BIODIVERSITAS DAN PERAN MIKROFUNGI ISOLAT TELAGA WARNA DALAM MENDEKOMPOSISI BAHAN ORGANIK PADA LIMBAH CAIR TAHU
INNA PUSPA AYU
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Biodiversitas dan Peran Mikrofungi Isolat Telaga Warna dalam Mendekomposisi Bahan Organik pada Limbah Cair Tahu adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini
Bogor, Mei 2008
Inna Puspa Ayu NIM C151050051
ABSTRACT
Inna Puspa Ayu. Biodiversity of Microfungi Isolated from Telaga Warna and There Role in Organic Decomposition of Tofu Liquid Waste. Under the direction of Hefni Effendi and Yusli Wardiatno Biodiversity of Microfungi Isolated from Telaga Warna and Its Role in Decomposing Organic Matter of Tofu Liquid Waste The biodiversity of microfungi isolated from Telaga Warna and its role in decomposing organic matter of tofu liquid waste. Microfungi are decomposer microorganism of organic matter and could be used as biological agent in waste process. Aquatic fungi exploration in Indonesia is still in low number. As a conservation area, Telaga Warna has fungi biodiversity such as Abisidia spinosa (AS), Cephalosphorium acremonium (CA), Acremonium strictum (ACST), Penicillium rugulosum (PR), Penicillium viridicatum (PV) and, K (Control). Those microfungi have been experimented in order to reduce organic matter content in Tofu Liquid waste. This content was measured for six days through COD (Chemical Oxygen Demand) and organic nitrogen also its effect to microfungi’s growth. The experiment result shows the treatments that could reduce organic matter faster and biggest also followed with increasing of coverage percentage are PV and PV on second day. Each of treatments could reduce COD 73,96% and 63,54% with percentage of coverage 53,33% and 46,67%. Meanwhile, organic matter in ACST and CA treatments reduce on fourth day 77,08% and 72,92% but the percentage of coverage was followed by the life of new organisms. All fungi in AS treatment were died in first day even COD reduced in the fifth day because of the living of other microorganism. Control treatment also faced the reducing of COD in the forth day which followed by existence of other microorganism. Keywords: microfungi, organic matter, percentage of coverage
RINGKASAN INNA PUSPA AYU. Biodiversitas dan peran mikrofungi isolat Telaga Warna dalam mendekomposisi bahan organik pada limbah cair tahu. Dibimbing oleh HEFNI EFFENDI dan YUSLI WARDIATNO. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji jenis-jenis mikrofungi dari Telaga Warna serta menjelaskan kemampuannya dalam memanfaatkan bahan organik yang berasal dari limbah cair tahu. Penelitian ini dilakukan dalam dua rangkaian, yaitu penelitian pendahuluan dan utama. Penelitian pendahuluan meliputi pengambilan sampel mikrofungi dari perairan Telaga Warna pada musim hujan dan kemarau, pengisolasian, kultivasi, dan identifikasi mikrofungi, kemudian penentuan konsentrasi limbah tahu yang akan digunakan untuk media mikrofungi pada penelitian utama. Penelitian utama merupakan rangkaian kegiatan yang terdiri dari pengujian jenis-jenis mikrofungi pada konsentrasi limbah hasil penelitian pendahuluan. Pada penelitian utama dilakukan pengukuran kandungan bahan organik dalam air limbah melalui hasil pengukuran COD serta N organik. Selain itu, dilakukan juga pengukuran DO, pH, kekeruhan, TDS, suhu, serta persentase penutupan mikrofungi. Analisis data yang digunakan adalah analisis ragam menggunakan Rancangan Acak Lengkap dan uji lanjutan (uji Tukey) untuk melihat pengaruh perbandingan konsentrasi limbah terhadap pertumbuhan mikrofungi, keragaman konsentrasi bahan organik antarwaktu pada masing-masing jenis mikrofungi uji. Selain itu digunakan pula Rancangan Acak Lengkap (RAL) dalam waktu untuk melihat jenis mikrofungi yang memberikan pengaruh terhadap penurunan konsentrasi bahan organik. Isolat mikrofungi yang didapatkan dari Perairan Telaga Warna pada musim kemarau adalah jenis Mucor hiemalis, Mucor plumbeus, Mucor substilissimus, Abisidia spinosa, Aspergillus niger, Aspergillus conicus, Penicillium viridicatum, Penicillium rugulosum, Trichoderma koningii, Acremonium strictum, Cephalosporium acremonium. Sedangkan yang ditemukan pada musim hujan adalah Mucor rouxianus, Mucor ramannianus, Mucor genevensis, Mucor jansseni, Mucor pussilus, Rhizopus cohnii, Rhizopus stolonifer, Rhizopus oryzae, Penicillium rugulosum, Cephalosporium acremonium, Penicillium citrinum, Penicillium urticae, Penicillium spinulosum, Aspergillus amstelodami, Monilia humicola. Mikroorganisme uji yang digunakan dalam peneltian ini adalah Penicillium rugulosum (PR), Penicillium viridicatum (PV), Acremonium strictum (ACST), Cephalosphorium acremonium (CA), dan Abisidia spinosa (AS). Mikrofungi tersebut diujikan pada limbah cair tahu dengan kosentrasi 75%. Hasil menunjukkan bahwa PV dan PR mampu menurunkan COD pada hari kedua yang n sebesar 73,96% dan 63,54% dengan disertai peningkatan persentase penutupan sebesar 53,33% dan 46,67%. Sementara itu, bahan organik pada perlakuan ACST dan CA menurun pada hari keempat sebesar 77,08% dan 72,92%, namun persentase penutupan pada media disertai oleh pertumbuhan dari mikroorganisme lain. Perlakuan AS mengalami kematian setelah hari kesatu, namun terjadi penurunan COD pada hari kelima disebabkan oleh munculnya mikroorganisme lain. Kontrol mengalami penurunan COD pada hari keempat, yang disertai
pertumbuhan dari mikroorganisme lain. Selain COD, N organik pun menunjukkan pola yang sama dengan COD. Berdasarkan penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa Penicillium rugulosum dan Penicillium viridicatum dapat menurunkan bahan organik tercepat dan terbesar dibandingkan mikrofungi uji jenis lainnya.
@HakCipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008 Hak cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruhnya karya tulis ini tanpa mencatumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan. penelitian, penulisan karya ilmiah. penyusunan laporan, penul isan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
BIODIVERSITAS DAN PERAN MIKROFUNGI ISOLAT TELAGA WARNA DALAM MENDEKOMPOSISI BAHAN ORGANIK PADA LIMBAH CAIR TAHU
INNA PUSPA AYU
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perairan
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
Judul Tesis
Nama NIM
: Biodiversitas dan Peran Mikrofungi Isolat Telaga Warna dalam Mendekomposisi Bahan Organik pada Limbah cair Tahu : Inna Puspa Ayu : C151050051
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Hefni Effendi, M.Phil. Ketua
Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc. Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Perairan
Prof. Dr. Ir. Enang Harris, MS.
Tanggal ujian: 4 Juni 2008
Dekan Sekolah Pasca Sarjana IPB Dekan
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.
Tanggal lulus:
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga Tesis yang berjudul “Biodiversitas dan peran mikrofungi isolat Telaga Warna dalam mendekomposisi bahan organik pada limbah cair tahu” dapat diselesaikan. Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Master of Sains pada Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Dr. Ir. Hefni Effendi, M.Phil. sebagai dosen pembimbing I atas bimbingan dan arahan selama penelitian serta telah memberikan kesempatan penulis untuk turut serta dalam penelitian mikrofungi. 2. Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc. selaku dosen pembimbing II yang senantiasa memotivasi, mengarahkan, dan memberi saran bagi penulis. 3. Dr. Ir.
Niken TM Pratiwi, M.Si. selaku penguji tamu untuk saran dan
masukan dalam perbaikan tesis ini serta bantuannya selama penelitian. 4. Osaka Gas Foundation melalui PPLH IPB yang telah mendanai penelitian ini. 5. Kedua orang tua, adikku serta keluarga besar yang telah mendoakan dan memberi dorongan untuk mencapai ridho-Nya. 6. Anton Aliabbas dan keluarga lampung atas doa, semangat dan bantuannya. 7. Ibu Maya, bu Nur, Pak Sodikin, Aan, Devit, Ari, Tina, Yeyen, Apri, Ningsih, Rommy serta seluruh anggota Lab. ProLingkungan Perairan atas segala kebaikan dan kerjasamanya. 8. Ibu Utami, Toni, Senin untuk masukkannya dalam penyususnan tesis. 9. Iis, Usman, Rabbani, Indah, Endang serta teman-teman Pasca Air. 10. Bapak Satari, anti, serta seluruh kerabat di Malabar, Bogor. 11. Seluruh kerabat dan teman yang telah membantu dalam penelitian, serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Semoga tesis ini bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan. Akhir kata, penulis mohon maaf atas segala kekurangan yang terdapat dalam tesis ini.
Bogor, Mei 2008 Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Cimahi tanggal 6 Oktober 1980 sebagai anak pertama dari kedua bersaudara dari pasangan Indra Wilana dan Nani Nurfiatni. Pendidikan ditempuh di SDN V Cimahi (1986-1991), SMPN VI Cimahi (19911994), dan dilanjutkan ke SMUN I Cimahi (1994-1998). Tahun 1998 penulis diterima di Jurusan Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor dan lulus pada tahun 2002. Pada tahun 2004 penulis menjadi asisten dosen di Departemen Manajemen Sumberdaya perairan, fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB. Selanjutnya pada tahun 2005, penulis diberi kesempatan untuk melanjutkan studi di program Ilmu Perairan, Pascasarjana IPB atas beasiswa BPPS Ditjen DIKTI.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................................... iii DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... iv DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... vi I. PENDAHULUAN ........................................................................................... 1 1.1. Latar belakang .......................................................................................... 1 1.2. Perumusan masalah .................................................................................. 3 1.3. Tujuan ...................................................................................................... 3 1.4. Manfaat .................................................................................................... 3 1.5 Hipotesis.................................................................................................... 5 II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ 6 2.1. Mikrofungi ............................................................................................... 6 2.1.1. Taksonomi mikrofungi .................................................................. 6 2.1.2. Morfologi mikrofungi ................................................................... 7 2.1.3. Pertumbuhan dan reproduksi mikrofungi ...................................... 8 2.1.3.1 Pertumbuhan ..................................................................... 8 2.1.3.2 Rerproduksi...................................................................... 10 2.1.4. Metabolisme (absorbsi nutrien) mikrofungi ................................ 12 2.2. Karakteristik tahu dan limbah cair tahu ................................................. 13 2.2.1. Karakteristik tahu ......................................................................... 13 2.2.2. Karakteristik limbah cair tahu ...................................................... 15 2.3. Parameter Kualitas Air ........................................................................... 16 2.3.1. Parameter fisika .......................................................................... 16 2.3.2. Parameter kimia .......................................................................... 17 2.4. Proses pengolahan limbah secara biologi .............................................. 20 III. METODE PENELITIAN ........................................................................... 23 3.1. Waktu dan tempat .................................................................................. 23 3.2. Penelitian pendahuluan........................................................................... 23 3.2.1. Tahap pertama ............................................................................. 23 3.2.1.1. Pengambilan mikrofungi dari Telaga Warna ................ 23 3.2.1.2. Isolasi dan purifikasi mikrofungi .................................. 23 3.2.1.3. Identifikasi mikrofungi .................................................. 24 3.2.1.4. Penyiapan stok mikrofungi ........................................... 24 3.2.2. Tahap kedua ................................................................................ 24 3.2.2.1. Penyiapan mikrofungi uji .............................................. 24 3.2.2.2 Treatment limbah ......................................................... 25 3.2.2.3. Penentuan konsentrasi limbah ....................................... 25 3.3. Penelitian utama .................................................................................... 25 3.4. Metode pengumpulan data ..................................................................... 26 3.4.1. Analisis parameter kualitas air .................................................... 26 3.4.2. Analisis persentase perubahan nilai karakteristik limbah ........... 26
ii
3.5. Analisis statistik .................................................................................... 26 3.5.1. Penelitian pendahuluan................................................................ 26 3.5.2. Penelitian utama .......................................................................... 27 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................... 30 4.1. Hasil ..................................................................................................... 30 4.1.1. Penelitian pendahuluan .............................................................. 30 4.1.1.1. Biodiversitas mikrofungi akuatik dari Telaga Warna ... 30 4.1.1.2. Penentuan konsentrasi limbah ....................................... 31 4.1.2. Penelitian Utama ......................................................................... 33 4.1.2.1. Analisis COD (Chemical Oxygen Demand) ................. 33 4.1.2.2. Analisis persentase penutupan ...................................... 37 4.1.2.3. Analisis N organik ........................................................ 43 4.1.2.4. Analisis N anorganik ..................................................... 48 4.1.2.5. Analisis TDS dan TSS .................................................. 50 4.1.2.6. Analisis pH .................................................................... 52 4.1.2.7. Analisis oksigen terlarut (Dissolved oxygen) ................ 53 4.1.2.8. Analisis suhu ................................................................. 53 4.2. Pembahasan ........................................................................................... 55 4.2.1. Hubungan antara keberadaan bahan organik dengan persen penutupan .......................................................... 55 4.2.2. Pertumbuhan mikrofungi ............................................................. 59 V. KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................... 62 5.1. Kesimpulan ........................ ................................................................... 62 5.2. Saran........................................................................................................ 62 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 63 LAMPIRAN ....................................................................................................... 65
iii
DAFTAR TABEL Halaman 1. Karakteristik air limbah tahu ...........................................................................16 2. Baku mutu limbah cair industri dan kegiatan usaha lainnya............................16 3. Tabel sidik ragam RAL ....................................................................................27 4. Tabel sidik ragam RAL dalam waktu ..............................................................29 5. Pengelompokkan jenis-jenis mikrofungi akuatik yang terdapat di Danau Telaga Warna .............................................................31 6. Nilai rata-rata suhu pada limbah cair tahu pada tiap jenis perlakuan fungi .....54
iv
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1. Skema perumusan masalah ............................................................................... 4 2. Morfologi mikrofungi........................................................................................8 3. Kurva pertumbuhan mikrofungi .........................................................................9 4. Bagan proses pembuatan tahu ..........................................................................14 5. Skema mikroscreen pada recycle reaktor .........................................................21 6. Rata-rata konsentrasi COD pada limbah cair tahu dengan mikrofungi Abisidia spinosa ............................................................................33 7. Rata-rata konsentrasi COD pada limbah cair tahu dengan mikrofungi Cephalosphorium acremonium ........................................................................34 8. Rata-rata konsentrasi COD pada media dengan mikrofungi Acremonium strictum ...................................................................35 9. Rata-rata konsentrasi COD pada media dengan mikrofungi Penicilium rugulosum ..................................................................35 10. Rata-rata konsentrasi COD pada limbah cair tahu dengan mikrofungi Penicilium viridicatum ....................................................36 11. Rata-rata konsentrasi COD pada limbah cair tahu tanpa mikrofungi ............36 12. Rata-rata konsentrasi COD (mg/l) pada limbah cair tahu Pada tiap perlakuan fungi ................................................................................38 13. Keberadaan mikroorganisme kontaminan pada media ...................................39 14. Persentase penutupan mikroorganisme pada limbah cair tahu .......................40 15. Kurva pertumbuhan mikrofungi pada limbah cair tahu ..................................42 16. Rata-rata konsentrasi N organik pada limbah cair tahu dengan mikrofungi Abisidia spinosa ..............................................................44 17. Rata-rata konsentrasi N organik pada limbah cair tahu dengan mikrofungi Cephalosphorium acremonium........................................44 18. Rata-rata konsentrasi N organik pada limbah cair tahu dengan mikrofungi Acremonium strictum ......................................................45 19. Rata-rata konsentrasi N organik pada limbah cair tahu dengan mikrofungi Penicilium rugulosum ......................................................45 20. Rata-rata konsentrasi N organik pada limbah cair tahu dengan mikrofungi Penicilium viridicatum ....................................................46 21. Rata-rata konsentrasi N organik pada limbah cair tahu dengan tanpa mikrofungi.................................................................................46
v
22. Rata-rata konsentrasi N organik (mg/l) pada limbah cair tahu pada tiap perlakuan fungi ................................................................................47 23. Nilai rata-rata ammonia (mg/l) pada limbah cair tahu pada tiap perlakuan fungi ................................................................................49 24. Nilai rata-rata nitrat (mg/l) pada limbah cair tahu pada tiap perlakuan fungi ................................................................................49 25. Nilai rata-rata nitrit (mg/l) pada limbah cair tahu pada tiap perlakuan fungi ................................................................................50 26. Nilai rata-rata TDS (mg/l) pada limbah cair tahu pada tiap perlakuan fungi ................................................................................51 27. Nilai rata-rata TSS (mg/l) pada limbah cair tahu pada tiap perlakuan fungi ................................................................................52 28. Nilai rata-rata pH pada limbah cair tahu pada tiap perlakuan fungi ................................................................................53 29. Nilai rata-rata oksigen terlarut (mg/l) pada limbah cair tahu pada tiap perlakuan fungi ................................................................................54 30. Konsentrasi COD limbah dan persentase penutupan tiap jenis mikrofungi .......................................................................................57 31. Konsentrasi N organik limbah dan persentase penutupan tiap jenis mikrofungi .......................................................................................58
vi
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Potatoes Dextrose Agar ....................................................................................67 2. Treatment limbah dengan menggunakan UV ..................................................68 3. Prosedur pengukuran COD ..............................................................................69 4. Karakteristik spesial mikrofungi di perairan Telaga Warna ............................70 5. Persentase pertumbuhan mikrofungi hari ke empat pada konsentrasi uji ........72 6. Hasil analisis statistik konsentrasi uji terhadap pertumbuhan mikrofungi.......73 7. Hasil pengukuran nilai COD serta persentase penurunannya pada limbah cair tahu .......................................................................................74 8. Hasil analisis statistik pengaruh waktu terhadap konsentrasi COD .................75 9. Hasil analisis statistik pengaruh jenis mikrofungi, waktu serta interaksinya terhadap penurunan COD pada limbah cair tahu ............... 78 10. Nilai rata-rata persentase penutupan pada berbagai perlakuan (%) .................81 11. Nilai rata-rata N organik serta persentase penurunnanya pada limbah cair tahu .......................................................................................82 12. Hasil analisis statistik pengaruh waktu terhadap konsentrasi N organik .........83 13. Hasil analisis statistik pengaruh jenis mikrofungi, waktu serta interaksinya terhadap penurunan N organik ............................................86 14. Nilai rata-rata N anorganik pada limbah cair tahu ...........................................89 15. Rata-rata konsentrasi serta persentase penurunan TDS dan TSS.....................90 16. Nilai rata-rata pH dan oksigen terlarut pada limbah cair tshu .........................91
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mikrofungi merupakan mikroorganisme tidak berklorofil dan memiliki sifat saprofit yang berperan penting dalam lingkungan perairan, yaitu sebagai dekomposer atau pengurai bahan organik yang berasal dari mahluk hidup yang telah mati (Wong et al. 1998). Mikroorganisme ini menggunakan hifa untuk melekat pada bahan organik tersebut yang kemudian akan didekomposisi menjadi bahan anorganik.
Bahan organik yang diuraikan oleh mikroorganisme
dekomposer ini merupakan nutrien yang akan digunakan untuk produksi biomassa mikrofungi itu sendiri.
Kemampuan dalam memanfaatkan dan menguraikan
mahluk hidup yang telah mati tersebut menyebabkan mikrofungi berfungsi dalam regenerasi material yang terurai serta berperan dalam siklus karbon, nitrogen, dan fosfat di lingkungan perairan danau, sungai, ataupun perairan tawar lainnya (Davidson et al. 1996; Sigee, 2004). Mikrofungi perairan tawar memiliki jenis yang beragam. Lebih dari 600 spesies sudah diidentifikasi pada daerah temperate (Wong et al. 1998), sedangkan di daerah tropis, penelitian dan eksplorasi fungi masih relatif minim. Penelitian untuk mengungkapkan biodiversitas fungi, khususnya penemuan fungi jenis baru di Indonesia masih dimungkinkan (Ilyas et al. 2006). Salah satu contoh perairan tawar di Indonesia yang
belum diketahui keanekaragaman hayati fungi
akuatiknya adalah Telaga Warna. o
Danau ini terletak di Kecamatan Cisarua
o
Kabupaten Bogor (6 42’LS;106 ,59’BT) dengan ketinggian sekitar 1400 m dpl (Wardiatno et al. 2003). Perairan alami ini berbentuk elips mendekati bundar dengan luas permukaan sebesar 1,04 ha dan kedalaman maksimum 7,8 m (Pratiwi et al. 2006). Telaga Warna merupakan bagian dari kawasan konservasi cagar alam dan taman wisata alam, sehingga dimungkinkan memiliki potensi mikrofungi yang dapat dikembangkan. Setiap fungi di alam memiliki peran dan potensi yang berbeda karena setiap jenisnya memiliki keunikan sifat dan karakteristik tersendiri. Beberapa jenis fungi diketahui memiliki nilai ekonomi yang tinggi karena diperlukan dalam kegiatan industri. Potensi ekonomi fungi tersebut di antaranya adalah sebagai
2
obat-obatan (Zhigiang, 2005 in Paulus, 2006), agen bioleaching (Kisielowska dan Kasińska-Pilut, 2005), penyubur lahan, biopestisida, penghasil enzim, dan bahan organik aktif lainnya (Harman et al. 2004 in Gil, 2006), serta obyek menarik dalam penelitian genetika (Ilyas et al. 2006). Dewasa ini mikrofungi banyak dikembangkan dalam pengolahan limbah secara biologis. Hal ini sejalan dengan meningkatnya limbah yang berasal dari kegiatan manusia, sehingga diperlukan metode yang tepat dalam penanganan limbah. Limbah banyak mengandung bahan organik seperti protein, karbohidrat, lemak, dan bila dibuang langsung ke perairan umum dapat menimbulkan pencemaran. Limbah tersebut di antaranya berasal dari industri rumah tangga, misalnya industri pembuatan tahu (Saubani, 2006).
Limbah yang dihasilkan
industri tahu berupa limbah padat dan cair. Limbah padat dapat ditanggulangi dengan memanfaatkannya sebagai bahan pembuat oncom dan bahan makanan ternak (Dhahiyat, 1990), sedangkan limbah cair (whey) kebanyakan dibuang langsung ke sungai atau badan air lainnya (Warisno, 1994; Rubiyanto, 2000). Limbah cair tahu mengandung bahan organik yang kompleks serta karbon dan N yang tinggi.
Hal ini akan menurunkan tingkat kualitas air dan akhirnya
berdampak buruk pada ekosistem air yang menerimanya bila limbah cair yang diterima di perairan melebihi kemampuan daya pulih lingkungan perairan tersebut. Bahan organik yang kompleks tersebut dapat diuraikan oleh fungi menjadi zat-zat kimia yang lebih sederhana yang selanjutnya dapat meningkatkan kesuburan perairan, serta sebagian bahan-bahan organik tersebut digunakan untuk kolonisasi mikrofungi itu sendiri. Pemanfaatan mikrofungi dalam pengolahan limbah dikenal dengan istilah bioremediasi (Gadd, 1993 in Ahmad, 2005). Proses bioremediasi didasari oleh dekomposisi bahan organik di biosfer yang dilakukan oleh bakteri dan fungi heterotrofik, yang memiliki kemampuan memanfaatkan senyawa organik alami sebagai sumber karbon dan energi.
Penggunaan
mikrofungi dalam pengolahan limbah menjadi salah satu alternatif yang menarik untuk dikembangkan karena penanganannya efisien dan efektif (Zhang et al. 2007).
3
1.2. Perumusan masalah Mikrofungi merupakan organisme yang dapat mendekomposisi bahan organik dari air limbah, dan memanfaatkan senyawa organik di dalamnya sebagai nutrien untuk proses metabolisme. Proses tersebut akan menyebabkan organisme mengalami pertumbuhan. Pertumbuhan mikrofungi ada yang cepat atau lambat tergantung pada jenis mikrofungi itu sendiri. Pertumbuhan merupakan respon dari kemampuan mikrofungi
dalam
memanfaatkan bahan organik. Bahan organik yang dikaji dalam penelitian ini adalah bahan organik yang berasal dari limbah cair tahu.
Limbah cair tahu
mengandung bahan organik, terutama nitrogen, dengan kadar yang cukup tinggi, yang bila dibuang langsung ke perairan akan mempengaruhi kualitas air di perairan tersebut. Peran mikrofungi dalam dekomposisi atau pun bioremediasi dapat dimanfaatkan untuk mengatasi pencemaran bahan organik. Untuk itu diperlukan pengujian atau pengukuran terhadap kemampuan mikrofungi dalam menurunkan kandungan bahan organik yang terdapat dalam limbah cair tahu.
Hasil dari
pengujian tersebut dapat bersifat positif, yakni mikrofungi dapat menurunkan konsentrasi bahan organik dalam air limbah, atau sebaliknya. Bila tidak dapat menurunkan konsentrasi bahan organik, maka diperlukan pengkajian atau evaluasi kembali terhadap kondisi bahan organik pada air limbah tersebut atau isolat mikrofungi yang digunakan (Gambar 1).
1.3. Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji jenis-jenis mikrofungi dari Telaga Warna serta menjelaskan kemampuan mikrofungi isolat Telaga Warna dalam memanfaatkan bahan organik yang berasal dari limbah cair tahu.
1.4. Manfaat Manfaat penelitian ini adalah untuk mendapatkan jenis isolat mikrofungi dari Telaga Warna yang efektif dalam mengolah limbah bahan organik, serta mengembangkan potensi mikrofungi sebagai agen bioremediasi.
4
5
1.5. Hipotesis Mikrofungi dengan jenis yang berbeda akan melakukan dekomposisi bahan organik dengan kemampuan yang berbeda-beda.
Hal tersebut terkait dengan
waktu yang diperlukan oleh mikrofungi itu sendiri dalam mendekomposisi bahan organik.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Mikrofungi 2.1.1. Taksonomi mikrofungi Fungi digolongkan ke dalam kelompok dunia ketiga oleh E. Haeckel yaitu kelompok protista, yang merupakan
kelompok selain hewan dan tumbuhan.
Fungi (kapang) merupakan organisme yang sebagian termasuk fotosintetik dan sebagian lagi nonfotosintetik; beberapa dapat menyerupai tumbuhan, beberapa serupa dengan hewan, dan beberapa sama-sama mempunyai sifat yang khusus bagi kedua dunia tumbuhan dan hewan (Buss 1983; Buchalo et al. 1998). Ciri-ciri organisme yang dikelompokkan ke dalam kingdom fungi adalah eukariotik, tidak memiliki klorofil, tumbuh sebagai hifa, memiliki dinding sel yang mengandung khitin, bersifat heterotrof, menyerap nutrien melalui dinding selnya dan mengekskresikan enzim-enzim ekstraseluker ke lingkungan, menghasilkan spora atau konidia, serta melakukan reproduksi seksual dan atau aseksual (Trinci dan Cutter 1986; Brock et al. 1994; Gandjar et al. 2006). Taksonomi fungi pada saat ini didasarkan pada morfologi dan pola perkembangan dari struktur reproduksi seksual yang dihubungkan dengan struktur biokimia dan molekulnya, termasuk pada analisis rDNA. Deacon (1997) dan Alexopoulos et al.(1996) in Sigee (2005) membagi fungi dalam kelompok sebagai berikut: 1. Filum Chitridiomycota Kelompok ini ada pada habitat akuatik dan tanah, memiliki jenis parasit ataupun saprofit. Anggota dari filum ini dikenal dengan sebutan chytrid. Banyak anggota fungi ini yang tidak memiliki miselium; thallus (tubuh) tereduksi menjadi sebuah single globular structure yang dapat masuk ke dalam inangnya atau pada substrat. Single globular structure adalah sistem rhizoid (struktur yang mirip dengan akar) yang tidak beraturan. Beberapa chytrid merupakan endobiotik; hidup di dalam inangnya. Sementara yang epibiotik memproduksi organ reproduksi pada permukaan inangnya atau pada bahan organik yang mati. Filum ini, pada habitat akuatik memiliki empat ordo yang penting, yaitu:
7
a. Ordo Chytridiales b. Ordo Blastocladiales c. Ordo Spizellomycetales d. Ordo Monoblepharidales 2. Filum Zygomycota Memiliki dua kelas yang mewakili lingkungan perairan tawar, yaitu Zygomycetes dan Trichomycetes. Zygomycetes bersifat kosmopolitan dan dapat menggunakan substrat dengan spektrum yang luas (Gandjar et a/. 2006). 3. Filum Ascomycota (fungi tingkat tinggi) Karakter dari filum ini adalah memiliki miselium yang bersepta dan ascocarp (tubuh buah seksual; suatu struktur reproduksi seksual yang menghasilkan askus) dengan bentuk multiselular.
Fungi jenis ini jarang ditemukan di
perairan tawar. 4. Filum Basidiomycota Sama
halnya
dengan
filum
Ascomycota,
kapang
dari
kelompok
Basidiomycota jarang ditemukan di lingkungan akuatik tawar.
Bila
ditemukan, ada pada kayu dan bahan organik yang ada di dalam atau di sekitar sungai. 5. Deuteromycota Menurut Manoharachary et al. (2005), kelompok ini disebut juga anamorf, fungi imperfect, fungi konidial, fungi mitosporik, atau fungi aseksual. Banyak spesies yang dimasukkan ke dalam deuteromycota, namun setelah ditemukan fase seksualnya (teleomorf) dimasukkan ke dalam Ascomycota atau Basidiomycota. Deuteromycota merupakan kelompok yang khusus bagi spesies cendawan dengan fase seksual yang belum diketahui. 2.1.2. Morfologi mikrofungi Bagian penting tubuh mikrofungi adalah hifa. Hifa adalah suatu struktur fungus berbentuk tabung menyerupai seuntai benang panjang yang terbentuk dari pertumbuhan spora atau konidia. Kumpulan hifa yang bercabang-cabang tersebut membentuk suatu jala yang umumnya berwarna putih, dan disebut sebagai miselium (Davidson et al. 1996). Hifa berisi protoplasma yang dikelilingi oleh
8
suatu dinding yang kuat. Morfologi mikrofungi dapat dilihat pada Gambar 2. Berdasarkan morfologi hifa secara mikroskopis, hifa dapat dibedakan menjadi: a. Aseptat atau senositik Hifa seperti ini tidak mempunyai septum, sehingga memiliki banyak inti. b. Monositik Sekat membagi hifa menjadi ruang-ruang atau sel-sel berisi nukleus tunggal. Pada setiap septum terdapat pori di tengah-tengah yang memungkinkan terjadinya perpindahan nukleus dan sitoplasma dari satu ruang ke ruang yang lain (Trinci dan Cutter, 1986).
konidia
hifa
a
b
Gambar 2. Morfologi mikrofungi Penicilium Viridicatum a: sketsa tubuh mikrofungi (Gandjar, 1999), b: miselium (www.3phase.com) 2.1.3. Pertumbuhan dan reproduksi mikrofungi 2.1.3.1. Pertumbuhan Fase pertumbuhan dapat diketahui melalui perubahan luas daerah di bawah kurva pertumbuhan atau disebut dengan area under the kinetic curve (AUKC).
Kecepatan pertumbuhan mikroorganisme ini tergantung pada
lingkungan fisik dan kimianya. Berdasarkan laju pertumbuhannya,
maka
Meletiadis (2001) membagi fase pertumbuhan fungi menjadi lima, yaitu fase pertumbuhan lambat (lag phase), fase akselerasi (first transition period), fase log (log phase), fase penurunan (second transition period atau declining phase), dan fase stasioner (stationer phase). Kurva pertumbuhan fungi dapat dilihat pada Gambar 3.
9
Gambar 3. Kurva Pertumbuhan Mikrofungi (a). fase pertumbuhan lambat, (b) fase akselerasi, (c) fase log, (d) fase penurunan, (e) fase stasioner (sumber: Meletiadis et al. 2001) Fase pertama adalah fase lag. Pada tahap ini tidak terjadi pertumbuhan sel. Pengamatan secara mikroskopik yang dilakukan oleh Meletiadis (2001) menunjukkan bahwa pada fase ini sedang terjadi persiapan pembelahan sel atau pun persiapan pertumbuhan spora dan konidia. Fase ini dicirikan oleh perubahan (Δr) AUKC yang kurang dari 5%. Pembelahan sel akan diikuti oleh persipan perpanjangan hifa, dan hal ini menunjukkan terjadinya fase akselerasi atau dapat juga disebut first transition period (Reinhardt 1892 in Trinci dan Cutter 1986). Fase ini dapat dilihat melalui peningkatan ΔrAUKC hingga 30%. Pada tahap ini, persiapan perpanjangan hifa sulit ditentukan karena tidak hanya tergantung pada jumlah sel yang diinokulasikan, tetapi juga tergantung pada karakteristik metaboliknya, seperti umur dan keadaan fisiologisnya, serta tergantung juga pada jenis nutrien dalam medianya (Quoreshp et al. 1995). Fase pertumbuhan lambat yang lama menunjukkan adanya bahan-bahan beracun dan substrat bersifat melawan, kurang inokulasi, atau pre-kultur tidak sesuai (sel mati inaktif). Perpanjangan hifa akan terjadi setelah fase akselerasi, yaitu pada fase log. Fase log memiliki kurva pertumbuhan dengan kemiringan (slope) yang maksimal (Meletiadis 2001), sehingga laju pertumbuhan spesifik pada fase ini merupakan nilai maksimum. Laju pertumbuhan eksponensial ini sangat dipengaruhi oleh ketersediaan nutrien.
10
Akhir dari fase log (eksponensial) diikuti oleh periode pertumbuhan linier sebelum berangsur-angsur ke fase stasioner. Pertumbuhan linier disebut juga sebagai fase penurunan (second transition period atau declining phase). Fase penurunan di dalam kultur disebabkan oleh habisnya atau terbatasnya beberapa nutrien dan terdapatnya akumulasi sisa produk. Selama periode transisi, slope kurva pertumbuhan fungi mengalami perubahan yang cepat dan ΔrAUKC yang tinggi bila dibandingkan fase-fase lainnya. Kemiringan pada periode transisi ke dua berkurang secara terus menerus, dan bila dilihat dari ΔrAUKC nilainya mencapai 70% (Meletiadis et al. 2001). Setelah fase penurunan, fungi akan mengalami fase stasioner, dengan ΔrAUKC kurang dari 70% dari nilai maksimal ΔrAUKC (Meletiadis et al. 2001). Pada fase ini fungi akan mulai rusak, yang mengindikasikan bahwa pertumbuhan fungi telah berhenti atau disebut fase stasioner (Quoreshp et al. 1995; Leung dan Wu 2007). 2.1.3.2. Reproduksi Fungi yang sudah dewasa akan membentuk struktur-struktur untuk melakukan reproduksi agar spesiesnya menyebar dan tidak punah (Gandjar et al. 2006).
Ketika kondisi buruk, pembentukan jaringan secara vegetatif
(pembelahan, penguncupan) akan berkurang bahkan tidak akan dilakukan, dan spora akan terbentuk. Spora ini dapat bertahan pada lingkungan yang buruk (Lyon et al. 1943). Secara alamiah mikrofungi berkembang biak dengan berbagai cara, baik secara aseksual dengan atau tanpa pembentukan spora, maupun secara seksual dengan peleburan nukleus dari dua sel induknya. Spora aseksual, yang berfungsi untuk menyebarkan spesies, dibentuk dalam jumlah besar (Gilman 1945). Ada beberapa tipe spora aseksual, di antaranya: a. Konidiospora atau konidium Konidium dibentuk di ujung atau di sisi suatu hifa. Konidium yang kecil dan bersel satu disebut mikrokonidium. Konidium yang besar dan bersel banyak dinamakan makrokonidium. b. Sporangiospora Sporangiospora merupakan spora bersel satu terbentuk di dalam kantung
11
(sporangium) yang terdapat di ujung hifa khusus.
Aplanospora ialah
sporangiospora nonmotil. Zoospora ialah sporangiospora yang motil. Motilitasnya disebabkan oleh adanya flagelum. c. Oidium atau artrospora Spora bersel satu yang terbentuk karena terputusnya sel-sel hifa d. Klamidiospora Spora bersel satu yang berdinding tebal, sangat resisten terhadap keadaan buruk, terbentuk dari sel-sel hifa somatik e. Blastospora Tunas atau kuncup pada sei-sel khamir Spora seksual yang dihasilkan dari peleburan dua nukleus, lebih jarang terbentuk. Jumlahnya yang lebih sedikit dibandingkan dengan spora aseksual, hanya terbentuk dalam keadaan tertentu (Gilman 1945).
Ada beberapa tipe spora
seksual, yaitu: a.
Askospora, adalah spora bersel satu yang terbentuk dalam kantung yang (askus). Biasanya terdapat delapan askospora di dalam setiap askus. Contoh fungi yang menghasilkan aksospora adalah filum Ascomycota (Buchalo et al. 1998).
b. Basidiospora, adalah spora bersel satu yang terbentuk di atas struktur berbentuk gada yang dinamakan basidium. Contoh fungi yang menghasilkan spora tipe ini adalah fungi yang berasal dari filum Basidiomycota (Gilman 1945). c. Zigospora, adalah spora besar berdinding tebal yang terbentuk apabila ujungujung dua hifa yang secara seksual serasi, disebut juga gametangia, dan pada beberapa fungi, spora ini melebur. Zygospora terbentuk pada fungi tingkat rendah, yaitu filum Zygomycota (Gandjar et al. 2006). d. Oospora, adalah spora yang terbentuk di dalam struktur betina khusus yang disebut ooginium. Pembuahan telur atau oosfer oleh gamet jantan yang terbentuk di dalam anteredium menghasilkan oospora. Dalam setiap oogonium terdapat satu atau beberapa oosfer. Oospora terdapat pada fungi tingkat rendah dari filum Chitridiomycota dihasilkan oospora (Gilman 1945). Suatu fungi tunggal dapat membentuk spora aseksual dan seksual dengan beberapa cara pada waktu yang berlainan dan dalam keadaan yang berbeda.
12
Struktur serta metode pembentukan spora-spora tersebut cukup konstan atau tidak berubah (Pelczar dan Chan 1986). 2.1.4. Metabolisme (absorbsi nutrien) pada mikrofungi Faktor paling penting yang berhubungan dengan aktivitas fungi adalah nutrien. Nutrien akan digunakan sebagai energi melalui proses metabolisme, sehingga organisme dapat melaksanakan fungsi hidupnya. Metabolisme adalah seluruh proses kimia di dalam organisme hidup untuk memperoleh dan menggunakan energi (Voet dan Voet 1995 in Gandjar et al. 2006). Ketika sel melakukan metabolisme, nutrien akan diubah ke dalam bentuk materi sel, energi, dan produk buangan (Bilgrami dan Verma 1994 in Gandjar et al. 2006). Proses tersebut akan menyebabkan organisme tumbuh dan berkembang. Proses metabolisme pada fungi meliputi dua fungsi utama yaitu, fungsi anabolisme (asimilasi/bioenergi) dan katabolisme (disimilasi/biosintesis).
Dalam fungsi
anabolisme nutrien diubah menjadi komponen struktural dan fungsional oleh mikroorganisme. Dalam fungsi katabolisme energi kimia diambil dari nutrien untuk menghasilkan energi yang akan digunakan dalam reaksi anabolisme. Proses anabolisme tergantung pada katabolisme, tidak hanya pada energi yang dalam bentuk ATP, NADH, dan NADPH, tapi juga produksi senyawa intermediate bagi berlangsungnya proses biosintesis makromolekul dari struktur hifa (Trinci dan Cutter 1986; Ayres 1986 in Gandjar et al. 2006). Pada proses katabolisme, nutrien berfungsi sebagai sumber energi atau penerima elektron. Proses ini bersifat eksergonik atau eksotermik dengan energi yang dihasilkan berbentuk energi kimia dan bukan energi panas. Hal tersebut terjadi karena sel tidak dapat menggunakan energi panas, melainkan Adenosintrifosfat
(ATP).
ATP
diperlukan
untuk
aktivitas
sel,
misalnya
untuk
perkembangbiakan, pembentukan spora, pergerakan, biosintesa, dan sebagainya (Ayres 1986 in Gandjar et al. 2006). Proses anabolisme sebagai salah satu kegiatan dalam metabolisme, memerlukan sumber energi yang didapat dari proses katabolisme. Selama proses katabolisme berlangsung, produk yang dihasilkan tidak hanya energi bagi berlangsungnya anabolisme, melainkan juga senyawa yang akan menjadi bahan dasar bagi proses anabolisme seperti gula-fosfat, asam piruvat, asam asetat, asam
13
oksalasetat, asam suksinat, dan sebagainya. Reaksi anabolisme pada dasarnya terbagi ke dalam beberapa proses, diantaranya: asimilasi nitrogen dan sulfat, sintesis mikromolekul (sintesis asam amino), serta sintesis makromolekul (sintesis DNA, RNA, dan protein) (Trinci dan Cutter 1986). Secara umum fungi memerlukan nutrien dalam bentuk karbon, nitrogen, sulfur, kalium, magnesium, natrium, kalsium, nutrien mikro (besi, mangan, kobalt, molibdenum), dan vitamin. Fungi adalah organisme heterotrof karena tidak memiliki kemampuan untuk mengoksidasi senyawa karbon anorganik. Senyawa karbon organik yang dapat dimanfaatkan fungi untuk membuat materi sel baru dapat berupa molekul sederhana seperti gula sederhana, asam organik, gula terikat alkohol, polimer rantai pendek dan rantai panjang yang mengandung karbon (Gadd 1988; Ayres 1986 in Gandjar 2006). Beda halnya dengan karbon, nitrogen dimanfaatkan oleh fungi dalam bentuk senyawa organik dan anorganik. Fungi lebih menyukai nitrogen dalam bentuk organik. Nitrogen organik yang dapat dimanfaatkan oleh fungi adalah dalam bentuk protein (Lyon et al. 1952). Menurut Gunderson (1967); Guest dan Smith (2007), senyawa nitrogen anorganik yang dapat dimanfaatkan oleh mikrofungi adalah dalam bentuk ammonium (NH4N); nitrat (NO3); dan nitrit (NO2). Nitrit dapat dimanfaatkan oleh mikrofungi dalam kondisi yang tidak asam. Selain itu, fungi diketahui dapat menghidrolisis senyawa-senyawa toksik yang sulit diuraikan menjadi senyawa-senyawa lebih sederhana, sehingga dapat dimanfaatkan oleh organisme itu sendiri atau lainnya (Quoreshp et al. 1995). 2.2. Karakteristik tahu dan limbah cair tahu 2.2.1. Karakteristik tahu Tahu merupakan bahan makanan yang terbuat dari kedelai yang mempunyai nilai gizi yang cukup tinggi. Menurut Soedarma dan Sediaoetma (1977) in Dhahiyat (1990) di dalam 100 gram kedelai yang merupakan bahan tahu, terkandung 35 gram protein, 18 gram lemak, dan 10 gram karbohidrat; sedangkan dalam 100 gram tahu terdapat 7,8 gram protein, 4,6 gram lemak, dan 1,6 gram karbohidrat. Pengolahan kedelai menjadi tahu umumnya dilakukan secara tradisional, yaitu melalui proses penggumpalan (pengendapan) protein susu kedelai. Bahan
14
penggumpal yang lazim digunakan ialah batu tahu (CaSO4) atau cioko, asam cuka (CH3COOH), dan MgSO4 (Pusbangtepa 1989). Proses pengolahan tahu dapat dilihat pada Gambar 4. Air
Pencucian Kedelai
Kotoran
Air matang/air bersih Perendaman Air dingin (12-24 jam) Air hangat 55 oC (1-2 Penggilingan Air hangat (9:1) Pemasakan 100 oC (7-14 menit) Penyaringan
Ampas tahu
Penggumpalan
Whey
Pencetakan/Pengerasan
Whey
Pemotongan Tahu Perendaman Air hangat 80 oC Tahu
Gambar 4. Bagan Proses Pembuatan Tahu (Sumber: Nuraida 1985; Pusbangtepa 1989 in Sylvi 2001)
15
2.2.2. Karakteristik limbah cair tahu Limbah tahu adalah limbah yang dihasilkan dalam proses pembuatan tahu atau pun pada saat pencucian kedelai. Limbah yang dihasilkan dapat berupa limbah padat dan cair. Pada Gambar 4 terlihat adanya hasil sampingan dari proses pembuatan tahu yaitu whey. Whey adalah limbah cair yang dihasilkan dari proses penggumpalan dan pencetakan pada pembuatan tahu. Sebagian pabrik tahu ada yang menggunakan sebagian kecil whey sebagai biang. Selain whey, limbah cair tahu dapat berupa sisa air tahu yang tidak menggumpal atau berupa potongan tahu yang hancur pada saat proses karena kurang sempurnanya proses penggumpalan (Dhahiyat 1990). Setiap kuintal kedelai akan menghasilkan 1,5 - 2 m3 limbah cair.
Limbah padat belum dirasakan dampaknya terhadap lingkungan karena
dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak, sedangkan limbah cair pada umumnya langsung dibuang ke lingkungan sekitar. Limbah cair bila dibiarkan akan berwarna hitam dan berbau busuk. Padatan tersuspensi maupun terlarut yang terdapat pada limbah cair tersebut dapat menjadi media untuk tumbuhnya agen penyakit. Air limbah dapat meresap ke dalam tanah yang dekat dengan sumur, sehingga air sumur itu tidak layak dimanfaatkan lagi. Begitu pula bila limbah dialirkan ke sungai, maka akan mencemari sungai dan bila masih digunakan akan menimbulkan penyakit, seperti gatal dan diare (Nurhasan dan Pramudyanto 1991). Pencemaran akibat limbah akan berdampak negatif pada lingkungan di sekitarnya. Air buangan industri tahu memiliki karaktersitik fisika dan kimia yang dapat dilihat pada Tabel 1.
Pemahaman tentang karakteristik limbah tahu
merupakan hal yang penting untuk mengetahui tingkat pencemaran serta penanggulangannya. Selain itu juga untuk menentukan cara pengolahan yang tepat serta memudahkan penentuan parameter yang akan dianalisis. Berhubungan dengan hal tersebut, Bapedalda Provinsi Jawa Timur menetapkan baku mutu limbah cair untuk usaha pembuatan tahu sesuai dengan keputusan Gubernur No.45/2002 (Tabel 2).
16
Tabel 1. Karakteristik Air Limbah Tahu Karakteristik
Hasil Pengukuran
Suhu Padatan terendap Padatan tersuspensi Padatan total Warna Amonia-Nitrogen Nitrit-Nitrogen Nitrat-Nitrogen pH Kebutuhan oksigen biologi (BOD) Kebutuhan oksigen kimia (COD)
37 175 635 810 2225 23,3 3,5 32 4 6000 7500 -
45oC 190 mg/l 660 mg/l 850 mg/l 2250 Pt.co 23,5 mg/l 4,0 mg/l 40 mg/l 6 8000 mg/l 14000 mg/l
Sumber: Nurhasan (1987) in Sylvi (2001) Tabel 2. Baku mutu limbah cair industri dan kegiatan usaha lainnya (Keputusan Gubernur No.45 Tahun 2002) No. A 1 2 3 B 1 2 3 4 5 6
Parameter Fisika Temperatur Zat padat terlarut Zat padat tersuspensi Kimia pH Ammoniak Bebas (NH3-N) Nitrat (NO3-N) Nitrit (NO3N) BOD5 COD
Satuan 0
Golongan Baku Mutu Limbah Cair I II III IV
C mg/liter mg/liter
35 1500 100
38 2000 200
40 4000 200
45 5000 500
mg/liter mg/liter mg/liter mg/liter mg/liter
6–9 0,5 10 0.06 30 80
6-9 1 20 1 50 100
6-9 5 30 3 150 300
6-9 20 50 5 300 600
Sumber: BPLHD Surabaya in jukungkami.files.wordpress.com (2008) 2.3. Parameter kualitas air 2.3.1. Parameter fisika a. Suhu Suhu merupakan salah satu faktor yang mengontrol dekomposisi bahan organik yang dilakukan oleh fungi.
Kondisi temperatur yang rendah dapat
menghambat metabolisme fungi sehingga memperlambat laju dekomposisi bahan organik yang ada di perairan (Lindblom dan Tranvik 2003).
17
Pertumbuhan dan kelangsungan hidup mikroorganisme dipengaruhi pula oleh suhu. Fungi termasuk organisme termofilik yang dapat tumbuh pada suhu lebih dari 550C. Salah satu contoh, Mucor pusillus, dapat tumbuh dengan suhu minimum
21-23,
suhu
optimum
45-50,
dan
suhu
maksimum
50-58.
Mikroorganisme seperti fungi dapat tumbuh dalam kisaran suhu yang luas. Bagi kebanyakan spesies saprofitik berkisar 22 sampai 30°C, sedangkan untuk spesies patogenik mempunyai suhu optimum lebih tinggi, biasanya mencapai 30-37°C (Sigee 2004). b. TSS, TDS, dan kekeruhan Berdasarkan ukuran padatannya yang terdapat di perairan dapat diklasifikasikan menjadi: padatan terlarut (< 10-6 mm), koloid (10-6 sampai 10-3 mm), dan padatan tersuspensi (> 10-3 mm). Total Suspendid Solid adalah padatan yang tertahan pada saringan milipore dengan diameter pori 0,45 μm (Effendi 2003). Total Dissolved Solid adalah bahan-bahan terlarut (diameter <10-6 mm) dan koloid (diameter 10-6 mm-10-3 mm) yang berupa senyawa-senyawa kimia dan bahan-bahan lain, yang tidak tersaring pada kertas saring berdiameter pori 0,45 μm (Rao, 1992 in Effendi 2003). TDS biasanya disebabkan oleh adanya bahan anorganik yang berupa ion-ion yang biasa ditemukan di perairan. Air buangan atau limbah, selain banyak mengandung padatan tersuspensi, juga mengandung bahan-bahan yang bersifat koloid, misalnya protein (Yusuf 2001). Kekeruhan merupakan sifat optik yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat di dalam air, yang dapat diukur dengan turbidimeter. Dengan demikian kekeruhan (optical density) dari media fungi dapat digunakan untuk memperkirakan laju pertumbuhan mikrofungi.
Padatan tersuspensi berkolerasi positif dengan
kekeruhan. Semakin tinggi nilai padatan tersuspensi, nilai kekeruhannya juga semakin tinggi. Akan tetapi, tingginya padatan terlarut tidak selalu diikuti dengan tingginya kekeruhan (Meletiadis et al. 2001; Effendi 2003). 2.3.2. Parameter kimia a. Dissolved Oxygen (DO) Keberadaan oksigen menentukan proses dekomposisi bahan organik yang ada di peraiaran.
Rendahnya oksigen terlarut dapat memperlambat berjalannya
18
dekomposisi, serta dapat menghasilkan senyawa-senyawa sampingan, seperti CH4, CO2, N2, dan H2S. Keadaan ini dapat disebut sebagai anaerob (Lindblom dan Tranvik 2003; Pagliuso et al. 2002). Menurut Gray (2004), oksigen terlarut kurang dari 2 mg/l menyebabkan keadaan anaerob. Burges dan Fenton (1953) in Panseseko (1967), menyebutkan bahwa fungi dapat dibedakan menjadi tiga kelompok berdasarkan keberadaan oksigen. Kelompok pertama adalah kelompok fungi yang dapat hidup pada kondisi aerobik; kelompok kedua adalah kelompok fungi yang memiliki toleransi terhadap karbondioksida dan sebagian anaerobik; sedangkan kelompok ketiga adalah mikrofungi yang dapat hidup baik pada kondisi aerob maupun anaerob. c. Chemical Oxygen Demand (COD) COD limbah adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi zat-zat organik yang ada dalam satu liter limbah secara kimiawi. Nilai COD yang tinggi menunjukkan adanya pencemaran oleh zat-zat organik yang tinggi (Suhardi, 1991 in Yusuf, 2001). Zat organik dalam limbah dibedakan menjadi dua, yaitu yang mudah didegradasi oleh mikroba, dan yang sulit didegradasi oleh mikroba. Parameter COD menunjukkan oksidasi bahan organik, baik yang dapat didegradasi secara biologis (biodegradable) maupun yang sukar didegradasi secara biologis (non biodegradable) menjadi CO2 dan H2O (Effendi 2003). Keberadaan bahan organik dapat berasal dari alam ataupun dari aktivitas rumah tangga, dan industri.
Nilai COD pada perairan yang tidak tercemar
biasanya kurang dari 20 mg/l, sedangkan nilai COD pada perairan yang tercemar dapat mencapai lebih dari 200 mg/l (UNESCO/WHO/UNEP, 1992 in Effendi 2003). d. Nilai pH Nilai pH mencirikan keseimbangan antara asam dan basa dalam limbah, dan merupakan pengukuran konsentrasi ion hidrogen.
pH mempengaruhi
pertumbuhan mikrofungi melalui proses-proses yang terjadi di dalam sel, salah satunya adalah aktivitas enzim (Busa et al., 1986 in Robson et al. 1996). Pada umumnya, mikroba dapat tumbuh pada lingkungan yang asam hingga sangat alkalin (pH 0 - 12), yang dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu acidophil (pH 0 – 5,5); neutrophil (pH 5,5 – 8,5); dan alkalophil (pH 8,5 – 12). Fungi dapat
19
tergolong ke dalam kelompok acidophil dan neutrophil, namun biasanya fungi lebih menyukai pH rendah atau dalam kondisi asam, yaitu antara 4 – 6 (Sigee 2004). e. Amonia nitrogen Sumber amonia di perairan dapat berasal dari pemecahan nitrogen organik, dapat berupa protein atau pun urea. Nitrogen organik terikat pada unsur pokok sel makhluk
hidup,
seperti
protein.
Fungi
dan
mikroorganisme
lainnya
mentransformasi bahan organik tersebut menjadi nitrogen anorganik, yaitu amonia, nitrit, nitrat, dan gas nitrogen (Lyon et al. 1943). Proses perubahan nitrogen organik menjadi amonia ini dikenal dengan amonifikasi. Hal ini ditunjukkan dalam persamaan reaksi sebagai berikut (Effendi 2003): N organik + O2
NH3-N + O2 Amonifikasi
N02 -N + O2
N03-N
(1)
nitrifikasi
Amonia yang terukur di perairan berupa amonia total (NH3 dan NH4+). Amonia (NH3) beserta garam-garamnya bersifat mudah larut dalam air, sedangkan amonium (NH4+) adalah bentuk transisinya. Amonia bebas yang tidak dapat terionisasi bersifat toksik terhadap organisme aquatik. Kadar amonia bebas yang tidak terionisasi (NH3) pada perairan tawar sebaiknya tidak lebih dari 0,02 mg/liter. Jika kadar amonia bebas lebih dari 0,2 mg/liter, perairan bersifat toksik bagi beberapa biota air (Sawyer dan McCarty, 1978 in Effendi 2003). Kadar amonia yang tinggi dapat merupakan indikasi adanya pencemaran bahan organik yang berasal dari limbah domestik, industri, dan run off (Effendi 2003). f. Nitrat nitrogen dan nitrit nitrogen Nitrat (N03) adalah bentuk utama nitrogen di perairan alami, dan sangat mudah larut dalam air. Senyawa ini dihasilkan dari proses oksidasi sempuma senyawa nitrogen di perairan, dan nitrit merupakan hasil antara dari reduksi ammonia menjadi nitrat (Gundersen 1967). Nitrit, sebagai hasil antara, memiliki sifat tidak stabil dan mudah berubah dalam bentuk lainnya (Sedlak 1991 in Kurosu 2001).
20
Nitrifikasi merupakan proses oksidasi amonia menjadi nitrit dan nitrat (persamaan 1). Nitrifikasi merupakan proses yang penting dalam siklus nitrogen dan berlangsung pada kondisi aerob (Effendi 2003). Pada kondisi anaerob, nitrat dapat berubah menjadi nitrit atau nitrogen dalam bentuk gas (N2), yang biasa dikenal dengan istilah denitrifikasi. Perubahan nitrat menjadi nitrogen menurut Gray (2004), dapat dilihat pada persamaan (2) berikut ini: Nitrate
NO3
NO2
Nitrite
NO
Nitric oxide
reductase
reductase
N2O
reductase
Nitrious oxide
N2
(2)
reductase
Salah satu mikroorganisme yang dapat melakukan nitrifikasi adalah mikrofungi. terlarut
Mikrofungi memiliki kemampuan untuk memanfaatkan oksigen
dalam kondisi aerob, namun dapat juga menggunakan nitrat sebagai
penerima elektron dalam respirasi ketika oksigen terlarut menjadi faktor pembatas (Sigee 2004). Kadar nitrat-nitrogen pada perairan alami hampir tidak pernah lebih dari 0,1 mg/liter. Kadar nitrat nitrogen yang lebih dari 0,2 mgl/liter dapat mengakibatkan terjadinya eutrofikasi perairan (Davis dan Cornwell 1991 in Effendi 2003). g. Nitrogen total Nitrogen total Kjeldahl adalah gambaran nitrogen dalam bentuk organik dan ammonia pada air limbah (Davis and Cornell, 1991 in Effendi 2000). Nitrogen total adalah penjumlahan dari nitrogen anorganik yaitu N-NO3, N-NO2, dan N-NH3 yang bersifat terlarut, dan nitrogen organik yang berbentuk partikulat dan tidak terlarut dalam air (Mackereth et al. 1989 in Effendi 2000). 2.4. Proses pengolahan limbah secara biologi Pengolahan limbah dengan cara biologi dapat dilakukan dengan menggunakan mikroba. Proses biologi yang dilakukan mikroorganisme dalam mendegradasi
bahan-bahan
organik
lingkungan yang tercemar dari polutan.
diaplikasikan
untuk
membersihkan
Hal ini dapat diistilahkan sebagai
bioremediasi (Hamman 2004). Tujuan dari bioremediasi itu sendiri adalah untuk
21
mereduksi polutan menjadi senyawa yang tidak toksik atau mereduksi hingga taraf / konsentrasi yang diperbolehkan (Gray 2004). Salah satu mikroorganisme yang dapat digunakan dalam sistem pengolahan biologis ini adalah mikrofungi.
Penggunaan mikrofungi dalam
bioremediasi dikenal dengan istilah mycoremediation (Hamman 2004). Beberapa penelitian yang telah dilakukan, misalnya oleh Van Leeuwen (2004), menggunakan mikrofungi untuk mengolah limbah cair, dengan cara melewatkan mikrofungi yang ditempatkan pada suatu tempat yang memiliki screen.
Screen tersebut memiliki ukuran pori yang kecil (100 μm), yang
bertujuan agar bakteri dapat ikut terbuang saat limbah dialirkan, namun mikrofungi tetap berada di dalam wadah tersebut. Skema screen pada reaktor untuk mengolah limbah menggunakan mikrofungi, dapat dilihat pada Gambar 5. Pertumbuhan mikrofungi dapat dikontrol dengan melakukan pemanenan. Biomassa mikrofungi yang terbentuk dapat dijadikan sebagai stok inokulan untuk pengolahan limbah berikutnya dan dapat dijadikan sebagai pupuk tanaman.
Gambar 5. Skema mikroscreen pada recycle reaktor (Van Leeuwen 2004)
22
Fungi mendegradasi bahan-bahan organik dengan mentransformasi karbon dan nitrogen ke jaringan fungi itu sendiri dalam proporsi yang lebih banyak daripada mikroorganisme lainnya.
Selain itu, hasil sampingan berupa
karbondioksida dan ammonium relatif lebih sedikit. 50% substansi yang didekomposisi oleh fungi digunakan untuk pembentukan jaringan (Lyon et al. 1943),
sehingga pemulihan lingkungan oleh mikroorganisme ini dianggap
sebagai strategi potensial (Frankenberger dan Losi 1996; Gadd 1992 in Gandjar et al. 2006).
III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan tempat Penelitian
ini
dilakukan
dalam
dua
rangkaian,
yaitu
penelitian
pendahuluan dan utama. Penelitian pendahuluan terdiri dari dua tahap. Tahap pertama meliputi pengambilan sampel mikrofungi dari perairan Telaga Warna, pengisolasian, kultivasi, dan identifikasi mikrofungi.
Tahap kedua berupa
penentuan konsentrasi limbah tahu yang akan digunakan untuk media mikrofungi pada penelitian utama. Penelitian utama merupakan rangkaian kegiatan yang terdiri dari pengujian jenis-jenis mikrofungi pada konsentrasi limbah hasil penelitian pendahuluan. Dalam penelitian utama ini juga dilakukan pengukuran parameter fisika-kimia air serta persentase penutupan mikrofungi. Pengambilan contoh tersebut dilakukan pada bulan Juli 2006 yang mewakili musim kemarau dan bulan Februari 2007 yang mewakili musim hujan. Penelitian pendahuluan dan utama dilakukan pada Mei 2007 di Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan Perairan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 3.2. Penelitian pendahuluan 3.2.1. Tahap pertama 3.2.1.1. Pengambilan sampel mikrofungi dari Telaga Warna Pengambilan sampel mikrofungi dilakukan secara langsung, yaitu dengan mengambil langsung dari air, serasah, daun, batu, ataupun ranting yang terdapat di perairan Telaga Warna. Sampel tersebut diambil atau dikerik menggunakan jarum ose, kemudian digoreskan pada media agar yang telah diperkaya nutrien. Nutrien yang digunakan adalah Potato Dextrose Agar/PDA (Lampiran 1). 3.2.1.2. Isolasi mikrofungi Isolat mikrofungi yang telah diambil dari perairan Telaga Warna tersebut diinkubasi selama 2-5 hari pada suhu kamar. Biakan mikrofungi yang tumbuh dalam media agar masih heterogen. Biakan ini kemudian diisolasi dan diinkubasi kembali dalam suhu kamar selama 2-5 hari untuk mendapatkan biakan tunggal (homogen).
Biakan tunggal tersebut diidentifikasi secara makroskopis dan
24
mikroskopis. 3.2.1.3. Identifikasi mikrofungi Identifikasi mikrofungi bertujuan untuk mengetahui biodiversitas atau keanekaragaman hayati mikrofungi di perairan Telaga Warna.
Identifikasi
dilakukan melalui beberapa tahapan berikut. a. Pembuatan slide kultur Bagian bawah dalam cawan petri diberi alas kertas saring. Batang gelas berbentuk U diletakkan di atas kertas saring, kemudian diletakkan gelas objek dan gelas penutupnya di atasnya, lalu disterilisasi di autoclave pada suhu 121 0C dengan tekanan 1 atm selama ± 15 menit. Setelah dingin, di atas gelas objek diberi setetes media PDA steril.
Kemudian, secara aseptis,
menggunakan jarum ose, mikrofungi target diinokulasi pada permukaan agar yang sudah membeku. Kemudian ditutup dengan gelas penutup. Di bagian kertas saring diteteskan 7-10 ml gliserol 10% steril, kemudian diinkubasi pada suhu kamar selama 3-5 hari. b. Pengamatan Untuk menentukan jenis mikrofungi, struktur mikrofungi yang tumbuh diamati dengan menggunakan mikroskop dengan perbesaran 10x10. Mikrofungi diidentifikasi dengan menggunakan beberapa acuan, seperti Gandjar et al. (1999), Fassatiova (1986), dan Gilman (1945). 3.2.1.4. Penyiapan stok mikrofungi Mikrofungi homogen yang telah diidentifikasi, ditumbuhkan kembali pada cawan petri dengan media PDA yang disimpan sebagai stok. Stok mikrofungi tersebut disimpan pada suhu kamar, yang berikutnya dapat digunakan sebagai mikrofungi uji. 3.2.2. Tahap kedua 3.2.2.1. Penyiapan mikrofungi uji PDA yang telah ditumbuhi mikrofungi tertentu (dalam hal ini adalah Penicillium rugulosum, Penicillium viridicatum, Acremonium strictum, Cephalosphorium acremonium, dan Abisidia spinosa) dipotong menjadi
25
sembilan bagian (8,72 cm2).
Masing-masing bagian PDA tersebut
dimasukkan ke dalam limbah cair tahu. 3.2.2.2. Treatment limbah Limbah tahu yang akan digunakan disaring
dan diberi penyinaran UV
terlebih dahulu. Penyaringan dilakukan menggunakan saringan dengan ukuran pori 30 μm untuk menghilangkan kotoran besar. Penyinaran UV dilakukan untuk menghilangkan mikroorganisme yang ada pada limbah dengan panjang gelombang 250-270 nm selama 30 menit (Lampiran 2). 3.2.2.3. Penentuan konsentrasi limbah Penentuan konsentrasi limbah perlu dilakukan untuk melihat viabilitas atau kelangsungan hidup biakan mikrofungi pada media limbah. Masing-masing jenis mikrofungi uji yang telah dipotong, dimasukkan ke dalam wadah yang berisi limbah cair tahu dengan konsentrasi yang berbeda.
Pada tahap penentuan
konsentrasi limbah, konsentrasi uji yang digunakan adalah 75% (perlakuan A), 50% (perlakuan B), dan 25% limbah (perlakuan C). Pengencer yang digunakan adalah akuades. Konsentrasi tersebut akan dibandingkan dengan kontrol, yang berupa 100% limbah (perlakuan D), dan masing-masing perlakuan mendapatkan tiga kali pengulangan. Viabilitas inokulan mikrofungi uji akan dilihat selama enam hari, dengan asumsi pertumbuhan mikrofungi sudah mencapai fase log, bahkan mencapai fase stasioner selama rentang waktu tersebut. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Meletiadis (2004), mikrofungi dengan pertumbuhan yang lambat dapat mencapai fase log dalam waktu 72 jam atau tiga hari masa pertumbuhannya. 3.3. Penelitian utama Penelitian utama dilakukan setelah didapatkan konsentrasi limbah yang sesuai untuk viabilitas inokulan mikrofungi. Pada tahap ini, pada limbah dengan konsentrasi terpilih tersebut dimasukkan mikrofungi uji dengan jenis yang berbeda-beda (selanjutnya disebut sebagai perlakuan). Limbah cair tahu dengan mikrofungi uji ditempatkan pada stoples kaca (2,5 l).
Kemudian dilakukan
pengukuran kandungan bahan organik yang terdapat dalam limbah tersebut serta
26
pencatatan pertumbuhan mikrofungi uji pada hari ke- 0; 1; 2; 3; 4; 5; 6. Pada penelitian ini, masing-masing perlakuan mendapatkan tiga kali ulangan. 3.4. Metode pengumpulan data 3.4.1. Analisis parameter kualitas air Keberadaan kandungan bahan organik dalam air limbah digambarkan melalui hasil pengukuran COD (Lampiran 3) serta N organik. Nilai N organik dihitung melalui selisih antara nilai N total dengan penjumlahan nilai NH3-N, NO3-N, dan NO2-N.
Selain pengukuran bahan organik, dilakukan juga
pengukuran DO, pH, kekeruhan, TDS, suhu, serta penentuan persentase penutupan untuk melihat pertumbuhan mikrofungi. 3.4.2. Analisis persentase perubahan nilai karakteristik limbah Analisis persentase perubahan nilai karakteristik limbah dimaksudkan untuk melihat perubahan nilai limbah yang diukur setiap hari. Hasil perubahan nilai karakteristik limbah dalam persen ditentukan dengan menggunakan rumus (Purwati, 1985 in Sukaton, 2007) : Persentase perubahan nilai karakteristik limbah =
a-b x 100 % a
dengan : a = Nilai pengamatan pada hari pertama b = Nilai pengamatan pada hari terakhir
3.5. Analisis statistik 3.5.1. Penelitian pendahuluan
Pada penelitian pendahuluan, untuk melihat pengaruh perbandingan konsentrasi limbah terhadap pertumbuhan mikrofungi, digunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan rumus umum sebagai berikut: Yij = µ + βi + εij Yij
: Laju penurunan bahan organik pada konsentrasi ke-i, pada ulangan ke-k
β
: Rata-rata laju penurunan bahan organik
τi
: Pengaruh konsentrasi ke-i, i = 1, 2, 3, 4
εij
:
Komponen acak interaksi konsentrasi ke-i, ulangan ke-k, k = 1, 2, 3
27
Untuk melihat pengaruh keragaman dari variabel konsentrasi terhadap pertumbuhan mikrofungi, dalam penelitian ini dilakukan uji satu arah anova/Analisis of Variance (Tabel 3). Hipotesis yang digunakan adalah : HO : µ i = 0 (Faktor konsentrasi tidak ada pengaruhnya pada pertumbuhan mikrofungi) H1 : µ i ≠ 0 (Faktor waktu ada pengaruhnya pada pertumbuhan mikrofungi) Tabel 3. Tabel sidik ragam RAL Sunber Derajat bebas keragaman
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah (KT)
F hitung
F tabel 5% *)
Perlakuan
v1 = i-1
JKP
KTH = JKP/v1
KTH/KTG F(v1, v2)
Galat
v2 = (ki-1)-(i-1)
JKG
KTG = JKG/v2
Total
ki-1
JKT
Dikutip dari Mattjik dan Sumertajaya (2000) *) Keterangan: - i adalah total perlakuan - k adalah total ulangan untuk semua perlakuan - Bila F hitung < F 5 % tidak ada perbedaan nyata; H0 diterima - Bila F hitung > F 5 % ada perbedaan nyata; H1 diterima 3.5.2. Penelitian utama a. Pengaruh waktu terhadap penurunan bahan organik
Rancangan Acak Lengkap (RAL) digunakan juga pada penelitian utama untuk melihat keragaman konsentrasi bahan organik antarwaktu pada masingmasing jenis mikrofungi yang diujikan. Rumus umum yang digunakan adalah Yij = µ + τi + εij Yij
: Laju penurunan bahan organik pada waktu ke-i, pada ulangan ke-k
µ
: Rata-rata laju penurunan bahan organik
τi
: Pengaruh waktu ke-i, i = 1, 2, 3, 4, 5, 6
εij
:
Komponen acak interaksi waktu ke-i, ulangan ke-k, k = 1, 2, 3
28
Untuk melihat pengaruh keragaman dari variabel waktu terhadap penurunan konsentrasi bahan organik, dalam penelitian ini dilakukan uji satu arah anova/Analisis of Variance (Tabel 3). Secara umum hipotesis yang digunakan adalah H0
: µi = 0
H1
: µi ≠ 0
Hipotesis tersebut menjelaskan bahwa pada limbah cair tahu dengan jenis mikrofungi tertentu, waktu memberikan pengaruh yang sama terhadap rata-rata laju penurunan konsentrasi bahan organik (H0). Atau minimal ada satu perlakuan waktu memberikan pengaruh yang berbeda terhadap rata-rata laju penurunan konsentrasi bahan organik (H1). b. Pengaruh jenis mikrofungi terhadap penurunan bahan organik
Untuk melihat jenis mikrofungi yang memberikan pengaruh terhadap penurunan konsentrasi bahan organik, digunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dalam waktu. Rumus umum yang digunakan adalah Yijk = µ + αi + δij + ωk + γjk + αωik + εijk Yijk
: Laju penurunan bahan organik
µ
: Rata-rata laju penurunan bahan organik
αi
: Pengaruh jenis mikrofungi ke-i, i = 1, 2, 3, 4, 5
δij
:
ωk
: Pengaruh waktu ke-k, k = 1, 2, 3, 4, 5, 6
γjk
:
αωik
: Pengaruh interaksi dari mikrofungi ke-i dan waktu ke-k
εijk
: Komponen acak interaksi waktu dan perlakuan
Komponen acak perlakuan Komponen acak waktu
Uji yang digunakan pada tahap ini adalah MANOVA/Multivariate Analisis of Variance (Tabel 4) dan Profil Plot (grafik rata-rata nilai tengah).
Beberapa hipotesis yang diuji adalah pengaruh faktor jenis mikrofungi, waktu, serta interaksi antara faktor jenis mikrofungi dan waktu, dengan bentuk hipotesis sebagai berikut:
29
a. HO : Tidak ada pengaruh dari waktu terhadap penurunan konsentrasi bahan organik H1 : Ada pengaruh dari waktu terhadap penurunan konsentrasi bahan organik b. HO : Tidak ada pengaruh dari faktor jenis mikrofungi terhadap penurunan konsentrasi bahan organik H1 : Ada pengaruh dari dari faktor jenis mikrofungi terhadap penurunan konsentrasi bahan organik c. HO : Tidak ada pengaruh dari interaksi faktor jenis mikrofungi dan waktu pada penurunan konsentrasi bahan organik H1 : Ada pengaruh dari Interaksi faktor jenis mikrofungi dan waktu terhadap penurunan konsentrasi bahan organik
Tabel 4. Tabel sidik ragam RAL dalam waktu Sunber keragaman perlakuan jenis (a)
Derajat bebas a-1
Jumlah Kuadrat JKA
Kuadrat Tengah (KT) KTA
waktu (b)
b-1
JKB
KTB
jenis*waktu
(a-1)(b-1)
JKAB
KTI
Galat jenis (a)
a(r-1)
JKG (a)
KTG (b)
Galat waktu (b)
(ab-b)(r-1)
JKG (b)
KTG (b)
Total
abr-1
JKT
JKT
F hitung KTA/KTG (a)
F tabel 5% F(v1, v2)
KTAI/KTG (b)
Sumber modifikasi dari Mattjik dan Sumertajaya (2000) Keterangan: - i adalah total perlakuan - r adalah total ulangan untuk semua perlajuan - Bila F hitung < F 5 % tidak ada perbedaan nyata; H0 diterima - Bila F hitung > F 5 % ada perbedaan nyata; H1 diterima
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil 4.1.1. Penelitian pendahuluan 4.1.1.1. Biodiversitas mikrofungi akuatik dari Telaga Warna Jenis mikrofungi akuatik yang ditemukan dari perairan Telaga Warna merupakan fungi jenis kapang.
Sebelas spesies mikrofungi ditemukan pada
musim kemarau dan 15 spesies pada musim hujan. Kapang yang ditemukan pada musim kemarau adalah Mucor hiemalis, Mucor plumbeus, Mucor substilissimus, Abisidia spinosa, Aspergillus niger, Aspergillus conicus, Penicillium viridicatum, Penicillium rugulosum, Trichoderma koningii, Acremonium strictum, dan Cephalosporium acremonium. Yang ditemukan pada musim hujan adalah Mucor rouxianus, Mucor ramannianus, Mucor genevensis, Mucor jansseni, Mucor pussilus, Rhizopus cohnii, Rhizopus stolonifer, Rhizopus oryzae, Penicillium rugulosum, Cephalosporium acremonium, Penicillium citrinum, Penicillium urticae, Penicillium spinulosum, Aspergillus amstelodami, dan Monilia humicola. Deacon (1997) dan Alexopoulos et al. (1996) in Sigee (2005) membagi fungi dalam filum Chitrdiomycota, Zygomycota, Ascomycota, Basidiomycota, dan Deuteromycota. Isolat mikrofungi yang didapat dari perairan Telaga Warna termasuk ke dalam filum Zygomycota dan Deuteromycota (Tabel 5). Karakteristik visual mikrofungi yang ditemukan di Perairan Telaga dapat dilihat pada Lampiran 4. Jenis-jenis kapang tersebut, sebagian memiliki dampak yang negatif bagi kesehatan, seperti Aspergillus conicus yang memiliki pertumbuhan sangat cepat. Spora Aspergillus mudah sekali terbawa udara sehingga mudah terhirup oleh manusia dan dapat mengganggu kesehatan, diantaranya mengganggu sistem kekebalan tubuh, dan sistem syaraf (Kuhn dan Ghannoum 2003). Oleh karena itu, mikroorganisme uji yang digunakan dalam peneltian ini adalah Penicillium rugulosum, Penicillium viridicatum, Acremonium strictum, Cephalosphorium acremonium, dan Abisidia spinosa. Mikrofungi uji yang digunakan, sebelumnya telah diujikan untuk mendegradasi minyak (Widiyanti 2007), dan dapat digunakan untuk mengolah air limbah (Guest dan Smith 2007). Selain itu, mikrofungi juga
31
mampu menghasilkan metabolit yang dapat dimanfaatkan untuk bioleaching; serta menghasilkan antifungal yang digunakan dalam bidang farmasi (Breen 1995; Kisielowska dan Kasińska-Pilut 2005). Tabel 5. Pengelompokan jenis-jenis mikrofungi akuatik yang terdapat di Danau Telaga Warna Filum
Kelas
Ordo
Famili
Genus
Spesies
Mucorb Zygomycotaa
Zygomycetesb
Mucoralesb
Mucoraceaeb
Rhizopusb Abisidiab Aspergillusb
Deuteromycotaa
Monilialesb
Penicilliumb
Trichodermab Acremoniumb Cephalosporiumb Moniliab
M. hiemalis M. plumbeus M. ramannianus M. substilissimus M. rouxianus M. genevensis M. jansseni M. pussilus R. stolonifer R. oryzae R. cohnii A.spinosa A. amstelodami A. niger A. conicus P. rugulosum P. viridicatum P. spinulosum P. citrinum P. urticae T.koningii A. strictum C. acremonium M. humicola
a. Deacon (1997) dan Alexopoulos et.al.(1996) in Sigee (2005) b. Fassatiová (1986) dan Gilman (1945) 4.1.1.2.
Penentuan konsentrasi limbah Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mendapatkan konsentrasi limbah
yang tepat bagi kelangsungan hidup mikrofungi. Konsentrasi uji yang digunakan adalah 75% (perlakuan A), 50% (perlakuan B), dan 25% limbah (perlakuan C). Konsentrasi tersebut dibandingkan dengan kontrol, yang berupa 100% limbah (perlakuan D). Berdasarkan
hasil
pengamatan,
ternyata
semua
limbah
dengan
konsentrasi yang diujikan dapat mendukung viabilitas inokulan mikrofungi. Hal
32
ini dicirikan dengan keberadaan inokulan yang tetap bertahan di permukaan media. Selain itu, mikrofungi uji mampu tumbuh pada media uji tersebut. Mikrofungi yang diujikan adalah Abisidia spinosa (AS); Cephalosphorium acremonium (CA) dan Penicillium rugulosum (PR). mengalami pertumbuhan hingga hari keempat.
Mikrofungi uji tersebut Berdasarkan
persentase
penutupan pada tiap perlakuan limbah, pertumbuhan mikrofungi uji tersebut berbeda.
Pertumbuhan mikrofungi tertinggi didapatkan pada perlakuan A,
berturut-turut diikuti oleh perlakuan D, B, dan C.
Persentase penutupan
mikrofungi pada hari keempat dapat dilihat pada Lampiran 5. Lambatnya pertumbuhan mikrofungi pada perlakuan D diduga karena tingginya konsentrasi bahan organik, sehingga mikrofungi sulit untuk mendekomposisi bahan organik yang ada dalam waktu singkat. Di samping itu, mikroorganisme uji dapat mengalami pertumbuhan yang lambat apabila media hidup kurang sesuai untuk pertumbuhannya, seperti pada perlakuan B dan C. Hal ini diduga karena berkurangnya konsentrasi bahan organik akibat pengenceran yang lebih dari 25%. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perbedaan konsentrasi limbah mempengaruhi pertumbuhan mikrofungi (p < 0,05) (Lampiran 6).
Hal ini
ditunjukkan melalui nilai rata-rata persentase penutupan masing-masing jenis mikrofungi pada masing-masing konsentrasi limbah yang berbeda. Untuk menentukan konsentrasi yang berbeda nyata dalam memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan, dilakukan uji lanjut menggunakan uji Tukey. Hasil analisis lanjut terhadap pertumbuhan mikrofungi jenis AS dan CA yang ditumbuhkan pada perlakuan A dan D berbeda dari yang ditumbuhkan pada perlakuan C dan B. Pertumbuhan mikrofungi jenis PR berbeda pada semua perlakuan limbah. Karena pada perlakuan A (75% limbah) terdapat pertumbuhan satu jenis mikrofungi yang relatif tinggi, maka untuk penelitian utama digunakan konsentrasi limbah 75%. Selain itu, berdasarkan hasil yang didapat secara visual, pada konsentrasi tersebut didapatkan pertumbuhan mikrofungi yang tercepat.
33
4.1.2. Penelitian utama Kemampuan
mikrofungi
uji
(Abisidia
spinosa,
Cephalosphorium
acremonium, Acremonium strictum, Penicillium rugulosum, dan Penicillium viridicatum) dalam mendekomposisi bahan organik pada limbah cair tahu dapat dilihat dari beberapa parameter kualitas air yang menggambarkan kandungan bahan organik dan penurunannya selama waktu penelitian. Disamping itu juga dapat dilihat pengaruh dari keberadaan bahan organik terhadap pertumbuhan mikrofungi tersebut. Berikut hasil pengukuran beberapa parameter kualitas air yang digunakan serta pertumbuhan mikrofungi yang diamati. 4.1.2.1. COD (Chemical Oxygen Demand) Keberadaan bahan organik yang terdapat pada limbah cair tahu dapat diketahui melalui Chemical Oxygen Demand (COD).
Hasil pengukuran
konsentrasi COD serta persentase penurunannya pada berbagai jenis mikrofungi serta kontrol disajikan pada Lampiran 7. Perubahan konsentrasi COD antar waktu pada masing-masing media (limbah cair tahu) dengan inokulan mikrofungi dan tanpa inokulan mikrofungi diuraikan sebagai berikut. A. Konsentrasi COD pada media dengan inokulan Abisidia spinosa (AS) Rata-rata konsentrasi COD antar waktu pada media dengan mikrofungi jenis AS berbeda nyata (p < 0,05) (Lampiran 8). Konsentrasi COD pada media dengan inokulan AS berkisar 1925-7000mg/l, dengan konsentrasi terendah terjadi pada H5 dan tertinggi pada H1 (Gambar 6).
Rata-rata COD (mg/l)
10000
8000
6000
4000
2000
0 0
1
2
3
4
5
6
Hari ke-
Gambar 6. Rata-rata konsentrasi COD pada limbah cair tahu dengan mikrofungi Abisidia spinosa
34
B. Konsentrasi COD pada media dengan inokulan Cephalosphorium acremonium (CA) Pada media dengan mikrofungi jenis CA, rata-rata konsentrasi COD antar waktu menunjukkan perbedaan yang nyata (p < 0,05) (Lampiran 8). Rata-rata konsentrasi COD pada media dengan inokulan CA berkisar 1300-7500 mg/l, dengan konsentrasi terendah terjadi pada H4 dan tertinggi pada H1 (Gambar 7).
Rata-rata COD (mg/l)
10000
8000
6000
4000
2000
0 0
1
2
3
4
5
6
Hari ke-
Gambar 7. Rata-rata konsentrasi COD pada limbah cair tahu dengan mikrofungi Cephalosphorium acremonium
C. Konsentrasi COD pada media dengan inokulan Acremonium strictum (ACST) Rata-rata konsentrasi COD pada media dengan inokulan ACST berkisar 1100-4800 mg/l, dengan konsentrasi terendah terjadi pada H4 dan tertinggi pada H0 (Gambar 8). Pada media dengan mikrofungi jenis ACST, rata-rata konsentrasi COD menunjukkan perbedaan antar waktu (p < 0,05) (Lampiran 8). D. Konsentrasi COD pada media dengan inokulan Penicillium rugulosum (PR) Konsentrasi COD tertinggi pada media dengan inokulan PR tertinggi terjadi pada pada H0, yaitu 4800mg/l. Sedangkan konsentrasi COD terendah terjadi pada H4, yaitu 1200 mg/l (Gambar 9). Pada media dengan mikrofungi jenis PR, rata-rata konsentrasi COD antar waktu berbeda (p < 0,05) (Lampiran 8).
35
Rata-rata COD (mg/l)
10000
8000
6000
4000
2000
0 0
1
2
3
4
5
6
Hari ke-
Gambar 8. Rata-rata konsentrasi COD pada limbah cair tahu dengan mikrofungi Acremonium strictum
Rata-rata COD (mg/l)
10000
8000
6000
4000
2000
0 0
1
2
3
4
5
6
Hari ke-
Gambar 9. Rata-rata konsentrasi COD pada limbah cair tahu dengan mikrofungi Penicillium rugulosum E. Konsentrasi COD pada media dengan inokulan Penicillium viridicatum (PV) Rata-rata konsentrasi COD antar waktu pada media dengan mikrofungi jenis AS pun menunjukkan perberbedaan yang nyata (p < 0,05) (Lampiran 8). Konsentrasi COD pada media dengan inokulan AS memiliki kisaran antara 10004800 mg/l, dengan konsentrasi terendah terjadi pada H6 dan tertinggi pada H1 (Gambar 10).
36
Rata-rata COD (mg/l)
10000
8000
6000
4000
2000
0 0
1
2
3
4
5
6
Hari ke-
Gambar 10. Rata-rata konsentrasi COD pada limbah cair tahu dengan mikrofungi Penicillium viridicatum F. Konsentrasi COD pada media tanpa inokulan mikrofungi (kontrol) Secara temporal konsentrasi COD pada kontrol sama halnya dengan konsentrasi COD pada media dengan inokulan mikrofungi, yaitu berbeda nyata (p < 0,05) (Lampiran 8).
Kisaran rata-rata konsentrasi COD pada media tanpa
inokulan mikrofungi yaitu 1300-8000 mg/l. Konsentrasi tertinggi terjadi pada H2, sedangkan konsentrasi COD terendah terjadi pada H4 (Gambar 11).
Rata-rata COD (mg/l)
10000
8000
6000
4000
2000
0 0
1
2
3
4
5
6
Hari ke-
Gambar 11. Rata-rata konsentrasi COD pada limbah cair tahu tanpa mikrofungi
37
G. Perbandingan kemampuan antar jenis mikrofungi dalam menurunkan konsentrasi COD Nilai COD untuk semua perlakuan pada awal penanaman inokulan (H0) adalah 4800 mg/l. Setelah diberi inokulan mikrofungi dengan jenis yang berbeda, ternyata tidak semuanya memberikan penurunan kadar bahan organik pada limbah secara langsung. Penurunan konsentrasi COD tercepat setelah H0 dicapai oleh media dengan inokulan ACST, PR, dan PV. Nilai COD menurun hingga hari kedua pengamatan (H2), yaitu 47,92% untuk media dengan ACST, 63,54% untuk media dengan PR, dan 73,96% untuk media dengan PV. Namun pada hari berikutnya (H3), keberadaan bahan organik pada limbah tahu yang diberi inokulan tersebut cenderung menaik, dan mengalami fluktuasi hingga akhir pengamatan. Konsentrasi COD pada perlakuan ACST, PR, PV mulai dari H3 hingga H6 berkisar antara 1000-3600 mg/l. Hal yang berbeda ditemukan pada media yang diberi inokulan AS, CA, serta media tanpa inokulan mikrofungi (K). Pada perlakuan tersebut, konsentrasi COD setelah H0 mengalami kenaikan menjadi 7000 mg/l bagi perlakuan AS; 7500 mg/l untuk perlakuan CA, dan 5000 mg/l untuk kontrol (K). Kenaikan yang terjadi pada H1 tersebut tetap berlangsung hingga H2 bagi perlakuan K, menjadi 8000 mg/l. Penurunan nilai COD untuk K terjadi pada H3, sedangkan untuk AS dan CA terjadi pada H2. Penurunan yang terjadi pada AS dan K menunjukkan nilai yang relatif lebih besar daripada H0 yaitu 5933,3 dan 6250 mg/l, sehingga persentase penurunannya dari H0 adalah sebesar -30,2 dan -23,6 %. Sementara itu, CA menunjukkan penurunan yang tajam dari hari sebelumnya (H1) menjadi 3100 mg/l, atau terjadi penurunan sebesar 35,4 % dari H0. Nilai COD untuk AS, CA, dan K kembali berfluktuasi pada hari berikutnya (H4) hingga akhir pengamatan (H6). Kenaikan dan penurunan rata-rata konsentrasi COD selama enam hari pada masing-masing media yang diberi inokulan mikrofungi dan tanpa inokulan, dapat dilihat pada Gambar 12. Hasil analisis statistik (Lampiran 9) menunjukkan bahwa perbedaan waktu, jenis-jenis mikrofungi, serta interaksinya mempengaruhi kandungan bahan oganik pada limbah tahu (p < 0,05). Hal ini ditunjukkan melalui nilai rata-rata
38
konsentrasi COD yang berbeda.
Untuk menentukan jenis mikrofungi yang
berbeda nyata dalam memberikan pengaruh terhadap penurunan konsentrasi COD, dilakukan uji lanjut menggunakan uji Tukey.
Hasil analisis lanjut terhadap
penurunan konsentrasi COD oleh perlakuan mikrofungi jenis ACST, PR, dan PV berbeda dari perlakuan mikrofungi jenis AS, CA, dan kontrol.
Rata - rata COD (mg/l)
10000
8000
6000
4000
2000
0 0
1
2
3
4
5
PR
PV
6
Hari keAS
CA
ACST
K
Gambar 12. Rata-rata konsentrasi COD (mg/l) pada limbah cair tahu pada tiap perlakuan fungi (Keterangan: AS: Abisidia spinosa, CA:Cephalosphorium acremonium, ACST: Acremonium strictum, PR: Penicillium rugulosum, PV:Penicillium viridicatum, K: tanpa mikrofungi) 4.1.2.2. Pertumbuhan mikrofungi Pertumbuhan mikrofungi uji pada limbah cair tahu dapat dilihat melalui persentase penutupan pada permukaan media.
Selama pengamatan, masing-
masing mikrofungi uji memiliki fase pertumbuhan yang berbeda antara jenis yang satu dengan yang lainnya. Fase pertumbuhan tersebut dapat dilihat melalui kurva pertumbuhan mikrofungi. a. Persentase penutupan Persentase penutupan menunjukkan kemampuan mikrofungi dalam memanfaatkan bahan organik yang digunakan untuk pertumbuhannya. Persentase penutupan untuk semua perlakuan pada awalnya (H0) adalah sebesar 7,71%. Mikrofungi yang diinokulasikan pada media limbah, ternyata tidak semuanya dapat mengalami pertumbuhan. Media limbah, baik yang diberi isolat mikrofungi
39
ataupun tidak, ternyata ditumbuhi oleh mikrofungi jenis lain (MX) dan munculnya suatu lapisan seperti lapisan minyak (LM).
Keberadaan mikroorganisme
kontaminan pada limbah cair tahu dapat dilihat pada Gambar 13. Berdasarkan hasil identifikasi, mikrofungi jenis lain yang tumbuh pada media adalah Aspergillus sp., dan lapisan keruh yang menyerupai minyak tersebut adalah bakteri. Grafik pertumbuhan mikroorganisme yang terjadi pada limbah cair tahu tersebut dapat dilihat pada Gambar 14, dengan nilai rata-rata dari persen penutupan yang dapat dilihat pada Lampiran 10.
Gambar 13. Keberadaan mikroorganisme kontaminan pada media (MX: Mikrofungi kontaminan; LM: Lapisan minyak) Mikrofungi jenis Abisidia spinosa (AS), ternyata tidak memperlihatkan penambahan persen penutupan. Abisidia spinosa hingga hari kesatu (H1) masih terdapat di permukaan media, namun pada hari berikutnya (H2) inokulan AS mulai tenggelam. Inokulan mikrofungi dengan media agar yang tenggelam pada perlakuan tersebut diduga mengalami kematian. Disamping itu, penutupan di bagian permukaan didominasi oleh LM dan MX. LM mendominasi pada hari keempat (H4) sebesar 61,67%, sedangkan persentase penutupan oleh mikrofungi jenis lain (MX) adalah 22%. Pada pengamatan hari kelima (H5), persentase penutupan tidak didominasi oleh lapisan minyak, melainkan oleh MX sebesar 53,33%; sementara LM sebesar 33,33%. Pada hari terakhir pengamatan (H6), baik LM maupun MX mengalami penurunan.
100
Persentase penutupan (%)
Persentase penutupan (%)
40
80 60 40 20 0 0
1
2
3
4
5
100 80 60 40 20 0
6
0
1
2
Hari ke-
100 80 60 40 20 0 1
2
3
4
5
6
4
5
6
20 0 0
1
2
60 40 20 0 3
3
PR Persentase penutupan (%)
Persentase penutupan (%)
5
40
Hari ke-
80
4
5
100 80 60 40 20
6
0 0
1
Hari ke-
2
3 Hari ke-
PV AS
4
60
6
100
2
6
80
ACST
1
5
100
Hari ke-
0
4
CA Persentase penutupan (%)
Persentase penutupan (%)
AS
0
3 Hari ke-
K CA
ACST
PR
PV
MX
LM
Gambar 14. Persentase penutupan mikroorganisme pada limbah cair tahu pada tiap jenis mikrofungi (Keterangan: AS: Abisidia spinosa, CA: Cephalosphorium acremonium, ACST: Acremonium strictum, PR: Penicillium rugulosum, PV:Penicillium viridicatum, K: tanpa mikrofungi)
41
Selain
AS,
inokulan
mikrofungi
jenis
lainnya
ternyata
dapat
memperlihatkan penambahan persen penutupan pada media limbah cair tahu, meskipun pertumbuhan dari berbagai jenis isolat tersebut dicapai dalam waktu yang berbeda-beda.
Inokulan jenis Cephalosphorium acremonium (CA)
mengalami penambahan persentase penutupan pada hari ke-5 (H5) sebesar 10%. Pertumbuhan LM didapatkan mulai H1, sementara MX mulai tumbuh pada H2, masing-masing dengan persentase penutupan sekitar 0,1 dan 22,17%. Persentase penutupan LM mencapai maksimal pada H3 sedangkan MX pada H4. Persen penutupan dari LM dan MX mengalami penurunan ketika CA mengalami pertambahan persen penutupan.
Kondisi yang berkebalikan terjadi pada hari
terakhir pengamatan, CA mengalami penurunan menjadi 7,71%, sedangkan LM serta MX kembali meningkat sebesar 1,67 dan 31,67%. ACST mengalami pertumbuhan pada H2 dengan persentase penutupan 10.71%, yang disertai dengan pertumbuhan LM sebesar 3,33%.
Persentase
penutupan ACST maupun LM bertambah pada H3, dan mulai muncul MX sebesar 0,5%.
Pertumbuhan ACST pada H4 tidak mengalami perubahan, dan terus
menurun hingga H6 menjadi 9,38%. Keadaan ini diikuti dengan fluktuasi pertumbuhan LM dan MX, dengan hubungan yang selalu terbalik. Hal ini dapat dilihat pada H4 dan H6. Ketika LM mengalami penurunan, MX mengalami peningkatan. Kondisi yang sebaliknya terjadi pada H5; ketika LM mengalami penurunan persen pentupan, MX mengalami pertambahan persen penutupan. Berbeda dari AS, CA, dan ACST, kenaikan pertumbuhan untuk jenis PR dan PV dicapai mulai dari H0 hingga H2. Hari berikutnya (H3) persen penutupan menurun drastis menjadi 0% yang disertai munculnya MX dan LM. Penurunan pertumbuhan PR dan PV berlangsung hingga hari terakhir pengamatan (H6), sedangkan MX dan LM mengalami fluktuasi setiap harinya. Pertumbuhan MX dan LM tidak hanya terdapat pada perlakuan media yang diberi inokulan mikrofungi, namun terdapat pula pada kontrol. Limbah cair tahu tersebut ditumbuhi MX pada H1 sebesar 1%, dan terus meningkat pada hari berikutnya (H2) menjadi 25%. Pada saat ini pula, LM mulai muncul dengan persentase penutupan sebesar 0,17%. Di saat (H3) MX mengalami penurunan
42
(20%), ternyata LM mengalami peningkatan (0,67%). Kondisi fluktuatif ini terus terjadi hingga H6. b. Fase pertumbuhan mikrofungi Persentase penutupan mikrofungi uji bila digambarkan dalam bentuk kurva, maka akan terlihat bahwa masing-masing jenis mikrofungi mencapai fasefase tertentu pada pertumbuhan dalam waktu yang berbeda-beda. Pertumbuhan mikrofungi uji pada media ada yang mengalami pertumbuhan secara cepat, lambat, bahkan tidak mengalami pertumbuhan. Pertumbuhan mikrofungi pada media dicirikan dengan adanya fase akselarasi yang dilanjutkan dengan fase log. Kurva pertumbuhan mikrofungi uji dapat dilihat dibawah ini (Gambar 15).
Pertumbuhan (Log (x +1))
2.0
1.5
1.0
0.5
0.0 0
1
2
3
4
5
6
Hari keAS
CA
ACST
PR
PV
Gambar 15. Kurva pertumbuhan mikrofungi pada limbah cair tahu (Keterangan: AS: Abisidia spinosa, CA:Cephalosphorium acremonium, ACST: Acremonium strictum, PR: Penicillium rugulosum, PV:Penicillium viridicatum, K: tanpa mikrofungi) Terlihat
pada
kurva
bahwa
mikrofungi
yang
tidak
mengalami
pertumbuhan yaitu AS, pada hari kesatu mengalami fase lag yang dilanjutkan dengan fase kematian pada hari berikutnya. Mikrofungi jenis ACST memperlihatkan terjadinya fase akselerasi setelah hari kesatu, kemudian dilanjutkan dengan fase log, dan setelah hari keempat baru terjadi fase penurunan.
43
Mikrofungi jenis CA menunjukkan pertumbuhan yang lebih lambat dibandingkan ACST. Fase lag pada CA berlangsung hingga hari keempat, kemudian pada hari kelima baru terjadi fase akselarasi yang dilanjutkan dengan fase log. Selain ACST dan CA, mikrofungi uji yang mengalami pertumbuhan adalah PR dan PV. Namun PR dan PV mencapai fase akselerasi dalam waktu yang lebih cepat dibandingkan ACST dan CA. PR pada hari kesatu mengalami fase akselarasi, dan pada hari kedua fase log telah dicapai. Mikrofungi jenis PV ternyata memulai fase log dalam waktu lebih cepat yaitu pada hari kesatu, dan fase penurunan pun dicapai dalam waktu yang lebih cepat yaitu pada hari kedua pengamatan. 4.1.2.3. N organik Indikator menurunnya bahan organik, selain diketahui dari nilai COD dapat juga dilihat melalui nilai N organik. Konsentrasi N organik pada awal pengamatan terukur sebesar 53,67 mg/l, dan nilai rata-rata N organik selama pengamatan serta persentase penurunannya dapat dilihat pada Lampiran 11. Perubahan konsentrasi N organik antarwaktu pada masing-masing media (limbah cair tahu) dengan inokulan mikrofungi dan tanpa inokulan mikrofungi adalah sebagai berikut. A. Konsentrasi N organik pada media dengan mikrofungi Abisidia spinosa (AS) Rata-rata konsentrasi N organik antarwaktu pada media dengan mikrofungi jenis AS berbeda nyata (p < 0,05) (Lampiran 12). Konsentrasi N organik pada media dengan inokulan AS berkisar 16,66-72,5 mg/l, dengan konsentrasi terendah terjadi pada H5 dan tertinggi pada H1 (Gambar 16). B. Konsentrasi N organik pada media dengan inokulan Cephalosphorium acremonium (CA) Pada media dengan mikrofungi jenis CA, rata-rata konsentrasi N organik antarwaktu menunjukkan perbedaan yang nyata (p < 0,05) (Lampiran12). Ratarata konsentrasi N organik pada media dengan inokulan CA berkisar antara 20,63 – 122,51 mg/l, dengan konsentrasi terendah terjadi pada H5 dan tertinggi pada H1 (Gambar 17).
44
Rata-rata N organik (mg/l)
140 120 100 80 60 40 20 0 0
1
2
3
4
5
6
Hari ke-
Gambar 16. Rata-rata konsentrasi N organik pada limbah cair tahu dengan mikrofungi Abisidia spinosa Rata-rata N organik (mg/l)
140 120 100 80 60 40 20 0 0
1
2
3
4
5
6
Hari ke-
Gambar 17. Rata-rata konsentrasi N organik pada limbah cair tahu dengan mikrofungi Cephalosphorium acremonium C.
Konsentrasi N organik pada media dengan inokulan Acremonium strictum (ACST) Rata-rata konsentrasi N organik pada media dengan inokulan ACST
berkisar 9,07-53,67 mg/l, dengan konsentrasi terendah terjadi pada H4 dan tertinggi pada H0 (Gambar 18). Pada media dengan mikrofungi jenis ACST, ratarata konsentrasi
N organik antarwaktu menunjukkan perbedaan yang nyata
(p < 0,05) (Lampiran 12). D. Konsentrasi N organik pada media dengan inokulan Penicillium rugulosum (PR) Konsentrasi N organik tertinggi pada media dengan inokulan PR tertinggi
45
terjadi pada pada H0, yaitu 41,01 mg/l, sedangkan konsentrasi N organik terendah terjadi pada H4, yaitu 9,26 mg/l (Gambar 19). Pada media dengan mikrofungi jenis PR, rata-rata konsentrasi N organik antarwaktu menunjukkan perbedaan yang nyata (p < 0,05) (Lampiran 12).
Rata-rata N organik (mg/l)
140 120 100 80 60 40 20 0 0
1
2
3
4
5
6
Hari ke-
Gambar 18. Rata-rata konsentrasi N organik pada limbah cair tahu dengan mikrofungi Acremonium strictum Rata-rata N organik (mg/l)
140 120 100 80 60 40 20 0 0
1
2
3
4
5
6
Hari ke-
Gambar 19. Konsentrasi N organik pada limbah cair tahu dengan mikrofungi Penicillium rugulosum E. Konsentrasi N organik pada media dengan inokulan mikrofungi Penicillium viridicatum Rata-rata konsentrasi N organik antarwaktu pada media dengan mikrofungi jenis PV pun menunjukkan perberbedaan yang nyata (p < 0,05) (Lampiran 12). Konsentrasi N organik pada media dengan inokulan PV memiliki
46
kisaran antara 13,94-53,67 mg/l, dengan konsentrasi terendah terjadi pada H4 dan tertinggi pada H0 (Gambar 20). Rata-rata N organik (mg/l)
140 120 100 80 60 40 20 0 0
1
2
3
4
5
6
Hari ke-
Gambar 20. Konsentrasi N organik pada limbah cair tahu dengan mikrofungi Penicillium viridicatum F. Konsentrasi N organik pada media tanpa inokulan mikrofungi (kontrol) Secara temporal konsentrasi N organik pada kontrol sama halnya dengan konsentrasi N organik pada media dengan inokulan mikrofungi, yaitu berbeda nyata (p < 0,05) (Lampiran 12).
Kisaran rata-rata konsentrasi N organik pada
media tanpa inokulan mikrofungi yaitu 15,89-90,58 mg/l. Konsentrasi tertinggi terjadi pada pada H2; sedangkan konsentrasi COD terendah terjadi pada H4 (Gambar 21).
Rata-rata N organik (mg/l)
140 120 100 80 60 40 20 0 0
1
2
3
4
5
6
Hari ke-
Gambar 21. Konsentrasi N organik pada limbah cair tahu tanpa mikrofungi
47
G. Perbandingan kemampuan antar jenis mikrofungi dalam menurunkan konsentrasi N organik Profil plot (grafik) rata-rata N organik menunjukkan pola yang serupa dengan COD (Gambar 22). Inokulan ACST, PR, dan PV mampu menurunkan konsentrasi N organik pada H1, sebesar 23,34; 23,59; 47,03%. Nilai N organik hingga H2 masih tetap mengalami penurunan, dan penurunan terbesar terdapat pada media dengan perlakuan PR yaitu sebesar; 81,60%. Namun pada hari berikutnya (H3), keberadaan bahan organik pada limbah tahu yang diberi inokulan tersebut cenderung menaik, dan mengalami fluktuasi hingga akhir pengamatan. konsentrasi N organik bagi perlakuan ACST, PR, dan PV mulai dari H3 hingga H6 berkisar antara 9,07 – 44,20 mg/l.
Rata - rata N organik (mg/l)
140 120 100 80 60 40 20 0 0
1
2
3
4
5
6
Hari keAS
CA
ACST
PR
PV
K
Gambar 22. Rata-rata konsentrasi N organik (mg/l) pada limbah cair tahu pada tiap perlakuan fungi (Keterangan: AS: Abisidia spinosa, CA: Cephalosphorium acremonium, ACST: Acremonium strictum, PR: Penicillium rugulosum, PV:Penicillium viridicatum, K: tanpa mikrofungi) Media dengan inokulan AS, CA, dan K pada H1 menunjukkan peningkatan konsentrasi N organik.
Penurunan mulai terjadi pada H2 untuk
perlakuan AS dan CA, sedangkan K mulai menurun pada H3. Penurunan N organik dengan perlakuan AS hanya berlangsung hingga H3 saja, yaitu 30,70%. Pada hari selanjutnya berfluktuasi dengan kisaran nilai 16,66–74,67 mg/l. Nilai N
48
organik dengan perlakuan CA turun hingga H5, dengan penurunan sebesar 61,56%. Sementara perlakuan tanpa inokulan (K) menurun secara gradual hingga H4 dengan persen penurunan 70,39%. Media dengan inokulan CA maupun K mengalami kenaikan konsentrasi N organik pada hari berikutnya, dengan nilai yang berkisar antara 18,00-39,54 mg/l. Hasil analisis statistik (Lampiran 13) menunjukkan bahwa perbedaan waktu, jenis-jenis mikrofungi, serta interaksinya mempengaruhi kandungan bahan oganik pada limbah tahu (p < 0,05). Hal ini ditunjukkan melalui nilai rata-rata konsentrasi N organik yang berbeda. Untuk menentukan jenis mikrofungi yang berbeda nyata dalam memberikan pengaruh terhadap penurunan konsentrasi N organik, dilakukan uji lanjut menggunakan uji Tukey.
Hasil analisis lanjut
terhadap penurunan konsentrasi N organik oleh perlakuan mikrofungi jenis ACST, PR, dan PV berbeda dari perlakuan mikrofungi jenis AS, CA, dan kontrol. 4.1.2.4. N anorganik Bentuk N anorganik yang dianalisis adalah Ammonia (NH3), Nitrit (NO2), dan Nitrat (NO3). Nilai rata-rata N anorganik pada masing-masing perlakuan selama pengamatan dapat dilihat pada Lampiran 14. Konsentrasi N anorganik pada limbah cair tahu, baik dengan pemberian inokulan mikrofungi maupun tanpa inokulan mikrofungi mengalami fluktuasi selama pengamatan. Konsentrasi ammonia tertinggi terdapat pada kontrol, sebesar 10,69 mg/l yang terjadi pada H1 dan konsentrasi terendah terdapat pada H4 pada perlakuan PR yaitu 0,53 mg/l. Rata-rata konsentrasi ammonia selama pengamatan dapat dilhat pada Gambar 23. Sama halnya dengan konsentrasi ammonia, konsentrasi nitrat tertinggi terdapat pada perlakuan K yang terjadi pada H1 (Gambar 24). Kisaran nilai ratarata konsentrasi nitrat untuk semua perlakuan adalah 0,12-7,10 mg/l.
49
Rata-rata Ammonia (mg/l)
12 10 8 6 4 2 0 0
1
2
3
4
5
6
PR
PV
Hari keAS
CA
ACST
K
Gambar 23. Rata-rata konsentrasi ammonia (mg/l) pada limbah cair tahu pada tiap perlakuan fungi Keterangan: AS: Abisidia spinosa Abisidia, CA: Cephalosphorium acremonium, ACST: Acremonium strictum, PR: Penicilium rugulosum, PV:Penicilium viridicatum, K: tanpa mikrofungi
Rata-rata Nitrat (mg/l)
8
6
4
2
0
0
1
2
3
4
5
PR
PV
6
Hari keAS
CA
ACST
K
Gambar 24. Rata-rata konsentrasi nitrat (mg/l) pada limbah cair tahu pada tiap perlakuan fungi (Keterangan: AS: Abisidia spinosa, CA: Cephalosphorium acremonium, ACST: Acremonium strictum, PR: Penicillium rugulosum, PV:Penicillium viridicatum, K: tanpa mikrofungi)
50
Nilai rata-rata konsentrasi nitrit pada limbah cair tahu selama pengamatan, berkisar antara
0,01–0,98 mg/l.
Konsentrasi nitrit tertinggi terdapat pada
perlakuan ACST pada H1, dan konsentrasi terendah dicapai pada H2 oleh perlakuan ACST serta PR (Gambar 25).
1.2
Rata-rata Nitrit (mg/l)
1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0
0
1
2
3
4
5
PR
PV
6
Hari keAS
CA
ACST
K
Gambar 25. Rata-rata konsentrasi nitrit (mg/l) pada limbah cair tahu pada tiap perlakuan fungi (Keterangan: AS: Abisidia spinosa, CA: Cephalosphorium acremonium, ACST: Acremonium strictum, PR: Penicillium rugulosum, PV:Penicillium viridicatum, K: tanpa mikrofungi) 4.1.2.5. TDS dan TSS Kekeruhan yang disebabkan oleh padatan terlarut pada limbah tahu, pada awal pengamatan (H0) terukur sebesar 728,50 mg/l.
Fluktuasi nilai TDS pada
media selama pengamatan dapat dilihat pada Gambar 26. Grafik TDS memperlihatkan adanya penurunan kekeruhan pada media dengan perlakuan ACST, PR, dan PV setelah 24 jam (H1). Penurunan kandungan padatan terlarut terus menurun hingga H2, dengan penurunan sebesar 71,86%; 71.45%; 83,93%. Mulai H3 hingga H6, nilai TDS mengalami fluktuasi dengan rentang nilai yang tidak melebihi nilai pada saat H0, yaitu 102,10–615,67 mg/l. Media
dengan
inokulan
AS,
CA,
dan
media
tanpa
inokulan
memperlihatkan kenaikan nilai TDS setelah H0. Penurunan TDS terjadi pada H2 bagi perlakuan AS dan CA, serta pada H3 bagi perlakuan K. Nilai TDS pada
51
perlakuan AS mengalami fluktuasi, dan mencapai penurunan terbesar pada H4 yaitu sebesar 82,36%. Perlakuan CA mengalami penurunan secara gradual hingga H5, yaitu 71,86%. Media tanpa inokulan (K) menunjukkan penurunan hingga H4, sebesar 78,04%. Secara umum nilai rata-rata TDS bagi perlakuan AS, CA, serta K adalah 160–1081,50 mg/l. Rata-rata konsentrasi dan persentase penurunan kekeruhan bagi semua perlakuan yang disebabkan padatan terlarut dapat dilihat pada Lampiran 15. 1200
Rata-rata TDS (mg/l)
1000
800
600
400
200
0 0
1
2
3
4
5
6
Hari keAS
CA
ACST
PR
PV
K
Gambar 26. Rata-rata konsentrasi TDS (mg/l) pada limbah cair tahu pada tiap perlakuan fungi (Keterangan: AS: Abisidia spinosa, CA: Cephalosphorium acremonium, ACST: Acremonium strictum, PR: Penicillium rugulosum, PV:Penicillium viridicatum, K: tanpa mikrofungi) Kekeruhan selain terukur melalui TDS, dapat juga terlihat melaui nilai TSS atau padatan yang tersuspensi pada media. Nilai awal TSS pada limbah cair tahu adalah 122 mg/l.
Pengukuran padatan yang tersuspensi pada semua
perlakuan ternyata mengalami peningkatan pada H1, dan berfluktuasi selama pengamatan. Rata-rata konsentrasi TSS beserta persentase penurunannya dapat dilihat pada Lampiran 15. Penurunan tertinggi dicapai oleh perlakuan PV pada hari ketiga (H3) sebesar 18,03%, dengan nilai 100 mg/l. Perubahan padatan
52
tersuspensi pada media selama awal hingga akhir pengamatan dapat dilihat pada Gambar 27. 700
Rata-rata TSS (mg/l)
600 500 400 300 200 100 0 0
1
2
3
4
5
6
Hari keAS
CA
ACST
PR
PV
K
Gambar 27. Rata-rata konsentrasi TSS (mg/l) pada limbah cair tahu pada tiap perlakuan fungi (Keterangan: AS: Abisidia spinosa, CA: Cephalosphorium acremonium, ACST: Acremonium strictum, PR: Penicillium rugulosum, PV:Penicillium viridicatum, K: tanpa mikrofungi) 4.1.2.6. pH Nilai pH limbah cair tahu dengan berbagai perlakuan pada awal pengamatan (H0) adalah 3,40. Nilai pH pada hari berikutnya (H1) untuk semua media, baik dengan inokulan mikrofungi maupun tanpa inokulan, memperlihatkan kecenderungan yang meningkat (Gambar 28). Nilai pH hingga akhir pengamatan berfluktuasi, namun masih berada dalam kondisi asam. Kisaran pH pada media dengan inokulan AS adalah 3,40– 4,3; CA sebesar 3,40–4,35; ACST sebesar 3,40–4,40;
PV sebesar 3,40–4,38;
PR adalah 3,40–4,06; serta K berkisar antara 3,40–4,13. Nilai rata-rata pH selama enam hari pengamatan dapat dilihat pada Lampiran 16.
53
4.6
Rata - rata pH
4.4 4.2 4.0 3.8 3.6 3.4 3.2 0
1
2
3
4
5
PR
PV
6
Hari keAS
CA
ACST
K
Gambar 28. Nilai rata-rata pH pada limbah cair tahu (Keterangan: AS: Abisidia spinosa Abisidia, CA: Cephalosphorium acremonium, ACST: Acremonium strictum, PR: Penicilium rugulosum, PV:Penicilium viridicatum, K: tanpa mikrofungi) 4.1.2.7. Oksigen terlarut (Dissolved oxygen) Kandungan oksigen pada media pada awal pengamtan terukur sebesar 0,20 mg/l. Keberadaan oksigen terlarut untuk masing-masing perlakuan cenderung menurun, meskipun pada H1 memperlihatkan kenaikan bagi beberapa perlakuan (Gambar 29). Kisaran oksigen terlarut untuk media dengan inokulan AS, CA, dan PR adalah 0,20–0,09 mg/l, ACST sebesar 0,20–0,11 mg/l, sedangkan K sebesar 0,20–0,12 mg/l.
Nilai rata-rata oksigen terlarut secara rinci dapat dilihat pada
Lampiran 16 . 4.1.2.8. Suhu Suhu media yang terukur selama penelitian berlangsung berkisar antara 27,83–30oC.
Nilai suhu pada media dengan inokulan dan tanpa inokulan
menunjukkan penurunan pada H1. Nilai rata-rata suhu pada masing-masing perlakuan selama pengamatan dapat dilihat pada Tabel 5.
Rata - rata oksigen terlarut (mg/l)
54
0.35 0.30 0.25 0.20 0.15 0.10 0.05 0
1
2
3
4
5
PR
PV
6
Hari keAS
CA
ACST
K
Gambar 28. Nilai rata-rata oksigen terlarut (mg/l) pada limbah cair tahu pada tiap perlakuan fungi (Keterangan: AS: Abisidia spinosa, CA: Cephalosphorium acremonium, ACST: Acremonium strictum, PR: Peniclilium rugulosum, PV:Penicillium viridicatum, K: tanpa mikrofungi)
Tabel 5. Nilai rata-rata suhu pada limbah cair tahu pada tiap perlakuan fungi Suhu (oC)
Hari ke
AS
CA
ACST
PR
PV
K
0
30,00
30,00
30,00
30,00
30,00
1
28,03
28,13
28,10
2
28,27
28,33
28,40
28,10 28,73
28,10 28,63
30,00 28,07 28,73
3
28,43
28,33
28,07
28,03
28,60
28,67
4
28,87
28,73
28,73
28,23
28,37
28,67
5
27,73
27,83
28,17
28,23
27,97
28,60
6
28,37
28,33
28,43
28,63
28,70
28,37
Keterangan: AS: Abisidia spinosa, CA: Cephalosphorium acremonium, ACST: Acremonium strictum, PR: Penicillium rugulosum, PV: Penicillium viridicatum, K: tanpa mikrofungi
55
4.2. Pembahasan 4.2.1. Hubungan antara keberadaan bahan organik dengan persen penutupan mikrofungi. Keberadaan bahan organik pada limbah cair tahu yang terukur melalui COD maupun N organik, diduga memiliki hubungan yang erat dengan tumbuhnya mikroorganisme pada media yang terukur melalui persen penutupan. Ilustrasi keterkaitan antara keberadaan bahan organik dengan persen penutupan oleh mikroorganisme dapat dilihat pada grafik hubungan COD dan persen penutupan mikrofungi (Gambar 30), serta grafik hubungan N organik dan persen penutupan mikrofungi (Gambar 31). Mikrofungi yang mampu tumbuh pada limbah tahu memperlihatkan pertambahan persentase penutupan, yang diikuti dengan penurunan konsentrasi bahan organik. Keadaan ini dapat kita temukan terutama pada media yang diberi perlakuan PR dan PV.
Hal tersebut menunjukkan bahwa mikrofungi
memanfaatkan bahan organik yang ada pada limbah cair tahu untuk pertumbuhannya. Selain PR dan PV yang mampu menurunkan konsentrasi N organik dalam waktu cepat, ada juga jenis mikrofungi yang dapat menurunkan bahan organik dan digunakan untuk pertumbuhannya, yaitu ACST.
Namun pada saat persen
penutupan ACST bertambah, tumbuh juga bakteri (LM) pada media tersebut. Keberadaan bakteri dikhawatirkan turut berkontribusi dalam penurunan kandungan bahan organik. Sebaliknya, keberadaan mikroorganisme lain juga dapat meningkatkan konsentrasi bahan organik, terutama saat pengukuran. Hal ini terlihat dari hasil pengukuran pada waktu-waktu tertentu yang menunjukkan bahwa pertambahan persentase penutupan tidak selalu disertai dengan menurunnya konsentrasi bahan organik.
6000
40
4000
20
2000
0
0 2
3
4
5
6
4000
20
2000
0
0 1
2
3
4
6000
40
4000
20
2000
0
0 2
3
4
5
Persentase Penutupan (%)
CA
60
80
8000
60
6000
40
4000
20
2000
0
0 1
2
3
4
Hari ke-
ACST
PR
8000
60
6000
40
4000
20
2000
0
0 2
3
4
5
Persentase Penutupan (%)
Hari ke-
80
80
8000
60
6000
40
4000
20
2000
0
0 0
6
1
2
3
4
PV
K PR
6
10000
Hari ke-
ACST
5
100
Hari ke-
CA
6
10000
0
10000
5
100
6
100
AS
40
AS
8000
1
6000
Hari ke-
80
0
60
Hari ke-
10000
1
8000
0
100
0
Persentase Penutupan (%)
1
COD (mg/l)
Persentase Penutupan (%)
0
80
COD (mg/l)
60
10000
COD (mg/l)
8000
100
PV
MX
LM
5
6
N Organik
Gambar 30. Konsentrasi COD limbah dan persentase penutupan tiap jenis mikrofungi (Keterangan: AS: Abisidia spinosa, CA: Cephalosphorium acremonium, ACST: Acremonium strictum, PR: Penicillium rugulosum, PV:Penicilium viridicatum, K: tanpa mikrofungi)
COD (mg/l)
80
Persentase Penutupan (%)
10000
COD (mg/l)
100
COD (mg/l)
Persentase Penutupan (%)
56
60
80
40
60 40
20
20
0
0 2
3
4
5
6
40
20
20
0
0 1
2
3
4
100 80
40
60 40
20
20
0
0 2
3
4
5
Persentase Penutupan (%)
CA
60
6
120
80
100
60
80
40
60 40
20
20
0
0 1
2
3
4
ACST
PR
80
100
60
80
40
60 40
20
20
0
0 2
3
4
5
6
Persentase Penutupan (%)
Hari ke-
120
120
80
100
60
80
40
60 40
20
20
0
0
0
1
2
3
4
PV
K PR
6
140
Hari ke-
ACST
5
100
Hari ke-
CA
6
140
0
140
5
100
Hari ke-
100
AS
60
AS
80
1
40
Hari ke-
120
0
80
0
140
1
100
60
Hari ke-
100
0
Persentase Penutupan (%)
1
N Organik (mg/l)
Persentase Penutupan (%)
0
120
80
PV
N Organik (mg/l)
100
140
N Organik (mg/l)
80
100
N Organik (mg/l)
120
N Organik (mg/l)
140
Persentase Penutupan (%)
100
N Organik (mg/l)
Persentase Penutupan (%)
57
MX
LM
5
6
N Organik
Gambar 31. Konsentrasi N organik limbah dan persentase penutupan tiap jenis mikrofungi (Keterangan: AS: Abisidia spinosa Abisidia, CA: Cephalosphorium acremonium, ACST: Acremonium strictum, PR: Penicilium rugulosum, PV:Penicilium viridicatum, K: tanpa mikrofungi)
58
Persentase penutupan mikrofungi uji pada hari berikutnya tetap, bahkan ada yang mengalami penurunan, dan bahan organik pun mengalami penurunan. Hal ini dapat disebabkan munculnya MX, mikrofungi jenis lain yang sama-sama memanfaatkan bahan organik untuk pertumbuhan. mikrofungi yang muncul adalah Aspergillus.
Dalam penelitian ini,
Mikrofungi jenis ini bersifat
kosmopolit, dan ditemukan pada aneka substrat (Gandjar et al., 1999). Terlebih lagi dengan tersedianya bahan organik pada media, Aspergillus dapat tumbuh dengan pesat. Hal ini menyebabkan ketersediaan bahan organik bagi mikrofungi uji tidak cukup untuk melakukan pertumbuhan, hanya untuk mempertahankan hidup saja.
Apabila ketersediaan bahan organik terus berkurang, maka
mikrofungi uji sudah tidak mampu lagi untuk mempertahankan hidup, sehingga mengalami kematian. Hal ini menunjukkan terjadinya persaingan antarjenis mikrofungi dalam pemanfaatan bahan organik. Mikrofungi yang mati tersebut pada dasarnya merupakan salah satu sumber bahan organik. Hal ini dapat menjadi alasan lain bagi peningkatan konsentrasi bahan organik selain disebabkan oleh kehadiran bakteri. Berdasarkan persentase penutupan, selalu ditemukan adanya hubungan yang terbalik antara bakteri dan mikrofungi. Ketika persen penutupan mikrofungi bertambah, persen penutupan lapisan minyak yang dimungkinkan berisi bakteri tersebut berkurang. Demikian pula sebaliknya. Hal ini terjadi karena bakteri dan mikrofungi ternyata bersaing dalam memanfaatkan bahan organik, dan akan ada salah satu yang mendominasi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Lindblom & Tranvik (2003), bahwa pertumbuhan fungi yang dibarengi dengan bakteri tidak akan tumbuh optimal. Terdapatnya hubungan yang antagonis pada dua kelompok mikroorganisme heterotrofik ini menyebabkan fungi tidak akan tumbuh baik bila dibarengi dengan bakteri, karena adanya kompetisi dalam kolonisasi serta kompetisi secara langsug dalam memanfaatkan nutrien. Kompetisi tersebut dapat kita lihat pada Gambar 14, yang pada akhirnya menunjukkan bahwa ada mikrofungi jenis tertentu yang benar-benar mampu memberikan penurunan bahan organik tanpa pengaruh mikroorganime lainnya. Jenis mikrofungi yang dimaksud adalah Penicillium rugulosum dan Penicillium
59
viridicatum. Mikrofungi tersebut mampu menurunkan konsentrasi bahan organik dalam waktu lebih cepat dibandingkan mikrofungi jenis lainnya. 4.2.2. Pertumbuhan Mikrofungi Sehubungan dengan adanya keterkaitan antara pertumbuhan mikrofungi dan ketersediaan bahan organik, Kecepatan pertumbuhan mikrofungi akan tergantung pada kondisi lingkungannya, salah satunya ketersediaan nutrien. Nutrien yang ada pada media akan digunakan oleh mikrofungi untuk melakukan perpanjangan hifa, dan bila ketersediaan nutrien tercukupi, maka akan terjadi perbanyakan sel.
Menurut Meletiadis et al. (2001), pada fase akselerasi,
keberadaan nutrien sangat penting untuk melakukan perpanjangan hifa. Selanjutnya bila karakteristik metabolik baik dari media ataupun mikrofungi itu sendiri terpenuhi, maka proses akan dapat berlanjut pada fase log. Pada Fase log akan terlihat pertambahan biomasa mikrofungi, karena pada tahap ini terjadinya perbanyakan jumlah sel. Mikrofungi yang mengalami pertambahan persen penutupan yang cepat mencapai fase log dengan cepat, seperti terlihat pada grafik kurva pertumbuhan (Gambar 15) .
Mikrofungi uji yang mengalami pertumbuhan cepat adalah
Penicillium rugulosum (PR) dan Penicillium viridicatum (PV). Kondisi media yang ada diduga dapat mendukung untuk pertumbuhan. Bahkan bila lingkungan tetap sesuai, fase log dapat berada dalam waktu yang lebih lama.
Seperti
mikrofungi jenis Acremonium strictum (ACST) yang mengalami pertumbuhan maksimal pada hari ketiga dan keempat. Laju pertumbuhan eksponensial akan berlangsung lama selama tidak ada perubahan dalam komposisi biomass dan kondisi lingkungan tetap konstan (Pirt 1975 in Gray 2004). Mikrofungi jenis Cephalosphorim acremonium (CA), telihat mengalami pertumbuhan yang lambat. Bila dilihat dari grafik, fase log terjadi antara hari keempat hingga hari kelima. Hal dimungkinkan terjadi karena mikrofungi jenis CA harus beradaptasi terlebih dahulu terhadap kondisi media yang ada. Pertumbuhan pada mikrofungi jenis AS berbeda dengan jenis mikrofungi lainnya. Pada limbah cair tahu, AS memiliki pertumbuhan yang langsung menurun setelah H1.
60
Pertumbuhan yang menurun atau declining phase akan terjadi bila ketersediaan nutrien tidak cukup atau kondisi lingkungan tidak sesuai. Apabila kondisi yang tidak sesuai tersebut tetap berlangsung, maka pertumbuhan akan terus berlanjut hingga fase stasioner, serta dapat berlanjut pada fase kematian. Pertumbuhan mikrofungi ditentukan oleh keberadaan bahan organik sebagai salah satu sumber nutrien. Apabila ketersediaan bahan organik yang dapat dimanfaatkan untuk nutrien tidak mencukupi, maka fungi akan menggunakan nitrogen anorganik sebagai sumber nutrisinya. Nitrogen anorganik yang dapat dimanfaatkan oleh mikrofungi adalah nitrat (Gunderson, 1967). Pada penelitian ini, diduga senyawa N anorganik yang terdapat pada media belum dimanfaatkan oleh mikrofungi. Pertumbuhan mikrofungi, selain ditentukan oleh keberdaan nutrien yang tersedia pada media, juga dipengaruhi oleh pH, suhu, dan oksigen (Van Leeuwen, 2003). Berdasarkan hasil pengamatan, nilai pH media berada dalam kisaran asam. Kondisi tersebut sebenarnya sesuai untuk pertumbuhan fungi, karena fungi lebih menyukai pH rendah atau dalam kondisi asam, yaitu berkisar antara 4–6 (Sigee, 2004). Selain itu, mikroorganisme seperti fungi dapat tumbuh dalam kisaran suhu yang luas. Bagi kebanyakan spesies saprofitik berkisar antara 22 sampai 30°C, dan suhu yang terukur pada media berada pada kissaran tersebut, yaitu antara 27,83 hingga 30oC. Faktor lain yang mempengaruhi pertumbuhan adalah DO. Oksigen terlarut pada penelitian ini mengalami penurunan setiap harinya, dengan kisaran konsentrasi antara 0,20–0,09 mg/l. Nilai DO kurang dari 2 mg/l menyebabkan terjadinya kondisi yang anaerob (Gray, 2004). Rendahnya DO mungkin menjadi salah satu penyebab tidak optimalnya pertumbuhan bagi mikrofungi jenis tertentu, dan bahkan mengalami kematian. Pada rentang DO yang sama, jenis AS mungkin tidak dapat hidup pada kondisi yang anaerob, sementara jenis PR dan PV dapat mentolerir keadaan tersebut tanpa tergganggu metabolismenya, sedangkan jenis CA masih dapat bertahan pada kondisi yang anaerob; namun dengan pertumbuhan yang tidak optimal. Hal ini sesuai dengan pendapat Panasenko (1967) yang menyatakan bahwa keberadaan oksigen yang minim, bagi beberapa jenis mikrofungi, dapat ditolerir.
61
Berdasarkan hasil penelitian ini terlihat bahwa pertumbuhan mikrofungi pada limbah cair tahu juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan, yaitu ketersediaan oksigen terlarut.
Dengan demikian, selain terjadinya kompetisi dalam
memanfaatkan nutrien antara mikrofungi uji dan mikroorganisme lainnya, keberadaan oksigen juga mempengaruhi pertumbuhan.
V.
Kesimpulan dan Saran
5.1. Kesimpulan Isolat mikrofungi yang didapatkan dari Perairan Telaga Warna pada musim kemarau adalah jenis Mucor hiemalis, Mucor plumbeus, Mucor substilissimus, Abisidia spinosa, Aspergillus niger, Aspergillus conicus, Penicillium
viridicatum,
Penicillium
rugulosum,
Trichoderma
koningii,
Acremonium strictum, Cephalosporium acremonium. Sedangkan yang ditemukan pada musim hujan adalah Mucor rouxianus, Mucor ramannianus, Mucor genevensis, Mucor jansseni, Mucor pussilus, Rhizopus cohnii, Rhizopus stolonifer, Rhizopus
oryzae,
Penicillium
rugulosum,
Cephalosporium
acremonium,
Penicillium citrinum, Penicillium urticae, Penicillium spinulosum, Aspergillus amstelodami, Monilia humicola. Mikrofungi jenis Penicillium viridicatum, dan Penicillium rugulosum, mampu menurunkan kandungan bahan organik pada limbah cair tahu dalam waktu yang lebih cepat dibandingkan dengan mikrofungi jenis Abisidia spinosa, Acremonium strictum, Cephalosporium acremonium.
5.2. Saran Perlunya penelitian lanjutan mengenai luasan inokulan mikrofungi yang digunakan dalam mereduksi bahan organik.
Penerapan mikrofungi untuk
mereduksi bahan organik dapat diujikan pada skala yang lebih besar, apabila ingin diaplikasikan untuk pengolahan limbah. Selain itu, mikrofungi uji yang terbaik dalam menurunkan bahan organik pada penelitian ini dapat diujikan pada jenis limbah yang berbeda.
DAFTAR PUSTAKA Ahmad, I., S. Zafar, F. Ahmad. 2005. Heavy metal biosorption potential of Aspergillus and Rhizopus sp. isolated from wastewater treated soil. Journal of Applied Science and Environmental Management. 9: 123 – 126. [APHA] American Public Health Association. 1976. Standard methods for the examination of Wwater and wastewater. 4th edition. American Public Health Association, Washington DC. 1193 p. Boyd, C.E. 1990. Water quality in ponds for aquaculture warmwater fish ponds. 1st printing. Auburn University Agricultural Experiment Station, Alabama, USA. 482 p. Buchalo, A.S., E.Nevo, S.P. Wasser, A.Oren, H.P. Molitores. 1998. Fungal life in the extermerly hypersaline water of the Dead Sea: first records. Proceeding of Royal Society London. 265: 1461-1465. Buss, L.W. 1983. Evolution, development, and the units of selection. Proceeding of National Academy Science USA. 80: 1387-1391. Dhahiyat, Y. 1990. Kandungan limbah cair pabrik tahu dan pengolahannya dengan eceng gondok (Eichhornia crassipes (Mart) Solms.). Tesis (tidak dipublikasikan). Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Davidson, F.A., B.D. Sleeman, A.D.M. Rayner, J.W. Crawford, K. Ritz. 1996. Context-dependt macroscopic patterns in growing and interacting mycelial networks. Proceeding of Royal Society London. 263: 873-880. Effendi, H. 2003. Telaah kualitas air bagi pengelolaan sumber daya dan lingkungan perairan. Kanisius. Yogyakarta. 258 hal. Fassatiová, O. 1986. Mould and filamentus fungi in technical microbiology. Churchill Livingstone Publ. Edinburgh, Great Britain. 217 p. Gandjar I, W. Sjamsuridzal, A. Oetari. 2006. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. 238 p.
Mikologi dasar dan terapan.
Gil, V. S., S. Pastor, G.J. March. 2007. Quantitative isolation of biocontrol agents Trichoderma spp., Gliocladium spp. and actinomycetes from soil with culture media (in press). Microbiology Research. Elsevier. 10 p Gilman, J. C. 1945. A Manual of soil fungi. The Iowa State College Press. Florida. 392 p. Gray, N.F. 2004. Biology of wastewater treatment. 2nd edition. Imperial college press. University of Dublin, Ireland. 1395 p.
64
Grishkan, I., A. B. Korol, E. Nevo, S.P. Wasser. 2002. Ecological stress and sex evolution in soil microfungi. Proceeding of Royal Society London. 270: 13-18. Guest, R.K., Smith, D.W. 2007. Isolation and screening of fungi to determine potential for ammonia nitrogen treatment in wastewater. Journal of Environmental Engineering Science. 6: 209-217. Gundersen, K. 1967. Nitrite as a nutrient for microfungi of the outer stem cortex of pine and spurce and its toxicity to Fommes annosus. SKOGSHŐGSKOLAN, Royal College of Forestry, Stockholm. 24 p. Kisielowska, E., E. Kasińska-Pilut. 2005. Copper bioleaching from after flotation waste using microfungi. Acta Montanistica Slovaca Ročník. 10: 156-160. Kurosu, O. 2001. Nitrogen removal from wastewater in microalgal-bacterial treatment ponds. http://ist-socrates.berkley.edu/es196/projects/2001final/kurosu.pdf (13 September 2007) Illyas, M., M. Rahmansyah, A. Kanti. 2006. Penelitian Biologi LIPI. Bogor. 42 hal.
Teknik isolasi fungi.
Pusat
Laitung, B., E. Chauvet, N. Feau, K. Fève, L. Chikhi, M. Gardes. 2004. Genetic diversity in Tetrachaetum elegans, a mitosporic aquatic fungus. Molecular Ecology. 13: 1679–1692. Leung, P.H., J.Y. Wu. 2007. Effects of ammonium feeding on the production of bioactive metabolites (cordycepin and exopolysaccharides) in mycelial culture of a Cordyceps sinensis fungus. Journal of Applied Microbiology. 103: 1942–1949. Lindblom, C. M., L.J. Tranvik. 2003. Antagonism between bacteria and fungi on decomposing aquatic plant litter. Microbiology Ecology. 45: 173–182. Manoharachary, C., K. Sridhar, R. Singh, A. Adholeya, T. S. Suryanarayanan, S. Rawat, B. N. Johri. 2005. Fungal biodiversity: distribution, conservation and prospecting of fungi from India. Current Science. 89: 58-71. Mattjik, A.A., I.M.Sumartajaya. 2002. Perancangan percobaan dengan aplikasi SAS dan Minitab. Ed ke 8. Bogor: IPB Press. 282 hal. Meletiadis, J., J. F. G. M. Meis, J. W. Mouton, P. E. Verweij. 2001. Analysis of growth characteristics of filamentous fungi in different nutrient media. American Society for Microbiology. 39: 478–484.
65
Nurhasan, Bb. Pramudyanto. 1991. Penanganan air limbah pabrik tahu. Yayasan Bina Karya Lestari (Bintari). http://www.menlh.go.id/usaha-kecil/ Quoreshp, A.M., I. Ahmad, D. Malloch, J. A. Hellebust. 1995. Nitrogen metabolism in the ectomycorrhizal fungus Hebeloma crustuliniforme. New Phytology. 131: 263-27. Pagluiso, J.D., F.H. Passig, L.C.H. Villela 2002. Odour treatment and energy recovery in anaerobic sewage treatment plants. Latin American workshop and symposium on anaerobic digestion 7. Mèrída, Yucatan. UNAM, Instituto de Ingenieria. 8p. Panasenko, V., T. 1967. Ecology of microfungi. The Botanical Review. 3: 189215. Paulus, B. C., J. Kanowski, P.A. Gadek, K.D. Hyde. 2006. Diversity and Distribution of saprobic microfungi in leaf litter of an Australian tropical rainforest. Mycology Research. 110: 1441-1454. Pelczar, Jr., E.C.S Chan. 1986. Dasar-dasar mikrobiologi. Universitas Indonesia (VI-Press). Jakarta. 433 hal. Pratiwi, N.T.M., M. Krisanti, I.P. Ayu. 2006. Struktur komunitas plankton di Telaga Warna. Prosiding (Badan Lingkungan, Bioteknologi dan Pendidikan Biologi) Seminar Biologi: Meningkatkan peran biologi dan pendidikan biologi dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan biologi. LPMP, 26 Agustus 2006, Semarang. Jurusan Biologi-FMIPA, UNES. 8895. Sigee, D.C. 2004. Freshwater microbiology; biodiversity and dynamic interaction of microorganism in the freshwater environment. John Wiley & Sons Ltd, The Atrium, Southern Gate, Chichester, West Sussex PO 19 8SQ. England. 425p. Sukaton E. 2007. Penggunaan jamur Sporotrichum sp untuk pengolahan limbah cair dari proses pemasakan pulp sistem kraft (Degradation of kraft pulping residue by Sporotrichum sp). http://www.udarakota.bappenas.go.id [5 Februari 2007] Sylvi, D. 2001. Pengolahan limbah tahu dalam reaktor anaerobik fluidized bed. Tesis (tidak dipublikasikan). Institut Pertanian Bogor. Bogor. Trinci, A.P.J., E.G Cutter. 1986. Growth and form in lower plants and the occurrence of meristems. Philosophical Transaction of Royal Society. London. 313: 95-113.
66
Van leeuwen, J.H., HU, Z., YI, T., Pomett, A. L., Jin, B. 2003. Kinetic model for selective cultivation of microfungi in a microscreen process for food processing wastewater treatment and biomass production. Acta Biotechnology. 23: 289–300. Wardiatno, Y., I. Anggraeni, R. Ubaidillah, I. Maryanto. 2003. Profil dan permasalah perairan tergenang (situ, rawa, danau). Di dalam: Ubaidillah, R., Maryanto, I., editor. Manajemen bioregional Jabodetabek: Profil dan strategi pengelolaan situ, rawa, dan danau. LIPI. 101-105. Warisno. 1994. Air Limbah Tahu Dapat Diolah untuk Membran "sound system" http://
[email protected]. [23 Oktober 2006]. Widiyanti, D.A.D. 2007. Pemanfaatan mikrofungi akuatik (Acremonium strictum dan Mucor hiemalis) sebagai bioremediator dalam perbaikan kualitas air yang tercemar minyak nabati. Skripsi (tidak dipublikasikan). Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan , Institut Pertanian Bogor. Bogor. Wong, M. K. M., T.K. Goh, J. Hodgkiss, K. D. Hyde, V. M. Ranghoo, C. K. M. Tsui, W.H. Ho, W. S. W. Wong, dan T.K. Yuen. 1998. Role of fungi in freshwater ecosystems. Biodiversity and Conservation. 7: 1187-1206. Yusuf, G. 2001. Kemampuan tanaman air pada proses bioremediasi limbah rumah tangga dalam skala kecil dengan sistem simulasi. Disertasi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. http://www. jukungkami.files.wordpress.com [20 Juni 2008].
Lampiran 1. Potatoes Dextrose Agar (PDA) PDA merupakan media padat yang digunakan untuk menumbuhkan mikrofungi secara plate, dengan komposisi sebagai berikut: Tepung Kentang ................... 4 gram Dextrose .............................. 20 gram. Agar .................................... 15 gram Akuades .............................. 1000 ml Cara pembuatan media agar (PDA) adalah: 1. Media PDA dilarutkan dengan konsentrasi 39 g/l artinya 39 gr PDA dilarutkan dalam 1 l aquades pada gelas erlemenyer. Larutan PDA diaduk sampai larut dengan mengunakan stirer dan dipanaskan dengan suhu 125 ° C selama ±10 menit secara bersamaan. 2. Setalah PDA larut, maka gelas erlemeyer yang berisi lamtan PDA tersebut ditutup secara rapat dengan menggunakan kapas untuk menghindari adanya kontaminan. Media PDA dalam erlenmeyar tersebut disterilisasi dengan menggunakan autoclave pada suhu 121-145 °c seIama 1±15 menit. 3. Setelah disterilisasi, media tersebut dibiarkan sampai hangat (suhu 37-45°C), lalu
media tersebut dituangkan ke dalam cawan petri dengan volume 15
ml/cawan petri. Selama penuangan media PDA ke cawan petri diharuskan dekat dengan api bunsen untuk mencegah adanya kontaminan. 4. Media PDA yang sudah dituang ke cawan petri dibiarkan 5-10 menit sampai media tersebut menjadi padat.
68
Lampiran 2. Treatment limbah dengan menggunakan UV
69
Lampiran 3. Prosedur pengukuran COD (APHA, 1976)
Prosedur pengukuran COD menggunakan metode Refluks terbuka, yaitu: 1. Pipet 10 ml sampel masukkan ke dalam erlenmeyer 2. Tambahkan 5 ml K2Cr2O7 0,025 N , aduk 3. Masukkan H2SO4 (15 ml) 4. Tutup erlenmeyer dengan cawan petri untuk mencegah masuknya material asing . Biarkan selama 30 menit 5. Setelah selesai buka tutupnya lalu dinginkan 6. Encerkan larutan sampel dengan 7,5 ml aquades 7. titrasi kelebihan K2Cr2O7 menggunakan FAS 0,025 N (Ferros Amonium Sulfat), sebelumnya tambahkan indikator ferroin 2-3 tetes sampai terbentuk warna hijau biru dan titik akhir titrasi ditandai dengan perubahan warna menjadi merah bata yang stabil dalam 1 menit. Catat ml titran (A ml) 8. Lakukan blanko (10 ml aquades + prosedur 2-7 di atas) ,catat ml titran (B ml)
Perhitungan:
(B-S) x N x 8 x 1000 COD (mg/L) = ----------------------ml sampel Keterangan: A
= ml FAS yang terpakai untuk blanko
B
= ml FAS yang terpakai untuk sampel
8 x 1000 = miliekivalen bobot Oksigen x 1000 ml/l N
= Molaritas FAS (0,025 N)
70
Lampiran 4. Karakteristik mikrofungi akuatik di perairan Telaga Warna
Keterangan: A. Koloni mikrofungi tampak muka ( = 10 cm); B. Koloni mikrofungi tampak belakang ( = 10 cm); C. Morfologi mikrofungi (perbesaran 400x); D. Sketsa mikrofungi
71
Lampiran 4. (lanjutan)
Keterangan: A. Koloni mikrofungi tampak muka ( = 10 cm); B. Koloni mikrofungi tampak belakang ( = 10 cm); C. Morfologi mikrofungi (perbesaran 400x); D. Sketsa mikrofungi
72
Lampiran 5. Persentase Penutupan mikrofungi hari ke empat pada konsentrasi uji
Konsentrasi uji limbah% 25
50
75
100
ulangan 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
AS
CA
9,81 9,91 9,81 10,31 10,32 10,81 11,81 14,81 12,81 10,81 14,81 12,81
9,91 9,81 9,81 10,01 10,31 10,81 15,81 13,81 14,81 12,81 11,81 14,81
PR 20 10 30 40 30 45 80 80 60 50 40 30
73
Lampiran 6. Hasil analisis statistik pertumbuhan mikrofungi pada konsentrasi uji a. Hasil analisis anova (one way) ANOVA
PP AS
PP CA
Between Groups
Sum of Square 3,844
Mean 3
10,615 1,771
Within Groups
14,170
8
Total
46,014
11
Between Groups
45,097
3
15,032
Within Groups
15,000
8
1,875
Total PP PR
df
Between Groups
60,097
11
4439,583
3
1479,861
783,333
8
97,917
5222,917
11
Within Groups Total
F 5,993
,009
15,113
,001
Subset for alpha = ,05
Konsentrasi limbah
N
25%
3
9,8433
50%
3
10,4800
10,4800
100%
3
12,8100
12,8100
75%
3
2
13,8100
Sig.
,097
,061
c. Hasil analisis uji lanjut (Tukey) untuk pertumbuhan CA Subset for alpha = ,05
Konsentrasi limbah 25%
N 3
1 9,8433
50%
3
10,3767
100%
3
12,1433
75%
3
2
12,1433 14,8100
Sig.
,245
,158
d. Hasil analisis uji lanjut (Tukey) untuk pertumbuhan PV Konsentrasi limbah
Subset for alpha = ,05 N 1
2
25%
3
20,0000
50%
3
38,3333
100%
3
40,0000
75%
3
Sig.
73,3333 ,139
,019
8,017
b. Hasil analisis uji lanjut (Tukey) untuk pertumbuhan AS
1
Si
1,000
74
75
Lampiran 8. Hasil analisis statistik pengaruh waktu terhadap penurunan COD
a. Hasil analisis anova (one way) COD pada inokulan AS
Sum of Squares Between Groups Within Groups Total
df
Mean Square
F
61973593,750
6
10328932,292
7166250,000
9
796250,000
69139843,750
15
Sig,
12,972
,001
Hasil analisis uji lanjut (Tukey) Subset for alpha = ,05 hari ke H5 H6 H3 H0 H2 H4 H1 Sig,
N 2 2 2 3 2 2 3
1 1925,0000 1950,0000 3600,0000 4800,0000
,078
2
3
3600,0000 4800,0000 6250,0000
,114
4800,0000 6250,0000 6750,0000 7000,0000 ,233
b. Hasil analisis anova (one way) untuk COD pada inokulan CA
Sum of Squares Between Groups Within Groups Total
df
Mean Square
F
60518823,529
6
10086470,588
1180000,000
10
118000,000
61698823,529
16
Sig,
85,479
,000
Hasil analisis uji lanjut (Tukey) Subset for alpha = ,05 hari ke H4 H5 H6 H3 H2 H0 H1 Sig,
N 2 3 2 3 2 3 2
1 1300,0000 1600,0000
2
3
1600,0000 2500,0000
4
5
2500,0000 2900,0000 3100,0000 4800,0000
,956
,161
,528
1,000
7500,0000 1,000
76
Lampiran 8. (lanjutan) c. Hasil analisis anova (one way) untuk COD pada inokulan ACST Sum of Squares Between Groups
Mean Square
23746093,750
6
3957682,292
1225000,000
9
136111,111
24971093,750
15
Within Groups Total
df
F
Sig,
29,077
,000
Hasil analisis uji lanjut (Tukey) Subset for alpha = ,05 hari ke H4 H6 H5 H2 H3 H1 H0 Sig,
d.
N 2 2 3 2 2 2 3
1 1100,0000 1350,0000 2350,0000
2
3
1350,0000 2350,0000 2500,0000
,061
4
2350,0000 2500,0000 2900,0000 3500,0000
,092
3500,0000 4800,0000 ,050
,092
Hasil analisis anova (one way) untuk COD pada inokulan AS
Sum of Squares Between Groups
Mean Square
29452543,860
6
4908757,310
591666,667
12
49305,556
30044210,526
18
Within Groups Total
df
F
Sig,
99,558
,000
Hasil analisis uji lanjut (Tukey) Subset for alpha = ,05 hari ke H4 H5 H2 H6 H3 H1 H0 Sig,
N 3 3 2 3 3 2 3
1 1200,0000 1600,0000 1750,0000
2
3
1600,0000 1750,0000 2100,0000
4
5
2100,0000 2533,3333 4000,0000
,145
,214
,345
1,000
4800,0000 1,000
77
Lampiran 8. (lanjutan) e.
Hasil analisis anova (one way) untuk COD pada inokulan PV Sum of Squares
Between Groups
Mean Square 6
4912107,843
749800,000
10
74980,000
30222447,059
16
Within Groups Total
df
29472647,059
F
Sig,
65,512
,000
Hasil analisis uji lanjut (Tukey) Subset for alpha = ,05 hari ke H6 H2 H4 H5 H1 H3 H0 Sig,
f.
N 2 2 2 3 2 3 3
1 1000,0000 1250,0000 1500,0000
2
3
1250,0000 1500,0000 2100,0000
4
5
2100,0000 2500,0000 3600,0000
,482
,075
,698
1,000
4800,0000 1,000
Hasil analisis anova (one way) untuk COD pada K Sum of Squares
Between Groups
Mean Square
94017777,778
6
15669629,630
4954583,333
11
450416,667
98972361,111
17
Within Groups Total
df
F 34,789
Hasil analisis uji lanjut (Tukey) Subset for alpha = ,05 hari ke H4
2
1 1300,0000
H5
2
1675,0000
H6
3
2333,3333
H0
3
4800,0000
H1
2
5000,0000
H3
3
5933,3333
H2
3
Sig,
N
2
3
5933,3333 8000,0000
,623
,530
,062
Sig, ,000
78
Lampiran 9.
Hasil analisis statistik pengaruh jenis mikrofungi terhadap penurunan COD
b. Between-Subjects Factors
a. Within-Subjects Factors Measure: cod hari 1
Dependent Variable T0
2
T1
3
T2
4
T3
5
T4
6
T5
7
T6
Jenis
N ACST AS CA K PR PV
3 3 3 3 3 3
Multivariate Testsc Effect hari
hari * jenis
Value .999 .001 1172.706 1172.706 3.996 .000 702.944 597.566
Pillai's Trace Wilks' Lambda Hotelling's Trace Roy's Largest Root Pillai's Trace Wilks' Lambda Hotelling's Trace Roy's Largest Root
F Hypothesis df 1368.157a 6.000 1368.157a 6.000 1368.157a 6.000 1368.157a 6.000 7.295 30.000 41.760 30.000 126.530 30.000 1095.538b 6.000
Error df 7.000 7.000 7.000 7.000 55.000 30.000 27.000 11.000
Sig. .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000
a. Exact statistic b. The statistic is an upper bound on F that yields a lower bound on the significance level. c. Design: Intercept+jenis Within Subjects Design: hari
Mauchly's Test of Sphericityb Measure: cod Epsilon Within Subjects Effect hari
Mauchly's W .001
Approx. Chi-Square 73.317
df 20
Sig. .000
Greenhous e-Geisser .359
a
Huynh-Feldt .621
Lower-bound .167
Tests the null hypothesis that the error covariance matrix of the orthonormalized transformed dependent variables is proportional to an identity matrix. a. May be used to adjust the degrees of freedom for the averaged tests of significance. Corrected tests are displayed in the Tests of Within-Subjects Effects table. b. Design: Intercept+jenis Within Subjects Design: hari
79
Lampiran 9. (lanjutan) Tests of Within-Subjects Effects Measure: cod Source hari
hari * jenis
Error(hari)
Sphericity Assumed Greenhouse-Geisser Huynh-Feldt Lower-bound Sphericity Assumed Greenhouse-Geisser Huynh-Feldt Lower-bound Sphericity Assumed Greenhouse-Geisser Huynh-Feldt Lower-bound
Type III Sum of Squares 188932778 188932778 188932778 188932778 184031984 184031984 184031984 184031984 14677923.8 14677923.8 14677923.8 14677923.8
df 6 2.151 3.728 1.000 30 10.755 18.641 5.000 72 25.813 44.738 12.000
Mean Square 31488796.30 87832919.47 50676689.27 188932777.8 6134399.471 17110918.11 9872433.767 36806396.83 203860.053 568634.744 328083.438 1223160.317
F 154.463 154.463 154.463 154.463 30.091 30.091 30.091 30.091
Sig. .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000
Tests of Within-Subjects Contrasts Measure: cod Source hari
hari * jenis
Error(hari)
hari Linear Quadratic Cubic Order 4 Order 5 Order 6 Linear Quadratic Cubic Order 4 Order 5 Order 6 Linear Quadratic Cubic Order 4 Order 5 Order 6
Type III Sum of Squares 174664464 236250.000 8984467.593 397.727 286137.566 4761060.606 7816964.286 40076567.5 42745046.3 18211866.9 39550211.6 35631327.6 462321.429 920180.159 2750694.444 3404937.013 5186567.460 1953223.304
df
Mean Square 174664464.3 236250.000 8984467.593 397.727 286137.566 4761060.606 1563392.857 8015313.492 8549009.259 3642373.377 7910042.328 7126265.512 38526.786 76681.680 229224.537 283744.751 432213.955 162768.609
1 1 1 1 1 1 5 5 5 5 5 5 12 12 12 12 12 12
F 4533.585 3.081 39.195 .001 .662 29.250 40.579 104.527 37.295 12.837 18.301 43.782
Sig. .000 .105 .000 .971 .432 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000
Measure: cod , Transformed Variable: Average Source
Type III Sum of Squares
Intercept jenis Error
1365218750,000 88922738,095 1189376,190
df
Mean Square
1 5 12
1365218750,000 17784547,619 99114,683
F
13774,132 179,434
Sig,
,000 ,000
80
Lampiran 9, (lanjutan) Multiple Comparisons Measure: cod Tukey HSD
(I) jenis ACST
AS
CA
K
PR
PV
(J) jenis AS CA K PR PV ACST CA K PR PV ACST AS K PR PV ACST AS CA PR PV ACST AS CA K PV ACST AS CA K PR
Mean Difference (I-J) -1967.8571* -742.8571* -1505.9524* 73.8095 250.0000 1967.8571* 1225.0000* 461.9048* 2041.6667* 2217.8571* 742.8571* -1225.0000* -763.0952* 816.6667* 992.8571* 1505.9524* -461.9048* 763.0952* 1579.7619* 1755.9524* -73.8095 -2041.6667* -816.6667* -1579.7619* 176.1905 -250.0000 -2217.8571* -992.8571* -1755.9524* -176.1905
Std. Error 97.15706 97.15706 97.15706 97.15706 97.15706 97.15706 97.15706 97.15706 97.15706 97.15706 97.15706 97.15706 97.15706 97.15706 97.15706 97.15706 97.15706 97.15706 97.15706 97.15706 97.15706 97.15706 97.15706 97.15706 97.15706 97.15706 97.15706 97.15706 97.15706 97.15706
Sig. .000 .000 .000 .969 .178 .000 .000 .005 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .005 .000 .000 .000 .969 .000 .000 .000 .493 .178 .000 .000 .000 .493
95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound -2294.2000 -1641.5143 -1069.2000 -416.5143 -1832.2952 -1179.6095 -252.5333 400.1524 -76.3429 576.3429 1641.5143 2294.2000 898.6571 1551.3429 135.5619 788.2476 1715.3238 2368.0095 1891.5143 2544.2000 416.5143 1069.2000 -1551.3429 -898.6571 -1089.4381 -436.7524 490.3238 1143.0095 666.5143 1319.2000 1179.6095 1832.2952 -788.2476 -135.5619 436.7524 1089.4381 1253.4190 1906.1048 1429.6095 2082.2952 -400.1524 252.5333 -2368.0095 -1715.3238 -1143.0095 -490.3238 -1906.1048 -1253.4190 -150.1524 502.5333 -576.3429 76.3429 -2544.2000 -1891.5143 -1319.2000 -666.5143 -2082.2952 -1429.6095 -502.5333 150.1524
Based on observed means. *. The mean difference is significant at the .05 level.
Tukey HSD Subset jenis
3
1 2392,8571
PR
3
2569,0476
ACST
3
2642,8571
CA
3
K
3
AS
3
Sig,
N
2
3
4
3385,7143 4148,8095 4610,7143 ,178
1,000
1,000
1,000
81
82
83
Lampiran 12. Hasil analisis statistik pengaruh waktu terhadap penurunan N organik
g. Hasil analisis anova (one way) N organik pada inokulan AS
Sum of Squares Between Groups
Mean Square
8471,826
6
1411,971
13,630
9
1,514
8485,456
15
Within Groups Total
df
F
Sig,
932,362
,000
Hasil analisis uji lanjut (Tukey) Subset for alpha = ,05 hari ke H5 H6 H3 H0 H2 H1 H4 Sig,
N
1 16,3780 18,1235
2 2 2 2 3 2 3
2
3
4
5
37,2140 53,8590 68,3023
,744
1,000
1,000
72,6970 74,6803 ,635
1,000
h. Hasil analisis anova (one way) untuk N organik pada inokulan CA
Sum of Squares Between Groups Within Groups Total
df
Mean Square
14897,619
6
2482,937
101,896
9
11,322
14999,515
15
F
Sig,
219,306
,000
Hasil analisis uji lanjut (Tukey) Subset for alpha = ,05 hari ke H5 H4 H6 H3 H2 H0 H1 Sig,
N 3 2 2 3 2 2 2
1 20,6340 22,6935
2
3
39,4945 43,4507 49,6115
,993
,108
4
43,4507 49,6115 53,8590 ,095
122,4630 1,000
84
Lampiran 12. (lanjutan) i. Hasil analisis anova (one way) untuk N organik pada inokulan ACST Sum of Squares Between Groups
df
3187,286
6
531,214
4,460
8
,557
3191,745
14
Within Groups Total
Mean Square
F
Sig,
952,950
,000
Hasil analisis uji lanjut (Tukey) Subset for alpha = ,05 hari ke H6 H4 H2 H5 H3 H1 H0 Sig,
j.
N 2 2 2 3 2 2 2
1 9,0790 10,2260
2
3
4
5
6
20,0580 25,8467 31,0840 41,2580 ,701
1,000
1,000
1,000
1,000
53,8590 1,000
Hasil analisis anova (one way) untuk N organik pada inokulan PR
Sum of Squares Between Groups Within Groups Total
df
4100,146
Mean Square 6
683,358
16,628
9
1,848
4116,774
15
F
Sig,
369,865
,000
Hasil analisis uji lanjut (Tukey) Subset for alpha = ,05 hari ke H4
N 3
1 9,2647
H2
2
9,9100
H5
3
10,1263
H6
2
13,7900
H3
2
H1
2
H0
2
Sig,
2
3
4
23,1425 41,1985 53,8590 ,067
1,000
1,000
1,000
85
Lampiran 12, (lanjutan) k.
Hasil analisis anova (one way) untuk N organik pada inokulan PV Sum of Squares
Between Groups
Mean Square 6
427,226
9,105
8
1,138
2572,461
14
Within Groups Total
df
2563,357
F
Sig,
375,380
,000
Hasil analisis uji lanjut (Tukey) Subset for alpha = ,05 hari ke H4
N
1 13,9385
2
3
4
H6
2
18,2725
H2
2
20,3145
H5
2
25,2120
H1
3
28,7953
H3
2
H0
2
5
44,2395 53,8590
Sig,
l.
2
1,000
,497
,082
1,000
1,000
Hasil analisis anova (one way) untuk N organik pada K Sum of Squares
Between Groups Within Groups Total
df
Mean Square
12050,570
6
2008,428
920,189
10
92,019
12970,759
16
F 21,826
Hasil analisis uji lanjut (Tukey) Subset for alpha = ,05 hari ke H4
2
1 15,8610
H5
3
18,1453
H6
2
24,3225
H0
2
H1
3
59,0777
59,0777
H3
2
61,1830
61,1830
H2
3
Sig,
N
2
3
4
24,3225 53,8590
53,8590
90,4483 ,954
,078
,976
,057
Sig, ,000
86
Lampiran 13.
Hasil analisis statistik pengaruh jenis mikrofungi terhadap penurunan N organik
a. Within-Subjects Factors
b. Between-Subjects Factors
Measure: N organik hari 1
Dependent Variable T0
2
T1
3
T2
4
T3
5
T4
6
T5
7
T6
Jenis
N ACST AS CA K PR PV
3 3 3 3 3 3
Multivariate Testsc Effect hari
hari * jenis
Value Pillai's Trace .999 Wilks' Lambda .001 Hotelling's Trace 1282.888 Roy's Largest Root 1282.888 Pillai's Trace 4.814 Wilks' Lambda .000 Hotelling's Trace 1362.072 Roy's Largest Root 873.730
F Hypothesis df 1496.702a 6.000 1496.702a 6.000 1496.702a 6.000 1496.702a 6.000 47.347 30.000 275.939 30.000 245.173 30.000 1601.838b 6.000
Error df 7.000 7.000 7.000 7.000 55.000 30.000 27.000 11.000
Sig. .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000
Partial Eta Squared .999 .999 .999 .999 .963 .989 .996 .999
a. Exact statistic b. The statistic is an upper bound on F that yields a lower bound on the significance level. c. Design: Intercept+jenis Within Subjects Design: hari
Mauchly's Test of Sphericityb Measure: norganik Epsilon Within Subjects Effect hari
Mauchly's W .000
Approx. Chi-Square 90.534
df 20
Sig. .000
Greenhous e-Geisser .234
a
Huynh-Feldt .365
Lower-bound .167
Tests the null hypothesis that the error covariance matrix of the orthonormalized transformed dependent variables is proportional to an identity matrix. a. May be used to adjust the degrees of freedom for the averaged tests of significance. Corrected tests are displayed in the Tests of Within-Subjects Effects table. b. Design: Intercept+jenis Within Subjects Design: hari
87
Lampiran 13. (lanjutan)
Tests of Within-Subjects Effects Measure: norganik Source hari
hari * jenis
Error(hari)
Sphericity Assumed Greenhouse-Geisser Huynh-Feldt Lower-bound Sphericity Assumed Greenhouse-Geisser Huynh-Feldt Lower-bound Sphericity Assumed Greenhouse-Geisser Huynh-Feldt Lower-bound
Type III Sum of Squares 29536.118 29536.118 29536.118 29536.118 30947.948 30947.948 30947.948 30947.948 926.938 926.938 926.938 926.938
df 6 1.401 2.191 1.000 30 7.007 10.957 5.000 72 16.817 26.297 12.000
Mean Square 4922.686 21075.674 13478.156 29536.118 1031.598 4416.619 2824.483 6189.590 12.874 55.119 35.249 77.245
F 382.370 382.370 382.370 382.370 80.130 80.130 80.130 80.130
Sig. .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000
Partial Eta Squared .970 .970 .970 .970 .971 .971 .971 .971
Tests of Within-Subjects Contrasts Measure: norganik Source hari
hari * jenis
Error(hari)
hari Linear Quadratic Cubic Order 4 Order 5 Order 6 Linear Quadratic Cubic Order 4 Order 5 Order 6 Linear Quadratic Cubic Order 4 Order 5 Order 6
Type III Sum of Squares 26167.551 17.383 2161.873 113.499 333.456 742.356 1594.854 4801.539 8731.886 3858.949 6209.358 5751.362 71.247 113.387 228.170 28.812 273.937 211.385
df 1 1 1 1 1 1 5 5 5 5 5 5 12 12 12 12 12 12
Mean Square 26167.551 17.383 2161.873 113.499 333.456 742.356 318.971 960.308 1746.377 771.790 1241.872 1150.272 5.937 9.449 19.014 2.401 22.828 17.615
F 4407.331 1.840 113.698 47.272 14.607 42.142 53.723 101.632 91.846 321.444 54.401 65.299
Sig. .000 .200 .000 .000 .002 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000
Partial Eta Squared .997 .133 .905 .798 .549 .778 .957 .977 .975 .993 .958 .965
Measure: N organik , Transformed Variable: Average Source Intercept
Type III Sum of Squares 176897.369
df 1
Mean Square 176897.369
F 15289.489
Sig. .000
270.714
.000
jenis
15660.638
5
3132.128
Error
138.838
12
11.570
88
Lampiran 13. (lanjutan) Multiple Comparisons Measure: norganik Tukey HSD
(I) jenis ACST
AS
CA
K
PR
PV
(J) jenis AS CA K PR PV ACST CA K PR PV ACST AS K PR PV ACST AS CA PR PV ACST AS CA K PV ACST AS CA K PR
Mean Difference (I-J) -21.4043* -22.9705* -18.7829* 4.3036* -1.8874 21.4043* -1.5662 2.6214 25.7079* 19.5169* 22.9705* 1.5662 4.1876* 27.2740* 21.0831* 18.7829* -2.6214 -4.1876* 23.0864* 16.8955* -4.3036* -25.7079* -27.2740* -23.0864* -6.1910* 1.8874 -19.5169* -21.0831* -16.8955* 6.1910*
Std. Error 1.04971 1.04971 1.04971 1.04971 1.04971 1.04971 1.04971 1.04971 1.04971 1.04971 1.04971 1.04971 1.04971 1.04971 1.04971 1.04971 1.04971 1.04971 1.04971 1.04971 1.04971 1.04971 1.04971 1.04971 1.04971 1.04971 1.04971 1.04971 1.04971 1.04971
Sig. .000 .000 .000 .014 .501 .000 .675 .199 .000 .000 .000 .675 .017 .000 .000 .000 .199 .017 .000 .000 .014 .000 .000 .000 .001 .501 .000 .000 .000 .001
95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound -24.9302 -17.8784 -26.4964 -19.4446 -22.3088 -15.2570 .7777 7.8295 -5.4133 1.6385 17.8784 24.9302 -5.0921 1.9597 -.9045 6.1473 22.1820 29.2338 15.9910 23.0428 19.4446 26.4964 -1.9597 5.0921 .6617 7.7135 23.7482 30.7999 17.5572 24.6090 15.2570 22.3088 -6.1473 .9045 -7.7135 -.6617 19.5605 26.6123 13.3696 20.4214 -7.8295 -.7777 -29.2338 -22.1820 -30.7999 -23.7482 -26.6123 -19.5605 -9.7168 -2.6651 -1.6385 5.4133 -23.0428 -15.9910 -24.6090 -17.5572 -20.4214 -13.3696 2.6651 9.7168
Based on observed means. *. The mean difference is significant at the .05 level.
Tukey HSD Subset jenis PR
N 3
1 23,0421
2
3
4
ACST
3
27,3457
PV
3
29,2331
K
3
46,1286
AS
3
48,7500
CA
3
Sig,
48,7500 50,3162
1,000
,501
,199
,675
89
Lampiran 14. Nilai rata-rata N anorganik pada limbah cair tahu.
Ammonia Hari ke0 1 2 3 4 5 6
AS 1,33 1,02 3,91 3,10 3,30 4,56 4,28
CA 1,33 1,35 0,54 3,35 1,48 2,90 2,79
ACST 1,33 6,12 1,70 1,10 0,64 5,24 1,60
PR 1,33 5,92 1,67 0,64 0,53 3,38 4,10
PV 1,33 2,98 0,54 4,63 1,31 6,88 5,92
K 1,33 10,69 1,68 1,74 0,79 4,34 1,26
Hari ke0 1 2 3 4 5 6
AS 3,57 0,79 2,28 1,58 2,69 2,51 0,37
CA 3,57 0,99 0,14 1,42 1,07 2,95 0,18
ACST 3,57 2,78 0,57 0,82 1,02 4,69 0,12
PR 3,57 2,71 1,22 0,35 0,85 2,28 0,50
PV 3,57 1,45 0,72 1,62 0,47 4,23 0,28
K 3,57 7,10 3,55 1,14 0,24 1,99 0,12
Hari ke0 1 2 3 4 5 6
AS 0,04 0,04 0,13 0,23 0,02 0,02 0,04
CA 0,04 0,24 0,11 0,12 0,30 0,19 0,29
ACST 0,04 0,98 0,01 0,08 0,03 0,02 0,02
PR 0,04 0,04 0,01 0,03 0,08 0,18 0,17
PV 0,04 0,07 0,11 0,20 0,01 0,34 0,02
K 0,04 0,42 0,05 0,19 0,05 0,11 0,35
Nitrat
Nitrit
90
91
Lampiran 16. Nilai rata-rata pH dan oksigen terlarut pada limbah mcair tahu a. Nilai rata-rata pH Hari ke 0 1 2 3 4 5 6
pH AS 3,40 3,73 3,72 3,77 3,80 3,82 4,35
CA 3,40 3,75 3,78 3,99 3,92 3,71 4,35
ACST 3,40 3,71 3,71 3,83 4,07 3,68 4,40
PR 3,40 3,69 3,78 3,91 4,06 3,85 3,96
PV 3,40 3,72 3,72 3,75 4,07 3,72 4,38
K 3,40 3,72 3,77 3,83 4,13 3,76 3,96
b. Nilai rata-rata kelarutan oksigen (DO) Hari ke 0 1 2 3 4 5 6
AS 0,20 0,33 0,17 0,16 0,16 0,10 0,09
Nilai rata-rata DO (mg/l) CA ACST PR PV 0,20 0,20 0,20 0,20 0,20 0,23 0,20 0,19 0,17 0,21 0,18 0,18 0,16 0,20 0,16 0,17 0,16 0,17 0,12 0,17 0,12 0,15 0,10 0,11 0,10 0,11 0,10 0,09
K 0,20 0,17 0,16 0,16 0,15 0,11 0,12