BIOGRAFI INTELEKTUAL HASSAN HANAFI
2.1. Riwayat Hidup Hassan Hanafi Hassan Hanafi, sebagaimana disebutkan oleh Abad Badruzzaman, lahir di Kairo, ibukota Republik Arab Mesir (Jumhuriyyat Mishr al-‘Arabiyah), pada tanggal 13 Februari 1935.9 Keluarganya berasal dari provinsi Banu Swaif, salah satu provinsi di Mesir bagian selatan. Namun kemudian mereka kemudian pindah ke Kairo. Kakek Hassan Hanafi berasal dari al-Maghrib (Maroko), sedangkan neneknya berasal dari kabilah Bani Mur. Kakek Hassan Hanafi yang orang Maroko itu memutuskan untuk menetap di Mesir ketika ia singgah di negeri itu sepulang menunaikan ibadah haji. Dalam persinggahan itu pula ia menikah dengan seseorang yang kemudian menjadi nenek Hassan Hanafi. Pada usia sekitar lima tahun. Hassan Hanafi mulai menghafal Al-Qur’an dibawah bimbingan Syaikh Sayyid. Sentuhan awal Hassan Hanafi dengan Al-Qur’an itu berlangsung di jalanan al-Banhawi kompleks bab al-Sya’riyah, pinggiran kota Kairo bagian selatan. Pendidikan dasarnya ia selesaikan selama lima tahun di Madrasah Sulayman Ghawish, Bab al-Futuh, suatu daerah yang berbatasan dengan Benteng Salahuddin. Setamat dari sekolah itu, Hassan Hanafi masuk ke sekolah pendidikan guru Al-Mu’allimin. Namun ketika hendak memasuki tahun kelima, tahun terakhir pendidikan di sekolah tersebut, ia pindah mengikuti jejak kakaknya ke sekolah Silahdar. Sekolah barunya itu berada di komplek Al-Hakim bi
9
Abad Badruzaman. Kiri Islam Hassan Hanafi : Menggugat Kemapanan Agama dan Politik, Yogyakarta : Tiara Wacana, 2005, hal.41.
Universitas Sumatera Utara
Amrillah. Di sekolah itu pula Hassan Hanafi banyak belajar bahasa asing. Pendidikan menengah atasnya ditempuh di Sekolah Menengah Atas Khalil Agha10. Sewaktu masih kanak-kanak, pada waktu libur musim panas, Hassan Hanafi bersama keluarga selalu meluangkan waktu untuk pulang kampung asal mereka, Banu Sweif. Di kampung asalnya itu, Hanafi sekeluarga menenangkan diri dari kebisingan kota Kairo. Belum lagi kebisingan yang bersumber dari bentrokan antara tentara nasional pembela kemerdekaan Mesir dengan kekuatan kolonial Inggris yang masih ingin menguasai negeri itu. Di Banu Sweif, mereka masih dapat menikmati indahnya pemandangan alam yang masih murni dengan suasana masyarakat desa yang bersahaja11. Saat kanak-kanak, Hassan Hanafi sangat senang berolahraga dan bermain musik. Renang menjadi olahraga yang paling digemarinya meski sering dilarang keluarganya. Larangan ini karena mereka khawatir Hassan Hanafi menjadi tuli, karena telinganya kemasukan air, atau mati tenggelam. Kegemaran Hassan Hanafi untuk bermain musik pun kurang disetujui keluarganya dengan alasan alat musik mahal harganya. Ketika keluarganya berusaha mencegahnya berenang, Hanafi selalu berkilah dan “melawan”, dengan mengatakan bahwa renang, memanah dan berkuda merupakan olah raga yang dianjurkan agama. “Menjaga kesegaran jasmani sama pentingnya dengan merawat kesehatan jiwa,” demikian Hassan Hanafi berkilah. Seringkali ketika Hassan Hanafi ngotot dengan hobinya, dan keluarganya pun sama ngotot dengan larangannya, Hassan Hanafi pun berinisiatif mogok makan untuk melunakkan hati orang tuanya. Mereka akhirnya dapat mengabulkan keinginan Hassan Hanafi setelah
10 11
Ibid. Ibid. hal 46
Universitas Sumatera Utara
kakak iparnya turun tangan dan berhasil membuat orang tua Hassan Hanafi memahami bahwa setiap orang mempunyai watak dan kecenderungan tersendiri. Pada tahun 1946, memasuki usia sekitar sebelas tahun, Hassan Hanafi sudah ikut serta dalam demonstrasi bersama buruh dan mahasiswa. Di usianya masih relatif muda, ia sudah memandang perlunya tindakan turun ke jalan, tidak cukup hanya duduk belajar di bangku sekolah. Ilmu yang dimiliki di sekolah harus didedikasikan untuk membela tanah air. Pada tahun 1948, Hanafi mencoba mendaftarkan diri ke Organisasi Pemuda Islam (Jam’iyah Syubban al-Muslimin) untuk bergabung dengan para prajurit sukarelawan yang membantu perjuangan bangsa Palestina melawan kaum Zionis. Namun permohonannya ditolak. Usia masih terlalu muda untuk menjadi pejuang. Itulah alasan penolakan tersebut.12 Gagal ikut berjuang ke Palestina, Hanafi menyalurkan semangat revolusionernya ke dalam gerakan-gerakan politik-keagamaan di negaranya. Ia berkenalan dengan pemikiran dan aktivitas Ikhwan al-Muslimin (Moslem Brothers) di Khalil Agha. Pada tahun 1952 ia tercatat sebagai anggota resmi gerakan itu. Ketika menjadi mahasiswa di Universitas Kairo, Hassan Hanafi terus terlibat aktif dalam berbagai aktivitas Ikhwan hingga organisasi itu dilarang oleh Pemerintah Mesir13. Pada tahun 1951, Hassan Hanafi mendapat kesempatan untuk ikut dalam perjuangan pembebasan al-Qanat (terusan Suez). Waktu itu ia sempat belajar memegang senjata di Fakultas Teknik di Abbasiyah, Kairo bagian selatan. Dalam perjuangan pembebasan itu Hassan Hanafi ikut mengantar dan mensholatkan jenazah para syahid di masjid al-Kukhya dengan mengenakan pakaian kumal sambil membawa tongkat yang dibuat mirip senapan. Pada bulan Januari 1952 di kota Kairo terjadi kebakaran hebat. Kebakaran itu konon 12 13
Ibid. hal 47 Ilham B.Saenong, Hermeneutika Pembebasan…, hal.71
Universitas Sumatera Utara
disengaja guna mengalihkan perhatian gerakan nasionalisme Mesir yang anti pemerintah yang bersekongkol dengan kolonialis Inggris. Dalam hal itu, Hassan Hanafi jelas berada di pihak kaum nasionalis yang memperjuangkan nasib kaum lemah. Ia tidak suka dengan kekuasaan kaum istana yang bersekongkol dengan Inggris. Bagi Hassan Hanafi tahun 1952 merupakan tahun transisi – perpindahan jenjang pendidikan dari pendidikan menengah atas menuju bangku kuliah. Saat itu ia harus memilih antara pendidikan sains atau pendidikan sastra; antara ilmu eksakta atau filsafat. Hassan Hanafi memilih keduanya. Ia memilih eksakta karena ia menyukai matematika. Ia pernah bercita-cita menjadi seorang insinyur. Ia juga memilih filsafat, karena ia menemukan kebebasan berpikir didalamnya. Ia pernah mengikuti lomba karya tulis tentang orientasi filsafat, dan ia menjadi juara satu dalam lomba itu. Selain ilmu eksak dan filsafat, seni lukis juga ia gemari. Dalam suatu lomba melukis, Hassan Hanafi keluar sebagai juara. Beethoven, Muhammad Abduh, Raja Farouk adalah tokoh yang pernah ia lukis. Lukisan-lukisannya dipajang disekolahnya. Dalam diri Hassan Hanafi ternyata berpadu minat dan bakat dalam seni lukis, musik, logika dan filsafat. Pada musim panas Juli 1952 terjadi peristiwa penting dalam sejarah pergerakan politk di Mesir. Peristiwa itu kemudian dikenal dengan nama “Revolusi Juli” – suatu revolusi yang telah merubah konstelasi sosial, politik dan kulturah yang cukup mendasar. Dan agama termasuk pula di dalamnya. Revolusi itu telah merubah bentuk pemerintahan Mesir dari Monarki-Kerajaan menjadi Republik-Demokrasi. Oleh Hassan Hanafi, Revolusi Juli dijadikan sebagai titik awal untuk membahas pergulatan pemikiran dan pergolakan politik dalm kaitannya dengan agama di Mesir. Pikiran-pikiran Hassan Hanafi tersebut kemudian
Universitas Sumatera Utara
dibukukan dengan judul Al-Din wa al-Tsawrah fi Mishr 1952-1981, yang dicetak dalam delapan volume14. Bagi Hassan Hanafi, di Mesir tidak ada gerakan-gerakan politik yang revolusioner dan mempunyai koordinasi organisasi yang baik dan murni. Umumnya organisasi-organisasi itu dihuni oleh orang-orang yang munafik dam oportunis belaka. Satu-satunya organisasi yang masih ia nilai baik dan bersih adalah Al-Ikhwan al-Muslimun (Ikhwan). Selain Ikhwan, di Mesir saat itu ada Partai Hay’ah al Tahrir (Gerakan Pembebasan), Partai Wafd dan partai yang berhaluan Sosialis-Marxis. Hassan Hanafi pun kemudian menjadi anggota Ikhwan, dan dibawah paying organisasi ini dia mengkoordinir Persatuan Pelajar Mesir. Ikhwan dikenal semakin kental dengan gerakan revolusi. Ketika terjadi perundingan antara Inggris dan Mesir tentang Terusan Suez pada bulan Maret 1954 – di mana di antara salah satu butir perundingan dinilai sangat merugikan bangsa Mesir karena memberi peluang bagi Inggris untuk kembali menguasai Terusan Suez, Ikhwan mengkritik sangat tajam atas hasil perundingan itu. Hanafi bertugas mengedarkan selebaran kritik Ikhwan itu. Gelar kesarjanaannya ia raih pada tanggal 11 Oktober 1956 dari Kulliyat al-Adab (Fakultas Sastra) Jurusan Filsafat Universitas Kairo. Setelah itu Hassan Hanafi pergi ke Perancis untuk memperdalam filsafat di Universitas Sorbonne, dengan spesialisasi Filsafat Barat Modern dan Pra-Modern. Selama kurang dari sepuluh tahun Hassan Hanafi tinggal di Perancis, salah satu Negara tempat orientalis berada. Dalam rentang waktu tersebut, tradisi, pemikiran, dan keilmuan barat dikuasainya. Ia sempat pula mengajar Bahasa Arab di Ecole des Langues Orientales di Paris.
14
Op.cit. hal.49
Universitas Sumatera Utara
Pada tahun-tahun awal keberadaannya di Perancis, Hassan Hanafi sempat mengikuti kursus musik di salah satu sekolah tinggi musik di Paris. Hal itu tak lain karena Hassan Hanafi memiliki minat pada dunia seni. Keluarganya pun terkenal sebagai keluarga musisi. Begitu seriusnya ia menekuni bidang itu sampai-sampai ia pernah bercita-cita menjadi musisi dan komponis dunia. Pagi hari kursus musik, siangnya kuliah, dan sore hari ia gunakan untuk membaca atau mencipta suatu simponi musik. Ia harus membagi waktu untuk kursus musik, kuliah, membaca dan menggubah. Setelah dua tahun, dengan kesibukan seperti itu, Hassan Hanafi sempat terserang TBC akibat kelelahan. Dokter menyarankan untuk menentukan pilihan antara musik atau filsafat. Hassan Hanafi akhirnya memilih filsafat, sebab dalam filsafat ia masih dapat menemukan pandangan yang apresiatif terhadap aspek estetis kehidupan. Pandangan itu ia temukan dalam aliran Filsafat Romantisme. Hassan Hanafi menyusun disertasi yang berjudul Essai sur la methode d’Exegese (Esei Tentang Metode Penafsiran). Disertasi setebal 900 halaman tersebut memperoleh penghargaan untuk penulisan karya ilmiah terbaik di Mesir pada tahun 19615. Karya yang tebal dan monumental tersebut merupakan upaya Hassan Hanafi dalam menghadapkan Ilmu Ushul Fiqh (Filsafat Hukum Islam) kepada suatu madzhab filsafat modern, yaitu fenomenologi yang dirintis oleh Edmud Husserl. Upaya Hassan Hanafi itu merupakan suatu eksperimen yang menarik, sebab infinitas dari rangkaian fenomena kehidupan, yang sama sekali tidak memiliki pretensi kelanggengan, diterapkan pada ketangguhan kerangka berpikir yang dimaksudkan untuk mendukung keabadian Al-Qur’an. Setelah meraih gelar Doktor, Hassan Hanafi kembali ke almamaternya, Universitas Kairo, Mesir, dan mengajar di Fakultas Sastra, Jurusan Filsafat. Ia mengajar mata kuliah Pemikiran Kristen Abad Pertengahan dan Filsafat Islam.
15
Abdurrahman Wahid, Hassan Hanafi dan eksperimentasinya…, hal.xi.
Universitas Sumatera Utara
Reputasi internasionalnya sebagai pemikir ternama mengantarkan Hassan Hanafi untuk merengkuh beberapa jabatan guru besar luar biasa di berbagai perguruan tinggi diluar Mesir. Pada tahun 1969, Hassan Hanafi menjadi professor tamu di Perancis. Kecuali itu, Hassan Hanafi pernah mengajar di Belgia (1970), Amerika Serikat (1971-1975), Kuwait (1979), Maroko (1982-1984), Jepang (1984-1985) dan Uni Emirat Arab (1985)16. Hassan Hanafi juga pernah berkunjung ke negeri Belanda, Swedia, Portugal, Spanyol, India, Sudan, Saudi Arabia, dan juga Indonesia. Kunjungan-kunjungan itu berlangsung antara 1980-1987. Dalam berbagai kunjungan tersebut, Hassan Hanafi banyak bertemu dengan para pemikir ternama, yang kemudian memberi sumbangan pada keluasan tentang persoalan hakiki yang dihadapi oleh umat manusia umumnya, dan umat Islam khususnya. Kunjungan-kunjungan tersebut juga digunakan Hassan Hanafi untuk mengamati secara langsung berbagai kontradiksi dan penderitaan kaum lemah yang terjadi di berbagai belahan dunia. Hassan Hanafi sempat menyaksikan agama revolusioner di Amerika Serikat. Di Amerika Latin, ia menyaksikan berkembangnya gerakan teologi pembebasan, yang kemudian membuka pikiran Hassan Hanafi bahwa agama (Islam) sudah saatnya dikembalikan kepada hakikat yang sebenarnya, yaitu sebagai agama pembebasan, agama yang sangat peduli pada persoalan-persoalan kemanusiaan. Teologi Islam harus segera direkonstruksi dari bentuk lamanya yang bersifat teosentris menjadi suatu kerangka ilmu yang dapat memajukan umat Islam, membela kaum lemah, dan berdiri tegak melawan kekuatan apa pun yang mempertahankan rezim tiran dan status quo yang merampas hak hidup dan kebebasan hakiki karunia Tuhan. Teologi Islam harus berbicara tentang manusia dengan sejumlah persoalannya : masalah sosial, ekonomi, politik, dan kebudayaan.
16
Ilham B.Saenong, Hermeneutika Pembebasan, Metodologi Tafsir Al-Qur’an Menurut Hassan Hanafi, Jakarta : Penerbit TERAJU, cet.I, 2002, hal.69
Universitas Sumatera Utara
Kepergiannya ke Amerika Serikat untuk mengajar di Universitas Temple (1971-1975) sebenarnya merupakan pilihan Hassan Hanafi ketika pemerintah Mesir memberikan pilihan kepadanya antara tetap tinggal di Mesir dengan syarat menghentikan aktivitas intelektual dan gerak-geriknya yang membuat gerah dan merah kuping pemerintah, atau pergi keluar negeri. Di Amerika Serikat, Hassan Hanafi mempertajam penguasaannya atas filsafat Anglo-Saxon dan studi tentang agama-agama. Pada periode itu ia menulis tentang agama Yahudi, Kristen dan Islam dalam rangka membangun dialog antar agama. Pada tahun 1975, Hassan Hanafi kembali ke Mesir dengan membawa obsesi lamanya, yaitu membangun kesadaran diri (al-wa’y) lewat penelusuran dan pengkajian serta penafsiran ulang atas tradisi klasik (turats) di satu sisi, dan menjadikan Barat sebagai objek kajian sekaligus mitra sejajar dalam hubungan Timur (Islam) – Barat. Ia pun mulai menulis buku AlTurats al-Tajdid. Namun, naskah buku tersebut belum sempat selesai ditulis, karena ia kemudian (antara tahun 1976-1981) ikut aktif dalam gerakan anti-pemerintahan Presiden Anwar Sadat yang dinilainya pro Barat dan bersedia untuk berdamai dengan Israel, musuh bebuyutan bangsa Arab. Keterlibatan Hassan Hanafi pada gerakan anti-pemerintahan Presiden Anwar Sadat, menjadikannya dipecat dari Universitas Kairo dengan tuduhan menentang penguasa. Hassan Hanafi pun kemudian banyak menulis di berbagai surat kabar dan majalah. Tulisantulisannya merupakan refleksi Hassan Hanafi atas sejumlah persoalan agama, sosial dan politik di Mesir. Ia kemudian mengumpulkan tulisan-tulisannya tersebut dan menerbitkannya dalam bentuk buku berjudul Al-Din wa al-Tsawrah fi Mishr 1952-1981 (Agama dan Revolusi di Mesir 1952-1981). Buku itu dikemas dalam delapan volume – Vol.I: Agama dan Kebudayaan Bangsa; Vol.II: Agama dan Pembebasan Kebudayaan; Vol.III: Agama dan Perjuangan Nasional; Vol.IV: Agama dan Pembangunan Bangsa; Vol.V: Gerakan-gerakan Universitas Sumatera Utara
Keagamaan Kontemporer; Vol.VI: Fundamentalisme Islam; Vol.VII: Kanan dan Kiri dalam Pemikiran Islam; dan Vol.VIII: Kiri Islam dan Kesatuan Nasional. Hassan Hanafi tercatat sebagai pelopor berdirinya organisasi perhimpunan para filosof Mesir yang berdiri tahun 1986. Perhimpunan itu diketuai oleh Dr. Abu Al-Wafa alTaftazani, dan selanjutnya digantikan oleh Dr. Mahmud Hamdi Zaqzuq. Hassan Hanafi sendiri memegang jabatan sekretaris jendral.
2.2. Pemikiran – Pemikiran yang Mempengaruhi Hassan Hanafi
Sebagai pemikir modernis, gagasan Hassan Hanafi terfokus pada perlunya pembaruan rekonstruksi Islam yang ia kemas dalam konsep besar Turats wa Tajdid (Tradisi dan Pembaruan), dan Al Yasar Al Islami (Kiri Islam) yang ia cetuskan pada 1981. Konsep itu merupakan kepanjangan dari gagasan Al Urwatul Wutsqo-nya Jamaluddin Al Afghani dan Muhammad Abduh. Menurutnya, penggunaan nama 'kiri' sangat penting karena dalam citra akademik, kata tersebut berkonotasi perlawanan dan kritisisme.
Hassan Hanafi mulai mengajar di Universitas Kairo bahkan sebelum ia menyelesaikan kuliah disana. Diberkati dengan kecerdasan berfikir, ia memiliki ketertarikan tentang kontradiksi antara apa yang ia pelajari di Universitas dengan apa yang ia baca dari buku-buku pemikir Islam seperti Hassan al-Banna dan Sayyid Qutb, yang pada belakangan hari akan sangat mempengaruhi cara berfikirnya. Lalu, ia juga memiliki ketertarikan terhadap tulisan
Universitas Sumatera Utara
Guyau, sosiologis Prancis, filsuf Bergson, dan pemikir Idealis dari Jerman, Immanuel Kant, Schelling dan Hegel17.
Kiri Islam yang ia gagas juga punya akar dalam karya pemikir Islam revolusioner, Ali Syari’ati, dan pemikir yang menggerakkan revolusi Islam Iran yang agung, Imam Khomeini. Menurutnya, Kiri Islam adalah hasil nyata dari Revolusi Islam Iran yang merupakan salah satu respon Islam terhadap Barat. Ia juga terkait dengan gerakan-gerakan yang bermacammacam di Libya, Sudan, Aljazair, Maroko, dan gerakan-gerakan di bawah pimpinan Hasan al-Banna, Sayyid Quthb, dan lain-lain. Kiri Islam menggalang revolusi melawan imperialisme dan keterbelakangan. Ia membangkitkan gerakan-gerakan Islam revolusioner sekarang, dan merumuskan teorinya.
Setelah menyelesaikan kuliahnya di Universitas Kairo pada 1956, Hassan Hanafi melanjutkan perkuliahannya di University of Paris (Sorbonne) selama sepuluh tahun. Disini dia melanjutkan eksplorasi pemikirannya mengenai hubungan antara Barat dan pemikiran Arab. Ia sangat dipengaruhi oleh Jean Guitton, filsuf terkenal di Paris pada masa itu. Pada 1959 dan 1960 menyelesaikan bacaan karya Edmund Husserl dengan bahasa Jerman, orang yang kelak akan ia jadikan acuan untuk disertasi doktoralnya. Dia juga mengagumi filsuf yang terkenal melalui pemikiran protesnya, Spinoza dan Kierkegaard.18
Kiri Islam terlibat di zaman ini, dan mengupayakan transformasi kaum Muslim dari keterbelakangan ke kemajuan, dari kolonialisme ke pembebasan, dari penyalahgunaan ke kekuasaan masyarakat Muslim yang sejahtera, dari feodalisme suku dan kapitalisme kelas menengah ke sosialisme masyarakat Muslim, ummah, dan dari penguasaan ke kebebasan dan demokrasi. Ini merupakan partisipasi dalam gerakan sejarah kaum Muslim setelah Revolusi 17
Diterjemahkan oleh penulis dari http://www.encyclopedia.com/doc/1G2-3404702767.html diakses 12 November 2009 pukul 01.28 18 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Islam di Iran, dan bertugas merebut hak-hak dan kekayaan kaum Muslim agar dikuasainya. Kalau kaum Muslim memenangkan revolusi dan merebut kekayaan mereka, mereka akan menguasai dunia.
2.3. Karya - Karyanya Karya karya Hassan Hanafi dapat diklasifikasiakan menjadi tiga periode, yaitu : Periode pertama berlangsung pada tahun 1960-an; periode kedua pada tahun 1970-an, dan periode ketiga dari tahun 1980-an sampai dengan 1990-an. Analisis tentang perkembangan pemikiran Hassan Hanafi akan di dasarkan perkembangan perperiode dari karya karya tersebut. Masing masing periode terdapat perkembangan pemikiran Hassan Hanafi dan dinamika politik di Mesir mempunyai pengaruh besar pada pemikirannya19. Pada awal dasawarsa 1960-an pemikiran Hassan Hanafi dipengaruhi oleh fahamfaham dominan yang berkembang di Mesir, yaitu nasionalistik-sosialistik populistik yang juga dirumuskan sebagai ideologi Pan Arabisme, dan oleh situasi nasional yang kurang menguntungkan setelah kekalahan Mesir dalam perang melawan Israel pada tahun 1967. Usahanya untuk melakukan rekonstruksi pemikiran Islam, ketika ia berada di Perancis ia mengadakan penelitian tentang, metode interpretasi sebagai upaya pembaharuan bidang ushul, dan tentang fenomenologi sebagai metode untuk memahami agama dalam konteks realitas kontemporer. Ketiga, usaha untuk menginterprestasikan realitas umat Islam dalam kerangka baru. Penelitian itu sekaligus merupakan upayanya untuk meraih gelar doktor pada Universitas Sorbonne, dan ia berhasil menulis disertasi tentang Metode Penafsiran yang mendapat penghargaan sebagai karya ilmiah terbaik di Mesir pada tahun 1961.
19
http://pusat-akademik.blogspot.com/2008/10 diakses 12 November 2009 pukul 01.27
Universitas Sumatera Utara
Awal periode 1970-an, Hassan Hanafi juga memberikan perhatian utamanya untuk mencari penyebab kekalahan umat Islam dalam perang melawan Israel tahun 1967. Oleh karena itu, tulisan-tulisannya lebih bersifat populis. Di awal periode 1970-an, ia banyak menulis artikel di berbagai media massa, seperti Al Katib, Al-Adab, Al-Fikr al-Mu’ashir, dan Mimbar Al-Islam. Pada tahun 1976, tulisan-tulisan itu diterbitkan sebagai sebuah buku dengan judul Qadhaya Mu’ashirat fi Fikrina al-Mu’ashir. Kemudian, pada tahun 1977, kembali ia menerbitkan Qadhaya Mu `ashirat fi al Fikr al-Gharib. Buku kedua ini mendiskusikan pemikiran para sarjana Barat untuk melihat bagaimana mereka memahami persoalan masyarakatnya dan kemudian mengadakan pembaruan. Sementara itu Dirasat Islamiyyah, yang ditulis sejak tahun 1978 dan terbit tahun 1981, memuat deskripsi dan analisis pembaruan terhadap ilmu-ilinu keIslaman klasik, seperti ushul fiqih, ilmu-ilmu ushuluddin, dan filsafat. Dimulai dengan pendekatan historis untuk melihat perkembangannya, Hanafi berbicara tentang upaya rekonstruksi atas ilmu-ilmu tersebut untuk disesuaikan dengari realitas kontemporer. Periode selanjutnya, yaitu dasawarsa 1980-an sampai dengan awal 1990-an, dilatarbelakangi oleh kondisi politik yang relatif lebih stabil ketimbang masa-masa sebelumnya. Dalam periode ini, Hanafi mulai menulis Al-Turats wa al-Tajdid yang terbit pertama kali tahun 1980. Buku ini merupakan landasan teoretis yang memuat dasar-dasar ide pembaharuan dan langkah-langkahnya. Kemudian, ia menulis Al-Yasar Al-lslamiy (Kiri Islam), sebuah tulisan yang lebih merupakan sebuah "manifesto politik" yang berbau ideologis, sebagaimana telah saya kemukakan secara singkat di atas.
Universitas Sumatera Utara
Buku Min Al-Aqidah ila Al-Tsaurah (5 jilid), yang ditulisnya selama hampir sepuluh tahun dan baru terbit pada tahun 1988. Buku ini memuat uraian terperinci tentang pokokpokok pembaruan yang ia canangkan dan termuat dalam kedua karyanya yang terdahulu. Oleh karena itu, bukan tanpa alasan jika buku ini dikatakan sebagai karya Hassan Hanafi yang paling monumental. Selanjutnya, pada tahun-tahun 1985-1987, Hassan Hanafi menulis banyak artikel yang ia presentasikan dalam berbagai seminar di beberapa negara, seperti Amerika Serikat, Perancis, Belanda, Timor Tengah, Jepang, termasuk Indonesia. Kumpulan tulisan itu kemudian disusun menjadi sebuah.buku yang berjudul Religion, Ideology, and Development yang terbit pada tahun 1993. Beberapa artikel lainnya juga tersusun menjadi buku dan diberi judul Islam in the Modern World (2 jilid). Bapak tiga anak ini menulis sedikitnya 20 buku dan puluhan makalah ilmiah. Karyanya yang populer di Indonesia antara lain Al-Yasar al-Islami (Kiri Islam), Min al`Aqidah ila al-Tsaurah (Dari Teologi ke Revolusi), Turats wa Tajdid (Tradisi dan Pembaharuan), Islam in The Modern World (1995), dan lainnya. Hasan Hanafi bukan sekedar pemikir revolusioner, tapi juga reformis tradisi intelektual Islam klasik.20
20
Ibid.
Universitas Sumatera Utara