BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 1310, 2014
KEMENHUT. Silvikultur. Izin Usaha. Pemanfaatan. Hasil. Hutan Kayu. Restorasi Ekosistem. Hutan Produksi. Penerapan.
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P. 64/Menhut-II/2014 TENTANG PENERAPAN SILVIKULTUR DALAM AREAL IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU RESTORASI EKOSISTEM PADA HUTAN PRODUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang
: a.
bahwa berdasarkan Pasal 34 ayat (1) huruf b, Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008, pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan alam pada hutan produksi dapat dilakukan melalui kegiatan usaha pemanfaatan hasil hutan kayu restorasi ekosistem;
b.
bahwa berdasarkan Pasal 71 ayat (1) huruf g, Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008, setiap Pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hutan wajib melaksanakan sistem silvikultur sesuai dengan kondisi setempat;
c.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Kehutanan tentang Penerapan
2014, No. 1310
2
Silvikultur dalam Areal Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem pada Hutan Produksi; Mengingat
: 1.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419);
2.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888), sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 19 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412);
3.
Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
4.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059);
5.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5432);
6.
Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4453), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2009
3
2014, No. 1310
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 5056); 7.
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4696), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 16, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4814);
8.
Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2008 tentang Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 201, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 4947);
9.
Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2014;
10. Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca; 11. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.58/MenhutII/2008 tentang Kompetensi dan Sertifikasi Tenaga Teknis Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 52) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.20/Menhut-II/2010 (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 221); 12. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.11/MenhutII/2009 tentang Sistem Silvikultur dalam Areal Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Produksi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 24); 13. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.56/MenhutII/2009 tentang Rencana Kerja Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Alam dan Restorasi Ekosistem (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 273) sebagaimana telah diubah dengan
2014, No. 1310
4
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.24/MenhutII/2011 (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 233); 14. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.1/MenhutII/2009 Tentang Penyelenggaraan Perbenihan Tanaman Hutan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.72/Menhut-II/2009 (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 490); 15. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.40/MenhutII/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kehutanan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 405), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.33/Menhut-II/2012 (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 779); 16. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.31/MenhutII/2014 tentang Tata Cara Pemberian dan Perluasan Areal Kerja Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) dalam Hutan Alam, IUPHHK Restorasi Ekosistem atau IUPHHK Hutan Tanaman Industri pada Hutan Produksi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 668); MEMUTUSKAN: Menetapkan :
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN TENTANG PENERAPAN SILVIKULTUR DALAM AREAL IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU RESTORASI EKOSISTEM PADA HUTAN PRODUKSI. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan: 1.
Hutan Produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan.
2.
Hutan Alam Primer adalah hutan alam yang masih utuh yang belum dilakukan kegiatan eksploitasi.
3.
Hutan Bekas Tebangan adalah hutan alam yang telah mengalami perubahan komposisi dan struktur vegetasi aslinya akibat kegiatan eksploitasi.
5
2014, No. 1310
4.
Restorasi Ekosistem adalah upaya untuk mengembalikan unsur hayati (flora dan fauna) beserta unsur non hayatinya (tanah dan air) pada suatu ekosistem kawasan dengan jenis asli, sehingga tercapai keseimbangan ekosistemnya.
5.
Restorasi Ekosistem pada Hutan Produksi adalah upaya untuk mengembalikan unsur hayati (tegakan hutan) dan ekosistemnya pada kawasan hutan produksi, sehingga tercapai kondisi optimal potensi dan pemanfaatannya sebagai hutan alam produksi lestari.
6.
Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem dalam hutan alam pada hutan produksi yang selanjutnya disingkat dengan IUPHHK-RE adalah izin usaha yang diberikan untuk membangun kawasan dalam hutan alam pada hutan produksi yang memiliki ekosistem penting sehingga dapat dipertahankan fungsi dan keterwakilannya melalui kegiatan pemeliharaan, perlindungan dan pemulihan ekosistem hutan termasuk penanaman, pengayaan, penjarangan, penangkaran satwa, pelepasliaran flora dan fauna untuk mengembalikan unsur hayati (flora dan fauna) serta unsur non hayati (tanah, iklim, dan tofografi) pada suatu kawasan kepada jenis yang asli, sehingga tercapai keseimbangan hayati dan ekosistemnya.
7.
Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem pada areal yang belum tercapai keseimbangan ekosistemnya adalah usaha yang diberikan untuk membangun kawasan pada hutan produksi yang memiliki ekosistem penting sehingga dapat dipertahankan fungsi produksi dan keterwakilan ekosistemnya melalui kegiatan pemeliharaan, perlindungan dan pemulihan ekosistem hutan termasuk penanaman, pengayaan, pemulihan habitat dan populasi satwa liar, penangkaran satwa liar, pelepasliaran flora dan fauna untuk mengembalikan unsur hayati (flora dan fauna) beserta unsur non hayatinya (tanah dan air) pada suatu ekosistem kawasan dengan jenis asli, sampai tercapai keseimbangan ekosistemnya.
8.
Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem pada areal yang sudah tercapai keseimbangan ekosistemnya adalah usaha yang diberikan untuk melakukan restorasi ekosistem di hutan produksi melalui kegiatan pemeliharaan, perlindungan dan pemulihan ekosistem hutan termasuk penanaman, pengayaan, penjarangan, penebangan, penangkaran satwa liar, dan pelepasliaran flora dan fauna.
9.
Silvikultur adalah ilmu dan seni memanipulasi faktor klimatis dan edafis untuk mengontrol pembentukan tegakan, pertumbuhan, komposisi, struktur dan kualitas hutan sesuai dengan tujuan pengelolaannya.
10. Silvikultur Restorasi Ekosistem adalah rangkaian kegiatan sejak tahap
2014, No. 1310
6
permudaan, pemeliharaan dan pemungutan hasil yang dirancang secara sistematis dan dipraktekkan secara langsung pada suatu tegakan sepanjang siklus hidupnya guna menjamin kelestarian produksi kayu atau hasil hutan lainnya. 11. Teknik Silvikultur adalah suatu metode atau cara dalam memberikan perlakuan terhadap tegakan hutan dalam rangka untuk mempertahankan atau meningkatkan produktivitas hutan. 12. Waktu penanaman (Planting Time; Pt) adalah kodefikasi pelaksanaan tahapan restorasi ekosistem yang diawali dengan kegiatan penanaman atau pengayaan dengan jenis-jenis tanaman asli dan/atau tanaman unggulan setempat pada areal yang sudah ditetapkan. 13. Jenis asli adalah jenis tumbuhan setempat atau endemik yang keberadaannya tumbuh secara alami. 14. Pohon klimaks adalah jenis pohon komersial unggulan setempat yang mendominasi tutupan vegetasi suatu tegakan dalam hutan produksi. 15. Keseimbangan ekosistem adalah interaksi unsur biotik dan abiotik yang menghasilkan produktivitas tegakan optimal dalam ekosistem kawasan hutan alam pada hutan produksi. 16. Satwa Kunci adalah satwa di habitat aslinya yang memiliki peran kunci dalam suatu ekosistem dan/atau dapat dijadikan indikator kualitas habitat di zona lindung IUPHHK-RE. 17. Populasi Minimum dalam keseimbangan ekosistem adalah jumlah individu satwa liar minimum untuk dapat bertahan dan berkembangbiak di suatu areal tertentu. 18. Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem dalam Hutan Alam pada hutan produksi yang selanjutnya disingkat RKUPHHK-RE adalah rencana kerja untuk seluruh areal kerja IUPHHK-RE yang disusun menurut jangka waktu 10 (sepuluh) tahunan, antara lain memuat aspek kelestarian hutan, kelestarian usaha, keseimbangan lingkungan dan pembangunan sosial ekonomi masyarakat setempat. 19. Rencana Kerja Tahunan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem yang selanjutnya disebut RKTUPHHK-RE adalah rencana kerja dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan yang disusun berdasarkan RKUPHHK-RE. 20. Restorasi Habitat Flora adalah upaya pemulihan ekosistem melalui pengayaan dan penanaman jenis asli atau unggulan setempat serta pemeliharaan dalam zona lindung dan/atau zona produksi IUPHHKRE untuk menyediakan tegakan potensial dan/atau pemenuhan pakan satwa liar, yang diintegrasikan dengan kondisi lingkungan dan
7
2014, No. 1310
fungsi kawasan disekitarnya. 21. Restorasi Habitat Fauna adalah upaya pemulihan ekosistem bagi fauna/satwa liar setempat dalam zona lindung dan/atau zona produksi IUPHHK-RE melalui penyediaan tempat atau lokasi berkembang tumbuh fauna/satwa liar endemik atau satwa kunci secara optimal melalui pemilihan tempat/lokasi yang diintegrasikan dengan kondisi lingkungan dan fungsi kawasan disekitarnya. 22. Koridor Satwa adalah tempat atau lokasi yang sesuai sebagai jalur migrasi satwa liar di zona produksi ke zona lindung yang disediakan melalui pemilihan tempat/lokasi yang diintegrasikan dengan kondisi lingkungan IUPHHK-RE. 23. Zonasi hutan adalah kegiatan deliniasi makro pada areal kerja IUPHHK-RE ke dalam zona lindung, zona tidak untuk produksi dan zona produksi. 24. Zona Lindung adalah kawasan yang diperuntukan untuk melindungi ekosistem penting, meliputi habitat satwa kunci/endemik/langka, pelestarian sumberdaya genetik dan fungsi hidrologis, fungsi sosial budaya dan religi masyarakat hukum adat serta areal untuk penelitian dan pengembangan. 25. Zona tidak untuk produksi adalah kawasan yang tidak dimanfaatkan untuk kegiatan budidaya, yaitu sungai, danau, jalan, saranaprasarana, area persemaian / pembibitan dan sebagainya. 26. Zona Produksi adalah kawasan pada areal kritis/tanah kosong/semak belukar, bekas tebangan dan hutan primer yang berfungsi produksi dikelola untuk peningkatan produktivitas flora/pohon maupun fauna/satwa liar, koridor satwa, termasuk areal budidaya untuk kelola sosial. 27. Menteri adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan. 28. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Bina Usaha Kehutanan. 29. Dinas Provinsi adalah Dinas yang menyelenggarakan pemerintahan di bidang kehutanan di wilayah Provinsi.
urusan
30. Dinas Kabupaten/Kota adalah Dinas yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan di wilayah Kabupaten/Kota. 31. Balai adalah Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Bina Usaha Kehutanan. 32. Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi yang selanjutnya disingkat KPHP adalah Kesatuan Pengelolaan Hutan yang luas wilayahnya
2014, No. 1310
8
seluruh atau sebagian besar terdiri dari kawasan hutan produksi. 33. Tenaga Teknis Kehutanan Pengelolaan Hutan Produksi Lestari yang selanjutnya disingkat GANIS PHPL adalah petugas perusahaan pemegang izin di bidang pengelolaan dan/atau pemanfaatan hutan produksi lestari yang memiliki kompetensi dan sertifikasi di bidang pengelolaan hutan produksi lestari sesuai dengan kualifikasinya yang diangkat dan diberhentikan oleh Kepala Balai atas nama Direktur Jenderal. 34. Pengawas Tenaga Teknis Kehutanan yang selanjutnya disingkat WASGANIS-PHPL adalah pegawai instansi kehutanan yang memiliki kompetensi di bidang pengawasan dan pemeriksaan pengelolaan hutan produksi lestari sesuai dengan kualifikasinya yang diangkat dan diberhentikan oleh Kepala Balai atas nama Direktur Jenderal. BAB II TAHAPAN SILVIKULTUR RESTORASI EKOSISTEM Pasal 2 (1) Penerapan restorasi ekosistem dalam IUPHHK-RE didasarkan pada RKUPHHK-RE yang telah disahkan, sesuai dengan tahapan kegiatan silvikultur restorasi ekosistem. (2) Tahapan kegiatan silvikultur restorasi dimaksud pada ayat (1), meliputi :
ekosistem
sebagaimana
a. Penataan areal kerja; b. Inventarisasi potensi hutan pada areal kerja; c. Penataan batas zonasi dan koridor satwa; d. Pembukaan wilayah hutan terbatas; e. Pembuatan persemaian/pembibitan; f.
Penanaman/pengayaan;
g. Pemeliharaan; h. Restorasi habitat flora dan/atau fauna; i.
Perlindungan dan pengamanan;
j.
Penelitian dan pengembangan.
(3) Tahapan silvikultur restorasi ekosistem sebagaimana dimaksud pada ayat (2), bertujuan untuk meningkatkan produktivitas, meningkatkan biodiversitas dan memperbaiki struktur tegakan hutan serta melindungi ekosistem. (4) Tahapan silvikultur restorasi ekosistem sebagaimana dimaksud pada ayat (2), secara rinci sebagaimana tercantum pada Lampiran
9
2014, No. 1310
Peraturan Menteri ini. Pasal 3 (1) Pelaksanaan kegiatan silvikultur restorasi ekosistem sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), dilakukan dalam areal kerja IUPHHKRE sesuai dengan: a. blok RKUPHHK-RE; dan b. zonasi di areal kerja IUPHHK-RE. (2) Blok RKUPHHK-RE sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, berfungsi melindungi ekosistem, pelestarian populasi satwa liar dan dilakukan melalui: a. penataan batas zona lindung; dan b. penataan batas koridor satwa. (3) Zonasi di areal kerja IUPHHK-RE sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, terdiri atas zona lindung, zona produksi dan zona tidak untuk produksi. (4) Penataan batas zona lindung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a untuk pelestarian satwa liar, seluas paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari luas IUPHHK-RE atau seluas paling sedikit 2.000 (dua ribu) hektar areal yang kompak dalam setiap zona lindung yang terpisah. (5) Penataan batas koridor satwa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, berada dalam zona produksi sebagai jalur migrasi satwa liar dan konektor antar zona lindung di setiap blok RKUPHHK-RE. (6) Lebar koridor untuk migrasi satwa liar dari zona produksi ke zona lindung paling sedikit 500 (lima ratus) meter. Pasal 4 (1) Tahapan kegiatan silvikultur restorasi ekosistem sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), dilaksanakan di dalam blok RKUPHHK-RE selama kondisi hutan belum mencapai keseimbangan ekosistem. (2) Waktu kegiatan silvikultur restorasi ekosistem dalam setiap blok RKUPHHK-RE paling sedikit selama 10 (sepuluh) tahun atau sampai mencapai keseimbangan ekosistem dan/atau terdapat potensi tegakan yang dapat dipanen di zona produksi dan satwa kunci di zona lindung mencapai populasi minimum. (3) Prioritas kegiatan dan tahapan kegiatan silvikultur restorasi ekosistem dimasing-masing blok RKUPHHK-RE dan zonasinya, ditentukan berdasarkan potensi dan tingkat degradasi vegetasi dalam blok RKUPHHK-RE serta dimuat dalam RKTUPHHK-RE.
2014, No. 1310
10
BAB III SILVIKULTUR RESTORASI EKOSISTEM Bagian Kesatu Umum Pasal 5 Penerapan silvikultur restorasi ekosistem di areal IUPHHK-RE terdiri dari : a. Silvikultur ekosistem.
restorasi
ekosistem
sebelum
tercapai
keseimbangan
b. Silvikultur ekosistem.
restorasi
ekosistem
sesudah
tercapai
keseimbangan
Bagian Kedua Silvikultur Restorasi Ekosistem Sebelum Tercapai Keseimbangan Ekosistem Paragraf 1 Teknik Silvikultur Pasal 6 (1) Restorasi ekosistem pada areal sebelum tercapai keseimbangan ekosistem menggunakan teknik silvikultur restorasi ekosistem. (2) Teknik silvikultur restorasi ekosistem sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi : a. penanaman / pengayaan; b. permudaan alam yang dipercepat; c. pemeliharaan; dan d. perlindungan. Pasal 7 (1) Teknik silvikultur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), dilaksanakan pada zona lindung dan zona produksi dalam blok RKUPHHK-RE. (2) Penanaman/pengayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf a, dilakukan di dalam gap atau jalur sesuai dengan tingkat degradasi hutan dan fungsi zonasi dengan jenis asli setempat yang sesuai dengan tempat tumbuh dan tujuan penanaman / pengayaan. (3) Permudaan alam yang dipercepat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf b, dilakukan di areal hutan yang permudaan alamnya cukup potensial yang perkembangannya terhambat karena persaingan
11
2014, No. 1310
atau invasi jenis - jenis berpotensi invansif. (4) Pemeliharaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf c, dilakukan dengan pembebasan tegakan di hutan sekunder dan hutan bekas tebangan untuk percepatan pertumbuhan dan kualitas tegakan. (5) Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf d, dilakukan untuk pencegahan serangan hama, penyakit, dan kebakaran hutan. Pasal 8 (1) Penerapan teknik silvikultur restorasi ekosistem pada hutan produksi dituangkan dalam RKTPHHK-RE. (2) Penerapan teknik silvikultur restorasi ekosistem oleh perusahaan pemegang IUPHHK-RE, dikoordinasikan oleh Pegawai Perusahaan yang berkualifikasi GANIS-PHPL sesuai kompetensinya. (3) Jumlah kebutuhan GANIS-PHPL untuk melaksanakan Teknik Silvikultur Restorasi Ekosistem sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sesuai dengan Standar Kebutuhan GANIS-PHPL sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Paragraf 2 Pemulihan Fungsi Ekosistem Pasal 9 (1) Pemulihan fungsi ekosistem dilakukan dengan membangun petak konservasi sumberdaya genetik/plasma nutfah, petak ukur permanen (PUP), petak penelitian pengembangan di zona lindung dan membangun koridor satwa di zona produksi. (2) Pemulihan fungsi ekosistem meliputi kegiatan : a. rehabilitasi areal terdegradasi; b. pemulihan fungsi produksi; dan c. pemulihan habitat dan populasi satwa kunci. (3) Rehabilitasi areal terdegradasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, dilakukan melalui penerapan teknik silvikultur di zona lindung dan/ atau zona produksi dalam IUPHHK-RE untuk meningkatkan produktivitas. (4) Pemulihan fungsi produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, dilakukan melalui penerapan teknik silvikultur dengan metoda penanaman, pengayaan dan pembebasan jenis-jenis komersial di zona lindung dan/atau zona produksi dalam IUPHHK-RE. (5) Pemulihan habitat dan populasi satwa kunci sebagaimana dimaksud
2014, No. 1310
12
pada ayat (2) huruf c, dilakukan melalui pengayaan dan penanaman jenis asli atau unggulan setempat serta pemeliharaan di zona lindung dan/ atau zona produksi dalam IUPHHK-RE. (6) Pengayaan dan penanaman jenis asli atau unggulan setempat serta pemeliharaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), untuk menyediakan tegakan potensial dan/atau pemenuhan pakan satwa dan/atau menyediakan tempat atau lokasi berkembang tumbuh fauna/satwa liar atau satwa kunci secara optimal yang diintegrasikan dengan kondisi lingkungan dan fungsi kawasan di sekitarnya dan produktivitas hasil hutan kayu dan/atau bukan kayu. Bagian Ketiga Parameter Keseimbangan Ekosistem Pasal 10 (1) Parameter keseimbangan ekosistem pada areal kerja IUPHHK-RE dinilai berdasarkan : a. Kriteria keseimbangan ekosistem; b. Indikator keseimbangan ekosistem. (2) Keseimbangan ekosistem hasil penerapan teknik silvikultur restorasi ekosistem sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat terjadi dalam satu blok dan/ atau beberapa blok RKUPHHK-RE. Paragraf 1 Kriteria Keseimbangan Ekosistem Pasal 11 Kriteria keseimbangan ekosistem sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a, yaitu dalam satu dan/ atau beberapa blok RKUPHHK-RE telah terjadi : a. Peningkatan keragaman jenis pohon klimaks; b. Terdapat satwa kunci, langka, dan/atau endemik dalam zona lindung. Paragraf 2 Indikator Keseimbangan Ekosistem Pasal 12 (1) Indikator keseimbangan ekosistem sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf b, berdasarkan peningkatan keragaman jenis pohon klimaks dalam blok RKUPHHK-RE, meliputi : a.
Tercapainya keragaman jenis pohon dengan Indeks Shannon ≥ 3 di zona lindung.
13
2014, No. 1310
b.
Tercapainya keragaman jenis pohon dengan Indeks Shannon ≥ 2,5 di zona produksi serta tercapainya jumlah pohon induk sebagaimana Sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) dan jumlah pohon yang optimal yang dapat ditebang di zona produksi.
c.
Terbentuknya stratifikasi tajuk dalam zona produksi dan zona lindung yang mendukung pemulihan ekosistem habitat satwa kunci.
d.
Tercapainya produktivitas dan potensi tanaman pohon seumur multi jenis, jenis asli unggulan setempat dan/atau jenis komersial masak tebang pada bekas lahan terdegradasi di zona produksi.
(2) Indikator keseimbangan hayati berdasarkan satwa kunci, langka dan/atau endemik yaitu dengan tercapainya populasi minimum satwa kunci, langka dan/atau endemik dalam zona lindung di dalam areal kerja. (3) Indikator keseimbangan ekosistem pada Hutan Dataran Tanah Kering, Hutan Rawa, dan Hutan Payau/Mangrove yaitu terbentuknya struktur alami hutan dimana tegakan, tiang, pancang dan semai menyebar secara proporsional. Bagian Keempat Penilaian Keseimbangan Ekosistem Pasal 13 (1) Pemegang IUPHHK-RE harus mengajukan permohonan penilaian apabila menurut kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 telah tercapai keseimbangan ekosistem pada areal kerjanya dalam satu dan/atau beberapa blok RKUPHHK-RE dan dilakukan selambatlambatnya setelah RKUPHHK-RE pertama selesai. (2) Permohonan penilaian diajukan kepada Menteri c.q. Direktur Jenderal dengan dilampirkan: a. peta kerja, skala 1:50.000 untuk luas areal kerja kurang dari 50.000 (lima puluh ribu) hektar dan/ atau skala 1 : 100.000 untuk luas areal kerja lebih dari 50.000 (lima puluh ribu) hektar; b. citra satelit 2 (dua) tahun terakhir; dan c. data rencana dan realisasi pelaksanaan kegiatan IUPHHK-RE. (3) Direktur Jenderal membentuk Tim Penilai untuk melakukan penilaian hasil pencapaian keseimbangan ekosistem dalam blok RKUPHHK-RE pada areal kerja IUPHHK-RE. (4) Susunan Tim Penilai terdiri dari unsur Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan,
2014, No. 1310
14
Dinas Propinsi/Kabupaten/Kota yang membidangi Kehutanan dan instansi lain yang dipandang perlu. (5) Dalam melakukan tugasnya, Tim Penilai akan menilai blok RKUPHHK-RE yang dimohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) serta indikator keseimbangan hayati sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12. (6) Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan dalam plot contoh seluas 1 % (satu persen) dalam zona lindung dan zona produksi pada blok RKUPHHK-RE yang dimohon. (7) Hasil penilaian Tim Penilai dilaporkan oleh Direktur Jenderal kepada Menteri untuk mendapatkan persetujuan atau penolakan selambatlambatnya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kerja. (8) Anggaran pelaksanaan penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (6), dibebankan kepada Kementerian Kehutanan. Bagian Kelima Sistem Silvikultur Restorasi Ekosistem Sesudah Tercapai Keseimbangan Ekosistem Paragraf 1 Zona Produksi Pasal 14 (1) Penerapan sistem silvikultur berupa pemanfaatan hasil hutan kayu dalam IUPHHK-RE hanya dilakukan pada petak-petak zona produksi dalam blok RKUPHHK-RE yang telah mencapai keseimbangan ekosistem. (2) Keseimbangan ekosistem sebagaimana dimaksud ayat (1) ditetapkan oleh Menteri. (3) Penerapan sistem silvikultur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) dengan teknik pembalakan ramah lingkungan (Reduced Impact Logging /RIL). (4) Penerapan Sistem Silvikultur TPTI dan RIL sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dengan memperhatikan: a. luasan serta potensi pada zona produksi; b. mempertahankan keseimbangan ekosistem; dan c. pemanfaatan kayu tetap menjaga kaidah-kaidah pengelolaan hutan produksi lestari. (5) Penerapan sistem silvikultur dalam IUPHHK-RE dikoordinasikan oleh Pegawai Perusahaan yang berkualifikasi tenaga teknis pengelolaan
15
2014, No. 1310
hutan produksi lestari (GANIS-PHPL) sesuai kompetensinya (6) Jumlah kebutuhan GANIS-PHPL untuk melaksanakan sistem Silvikultur Restorasi Ekosistem sebagaimana dimaksud pada ayat (3), sesuai dengan Standar Kebutuhan GANIS-PHPL sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Paragraf 2 Zona Lindung Pasal 15 Pemanfaatan zona lindung dilakukan terbatas pada : a.
usaha pemanfaatan kawasan;
b.
usaha pemanfaatan jasa lingkungan;
c.
pemungutan hasil hutan bukan kayu;
d.
mengelola sumber benih untuk mendapatkan bibit yang berkualitas/ sumber plasma nutfah;
e.
mempertahankan fungsi habitat satwa kunci dan/atau pelepasliaran satwa; atau
f.
mempertahankan keberadaan petak ukur permanen, petak konservasi sumberdaya genetik, petak sumber plasma nutfah, petak yang berfungsi penelitian dan pengembangan dalam zona lindung, areal berfungsi hidrologi, budaya dan religi masyarakat hukum adat. BAB IV PEMBINAAN DAN PENGAWASAN Pasal 16
(1) Direktur Jenderal melakukan pembinaan atas pelaksanaan teknik silvikultur dan sistem silvikultur yang dilaksanakan oleh pemegang IUPHHK-RE. (2) Kepala KPHP/Kepala UPT melakukan pengawasan pelaksanaan sistem silvikultur dan teknik silvikultur IUPHHK-RE paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun sesuai RKT berjalan melalui WASGANISPHPL sesuai kompetensinya. BAB V SANKSI Pasal 17 Pemegang IUPHHK-RE yang tidak melaksanakan sistem silvikultur dan teknik silvikultur yang telah disetujui dalam RKUPHHK-RE, dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
2014, No. 1310
16
BAB VI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 18 (1) Sistem silvikultur dan teknik silvikultur yang telah dituangkan dan disahkan dalam RKUPHHK-RE sebelum diterbitkan Peraturan ini, wajib disesuaikan dengan ketentuan dalam peraturan ini. (2) Penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan merevisi RKUPHHK-RE. BAB VII KETENTUAN PENUTUP Pasal 19 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 12 September 2014 MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, ZULKIFLI HASAN Diundangkan di Jakarta pada tanggal 15 September 2014 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, AMIR SYAMSUDIN
17
2014, No. 1310
LAMPIRAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR
: P.64/Menhut-II/2014
TENTANG : PENERAPAN SILVIKULTUR DALAM AREAL IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU RESTORASI EKOSISTEM PADA HUTAN PRODUKSI Tahapan Silvikultur Restorasi Ekosistem I.
Prinsip 1.
Meningkatkan produktivitas hutan, layanan ekosistem, konektivitas hutan dan mitigasi sehingga resiko ekonomi, ekologi dan sosial menurun.
2.
Melaksanakan teknik silvikultur restorasi ekosistem sebelum mencapai keseimbangan ekosistemnya dengan efisien dan efektif.
3.
Pengelolaan usaha pemanfaatan kawasan, usaha pemanfaatan hasil hutan non kayu dan usaha jasa lingkungan serta hasil hutan kayu secara berkelanjutan.
4.
Melestarikan plasma nutfah, satwaliar dan habitatnya serta ekosistem penting.
5.
Menerapkan sistem silvikultur hutan alam setelah mencapai keseimbangan ekosistem.
II. Tujuan Meningkatkan produktivitas hutan, keragaman jenis flora dan fauna, pemulihan struktur hutan beserta ekosistemnya dengan jenis asli hingga mencapai keseimbangan ekosistem melalui tahapan kegiatan restorasi ekosistem dalam IUPHHK-RE. III. Tahapan Kegiatan Restorasi Ekosistem 1.
Penataan areal kerja (Pt – 2) Penataan areal kerja berupa pelaksanaan kegiatan tata batas areal kerja, rekonstruksi batas, pemeliharaan pal batas dan lainlain terkait dengan batas areal kerja secara keseluruhan. 1.1. Prinsip 1)
Tata batas areal dilaksanakan sesuai waktu yang tercantum di dalam SK IUPHHK-RE atau kalau belum dilaksanakan, maka agar dijadwalkan dalam waktu 1 (satu) tahun.
2)
Menata areal IUPHHK-RE dalam blok dan zonasi berdasarkan tipologi hutan, ragam bentang alam, serta
2014, No. 1310
18
penyebaran flora dan satwa kunci secara makro. 3)
Menata areal IUPHHK-RE untuk efisiensi dan efektifitas pelaksanaan kegiatan restorasi ekosistem.
4)
Menata areal IUPHHK-RE untuk aspek legal kepastian areal kerja serta pengamanan kawasan.
dan
1.2. Kegiatan
2.
1)
Penataan kawasan (tata batas luar, rekonstruksi batas dan atau pemeliharaan pal tata batas, dan lain-lain) diselesaikan dalam 1 (satu) tahun setelah ijin diberikan.
2)
Menata areal kerja IUPHHK-RE dalam bentuk blok-blok RKU dan dijabarkan dalam bentuk blok-blok RKT dengan urutan yang fleksibel menurut skala prioritas.
3)
Memilih dan memilah areal IUPHHK-RE dalam bentuk zonasi secara makro yang terdiri dari zona lindung sebagai bagian ekosistem penting yang saling terhubung oleh koridor satwa kunci, zona produksi sebagai zona pengembangan usaha dan kelola sosial dan zona bukan untuk produksi sebagai zona pendukung pengelolaan dan pemanfaatan.
4)
Kegiatan dilakukan 2 (dua) tahun sebelum penanaman (Pt – 2).
Inventarisasi Potensi Hutan dan Kawasan (Pt – 2) Inventarisasi potensi hutan dan kawasan dilaksanakan untuk mengetahui potensi flora, fauna dan optimalisasi pemanfaatan kawasan dalam areal kerja. 2.1. Prinsip 1)
Mengetahui potensi biofisik dalam areal kerja restorasi ekosistem.
2)
Sebagai bahan perencanaan restorasi dalam IUPHHK-RE.
penyusunan
program
2.2. Kegiatan 1)
Melakukan inventarisasi fauna dan flora langka atau endemik pada tiap tipe ekosistem hutan dengan keterwakilan yang memadai.
2)
Melakukan pemetaan terhadap distribusi/sebaran jenis pohon asli unggulan/komersial setempat, habitat satwa liar kunci dan potensi kawasan.
3)
Kegiatan dilakukan 2 (dua) tahun sebelum penanaman
19
2014, No. 1310
(Pt – 2). 3.
Penataan batas Zonasi dan Koridor Satwa (Pt – 1) Penataan batas zonasi dan koridor satwa dilakukan untuk membuat batas zonasi dan koridor satwa di dalam RKU berjalan di tingkat lapangan sesuai dengan deliniasi makro dan kondisi eksisting. 3.1. Prinsip 1)
Menata areal RKU sesuai dengan zonasi dan koridor satwa yang ada didalamnya.
2)
Menata RKU ke dalam bentuk RKT berdasarkan skala prioritas dalam rangka pemulihan ekosistem dan fungsi produksi dengan mempertimbangkan zonasi yang ada di dalamnya.
3)
Menata koridor satwa dalam zona produksi sebagai konektor antar zona lindung untuk pelestarian populasi satwa kunci.
3.2. Kegiatan 1)
Data-data yang perlu dicatat meliputi kondisi topografi, aliran-aliran sungai, lokasi-lokasi yang spesifik seperti habitat flora dan fauna langka, mata air, danau, rawa atau daerah genangan, daerah-daerah rawan longsor, dsb.
2)
Membagi areal kerja RKU ke dalam RKT secara sistematis untuk menjamin kepastian/legal kawasan dan perlindungan ekosistem penting.
3)
Membuat rancangan peletakan batas blok RKU dan membuat rancangan peletakan batas RKT dalam blok RKU.
4)
Mengidentifikasi potensi eksisting vegetasi, habitat dan sebaran populasi satwa kunci, satwa langka atau satwa endemik untuk penataan zona lindung.
5)
Penata batas zonasi dan koridor satwa memetakannya di setiap blok RKU dan RKT.
6)
Dalam zona lindung dibuat petak ukur permanen (PUP)(≥ 100 ha), petak konservasi sumberdaya genetik (≥ 300 ha) dan petak yang berfungsi sebagai Hutan Penelitian (≥ 500 ha).
7)
Kegiatan dilakukan 1 (satu) tahun sebelum penanaman (Pt–1).
serta
2014, No. 1310
4.
20
Pembukaan Wilayah Hutan (PWH) terbatas (Pt – 1) PWH adalah suatu kegiatan di dalam pengelolaan hutan yang berusaha menciptakan persyaratan-persyaratan yang lebih baik agar pengelolaan hutan dapat lestari, yang merupakan perpaduan teknis, ekonomis dan ekologis dari pembukaan dasar wilayah hutan, pemeliharaan tegakan dan sistem penanaman dan pemeliharaan. 4.1. Prinsip 1)
Meningkatkan aksesibilitas pelaksanaan restorasi ekosistem.
guna
mendukung
2)
Mempertimbangkan dampak bukaan vegetasi terhadap erosi, hidrologi, pengamanan hutan dan lain-lain.
3)
Efisiensi, efektif dan ramah lingkungan.
4.2. Kegiatan
5.
1)
Memperbaiki/memelihara jalan utama yang sudah ada dan pembuatan jalan cabang untuk kegiatan pengangkutan bibit, penanaman dan pemeliharaan tanaman dan tegakan hutan.
2)
Intensitas pembukaan jalan disesuaikan dengan fungsi zonasi dan tingkat degradasi hutan.
3)
Untuk menentukan areal-areal yang harus dilindungi dan untuk rencana peletakan trase jalan sarad dan jalan angkutan.
4)
Pelaksanaan kegiatan dilakukan 1 (satu) tahun sebelum penanaman (Pt-1).
Pembuatan Persemaian/Pembibitan (Pt – 1) 5.1. Prinsip 1)
Menyediakan bibit untuk restorasi dari jenis asli / unggulan / komersial setempat.
2)
Menyediakan bibit tanaman yang berkualitas.
3)
Mengacu pada teknik pembibitan tanaman yang standar.
5.2. Kegiatan 1)
Membangun persemaian prasarananya.
2)
Mengidentifikasi lokasi sumber benih di dalam areal kerja IUPHHK-RE.
3)
Mengidentifikasi
dan
beserta
mengumpulkan
sarana
benih,
dan
bibit
2014, No. 1310
21
cabutan jenis asli/unggulan/ komersial dan jenis asosiasinya, jenis pakan satwa dan jenis HHBK untuk dikembangkan di persemaian.
6.
4)
Melakukan proses pembibitan sesuai hingga bibit siap tanam.
SOP persemaian
5)
Kegiatan dilakukan 1 (satu) tahun sebelum penanaman (Pt–1).
Penanaman/Pengayaan (Pt + 0) 6.1. Prinsip 1)
Pemulihan produktivitas keseimbangan hayati.
hutan
hingga
mencapai
2)
Menggunakan bibit jenis asli lokal/setempat yang berkualitas.
3)
Meningkatkan komposisi jenis dan struktur hutan.
4)
Dilakukan pada musim tanam yang tepat atau dengan perlakuan yang menjamin hidup dan pertumbuhan yang optimal.
unggulan/komersial
6.2. Kegiatan
7.
1)
Kegiatan dilaksanakan pada RKT berjalan.
2)
Pemilihan jenis dan intensitas penanaman/pengayaan sesuai dengan kondisi tutupan vegetasi dan zonasi di mana penanaman dilaksanakan.
3)
Pengayaan dilaksanakan untuk dukung habitat satwa kunci.
4)
Penanaman jenis asli unggulan/komersial dilakukan bersama pengayaan dengan jenis asosiasinya untuk peningkatan keragaman jenis.
5)
Penanaman/pengayaan dilakukan pada awal kegiatan (Pt+ 0).
memperbaiki
daya
Pemeliharaan (Pt + 1, 3, 5, dan 7) 7.1. Prinsip 1)
Meningkatkan produktivitas permudaan alam dan jenis tanaman pengayaan.
2)
Meningkatkan produksi.
3)
Meningkatkan kualitas ketersediaan tanaman pakan satwa.
riap
dan
kualitas
tegakan
di
zona
2014, No. 1310
4)
22
Dapat melaksanakan pemangkasan.
penjarangan
atau
prunning/
7.2. Kegiatan
8.
1)
Pemeliharaan disesuaikan dengan fungsi zonasi dalam blok RKU.
2)
Menetapkan metoda pemeliharaan yang sesuai, baik pada tanaman maupun regenerasi alam untuk pertumbuhan yang optimal.
3)
Pemeliharaan pada tanaman pengkayaan selain pendangiran dan pembersihan gulma juga dapat dilakukan pembukaan jalur tanaman dari naungan pohon-pohon di sekitarnya terutama tumbuhan yang bersifat invasif.
4)
Melakukan pemulsaan yaitu memberikan serasah di sekitar tanaman untuk menjaga kelembaban tanah atau penguapan air tanah.
5)
Melakukan penyulaman pada areal penanaman dengan persentasi tumbuh yang rendah. Penyulaman hanya dilakukan pada tanaman yang berumur kurang dari 2 tahun.
6)
Melakukan penjarangan pada anakan alam yang rapat untuk mengurangi persaingan dan penjarangan pada tumbuhan jenis pionir guna membuka ruang hidup bagi jenis klimaks.
7)
Melakukan pembebasan tumbuhan pengganggu.
8)
Kegiatan Pemeliharaan dilakukan waktu Pt + 1, 3, 5 dan 7.
jenis-jenis
komersial
dari
Restorasi Habitat Flora dan atau Fauna (Terus menerus) 8.1. Prinsip 1)
Meningkatkan daya dukung habitat flora/tanaman asli unggulan/komersil dan atau fauna/satwa kunci.
2)
Meningkatkan populasi flora dan dilindungi, langka dan terancam punah.
3)
Melestarikan dan membudidayakan jenis pohon asli unggulan/komersial dan langka.
4)
Melestarikan dan mengembangbiakkan kunci, langka atau endemik.
satwa
jenis
kunci,
satwa
2014, No. 1310
23
8.2. Kegiatan
9.
1)
Mengidentifikasi areal kerja dalam blok RKU yang potensial sebagai habitat satwa dan diintegrasikan dengan kondisi areal di sekitarnya melalui koridor.
2)
Melaksanakan pengayaan/penanaman pohon dan atau tanaman sumber pakan satwa di koridor satwa dan zona lindung.
3)
Melakukan rehabilitasi dan pengayaan/penanaman jenis pohon langka, dilindungi dan terancam punah di zona lindung.
4)
Kegiatan Restorasi Habitat Flora dilakukan sepanjang masa izin.
dan
atau
Fauna
Perlindungan dan Pengamanan (Terus menerus) 9.1. Prinsip 1)
Pengendalian hama, penyakit dan kebakaran hutan.
2)
Mengatasi perambahan, kegiatan illegal dan intervensi lahan.
9.2. Kegiatan 1)
Pengendalian hama dan penyakit secara lingkungan dan tidak membahayakan satwa.
ramah
2)
Membangun kemitraan dengan mengatasi kebakaran hutan.
untuk
3)
Membangun kemitraan dengan masyarakat untuk membangun pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM) di areal kritis/tanah kosong/semak belukar dalam zona produksi dengan sistem agroforestry.
4)
Membangun menara api pada lokasi tertentu yang dapat dipergunakan untuk mengetahui secara dini apabila ada kebakaran/api. Menara api diusahakan lebih tinggi dari pohon dan atau diletakkan di lokasi puncak bukit.
5)
Membentuk satuan tugas pengendali kebakaran dan secara aktif melakukan perondaan terutama pada saat rawan kebakaran.
6)
Membangun kantong-kantong air pada lokasi tertentu untuk dapat dipergunakan apabila terjadi kebakaran tanaman, dengan intensitas setiap kantong-kantong air untuk 100 ha tanaman.
7)
Melengkapi sistem komunikasi yang dapat menjangkau
masyarakat
2014, No. 1310
24
seluruh areal tanaman dan sekitarnya. 8)
Melakukan penyuluhan membuat papan-papan strategis.
kepada masyarakat serta pengumuman pada lokasi
9)
Membuat sekat bakar (jalur hijau) selebar kurang lebih 6 meter mengelilingi blok tanaman, yang diitanami jenisjenis yang tahan api dan mudah penanganannya.
10) Membentuk satuan pengamanan hutan. 11) Membuat pos-pos pengamanan dan melakukan patroli rutin. 12) Membuat standar operasional prosedur (SOP). 13) Kegiatan Perlindungan sepanjang masa izin.
dan
Pengamanan
dilakukan
10. Penelitian dan Pengembangan (Terus menerus) 10.1. Prinsip 1)
Penelitian dan pengembangan restorasi ekosistem guna mendukung perbaikan daya dukung habitat dan populasi fauna/satwa kunci dan atau flora/tumbuhan langka/endemik.
2)
Melestarikan jenis pohon asli unggulan / komersial setempat atau sebagai pakan satwa.
3)
Melestarikan populasi satwa kunci dan jenis satwa lainnya.
4)
Membuat kriteria dan indikator penilaian keberhasilan restorasi dan pemanfaatannya.
10.2. Kegiatan 1)
Penelitian jenis dan potensi hasil hutan non kayu di zona lindung dan zona produksi.
2)
Penelitian pelestarian flora dan atau fauna, pertumbuhan riap dan proses pemulihan ekosistem.
3)
Penelitian teknik restorasi pada berbagai tipe vegetasi.
4)
Penelitian jenis pohon /tanaman pakan satwa dan dinamika populasi satwa dilakukan di zona lindung.
5)
Khusus dengan penelitian di petak penelitian dapat dilakukan bekerjasama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Perguruan Tinggi yang dikoordinasikan dengan Badan Litbang Kehutanan.
2014, No. 1310
25
6)
Pengembangan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, jasa lingkungan, kayu, usaha kawasan dan satwa tidak dilindungi.
7)
Pengembangan usaha pemanfaatan kawasan, usaha pemanfaatan jasa lingkungan dan usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu pada fase sebelum mencapai keseimbangan ekosistem dan ekosistem.
8)
Pengembangan kriteria keseimbangan ekosistem.
9)
Pengembangan metode penilaian pengelolaan hutan secara lestari pada IUPHHK-RE, peningkatan sumber daya manusia dan teknologi terapan dalam pemanfaatan multi produk dalam pengelolaan restorasi ekosistem.
dan
indikator
penilaian
10) Penelitian menjadi bagian untuk menilai blok RKU apakah sudah atau belum mencapai keseimbangan ekosistem. 11) Kegiatan Penelitian dan Pengembangan Ekosistem dilakukan sepanjang masa izin.
Restorasi
MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,
ZULKIFLI HASAN