untuk kromosom 4 juga menunjukkan patahan lebih banyak di dekat telomer (36). Pada penelitian Botwell, telah dilaporkan bahwa frekuensi translokasi dan disentrik terjadi pad a kromosom nomor 1, 3 dan 4 pada darah yang diiradiasi sinar-x dengan dosis sampai 2 Gy. Hasil penelitiannya kemudian digunakan dalam menetapkan teknik biodosimetri untuk menentukan hubungan antara variasi masing-masing pekerja radiasi yang berusia 51-82 tahun, frekuensi translokasi yang teramati adalah sebesar 14,33 ± 0,87 x 10.3per genom ekuivalenr37].
4.3.
Studi awal kurva respon dosis kromosom disentrik yang diinduksi sinarX
Dosis serap merupakan besaran fisik paling penting untuk mengevaluasi potensi respon biologik sebagai akibat paparan terhadap radiasi. Penetapan Frekuensi aberasi kromosom dalam sel limfosit perifer manusia merupakan cara yang sangat berguna dalam mengkaji dosis serap dari radiasi seseorang. Sebagai studi awal untuk mengkaji dosis respon aberasi kromosom terhadap dosis, telah dilakukan penelitian mengenai hubungan respon disentrik terhadap dosis yang diiradiasi berkas sinar-X 6 MV pada dosis 0.5-3 Gy. Hasil pengamatan aberasi kromosom disentrik pada sel limfosit perifer yang diinduksi berkas radiasi sinar-X 6 MV ditampilkan pada Tabel1.
28
Biomarker aberasi kromosom akibat paparan radiasi pengion (Ora. Yanti Lusiyanti)
Tabel1.
Data aberasi kromosom disentrik pada sellimfosit X6MV.
yang diiradiasi oleh berkas
sinar-
1500 1500 1298 0 9 2 3 17 0 5 S.D.Poiss 1382 0.0060 0.0013 0.0020 0.0208 0 0.0020 0.0009 0.0011 0.0025 0.0040 Juml d0.010 isentri sel k/sel metafase disentrik
dosis 0
Hasil penelitian menunjukkan bahwa frekuensi aberasi kromosom disentrik yang merupakan indikator specifik untuk radiasi pengion meningkat sesuai dengan bertambahnya dosis. Pada dosis serendah 0,5 Gy frekuensi disentrik/sel metaphase adalah 0,0013, sedangkan untuk dosis 3 Gy sebagai dosis tinggi pada penelitian ini, frekuensinya meningkat menjadi 0,0208. Dari data tersebut dapat dibuat kurva respon dosis untuk pengamatan kromosom disentrik sebagai fungsi dosis radiasi, ditampilkan pada Gambar 12.
'5 Dosis (Gy)
0.02 0.0175
0.025 0.5 3.5 0.015 1.5 2.5 1 2 3 - 0.0125
0
."~ ~
____ - - .-
L_ Q Fitting - disentrik/sel
0.0075 0.01 0.0050 0.0025 0.02251
Gambar 13. Kurva respon dosis antara aberasi kromosom disentrik dengan dosis sinar-X 6 M1/38J. Berdasarkan analisis kurva respon-dosis dengan persamaan model Linier Quadratic 1302. Dimana Y adalah jumlah disentrik, a adalah disentrik akibat radiasi latar, a adalah koefisien korelasi linier untuk aberasi yang yang diinduksi oleh radiasi jejak tunggal (single track) dan 13 koefisien kuadrat dosis untuk aberasi yang produksi oleh radiasi jejak ganda. Diperoleh nilai koefisien linier a = 10,8 x 10-4, 13 =19 X 10-4 dan koefisien korelasi sebesar 0,99 yang menunjukkan adanya korelasi yang positif antara dosis dan frekuesni disentrik[38].
Y = a + aD +
BAB V KESIMPULAN
Terhadap pekerja radiasi yang diperkirakan menerima paparan radiasi berlebih, dapat dilakukan suatu tindakan sebagai konfirmasi terhadap data dosis radiasi yang diperoleh dari dosimeter fisik. Tindakan yang dimaksud antara lain pendeteksian adanya aberasi kromosom dalam sellimfosit yang diketahui sebagai biomarker yang spesifik hanya terinduksi oleh paparan radiasi pengion.
29
Iptek Nuklir: Bunga Rampai Presentasi IImiah Jabatan Peneliti
ISSN 2087-8079
•
penguasaan teknik deteksi aberasi kromosom disentrik sejak tahun 1995 telah dimanfaatkan untuk pemeriksaan aberasi kromosom disentrik terhadap sekitar 88 pekerja radiasi dilingkungan BAT AN , termasuk 6 (enam) kasus pekerja yang diduga menerima dosis radiasi berlebih.
•
Sejak tahun 2002 Laboratorium Sitogenetik PTKMR telah melakukan pemeriksaan aberasi kromosom disentrik terhadap 95 pekerja dari 6 (enam) industri pengguna teknik nuklir, dan frekuansi disentrik yang ditemukan masih dalam kisaran normal. Sedangkan pada tahun 2005-2009 Laboratorium Sitogenetik PTKMR telah berhasil melakukan penguasaan teknik deteksi aberasi kromosom translokasi sampai dengan metode FISH multi probe dilakukan terhadap kromosom no. 1, 2 ,4 ,5 ,6 ,8 dan 10 yang dilabel dengan FITC, Texas Red atau pan centromic probe yang dapat diaplikasikan selain untuk mengetahui potensi risiko pad a kesehatan akibat paparan kronik radiasi (retrospektif), juga untuk estimasi dosis. Dalam rangka mengembangkan kemampuan Laboratorium Sitogenetik sebagai laboratorium biodosimetri sitogenetik yang mampu mengestimasi dosis radiasi melalui analisis aberasi kromosom, maka perlu dibuat kurva respon dosis sebagai kurva standar aberasi kromosom pekerja radiasi di Indonesia. Salah satu kegiatan litbang PTKMR tahun 2010-2014, adalah Pengembangan Teknik Analisis Sitogenetik sebagai Biodosimetri Radiasi dengan target capaian diperolehnya kurva standar aberasi kromosom stabil dan tidak stabil yang terinduksi akibat papa ran radiasi gamma dan sinar-X.
•
•
DAFTAR PUSTAKA
HALL, E. J. and Giaccia,A.J Radiobiology for the Radiobiologist. Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia, 6th Edition, 2006. [2] TUBIANA, M. The report to the French Academy of Science. Problems associated with the effects of low dose of ionizing radiation, J. Radiation Protection, 1998, 18, 243-248. [3] INTERNATIONAL ATOMIC ENERGY AGENCY. Cytogenetic Analysis For Radiation Dose Assessment. A Manual Series No. 405, IAEA-Vienna, 2001. [4] STEPHAN, G. and PRESSL, S. Chromosome Aberrations in Human Lymphocytes Analised by Fluoresence in situ Hybridization after in vitro Irradiation, and in Radiation Workers, 11 Years after an Accidental Radiation Exposure. International Journal of Radiation Biology 71, 293-299, 1997. [5] EDWARDS., AA The use of Chromosomal Aberrations in Human Lymphocytes for Biological Dosimetry. Radiation Research 148: 539-544, 1977. [6] JACOB.P; BAILEFT.I; BAUCHINGERM; HASKEL.E and WIESERA, Restrospectife Assessment Of Exposure to Ionizing Radiation. International Commision on radiation Unit and Measurement. INC. June 2000 M.L., RAMALHO, AT, NATARAJAN, A.T., CURADO, M.P., and [7] CAMPAROTO, SAKAMOTO-HOJO, E.T. Translocation Analysis by the FISH-Painting Methode for Retrospective Dose Construction in Individuals Exposed to Ionizing Radiation 10 Years After Exposure. Mutation Research 530, 1-7,2003. [8] BOUCHINGER, M., SCHMID, E., and BRASELMANN, H. Time-Course of Translocation and Dicentric Frequencies in A Radiation Accident Case. International Journal of Radiation Biology 77(5), 553-557, 2001. V., BRASEL-MANN, H., MILLER, P., [9] SALASSIDIS, K., GEORGIADOU-SCHUMACHER, PETER, RU, and BAUCHINGER, M. Chromosome Painting in Highly Irradiated Chernobyl Victims: A Follow-up Study to Evaluatemthe Stability of Symmetrical Translocations and the Influence of Clonal Aberrations for Retrospective Dose Estimation. International Journal of Radiation Biology 68, 257-262, 1995. [10] NAKAMURA, N., MIYAZAWA, SAWADA, S., AKIYAMA, M., and AWA, AA A Close Correlation between Electron Spin Resonance (ESR) Dosimetry from Tooth Enamel and Cytogenetic Dosimetry from Lymphocytes of Hiroshima Atomic-Bomb Survivors. International Journal of Radiation Biology 73,619-627, 1998. [11] BLAKLEY., W.F, et al WHO, Biodosimetry Laboratories Network, BioDosNet, Radiation Research on Juli 31,2008. [1]
30
Biomarker aberasi kromosom akibat paparan radiasi pengion (Ora. Yanti Lusiyanti)
[12] ALBERT.B.DENIS RJULIAN LEWIS M. R, KEITH R AND JAMES D.WATSON. Biologi Molekuler Sel, alihbahasa, alex Tri Kantjono. Ed.2. Jakarta, PT, Gramedia Pustaka Utama 1994 [13] KONDO. S. Health Effects of Low Level Radiation, Kinki University Press, Osaka, Japan and Medical Physics Publishing, Madison USA, 1993 R.A., ROMANYUKHA, A. A. , SCHOUER, D.A., and TUCKER, J.D. [14] KLEINERMAN, Retrospective Assessment of radiation Exposure Using Biological Dosimetry: Chromosome Painting, Electron Paramagnetic Resonance and the Glycophorin A Mutation Assay. Radiat. Res. 166,287-302.2006. D.D.C., PYRROTT, RJ & REEDER, G.J. Thelncidence of unstable [15] LLOYD, chromosome abberrations in pheripheral blood lymphocytes from un irradiated and occupationally exposed people, Mutations Research 72 (1997). J.M., SMEET, M.F.M.A., POGGENESSE, M., MOORENE, E., [16] COCO-MARTIN, HOFLAN, I, VAN DE BRUG, M., OTTENHEIM, C., BARTELlNK, H. AND BEGG, A.C. Use of Flourescence In Situ Hybridization to Measure Chromosome Aberrations as A Predictor of Radiosensitivity in Human Tumour Cells. Int. J. Radiat. BioI. 66 (3). 297307. 1994. N., HANDE, P. BURAK, L., GEARD, C.R and [17] BRENNER, D.J., OKLADNIKOVA, AZIZOVA, T. Biomarkers Specific to Densely-Ionizing (High LET) Radiations. Radiation Protection Dosimetry. 97(1), 69-73. 2001. [18] CARSTAIRS, K.The Human Small Lymphocyte - Its Possible pluripotential quality Lancer [1962] [19] BOGEM, K.T Reassessment of Human Peripheral T Lymphocyte life Span Deduced from Cytogenetic and Cytotocix Effect of Radiation. Int J. Radiation Biologi 64 [1993] 195-204 [20] INTERNATIONAL ATOMIC ENERGY AGENCY. Biological Dosimetry: Chromosomal Aberration Analysis for Dose Assessment. Technical Reports Series No. 260, IAEAVienna, 1986. Physics, Biology, and [21] BUSHONG, S.C. Radiobologic Science For Technologists: Protection. 4th ed. The CV Mosby Company, St Louis. 1988. [22] INDRAWATI, I. LUSIYANTI, Y., 21-22 Studi Aberasi Kromosom Pada Pekerja Radiasi, Prosiding Presentasi IImiah Keselamatan radiasi dan lingkungan Jakarta, 1995. [23] ALATAS, Z., LUSIYANTI,Y. DAN INDRAWATI, I,Pemeriksaan Aberasi Kromosom Stabil Dengan Tehnik Fluorescence In Situ Hibridization, Prosiding PPI Penelitian Dasar IImu Pengetahuan dan Teknologi Nuklir, Yogyakarta, 2006 [24] LUSIYANTI. Y., ALATAS, Z., PURNAMI, S., Teknik FISH Dengan Dual Probe Untuk deteksi Kromosom Translokasi. Diterbitkan dalam Prosiding Seminar Nasional Keselamatan Kesehatan dan Lingkungan IV dan Internasional Seminar on Occupational Health and safety I, Jakarta 27 Agustus 2008. [25] LUSIYANTI. Y., ALATAS, Z., PURNAMI, S., dan RAMADHANI, 0, Deteksi Kromosom Translokasi Akibat Radiasi dengan Triple Probe. Diterbitkan dalam Prosiding Pertemuan dan Presentasi Ilmiah Penelitian Dasar IImu Pengetahuan dan Teknologi Nuklir, Yogyakarta, 14 Juli 2009. [26] INTERNATIONAL ATOMIC ENERGY AGENCY. Radiological Aspects of The Operation Of Electron Linier Accelerators,Technical Report Series, No 188, IAEA Vienna. 1979. [27] LUSIYANTI. Y., ZUBAIDAH, A, dan SOFIATl.P. Deteksi Kromosom Disentrik dan Translokasi Dalam Limfosit Pekerja Radiasi. Diterbitkan Dalam Prosiding Seminar Nasional Keselamatan, Kesehatan dan Lingkungan III. Depok 1 November 2007. [28] DARROUDI, F., Use of FISH Translocation Analices For Retrospective Biological Dosimetry How Stable Chromosome Aberratios. Radiation Protection Dosimetri 88 (2000). [29] POUZOULET, F, LEFEVRE.ROCH, S, GIRAUDET .AL .VAURIJOUX, A. VOISIN P, BUARD V. DELBOS, M, BOURHIS J. VOISIN and ROY Laurence .. Monitoring Translocation by M-FISH and Three-color FISH Painting Techniques: A Study of Two Radiotherapy Patiens. J. Radiat. Res. 48, 425-434. 2007 [30] LOUCAS, B.D. and CORNFORTH, M.N. Complex Chromosome Exchanges Induced by Gamma Rays in Human Lymphocytes: An mFISH Study. Radiation Research 155,660671, 2001.
31
Iptek Nuklir: Bunga Rampai Presentasi IImiah Jabatan Peneliti
ISSN 2087-8079
[31] LUSIYANTI. Y., SOFIATI. P ZUBAIDAH, A dan RAMADHANI. D. Pengembangan kualitas teknis FISH dengan multi probe. Laporan Teknis. Bidang Biomedika-PTKMR, Maret 2010 [32] MORTON, N.E. Parameters of the Human Genome. Procceeding of National Academy Science USA 88, 7474-7476, 1991 MULLER, I., GEINITZ, H., BRASELMANN, H., BAUMGARTNER, A, FASAN, A, THAMM R, MOLLS, M.; MEINEKE, V. and ZITZELSBERGER, H., Time-course of radiation-induced chromosomal aberrations in tumor patients after radiotherapy, International journal of radiation oncology, biology, physics, vol. 63 (4), pp. 1214-1220,2005 [33] LUOHAMAARA, S., LINDHOLM, C., MUSTONEN, Rand SLOMAA, S. Distribusi of Radiation-Induced Exchange Aberrations in Human Chromosome 1, 2 and 4. International Journal of Radiation Biology 75(12), 1551-1556, 1999. [34] GRANATH, F., GRIGOREVA, M. and NATARAJAN, AT. DNA Content Proportionality and Persistence of Radiation-Induced Chromosome Aberrations Studied by FISH. Mutation Research, 366,145-152, 1996. [35] SCARPATO, R, LORI,A., TOMEI,A, CIPOLLlNI,M., and BARALE,R High Prevalence of Chromosome 10 Rearrengements in Human Lymphocytes after in vitro X-ray Irradiation. International Journal of Radiation Biology 76(5),661-666,2000. [36] TUCKER,J.D, And SENFT ,J. R, Analysis Of Nanurally Occuring and Radiation-Induced Breakpoint Locations In HUMAN CHROMOSOME 1,2 AND Radiation Research 140, 3136 (1994). [37] BOTHWELL, AM., WHITEHOUSE, CA, and TAWN, E.J. The Application of FISH fro Chromosome Analysis in Relation to Radiation Exposure. Radiation Protection Dosimetry vol. 88 (1), 7-14. 2000. SCARPATO, R, LORI,A., TOMEI,A, CIPOLLlNI,M., and BARALE,R High Prevalence of Chromosome 10 Rearrengements in Human Lymphocytes after in vitro X-ray Irradiation. International Journal of Radiation Biology 76(5),661-666,2000. [38] LUSIYANTI,Y. INDRAWATI., I BUDIANTARI,T. dan ALATAS Z. Induksi Aberasi Kromosom Oleh Berkas Sinar X Dari Pesawat Akselerator Linier Proseding Presentasi IImiah, PTNBR-BATAN, BAN DUNG Juli 2007
32