DENGAN KESUNGGUHAN DAN SEMANGAT TERGAPAILAH KEMULIAN
(BIJIDDIN WANASYATHIN NAILAL KIRAM) Oleh : DRS. H. CECEP PARHAN MUBAROK M.H (Hakim PA-Sumedang)
Catatan ini ngelantur.... tetapi saya ingin berbagi pengalaman dengan anak cucu saya dikemudian hari, santri-santri Darul Qur’an yang selalu mendampingi belajar saya atau juga bermanfaat bagi kawan-kawan sejawat Khususnya di Pengadilan Agama yang bercitacita belajar ke Timur Tengah atau ke negeri yang lainnya: KELULUSAN MAHIR BAHASA ARAB Keinginan untuk belajar di Negara Timur Tengah sejak duduk di bangku kelas 1 SD sudah menjadi cita-cita yang diidam-idamkan olehku (semacam Himmah ‘aliyah yang diajarkan dalam kitab ta’lim mutallim karya Syaikh al-Imam Burhanul Islam Al-Zarnuzi), inspirasi itu datang ketika Kakekku (H. E. Zaenuddin ayah dari Ibunda) pulang dari menunaikan ibadah haji tahun 1976, dan dialah yang banyak perhatian terhadap perkembangan pendidikan aku, maklum pada waktu itu saya sudah yatim --- telah ditinggalkan sejak dalam rahim ibuku oleh ayahku Al-marhum R.A Mumud Junaedi yang kemudian diketahui nama aslinya R.A Mumud Ahmad Mawardi bin K.H.R . Ahmad Junaedi. Ketika itu kakekku bercerita tentang nikmatnya menunaikan ibadah haji dan ketakjuban serta kekayaaan daerah-daerah di Saudi Arabia khususnya kota makkah dan kota Madinah. Dari situ jualah teriyang-iyang namanama kota di Timur tengah, seperti Jiddah, Riyadh, Thaif dan sudah barang tentu tempat – tempat masya’ir seperti Arafah, Muzdalifah dan Mina bahkan tak luput diceritakannya bagaimana bersilaturahminya dengan orang Mesir, Yaman, Turki dan orang-orang Maghribi (Maroko). Sebenarnya ada dua cita-cita yang termemorikan kuat dalam benakku dari cerita itu pertama kelak aku bakal naik haji dan kedua aku ingin belajar di Timur Tengah tempat lahirnya para nabi. Dahulu tak terbayangkan biaya dari mana? aku dapat menunaikan ibadah haji dan belajar di negara-negara tempat lahirnya para Nabi, karena aku sadar seorang Cecep Parhan Mubarok yang lahir sudah tidak punya ayah, sedangkan untuk belajarpun menunggu belas kasihan
kakek, paman dan uwa serta kebaikan dari ayah sambungku (KH. Ahmad Gozali) yang sangat peduli dengan nafaqaat (segala belanja) kebutuhan lahir dan bathinku. Semangat belajar (tholabul ilmi) dengan kemandirian dan tempaan kerja keras dibarengi dengan kesederhanaan telah melekat dalam hidupku yang dipompakan oleh Ibuku (Hj. Siti Fahriyah) dan Al-marhum K.H Ahmad Gozali telah mengantarkan aku menjadi seorang hakim Pengadilan Agama pada tahun 1994. Setelah aku menjadi seorang hakim keingan untuk belajar ke Negara Timur Tengah masih tetap termemorikan, sehingga ada harapan kalau instansiku tempat bekerja ini membuka kesempatan untuk belajar ke luar negeri atau Timur Tengah insya Allah aku akan mengikuti tes atau seleksinya. Disela-sela tugas sebagai hakim dari satu tempat ke tempat lain kegiatan harianku tak luput dari berdakwah dan belajar ilmu-ilmu agama, Rumah dimana tempat aku tinggal selalu dipadati oleh murid-murid ngaji (santri), mulai dari Ambon, Kalianda (lampung selatan) terlebih setelah aku tugas dekat dengan kampung halaman yaitu Garut dan Sumedang pada tahun 2004, aku dan isteriku (Hj. Rd. Dewi Nurul’aini) meneruskan Pondok Pesantren Darul Qur’an yang dirintis pada tahun 1985 oleh Bapak mertua Al-maghfurlah K.H.R.Zaenal Muttaqien, dipundaku beralih tanggung jawab (mas’uliyah) maju dan berkembangnya pondok pesantren ini sejak beliau meninggal pada tahun 1998. Kedekatanku dengan dunia pesantren dan santri-santrinya membuat aku tak berhenti membaktikan diri untuk berbagi ilmu sekaligus mempertahankan dan mengembangkan ilmu-ilmu
termasuk kemampuan berbahasa arab melalui pengkajian
kitab-kitab klasik (kutubutturats) atau biasa disebut dengan kitab-kitab kuning. Untuk hal tersebut aku selalu memegang pepatah bahasa arab yang diajarkan oleh guru-guruku para sesepuh pondok pesantren tradisional: al Istiqamatu luzumul karamah wal karamatu bidawamil istiqamah maksudnya kurang lebih yakni Ke-istiqamah-an (tetapnya dalam suatu keyakinan/ pekerjaan/ pengabdian memastikan orangnya akan mendapat kemuliaan dan Kemuliaan akan diperoleh manakala melanggengkan (continue) dalam ke-Istiqamah-an. Pepatah tersebut kian hari semakin terasa manfa’atnya sehingga semakin menguatkan keikhlasanku insya Allah dalam pengabdian ini, sampai pada simpulan (natijah) rugilah bagi seorang khadim Pondok Pesantren atau pelayan ummat menjadikan mereka sebagai lahan bisnis atau kita berharap imbalan dari mereka karena kita akan mendapatkan bayaran yang sedikit bahkan mungkin sedikitpun tidak didapatkan. Karena kita yakini imbalan yang lebih
baik hanya imbalan Allah, “Barang siapa membawa amal yang baik maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya”
(Q.S. Al-an’am (6) : 160) bahkan Allah akan melipatgandakannya
lebih dari itu. “Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka Allah akan melipat-gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan dia akan memperoleh pahala yang banyak.”
(Q.S. Al-Hadid (57:11). Mengajarkan suatu ilmu maka akan melahirkan ilmu yang
lebih banyak lagi yang pada akhirnya mengantarkan pelakunya pada derajat kemulyaan yang lebih tinggi. Dalam hal ini Aku ingin berwasilah (membuat perantara) dengan itu karena aku menyadari bahwa diri ini serba dalam keterbatasan termasuk keterbatasan dalam ilmu. Berbekal dengan aktifitas (syughul) dunia sarungan itu, walau aku belum begitu aktif dalam berkomunikasi bahasa arab, maka suatu ketika ada penguman tes kemahiran dalam berbahasa arab melalui website Badilag ditempat tugasku khususnya bagi qudhaat (para hakim) aku mencoba untuk mengikuti tes tersebut dan alhamdulillah pada bulan April 2010 diumumkan hasilnya saya termasuk salah satu hakim yang berkualifikasi mahir bahasa Arab walaupun tidak istimewa (mumtaz), karena sebelumnya tidak terbiasa dengan komunikasi aktif dalam bahasa arab. PANGGILAN UNTUK BELAJAR DAN BERHAJI YANG TERTUNDA Medio Juni 2010 tiba-tiba sebuah SMS dari seorang kawan salah satu pejabat di Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama (DITJEN BADILAG) kebetulan namanya hampir sama denganku Asep Farhanil ‘Ibad menginformasikan bahwa aku salah satu hakim yang akan diberangkatkan untuk mengikuti Pendidikan dan Pelatihan Ekonomi Syari’ah di Ma’had ‘Ali Lilqadha Universitas Islam Al-Imam Muhammad Ibnu Sa’ud, karena dalam SMS itu aku disuruh untuk menghubunginya dengan perasaan gembira bercampur dengan bangga tak banyak fikir lagi aku langsung menghubunginya dengan bernada mengkalirifikasi apakah benar ini Pak Asep Farhan? Beliau langsung menjawab: “benar” dan beliau menginformasikan bahwa dalam waktu dekat Pelatihan Ekonomi Syari’ah bagi Hakim Indonesia di Ma’had ‘Ali Lilqadha Universitas Islam Al-Imam Muhammad Ibnu Sa’ud Riyadh akan dilaksanakan dan Insya Allah akan diusahakan berbarengan dengan Ibadah haji tahun ini yaitu tahun 1431 H, oleh karenanya, (Pak Asep Parhan melanjutkan pembicaraannya) Akang secepatnya melengkapi persyaratan-persyaratan untuk pembuatan Paspor dan Calling Visa diusahakan pada hari senin lusa sudah terkirim ke BADILAG. Selesai
pembicaraan melalui Hp dengan Kang Asep Farhan saya spontanitas mengucap syukur alhamdulillah dan bersujud syukur seketika itu yang kebetulan pada waktu itu berada di ruang Idarah (kantor) Pondok Pesantren Darul Qur’an sambil mengucapkan bacaan sujud syukur:
Artinya: "Ya Tuhanku berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh". Selesai bersujud syukur kawanku Tuntun Bakhtiar Ramli, SPd. yang dari sejak semula tengah berbincang-bincang dengan saya tentang kemajuan Pondok Pesantren dan MTs Terpadu Darul Qur’an yang kebetulan oleh saya diminta bantuannya dan dipercaya untuk menjadi kepala MTs tersebut, beliau bertanya ada apa Kang Haji? (Panggilan beliau kepada saya) sepertinya ada kabar menggembirakan,... benar pak Tun, saya sampaikan kabar itu kepadanya dan beliaupun rupanya sangat merasakan kebahagian itu, dengan apresiasi spontan darinya; “Itulah ke-Maha Murahan Allah walaupun sudah naik haji panggilan itu datang kembali, saya ikut berbahagia Kang Haji karena ini adalah juga bagian dari perjuangan untuk memajukan lembaga Pondok Pesantren kita ini”, Amiin.... aku menimpalinya... dalam hatiku memang benar apa yang dikatakan pak Tuntun itu, karena ini adalah ikhtiar dari sebuah kewibawaan berdakwah melalui Pondok pesantren, sekecil apapun aku adalah pemimpin di Pondok Pesantrenku ini, Pengalaman dan Kualifikasi Keilmuan kelak akan diperhitungkan pada pigur sentral Pondok Pesantren ini dan aku tentu harus menjadi uswah (contoh) dalam keberhasilan belajar bagi santri-santri terlebih Negara Arab (timur tengah) adalah kiblatnya orang-orang pesantren yang notabene Pondok Pesantren adalah sebagai tempat yang melahirkan pewaris para nabi (ulama) sebagai mana dalam hadits Rasul: Al-ulama’ waratsat al-anbiya’, santri adalah Subjek dan objek tafaqquh fiddin (proses pendalaman pemahaman ilmu-ilmu agama islam) yang outputnya mereka diharapkan menjadi penuntut ummat menuju jalan yang diridhai oleh Allah.
Setelah berkas-berkas persyaratan yang diminta pihak Ditjen Badilag aku sampaikan, maka penantian untuk keberangkatan aku tunggu-tunggu karena menurut pengalaman peserta angkatan pertama pada tahun 2008 M, dalam pelatihan itu sekaligus diberikan undangan haji oleh Raja Saudi Arabia (Kindom Saudi Arabia). Disamping itu aku juga diam-diam memonitor apa yang dilakukan oleh peserta angkatan pertama karena secara kebetulan pada saat itu berbarengan dengan saat aku dan isteriku menunaikan ibadah haji di tahun 2008, bahkan saya sempat berkomunikasi dengan shahibuna al-kabiir (sahabat senior) saya yakni Syeh al-Haj Mukhlis, Drs. SH.,MH pada saat itu beliau sebagai ketua Pengadilan Agama Kota Bandung (Ra’is Mahkamah Syari’ah Ibtidaiyyah) di Makkah, atas informasi yang disampaikan shahibuna al-kabiir dan juga atasanku di Mahkamah Syari’ah Garut Syekh al-Hajj Ahmad Yunus, Drs., MH. untuk mencoba menghubungi beliau siapa tahu ketemu dengan beliau di Makkah, ternyata setelah saya call beliau sudah di Riyadh setelah selesai ibadah haji langsung ke Riyadh untuk mengikuti Musyarakah li al-daurat al-Qudhat Indonesia di Universitas yang sama dengan program yang sama pula. Ketika itu beliau mensupport aku, bahwa antum alyak bi hadzihi al-daurah (kamu lebih layak mengikuti kegiatan ini), aku meng-aamin-kannya ketika itu aku berada di Math’am (lestoran) Hotel Crown sedang menikmati lahm masywi (daging panggang) persis depan Baitullah Masjidil Haram. Bahkan pada saat itu aku sempat berbicara kepada isteriku: Ayah ingin sekali mengikuti daurah seperti itu”. Hari demi hari sampai mendekati pelaksanaan ibadah haji tahun 2010 atau 1431 H walau persiapan sudah tinggal berangkat, koperpun sudah tinggal angkat, akhirnya kabar itu datang bahwa pelaksaaan daurah angkatan ke 2 akan di undur sampai tahun depan, sehubungan berbarengan dengan daurah yang dilaksanakan untuk para hakim dari negara jiran malaysia. Subhanallah, (Al-Insan bi al- tafkiir wallahu bi altadbiir) Maha Suci Allah, Manusia hanya sekedar berencana dan Allahlah penentu segala sesuatunya. HARAPAN ITU MASIH ADA Pertengahan 2011 para hakim yang telah dinyatakan lulus sebagai calon peserta untuk mengikuti Daurah Ekonomi Syari‟ah di Riyadh diumumkan kembali untuk mempersiapkan diri mengikuti seleksi yang diadakan oleh Mudir Ma‟had Ali Lil-qadha Al-Jami‟ah Al-Imam Muhammad bin Su‟ud Al-Islamiyah, beliau langsung yang menguji para peserta layak dan tidak layaknya untuk mengikuti Daurah. Kali ini para peserta yang telah tetap sejumlah 40 orang yang akan diberangkatkan ke Riyad bertambah menjadi 50 orang dan akan diseleksi
menjadi 40 orang, Walaupun Harapan itu masih ada dengan bertambahnya peserta yang diseleksi maka muncul ketidakpastian, karena jelas 10 orang paling tidak akan ada yang gugur walaupun dihiburnya bahwa peserta yang tidak ikut ke Riyadh akan diikutsertakan dalam studi banding ekonomi syari‟ah di Sudan. Informasi itu menuntut kami untuk berkompetitif yang Positif karena pengalaman telah menunjukan kelulusan untuk menjadi peserta daurah ini dari tahapan-tahapan sebelumnya dilakukan dengan objektif alias tidak KKN, persiapan untuk menghadapi tes kami lakukan dengan mengerahkan segala kemampuan yang ada dengan media yang ada, melalui bukubuku, internet, televisi saluran KSA 1 dan chanel timur tengah lainnya yang sudah tentu menggunakan bahasa arab baik yang fusha (Resmi dan bertata bahasa Arab) maupun yang „Amiyah (bahasa arab umum di tengah masyarakat Arab). Ketika itu jam 15.00 WIB aku tengah bersidang dengan kawanku Drs. Subhan Fauzi, SH yang juga lulus menjadi Murassakh Musyarikiin liddaurat Qudhat Indonesia (calon peserta Diklat hakim Indonesia) secara kebetulan dari Pengadilan Tinggi Agama Bandung hanya 2 orang yang lulus dan semuanya ketika itu masih bertugas di Pengadilan Agama Garut, walaupun kemudian bertambah menjadi 4 orang yaitu kawanku Drs. Burhanuddin Ali dan Drs. Uman Sodikin, SH.sebagai tambahan calon peserta tes. Melalui SMS dari Pak Asep Farhanil Ibad kami harus segera datang di Kantor BADILAG ba‟da shalat maghrib, dengan tergesa kami berdua berkemas untuk berangkat ke Jakarta memakai kendaraan saya pribadi dengan sopir bergantian antara saya dengan pak Subhan akhirnya tiba di Kantor BADILAG Jakarta bersamaan dengan kumandang Sholat maghrib. Pada sa‟at itu kami mengazam untuk shalat jama‟ takhir karena pengarahan tespun telah tiba walaupun masih lelah menempuh perjalanan dengan kecepatan di atas rata-rata sambil menunggu datangnya kawan-kawan lebih jauh jarak perjalanannya dibandingkan kami yaitu yang bertugas di luar pulau Jawa, akhirnya tespun berlangsung masing-masing di antara kami hanya diberikan waktu 5 sampai 10 menit, pertanyaan dalam bahasa arab pada umumnya tentang nama, jabatan, lama bertugas, sudah berhaji atau belum, tamatan sekolah, dan sedikit tentang kompetensi yang kami miliki baik yang berkenaan dengan tugas maupun maqalah (tesis) yang saya susun walaupun tidak substansial, dalam pandangan kami tes itu sumir, sehingga kami bertanya kepada Pak Nasikh Salam yang mendampingi Mudir tentang standar kelulusan tes itu, menurut beliau:” nampaknya tes ini lebih kepada masalah kepribadian”. Momen tes pada kali ini diakhiri dengan pengarahan persiapan keberangkatan baik menyangkut mental, kesehatan, peningkatan kemampuan bahasa arab dan manasik haji, adaptasi di Arab Saudi, perbekalan yang bersifat kebutuhan pribadi dan lain-lain walaupun
diingatkan jangan sampai mengadakan walimatussafar layaknya syukuran orang yang akan menunaikan ibadah haji. Sepulang dari mengikuti tes di antara kami ngobrol dan mengungkap perasaan masingmasing sambil ketawa-ketawa melepas ketegangan berhari-hari tentang tes yang sesingkat itu, padahal persiapan kami kalau dalam ilmu silat sudah berbagai jurus dilatih dan dipraktekan, bahkan taqarrub kepada Allah ditingkatkan walau kadang sedikit memicu ketegangan alias stress, apa boleh buat semuanya kita serahkan (tawakkal) kepada taqdir Allah yang penting kita sudah berusaha dan tentu banyak manfaatnya walaupun pada akhirnya apa yang diharapkan belum berkenan, karena kita yakin kepada firman Allah Swt. Surat al-Baqarah: 216 yang artinya: “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”
PENGALAMAN DARI KEGAGALAN Musim haji tahun 1432 H atau tahun 2011 Masehi telah tiba, penantianpun berulang namun tidak seriang persiapan yang pertama walaupun tetap serius, karena kita punya pengalaman kegagalan. sejatinya dalam ilmu manajemen perencanaan harus terukur dan dapat dilaksanakan tepat pada sasaran dan waktunya serta dapat dievaluasi demikian pula evaluasi terhadap pelaksanaan program harus sesuai dengan perencanaan yang telah ditetapkan. Pelaksanaan Diklat (daurah wa tadriib) direncanakan dengan dua alternatif yaitu melaksanakan daurah sebelum pelaksanaan ibadah haji tiba atau melaksanakan Ibadah Haji dahulu baru setelah itu melaksanakan diklat, ini tentu tidak ada hubungannya dengan haji tamattu, haji ifrad atau haji Qiran. Akan tetapi sudah seharusnya calon haji faham perbedaan praktek haji tamattu, Ifrad dan Qiran. Maksudnya kami sudah menghitung-hitung bahwa keberangkatan menuju ke Riyad untuk daurah paling tidak pada tanggal 5 atau 6 Dzulqa‟dah 1432 H atau pada tanggal 7-8 Dzul hijjah 1432 H kami telah memulai ihram untuk haji ifrad dari Miqat makani dan setelah tanggal 13 Dzulhijjah 1432 H sudah bisa memulai Diklat. Namun apa yang terjadi dua alternatif yang ditunggu-tunggu ternyata juga mengalami penundaan sehubungan yang mulya (shahibul ma’ali wa al-sumuww) putra mahkota kerajaan arab saudi yang juga perdana menteri..... rahimahullah
dipanggil
kehadirat Allah Swt. Innaa lillahi wa Innaa Ilaihi Raji‟uun. (sesungguhnya kami milik Allah dan kembali kepada Allah). Itulah kenyataan taqdir Allah yang tidak bisa dipungkiri dan ghaib adanya manusia tidak bisa menolaknya. Allah Swt. berfirman: “Apabila ajal telah datang maka kalian tidak bisa menangguhkannya dan tidak bisa mendahuluinya sesaatpun”. Maha benar Allah segala firman-Nya.
TANGGAL 12 MEI 2012 ITU KABAR YANG MENDEKATI KEPASTIAN Sesuatu yang telah diinformasikan kepada kita dari pihak Saudi Arabia pada umumnya bersifat dhanniyan (tidak pasti) bahkan
ghayabiyyan (kita selalu dihadapkan pada
ketidakpastian). Berbeda dengan informasi yang saya terima pada petang menjelang pulang dari tempat kerja, tepatnya pada tanggal .... bulan April 2012 sms itu datang kembali dari Sahabatku Pak Asep Parhanil Ibad yang mengamanatkan kepada saya dan juga kawan-kawan hakim yang lain untuk menghubungi nomor Handphone Pak Mahrus Abdurrahim. Beberapa kali saya menindak lanjuti Sms itu, namun ternyata nomor HP tersebut tidak bisa dihubungi karena kurang nomornya, tidak pikir panjang lagi jangan sampai saya kehilangan kesempatan langsung saya menelepon Pak Asep Parhanil Ibad, yang kemudian beliau menanyakan kesiapan saya untuk mengikuti daurah, pada saat itu saya menyatakan Insya Allah Siap.... Ok.. kalau begitu..., ujar Pak Asep tinggal tunggu informasi selanjutnya. Pengumuman Website Badilag memastikan bahwa hakim yang telah dinyatakan lulus oleh pihak Jami‟ah Al-Imam Muhammad bin Su‟ud adalah sejumlah 39 orang dan Alhamdulillah nama saya tertera pada nomor 16. Dalam pengumuman itu juga disampaikan bahwa kepastian daurah akan dimulai pada tanggal 12 Mei 2012. Tidak seperti biasanya rencana pelaksanaan daurah disertai dengan kepastian tanggal bulan dan tahun, dalam benak saya informasi ini meyakinkan dan tidak ada lagi pertanyaan besar siapa yang akan dikirim untuk mengikuti daurah itu. Walaupun sudah ada kepastian, informasi keberangkatan belum juga kunjung datang, di antara kami saling menelepon dan chatting tentang keberangkan dan kapan akan dikumpulkan juga apa yang harus dibawa?... Waktu itu tanggal 10 Mei 2012 saya dan keluarga besar Pondok Pesantren Darul Qur‟an sedang menikmati liburan rekreasi kecil-kecilan di Kebun Binatang Bandung, Laptop yang setia membarengi saya kerja tak luput ditentengnya ke tempat rekreasi itu supaya tidak ketinggalan informasi apalagi diprediksi akan bers tak luput ditentengnya ke tempat rekreasi itu supaya tidak ketinggalan informasi apalagi diprediksi akan bersifat segera. Benar saja...ketika sampai di Kebun Binatang Bandung sambil menggelar tikar untuk menikmati
perbekalan yang dibawa, kira-kira jam 10.00 Wib. Saya membuka pesan yang ditulis Pak Mahrus di Facebook Badilag berbahasa arab yang ditujukan kepada seluruh peserta Diklat ekonomi syari‟ah untuk berkumpul di Hotel Grand Cemara Jakarta pada tanggal 13, karena keberangkatan berdasarkan electronik tiket akan dibagi dua kloter, yaitu pada hari Senin tanggal 14 Mei dan hari Selasa tanggal 15 Mei 2012 menggunakan pesawat Cathay Pasific dan akan transit di Hongkong, saya termasuk yang berangkat pada kloter pertama pada tanggal 14 Mei 2012. WAADHIH DI TENGAH GHAYABIYYAN Sesuatu yang telah diinformasikan kepada kita dari pihak Saudi Arabia pada umumnya bersifat dhanniyan (tidak pasti) bahkan
ghayabiyyan (kita selalu dihadapkan pada
ketidakpastian). Hal ini bisa terjadi karena beberapa alasan: pertama, bisa jadi manajemen dan karakter mereka memang seperti itu, bisa juga karena kita mengabaikan tabayyun (klarifikasi) dari mereka, mencukupkan pokok baramij (Acara/agenda/program), atau bisa jadi karena adanya misskomunikasi. Setelah saya bertanya kepada shahib saya yang cukup lama tinggal di Madinah Qadhi al-fadhil Syekh Ali Syarifuddin, LC, beliau mengatakan; “Pak Cecep kita engga bisa mendesak-desak mereka untuk meminta sesuatu yang berkepastian, sebab bisa jadi mereka tersinggung.
DIRJEN YANG MODERAT ITU MENDIDIK SAYA RESPONSIF GENDER DAN BELAJAR DI TIMUR TENGAH Banyak sekali pelatihan yang saya ikuti selama bekerja di Lingkungan Peradilan Agama yaitu dari tahun 1994 sampai dengan sekarang, namun ada tiga pelatihan yang paling berkesan dan mempunyai bobot tersendiri dalam perjalanan karier saya: Pertama adalah Pelatihan Teknis Yustisial Khusus pada tahun 2003 selama kurang lebih satu bulan di Hotel Syahid Jogjakarta. Pelatihan ini dinamai pelatihan khusus karena diikuti hakim-hakim khusus yang dipilih konon atas dasar ranking terbaik
pada pelatihan-pelatihan Teknis
Yustisial sebelumnya yang diselenggarakan oleh Balai Diklat Mahkamah Agung R.I. pada waktu itu saya tercatat sebagai peserta paling muda di tengah senior-senior saya yang sudah golongan III/d ke atas sementara saya masih golongan III/b, diantaranya alhamdulillah pada Diklat Ekonomi Syari‟ah di Ma‟had Ali lil-Qadha Al-Jami‟ah Al-Imam Muhammad bin Su‟ud Al-Islamiyah Riyadh ini bersama-sama lagi sebagai peserta yaitu: Masyayikh Al-Fudhala Drs. Muhammad Yasya, SH (Ketua PA Situbondo) dan Drs. Lanjarto, SH (Wakil Ketua PA Cirebon). Kedua adalah Workshop Sosialisasi dan Implementasi Hak-Hak dalam Keluarga yang diselenggarakan Pusat Studi Wanita (PSW) UIN Sunan Kalijaga pada tahun 2010; dan Ketiga Diklat Ekonomi Syari’ah atau Diklat Hakim Indonesia di Universitas Islam al-Imam Muhammad bin Su’ud Riyah: Semua pelatihan tersebut di atas dilaksanakan dalam kepemimpian Yang Terhormat Bapak Drs. Wahyu Widiana, MA. Pada pelatihan yang pertama beliau masih Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama (masa transisi dari Depertemen Agama R.I ke Mahkamah Agung RI), Pada pelatihan yang ke dua dan yang ketiga Pengadilan Agama sudah di bawah Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung R.I dan beliaulah sebagai Direktur Jendralnya. Pada pelatihan pertama beliau memberikan materi tentang langkah-langkah beliau dalam membangun masa depan Peradilan agama. Yang sangat terekam dalam ingatan saya pada waktu itu tentang Human Resourses Building yakni membangun sumber daya manusia Peradila Agama, Performance Building yakni membangun penampilan Pengadilan Agama secara pisik sehingga dapat menunjukan Kewibawaan sebagai isntitusi penegak hukum yang yang mempunyai pelayanan prima terhadap para pencari keadilan, Image Building yakni
Membangun kesan atau citra yang baik sebagai peradilan yang modern bukan hanya terbatas pada kesan peradilan cerai thalak tetapi juga pada kewenagan-kewenangan lainnya seperti Warisan, Hibah, Washiyat, Zakat dan Shadaqah (pada waktu itu ekonomi syari‟ah belum menjadi kewenangan Peradilan Agama). Dalam penyampaian materi tersebut nampak sekali Keceriaan wajah Pak Direktur dengan penuh semangat dan optimis ingin merubah dan membangun Pengadilan Agama menjadi Pengadilan yang modern dan
berwibawa
dalam menjalankan tugas kehakiman serta pelayanannya kepada para pencari keadilan dirasakan sangat bermanfa‟at bagi masyakat. Kini apa yang disampaikan oleh Pak Direktur waktu itu, telah nampak hasilnya, sumber daya manusia Peradilan Agama terus mengalami peningkatan baik melalui jalur pendidikan formal maupun melalui jalur Pendidikan dan latihan yang diadakan Badilag maupun Pusdiklat MARI, baik dalam negeri maupun luar negeri. Bangunan-bangunan fisik Pengadilan Agama sudah jauh dari kondisi sebelumnya yang hanya berstatus balai sidang, dengan dilengkapi perangkat keras dan perangkat lunak yang elegan dan moderen; Citra sebagai Peradilan yang mempunyai pelayanan terbaik kini telah diraih bukan saja pengakuan dari masyarakat secara langsung melalui penelitian-penelitian ilmiyah oleh lembaga yang berkompeten, tetapi juga LSM – LSM yang berkelas internasinal telah mengakuinya bahkan direkomendasikannya sebagai contoh peradilan di dunia Islam. Selanjutnya pada Pelatihan yang kedua dan ketiga, juga merupakan langkah nyata yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama MARI di bawah kepemimpinan Bapak Dirjen Wahyu Widiana dalam pengembangan sumber daya manusia yang menjalin kerja sama dengan pihak luar dalam hal ini Pusat Studi Wanita (PSW) UIN Sunan Kalijaga dan Kerajaan Saudi Arabia melalui Jami‟ah Al-Imam (sebutan untuk Universitas Islam alImam Muhammad bin Su‟ud Sekolah Tinggi Peradilan) di Riyah. Sepengetahuan saya kerjasama dengan luar negeri juga telah dilakukannya dengan Australia dan Sudan. Kedua pelatihan terakhir yang diikuti oleh saya secara substansial memberikan pemaknaan yang sangat berbeda dalam merubah pola pikir saya sebagai hakim peradilan agama, hal ini telah saya kemukakan kepada musyarikin masyayikh al-fudhala Qudhat Indonesia (sebutan kepada para peserta Diklat Hakim Indonesia di Riyadh) termasuk obralan ringan saya dengan amiin al-am syeh al-fadhil Drs. Farid Ismail, MH. Disinilah saya punya kesimpulan bahwa beliau (Pak Dirjen) adalah orang yang moderat. Kemoderatan beliau bukan hanya sekedar beliau yang mempunyai latar belakang pendidikan pesantren salafiyah Cipasung (tempat diselenggarakannya muktamar NU ke 29) atau beliau yang telah melanglang pendidikan di salah satu Universitas ternama di negeri Paman Sam Amerika
Serikat, tetapi sangat nampak dari inklusifitas beliau dalam mengarahkan para hakim untuk mengalami dan menyelami pendidikan yang berbeda manhaj (sistem) dan thariqah (metode); Dalam kedua pendidikan ini Pak Dirjen memberikan pengarahan kepada kami tentang pentingnya sumber daya hakim peradilan agama, yang satu tentang wawasan responsif gender dan pada kesempatan yang berbeda tentang bagaimana kita belajar di Timur Tengah dalam hal ini Saudi Arabia yang kita telah maklum bersama managemen mereka seperti itu (tidak pasti dan serba dadakan), bahkan ketika kami naik bis pun beliau mengantarkannya lansung sembari memberikan amanat: “ tolong kalian beradaftasi dan jaga nama baik kita (Nama baik bangsa dan Nama baik Hakim Indonesia), saya berharap Diklat ini bisa berkelanjutan, tanggung jawabnya ada pada angkatan ke II ini, sehingga akan diundang lagi angkatan III. Yang dimaksud secara substansial memberikan pemaknaan yang berbeda dalam merubah pola pikir adalah sebagai berikut: Pendidikan yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Wanita (PSW) UIN Sunan Kalijaga secara materi membahas tentang hak-hak keluarga dalam Islam yang didalamnya mengusung muatan kesetaraan gender, demokrasi dan hak-hak asasi manusia. Pola pikir yang dikembangkan dalam pelatihan ini sangat kontekstual bahkan dalam menafsirkan al-Qur‟an sekalipun sering kali keluar dari patrun-patrun penafsiran yang lazim dipakai oleh para ulama atau orang biasa menyebutnya perpikir liberal, satu contoh dalam menafsirkan tentang kata qawwamun dalam surat an-Nisa‟ ayat 34: “ar-rijalu qawwamuuna „ala an-nisa‟ mereka banyak mengembangkan metode penafsiran seperti yang dikemukan salah satu pemateri Dr. Waryono Abdul Ghafur secara Tekstual (tafsir Bayani) Qawwamun Pimpinan, Pembesar, al-Hakim [Decision Maker], secara Rasional (tafsir Burhani): Qawwamun berarti Pelindung, secara Intuitif (Tafsir „Irfani): Qowwamun : Kuasa__ seperti kekuasaan penguasa/pemerintah terhadap rakyat, secra Empiris dan kontesktual (Tafsir Waqi‟i wal
„asr): Qawwamun: Kepemimpinan yang bersifat fungsional-sosiologis. Penafsiran terakhir ini menurut mereka mendorong dan rensponsif gender karena lebih equailiti (berkeadilan), equiti (berkesetaraan) dan lain-lain. Prof. Dr. Amin Abdullah, mantan Rektor UIN Sunan Kali Jaga bahkan mengutif pendapat Martin van Bruinessen yang mengatakan bahwa banyak kitab kuning (kitab turats)
bias gender “Baik dalam penggunaan bahasa (yang sangat
memihak kepada jenis mudzakkar) maupun pilihan aspek kehidupan perempuan yang dijadikan pokok bahasan kitab-kitab fiqh, terdapat bias yang begitu dalam dan transparan.
Tolok ukur untuk segala hal ialah laki-laki, dan perbedaan antara perempuan dan laki-laki diberi makna bahwa perempuan tidak mencapai martabat laki-laki. Keberadaan perempuan seolah-olah hanya demi mengabdi kepada laki laki dan memenuhi kebutuhan seksualnya saja. Status laki-laki baik di dunia maupun di akherat jauh di atas status perempuan, dan dengan tolok ukur harga, bobot atau keseriusan, satu orang laki-laki adalah sepadan dengan dua orang perempuan.”
Pembahasan di atas semuanya berkaitan dengan pokok-pokok
peradilan agama dan kewenangannya sepanjang yang berkaitan erat dengan hak-hak wanita atau keluarga dalam Islam menjadi pembahasan utama. Berbeda halnya dengan Diklat yang diselenggarakan Universitas Islam al-Imam Muhammad bin Su‟ud di Riyadh secara materi membahas tentang sistem peradilan di Kerajaan Saudi Arabia, Pengenalan kompetensi masing-masing Peradilan di Kerajaan saudi Arabia, Proses Peradilan dan Hukum acaranya, Shiyagh wa tasbiib al-hukm (Formulasi Putusan dan pertimbangannya), Arbitrase Islam (Tahkiim), Perbankan Islam Modern, Hukum Bisnis Islam, Nawazil (masalah-masalah kontemporer) dalam Hukum Keluarga, Warisan, Wakaf, studi komperatif Peradilan dalam bentuk kunjungan observasi ke Mahkamah Idari (Pengadilan Tata Usaha Negara di Kerajaan saudi Arabia), mahkamah Ammah (Peradilan Umum), Hai‟ah al-tahqiq wa iddi‟a al-„am (Badan Penyidik dan Penuntutan Umum), Wuzarah
al-„adl (kementrian Hukum Keadilan) serta diberikan muhadharah (materi pencerahan) tentang tauhid, fiqh dan akhlaq tasawuf. Dari semua materi yang diberikan, Sistem (manhaj) dan metode (thariqah) yang dikembangkan oleh para Profesor (Al-Ustadz) Universitas Islam al-Imam Muhammad bin Su‟ud jauh berbeda dengan pelatihan yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Wanita (PSW) UIN Sunan Kalijaga, mereka sangat tekstual walaupun banyak kajian-kajian yang bersifat aktual (kekinian), modern (mu‟ashirah), Al-Asatidz sangat disiplin dalam merujuk kepada
manthuq dan mafhum nash-nash al-Qur‟an dan Al-hadits, kalau tidak ada di dalam al-Qur‟an dan Hadits, mereka memegangi Ijma‟ dan Qiyash, serta metologi Ijtihad hukum-hukum islam yang lainnya. Doktrin hukum (fiqh) yang menjadi pegangan mereka termasuk madzhab resmi Kerajaan Saudi Arabia adalah Madzhab Hambali (Imam Ahmad bin Hambal) namun tetap dikembangkan perbandingan madzhab (muqaranah madzahib) terutama
madzahibul arba‟ah (madzhab empat) yaitu Imam Maliki, Imam Hanafi, Imam Syafi‟i dan Hambili, dan lazim dikalangan mereka untuk mengambil pendapat yang lebih kuat (arjah), sehingga kitab-kitab karya ulama salaf (kitab klasik/kutub al-turats) masih menjadi rujukan dalam memecahkan masalah-masalah diantara meraka. Apa yang tidak menjadi bahasan dikalangan para ulama madzahib dalam masalah-masalah fiqih mereka membahasnya dalam
kajian tersendiri yang dinamakan nawazil al-fiqhiyyah, seperti tentang nikah lewat telepon, internet, telecormprens dan lain-lain. Sedangkan peraturan perundang-undangannya dalam bentuk andzimah mamlakah (peraturan kerajaan) yang tidak boleh bertentangan dengat syari‟at. Selama dalam perkuliahan di Jami‟ah Al-Imam Riyadh, kami para peserta yang terdiri dari hakim-hakim pilihan mahir berbahasa arab dan Insya Allah memang benar adanya, kami sangat aktif dan kritis untuk mendiskusikan dengan para Profesor, menyampaikan permasalahan-permasalahan bahkan seringkali membanding-bandingkan antara yang berlaku di Indonesia dan yang berlaku di Saudi Arabia, kami menyampaikannya dengan bahasa arab yang fushha (bertatabahasa yang baik) penuh kesantunan dan tawaddhu‟ seperti ungkapan dalam mengawali pertanyaan setelah ucapan ismah lii..., ma‟al asaf,... lau
samahtum,...., ma‟dziratan ya syaikh....dan lain-lain, kemudian dilanjutkan dengan isi pertanyaan: ladaina...., fii baladina....., indana..... wa kaifa fii mamlakah saudi..... Pertanyaan-pertanyaan itu tidak jarang menyentuh masalah-masalah yang sensitif dipertanyakan hubungannya dengan hak asasi manusia, kesetaraan gender, politik dan demokrasi. Sekedar menyegarkan ingatan masyayikh fudhala (sebutan mereka kepada kami di Saudi Arabia); Syekh Burhanuddin Ali (Qadhi dari Garut) mengklarifikasi tentang perbudakan walaupun kami semua agak ketar ketir, tetapi Professor menjawabnya dengan sejuk dan tenang: “itu kan oknum seraya menjelaskan surat Almu‟minun: 6 dan Surat al-Nur: 33 yang berkenaan dengan hal itu, Syekh Arqam Pamulutan (Qadhi dari Palembang) dengan
gayanya menanyakan tentang keheranannya tidak didapati satupun karyawan dan hakim wanita di Mahkamah Idari yang disambut ketawa riang (maklum kondisi kami sudah sebulan memang tidak ketemu dengan isteri) , Syekh Yunadi
(Qadhi dari Simeulue Aceh)
menanyakan tentang pemilihan umum dan demokrasi (Intikhab al-Am wa dimaqratiyyah) dan masyayikh yang lainnya banyak mempersoalkan tentang isbath thalaq (penetapan thalak), keberadaan wanita dalam perceraian dan dunia bisnis. Saya sendiri tidak banyak bertanya tentang itu karena di samping sudah terwakili juga lebih punya kesempatkan bertanya tentang ekonomi dan perbankan syari‟ah, tahkim dan hukum acara, namun Insya Allah saya konsen terhadap yang dipertanyakan oleh akhuna fillah masyayikh fudhala itu. Jawaban dari para profesor pada umumnya berbanding terbalik dengan pemikiran-pemikiran dan praktek kita di Indonesia, hal tersebut disebabkan karena konsistensi mereka dalam metodologi berfikir hukumnya dan mungkin masalah sosialcultur yang melatarbelakanginya,
sehingga hampir tidak ada pemikiran hukum yang menerobos (kontra legem) dengan pemikiran-pemikiran para fuqaha al-mujtahidin al-muhaqiqin, kecuali dalam hal yang tidak menjadi temuan pada fuqaha di masa terdahulu dibahasnya dalam nawazil fiqhiyyah. Contoh dalam pengangkatan hakim wanita di Saudi Arabia mengambil pendapat jumhur ulama yang mengharamkan wanita untuk diangkat menjadi hakim, walaupun mereka juga memahami bahwa Imam Hanafi membolehkannya dalam masalah al-ahwal al-syakhsiyah (hukum-hukum keluarga). Dalam masalah itsbat tolak kehadiran dan keberdayaan perempuan tidak dipersyaratkan yang penting bukti penjatuhan thalak dari suami baik secara tulisan maupun lisan telah ada, maka thalak dapat diisbatkan. walaupun tidak dalam arti hak-hak perempuan yang ditolak hilang sama sekali, mereka para isteri wajib diberikan nafkah madhiyah, muth‟ah, nafkah iddah, hadhanah dan nafkah anak, sampai apabila suaminya tidak mampu diberikan pinjaman oleh negara. Keterlibatan perempuan dalam ruang-ruang publik sangat minim, konon menurut Pak Lulu Husein Atase Perdadangan dan Industri Kedutaan Besar RI di Riyadh ketika kami berkungjung ke KBRI dan mendapat ceramah dari Yang Mulia Duta Besar RI Bapak Gatot Abdullah Manshur, akhir-akhir ini Kerajaan Arab Saudi mengeluarkan peraturan bahwa sales atau pramuniaga untuk pakaian dalam dibolehkan dari kaum perempuan. Sedangkan masalah demokrasi kita sudah maklum bahwa Saudi Arabia negara yang berbentuk kerajaan kepala negara dan pemerintahan (perdana menteri) adalah Raja sehingga pemilihan umum sebagai pesta demokrasi tidak ada, anggota parlemen diangkat oleh Raja berdasarkan saran-saran dari penasihat raja, dan Raja dalam membuat peraturan (andzimah) atau mengambil suatu kebijakan dikontrol oleh penasehat (mustasyar) yang diambil dari kalangan ulama, ahli ilmu dan akademisi. Catatan ini adalah sebagian kecil dari catatan panjang, selama saya mengikuti diklat Ekonomi Syari‟ah di Universitas Islam al-Imam Muhammad bin Su‟ud Sekolah Tinggi Peradilan Riyadh, sengaja disampaikan sebagai kesan yang tidak akan pernah saya lupakan dan Insya Allah menjadi respons tersendiri terhadap pentingnya kehadiran wanita atau isteri dalam semua lapangan kehidupan, karena apa yang saya dapati dalam dua kesempatan pelatihan di atas, pada dasarnya tidak ada maksud untuk mendewa-dewakan atau mengistimewakan perempuan atau sebaliknya untuk memarjinalkan perempuan, tetapi pada keduanya tersirat pemuliaan terhadap kaum hawa yang diklaim oleh Rasulullah sebagai “tiang negara”. “Apabila perempuan shalihah maka kuatlah negara, apabila perempuan rusak maka rapuhlah negara”. Mengakhiri catatan ini saya berpesan: “Marilah kita memelihara nilai-nilai lama yang baik dan mengambil nilai-nilai yang baru yang lebih baik”. (Al-muhafadzatu „ala al-qadiim al-shalih wal-akhdzu bi al-jadiid al-ashlah) Terima kasih Pak
Dirjen yang moderat telah mendidik saya responsif gender dan belajar di Negara Impian Timur Tengah tempat lahirnya Ambiya dan Auliya Allah. Jazakallah khairal jaza. Amin
i