BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1089, 2012
KEMENTERIAN PERHUBUNGAN. Sungai. Danau. Alur.
Pelayaran.
PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM. 52 TAHUN 2012 TENTANG ALUR-PELAYARAN SUNGAI DAN DANAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang
:
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 18, Pasal 50, Pasal 97, dan Pasal 102 Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2010 tentang Kenavigasian, serta dalam rangka menjamin keselamatan, keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas dan angkutan di alur-pelayaran sungai dan danau, perlu menetapkan Peraturan Menteri Perhubungan tentang AlurPelayaran Sungai dan Danau;
Mengingat
:
1.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
2.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4849);
www.djpp.depkumham.go.id
2012, No.1089
2
3.
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);
4.
Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 151, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5070);
5.
Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2010 tentang Kenavigasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5093);
6.
Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2010 tentang Angkutan di Perairan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 26, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5108) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2011 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5208);
7.
Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2010 tentang Perlindungan Lingkungan Maritim (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5109);
8.
Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 91 Tahun 2011;
9.
Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara serta Susunan Organisasi Tugas dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 92 Tahun 2011;
www.djpp.depkumham.go.id
3
2012, No.1088
10. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM. 73 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Angkutan Sungai dan Danau, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM. 58 Tahun 2007; 11. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM. 60 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Perhubungan; MEMUTUSKAN: Menetapkan
:
PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN ALUR-PELAYARAN SUNGAI DAN DANAU.
TENTANG
BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan: 1.
2. 3.
4.
5. 6. 7.
Alur-Pelayaran Sungai dan Danau adalah perairan sungai dan danau, muara sungai, alur yang menghubungkan 2 (dua) atau lebih antar muara sungai yang merupakan satu kesatuan alur-pelayaran sungai dan danau yang dari segi kedalaman, lebar, dan bebas hambatan pelayaran lainnya dianggap aman dan selamat untuk dilayari. Pelabuhan Sungai dan Danau adalah pelabuhan yang digunakan untuk melayani angkutan sungai dan danau yang terletak di sungai atau danau. Fasilitas Alur-Pelayaran Sungai dan Danau adalah sarana dan prasarana yang wajib dilengkapi untuk menjamin keselamatan, keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas dan angkutan pada suatu alur-pelayaran. Buku Petunjuk Pelayaran di Sungai dan Danau adalah buku panduan yang berisi petunjuk atau keterangan yang dipergunakan sebagai pedoman bagi para awak kapal sungai dan danau dalam berlayar dengan selamat. Kolam Pemindahan Kapal adalah bagian kanal atau sungai yang ditutup oleh pintu air untuk mengatur ketinggian permukaan air sehingga kapal sungai dan danau dapat melintas. Bendungan Pengatur Kedalaman Air adalah fasilitas yang dibangun pada aliran sungai untuk mengatur kedalaman sungai guna membantu kelancaran lalu lintas di sungai. Bangunan Pengangkat Kapal adalah fasilitas yang ditempatkan pada kanal atau sungai yang berfungsi untuk mengangkat dan menurunkan kapal sungai dan danau sehingga dapat melintasi suatu alur sungai yang memiliki perbedaan tinggi muka air sungai.
www.djpp.depkumham.go.id
2012, No.1089
8. 9.
10. 11. 12. 13. 14.
15.
16.
17. 18.
19.
4
Kanal adalah fasilitas berupa alur buatan yang menghubungkan alur dalam satu sungai atau alur antar sungai sehingga kapal sungai dan danau berukuran tertentu dapat berlayar. Rambu adalah fasilitas berupa tanda-tanda dalam bentuk tertentu yang memuat lambang, huruf, angka, dan/atau perpaduan diantaranya yang dapat berupa papan berwarna atau pelampung dan/atau isyarat sinar yang digunakan untuk memberikan larangan, perintah, petunjuk, dan peringatan bagi pemakai alur-pelayaran sungai dan danau. Pos Pengawasan adalah fasilitas yang digunakan untuk melakukan tugas pengawasan dan pengendalian pelayaran sungai dan danau. Halte adalah fasilitas berupa tempat pemberhentian sementara untuk menaikkan dan menurunkan penumpang dan barang diantara pelabuhan asal dan tujuan. Pencatat Skala Tinggi Air adalah fasilitas yang digunakan untuk memantau ketinggian muka air sungai dan danau. Bangunan Penahan Arus adalah fasilitas berupa bangunan yang dibuat pada lokasi tertentu yang digunakan untuk menahan arus agar dapat dilayari dengan selamat. Bangunan Pengatur Arus adalah suatu fasilitas yang dibuat untuk mengarahkan arus agar dapat mencegah akibat yang tidak diinginkan terhadap kondisi sungai ataupun aliran air sungai sehingga dapat menjaga keamanan, kelancaran dan keselamatan pelayaran, serta ditempatkan pada lokasi yang mempunyai kondisi arus yang berbahaya terhadap keselamatan pelayaran sungai. Bangunan Penahan Tanah/Tebing Sungai adalah bangunan yang diperlukan dan dibuat pada tepian sungai atau tebing sungai agar dapat mencegah runtuhnya tepian sungai atau tebing sungai yang dapat membahayakan lalu lintas pelayaran sungai atau juga keselamatan pelayaran sungai dan juga bangunan yang berada di atas tepian sungai. Kolam Penampung Lumpur adalah bangunan yang diperlukan untuk menampung lumpur agar dapat mencegah pendangkalan pada alur sungai atau membahayakan keselamatan pelayaran sesuai dengan pertimbangan teknis menyangkut kondisi teknis sungai setempat. Bangunan atau Instalasi adalah setiap konstruksi baik berada di atas dan/atau di bawah permukaan perairan sungai dan danau; Terminal Khusus adalah terminal yang terletak di luar Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan Pelabuhan Sungai dan Danau yang merupakan bagian dari pelabuhan terdekat yang berada di alur-pelayaran sungai dan danau untuk melayani kepentingan sendiri sesuai dengan usaha pokoknya. Pengerukan adalah pekerjaan mengubah bentuk dasar perairan sungai dan danau untuk mencapai kedalaman dan lebar yang
www.djpp.depkumham.go.id
5
20. 21. 22. 23.
2012, No.1088
dikehendaki atau untuk mengambil material dasar perairan sungai dan danau yang dipergunakan untuk keperluan tertentu. Pekerjaan Bawah Air adalah pekerjaan yang berhubungan dengan instalasi, konstruksi, atau kapal sungai dan danau yang dilakukan di bawah air sungai dan danau. Badan Usaha adalah Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, atau badan hukum Indonesia yang khusus didirikan untuk penyelenggaraan transportasi sungai dan danau. Menteri adalah Menteri Perhubungan. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Perhubungan Darat. Pasal 2
(1) Peraturan Menteri ini berlaku untuk penyelenggaraan alur-pelayaran sungai dan danau, lalu lintas serta kapal-kapal sungai dan danau yang berlayar di sepanjang alur-pelayaran sungai dan danau. (2) Kapal laut yang beroperasi di sungai dan danau berlaku ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan tentang Alur Pelayaran di Laut. BAB II PENYELENGGARAAN ALUR-PELAYARAN SUNGAI DAN DANAU Bagian Kesatu Umum Pasal 3 Penyelenggaraan alur-pelayaran sungai dan danau dilakukan untuk: a. ketertiban lalu lintas kapal sungai dan danau; b. memonitor pergerakan kapal sungai dan danau; dan c. mengarahkan pergerakan kapal sungai dan danau. Pasal 4 (1) Penyelenggaraan alur-pelayaran sungai dan danau dilaksanakan oleh Pemerintah. (2) Untuk penyelenggaraan alur-pelayaran sungai sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan: a. b. c. d.
dan
danau
alur-pelayaran; sistem rute; tata cara berlalu lintas; dan daerah labuh kapal sesuai dengan kepentingannya.
www.djpp.depkumham.go.id
2012, No.1089
6
(3) Dalam menetapkan alur-pelayaran sungai dan danau sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, Menteri berkoordinasi dengan instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengelolaan sumber daya air. Bagian Kedua Alur-Pelayaran Pasal 5 Penyelenggaraan alur-pelayaran sungai dan danau meliputi kegiatan: a. perencanaan; b. pembangunan; c. pengoperasian; dan d. pemeliharaan. Pasal 6 Perencanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a terdiri atas: a. jangka panjang yaitu di atas 15 (lima belas) tahun sampai dengan 20 (dua puluh) tahun; b. jangka menengah yaitu di atas 10 (sepuluh) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun; dan c. jangka pendek yaitu di atas 5 (lima) tahun sampai dengan 10 (sepuluh) tahun. Pasal 7 Perencanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 meliputi: a. survei inventarisasi dan identifikasi alur-pelayaran serta lalu lintas dan angkutan di sungai dan danau; b. survei data primer alur; dan c. profil alur. Pasal 8 (1) Survei inventarisasi dan identifikasi alur-pelayaran serta lalu lintas dan angkutan di sungai dan danau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a terdiri atas: a. kesesuaian dengan Rencana Tata Ruang Wilayah; b. kesesuaian dengan pengelolaan sumber daya air; c. analisis pengembangan wilayah sungai dan danau; d. analisis karakteristik alur-pelayaran sungai dan danau; dan e. analisis karakteristik lalu lintas kapal sungai dan danau. (2) Kesesuaian dengan Rencana Tata Ruang Wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan untuk mengetahui:
www.djpp.depkumham.go.id
7
2012, No.1088
a. lokasi, jenis dan skala kegiatan sosial dan ekonomi yang berada di tepi sungai; dan b. peranan transportasi sungai dan danau sebagaimana tertuang dalam tataran transportasi wilayah dan tataran transportasi lokal. (3) Kesesuaian dengan pengelolaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan untuk mengetahui: a. sistem jaringan pengairan; dan b. daerah yang memanfaatkan sumber daya air. (4) Analisis pengembangan wilayah sungai dan danau sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan untuk mengetahui: a. pemanfaatan sungai dan danau perencanaan wilayah yang berlaku;
sesuai
dengan
dokumen
b. pengembangan kegiatan di wilayah sekitar daerah aliran sungai dan danau; dan c. pengembangan transportasi selain angkutan sungai dan danau di wilayah sekitar daerah aliran sungai dan danau. (5) Analisis karakteristik alur-pelayaran sungai dan danau sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan untuk mengetahui: a. panjang, lebar, kedalaman, radius tikungan, ruang bebas horisontal dan vertikal terhadap rencana alur-pelayaran sungai dan danau; dan b. kecepatan arus, kecepatan angin, tingkat sedimentasi, curah hujan, dan kedalaman air. (6) Analisis karakteristik lalu lintas kapal sungai dan danau sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dilakukan untuk mengetahui: a. ukuran kapal paling besar yang diperkirakan akan menggunakan alur-pelayaran sungai dan danau yang mencakup panjang, lebar, sarat/draft, ketinggian; b. pola lalu lintas kapal sungai dan danau yang mencakup asaltujuan, kepadatan lalu lintas dan lokasi potensi rawan kecelakaan; dan c. perkiraan dampak lalu lintas kapal sungai dan danau terhadap keselamatan pelayaran dan kelestarian lingkungan. Pasal 9 Survei data primer alur-pelayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b paling sedikit meliputi: a. lebar; b. kedalaman; dan c. pasang surut.
www.djpp.depkumham.go.id
2012, No.1089
8
Pasal 10 Profil alur-pelayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf c memuat: a. prakiraan wilayah alur-pelayaran yang akan digunakan untuk kegiatan angkutan sungai; b. prakiraan kelas alur; c. prakiraan perekayasaan alur sungai agar dapat digunakan untuk kepentingan lalu lintas pelayaran; dan d. prakiraan fasilitas alur-pelayaran. Pasal 11 (1) Berdasarkan hasil perencanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10 ditetapkan kelas alurpelayaran. (2) Kelas alur-pelayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri. (3) Kelas alur-pelayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan dengan rambu. (4) Kelas alur-pelayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan evaluasi paling lama 5 (lima) tahun sekali untuk mengetahui kesesuaian kelas alur-pelayaran dengan kondisi alur-pelayaran. Pasal 12 (1) Kelas alur-pelayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 terdiri atas: a. alur-pelayaran kelas I; b. alur-pelayaran kelas II; dan c. alur-pelayaran kelas III. (2) Klasifikasi alur-pelayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan kriteria: a. kedalaman sungai; b. lebar sungai; dan c. tinggi ruang bebas di bawah bangunan yang melintas di atas sungai. (3) Klasifikasi alur-pelayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b hanya berlaku pada fisik kedalaman dan lebar sungai dan danau.
www.djpp.depkumham.go.id
9
2012, No.1088
Pasal 13 (1) Alur-pelayaran kelas I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf a harus memenuhi persyaratan teknis: a. memiliki kedalaman sungai dan danau lebih dari 10 (sepuluh) meter; b. memiliki lebar alur lebih dari 250 (dua ratus lima puluh) meter; dan c. memiliki ruang bebas di bawah bangunan yang melintas di atas sungai lebih dari 15 (lima belas) meter. (2) Alur-pelayaran kelas II sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf b harus memenuhi persyaratan teknis: a. memiliki kedalaman sungai dan danau antara 5 (lima) sampai dengan 10 (sepuluh) meter; b. memiliki lebar alur antara 100 (seratus) sampai dengan 250 (dua ratus lima puluh) meter; dan c. memiliki ruang bebas dibawah bangunan yang melintas diatas sungai antara 10 (sepuluh) meter sampai dengan 15 (lima belas) meter. (3) Alur-pelayaran kelas III sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf c harus memenuhi persyaratan teknis: a. memiliki kedalaman sungai dan danau lebih kecil dari 5 (lima) meter; b. memiliki lebar alur lebih kecil dari 100 (seratus) meter; dan c. memiliki ruang bebas dibawah bangunan yang melintas lebih kecil dari 10 (sepuluh) meter. Pasal 14 (1) Kelas alur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dapat dilakukan perubahan. (2) Perubahan kelas alur-pelayaran sungai dan danau sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan karena: a. perubahan kondisi alur-pelayaran; dan b. perubahan kondisi lalu lintas. (3) Perubahan kelas alur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diusulkan oleh: a. Direktur Jenderal untuk alur-pelayaran kelas I; b. gubernur untuk alur-pelayaran kelas II; dan c. bupati/walikota untuk alur-pelayaran kelas III.
www.djpp.depkumham.go.id
2012, No.1089
10
(4) Berdasarkan usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Direktur Jenderal melakukan evaluasi sebelum ditetapkan oleh Menteri. Pasal 15 (1) Setiap alur-pelayaran yang telah ditetapkan kelasnya harus dibuat peta alur-pelayaran dan buku petunjuk pelayaran di sungai dan danau. (2) Peta alur-pelayaran sungai dan danau dan buku petunjuk pelayaran di sungai dan danau sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh: a. Direktur Jenderal untuk peta dan buku petunjuk alur-pelayaran kelas I; b. gubernur untuk peta dan buku petunjuk alur-pelayaran kelas II; dan c. bupati/walikota untuk peta dan buku petunjuk alur -pelayaran kelas III. (3) Peta alur-pelayaran sungai dan danau serta buku petunjuk pelayaran di sungai dan danau sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus diumumkan oleh Direktur Jenderal, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangan. (4) Dalam hal pembuatan peta alur-pelayaran sungai dan danau sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri berkoordinasi dengan instansi yang bertanggung jawab di bidang pemetaan. Pasal 16 (1) Peta alur-pelayaran sungai dan danau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dibuat dalam beberapa skala yang berbeda sesuai dengan kebutuhan dan cakupan daerah dari alur-pelayaran sungai dan danau. (2) Peta alur-pelayaran sungai dan danau sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat: a. hambatan yang ada di alur-pelayaran, kedalaman alur dan skala tinggi air; b. batas bagian daratan dengan daerah perairan, topografi alurpelayaran, dan pelabuhan; c. lokasi fasilitas alur-pelayaran; d. judul, skala, bulan dan tahun penerbitan peta alur-pelayaran; e. perubahan peta harus dicantumkan pada bagian bawah peta dan tanggal terakhir perbaikan; dan f. informasi, paling sedikit memuat:
www.djpp.depkumham.go.id
11
2012, No.1088
1. titik-titik dan garis-garis kedalaman di sepanjang alur-pelayaran sungai dan danau; 2. posisi alur-pelayaran sungai dan danau; 3. keberadaan obyek/fasilitas di sekitar dan di dalam alurpelayaran sungai dan danau yang berpotensi mengganggu kelancaran, keamanan dan keselamatan lalu lintas kapal sungai dan danau; dan 4. skema sistem rute yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal, gubernur, atau bupati/ walikota sesuai dengan kewenangan. Pasal 17 (1) Buku petunjuk pelayaran di sungai dan danau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) paling sedikit memuat: a. ketentuan berita kapal yang berlayar di alur-pelayaran sungai dan danau; b. keterangan yang berhubungan dengan peta alur-pelayaran, cuaca, arus sungai, variasi kedalaman air, isyarat-isyarat, peringatanperingatan, fasilitas alur-pelayaran, serta alat komunikasi yang digunakan; c. tata cara penggunaan buku petunjuk pelayaran sungai dan danau; dan d. ukuran dan satuan yang dipakai dalam buku petunjuk. (2) Buku petunjuk pelayaran di sungai dan danau sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memenuhi persyaratan: a. keterangan harus dinyatakan dengan kalimat, tanda dan simbol dengan jelas; b. judul, skala, bulan dan tahun penerbitan buku petunjuk alurpelayaran; c. perubahan atau perbaikan harus dicantumkan pada bagian bawah peta dan tanggal terakhir perbaikan; dan d. diterbitkan dalam batas waktu 10 (sepuluh) tahun. (3) Buku petunjuk sebagaimana dimaksud ayat (2) dapat dilakukan penyempurnaan karena perubahan kondisi alur. (4) Perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilampirkan dalam buku petunjuk pelayaran. Pasal 18 Pembangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b terdiri atas: a. pengerukan alur-pelayaran; dan
www.djpp.depkumham.go.id
2012, No.1089
12
b. reklamasi di pelabuhan sungai; Pasal 19 Pengoperasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c, terdiri atas: a. rencana pengoperasian; b. pelaksanaan pengoperasian; dan c. evaluasi pelaksanaan pengoperasian. Pasal 20 Rencana pengoperasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf a meliputi: a. sistem rute; b. tata cara berlalu lintas; c. kelengkapan fasilitas alur-pelayaran; dan d. peta sungai dan buku petunjuk pelayaran. Pasal 21 Pelaksanaan pengoperasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf b meliputi: a. tersedianya alur-pelayaran sungai; b. tersedianya fasilitas untuk menjamin kelancaran lalu lintas; c. terpeliharanya kondisi lingkungan perairan; d. tersedianya pelaksana penyelenggara alur; e. memiliki sistem dan prosedur pelayanan; dan f. tersedianya sumber daya manusia di bidang teknis pengoperasian alurpelayaran. Pasal 22 Evaluasi pelaksanaan pengoperasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf c meliputi: a. laporan kondisi alur-pelayaran; b. laporan kecelakaan angkutan sungai; c. laporan bahaya dan hambatan alur-pelayaran; dan d. laporan kondisi fasilitas alur-pelayaran. Pasal 23 Pemeliharaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf d terdiri atas: a. perawatan dan perbaikan fasilitas alur;
www.djpp.depkumham.go.id
13
2012, No.1088
b. pembersihan alur; dan c. pengerukan sungai untuk menjaga kedalaman alur. Bagian Ketiga Izin Penyelenggaraan Alur-Pelayaran Sungai ke Terminal Khusus Pasal 24 (1) Badan Usaha dapat diikutsertakan dalam pembangunan, pengoperasian, dan pemeliharaan alur-pelayaran sungai yang menuju ke terminal khusus yang dikelola oleh Badan Usaha. (2) Badan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki: a. izin pembangunan; dan b. izin pengoperasian. Pasal 25 (1) Izin pembangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) huruf a diberikan oleh: a. Direktur Jenderal untuk alur-pelayaran sungai kelas I; b. gubernur untuk alur-pelayaran sungai kelas II; dan c. bupati/walikota untuk alur-pelayaran sungai kelas III. (2) Untuk mendapatkan izin pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan Usaha mengajukan permohonan dengan melampirkan persyaratan berupa: a. data perusahaan yang meliputi akte perusahaan, Nomor Pokok Wajib Pajak, dan izin usaha pokok; b. gambar tata letak lokasi alur untuk menuju ke terminal khusus dengan skala yang memadai; c. bukti penguasaan lahan; d. rekomendasi dari instansi terkait sesuai dengan kewenangannya; e. kajian lingkungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan; dan f. kesanggupan menyediakan fasilitas alur-pelayaran sungai. (3) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap melakukan evaluasi terhadap kelengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
www.djpp.depkumham.go.id
2012, No.1089
14
(4) Berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Direktur Jenderal, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dapat menyetujui atau menolak permohonan. (5) Dalam hal kelengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah terpenuhi, Direktur Jenderal, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya melakukan survei peninjauan rencana lokasi. (6) Izin pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan apabila: a. persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterima secara lengkap; b. telah dilakukan survei peninjauan rencana lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan dinyatakan memenuhi syarat; dan c. telah dilakukan peninjauan rencana lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan dinyatakan tidak memenuhi syarat maka dapat melengkapi dan mengajukan permohonan kembali. Pasal 26 (1) Dalam hal permohonan ditolak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (4), Direktur Jenderal, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya menyampaikan penolakan disertai alasan dan permintaan kelengkapan persyaratan yang harus dilengkapi oleh Badan Usaha. (2) Dalam hal kelengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah dipenuhi, Badan Usaha dapat mengajukan kembali permohonan izin pembangunan kepada Direktur Jenderal, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Pasal 27 (1) Izin pengoperasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) huruf b diberikan oleh: a. Direktur Jenderal untuk alur-pelayaran sungai kelas I; b. gubernur untuk alur-pelayaran sungai kelas II; dan c. bupati/walikota untuk alur-pelayaran sungai kelas III. (2) Izin pengoperasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan persyaratan: a. alur-pelayaran telah selesai dibangun sesuai dengan kelaikan teknis; b. tersedianya kelengkapan fasilitas alur-pelayaran; c. memiliki sistem dan prosedur pengoperasian;
www.djpp.depkumham.go.id
15
2012, No.1088
d. tersedianya sumber daya manusia di bidang teknis pengoperasian alur-pelayaran; e. memiliki peralatan untuk perawatan; dan f. terpeliharanya kondisi lingkungan perairan. Pasal 28 (1) Untuk mendapatkan izin pengoperasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27, Badan Usaha harus mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dilengkapi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2). (2) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya melakukan evaluasi terhadap kelengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2). (3) Berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktur Jenderal, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dapat menyetujui atau menolak permohonan. (4) Dalam hal permohonan ditolak sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Direktur Jenderal, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya menyampaikan penolakan disertai alasan dan permintaan kelengkapan persyaratan yang harus dilengkapi oleh Badan Usaha. (5) Dalam hal kelengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) telah dipenuhi, Badan Usaha dapat mengajukan kembali permohonan izin pengoperasian kepada Direktur Jenderal, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. (6) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (5) disetujui, Direktur Jenderal, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya memberikan izin pengoperasian. Pasal 29 Badan Usaha yang telah mendapat izin pengoperasian wajib: a. mengoperasikan alur-pelayaran; b. menaati peraturan perundang-undangan; c. bertanggung jawab bersangkutan; dan
atas
pengoperasian
alur-pelayaran
yang
d. melaporkan kegiatan operasional alur-pelayaran secara berkala setiap 1 (satu) tahun sekali kepada pemberi izin.
www.djpp.depkumham.go.id
2012, No.1089
16
Pasal 30 Bentuk permohonan izin, bentuk penolakan, dan bentuk surat izin seperti contoh 1, contoh 2, dan contoh 3 Lampiran I Peraturan Menteri ini. Bagian Keempat Sistem Rute Pasal 31 (1) Sistem rute sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b ditetapkan pada alur-pelayaran sungai dan danau tertentu untuk kepentingan keselamatan, keamanan dan kelancaran berlayar. (2) Sistem rute sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. skema pemisah lalu lintas; b. rute dua arah; c. garis haluan yang dianjurkan; d. daerah yang harus dihindari; dan e. daerah kewaspadaan. (3) Bagian alur-pelayaran sungai dan danau yang ditetapkan dengan sistem rute sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus: a. ditandai batasan pemberlakuannya dengan menggunakan rambu petunjuk batas lokasi dan batas waktu pemberlakuan; b. dilengkapi dengan rambu petunjuk arah bagi kapal sungai dan danau tertentu untuk berlayar pada lintasan tertentu sesuai arah panah yang ditunjukkan; dan c. dicantumkan dalam peta dan buku petunjuk-pelayaran sungai dan danau. Pasal 32 (1) Skema pemisah lalu lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) huruf a dilakukan dengan membagi alur-pelayaran sungai dalam beberapa lintasan. (2) Skema pemisah lalu lintas pada bagian tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk: a. menjaga keamanan, keselamatan, dan kelancaran lalu lintas; dan b. perlindungan lingkungan perairan. (3) Lintasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. lintasan yang memiliki kepadatan lalu lintas yang tinggi; dan b. lintasan yang memiliki lalu lintas kapal sungai dan danau dengan variasi jenis, ukuran, dan muatan yang beragam.
www.djpp.depkumham.go.id
17
2012, No.1088
(4) Setiap lintasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikhususkan untuk lalu lintas kapal sungai dan danau tertentu berdasarkan: a. jenis kapal sungai dan danau; b. ukuran kapal sungai dan danau; dan c. muatan kapal sungai dan danau. Pasal 33 Skema pemisah lalu lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) huruf a ditetapkan dengan mempertimbangkan: a. spesifikasi alur; b. spesifikasi kapal sungai dan danau; c. tingkat kepadatan lalu lintas kapal sungai dan danau; dan d. kondisi lingkungan perairan dan area di sekitar sungai dan danau. Pasal 34 (1) Rute dua arah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) huruf b dapat ditetapkan pada bagian tertentu dari suatu alur-pelayaran sungai dan danau. (2) Rute dua arah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan mempertimbangkan: a. spesifikasi alur; b. spesifikasi kapal sungai dan danau; c. tingkat kepadatan arus lalu lintas kapal sungai dan danau; dan d. kondisi lingkungan perairan dan sekitar sungai dan danau. (3) Bagian tertentu dari alur-pelayaran sungai dan danau yang ditetapkan menjadi rute dua arah harus: a. ditandai batas-batas lokasi dengan menempatkan rambu petunjuk pada kedua ujungnya; b. dilengkapi dengan rambu petunjuk arah; dan c. dicantumkan dalam peta dan buku petunjuk alur-pelayaran sungai dan danau. Pasal 35 (1) Garis haluan yang dianjurkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) huruf c ditetapkan untuk meningkatkan efisiensi pergerakan kapal sungai dan danau dari pelabuhan asal ke pelabuhan tujuan dengan tetap mempertimbangkan ketentuan mengenai keselamatan dan keamanan pelayaran, serta perlindungan lingkungan perairan.
www.djpp.depkumham.go.id
2012, No.1089
18
(2) Garis haluan yang dianjurkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditetapkan untuk bagian tertentu dari suatu alur-pelayaran sungai dan danau yang telah memiliki peta sungai. Pasal 36 (1) Garis haluan yang dianjurkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) huruf c ditetapkan dengan mempertimbangkan: a. spesifikasi alur-pelayaran; b. spesifikasi kapal; dan c. kondisi lingkungan perairan dan area di sekitar sungai dan danau. (2) Garis haluan yang diajurkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dicantumkan peta dan buku petunjuk alur-pelayaran sungai dan danau. Pasal 37 (1) Daerah yang harus dihindari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) huruf d untuk menghindari terjadinya kecelakaan kapal, gangguan keamanan lalu lintas, dan gangguan terhadap lingkungan perairan pada lokasi yang ditetapkan. (2) Daerah yang harus dihindari sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan pada bagian tertentu dari wilayah perairan sungai dan danau. (3) Daerah yang harus dihindari sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa: a. wilayah perairan sungai dan danau yang tidak memenuhi persyaratan teknis kelas alur-pelayaran sungai dan danau yang ditetapkan; b. zona keamanan dan keselamatan fasilitas alur-pelayaran dan bangunan yang digunakan selain untuk kepentingan lalu lintas sungai dan danau; c. wilayah perairan sungai dan danau yang dinilai berbahaya bagi keselamatan dan keamanan kapal sungai dan danau beserta muatannya; danmm khusus. Pasal 38 Daerah yang harus dihindari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) huruf d ditetapkan dengan mempertimbangkan: a. spesifikasi alur-pelayaran; b. spesifikasi kapal sungai dan danau; c. kondisi cuaca; dan d. kondisi lingkungan perairan dan area di sekitar sungai dan danau.
www.djpp.depkumham.go.id
19
2012, No.1088
Pasal 39 (1) Kapal yang akan berlayar ke daerah yang harus dihindari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) huruf d harus mendapatkan persetujuan dari Inspektur Sungai dan Danau. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal. Pasal 40 (1) Daerah kewaspadaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) huruf e ditetapkan pada bagian alur-pelayaran tertentu yang secara teknis operasional berpotensi mengganggu kelancaran dan keselamatan pelayaran. (2) Daerah yang secara teknis operasional berpotensi mengganggu kelancaran dan keselamatan pelayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), antara lain: a. alur-pelayaran sempit, tikungan tajam, kecepatan arus air tinggi, lokasi perlintasan, dan sekitar perairan pelabuhan; b. lalu lintas kapal padat; dan c. instalasi atau bangunan, kerangka kapal, pendangkalan, kabut dan logging. Pasal 41 (1) Sistem rute sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b ditetapkan oleh: a. Direktur Jenderal untuk alur-pelayaran kelas I; b. gubernur untuk alur-pelayaran kelas II; dan c. bupati/walikota untuk alur-pelayaran kelas III. (2) Penetapan sistem rute sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah kelas alur-pelayaran sungai dan danau ditetapkan. (3) Penetapan sistem rute sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didasarkan pada hasil kajian kondisi alur dan kepadatan lalu lintas. (4) Kajian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi: a. inventarisasi data perairan; dan b. evaluasi dan identifikasi permasalahan lalu lintas. Pasal 42 (1) Inventarisasi data perairan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (4) huruf a meliputi pengumpulan data: a. alur-pelayaran,
www.djpp.depkumham.go.id
2012, No.1089
20
b. lalu lintas; c. hidrografi, hidrologi dan meteorologi; d. kegiatan di alur-pelayaran; dan e. lingkungan sekitar. (2) Data alur-pelayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi: a. lebar, kedalaman, dan ketinggian ruang bebas; b. penyediaan fasilitas alur-pelayaran sungai dan danau; c. keberadaan bangunan dan instalasi, kerangka kapal sungai dan danau, dan hambatan serta gangguan di alur-pelayaran sungai dan danau; dan d. lokasi-lokasi rawan kecelakaan dan keamanan. (3) Data lalu lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi: a. jenis dan klasifikasi kapal sungai dan danau yang menggunakan alur-pelayaran; b. kepadatan lalu lintas kapal sungai dan danau pada kondisi normal dan puncak; c. pola pergerakan kapal sungai dan danau menurut asal dan tujuan; dan d. jumlah, jenis, lokasi, dan penyebab terjadinya kecelakaan. (4) Data hidrografi, hidrologi, meteorologi, dan bathimetri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi: a. kecepatan arus; b. kecepatan angin; c. tingkat sedimentasi; d. curah hujan; dan e. kedalaman air. (5) Data kegiatan di alur-pelayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d meliputi: a. pelaksanaan kegiatan salvage dan pekerjaan bawah air; dan b. penggunaan alur-pelayaran selain untuk lalu lintas kapal. (6) Data lingkungan sekitar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi: a. kegiatan ekonomi dan sosial masyarakat; dan b. penggunaan ruang di sekitar alur-pelayaran sungai dan danau.
www.djpp.depkumham.go.id
21
2012, No.1088
Pasal 43 (1) Evaluasi dan identifikasi permasalahan lalu lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (4) huruf b meliputi kegiatan mengolah, membandingkan, serta merumuskan kesimpulan berkaitan dengan: a. tingkat kinerja lalu lintas pada alur-pelayaran sungai dan danau tertentu; dan b. penyebab terjadinya kepadatan, kecelakaan, atau ketidakteraturan lalu lintas pada alur-pelayaran sungai dan danau. (2) Tingkat kinerja lalu lintas pada alur-pelayaran sungai dan danau sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi indikator: a. tingkat keselamatan dan keamanan; b. tingkat kelancaran lalu lintas; dan c. tingkat kelestarian lingkungan perairan. Bagian Kelima Tata Cara Berlalu Lintas Paragraf 1 Umum Pasal 44 (1) Tata cara berlalu lintas sebagaimana dimaksud pada Pasal 4 ayat (2) huruf c sebagai panduan berlalu lintas di alur-pelayaran sungai dan danau. (2) Penetapan tata cara berlalu lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempertimbangkan: a. b. c. d.
kondisi alur-pelayaran; kepadatan lalu lintas; ukuran dan sarat (draft) kapal; dan kondisi cuaca.
(3) Tata cara berlalu lintas di sungai dan danau sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. kelaikan kapal sungai dan danau; b. pengaturan berlalu lintas; c. penggunaan lampu penerangan/navigasi; dan d. alat pemberi isyarat.
www.djpp.depkumham.go.id
2012, No.1089
22
Paragraf 2 Kelaikan Kapal Sungai Dan Danau Pasal 45 (1) Setiap kapal sungai dan danau yang akan di operasikan di sungai dan danau harus memenuhi persyaratan kelaikan kapal. (2) Persyaratan kelaikan kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. keselamatan kapal; b. pencegahan pencemaran perairan dari kapal; c. pengawakan; d. garis muat; e. pemuatan; f. kesejahteraan awak kapal dan kesehatan penumpang; g. status hukum kapal; dan h. manajemen keselamatan, keamanan, dan pencegahan pencemaran di atas kapal sungai dan danau. Paragraf 3 Pengaturan Berlalu Lintas Pasal 46 Pengaturan berlalu lintas lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (3) huruf b terdiri atas: a. persiapan sebelum kapal sungai dan danau berangkat; b. pada saat berlalu lintas; dan c. pada saat kapal sungai dan danau dalam keadaan bahaya dan membutuhkan pertolongan. Pasal 47 Persiapan sebelum kapal sungai dan danau berangkat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 huruf a meliputi: a. memiliki surat persetujuan keberangkatan kapal sungai dan danau; b. nakhoda wajib melaporkan keberangkatan kapal sungai dan danaunya kepada petugas pemberangkatan kapal sungai dan danau; dan c. nakhoda wajib membawa peta alur-pelayaran dan buku petunjuk berlayar. Pasal 48 Pada saat berlalu lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 huruf b terdiri atas:
www.djpp.depkumham.go.id
23
2012, No.1088
a. prinsip berlalu lintas; b. pelayaran pada kondisi jarak pandang bebas; c. pelayaran pada kondisi jarak pandang terbatas atau malam hari; d. pergerakan kapal sungai dan danau di perairan pelabuhan dan daerah labuh; dan e. kapal sungai dan danau yang melakukan kegiatan diluar kegiatan pelayaran di alur-pelayaran sungai dan danau. Pasal 49 Prinsip berlalu lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 huruf a meliputi: a. setiap kapal sungai dan danau yang sedang berlayar di alur-pelayaran harus selalu berada di sebelah kanan alur; b. selama berlayar di alur-pelayaran sungai dan danau, nakhoda jaga harus melaporkan status perjalanannya secara berkala kepada petugas pemberangkatan kapal sungai dan danau; c. nakhoda wajib mematuhi ketentuan mengenai sistem rute yang ditetapkan dan mematuhi perintah yang diberikan oleh petugas; d. nakhoda harus berada dalam kondisi siaga dan penuh perhatian dengan mendengarkan isyarat bunyi dan memperhatikan isyarat lampu yang dikeluarkan oleh kapal sungai dan danau lain, memperhatikan keadaan di sekitarnya termasuk memperhatikan gerakan kapal sungai dan danau yang sedang mendekat agar tidak terjadi tubrukan; e. nakhoda harus mengoperasikan kapal sungai dan danau dengan kecepatan yang aman sehingga memungkinkan baginya untuk melakukan gerakan menghindar yang tepat untuk mencegah terjadinya tubrukan; f. nakhoda dilarang menghanyutkan kapal sungai dan danaunya mengikuti arus, pada saat kapal sungai dan danau tidak dapat dikendalikan dengan baik dan segera menghentikan kapal sungai dan danaunya; g. dalam keadaan arus kuat atau banjir, setiap kapal sungai dan danau yang panjangnya 7 (tujuh) meter atau lebih wajib menggunakan jangkar yang dapat menahan laju kapal sungai dan danau; h. kapal sungai dan danau yang panjangnya kurang dari 7 (tujuh) meter atau kapal sungai dan danau yang menggunakan layar tidak boleh merintangi jalannya kapal sungai dan danau lain yang mempunyai kemampuan berolah gerak/bernavigasi terbatas atau terikat pada alurpelayarannya;
www.djpp.depkumham.go.id
2012, No.1089
24
i. kapal sungai dan danau yang sedang menangkap ikan dan sedang berlayar tidak boleh merintangi jalannya kapal sungai dan danau lain; j. tidak boleh memotong alur dan jika memotong alur tidak boleh merintangi jalannya kapal sungai dan danau lain, serta jika timbul keraguan wajib memberikan isyarat bunyi dengan suling; k. mendahului kapal sungai dan danau lain dapat dilakukan apabila kondisi memungkinkan dengan memberikan isyarat bunyi; l. kapal sungai dan danau yang akan didahului, bila kondisi memungkinkan untuk didahului, harus memberikan isyarat bunyi; m. kapal sungai dan danau yang sedang mendekati perairan sempit, mendekati belokan atau tempat-tempat yang terhalang pengelihatan, harus memberikan isyarat bunyi yang dipertegas dengan lampu isyarat cahaya yang memancarkan sinar berwarna putih dengan jarak paling sedikit 5 (lima) kilometer; n. tidak boleh berlabuh jangkar di alur-pelayaran, kecuali dalam keadaan terpaksa; o. bagi kapal sungai dan danau yang melakukan kegiatan di luar kegiatan pelayaran wajib memberikan isyarat dengan lampu kedip dengan cahaya kuning yang dapat dilihat dari jarak minimal 2 (dua) mil; p. kapal sungai dan danau yang akan menuju alur menikung selambatlambatnya pada jarak 0,5 (nol koma lima) mil mendekati tikungan wajib memberikan isyarat bunyi dengan 1 (satu) kali tiupan panjang; q. kapal sungai dan danau yang sedang berlabuh harus menyalakan sebuah penerangan keliling yang dapat memancarkan sinar berwarna putih dan dapat terlihat dengan baik dari sekelilingnya; r. kapal sungai dan danau yang sedang merapat di tempat bongkar muat wajib menerangi badan kapal sungai dan danaunya sehingga dapat terlihat dengan baik oleh kapal sungai dan danau lain. Pasal 50 Pelayaran pada kondisi jarak pandang bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 huruf b meliputi: a. kapal sungai dan danau berpapasan; b. kapal sungai dan danau ketika mendahului kapal sungai dan danau lain; c. kapal sungai dan danau yang memotong alur-pelayaran sungai dan danau; d. kapal sungai dan danau yang berlayar beriringan; e. kapal sungai dan danau yang menggandeng;
www.djpp.depkumham.go.id
25
2012, No.1088
f. kapal sungai dan danau yang mendorong; g. kapal sungai dan danau yang menarik sebuah kapal sungai dan danau atau lebih; h. kapal sungai dan danau yang akan mengubah haluan dan/atau berputar balik; dan i. kapal sungai dan danau yang berlayar dengan kecepatan tinggi. Pasal 51 (1) Kapal sungai dan danau berpapasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf a harus memenuhi ketentuan: a. apabila 2 (dua) buah kapal sungai dan danau berpapasan pada perairan yang tenang, kapal sungai dan danau yang berukuran lebih kecil harus mengambil gerakan menghindar ke arah kanan dari kapal sungai dan danau yang lebih besar; b. apabila dua buah kapal sungai dan danau berpapasan pada perairan yang dipengaruhi oleh arus air, kapal sungai dan danau ke arah hulu harus mengambil gerakan menghindar ke arah kanan dari kapal sungai dan danau ke arah hilir dengan memberikan isyarat bunyi dan/atau lampu; c. apabila 2 (dua) buah kapal sungai dan danau berpapasan pada perairan pada kondisi alur-pelayaran yang sempit atau berarus, kapal sungai dan danau yang menuju arah hilir dan memberikan isyarat suara wajib mendapatkan prioritas sedangkan kapal sungai dan danau yang tidak memberikan isyarat suara harus mengurangi kecepatan atau menunggu; d. apabila 2 (dua) buah kapal sungai dan danau bermotor saling berhadapan haluan yang tepat berlawanan atau hampir berlawanan dan dapat mengakibatkan tubrukan, masing-masing kapal sungai dan danau harus mengubah haluannya ke kanan, sehingga saling berpapasan pada lambung kiri masing-masing; e. apabila 2 (dua) buah kapal sungai dan danau bermotor saling berhadapan haluan yang tepat berlawanan atau hampir berlawanan dan dapat mengakibatkan tubrukan, dimana salah satu kapal sungai dan danau terhambat oleh suatu rintangan, kapal sungai dan danau yang terhambat harus berlayar pada bagian sebelah dalam dari arah jalannya kapal sungai dan danau, sedangkan kapal sungai dan danau yang tidak mengalami hambatan harus berlayar sejauh mungkin di bagian sebelah kanan alur; f. apabila sebuah kapal sungai dan danau bermotor dan sebuah kapal sungai dan danau tidak bermotor saling berhadapan haluan yang tepat berlawanan atau hampir berlawanan dan dapat
www.djpp.depkumham.go.id
2012, No.1089
26
mengakibatkan tubrukan, kapal sungai dan danau bermotor harus menghindar terhadap kapal sungai dan danau tidak bermotor; g. apabila 2 (dua) buah kapal sungai dan danau layar saling berhadapan haluan yang tepat berlawanan atau hampir berlawanan dan dapat mengakibatkan tubrukan, kapal sungai dan danau yang berlayar dengan angin kecepatan lebih tinggi harus menghindari kapal sungai dan danau yang berlayar dengan angin kecepatan lebih rendah; h. apabila 2 (dua) buah kapal sungai dan danau layar saling berhadapan haluan yang tepat berlawanan atau hampir berlawanan dan dapat mengakibatkan tubrukan, kapal sungai dan danau yang mendapat angin dari sisi kiri harus menghindari kapal sungai dan danau yang mendapat angin dari sisi kanan; i. apabila 2 (dua) buah kapal sungai dan danau layar saling berhadapan haluan yang tepat berlawanan atau hampir berlawanan yang dapat mengakibatkan tubrukan dan kedua kapal sungai dan danau berlayar dengan angin kecepatan tinggi, kapal sungai dan danau yang mendapat angin dari sisi kiri harus menghindari kapal sungai dan danau yang mendapat angin dari sisi kanan; j. apabila 2 (dua) buah kapal sungai dan danau layar saling berhadapan haluan yang tepat berlawanan atau hampir berlawanan yang dapat mengakibatkan tubrukan dan kedua kapal sungai dan danau berlayar dengan angin kecepatan tinggi dari sisi yang sama, kapal sungai dan danau yang menyongsong angin harus menghindari kapal sungai dan danau yang didorong angin; dan k. apabila 2 (dua) buah kapal sungai dan danau layar saling berhadapan haluan yang tepat berlawanan atau hampir berlawanan yang dapat mengakibatkan tubrukan, kapal sungai dan danau layar yang berlayar dengan angin dari belakang harus menghindari kapal sungai dan danau lainnya. (2) Kapal sungai dan danau ketika mendahului kapal sungai dan danau lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf b harus memenuhi ketentuan: a. telah diberi kesempatan oleh kapal sungai dan danau yang akan dilewati; b. dapat melewati kapal sungai dan danau lain pada bagian alur yang lurus dan dari arah yang berlawanan tidak terdapat rintangan; c. tidak pada alur sempit, tikungan, jeram, di sekitar jembatan, atau pada lokasi yang dilarang mendahului yang ditetapkan melalui rambu;
www.djpp.depkumham.go.id
27
2012, No.1088
d. pada bagian alur sungai dan danau yang diizinkan dengan tetap mengutamakan prinsip keselamatan, memberikan isyarat, dan menjaga jarak aman; e. memberitahukan dengan isyarat bunyi sekurang-kurangnya 200 (dua ratus) meter dari kapal sungai dan danau yang akan didahului; f. dilakukan dari sisi sebelah kiri kapal sungai dan danau yang akan didahului, jika terdapat rintangan diperbolehkan mendahului kapal sungai dan danau lain tersebut dari sisi sebelah kanan tetapi harus dilaksanakan dengan aman; g. wajib menjawab dengan isyarat bunyi apakah diizinkan untuk mendahului dan memberikan jalan kepada kapal sungai dan danau yang mendahului; h. kapal sungai dan danau yang didahului harus bergerak ke alur luar dan harus memberikan kesempatan pada kapal sungai dan danau yang akan mendahului serta tetap menjaga jarak aman; i. kapal sungai dan danau layar hanya boleh mendahului kapal sungai dan danau lain jika kapal sungai dan danau layar mempunyai kecepatan yang lebih tinggi dari kapal sungai dan danau yang akan didahului; dan j. kapal sungai dan danau yang melewati kapal sungai dan danau yang sedang melakukan kegiatan di luar kegiatan lalu lintas pelayaran wajib mengurangi kecepatan dan menjaga jarak aman untuk menghindari kecelakaan. (3) Kapal sungai dan danau yang akan memotong alur-pelayaran sungai dan danau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf c harus mengutamakan lalu lintas utama dan memberikan isyarat bunyi 4 (empat) kali tiupan panjang apabila bertemu kapal sungai dan danau lain, serta wajib memberikan prioritas kepada kapal sungai dan danau pada lintasan utama. (4) Kapal sungai dan danau yang berlayar beriringan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf d harus tetap menjaga jarak aman dan dilengkapi dengan tanda awal dan akhir dari iring-iringan dengan menggunakan alat pemberi isyarat kapal sungai dan danau maupun lampu penerangan kapal sungai dan danau. (5) Kapal sungai dan danau yang menggandeng sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf e harus memenuhi ketentuan: a. lebar gandengan secara keseluruhan tidak boleh lebih dari 1/6 (satu per enam) lebar alur-pelayaran; dan
www.djpp.depkumham.go.id
2012, No.1089
28
b. memasang penerangan yang dapat terlihat dengan jelas pada malam hari atau memasang penerangan pada setiap sisi kapal sungai dan danau yang digandeng. (6) Kapal sungai dan danau yang mendorong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf f harus memenuhi ketentuan: a. saling dihubungkan dengan kuat dalam suatu rangkaian tetap dan dianggap sebagai sebuah kapal sungai dan danau bermotor; dan b. memasang penerangan yang dapat terlihat dengan jelas pada malam hari atau memasang penerangan pada setiap sisi kapal sungai dan danau yang didorong. (7) Kapal sungai dan danau yang menarik sebuah kapal sungai dan danau atau lebih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf g harus memenuhi ketentuan: a. menggunakan tali kapal sungai dan danau dan diikatkan dalam jarak yang pendek; b. kapal sungai dan danau yang ditarik harus dapat dikendalikan dengan baik oleh kapal sungai dan danau yang menarik; dan c. pada malam hari harus memasang penerangan yang dapat terlihat dengan jelas, atau memasang penerangan pada setiap sisi kapal sungai dan danau yang digandeng. (8) Kapal sungai dan danau yang akan mengubah haluan dan/atau berputar balik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf h harus memenuhi ketentuan: a. memperhatikan situasi dan kondisi alur yang benar-benar aman; b. tidak mengganggu pelayaran kapal sungai dan danau lainnya; dan c. wajib memberikan isyarat dengan menyalakan lampu kedip kuning, lampu dengan cahaya putih di bagian depan kapal sungai dan danau, dan lampu dengan cahaya merah di bagian belakang kapal sungai dan danau. (9) Kapal sungai dan danau yang berlayar dengan kecepatan tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf i harus memenuhi ketentuan: a. memperhatikan situasi setempat dan kapal sungai dan danau lain yang berada di sekitarnya; b. apabila 2 (dua) buah kapal sungai dan danau dengan kecepatan tinggi berpapasan harus saling menghindar dan mengurangi kecepatan dengan tetap memperhatikan keselamatan; c. memberikan isyarat lampu; dan
www.djpp.depkumham.go.id
29
2012, No.1088
d. kecuali ditentukan lain, pada kondisi jarak pandang terbatas atau kondisi malam hari kapal sungai dan danau dilarang berlayar dengan kecepatan tinggi. Pasal 52 Pelayaran pada kondisi jarak pandang terbatas atau malam hari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 huruf c diatur sebagai berikut: a. dapat tidak melanjutkan pelayaran dan mencari tempat yang aman untuk berlabuh atau membuang sauh; b. harus mengurangi kecepatannya, siap untuk berolah gerak dan bila perlu menghentikan laju kapal sungai dan danaunya; c. pelayaran pada malam hari hanya diizinkan pada alur-pelayaran sungai dan danau yang dapat dilayari pada malam hari sebagaimana ditunjukkan melalui rambu yang dipasang; d. wajib menggunakan isyarat lampu dan memberikan isyarat bunyi dengan peluit atau klakson kapal sungai dan danau ketika bertemu kapal sungai dan danau lain; e. pada saat berlayar harus memberikan isyarat bunyi dengan 1 (satu) tiup panjang secara berulang-ulang dengan tenggang waktu tidak lebih dari 2 (dua) menit; f. pada saat berhenti harus membunyikan 2 (dua) tiup panjang dan diulangi dengan tenggang waktu tidak lebih dari 2 (dua) menit; g. kapal layar yang panjangnya 20 (dua puluh) meter atau lebih harus memberikan isyarat bunyi dengan terompet kabut berupa tiupan pendek dengan tenggang waktu yang pendek secara terus menerus, atau dengan membunyikan gong; h. kapal sungai dan danau layar yang panjangnya kurang dari 20 (dua puluh) meter atau rakit yang panjangnya kurang dari 30 (tiga puluh) meter, harus memberikan isyarat bunyi secara terus menerus dengan gong, genta, atau isyarat bunyi lain dengan cara membuat gaduh; i. pada waktu cuaca kabut, hujan badai, atau asap tebal, kapal sungai dan danau layar dan rakit tidak boleh berlayar; j. pada cuaca kabut, hujan badai, atau asap tebal, kapal sungai dan danau bermotor hanya dapat melaju dengan kecepatan minimum dari daya motor sewaktu berlayar; k. setiap kapal sungai dan danau yang panjangnya 20 (dua puluh) meter atau lebih atau rakit yang panjangnya 30 (tiga puluh) meter atau lebih sedang berlabuh harus membunyikan genta atau kentongan secara terus menerus sampai selesai olah gerak; l. setiap kapal sungai dan danau yang sedang berlayar, yang mendengar isyarat bunyi dari kapal sungai dan danau lain yang berada di depan
www.djpp.depkumham.go.id
2012, No.1089
30
dari arah melintang, atau dalam keadaan situasi terlalu dekat dengan kapal sungai dan danau lain yang berada di depan dari arah melintang, harus mengurangi kecepatan atau menghentikan lajunya dan bernavigasi dengan penuh kewaspadaan sampai kemungkinan bahaya tubrukan berlalu; m. untuk kapal sungai dan danau bermotor yang berlayar dekat tanjung atau belokan tajam harus memberikan isyarat bunyi dengan tiupan panjang secara terus menerus dengan tenggang waktu yang pendek; n. untuk kapal sungai dan danau tidak bermotor yang berlayar dekat tanjung atau belokan tajam harus memberikan isyarat bunyi dengan genta, gong, atau dengan cara menimbulkan suara gaduh secara terus menerus; o. untuk kapal sungai dan danau bermotor yang berlayar melawan arah arus, sewaktu mendengar isyarat bunyi sebagaimana dimaksud huruf n dan huruf o dari kapal sungai dan danau yang berlayar menurut arah arus harus mengupayakan mendekati ujung tanjung, dan jika perlu mengurangi kecepatan atau berhenti dahulu agar belokan terbuka luas untuk kapal sungai dan danau yang berlayar menurut arah arus; p. untuk kapal sungai dan danau bermotor yang berlayar mengikuti arah arus sewaktu membelok di dekat sebuah tanjung, harus berlayar dengan kecepatan terbatas dan selalu siap untuk menggunakan jangkar penyetopnya; q. pada malam hari, kapal sungai dan danau tidak bermotor yang tidak terikat pada daratan harus memasang obor atau lentera yang dapat menerangi dengan jelas; dan s. kapal sungai dan danau yang akan menepi, berlabuh, atau berhenti di alur-pelayaran wajib memberikan isyarat dengan lampu kedip berwarna kuning dan menyalakan lampu penanda kapal sungai dan danau dengan cahaya merah pada bagian belakang kapal sungai dan danau. Pasal 53 Pergerakan kapal sungai dan danau di perairan pelabuhan dan daerah labuh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 huruf d harus memperhatikan: a. sebelum sandar atau bertolak untuk berlayar, kapal sungai dan danau harus memperhatikan situasi dan kondisi alur yang ada dan memastikan bahwa tidak akan mengganggu pergerakan kapal sungai dan danau lain yang telah berlayar dan memberikan isyarat sesuai dengan ketentuan; b. setiap kapal sungai dan danau dilarang untuk membuang sauh di alur yang sempit atau alur yang berbelok atau perairan lainnya dimana tindakan kapal sungai dan danau tersebut akan mengganggu pelayaran kapal sungai dan danau lainnya;
www.djpp.depkumham.go.id
31
2012, No.1088
c. apabila terjadi keadaan darurat di perairan seperti kerusakan mesin kapal sungai dan danau, terjadi kecelakaan kapal sungai dan danau, dan/atau keadaan darurat lainnya maka kapal sungai dan danau dapat diberikan izin oleh inspektur sungai dan danau untuk membuang sauh dalam kondisi perairan apapun dan wajib memasang isyarat peringatan bahaya atau isyarat lain yang dapat terlihat oleh kapal sungai dan danau lain yang melintas dengan tetap memperhatikan faktor-faktor keselamatan; dan d. kapal sungai dan danau yang beroperasi di perairan pelabuhan dan di daerah labuh harus menjaga kecepatannya agar tidak menimbulkan gelombang yang dapat menggangu keselamatan kapal sungai dan danau lainnya. Pasal 54 (1) Kapal sungai dan danau yang melakukan kegiatan diluar kegiatan pelayaran di alur-pelayaran sungai dan danau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 huruf e terdiri atas: a. penangkapan ikan; b. olahraga air; c. penyelaman; dan d. kegiatan lain yang diizinkan sepanjang tidak membahayakan keselamatan dan keamanan pelayaran, menggangu kelancaran lalu lintas, dan mengganggu perlindungan lingkungan perairan sungai dan danau. (2) Kapal sungai dan danau sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi ketentuan: a. harus mendapatkan izin dari inspektur sungai dan danau; b. hanya diizinkan dalam kondisi arus perairan yang baik, cuaca yang baik, dan jarak pandang bebas; c. tidak boleh dilakukan di lokasi yang dapat menggangu kegiatan lalu lintas pelayaran khususnya di pintu masuk pelabuhan, area dekat kapal sungai dan danau berlabuh, dan area penyeberangan ferry; d. wajib memberikan tanda dan/atau isyarat yang diperlukan agar tidak membahayakan keselamatan lalu lintas kapal sungai dan danau; e. khusus untuk kapal sungai dan danau yang melakukan kegiatan penangkapan ikan tidak diizinkan melakukan kegiatan penangkapan ikan berdekatan dan sejajar dengan kapal sungai dan danau lain yang melakukan kegiatan yang sama.
www.djpp.depkumham.go.id
2012, No.1089
32
Pasal 55 (1) Pada saat kapal sungai dan danau dalam keadaan bahaya dan membutuhkan pertolongan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 huruf c dapat menyatakan keadaannya dengan memberikan isyarat bahaya: a. memberikan isyarat-isyarat bunyi secara terus menerus; b. memberikan isyarat SOS dalam kode morse dengan perantaraan lampu; c. memberikan kata "MAYDAY MAYDAY" melalui radio telepon; d. memberikan isyarat bendera berbentuk bujur sangkar atau dengan bola atau sesuatu yang menyerupai bola di atas atau di bawah bendera tersebut; e. memberikan isyarat dengan lidah api dikapal sungai dan danau; f. memberikan isyarat dengan asap berwarna jingga; dan g. memberikan isyarat menggunakan tangan dengan cara menaikturunkan lengan yang terentang ke samping berulang-ulang secara perlahan-lahan. Paragraf 4 Penggunaan Lampu Penerangan/Navigasi Pasal 56 Penggunaan lampu penerangan/navigasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (3) huruf c terdiri atas: a. pada kapal sungai dan danau bermotor; pada kapal sungai dan danau tidak bermotor; dan b. pada kapal penghisap lumpur, kapal keruk, atau kapal kerja yang sedang melakukan pekerjaan di alur-pelayaran. Pasal 57 Penggunaan lampu penerangan/navigasi pada kapal sungai dan danau bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 huruf a terdiri atas: a. kapal sungai dan danau bermotor yang panjangnya 20 (dua puluh) meter atau lebih; b. kapal sungai dan danau bermotor yang panjangnya kurang dari 20 (dua puluh) meter tetapi lebih dari 7 (tujuh) meter; dan c. kapal sungai dan danau bermotor yang panjangnya 7 (tujuh) meter ke bawah.
www.djpp.depkumham.go.id
33
2012, No.1088
Pasal 58 (1) Kapal sungai dan danau bermotor yang panjangnya 20 (dua puluh) meter atau lebih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 huruf a harus menggunakan penerangan: a. penerangan lambung; b. penerangan keliling; dan c. penerangan buritan. (2) Penerangan lambung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas: a. penerangan lambung kanan yang memancarkan sinar berwarna hijau; b. penerangan lambung kiri yang memancarkan sinar berwarna merah; dan c. penerangan lambung kanan dan lambung kiri dapat diganti dengan lampu atau lentera kombinasi yang memancarkan sinar berwarna hijau. (3) Penerangan keliling sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas: a. sebuah penerangan keliling yang memancarkan sinar berwarna putih; dan b. penerangan keliling kedua yang memancarkan sinar berwarna putih ditempatkan pada jarak 0,5 (nol koma lima) sampai dengan 1 (satu) meter tegak lurus di atas penerangan keliling pertama, jika sedang menggandeng kapal sungai dan danau lain. Pasal 59 (1) Kapal sungai dan danau yang panjangnya 20 (dua puluh) meter atau lebih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 huruf a yang sedang kandas dan mengganggu alur-pelayaran harus menggunakan lampu navigasi. (2) Penggunaan lampu navigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi ketentuan: a. pada malam hari harus memasang 2 (dua) buah penerangan keliling berjajar tegak lurus ke atas yang memancarkan sinar berwarna merah yang ditempatkan sebelah atas dan sinar berwarna putih yang ditempatkan sebelah bawah; dan b. pada siang hari harus memasang 3 (tiga) buah benda berbentuk bola berwarna hitam berjajar tegak lurus ke atas, bergaris tengah 0,5 (nol koma lima) sampai dengan 0,8 (nol koma delapan) meter
www.djpp.depkumham.go.id
2012, No.1089
34
dan dipasang pada ketinggian yang sama dengan penerangan keliling. Pasal 60 Kapal sungai dan danau bermotor yang panjangnya kurang dari 20 (dua puluh) meter tetapi lebih dari 7 (tujuh) meter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 huruf b harus menggunakan: a. sebuah penerangan lambung yang memancarkan sinar berwarna hijau di lambung kanan; b. sebuah penerangan lambung yang memancarkan sinar berwarna merah di lambung kiri; c. sebuah penerangan keliling yang memancarkan sinar berwarna putih; d. penerangan di lambung kanan dan lambung kiri dapat diganti dengan lampu atau lentera kombinasi yang memancarkan sinar berwarna hijau; dan e. penerangan keliling kedua yang memancarkan sinar berwarna putih ditempatkan pada jarak 0,5 (nol koma lima) sampai dengan 1 (satu) meter tegak lurus di atas penerangan keliling pertama jika sedang menggandeng kapal sungai dan danau lain. Pasal 61 Kapal sungai dan danau bermotor yang panjangnya 7 (tujuh) meter ke bawah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 huruf c harus menggunakan: a. sebuah penerangan keliling yang memancarkan sinar berwarna putih; dan b. kapal sungai dan danau bermotor yang dapat berlayar dengan kecepatan lebih dari 10 (sepuluh) km/jam harus menggunakan penerangan keliling dan penerangan lambung. Pasal 62 Kapal sungai dan danau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 huruf a dan Pasal 57 huruf b yang sedang kandas dan mengganggu alur-pelayaran harus memenuhi ketentuan: a. pada malam hari harus memasang penerangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60; dan b. pada siang hari harus memasang bendera putih yang ditempatkan pada tempat yang dapat terlihat dengan baik dari sekelilingnya. Pasal 63 (1) Kapal sungai dan danau yang sedang berlabuh harus menyalakan sebuah penerangan keliling yang dapat memancarkan sinar berwarna putih dan dapat terlihat dengan baik dari sekelilingnya.
www.djpp.depkumham.go.id
35
2012, No.1088
(2) Kapal sungai dan danau yang sedang merapat di tempat bongkar muat wajib menerangi badan kapal sungai dan danaunya sehingga terlihat dengan baik oleh kapal sungai dan danau lain. Pasal 64 Penggunaan lampu penerangan/navigasi pada kapal sungai dan danau tidak bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 huruf b terdiri atas: a. kapal sungai dan danau tidak bermotor yang panjangnya 20 (dua puluh) meter atau lebih dan rakit yang panjangnya 30 (tiga puluh) meter atau lebih; b. kapal sungai dan danau tidak bermotor yang panjangnya kurang dari 20 (dua puluh) meter atau rakit yang panjangnya kurang dari 30 (tiga puluh) meter; c. kapal sungai dan danau penangkap ikan tidak bermotor; dan d. kapal dayung. Pasal 65 (1)
Kapal sungai dan danau tidak bermotor yang panjangnya 20 (dua puluh) meter atau lebih dan rakit yang panjangnya 30 (tiga puluh) meter atau lebih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 huruf a harus menggunakan penerangan: a. sebuah lampu atau lentera yang dapat memancarkan sinar berwarna putih dan ditempatkan pada tempat yang dapat terlihat dengan baik dari sekelilingnya; dan b. penerangan lambung.
(2)
Rakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila memiliki lebar kurang dari 6 (enam) meter yang sedang berlayar atau sedang berhenti harus memasang penerangan berupa sebuah lampu pada ujung muka dan ujung belakang dengan ketinggian sama, yang memancarkan sinar berwarna putih dan dapat dilihat dari sekelilingnya pada jarak paling sedikit 2 (dua) kilometer pada alur yang lurus.
(3)
Rakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila memiliki lebar 6 (enam) meter atau lebih yang sedang berlayar atau berhenti harus memasang penerangan berupa lampu pada ujung muka dan ujung belakang masing-masing 2 (dua) buah lampu dengan ketinggian dan daya sinar yang sama.
(4)
Rakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang sedang kandas dan mengganggu alur-pelayaran: a. pada malam hari harus memasang 2 (dua) buah penerangan keliling berjajar tegak lurus ke atas, yang memancarkan sinar
www.djpp.depkumham.go.id
2012, No.1089
36
berwarna merah, ditempatkan sebelah atas dan sinar berwarna putih yang ditempatkan sebelah bawah; dan b. pada siang hari harus memasang 3 (tiga) buah benda berbentuk bola berwarna hitam berjajar tegak lurus ke atas, bola bergaris tengah 0,5 (nol koma lima) sampai dengan 0,8 (nol koma delapan) meter dan dipasang pada ketinggian yang sama dengan penerangan keliling. Pasal 66 (1) Kapal sungai dan danau tidak bermotor yang panjangnya kurang dari 20 (dua puluh) meter atau rakit yang panjangnya kurang dari 30 (tiga puluh) meter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 huruf b harus menggunakan penerangan berupa sebuah lampu atau lentera yang dapat memancarkan sinar berwarna putih dan ditempatkan pada tempat yang dapat terlihat dengan baik dari sekelilingnya. (2) Rakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang sedang kandas dan mengganggu alur-pelayaran: a. pada malam hari harus memasang penerangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan b. pada siang hari harus memasang bendera putih yang ditempatkan pada tempat yang dapat terlihat dengan baik dari sekelilingnya. Pasal 67 Kapal sungai dan danau penangkap ikan tidak bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 huruf c harus menggunakan penerangan berupa: a. sebuah lampu atau lentera yang dapat memancarkan sinar berwarna putih dan ditempatkan pada tempat yang dapat terlihat dengan baik dari sekelilingnya; dan b. penerangan lambung yang memancarkan sinar berwarna hijau di lambung kanan. Pasal 68 Kapal dayung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 huruf d harus menggunakan penerangan berupa lampu senter yang dapat memancarkan cahaya berwarna putih terang dan dapat dinyalakan tepat pada waktunya serta dapat dilihat dengan baik oleh kapal sungai dan danau yang mendekatinya. Pasal 69 (1) Penggunaan lampu penerangan/navigasi pada kapal penghisap lumpur, kapal keruk, atau kapal kerja yang sedang melakukan pekerjaan di alur-pelayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56
www.djpp.depkumham.go.id
37
2012, No.1088
huruf c harus memenuhi ketentuan: a. jika alur-pelayaran hanya bebas pada satu sisi: 1. pada malam hari di sisi yang tidak bebas harus dipasang penerangan berupa sebuah lampu yang memancarkan sinar berwarna merah dan di sisi yang bebas dipasang 2 (dua) buah lampu tegak lurus ke atas yang memancarkan sinar berwarna hijau; dan 2. pada siang hari di sisi yang tidak bebas harus dipasang tanda berupa sebuah benda berbentuk bola berwarna hitam, di sisi yang bebas dipasang 2 (dua) buah benda tegak lurus ke atas berbentuk belah ketupat berwarna hitam. b. jika alur-pelayaran bebas pada kedua sisinya: 1. pada malam hari di setiap sisi harus dipasang penerangan masing-masing berupa 2 (dua) buah lampu tegak lurus ke atas yang memancarkan sinar berwarna hijau; dan 2. pada siang hari di setiap sisi harus dipasang tanda berupa masing-masing 2 (dua) buah benda tegak lurus ke atas berbentuk belah ketupat berwarna hitam. c. jika alur pelayaran di kedua sisi tidak bebas: 1. pada malam hari di setiap sisi harus dipasang penerangan masing-masing berupa 2 (dua) buah lampu tegak lurus ke atas yang memancarkan sinar berwarna merah; dan 2. pada siang hari di setiap sisi harus dipasang tanda berupa masing-masing 2 (dua) buah benda tegak lurus ke atas berbentuk bola berwarna hitam (2) Penerangan dan tanda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c ditempatkan sejauh mungkin di luar bagian tengah badan kapal sungai dan danau. Pasal 70 Kapal keruk, kapal kerja, dan kapal sejenis yang sedang berlabuh jangkar di perairan harus menyatakan letak jangkarnya dengan menggunakan sebuah tong atau pengapung berwarna biru pada siang hari dan dilengkapi dengan penerangan berupa lampu keliling yang memancarkan sinar berwarna putih terang pada malam hari. Paragraf 5 Alat Pemberi Isyarat Pasal 71 (1) Alat pemberi isyarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (3)
www.djpp.depkumham.go.id
2012, No.1089
38
huruf d wajib dilengkapi pada kapal sungai dan danau sesuai dengan ukurannya. (2) Alat pemberi isyarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: a. suling; b. genta; c. gong; atau d. alat isyarat bunyi lainnya. (3) Kapal sungai dan danau yang dipergunakan untuk pemadam kebakaran, pertolongan kecelakaan, pengawalan, patroli, atau ambulance harus menggunakan alat pemberi isyarat berupa sirine. Pasal 72 Penggunaan alat pemberi isyarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 terdiri atas: a. pada saat kapal sungai dan danau melakukan olah gerak; b. pada saat kapal sungai dan danau berpapasan; c. pada saat kapal sungai dan danau mendahului kapal sungai dan danau lain; d. pada saat kapal sungai dan danau tampak terbatas di waktu siang maupun malam hari; dan e. pada saat kapal sungai dan danau dalam keadaan bahaya dan membutuhkan pertolongan. Pasal 73 (1) Pada saat kapal sungai dan danau melakukan olah gerak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 huruf a harus memberikan isyarat suling yang dilakukan secara berulang-ulang berupa: a. 1 (satu) tiup pendek, apabila sedang mengubah haluan ke kanan; b. 2 (dua) tiup pendek, apabila sedang mengubah haluan ke kiri; dan c. 3 (tiga) tiup pendek, apabila sedang bergerak mundur. (2) Isyarat suling sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dipertegas dengan isyarat cahaya secara berulang-ulang dengan ketentuan: a. 1 (satu) kedip cahaya terang, apabila sedang mengubah haluan ke kanan; b. 2 (dua) kedip cahaya terang, apabila sedang mengubah haluan ke kiri; dan c. 3 (tiga) kedip cahaya terang, apabila sedang bergerak mundur.
www.djpp.depkumham.go.id
39
2012, No.1088
Pasal 74 (1) Pada saat kapal sungai dan danau berpapasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 huruf b, untuk menghindari tubrukan harus segera membunyikan suling paling sedikit 5 (lima) tiup pendek dengan tenggang waktu yang singkat. (2) Isyarat suling sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dipertegas dengan isyarat cahaya paling sedikit 5 (lima) kedip cahaya terang dengan tenggang waktu yang singkat. Pasal 75 (1) Pada saat kapal sungai dan danau mendahului kapal sungai dan danau lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 huruf c harus memberikan isyarat suling dengan ketentuan: a. 2 (dua) tiup panjang diikuti dengan 1 (satu) tiup pendek, apabila akan melewati pada sisi kanan kapal sungai dan danau lain tersebut; dan b. 2 (dua) tiup panjang diikuti 2 (dua) tiup pendek, apabila akan melewati pada sisi kiri kapal sungai dan danau lain tersebut. (2) Kapal sungai dan danau lain yang akan dilewati sebagaimana dimaksud pada ayat (1), apabila memungkinkan untuk dilewati harus menyatakan dengan isyarat suling 1 (satu) tiup panjang, 1 (satu) tiup pendek 2 (dua) kali berturut-turut, dan dapat diulangi apabila diperlukan. Pasal 76 Pada saat kapal sungai dan danau tampak terbatas di waktu siang maupun malam hari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 huruf d harus menggunakan isyarat bunyi dengan ketentuan: a. kapal sungai dan danau bermotor yang sedang berlayar harus membunyikan suling dengan 1 (satu) tiup panjang secara berulangulang dengan tenggang waktu tidak lebih dari 2 (dua) menit; b. kapal sungai dan danau bermotor yang sedang berhenti harus membunyikan suling dengan 2 (dua) tiup panjang dan diulangi dengan tenggang waktu tidak lebih dari 2 (dua) menit; c. kapal sungai dan danau dalam keadaan tidak dapat dikendalikan atau dalam keadaan terbatas kemampuan olah gerak, kapal sungai dan danau yang terkekang oleh saratnya, kapal sungai dan danau yang sedang menunda atau menggandeng kapal sungai dan danau lain, kapal sungai dan danau yang sedang menangkap ikan, serta kapal sungai dan danau layar harus membunyikan suling dengan 3 (tiga) tiup secara berulang-ulang yaitu 1 (satu) tiup panjang diikuti 2 (dua) tiup pendek dengan tenggang waktu tidak lebih dari 2 (dua) menit;
www.djpp.depkumham.go.id
2012, No.1089
40
d. kapal sungai dan danau yang menggandeng sebuah atau dua buah kapal sungai dan danau, kapal sungai dan danau yang digandeng atau yang paling belakang digandeng apabila diawaki harus membunyikan suling dengan 4 (empat) tiup secara berulang-ulang yaitu 1 (satu) tiup panjang diikuti 3 (tiga) tiup pendek dengan tenggang waktu tidak lebih dari 2 (dua) menit dan dilakukan segera setelah kapal sungai dan danau yang menunda memberikan isyarat bunyi yang sama; e. kapal sungai dan danau yang mendorong kapal sungai dan danau lain yang saling dihubungkan dalam satu rangkaian yang kuat dan tetap harus memberikan isyarat bunyi sebagaimana dimaksud pada huruf a atau huruf b sesuai dengan olah geraknya; f. kapal sungai dan danau yang sedang berlabuh harus membunyikan genta dengan ketukan cepat selama 5 (lima) detik secara berulangulang dengan tenggang waktu tidak lebih dari 1 (satu) menit; g. kapal sungai dan danau dengan panjang 100 (seratus) meter atau lebih yang sedang berlabuh harus membunyikan genta di bagian depan kapal diikuti dengan bunyi gong selama 5 (lima) detik di bagian belakang kapal dan sebagai tambahan dapat dibunyikan 3 (tiga) tiup secara berulang-ulang berupa 1 (satu) tiup pendek, 1 (satu) tiup panjang, dan 1 (satu) tiup pendek; h. kapal sungai dan danau yang sedang menangkap ikan atau kapal sungai dan danau yang terbatas kemampuan olah geraknya sedang berlabuh, sebagai pengganti isyarat sebagaimana dimaksud pada huruf f dan huruf g harus membunyikan isyarat sebagaimana dimaksud dalam huruf c; i. kapal sungai dan danau yang kandas harus memberikan isyarat genta dan/atau gong sebagaimana dimaksud pada huruf f dan huruf g dan sebagai tambahan harus membunyikan genta sebanyak 3 (tiga) ketukan secara terpisah dan jelas sesaat sebelum dan segera sesudah bunyi genta tersebut dan dapat pula diberikan isyarat suling sesuai dengan ukuran kapal sungai dan danaunya; j. kapal sungai dan danau yang panjangnya kurang dari 7 (tujuh) meter harus dapat memberikan isyarat bunyi lain yang cukup jelas dengan tenggang waktu tidak lebih dari 2 (dua) menit; k. kapal sungai dan danau yang sedang mendekati belokan atau tempat tampak terbatas harus membunyikan suling dengan 1 (satu) tiup panjang dan isyarat tersebut harus dijawab dengan 1 (satu) tiup panjang oleh kapal sungai dan danau lain yang mendekati atau mungkin mendengarnya.
www.djpp.depkumham.go.id
41
2012, No.1088
Pasal 77 Pada saat kapal sungai dan danau dalam keadaan bahaya dan membutuhkan pertolongan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 huruf e harus menggunakan isyarat bunyi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 huruf i. Bagian Keenam Daerah Labuh Kapal Sungai dan Danau Sesuai Dengan Kepentingannya Pasal 78 (1) Daerah labuh kapal sungai dan danau sesuai dengan kepentingannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf d berupa: a. di dalam kolam pelabuhan; dan b. di luar kolam pelabuhan. (2) Daerah labuh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh: a. Direktur Jenderal untuk daerah labuh di alur-pelayaran kelas I; b. gubernur untuk daerah labuh di alur-pelayaran kelas II; dan c. bupati/walikota untuk daerah labuh di alur-pelayaran kelas III. Pasal 79 Setiap kapal sungai dan danau yang melakukan sandar pada daerah labuh di dalam kolam pelabuhan hanya diperbolehkan untuk melakukan: a. menaikkan dan/atau menurunkan penumpang; dan b. bongkar muat barang. Pasal 80 Setiap kapal sungai dan danau yang melakukan sandar pada daerah labuh di dalam kolam pelabuhan atau bertolak berlayar wajib: a. memberikan informasi kepada petugas lalu lintas di pelabuhan; b. meminta izin kepada petugas pemberangkatan kapal sungai dan danau; c. memperhatikan situasi dan kondisi alur yang ada; d. memastikan bahwa tidak akan mengganggu pergerakan kapal sungai dan danau lain yang telah berlayar dan memberikan isyarat sesuai dengan ketentuan. Pasal 81 (1) Kapal sungai dan danau diperbolehkan sandar pada daerah labuh di dalam kolam pelabuhan apabila kondisi pelabuhan dinilai aman untuk bersandar.
www.djpp.depkumham.go.id
2012, No.1089
42
(2) Kapal sungai dan danau yang belum diizinkan bersandar pada daerah labuh di dalam kolam pelabuhan, dapat menunggu pada daerah labuh di luar kolam pelabuhan. Pasal 82 Kapal sungai dan danau diperbolehkan menambatkan kapal atau buang sauh di luar kolam pelabuhan pada wilayah yang ditetapkan untuk melakukan kegiatan: a. menunggu untuk berlabuh di dermaga pelabuhan; b. buang sauh setelah berlabuh di dermaga pelabuhan; c. kegiatan perbaikan dan perawatan kapal sungai dan danau; dan d. keadaan darurat. Pasal 83 Daerah labuh di luar kolam pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (1) huruf b harus memenuhi ketentuan: a. di Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan; b. tidak diperbolehkan di alur yang sempit; b. tidak diperbolehkan di alur yang berbelok; atau c. tidak boleh mengganggu pelayaran kapal sungai dan danau lainnya. Pasal 84 Kapal sungai dan danau dimaksud dalam Pasal menimbulkan gelombang sungai dan danau lainnya keamanan.
yang berlayar di daerah labuh sebagaimana 78 wajib menjaga kecepatan agar tidak yang dapat menggangu keselamatan kapal dan mengutamakan prinsip keselamatan dan Pasal 85
Kapal sungai dan danau yang akan melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 wajib memberitahukan kegiatannya kepada inspektur sungai dan danau. Pasal 86 Dalam hal kapal sungai dan danau yang berlayar mengalami kondisi darurat dan ingin berlabuh wajib: a. mendapatkan izin dari petugas lalu lintas dan angkutan; b. memasang isyarat peringatan bahaya atau isyarat lain yang dapat terlihat oleh kapal sungai dan danau lain yang melintas; dan c. memperhatikan keselamatan.
www.djpp.depkumham.go.id
43
2012, No.1088
BAB III FASILITAS ALUR-PELAYARAN SUNGAI DAN DANAU Pasal 87 (1) Untuk menjamin keselamatan, keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas dan angkutan di alur-pelayaran sungai dan danau wajib dilengkapi fasilitas alur-pelayaran sungai dan danau. (2) Fasilitas alur-pelayaran sungai dan danau sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: a. kolam pemindahan kapal sungai dan danau (ship lock); b. bendungan pengatur kedalaman alur (navigation barrage); c. bangunan pengangkat kapal sungai dan danau (ship lift); d. kanal; e. rambu; f. pos pengawasan; g. halte; h. pencatat skala tinggi air; i. bangunan penahan arus; j. bangunan pengatur arus; k. dinding penahan tanah/tebing sungai; dan l. kolam penampung lumpur. Pasal 88 (1) Penyelenggaraan fasilitas alur-pelayaran sungai dan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (2) meliputi:
danau
a. perencanaan; b. pembangunan atau pengadaan dan pemasangan; dan c. pemeliharaan. (2) Penyelenggaraan fasilitas alur-pelayaran sungai dan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh:
danau
a. Direktur Jenderal untuk fasilitas di alur-pelayaran kelas I; b. gubernur untuk fasilitas di alur-pelayaran kelas II; dan c. bupati/walikota untuk fasilitas di alur-pelayaran kelas III. Pasal 89 (1) Perencanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (1) huruf a untuk kolam pemindahan kapal sungai dan danau (ship
www.djpp.depkumham.go.id
2012, No.1089
44
lock), bendungan pengatur kedalaman alur (navigation barrage), bangunan pengangkat kapal sungai dan danau (ship lift), kanal, pos pengawasan, halte, bangunan penahan arus, bangunan pengatur arus, dinding penahan tanah/tebing sungai, dan kolam penampung lumpur terdiri atas: a. b. c. d. e.
survei alur; inventarisasi fasilitas; kebutuhan fasilitas; kajian lingkungan; dan desain fasilitas.
(2) Perencanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (1) huruf a untuk rambu dan pencatat skala tinggi air terdiri atas: a. inventarisasi lokasi; dan b. jumlah dan jenis. Pasal 90 Pembangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (1) huruf b untuk kolam pemindahan kapal sungai dan danau (ship lock), bendungan pengatur kedalaman alur (navigation barrage), bangunan pengangkat kapal sungai dan danau (ship lift), kanal, pos pengawasan, halte, bangunan penahan arus, bangunan pengatur arus, dinding penahan tanah/tebing sungai, dan kolam penampung lumpur hanya dapat dilakukan berdasarkan perencanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (1). Pasal 91 (1) Pembangunan kolam pemindahan kapal sungai dan danau (ship lock), bendungan pengatur kedalaman alur (navigation barrage), bangunan pengangkat kapal sungai dan danau (ship lift), dan kanal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 terdiri atas: a. pengadaan sarana dan prasarana; dan b. pelaksanaan konstruksi. (2) Pembangunan kolam pemindahan kapal sungai dan danau (ship lock) dan bendungan pengatur kedalaman alur (navigation barrage) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan: a. kepadatan lalu lintas kapal; b. jenis dan ukuran kapal yang akan melintas; c. karakteristik alur-pelayaran; dan d. kondisi lingkungan perairan.
www.djpp.depkumham.go.id
45
2012, No.1088
(3) Pembangunan bangunan pengangkat kapal (ship lift) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan: a. karakteristik alur-pelayaran; b. jenis dan ukuran kapal yang akan dipindahkan; dan c. kondisi lingkungan perairan. (4) Pembangunan kanal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan: a. karakteristik alur-pelayaran; b. karakteristik lalu lintas kapal; dan c. kondisi lingkungan perairan. Pasal 92 (1) Pembangunan fasilitas alur-pelayaran sungai dan danau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 dilakukan setelah mendapat izin. (2) Permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada: a. Direktur Jenderal untuk alur-pelayaran kelas I; b. gubernur untuk alur-pelayaran kelas II; dan c. bupati/walikota untuk alur-pelayaran kelas III. (3) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) persyaratan teknis dan kelestarian lingkungan.
harus
memenuhi
Pasal 93 (1) Dalam hal pembangunan untuk fasilitas alur pelayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 telah selesai dilaksanakan, dapat dilakukan pengoperasian. (2) Pengoperasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan. (3) Persyaratan pengoperasian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk kolam pemindahan kapal sungai dan danau (ship lock) meliputi: a. dimensi kolam dan daya angkat yang memadai sesuai jenis kapal sungai dan danau terbesar yang akan melintas; b. waktu pelayanan yang efektif sehingga mampu melayani seluruh lalu lintas kapal sungai dan danau di alur-pelayaran sungai dan danau setempat; c. keamanan dan keselamatan pelayaran; dan d. perlindungan lingkungan perairan sungai dan danau.
www.djpp.depkumham.go.id
2012, No.1089
46
(4) Persyaratan pengoperasian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk bendungan pengatur kedalaman alur (navigation barrage) meliputi: a. pintu (gate) bendungan yang dapat dibuka dan ditutup sehingga mampu menjaga stabilitas tinggi muka air sesuai persyaratan teknis suatu kelas alur-pelayaran tertentu; b. dapat difungsikan sepanjang waktu operasional dari alur-pelayaran yang bersangkutan; c. keamanan dan keselamatan pelayaran; dan d. perlindungan lingkungan perairan sungai dan danau. (5) Persyaratan pengoperasian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk bangunan pengangkat kapal sungai dan danau (ship lift) meliputi: a. daya angkat yang mampu mengangkat ukuran kapal sungai dan danau terbesar yang akan dipindahkan; b. keamanan dan keselamatan pelayaran; dan c. perlindungan lingkungan perairan sungai dan danau. (6) Persyaratan pengoperasian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk kanal meliputi: a. lebar, kedalaman, dan tinggi ruang bebas yang memenuhi persyaratan teknis sesuai kelas alur-pelayaran sungai dan danau yang dihubungkan; b. dapat dioperasikan di sepanjang waktu operasional dari alurpelayaran sungai dan danau yang dihubungkan; c. keamanan dan keselamatan pelayaran; dan d. perlindungan lingkungan perairan sungai dan danau. Pasal 94 (1) Pembangunan pos pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 dilakukan pada lokasi yang memudahkan petugas inspeksi untuk melakukan pengawasan terhadap kelancaran dan ketertiban pelayaran. (2) Pembangunan halte sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 dilakukan dengan mempertimbangkan: a. potensi penumpang dan barang; b. karakteristik alur-pelayaran; c. ketersediaan lahan; dan d. kondisi lingkungan.
www.djpp.depkumham.go.id
47
2012, No.1088
(3) Pembangunan bangunan penahan arus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 dilakukan dengan memperhatikan: a. kondisi sekitar perairan pelabuhan atau halte; b. riam/jeram yang kecepatan arusnya tinggi; c. tingkat sedimentasi. d. dapat menahan kecepatan arus air di alur-pelayaran pada level aman yang ditetapkan; dan e. tidak menimbulkan arus balik yang menyebabkan pusaran air. (4) Pembangunan bangunan pengatur arus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 dilakukan dengan memperhatikan: a. bagian alur-pelayaran yang membutuhkan pengaturan kecepatan arus air; b. kebutuhan pintu atau peralatan yang dapat mengatur kecepatan arus air di alur-pelayaran sesuai yang diinginkan; dan c. tidak menimbulkan arus yang menyebabkan pusaran air. (5) Pembangunan dinding penahan tanah/tebing sungai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 dilakukan dengan mempertimbangkan: a. kekuatan dan stabilitas tanah setempat; b. kondisi hidrologis dan geologis setempat; c. perkiraan pembebanan bangunan atau obyek di atas tebing; dan d. kondisi lingkungan sekitar lokasi. (6) Pembangunan kolam penampung lumpur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 dilakukan dengan mempertimbangkan: a. tingkat sedimentasi alur-pelayaran; b. karakteristik alur-pelayaran; c. karakteristik lalu lintas kapal; dan d. kondisi lingkungan sekitar lokasi. Pasal 95 (1) Pembangunan halte sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 ayat (2) harus memenuhi persyaratan paling sedikit: a. memiliki tempat sandar kapal sungai dan danau; b. memiliki fasilitas naik turun penumpang dan/atau bongkar muat barang; dan c. dilengkapi dengan fasilitas keselamatan dan keamanan pelayaran.
www.djpp.depkumham.go.id
2012, No.1089
48
(2) Pembangunan dinding penahan tanah/tebing sungai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 ayat (5) harus memenuhi persyaratan paling sedikit: a. memiliki kestabilan konstruksi; dan b. tidak menimbulkan gangguan terhadap lingkungan sekitar. (3) Pembangunan kolam penampung lumpur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 ayat (6) harus memenuhi persyaratan paling sedikit: a. memiliki daya tampung lumpur; b. tidak membahayakan keamanan dan keselamatan pelayaran; dan c. tidak menimbulkan gangguan terhadap lingkungan perairan. Pasal 96 Pengadaan dan pemasangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (1) huruf b untuk rambu dan pencatat skala tinggi air hanya dapat dilakukan berdasarkan perencanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (2). Pasal 97 (1) Pengadaan dan pemasangan rambu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan. (2) Rambu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. rambu peringatan; b. rambu larangan; c. rambu wajib; dan d. rambu petunjuk. Pasal 98 (1) Rambu peringatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (2) huruf a digunakan untuk memberi peringatan kemungkinan ada bahaya atau tempat berbahaya di bagian alur di depannya atau di tepi alur. (2) Rambu peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan teknis: a. berbentuk: 1. bujur sangkar, ukuran 100 (seratus) x 100 (seratus) sentimeter, warna dasar putih, garis tepi warna merah, warna petunjuk hitam dengan ketebalan 10 (sepuluh) sentimeter; 2. empat persegi panjang, ukuran 100 (seratus) x 140 (seratus empat puluh) sentimeter, warna dasar putih, garis tepi warna
www.djpp.depkumham.go.id
49
2012, No.1088
merah, warna petunjuk hitam dengan ketebalan 10 (sepuluh) sentimeter; dan 3. segi tiga sama sisi, panjang sisi 100 (seratus) sentimeter, warna dasar putih, tepi warna merah dengan ketebalan 10 (sepuluh) sentimeter; b. ditempatkan pada sisi kanan pada jarak 100 (seratus) meter sebelum tempat atau lokasi yang dinyatakan berbahaya; dan c. dapat dilengkapi papan tambahan yang menyatakan jarak lokasi dengan ukuran papan 30 (tiga puluh) x 200 (dua ratus) sentimeter warna putih bersilangan, tersusun tegak lurus. Pasal 99 (1) Rambu larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (2) huruf b digunakan untuk menyatakan perbuatan yang dilarang dilakukan oleh pengguna perairan sungai dan danau. (2) Rambu larangan sebagaimana memenuhi persyaratan teknis
dimaksud
pada
ayat
(1)
harus
a. berbentuk: 1. empat persegi panjang, berukuran 100 (seratus) x 40 (empat
puluh) sentimeter warna dasar putih dengan sebuah garis diagonal dan garis tepi warna merah setebal 10 (sepuluh) sentimeter, sedang petunjuk berwarna hitam dan angka di dalam rambu berukuran tinggi 60 (enam puluh) sentimeter dan tebal 10 (sepuluh) sentimeter; dan 2. lingkaran, berukuran diameter 100 (seratus) sentimeter, warna
dasar putih dengan sebuah garis diagonal dan garis tepi lingkaran berwarna merah dengan ketebalan 10 (sepuluh) sentimeter; b. penempatan rambu: 1. awal bagian alur dimana larangan itu dimulai dengan jarak
maksimum 30 (tiga puluh) meter; 2. sisi sebelah kanan sebelum tempat yang dimaksud dengan jarak
2 (dua) meter dari tepi sungai dimana berlakunya rambu tersebut; 3. daun rambu tegak lurus terhadap alur dan dapat kelihatan
dengan jelas dari jarak 200 (dua ratus) meter; dan 4. dapat dilengkapi papan tambahan yang menyatakan jarak lokasi
dengan ukuran papan 100 (seratus) x 40 (empat puluh) sentimeter dengan warna dasar putih dan warna huruf dan/atau angka berwarna hitam.
www.djpp.depkumham.go.id
2012, No.1089
50
Pasal 100 (1) Rambu wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (2) huruf c digunakan untuk menyatakan kewajiban yang harus dilakukan oleh pengguna alur-pelayaran sungai dan danau. (2) Rambu wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan teknis: a. berbentuk: 1. empat persegi panjang, ukuran 100 (seratus) x 140 (seratus empat puluh) sentimeter dengan diameter lingkaran di dalamnya 50 (lima puluh) sentimeter, warna dasar putih, garis tepi warna merah, warna petunjuk hitam dengan ketebalan 10 (sepuluh) sentimeter, ketinggian angka 60 (enam puluh) sentimeter; dan 2. pelampung, berbentuk silinder diameter 100 (seratus) sentimeter, tinggi 140 (seratus empat puluh) sentimeter, warna dasar putih, tepi atas dan tepi bawah berwarna merah, warna petunjuk berwarna merah dengan ketebalan 10 (sepuluh) sentimeter; b. penempatan rambu: 1. sedekat mungkin dimana rambu tersebut berlaku dengan jarak maksimum 20 (dua puluh) meter; dan 2. pelampung ditempatkan pada jarak 100 (seratus) meter di depan lokasi sebelum berlakunya rambu tersebut. Pasal 101 (1) Rambu wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 mempunyai kekuatan hukum setelah 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal pemasangan. (2) Tanggal pemasangan rambu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diumumkan kepada pengguna alur-pelayaran oleh penyelenggara rambu sesuai dengan kewenangannya. Pasal 102 (1) Rambu petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (2) huruf d digunakan untuk memberikan petunjuk dan penuntun mengenai kondisi alur-pelayaran sungai dan danau kepada pengguna alur-pelayaran sungai dan danau. (2) Rambu petunjuk sebagaimana memenuhi persyaratan teknis:
dimaksud
pada
ayat (1)
harus
a. berbentuk: 1. bujur sangkar, ukuran 100 (seratus) x 100 (seratus) sentimeter, warna dasar biru, warna petunjuk putih; dan
www.djpp.depkumham.go.id
51
2012, No.1088
2. segitiga sama sisi, berwarna putih dengan panjang sisi 100 (seratus) sentimeter; b. ditempatkan pada sisi kanan dengan jarak minimum 100 (seratus) meter sebelum tempat, daerah, atau lokasi yang ditunjuk; c. dapat ditambah dengan papan tambahan yang menyatakan jarak lokasi dengan ukuran papan 30 (tiga puluh) x 200 (dua ratus) sentimeter dan bewarna putih; d. penempatan rambu: 1. ditempatkan pada sisi kiri apabila posisi pandangan menghadap
ke arah hilir; dan 2. daun rambu dipasang pada ketinggian 350 (tiga ratus lima
puluh) sentimeter diukur dari permukaan tanah sampai sisi daun rambu bagian bawah; dan e. pada lokasi tertentu dapat dipasang papan nama daerah dan patok kilometer. Pasal 103 Bentuk, warna, dan ukuran rambu peringatan, rambu larangan, rambu wajib, serta rambu petunjuk tercantum dalam Lampiran II Peraturan Menteri ini. Pasal 104 (1) Pengadaan dan pemasangan pencatat skala tinggi air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 harus memenuhi persyaratan. (2) Persyaratan pengadaan pencatat dimaksud pada ayat (1) meliputi:
skala
tinggi
air
sebagaimana
a. memiliki titik referensi tetap dan terintegrasi untuk semua pencatat skala tinggi air di suatu alur-pelayaran; b. dapat difungsikan di segala kondisi kecepatan arus air dan ketinggian muka air; dan c. dapat menyediakan data fluktuasi tinggi muka air secara kontinyu. (3) Persyaratan pemasangan pencatat skala tinggi air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditempatkan antara lain: a. b. c. d.
pada bagian alur-pelayaran sungai dan danau di sekitar muara; daerah pasang surut; pintu air; dan fasilitas kolam pemindahan kapal sungai dan danau (ship lock) dan bendungan pengatur kedalaman alur (navigation barrage).
www.djpp.depkumham.go.id
2012, No.1089
52
Pasal 105 (1) Pemeliharaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (1) huruf c untuk kolam pemindahan kapal sungai dan danau (ship lock), bendungan pengatur kedalaman alur (navigation barrage), bangunan pengangkat kapal sungai dan danau (ship lift), dan kanal meliputi: a. b. c. d. e.
perbaikan dan pergantian peralatan yang rusak; pengecekan kedalaman; pengecekan mesin pendukung; pembersihan kotoran atau gangguan lain; dan pengecekan panel panel dan pembersihannya terhadap kotoran yang mengganggu.
(2) Pemeliharaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (1) huruf c untuk rambu dilakukan dengan cara : a. menghilangkan atau menyingkirkan benda-benda mengganggu pandangan pemakai alur terhadap rambu;
yang
b. membersihkan permukaan rambu yang kotor; c. meluruskan kembali/mengganti tiang rambu yang rusak; d. memindahkan lokasi rambu yang terancam keberadaannya; dan e. melakukan penggantian rambu yang hilang dan/atau rusak yang mengakibatkan tidak berfungsinya rambu. (3) Pemeliharaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (1) huruf c untuk pos pengawasan meliputi: a. membersihkan pos pengawasan yang kotor; b. memperbaiki kembali/mengganti kembali pos pengawasan yang rusak; dan c. memindahkan keberadaannya.
lokasi
pos
pengawasan
yang
terancam
(4) Pemeliharaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (1) huruf c untuk halte meliputi: a. menghilangkan atau menyingkirkan mengganggu terhadap halte;
benda-benda
yang
b. membersihkan permukaan halte yang kotor; c. meluruskan kembali/mengganti kembali halte yang rusak; d. memindahkan lokasi halte yang terancam keberadaannya; dan e. melakukan penggantian halte yang rusak. (5) Pemeliharaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (1) huruf c untuk pencatat skala tinggi air meliputi:
www.djpp.depkumham.go.id
53
2012, No.1088
a. perbaikan dan pergantian peralatan yang rusak; b. menghilangkan atau menyingkirkan benda-benda yang mengganggu pandangan pemakai alur terhadap pencatat skala tinggi air; c. membersihkan permukaan pencatat skala tinggi air yang kotor; dan d. memindahkan lokasi pencatat skala tinggi air yang terancam keberadaannya. (6) Pemeliharaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (1) huruf c untuk bangunan penahan arus dan bangunan pengatur arus meliputi: a. menghilangkan mengganggu;
atau
menyingkirkan
benda-benda
yang
b. membersihkan bangunan penahan arus atau bangunan pengatur arus yang kotor; c. memperbaiki bangunan penahan arus atau bangunan pengatur arus yang rusak; dan d. penggantian bangunan penahan arus atau bangunan pengatur arus yang rusak dan tidak berfungsi. (7) Pemeliharaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (1) huruf c untuk dinding penahan tanah/tebing sungai meliputi: a. menghilangkan atau menyingkirkan benda-benda mengganggu bangunan penahan tanah/tebing sungai; dan
yang
b. memperbaiki dan/atau mengganti kembali bangunan penahan tanah/tebing sungai yang rusak. (8) Pemeliharaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (1) huruf c untuk kolam penampung lumpur meliputi: a. pembersihan kotoran atau gangguan lainnya; dan b. melakukan perbaikan kolam penampung lumpur yang rusak. Pasal 106 (1) Pemerintah, pemerintah provinsi, atau pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya dapat bekerjasama dengan badan usaha dalam membangun, mengoperasikan, dan memelihara kolam pemindahan kapal (ship lock), bendungan pengatur kedalaman alur (navigation barrage), bangunan pengangkat kapal (ship lift), dan kanal. (2) Untuk membangun, mengoperasikan, dan memelihara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan Usaha harus mendapat izin dari Direktur Jenderal, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. (3) Untuk mendapatkan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Badan Usaha wajib memenuhi persyaratan:
www.djpp.depkumham.go.id
2012, No.1089
54
a. administrasi; dan b. teknis. (4) Persyaratan administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a meliputi: a. akte pendirian perusahaan; b. nomor pokok wajib pajak; dan c. surat keterangan domisili. (5) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b meliputi: a. memiliki sumber daya manusia untuk mengoperasikan dan memelihara fasilitas alur-pelayaran sungai dan danau; dan b. memiliki fasilitas dan peralatan kerja untuk mengoperasikan dan memelihara fasilitas alur-pelayaran sungai dan danau. Pasal 107 Kapal sungai dan danau yang menggunakan fasilitas kolam pemindahan kapal (ship lock), bendungan pengatur kedalaman alur (navigation barrage), bangunan pengangkat kapal (ship lift), dan kanal dikenakan biaya pemanfaatan sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak atau sebagai Retribusi Daerah. BAB IV BANGUNAN ATAU INSTALASI DI ALUR-PELAYARAN SUNGAI DAN DANAU Bagian Kesatu Persyaratan Bangunan Atau Instalasi Pasal 108 (1) Di perairan sungai dan danau dapat dibangun bangunan atau instalasi selain untuk keperluan alur-pelayaran sungai dan danau yang tidak dilayari oleh kapal laut. (2) Bangunan atau instalasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) baik yang ditempatkan secara tetap maupun temporer di atas permukaan air maupun di dalam air. (3) Bangunan atau instalasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit harus memenuhi persyaratan: a. penempatan, pemendaman, dan peraturan perundang-undangan;
penandaan
sesuai
dengan
b. tidak menimbulkan kerusakan dan gangguan terhadap alurpelayaran sungai dan danau;
www.djpp.depkumham.go.id
55
2012, No.1088
c. tidak mengganggu olah gerak kapal sungai dan danau dalam berlalu lintas; d. memperhatikan ruang bebas pembangunan jembatan;
vertikal
dan
horisontal
dalam
e. memperhatikan koridor pemasangan kabel dan pipa; f. lebar tidak boleh lebih dari 1/8 (satu per delapan) lebar alurpelayaran pada lokasi tersebut; g. panjang maksimum 1.000 (seribu) meter; dan h. dibangun pelindung. (4) Setiap bangunan atau instalasi di alur-pelayaran sungai dan danau wajib: a. dipasang rambu; dan b. memenuhi persyaratan perlindungan lingkungan perairan sungai
dan danau. (5) Dalam hal bangunan atau instalasi yang telah ada tidak memungkinkan untuk diberikan pelindung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf h, dapat diberikan pelindung berupa fender. Bagian Kedua Perizinan Pasal 109 (1) Untuk membangun, memindahkan, dan/atau membongkar bangunan atau instalasi diperlukan izin. (2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh: a. Direktur Jenderal untuk bangunan atau instalasi yang berada di alur-pelayaran sungai kelas I; b. gubernur untuk bangunan atau instalasi yang berada di alurpelayaran sungai kelas II; dan c. bupati/walikota untuk bangunan atau instalasi yang berada di alur-pelayaran sungai kelas III. Pasal 110 (1)
Untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109, pemohon harus mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal, gubernur, bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya disertai dengan persyaratan: a. data perusahaan, meliputi akte perusahaan, Nomor Pokok Wajib Pajak, dan izin usaha pokok;
www.djpp.depkumham.go.id
2012, No.1089
(2)
(1)
(2)
(3)
(1)
(2) (3)
(1)
56
b. gambar tata letak lokasi bangunan atau instalasi dengan skala yang memadai; c. rekomendasi dari instansi terkait sesuai dengan kewenangannya; dan d. kajian lingkungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya melakukan survei rencana lokasi pembangunan instalasi atau bangunan lainnya Pasal 111 Direktur Jenderal, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya menerbitkan izin setelah dokumen pemenuhan persyaratan diterima secara lengkap paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak survei selesai dilakukan. Dalam hal permohonan izin tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110, Direktur Jenderal, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya memberikan penolakan secara tertulis dan disertai dengan alasan penolakan. Pemilik bangunan atau instalasi yang telah memperoleh izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melaksanakan kegiatan pendirian dan/atau perubahan bangunan atau instalasi dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak izin diterbitkan. Pasal 112 Pemegang izin pembangunan, pemindahan, dan/atau pembongkaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (3) wajib: a. melaksanakan pembangunan, pemindahan, dan/atau pembongkaran sesuai dengan izin yang diberikan; b. melaksanakan pemasangan fasilitas alur-pelayaran tertentu; dan c. melaporkan pelaksanaan kegiatan pembangunan, pemindahan, dan/atau pembongkaran secara berkala setiap bulan kepada pemberi izin. Dalam hal pemegang izin tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif. Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa: a. peringatan tertulis; b. pencabutan izin. Pasal 113 Sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 ayat (3) huruf a dikenai sebanyak 3 (tiga) kali dengan jangka waktu masing-masing 30 (tiga puluh) hari kalender.
www.djpp.depkumham.go.id
57
2012, No.1088
(2) Dalam hal pemegang izin tidak melaksanakan kewajibannya setelah berakhirnya jangka waktu peringatan tertulis ke 3 (tiga), dikenai sanksi administratif berupa pencabutan izin. Pasal 114 (1) Bangunan atau instalasi yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 atau yang tidak digunakan wajib dibongkar. (2) Pembongkaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pemilik bangunan atau instalasi paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak dinyatakan tidak memenuhi syarat atau tidak digunakan lagi. (3) Pembongkaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan kepada Direktur Jenderal, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya untuk dicantumkan dalam peta alurpelayaran dan buku petunjuk pelayaran sungai dan danau. (4) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terlampaui, Direktur Jenderal, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya melakukan pembongkaran atas biaya pemilik bangunan atau instalasi. Pasal 115 (1) Pembongkaran oleh Direktur Jenderal, gubernur, atau bupati/walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 ayat (4) dilakukan melalui peringatan tertulis sebanyak 3 (tiga) kali dengan jangka waktu masing-masing 30 (tiga puluh) hari kalender. (2) Dalam hal pemilik bangunan atau instalasi tidak melaksanakan kewajibannya setelah berakhirnya jangka waktu peringatan tertulis ke 3 (tiga), Direktur Jenderal, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya melakukan pembongkaran atas biaya pemilik bangunan atau instalasi. Pasal 116 Bentuk permohonan izin, bentuk penolakan, dan bentuk surat izin seperti contoh 1, contoh 2, dan contoh 3 Lampiran III Peraturan Menteri ini. BAB V PENGERUKAN Pasal 117 Pekerjaan pengerukan dilakukan untuk: a. membangun alur-pelayaran dan kolam pelabuhan sungai dan danau; dan b. memelihara alur-pelayaran dan kolam pelabuhan sungai dan danau.
www.djpp.depkumham.go.id
2012, No.1089
58
Pasal 118 (1) Pekerjaan pengerukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 dilakukan oleh: a. Pemerintah atau pemerintah daerah, dan b. badan usaha. (2) Pengerukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dilakukan oleh Badan Usaha harus memenuhi persyaratan: a. kemampuan menyediakan peralatan keruk; dan b. kompetensi sumber daya manusia. Pasal 119 (1) Pekerjaan pengerukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 wajib memenuhi persyaratan teknis. (2) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. desain teknis; b. peralatan keruk; c. metode kerja; dan d. lokasi pembuangan hasil keruk (dumping area). (3) Desain teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a paling sedikit memuat: a. layout (peta bathymetri); b. profil potongan memanjang dan melintang; c. lebar alur dan kedalaman sesuai dengan ukuran kapal yang akan melewati alur pelayaran; d. alignment alur pelayaran; e. slope kemiringan alur pelayaran; f. hasil survei jenis material keruk; g. lokasi dan titik koordinat geografis area yang akan dikeruk; dan h. volume keruk. (4) Peralatan keruk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat dipilih sesuai dengan kondisi yang ada dari salah satu tipe kapal keruk antara lain: a. plain suction dredger; b. cutter suction dredger; c. bucket wheel dredger;
www.djpp.depkumham.go.id
59
2012, No.1088
d. trailing suction hopper dredger; e. small scale dredger; f. grab/clamshell dredger; g. bucket ladder dredger; h. backhoe/dipper dredger; dan/atau i. rock breaker. (5) Metode kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c paling sedikit memuat: a. tata cara pelaksanaan pekerjaan pengerukan; b. penggunaan peralatan; c. jadwal pelaksanaan pekerjaan pengerukan; dan d. produktivitas kerja. (6) Lokasi pembuangan hasil keruk (dumping area) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d dengan persyaratan tidak diperbolehkan di: a. alur pelayaran; b. kawasan lindung; c. kawasan suaka alam; d. taman nasional; e. taman wisata alam; f. kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan; g. sempadan pantai; h. kawasan terumbu karang; i. kawasan mangrove; j. kawasan perikanan dan budidaya; k. kawasan pemukiman; dan l. daerah lain yang sensitif terhadap pencemaran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 120 (1) Lokasi pembuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 ayat (2) huruf d dilakukan melalui kajian yang paling sedikit memuat penjelasan bahwa lokasi pembuangan telah memenuhi ketentuan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 119 ayat (6).
www.djpp.depkumham.go.id
2012, No.1089
60
(2) Lokasi pembuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan kajian lingkungan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup. Pasal 121 (1) Dalam hal pekerjaan pengerukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 ayat (1) huruf a dilakukan melalui dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah tidak diperlukan izin pengerukan. (2) Dalam hal pekerjaan pengerukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 ayat (1) huruf b harus mendapat izin dari: a. Menteri untuk pekerjaan pengerukan di alur-pelayaran kelas I; b. gubernur untuk pekerjaan pengerukan di alur-pelayaran kelas II; dan c. bupati/walikota untuk pekerjaan pengerukan di alur-pelayaran kelas III dan kolam pelabuhan sungai dan danau. (3) Untuk memperoleh izin pengerukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemohon mengajukan permohonan kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dengan melampirkan persyaratan: a. administrasi, meliputi: 1. akte pendirian perusahaan; 2. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP); 3. surat keterangan domisili perusahaan; dan 4. keterangan penanggungjawab kegiatan. b. teknis, meliputi: 1. keterangan mengenai maksud dan tujuan kegiatan pengerukan; 2. lokasi dan koordinat geografis areal yang akan dikeruk; 3. pengukuran kedalaman awal (predredge sounding) dari lokasi yang akan dikerjakan; 4. untuk pekerjaan pengerukan dalam rangka pemanfaatan material keruk harus mendapat izin terlebih dahulu dari instansi yang berwenang; 5. hasil penyelidikan tanah daerah yang akan dikeruk untuk mengetahui jenis dan struktur dari tanah; 6. hasil pengukuran dan pengamatan arus di daerah buang; 7. hasil kajian lingkungan; dan
www.djpp.depkumham.go.id
61
2012, No.1088
8. peta situasi lokasi dan tempat pembuangan yang telah disetujui dan dilengkapi dengan koordinat geografis. (4) Direktur Jenderal, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya melakukan penelitian atas persyaratan permohonan izin pengerukan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak diterima permohonan secara lengkap. (5) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) belum terpenuhi, Direktur Jenderal, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya mengembalikan permohonan secara tertulis kepada pemohon untuk melengkapi persyaratan. (6) Permohonan yang dikembalikan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat diajukan kembali kepada Direktur Jenderal, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya setelah permohonan dilengkapi. (7) Hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (5) yang dilakukan oleh Direktur Jenderal disampaikan kepada Menteri guna proses penetapan. (8) Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (7), Menteri, gubernur, atau bupati/walikota dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja menerbitkan izin pengerukan. Pasal 122 Pemegang izin pekerjaan pengerukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 ayat (8) diwajibkan: a. menaati peraturan perundang-undangan dan ketentuan di bidang pelayaran serta kelestarian lingkungan; b. selama pelaksanaan pekerjaan pengerukan memasang tanda-tanda beserta rambu-rambu navigasi yang dapat dilihat dengan jelas baik siang maupun malam hari; c. bertanggung jawab sepenuhnya atas dampak yang ditimbulkan dari kegiatan pengerukan yang dilakukan; dan d. melaporkan kegiatan pengerukan secara berkala setiap bulan kepada pemberi izin. Pasal 123 Dalam hal pemegang izin pekerjaan pengerukan melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 dan telah diperingatkan secara patut, Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dapat menghentikan pekerjaan pengerukan.
www.djpp.depkumham.go.id
2012, No.1089
62
BAB VI KERANGKA KAPAL SUNGAI DAN DANAU DAN PEKERJAAN BAWAH AIR Bagian Kesatu Kerangka Kapal Sungai dan Danau Pasal 124 (1) Dalam hal terdapat kerangka kapal yang berada di wilayah perairan sungai dan danau, pemilik wajib melaporkan kepada Inspektur Sungai dan Danau. (2) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Inspektur Sungai dan Danau menetapkan tingkat gangguan keselamatan berlayar. (3) Dalam hal posisi kerangka kapal sungai dan danau sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengganggu keselamatan berlayar, pemilik kapal wajib memasang tanda kapal karam. (4) Dalam hal belum dipasang tanda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terjadi kecelakaan yang diakibatkan oleh posisi kapal sungai dan danaunya, pemilik kerangka kapal sungai dan danau wajib mengganti kerugian kepada pihak yang mengalami kecelakaan. (5) Posisi kerangka kapal sungai dan danau sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diumumkan oleh Inspektur Sungai dan Danau. Pasal 125 (1) Pemilik kerangka kapal sungai dan danau wajib menyingkirkan kerangka kapal sungai dan danau dan/atau muatannya keluar alurpelayaran sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan. (2) Penyingkiran kerangka kapal sungai dan danau sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak kapal sungai dan danau tenggelam. (3) Jika dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemilik kapal sungai dan danau belum melaksanakan penyingkiran kerangka kapal sungai dan danaunya, maka Inspektur Sungai dan Danau wajib melakukan penyingkiran atas biaya pemilik kerangka kapal sungai dan danau. (4) Pemilik kerangka kapal sungai dan danau yang tidak melaksanakan penyingkiran kerangka kapal dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan mengakibatkan terjadinya kecelakaan kapal, wajib membayar ganti kerugian kepada pihak yang mengalami kecelakaan.
www.djpp.depkumham.go.id
63
2012, No.1088
Pasal 126 (1) Dalam hal Inspektur sungai dan danau menemukan kerangka kapal sungai dan danau dan/atau muatannya atau berdasarkan laporan dari masyarakat tanpa diketahui pemiliknya, maka Inspektur Sungai dan Danau melakukan pengumuman ditemukannya kerangka kapal sungai dan danau dan/atau muatannya. (2) Pengumuman ditemukannya kerangka kapal sungai dan danau dan/atau muatannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari melalui papan pengumuman resmi, media cetak dan/atau elektronik. (3) Dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud ayat (2) tidak ada pihak yang mengakui sebagai pemilik kerangka kapal sungai dan danau, maka Inspektur Sungai dan Danau wajib melakukan pengangkatan dan kerangka kapal sungai dan danau serta muatannya menjadi milik negara. Pasal 127 Untuk kepentingan keselamatan pelayaran, bekas lokasi kerangka kapal sungai dan danau yang telah disingkirkan diumumkan oleh Inspektur Sungai dan Danau. Bagian Kedua Pekerjaan Bawah Air Pasal 128 (1) Kegiatan pekerjaan bawah air dapat dilakukan untuk pemasangan: a. kabel bawah air; b. pipa bawah air; dan/atau c. bangunan atau instalasi bawah air. (2) Pelaksanaan kegiatan pekerjaan bawah air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan teknis yang meliputi: a. metode kerja; b. kelengkapan peralatan; c. tenaga kerja. (3) Metode kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a meliputi: a. rencana tata cara pelaksanaan pekerjaan; b. rencana sistem keselamatan dan kesehatan kerja; dan c. rencana penanganan dampak terhadap lingkungan perairan.
www.djpp.depkumham.go.id
2012, No.1089
64
(4) Kelengkapan peralatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi: a. peralatan kerja sesuai kebutuhan yang mencakup kapal sungai dan danau kerja, peralatan selam, peralatan pemotong, peralatan pengebor, peralatan las di dalam air, dan peralatan lain yang diperlukan; dan b. peralatan keselamatan kerja dan kesehatan kerja sesuai dengan peraturan di bidang ketenagakerjaan. (5) Tenaga kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c meliputi: a. pelaksana pekerjaan dapat meliputi penanggung jawab lapangan, nakhoda kapal sungai dan danau, teknisi dan operator untuk setiap jenis peralatan, penyelam, dan anak buah kapal sungai dan danau sesuai kebutuhan; dan b. semua tenaga kerja wajib memiliki kualifikasi yang ditunjukkan melalui sertifikat yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang. (6) Pelaksanaan kegiatan pekerjaan bawah air sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus mendapat persetujuan dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Pasal 129 Pelaksanaan kegiatan pekerjaan bawah air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 hanya dapat dilakukan oleh Badan Usaha yang mempunyai izin usaha sesuai dengan domisili. BAB VII PENGAWASAN Pasal 130 Untuk ketertiban, keamanan, keselamatan dan kelancaran berlalu lintas di alur-pelayaran sungai dan danau perlu dilaksanakan pengawasan. Pasal 131 (1) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 130 dilakukan oleh Inspektur Sungai dan Danau. (2) Inspektur Sungai dan Danau sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan sertifikasi oleh Direktur Jenderal. (3) Inspektur Sungai dan Danau sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas: a. Inspektur sungai dan danau utama; b. Inspektur sungai dan danau pelaksana. (4) Inspektur Sungai dan Danau utama sebagaimana dimaksud pada ayat
www.djpp.depkumham.go.id
65
2012, No.1088
(3) huruf a harus memenuhi persyaratan: a. pendidikan paling rendah setara S1 (Strata Satu); b. pengalaman paling sedikit 4 (empat) tahun; c. telah mengikuti pendidikan dan pelatihan inspektur sungai dan danau; dan d. telah mengikuti pendidikan dan pelatihan Penyidik Pegawai Negeri Sipil. (5) Inspektur Sungai dan Danau pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b harus memenuhi persyaratan: a. pendidikan paling rendah D III (Diploma Tiga); b. pengalaman paling sedikit 4 (empat) tahun; dan c. telah mengikuti pendidikan dan pelatihan inspektur sungai dan danau. Pasal 132 Inspektur Sungai dan Danau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 131 memiliki tugas: a. mengawasi keberadaan dan berfungsinya fasilitas alur-pelayaran; b. mengawasi kelaikan kapal sungai dan danau; c. melakukan pemeriksaan perizinan angkutan sungai dan danau yang diduga melakukan pelanggaran di alur-pelayaran sungai dan danau; d. mengawasi kegiatan lalu lintas dan angkutan kapal sungai dan danau; e. mengawasi kegiatan pekerjaan bawah air sungai dan danau; f. mengawasi kegiatan pengerukan; g. melaksanakan bantuan pencarian dan penyelamatan; h. mengawasi pelaksanaan perlindungan lingkungan perairan sungai dan danau; i. melakukan pemeriksaan dokumen kapal sungai dan danau yang diduga melakukan pelanggaran; j. melakukan pengaturan dan pengendalian lalu lintas kapal sungai dan danau di alur-pelayaran sungai dan danau; k. membantu melakukan pemeriksaan kecelakaan kapal di alur-pelayaran sungai dan danau. Pasal 133 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pengawasan, serta kompetensi Inspektur Sungai dan Danau diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal
www.djpp.depkumham.go.id
2012, No.1089
66
BAB VIII SISTEM INFORMASI ALUR-PELAYARAN DAN LALU LINTAS SUNGAI DAN DANAU Pasal 134 (1) Sistem informasi alur-pelayaran dan lalu lintas sungai dan danau mencakup pengumpulan, pengolahan, penganalisisan, penyimpanan, penyajian, dan penyebaran data untuk: a. mendukung operasional pelayaran sungai dan danau; b. meningkatkan pelayanan kepada masyarakat atau publik; dan c. mendukung perumusan kebijakan di bidang lalu lintas sungai dan danau. (2) Sistem informasi sebagaimana diselenggarakan oleh:
dimaksud
pada
ayat
(1)
a. Direktur Jenderal, untuk sistem informasi alur-pelayaran dan lalu lintas sungai dan danau alur-pelayaran kelas I; b. gubernur, untuk sistem informasi alur-pelayaran dan lalu lintas sungai dan danau alur-pelayaran kelas II; dan c. bupati/walikota, untuk sistem informasi alur-pelayaran dan lalu lintas sungai dan danau alur-pelayaran kelas III. Pasal 135 Dalam penyelenggaraan sistem informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134, Direktur Jenderal, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya melakukan: a. penyusunan dan penetapan rencana pengembangan sistem informasi alur-pelayaran dan lalu lintas sungai dan danau; b. pembangunan dan pengembangan infrastruktur, jaringan komunikasi data, perangkat keras dan perangkat lunak, serta pusat data/data warehouse yang mudah diintegrasikan dan dikembangkan; c. pemberian bimbingan dan bantuan teknis; d. evaluasi, penyajian, dan pendayagunaan pelayaran dan lalu lintas sungai dan danau;
sistem
informasi
alur-
e. penyajian informasi alur-pelayaran dan lalu lintas sungai dan danau kepada instansi terkait maupun masyarakat melalui website resmi; dan f. penyediaan dan pengembangan sumber daya manusia pengelola sistem informasi alur-pelayaran dan lalu lintas sungai dan danau.
www.djpp.depkumham.go.id
67
2012, No.1088
Pasal 136 (1) Sistem informasi alur-pelayaran dan lalu lintas sungai dan danau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 mencakup: a. sistem informasi alur-pelayaran sungai dan danau; dan b. sistem informasi lalu lintas sungai dan danau. (2) Sistem informasi alur-pelayaran sungai dan danau sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling sedikit memuat data: a. kelas alur-pelayaran sungai dan danau; b. fasilitas alur-pelayaran sungai dan danau; c. bangunan atau instalasi. (3) Sistem informasi lalu lintas sungai dan danau sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling sedikit memuat data: a. lalu lintas kapal sungai dan danau; b. kecelakaan kapal sungai dan danau; c. hambatan/rintangan alur-pelayaran. Pasal 137 (1) Informasi alur-pelayaran dan lalu lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 dilaporkan kepada Direktur Jenderal.
sungai dan danau wajib disusun dan
(2) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut: a. bupati/walikota melaporkan kepada gubernur setiap 6 (enam) bulan sekali dengan tembusan kepada Direktur Jenderal; dan b. gubernur melaporkan kepada Direktur Jenderal setiap 6 (enam) bulan sekali. Pasal 138 (1) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah melakukan pemutakhiran data dan informasi secara periodik untuk menghasilkan data dan informasi yang sesuai dengan kebutuhan, akurat, terkini, dan dapat dipertanggungjawabkan. (2) Data dan informasi pelayaran didokumentasikan dan dipublikasikan serta dapat diakses dan digunakan oleh masyarakat yang membutuhkan dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.
www.djpp.depkumham.go.id
2012, No.1089
68
BAB IX KETENTUAN PERALIHAN Pasal 139 Dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak Peraturan Menteri ini berlaku, penyelenggaraan alur-pelayaran sungai dan danau wajib disesuaikan dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan ini. BAB X KETENTUAN PENUTUP Pasal 140 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan peraturan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 30 Oktober 2012 MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA, E.E. MANGINDAAN Diundangkan di Jakarta pada tanggal 2 Nopember 2012 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, AMIR SYAMSUDIN
www.djpp.depkumham.go.id