Beberapa Pendekatan Teori Kekerasan Politik Untuk Memahami Gerakan Nirkekerasan Di Filipina
55
BEBERAPA PENDEKATAN TEORI KEKERASAN POLITIK UNTUK MEMAHAMI GERAKAN NIRKEKERASAN DI FILIPINA Endah Setyowati Dosen pada Fakultas Teknologi Informasi Prodi Teknik Informatika dan Koordinator Mata Kuliah Humaniora Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta
Abstract: 3HRSOH3RZHUEDSA) is one of the examples of the most successful non-violent political movements in the 20th century. The revolution that lasted for 77 hours, or four days, can be regarded as a peaceful revolution succeeding in overthrowing a 20-year dictatorial regime. This article will analyze the people power movements by employing some ideas from political scholars such as Ackerman and Krueger who concluded that a non-violent movement was determined by the availability of political opportunities, mobilizing structure, and framing process. Furthermore, Vilvredo Pareto, through his theory of Group Persistence, elaborated that political changes could not be separated from rivalries between the ruling elite and the opposition. He stressed that the elite rivalries would help explaining the behavior of elites and the effects on the dynamics of political changes. Paul Site’s ideas, through his writing “Basic Human Needs”, were used to identify the underlying IDFWRUV WKDW SURPSWHG WKH EDVLF KXPDQ QHHGV IXO¿OOPHQW through political changes. Whereas, the theory of collective behavior from Niels Smelser was utilized to see that a political revolution was not a spontaneous movement but it was formed from pattern of actions that would determine the stages in a collective behavior. Finally by using some theories of political violence, it is expected to get a broader picture of understanding nonviolence movements. Key Words: EDSA, Nonviolence Revolution, Political Opportunities, Framing Process, Collective Behavior 55
56
GEMA Vol. 36, No. 1, April 2012 : 55–68
Abstrak: 3HRSOH3RZHUEDSA) di Filipina merupakan salah satu contoh gerakan politik nirkekerasan yang paling berhasil dalam abad XX. Revolusi yang berlangsung selama 77 jam atau 4 hari dapat dikatakan sebagai revolusi damai yang berhasil menggulung rejim kediktatoran Ferdinand Marcos yang telah berlangsung selama 20 tahun. Tulisan ini akan menganalis gerakan 3HRSOH3RZHU di Filipina menurut gagasan para pemikir politik seperti Peter Ackerman dan Christopher Kruegler tentang segi-segi keuntungan strategi nirkekerasan sebagai gerakan politik. Political Opportunities, 0RELOL]LQJ 6WUXFWXUH dan Framing Process dari Dough MaAdam, John McCarthy, dan Mayer Zald akan berguna untuk memahami faktor-faktor yang menentukan kegagalan atau keberhasilan sebuah gerakan nirkekerasan. Perubahan politik juga terlepas dari persaingan antara elit yang berkuasa (pemerintah) dan yang tidak berkuasa (oposisi). Di sini, Teori Residue and Group Persistence oleh Vilvredo Pareto akan menjelaskan perilaku elit dan pengaruhnya terhadap dinamika perubahan politik. Satu artikel yang pilihan John Burton yang ditulis oleh Paul Sites, Basic Human Needs berguna untuk memahami perilaku-perilaku yang mendorong lahirnya kebijakan-kebijakan memenuhi kebutuhan dasar manusia lewat perubahan politik. Peristiwa seperti revolusi yang didukung massa rakyat bukanlah kejadian yang spontan, melainkan dibangun dari pola-pola tindakan atau peristiwa yang akan menentukan tahapan berikutnya yang berwujud menjadi &ROOHFWLYH %HKDYLRU sebagaimana dijelaskan oleh Niels Smelser. Penggunaan teori-teori kekerasan politik untuk menganalisis sebuah revolusi akan memberikan gambaran yang lebih luas tentang gerakan perubahan sosial secara nirkekerasan. Kata-kata Kunci: EDSA, revolusi nirkekerasan, kesempatan politik, framing procces, collective behavior Pengantar Pada tangal 25 Februari 2012, rakyat Filipina akan memperingati peristiwa SHRSOH SRZHU yang ke-26 yang mengakhiri rejim diktator Ferdinand Marcos yang berkuasa selama 20 tahun. Menurut Stephen Zunes,
Beberapa Pendekatan Teori Kekerasan Politik Untuk Memahami Gerakan Nirkekerasan Di Filipina
57
gerakan 3HRSOH3RZHU di Filipina merupakan salah satu contoh gerakan politik nirkekerasan yang paling penting sesudah Perang Dunia II dilihat dari skala orang yang terlibat, tingkat kedisiplinan dalam menggunakan cara-cara nirkekerasan, serta kekuatan untuk menarik para pemerhati di seluruh dunia pada saat itu. Revolusi yang berlangsung selama 77 jam atau mendekati 4 hari dimulai sejak 22 Februari 1986 dapat dikatakan sebagai revolusi damai yang meminta korban sangat sedikit. Dalam pengamatan beberapa pakar, gerakan nirkekerasan untuk melawan rejim yang represif merupakan gerakan yang berbahaya bagi para pendukung gerakan nirkekerasan. Oleh karena itu terdapat pula keraguan apakah gerakan nirkekerasan menjadi pilihan yang tepat untuk melawan kehidupan politik yang represif (Zunes, 1999: 129). Tulisan pendek ini bermaksud menguraikan penggunaan beberapa teori kekerasan politik untuk memahami dimensi-dimensi yang terdapat dalam gerakan nirkekerasan di Filipina. Sekalipun teori-teori yang akan digunakan berpijak dari kekerasan politik, namun akan relevan untuk menjelaskan sebuah gerakan nirkekerasan. Asumsi itu dibangun dari fakta bahwa gerakan nirkekerasan mempunyai hakikat yang serupa dengan perlawanan bersenjata, yakni melakukan perubahan politik. Unsur yang membedakannya terletak pada strategi yang berbeda dengan cara-cara yang digunakan oleh negara serta kemudahannya dalam memobilisasi massa. Oleh karena itu tulisan ini juga akan menyertakan beberapa detil kejadian yang ada dalam awal perkembangan gerakan nirkekerasan hingga pecahnya revolusi sebagai ilustrasi untuk mendukung penjelasan teoriteori yang digunakan. Teori-teori itu meliputi (1) tulisan Peter Ackerman dan Christopher Kruegler (Ackerman, 1994) yang menjelaskan segi-segi keuntungan strategi nirkekerasan sebagai gerakan politik. Adapun keberhasilan gerakan nirkekerasan amat ditentukan oleh berbagai faktor yang bersifat multi-dimensional. Oleh karena itu, penggunaan beberapa teori seperti (2) 3ROLWLFDO 2SSRUWXQLWLHV 0RELOL]LQJ 6WUXFWXUH dan Framing Process sebagai hasil penelitian Dough MaAdam, John McCarthy, dan Mayer Zald akan berguna untuk memahami faktor-faktor yang menentukan kegagalan atau keberhasilan sebuah gerakan nirkekerasan (Zunes, 1999: 304-305). Lebih jauh lagi, perubahan Politik tidak dapat dilepaskan dari persaingan antara elit yang berkuasa dan yang tidak berkuasa. Oleh karena untuk itu (3) Residue and Group Persistences oleh V.Pareto akan membantu dalam menjelaskan perilaku elit dan pengaruhnya terhadap dinamika perubahan politik (Rule, 1988: 76-90). Satu artikel yang pilihan John Burton yang
58
GEMA Vol. 36, No. 1, April 2012 : 55–68
ditulis oleh Paul Sites (Sites, 1990: 7-33) tentang (4) Basic Human Needs dipakai untuk memahami faktor yang mendasari perilaku-perilaku untuk mendorong lahirnya kebijakan-kebijakan sebagai pemenuhan kebutuhan dasar manusia lewat perubahan politik. Sementara itu, peristiwa seperti revolusi yang didukung massa rakyat bukanlah kejadian yang spontan. Ia dibangun dari pola-pola tindakan atau peristiwa yang akan menentukan tahapan berikutnya seperti ditulis oleh Niels Smelser (Smelser, 1985: 1819) dalam (5) Teori perilaku kolektif (&ROOHFWLYH%HKDYLRXU). Sketsa Empat Hari Revolusi Nirkekerasan1 Pada hari Sabtu 22 Februari 1986, Juan Ponce Enrile, Menteri Pertahanan dan Fidel V. Ramos pimpinan angkata bersenjatan secara resmi menarik dukungannnya terhadap Presiden Marcos. Pengunduran itu disampaikan kepada para wartawan, reporter TV dan radio di kantornya, National Defense Building, Camp Aguinaldo di EDSA, Quezon City Manila. Sementara itu bangunan dijaga oleh pasukan di bawah komando Kolonel Gregorio Honasan. Gereja Katolik yang menginginkan perubahan sosial damai mendukung kedua jenderal itu melalui seruan Kardinal Jaime Sin di radio Veritas. Seruan itu mengundang 10 ribu orang untuk mendatangi camp aguinaldo pada pukul 01.30 dini hari. Menjelang fajar, Radio Veritas mendapat serbuan orang bersenjata yang memporakporandakan stasiun radio itu. Radio Veritas sendiri merupakan simbol perjuangan oposisi pada masa menjelang Revolusi. Ia melaporkan semua perkembangan maupun seruan-seruan kepada masyarakat. Pada sore harinya, pasukan pemerintah dari Fort Bonifacio mendekati Camp Aguinaldo, tempat Enrille dan Camp crane, tempat Fidel Ramos dan pasukannya berada. Akan tetapi di depan kedua markas itu telah diblokir oleh massa rakyat yang sedang duduk, bernyanyi, atau berdoa serta memberikan bunga kepada para tentara yang bersenjata lengkap. Pada hari ke tiga, Senin 24 Februari 1986, pasukan pemerintah yang dikomando oleh Jenderal Fabian Ver sudah mempersiapkan pasukan untuk menyerang Camp Aguinaldo. Gas air mata membubarkan barikade manusia sementara di udara terbang pesawat tempur. Pada saat itu, Kardinal Sin memberikan seruan agar pasukan Marcos mundur. Di sepanjang EDSA, massa mengambil sikap berlutut dan berdoa. Sesaat kemudian helikopter yang berisi 16 orang pilot mendarat di Camp Crane dan mereka bergabung dengan massa rakyat. Pada pukul 15.00 masih pada tanggal
Beberapa Pendekatan Teori Kekerasan Politik Untuk Memahami Gerakan Nirkekerasan Di Filipina
59
24 Februari, pemimpin oposisi, Cory Aquino turun ke EDSA, sementara sekitar 90 % pasukan pemerintah telah bergabung kepada Enrile dan Ramos. Pada hari Selasa, 25 Februari 1986 pukul 10.50 Cory diangkat sebagai Presiden Filipina dan di tempat lain, Marcos juga melaksanakan pengangkatan dirinya sebagai Presiden. Akan tetapi pada hari itu pukul 21.00 dua helikopter mendarat di istana Malacanang untuk membawa keluarga Marcos dan Ver menuju pengasingan di Hawaii. Paparan di atas merupakan gambaran revolusi dengan jalan nirkekerasan yang berhasil menurunkan pemerintahan diktator yang berkuasa selama 20 tahun. Peristiwa yang hanya berlangsung 4 hari bukanlah sebuah proses yang spontan melainkan dibangun dari proses yang panjang. Dalam pengamatan beberapa pakar, gerakan nirkekerasan untuk melawan rejim yang represif merupakan gerakan yang berbahaya bagi para pendukung gerakan nirkekerasan. Hal itu terbukti di Filipina karena lima bulan sebelum revolusi terjadi, aksi protes damai oleh lebih kurang 10.000 petani gula di Escalante, Propinsi Negros harus berhadapan dengan tembakan oleh pasukan pemerintah dengan korban yang cukup besar. Oleh karena itu terdapat pula keraguan apakah gerakan nirkekerasan menjadi pilihan yang tepat untuk melawan kehidupan politik yang represif. Di pihak lain, terdapat organisasi oposisi yang merupakan organ militer golongan komunis-maoist (1HZ SHRSOH $UP\/NPA) yang berjuang atas prinsip radikal untuk menentang rejim Marcos dan menjadi salah alasan Marcos untuk memberlakukan Undang-undang Darurat Militer sejak tahun 1972 (Zunes, 1999:130). Beberapa Pendekatan Teori Kekerasan Politik untuk memahami Gerakan Nirkekerasan di Filipina Satu faktor pemicu keberhasilan revolusi yang menurunkan kekuasaan Marcos juga tidak dapat dilepaskan dari dukungan elit militer yang ditunjukkan oleh Enrile dan Ramos, di samping kelas menengah yang didukung oleh gereja. Dukungan Enrile dan Ramos kepada kelompok oposisi dapat dipahami melalui pemikiran Vilvredo Pareto dengan teori Residu yang berkenaan dengan perilaku. Tipe residu yang pertama adalah instinct for combination yang mencakup di dalam bagaimana membuat “kesepakatan’ atau melakukan kompromi-kompromi politik untuk berkoalisi. Yang ke dua adalah Group Persistences yang menunjukkan keinginan individu untuk melawan dan jika perlu dengan cara yang koersif daripada berkompromi. Kekerasan Sipil menurut Pareto berkenaan dengan jenis-jenis tindakan yang dilakukan dalam hirarki sosial, yaitu elitnya.
60
GEMA Vol. 36, No. 1, April 2012 : 55–68
Sistem politik akan stabil andaikata siklus memperbarui elit berjalan lancar. Sebaliknya andaikata sirkulasi pergantian tidak berjalan baik, maka kekerasan politik mudah terjadi. Selain itu, perilaku tipe elit yang berkuasa juga menentukan arah perubahan politik (Rule, 1988: 78-79). Kediktatoran Marcos yang berjalan selama 20 tahun memang tidak membuka peluang bagi siklus pergantian elit. Seorang wakil elit yang tidak berkuasa seperti Benigno Aquino lebih memilih sebagai martir untuk membuka sirkulasi pergantian elit politik untuk memerintah. Enrile mungkin lebih dapat dilihat sebagai tipe elit yang dikatakan Pareto sebagai )R[ (serigala) karena bersedia berkoalisi dengan oposisi untuk kepentingan jangka pendek. Sementara Ramos sebagai perwira tinggi yang profesional melihat bahwa militer yang lebih banyak menjadi alat kekuasaan memerlukan perubahan menuju korps militer yang profesional dan tidak terlalu terlibat dengan politik sipil. Pada awalnya nirkekerasan merupakan gerakan oleh kaum agamawan beraliran Anabaptis (Mennonite) yang mulai muncul pada awal abad XX dengan landasan moral. Di dalam perkembangannya, gerakan nirkekerasan menjadi pilihan dengan alasan-alasan yang lebih pragmatis NDUHQDNHPDPSXDQQ\DVHEDJDLSHUDQJNDW\DQJHIHNWLIGDQH¿VLHQXQWXN melaksanakan perubahan sosial. Penggunaan metode nirkekerasan di sini adalah sebagai sanksi. Bentuk-bentuknya adalah pemogokan, boikot, kampanye perlawanan, penciptaan institusi yang pararel, pembangkangan sipil, dan segala tindakan yang mengurangi kekuasaan lawan. Metode ini tidak VHUXSDGHQJDQJHUDNDQSDVL¿VDWDXSatyagraha\DQJOHELK¿ORVR¿V6DQNVL nirkekerasan sebagai perilaku berbeda dari sistem nilai orang-orang yang mungkin terlibat di dalamnya. Ia lahir dari kebutuhan untuk mengalahkan ODZDQ VHFDUD HIHNWLI GDQ H¿VLHQ GDULSDGD SULQVLS XQWXN PHQJKLQGDUNDQ pertumpahan darah sebagai akhir dari gerakan nirkekerasan itu sendiri. Nirkekerasan seringkali dipilih hanya karena tidak tersedianya opsi militer yang lebih mahal, bukan hanya dari segi materi, tetapi juga dampaknya bagi lingkungan. Lebih jauh lagi, aksi nirkekerasan lebih memperoleh dukungan daripada aksi bersenjata yang lebih banyak membawa korban sipil. Akhirnya, perlawanan bersenjata akan membenarkan negara sebagai pihak lawan untuk melakukan kekerasan (Ackerman, 1994: 3-4) . Tumbuhnya kesadaran terhadap kekuatan aksi nirkekerasan dapat berkembang di Filipina karena kesadaran atas prospek perlawanan bersenjata. Banyak aktivis yang perduli tentang persepsi Amerika Serikat (AS) terhadap situasi politik di Filipina. Ada kesadaran bahwa AS akan
Beberapa Pendekatan Teori Kekerasan Politik Untuk Memahami Gerakan Nirkekerasan Di Filipina
61
lebih mendukung perlawanan terhadap Marcos lewat gerakan nirkekerasan GDULSDGDPHODOXLSHUODZDQDQEHUVHQMDWD\DQJGDSDWGLLGHQWL¿NDVLGHQJDQ NPA dan kemungkinan menyebabkan intervensi langsung militer untuk mendukung rejim Marcos (Zunes, 1999: 139). 'RXJ0F$GDP-RKQ0F&DUWK\GDQ0D\HU=HOGPHQJLGHQWL¿NDVL adanya tiga faktor yang menentukan keberhasilan ataupun kegagalan sebuah gerakan nirkekerasan, yakni (1) adanya peluang politik; (2) adanya struktur untuk melakukan mobilisasi; dan (3) proses-proses pembingkaian (Zunes, 1999: 304). Peluang Politik merupakan faktor yang dominan untuk terjadinya perubahan politik misalnya adanya perubahan struktur politik yang memungkinkan lahirnya pemimpin yang baru yang memiliki karakter yang berbeda dengan pemimpin sebelumnya. Dalam kasus Revolusi di Filipina, gerakan nirkekerasan menjadi pilihan oposisi karena adanya peluang untuk mendapat dukungan yang luas dari rakyat yang telah menginginkan perubahan kepemimpinan yang lebih demokratis yang terwujud dalam sosok Benigno Aquino. Pembunuhan Benigno Aquino diikuti oleh kecurangan marcos dalam Pemilu, merupakan waktu yang tepat untuk memulai perubahan politik dengan memilih pemimpin baru. )DNWRU NXQFL NHGXD \DQJ GLLGHQWL¿NDVL ROHK 0F$GDP DGDODK adanya struktur-struktur yang menjadi alat memobilisasi massa melalui organisasi formal misalnya yang berdasarkan okupasi maupun organisasi informal. Di Filipina selama periode Undang-undang Darurat berkembang organisasi-organisasi lokal di tingkat akar rumput dan mendapat pendampingan dari Kelompok LSM maupun gereja. Organisasi-organisasi itu umumnya bersifat multisektoral dan melintasi garis etnik maupun agama. Mereka mengambil posisi sebagai oposisi dengan strategi yang berbeda dengan kelompok oposisi lainnya seperti misalnya 1HZ 3HRSOH Army yang berhaluan komunis dengan sistem pengkaderan gaya militer. Adapun oposisi kelas menengah yang didukung hirarki gereja baru benarbenar dimobilisasi setelah pembunuhan Benigno Aquino. Institusi “tandingan” juga dibangun sejak tingkat lokal hingga nasional yang lepas dari kontrol pemerintah. Melalui organisasi-organisasi itulah isu-isu tentang perlunya perubahan sosial dilakukan, selain juga memperluas perjuangan melalui jaringan yang bersifat informal. Dalam organisasi-organisasi itu juga dikembangkan pendidikan alternatif selama dan setelah pencabutan Undang-Undang Darurat khususnya di wilayah kumuh perkotaan dan pada area yang secara tradisional memiliki aktivisme
62
GEMA Vol. 36, No. 1, April 2012 : 55–68
petani yang tinggi seperti Luzon Tengah dan Mindanao. Pembentukan Komisi Pemilu (NAMFREL) yang paralel dengan pemerintah (COMELEC) juga terbukti mampu menjadi pusat alternatif dalam puncak gerakan yang dipimpin Cory Aquino. Peluang politik dan struktur memobilisiasi tidak cukup efektif tanpa adanya frame analysis. Oleh karena diperlukan perspektif yang mampu membingkai berbagai isu menuju perubahan politik (Zunes, 1999: 304). Para aktivis banyak melakukan test run melalui isu-isu lokal misalnya tentang cara-cara menghilangkan dominasi negara terhadap SHUWDQLDQ PHPEHULNDQ GH¿QLVL WHQWDQJ NHEHEDVDQ GDQ VWUDWHJLVWUDWHJL meraihnya. Setiap keberhasilan dalam melakukan aksi akan memberikan rasa percaya diri untuk meningkatkan tuntutan kepada isu yang lebih besar. Sebagai contoh misalnya tampak pada perkembangan isu dalam aksi-aksi nirkekerasan dalam bentuk Welgang Bayans (pemogokan rakyat) yang diorganisasikan oleh CORD-MINDANAO dan Aliansi nasionalis dengan dukungan berbagai pekerja, profesional, mahasiswa dan kelompokkelompok masyarakat. Kelompok-kelompok itu memulai pemogokan umum pada bulan Oktober dan November 1984 dengan isu kenaikan harga BBM dan pembunuhan aktivis Alex Orcullo. Tuntutan itu kemudian berkembang menjadi tuntutan pembokaran kedikatoran Marcos-Amerika. Ribuan pemrotes membangun barikade di sepanjang highway, yang beberapa di depan markas militer. Aksi di beberapa daerah 95 % efektif. Pada Desember 1984, Welgang Bayans di Bataan mematikan 80 % angkutan di seluruh propinsi sehingga ribuan orang berada dijalanan. Pada Februari 1985, Pusat Serikat Buruh Nasionalis Mindanao mementaskan pemogokan umum sehari yang didukung 140 ribu pekerja di 187 serikat buruh untuk memprotes pembunuhan pemimpin serikat buruh yang diculik dari pabrik maupun perkebunan guna menghentikan aksi. Fakta keberhasilan itu dan aksi-aksi lainnya menyebabkan bayan dan kelompokNHORPSRNSHUODZDQDQWXPEXKPHPEHVDUPHOHZDWLEDWDVEDWDVJHRJUD¿V pemogokan umum. Pada 2-3 Mei 1985, terjadi ZHOJDQJ %D\DQ yang masif di seluruh Mindanao yang termasuk Komando AB Philipina, Jendrl Dionisio Tangatue, melumpuhkan 2/3 pulau. Davao City dan Iligan City praktis mati. Pemogokan juga melumpuhkan Zamboanga der Sur, Dipolog di Zamboanga del Norte, Ozamis di Misamis Occidental dan General. Santos di Selatan Cotabato. Sejumlah kota kecil juga demikian. Hampir semua orang tinggal di rumah, tetapi 10 ribu orang mengambil bagian dalam rapat umum, berbaris, dan membentuk barikade. Daftar panjang tuntuan termasuk kenaikan upah minimum, penurunan harga
Beberapa Pendekatan Teori Kekerasan Politik Untuk Memahami Gerakan Nirkekerasan Di Filipina
63
pupuk, benih dan inputan pertanian lainnya, penurunan harga komoditas dasar, dan penghentian program “pembangunan” yang memotong anggaran kebutuhan dasar, pengakhiran kontrol asing atas perikanan, investigasi terhadap rangkaian pembunuhan akhir-akhir ini, pencabutan hukum yang represif, demiliterisasi Mindanao, dan penutupan instalasi militer Amerika. Salah satu ZHOJDQJ ED\DQ yang perlu dicatat adalah kontroversi pemasangan nuklir di bawah konstruksi Semenanjung Bataan yang dipercaya sebagai salah satu fasilitas nuklir yang paling berbahaya di dunia, yang terletak di lereng Gunung Natib. Sebagai tambahan dari kepedulian terhadap keselamatan masa depan, terjadi perlawanan yang meluas terhadap apa yang mereka rasakan sebagai kesalahan prioritas ekonomi pemerintah Philipina yang mengerahkan fasilitas 2 milyar dollar dalam pinjaman bank ekspor impor dan penyogokan 3,5 juta dollar yang jelas oleh Westinghouse Corp untuk membangun fasilitas pabrik dibuat Marcos melalui pihak III. Terdapat kampanye akar rumput yang meluas melawan pembangunan fasilitas itu selama awal 1980-an di samping penangkapan, penyiksaan dan pembunuhan beberapa RUJDQL]HU. Pada tahun 1985, gerakan berhubungan dengan dukungan terhadap pelucutan nuklir Philipina dengan membentuk 7KH 1XFOHDU )UHH 3DFL¿F. Upayaupaya yang kemudian diiikat dengan kampanye melawan pangkalan militer Amerika menangguk dukungan baik dari akar rumput maupun kaum intelektual. Di samping dukungan gereja yang dilandasi alasan moral, kelompok-kelompok masyarakat menyepakati perubahan sosial dengan gerakan nirkekerasan setelah melewati masa persiapan yang cukup panjang. Sejak masa kolonialisme Spanyol, para rohaniwan yang radikal dan kaum awam telah mengorganisasikan gerakan perlawanan di kalangan petani. Akan tetapi gerakan-gerakan ini kurang diperhatikan hingga masa pemberlakukan Undang-undang Darurat Militer. Gerakan mendapatkan artikulasinya ketika golongan kelas menengah oposisi yang didukung hirarki gereja dimobilisasi setelah pembunuhan Benigno Aquino. Memang banyak kepentingan baru yang dibangun dalam nirkekerasan, khususnya di Gereja Katolik yang dapat ditelusuri dari pengaruh organisasi nirkekerasan di Luar Negeri. Sejak tahun 1920an, SDUDDNWL¿VEHUD¿OLDVLGHQJDQ,QWHUQDWLRQDO)HOORZVKLSRI5HFRQFLOLDWLRQ ,)25 VHEXDK RUJDQLVDVL SDVL¿V LQWHUQDVLRQDO \DQJ WHODK PHPSHUOXDV kunjungannya ke Filipina. Dimulai sejak tahun 1984, IFOR mengadakan lokakarya tetntang Nirkekerasan aktif di seluruh Philipina, Aktivis Perancis, Jean Goss-Mayer dan istri Austrianya, Hildegarrd bersama dengan orang-
64
GEMA Vol. 36, No. 1, April 2012 : 55–68
orang Amerika, Richard Deats dan Stefan Merken, mengorganisasikan sesi-sesi pelatihan ini bagi sejumlah pendeta Katolik dan Protestan bersama beberapa ratus biarawan, biarawati dan orang awam, yang termasuk diantaranya wakil keluarga Aquino. Komitmen mereka kepada nirkekerasan dibenarkan melalui keyakinan agama dan agenda dipusatkan pada penggunaan praktek nirkekerasan secara praktek untuk melawan kediktatoran. Aksyon Pa ra sa Kapayapaan at Katarungan (AKKAPKA) yang dibentuk pada tahun itu, selama beberapa bulan kemudian mengorganisasikan 40 seminar tentang nirkekerasan aktif di 30 propinsi. Diperkirakan 15 ribu orang mengambil bagian dalam seminar-seminar yang berlangsung selama 3 hari penuh, termasuk orang yang akan PHQMDGL¿JXUXWDPDGDODPUHYROXVL)HEUXDUL7RSLNPHOLSXWLGDVDU ¿ORVR¿V JHUDNDQ QLUNHNHUDVDQ KLQJJD PHQFDNXS VHJLVHJL \DQJ EHUVLIDW operasional seperti persiapan, analisis, strategi dan taktik nirkekerasan yang aktif. Lokakarya juga dilaksanakan dan diujikan di gereja Philipina dan kelompok-kelompok oposisi AKKAPKA juga membangun kota-kota tenda untuk berdoa, berpuasa dan pelatihan nirkekerasan di 10 kota dalam periode menjelang pemilihan umum dan minggu-minggu berikutnya. Di situ mereka melakukan seminar singkat pada nirkekerasan aktif dan sesi-sesi strategi pembangkangan sipil. Kota-kota tenda terbuka untuk umum sebagai tempat berkumpul pemikiran dan berbagi informasi. Sejumlah besar orang termasuk kaum karismatik dan serdadu yang sebelumnya memiliki sedikit kepentingan untuk melawan Marcos datang ke tenda-tenda untuk memperoleh informasi. Pendek kata, proses ini dilakukan dalam rangka memberdayakan masyarakat serta menarik perhatian pemerintahan Marcos bahwa rakyat memiliki kekuatan untuk menentang mitos kekuatan Marcos dan militer atas kelompok oposisi. Taktik itu umumnya melibatkan aksi pemogokan rakyat (ZHOJDQJED\DQ dan bentuk-bentuk aksi nirkekerasan lainnya. Paul Sites menunjukkan bahwa kebutuhan dasar manusia tidak VDMD EHUNHQDDQ GHQJDQ KDOKDO \DQJ EHUVLIDW ¿VLN PHODLQNDQ MXJD \DQJ berkaitan dengan pemenuhan kondisi yang menghindarkan emosi primer seperti ketakutan, kemarahan, atau tekanan serta beberapa tingkat kepuasan. Pemuasan kebutuhan-kebutuhan dasar itu berkenaan dengan pengakuan, identitas pribadi dan kelompok, otonomi, kesetaraan dan sebagainya. Oleh karena itu, tindakan seseorang selalu diarahkan untuk menghasilkan kondisi-kondisi sosial yang menjamin berkurangnya ketakutan, ancaman,
Beberapa Pendekatan Teori Kekerasan Politik Untuk Memahami Gerakan Nirkekerasan Di Filipina
65
dan tekanan serta terdapatnya jaminan untuk mengoptimalkan pemenuhan kebutuhan dasarnya. Distorsi atau pengurangan terhadap pemenuhan kebutuhan dasar yang terus meluas yang disebabkan oleh timpangnya distribusi kekuasaan, melahirkan kebutuhan untuk mengubah tatanan sosial yang ada (Sites, 1990: 9 dan 27-29). Revolusi merupakan satu jalan untuk mengubah tatanan sosial yang ditandai oleh adanya nilai-nilai baru yang lebih menjamin keseimbangan distribusi kekuasaan dan berikutnya pemenuhan kebutuhan dasar. Menurut Niels Smelser, gejolak sosial yang berwujud perilaku yang tidak terlembagakan seperti keranjingan, gila mode, revivalisme agama, pemberontakan, hingga revolusi dapat terjadi apabila terdapat belief dan necessary conditions. Belief berkenaan dengan dasar yang menggerakkan orang untuk berpatisipasi dalam aksi sosial sehingga dinamakan generalized belief. Revolusi politik terjadi andaikata belief itu berorientasi kepada nilai dan terdapatnya komponen-komponen pokok untuk mengadakan aksi sosial, yakni nilai-nilai, norma-norma, mobilisasi motivasi individu untuk aksi yang teratur dalam peran-peran kolektif dan fasilitas situasional atau informasi, keterampilan, alat-alat dan rintangan dalam mencapai tujuan yang konkret (Smelser, 1985: 18). Nilai atau belief yang mendasari gerakan nirkekerasan di Filipina adalah cita-cita untuk membangun kehidupan politik yang lebih demokratis yang hanya dapat terjadi dengan menyingkirkan kediktatoran Marcos serta melakukan perubahan konstitusi yang menjamin hak-hak politik rakyat. Keinginan itu terartikulasikan dengan dukungan insitusi yang penting dalam kehidupan sosial rakyat Filipina, yaitu gereja dan keberadaan oposisi elit dan kelas menengah yang tidak dapat berpatisipasi dalam bidang politik selama era pemerintahan Marcos. Selanjutnya aktivisme dari kekuatan jaringan-jaringan sipil mampu menggalang dukungan dengan menunjukkan efektivitas aksi-aksi yang bersifat nirkekerasan. Sementara itu, gejolak sosial dapat terjadi apabila terdapat sejumlah necessary conditions yang terjadi secara berurutan yang terdiri atas, (1) 6WUXFWXUDO&RQGXFLYHQHVVyaitu kondusif tidaknya struktur budaya masyarakat terhadap gejolak sosial; (2) Structural Strain, ketegangan yang timbul misalnya berupa ancaman dan deprivasi ekonomi; (3) the spread of JHQHUDOL]HGEHOLHI pemaknaan situasi bagi perilaku yang potensial; (4)The precipitating factors, berupa sesuatu yang dramatik untuk mencetuskan aksi sosial; (5) PRELOL]DWLRQRIDFWLRQyaitu mobilisasi untuk mengadakan aksi massa dimana peran pemimpin amat menentukan timbulnya reformasi atau revolusi ; (6) Operation of social control, counter untuk mencegah
66
GEMA Vol. 36, No. 1, April 2012 : 55–68
pembelokan gejolak (Smelser, 1985: 18). 6WUXFWXUDO &RQGXFLYHQHVV sebagai tahap untuk memulai revolusi adalah pembelengguan politik lewat pemberlakuan darurat perang yang berkaitan dengan penggunaan kekerasan oleh militer bagi pihak oposisi dan rakyat sipil, serta dominasi ekonomi Marcos dan kroni-kroninya merupakan elemen kondusif untuk mengadakan aksi sosial. Lemahnya saluran untuk memperbaiki kondisi yang demikian akan menghasilkan Structural Strain. Pembunuhan terhadap tokoh oposisi Benigno Aquino ditujukan sebagai ancaman pemerintah yang berkuasa untuk mencegah upaya-upaya perubahan politik yang tidak menguntungkan kedudukan pemerintah. 7KH VSUHDG RI JHQHUDOL]HG EHOLHI adalah kematian Aquino yang justru meneguhkan keyakinan untuk melaksanakan revolusi dengan mencari dukungan maupun sumber daya yang diperlukan bagi aksi sosial itu. Adapun the precipitating factors berwujud kecurangan pemilu oleh pihak berkuasa dan merugikan oposisi, Cory Aquino yang mendapat dukungan luas dari rakyat. Melemahnya dukungan kepada Marcos termasuk dari tubuh militer yang ditunjukkan oleh pembangkangan Enrile dan Ramos, serta gereja sebagai otoritas yang dihormati oleh rakyat Filipina, sosok kepemimpinan Cory sebagai yang menjadi simbol penerus perjuangan Aquino didukung peran media massa seperti misalnya Radio Veritas memudahkan proses mobilisasi aksi dalam bentuk revolusi selama 77 Jam. Akhirnya operation of social control, merupakan awal menuju tatanan baru yang dilakukan dengan pengasingan Marcos, pengangkatan Cory sebagai Presiden yang legitimate diikuti dengan perubahan konstitusi, serta mempersatukan militer. Penutup Penggunaan beberapa teori kekerasan politik memberikan perspektif yang komprehensif tentang pilihan strategi gerakan nirkekerasan yang meliputi adanya kondisi struktural yang kondusif bagi tumbuhnya gerakan nirkekerasan. Akan tetapi sebuah perubahan politik hanya dapat terjadi oleh akumulasi dorongan kebutuhan dasar yang terdistorsi oleh struktur distribusi kekuasaan yang tidak seimbang. Di samping itu sebuah gerakan membutuhkan persiapan kultural yang memadai lewat aktivisme yang bekerja dalam jaringan informal dan mengartukulasikan tujuan perjuangan secara konkret. Akhirnya tampilnya peran elit sebagai penggerak yang berperan besar dalam memobilisasi massa di atas keyakinan (belief)
Beberapa Pendekatan Teori Kekerasan Politik Untuk Memahami Gerakan Nirkekerasan Di Filipina
67
terhadap perubahan politik untuk menuju tatanan sosial yang baru. Daftar Pustaka Ackerman, Peter dan Christopher Kruegler. 1994. Strategic Nonviolent &RQÀLFWWestport, CT, USA: Praeger Publisher. $O¿DQ7,EUDKLP“Sejarah dan Permasalahan Masa Kini”. Pidato pengukuhan Jabatan Guru besar pada Fakultas Sastra UGM. Rule, James B. 1988. 7KHRULHVRI&LYLO9LROHQFH Berkeley: University of California Press. Sites, Paul. 1990. “Needs an Analogues of Emotions” dalam Burton,John. &RQÀLFW+XPDQ1HHGV7KHRU\London: The Macmillan Press Ltd Smelser, Niels. 1962. 7KHRU\ RI &ROOHFWLYH %HKDYLRXU. New York : The )UHH 3UHVV VHSHUWL GLNXWLS ROHK 7 ,EUDKLP$O¿DQ ³6HMDUDK GDQ Permasalahannya Masa Kini” Pidato pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Sastra UGM, Agustus 1985. Soetomo, Greg. 1998. Revolusi Damai: Belajar Dari Filipina. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Zunes, Stephen. 1999.“The Origin of People Power in The Philipines” dalam Zunes, Stephen et.al. Non Violent Social Movement. Malden dan Oxford : Blackwell Publisher.
Catatan Akhir 1 Diringkas dari Zunes (1999: 146-152); Ackerman (1994: 385-391) dan tulisan sesorang saksi mata yang berasal dari Indonesia yang menuangkan analisis dan hasil pengamatannya. Lihat : Soetomo (1998, Bab III)
68
GEMA Vol. 36, No. 1, April 2012 : 55–68
69
Tuhan Tidak Perlu Dibela
TUHAN TIDAK PERLU DIBELA1 : Konteks Kekerasan dan Upaya Membangun Jembatan Etis-Praktis Berteologi Agama-Agama Dalam Masyarakat Pluralistik Indonesia
John Simon
Abstract: In the context of an increasingly violent place everywhere, religions are challenged to establish a more real relationship (together) for the sake of creating a counter culture. In this context, the concern of the dialogue is to build ethical-practical bridges. This dialogue begins not from a theological level, but from a real situation. The real situation now is violence, injustice, terrorism, poverty, pluralism, gender dan ecological issues. These issues is the starting point in developing a theology of religions, especially in Indonesia. Crucial importence in order to devise a theology of religions in Indonesia are continuing efforts to make self-criticism on the expression of religious intolerance and hand cuff civil liberties. Only with the efforts that we can build a new civilization based on the equivalent of social reconciliation and justice. Keywords: violence context, pluralistic society, Pancasila, civillization bond, reconciliation Abstrak: Dalam konteks kekerasan yang merebak dimanamana, agama-agama ditantang untuk mengukuhkan hubungan yang semakin nyata, untuk bersama-sama merancang bangun sebuah ‘kultur penentang’. Pada konteks ini, kepentingan dari dialog adalah membangun relasi agama-agama secara etis-praktis. Dialog ini dimulai bukan dari level teologis-spekulatif, tetapi dari situasi nyata kemanusiaan. Situasi nyata kita adalah kekerasan, ketidakadilan, kemiskinan, pluralisme, jender, dan isu-isu ekologis. Semua tema ini menjadi titik awal untuk membangun teologi agama-aga-
69
70
GEMA Vol. 36, No. 1, April 2012 : 69–94
ma, lebih khusus di Indonesia. Hal penting lain yang hendak digagas dalam rancang-bangun teologi agama-agama di Indonesia adalah kemampuan untuk melakukan kritik atas ekspresi agama sendiri yang tidak toleran dan memberangus kebebasan sipil. Hanya dengan usaha demikian kita dapat meretas peradaban baru yang didasarkan pada kesetaraan, rekonsiliasi dan keadilan. Kata-kata Kunci: Konteks kekerasan, masyarakat pluralistik, Pancasila, ikatan keadaban, rekonsiliasi
Bila engkau menganggap Allah itu ada hanya karena engkau yang merumuskannya, KDNLNDWQ\DHQJNDXVXGDKPHQMDGLND¿U$OODKWLGDNSHUOX disesali kalau Dia menyulitkan kita. Juga tidak perlu dibela kalau orang menyerang hakikat-Nya. Yang ditakuti berubah adalah persepsi manusia atas hakikat Allah, dengan kemungkinan kesulitan yang diakibatkannya’. 6HRUDQJ6X¿DO+XMZLULGDODPTuhan Tidak Perlu Dibela, p. 67)
Pendahuluan Ketika tulisan Alan Greenspan dipublikasikan pertama kali tahun 2007 dibawah judul 7KH$JHRI7XUEXOHQFH$GYHQWXUHVLQD1HZ:RUOG, kita segera tersentak dengan beberapa paparan menarik sekaligus membuat merinding, seakan benar bahwa pasca tragedi 11 September 2001 dunia akan segera berubah yang disebutnya sebagai ‘the age of turbulence’ atau ‘abad prahara’ (Greenspan, 2008: xix). Penulis lain, semisal Talbot dan Chanda, mencoba mengkonkretkan apa yang dimaksud Alan Greenspan sebagai abad prahara dengan istilah lain yang sangat provokatif yakni ‘Abad Teror’ (Talbot, 2008: 1-59): suatu abad yang menandai bangkitnya kekuatan-kekuatan anti kemanusiaan, abad penuh dengan ketakutan dan kegelisahan akibat bergentayangannya para penebar maut yang dilakukan oleh kaum fundamentalis-radikal yang sementara ini distigmakan sebagai gerakan Islam radikal. Abad yang dikenal juga dengan istilah John L. Esposito sebagai abad ‘yang menyuburkan Teologi Kebencian’ (Esposito, 2010: 339, 341, 343).
Tuhan Tidak Perlu Dibela
71
Pasca ‘9/11 attack’ memang dunia berubah. Setidaknya publik dunia dan khususnya Amerika tersadarkan bahwa musuh itu bukan lagi sekadar angan-angan, apalagi cuma semata divisualkan melalui ceritacerita kepahlawan ala Amerika dimana Rambo dan Superman akan mengalahkan semua musuh dan tampil sebagai pemenang serta membawa $PHULND SDGD NHMD\DDQ 7HURU GDQ NHPDWLDQ EXNDQ ¿NVL QDPXQ Q\DWD di depan mata. Bagi Amerika setidaknya, beberapa kampanye perang di luar negeri, atas nama kapitalisme, modernisasi dan globalisasi, yang ditunggangi oleh kaum agama neo-konservatif2, segera membuat mereka tersadar akan kelengahan mereka. Bahwa serangan itu adalah yang pertama di tanah Amerika –bahkan sekaligus di jantung pusat Kapitalisme— pasca Pearl Harbor (Greenspan, 2008: x; Esposito, 2003: viii). 'XQLDNLQLEHUXEDKXQWXNPXODLNHPEDOLPHOLKDWGDQPHUHÀHNVLNDQ diri, apa sebenarnya yang sedang terjadi dalam kehidupan bersama sebagai masyarakat dunia yang sudah kian menyatu ini (a global village). Dan kalau dikatakan bahwa persoalan radikalisme merupakan bagian dari penghayatan hidup keagamaan, maka hidup keagamaan seperti apa yang akan mendukung sebuah perwujudan tata dunia baru yang lebih beradab. Dan dalam konteks relasi agama-agama di Indonesia pertanyaan yang sama adalah, model keberagamaan seperti apakah yang lebih menjawab masalah kekerasan yang kian masif terjadi. Disinilah kekerasan adalah satu dari sekian konteks untuk merancang-bangun teologi agama-agama di Indonesia. Bagaimana konteks ini dipahami, dianalisa dan dicarikan tatapan dari segi etis-praktis kiranya dapat dipenuhi oleh paper ini. Konteks Berteologi (Anti) Kekerasan Modernisme yang melanda dunia Barat –Eropa dan Amerika— pada sekitar 2 abad lalu telah melahirkan tata dunia baru yang mengabadi-kan dirinya melalui dominasi sains dan kapitalisme. Dunia Barat sontak tampil menjadi kampiun dalam berbagai tingkat kemajuan yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Dalam bidang ekonomi, dunia Barat dengan roh materialismenya menjadi bangsa pencipta yang secara massif menggerakkan manusia dan mesin-mesin untuk memproduksi barangbarang kebutuhan secara masal dan menciptakan pasar karena adanya arus permintaan barang yang tinggi. Dalam pola ini materialisme ontologis didampingi materialisme praktis membentuk sistem nilai manusia modern menjadi ke-‘buas’-an mengontrol, memperalat dan menguasai semua yang sifatnya material. Sikap ini juga mampu menjelaskan proses internalisasi penggarapan atas alam sebagai ‘kehendak Tuhan’, dan alam, kata Herry
72
GEMA Vol. 36, No. 1, April 2012 : 69–94
Priono, ‘adalah sapi perah liar, yang harus dikuasai dan diperas (Priono, 1993: 6). Proses transaksi pasar yang berlangsung dan didukung paham ¿ORVR¿VWHRORJLV WHUWHQWX3 dipastikan pada akhirnya menciptakan sikap pemilikan (modal) dan pencapaian hasil setinggi mungkin baik individu, bangsa dan perusahaan modern trans-nasional. Dalam idealisme Barat yang sangat materialisme, pedoman dan cita-cita hidup adalah ‘berapa banyak manusia dapat memiliki’ (Priono, 1993: 8; Soelle, 2001: 61). Dan keyakinan ini juga merembet dalam relasi sosial yang melahirkan imperialisme, yang semula aturan main utama adalah VXUYLYDORIWKH¿WWHVW terhadap alam, kini muncul perjuangan ‘abadi’ kedua, yaitu the struggle of people against people: perjuangan memperebutkan hak atas hidup, kemerdekaan dan harta milik (Sugiharto, 2005: 131). Proses produksi yang tinggi –seiring ilmu dan teknologi yang makin menjadi dewa— lalu pasar yang sudah tidak lagi mampu mendistribusikan barang akhirnya mengandaikan perluasan pasar. Seiring dengan abad penjelajahan samudera dan ditemukannya benua-benua baru, pasar akhirnya bisa diatasi dengan tujuan dunia diseberang, baik di Asia, Afrika dan umumnya dunia di luar Eropa. Motivasi ekonomi4 yang besar dari bangsa-bangsa Eropa saat menjelajahi samudera juga menjadi faktor tersendiri bagaimana etika persaingan berperan bagi tindakan menguasai sumber-sumber bahan baku produksi dengan cara monopoli dagang. Dan upaya ini tidak jarang harus dilalui dengan penggunaan kekerasan dan pengerahan kekuatan persenjataan.5 Dimulailah abad kolonialisasi Barat atas nama dominasi dan kepentingan pasar. Dan banyak penulis telah mencermati bahwa teologia Kristen turut berandil besar dalam proses kolonialisme, bahkan ‘misi Kristen sering membonceng kolonialisme’ (Fiorenza, 2007; Singgih, 2005: 166). Tidak cukup disitu, penjelajahan samudera juga punya motivasi teologis –dengan semboyan 3G: Gold, Glory and Gospel— untuk melanjutkan cerita berseri perjumpaan Barat yang Kristen dengan yang PHUHND VHEXW GXQLD ND¿U GDQ ‘imperium setan’, Islam.6 Setidaknya berakhirnya Perang Salib di belahan Barat tidak berarti selesai sudah dendam kesumat yang telah ditebar selama ini oleh masing-masing. Luka-luka batin yang menggenerasi pasca Krusada itu menjadi ‘ingatan kolektif’ (collective memory) dibawa oleh bangsa-bangsa Barat (Spanyol dan Portugis) saat mereka menginjakkan kaki di dunia baru, di belahan Timur. Dan memperoleh lahan subur tatkala di dunia baru itupun terjadi perjumpaan Barat yang Kristen dengan rival abadi, Islam. Di sinilah perkembangan teologi Kristen mengenai perang suci terjadi dengan latar belakang perlawanan terhadap ancaman Islam. Karenanya, menurut Leo
Tuhan Tidak Perlu Dibela
73
Lefebure, pasca Krusada ‘Hampir satu millennium, umat Kristen Eropa secara periodik melihat Islam sebagai ancaman militer’ (Lefebure, 2006: 193). Sehingga motif mencari pasar bagi barang produksi itupun akhirnya kalah bahkan nyaris kabur –atau sebaiknya dikatakan tumpang tindih— oleh keinginan menghancurkan para musuh-musuh Tuhan. Misi mengadabkan (mission civilatrice) bangsa-bangsa lain agaknya hanya pelunakan saja dari apa yang dikatakan di atas. Dimulailah babak baru, di lokus baru, rivalitas Barat yang Kristen dengan Islam yang telah ada dan bercokol di Asia. Kedua agama ini sama-sama mengklaim punya mandat Tuhan, dan atas nama Tuhan misi / dakwah dilakukan dengan perjuangan untuk dapat mewartakan iman yang benar, termasuk mengalahkan setiap penghalang-penghalang misi Tuhan (Johnson, 2002). Catatan John Hick layak didengar saat ia mengatakan bahwa bayang-bayang perang salib ternyata µPHQLQJJDONDQZDULVDQsaling curiga yang masih terus berlanjut hingga kini’.7 Dalam relasi antar budaya, tradisi dan agama Islam dan Kristen yang kini diupayakan melalui jembatan dialog, persoalan µZDULVDQ kolektif’ ini bukanlah soal yang mudah diselesaikan oleh sebab ‘gambaran karikatur’ (Shenk, 1997: 212-213) masing-masing yang sudah menjadi ‘ingatan kolektif’ setiap umat dari generasi ke generasi telah melampaui maksud dari situasi asalnya (Ismail, 2011: 1-11). Ada banyak tulisan yang pernah dibuat untuk memotret masalah munculnya ketidaksenangan, akar kebencian dan berbagai ekspresi permusuhan dunia Islam terhadap Barat yang diidentikan Kristen itu sebagai akibat ketidakadilan (Rakhmat, Vol. 6, No. 1 – April 2011: 174-175; Prasetyo, 2002: 243; Muzaffar, 2004: 42; Kleden, 2010, No.09-10, Tahun ke-59: 10-11). Intoleransi yang muncul ini merupakan akumulasi dari kenyataan
pahit sebagai kelompok minoritas yang tidak berdaya –dalam konteks pasar bebas, mereka dikalahkan— sehingga jauh dan minim pada akses-akses politik dan ekonomi. Kapitalisme Barat yang menggurita yang dirasakan begitu pahit dan kejam, antara lain di negara-negara Muslim, telah memompa ke permukaan perasaan ketidakadilan yang makin lama makin masif sifatnya. Lebih lagi saat Amerika yang dianggap representasi paling kentara dari kapitalisme global, pasca ‘9/11’ makin menegaskan doktrin µZLWKXVRUDJDLQVWXV¶ yang mengubah wawasan geopolitik Amerika yang membagi dua dunia menjadi pihak ‘musuh’ dan pihak ‘kawan’. Belum lagi politisasi agama kaum neo-konservatif-fundamentalis Kristen juga ada dibelakang pidato emosional George W. Bush di depan Kongres Amerika pada 20 September 2001, saat ia mendeklarasikan ‘perang melawan teror’ sebagai ‘Perang Salib’ (&UXVDGHV). Walaupun Bush kemudian meralatnya sebagai ‘slip in tongue’ (Arab: ]DOODKOLVDQ) tetapi publik dunia, khususnya
74
GEMA Vol. 36, No. 1, April 2012 : 69–94
dunia Islam yang marah, tetap sulit untuk menerima dengan mudah ralat sebagai sesuatu yang tidak disengaja (Daulay, 2009: 72-73). Karenanya Johnson menyebut pilihan untuk fundamentalisme radikal berbasis agama (Islam) sebenarnya sebagai ‘respon terhadap modernitas’ yang identik dengan Barat.8 Lalu, publik (khusus di Barat) seolah menerima tanpa reserve kebenaran tesis Huntington yang meramalkan terjadinya ‘benturan antar peradaban’ (FODVKRIFLYLOL]DWLRQV), terutama antara Islam dan Barat. Dalam tesisnya, Huntington menganggap Islam sebagai peradaban yang identik dengan kekerasan dan dibuat garis demarkasi yang absolut dengan Barat yang toleran, egaliter dan demokratis.9 Dalam konteks ini individu atau kelompok yang lemah –dari ‘ideologi peradaban yang kalah, seperti Islam’ (Muzaffar, 2004: 47)—, dan ada dalam hegemoni kelompok lain yang lebih kuat cenderung untuk mengekspresikan berbagai bentuk kekecewaan dan penentangan melalui jalan kekerasan, karena sempitnya pilihan untuk bentuk ekspresi lainnya. Belum lagi bila ada aktor-aktor karismatik10 yang dapat mengakomodir serta mengaktualisasikan kekecewaan, maka kekerasan hanyalah menunggu waktunya saja untuk meletup disana-sini. Bukankah, peristiwa bom-bom di beberapa gereja di wilayah Nusantara –terakhir pemboman gereja pada medio Oktober 2011, di GBIS Pekuncen, Solo— salah satunya, bisa jadi adalah bentuk pengungkapan kekecewaan karena sempitnya pilihan bagi hidup dan aktualisasi diri yang lebih normal. Sebenarnya masih ada satu lagi faktor penyulut sikap intoleran dan penggunaan kekerasan. Kalau isu keadilan menjadi faktor luar, di bawah ini merupakan faktor dari dalam. Faktor kedua ini disebut sebagai orientasi keagamaan dari suatu individu atau kelompok (Rakhmat, 2011: 172-174). Secara umum setiap pribadi –dan sebagai anggota sebuah kelompok— hidup dalam sistem sosial dan tradisi tertentu. Melalui internalisasi dan upaya pemribadian nilai-nilai sosial/tradisi terbentuklah sikap-sikap batin dan orientasi-orientasi religius. Secara umum dikenal tiga tipologi orientasi keagamaan11 yang dari padanya kita bisa merunut sikap dan tingkat toleransi dan intoleransi seseorang sampai ke aktualisasi tertinggi penggunaan kekerasan atas nama agama bahkan atas nama Tuhan. Eksklusif adalah aktor agama yang membangun tembok dan menciptakan sebuah ‘enclave’ daerah terlindung, yang steril. Ia hanya percaya pada satu-satunya kebenaran, satu jalan memahami realitas, dan satu cara untuk menafsirkan teks-teks suci. Secara soteriologis, ia percaya hanya kelompoknya saja yang akan selamat. Kelompok yang lain dijamin ‘masuk neraka’. Kemudian, inklusivis, mengakui adanya keragaman tradisi, komunitas dan kebenaran. Semua punya jalan menuju kebenaran. Tetapi agama (paham keagamaan) yang dianutnya tetaplah jalan yang
Tuhan Tidak Perlu Dibela
75
paling lurus, yang paling sempurna, di atas dan mencakup semua paham keagamaan lainnya. Terakhir, pluralis,12 menganggap bahwa kebenaran bukan hanya milik satu tradisi atau komunitas keagamaan. Perbedaan komunitas dan tradisi tidak dianggap sebagai penghalang yang harus dilenyapkan, tetapi sebagai peluang untuk dialog.13 Apa yang bisa ditangkap dari uraian tiga tipe aktor keagamaan ini makin menjadi jelas saat para aktor kekerasan –termasuk atas nama agama dan atas nama Tuhan— itu ternyata dibesarkan dalam orientasi keagamaan yang bersifat eksklusif. Yang makin mendapat wujudnya tatkala faktor luar berupa berbagai luka batin akibat ketidakadilan dan kekalahan yang menyakitkan dalam segala bidang hidup, yang dimaknai sebagai perilaku dominasi dari pemilik hegemoni, menjadikan kekerasan berlatar orientasi keagamaan kian masuk akal untuk dilakukan kapan dan dimana saja. Dan kasus kekerasan yang mengatasnamakan Islam juga dianggap sama tatkala para aktor memandang bahwa Islam telah dizolimi dan kalah dalam relasi yang tidak berimbang, yang sangat hegemonik. Dalam konteks Indonesia, perspektif di atas tentunya belum cukup untuk dipakai sebagai pisau bedah memetakan carutmarutnya/ kompleksnya masalah kekerasan agama yang mengatasnamakan Tuhan. Belajar dari sejarah Orde Baru, misalnya, akan juga bisa menjelaskan betapa ekspresi keagamaan Islam pada tokoh-tokoh dan kelompokkelompok legalistik-formalistik-skripturalistik Islam14 yang pernah bangkit dalam rangka perlawanan terhadap negara yang pro modernisme15 yang dianggap hegemonik, tidak hanya dilatari dua sebab di atas. Kala itu negara dianggap sangat tidak adil terhadap Islam dan lebih memilih mengakomodir kelompok-kelompok yang dianggap sekuler, kebaratbaratan dan identik Kristen –walaupun stereotipe ini perlu di selidiki ulang kebenarannya, tetapi umumnya diterima demikian.16 Kita tahu bahwa soal isu sekularisme juga amat besar pengaruhnya dalam memetakan akarakar kekerasan di masa pemerintahan Orde Baru. Makanya wajar, ketika misalnya Nurcholish Madjid mencoba mewacanakan ide sekularisasi dalam program pembaharuan Islam di Indonesia yang telah kehilangan ‘psychological striking force’, segera dia dihantam oleh mereka-mereka yang tidak senang pada jargonnya yang terkenal ‘Islam Yes, Partai Islam No’ (Madjid, 1998: 204). Kalau dicari perbandingannya dengan sejarah kekristenan Barat abad pertengahan misalnya, contoh baik adalah persaingan antara paus dan raja-raja, sehingga silih berganti mereka saling menguasai dalam rangka menjadi adikuasa. Ketika sang raja berkuasa mereka akan menggunakan
76
GEMA Vol. 36, No. 1, April 2012 : 69–94
bahasa ideologis ‘atas nama Tuhan’ pada setiap kehendak mereka. Begitu sebaliknya, saat paus berkuasa maka seluruh buah pikir dan karyanya juga dilakukan sebagai ‘atas nama Tuhan’ (Die le Veut).17 Jadi sebenarnya pemosisian diri dan atau kelompok dengan mengatasnamakan Tuhan bukanlah monopoli satu kelompok keagamaan tertentu, apalagi kalau itu yang dimaksud adalah ekspresi Islam fundamentalis. Sebab dalam belahan dunia manapun dan dalam ekspresi keagamaan apapun, potensi menjadi fundamentalis –kalau yang dimaksudkan ini gerakan penghalalan kekerasan— bisa dilakukan oleh aktor siapa saja tanpa pertama-tama melihat agamanya.18 Masyarakat Pluralistik Indonesia Sebagai Konteks Merancang Bangun Teologi Agama-Agama [Anti] Kekerasan Tugas kita dalam konteks kemunculan kekerasan berbasis agama dan mengatasnamakan Tuhan adalah menjadikan konteks kekerasan atas nama Tuhan ini sebagai sebuah titik pijak merancang bangun teologi agamaagama yang anti kekerasan. Berteologi sebagai abstraksi pengalaman orang beriman akan konteks hidupnya, dengan menghadapkannya pada kehendak Tuhan, bukanlah sesuatu yang mengawang-awang bak ‘sacred canopy theology’.19µ7HRORJLODQJLWVXFL¶EXNDQODKUHÀHNVLLPDQ\DQJPHPEXPL dan juga bukan jalan keluar iman yang dapat dipertanggungjawabkan bagi konteks penderitaan kemanusiaan karena kekerasan. Sebab berteologi langit suci sesungguhnya anti konteks dan karenanya keprihatinan konteks diabaikan atau tidak dianggap penting sebagai bagian dari berteologi. Kita harus mematahkan model berteologi yang anti-konteks dalam rangka SHUWDQJJXQJMDZDEDQLPDQ (Banawiratma, 2002: 38), karenanya konteks kekerasan perlu dijawab dengan iman. Harus kita akui bersama bahwa Indonesia adalah negara plural20 yang sangat besar, sekaligus kompleks. Kompleksitasnya dapat dibayangkan seperti janji keturunan Abraham ‘pasir di pantai dan bintang di angkasa’. Para pendiri bangsa (the founding father and mother) secara apik dan bijaksana telah memilih Bhinneka Tunggal Ika sebagai abstraksi sekaligus kenyataan eksistensial tak terbantahkan ketika mereka berbicara tentang Indonesia. Di sini fakta ke-Indonesia-an adalah pertama-tema ke’bhineka’an-nya, baru menyusul ke-ika-an sebagai kerinduan kolektif yang bersifat politis. Dalam sejarah Indonesia modern kita dapat melihat bagaimana fakta pluralitas Indonesia, disatu sisi diakui dan diperjuangkan, namun disisi lain ia selalu ada dalam ketegangan ditengah arus yang kian besar dan deras kecenderungan pengingkaran, baik dalam semangat
Tuhan Tidak Perlu Dibela
77
penyeragaman (uniformitas), juga dalam wujud sektarianisme (berlatar agama) dan provinsialisme (berlatar kedaerahan).21 Secara teologis, ada banyak pemikir yang mencoba meneguhkan kenyataan kebhinekaan Indonesia ini dari sudut keimanan. Sejak 1970an tokoh reformis Islam masa itu, Mukti Ali, misalnya, adalah intelektual yang aktif dalam wacana pluralisme dan dialog agama-agama. Namun, dari kalangan Muslim, artikulasi yang paling cerdas dan sangat mendasar sampai ke jantung teks-teks normatif Islam, misalnya, dielaborasi secara meyakinkan oleh Nurcholish Madjid. Atas pembacaannya yang kuat pada akar-akar tradisi keislaman, ia sampai pada sebuah kesimpulan bahwa pluralisme memiliki dasar keagamaan yang berakar jelas dalam al-Qur’an dan ini merupakan prinsip dasar dalam Islam (Qs. 5:48). Nurcholish Madjid juga mengingatkan bahwa pluralitas atau kemajemukan adalah kenyataan yang telah menjadi ‘kehendak Tuhan’ (taqdir, sunatullah), sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur’an (Qs. 49:13) (Madjid, 1992: 84). Karena itu bagi seorang Nurcholish Madjid, fakta pluralitas di ranah sosiologis adalah ‘pertemuan yang sejati dari keserbaragaman dalam ikatan-ikatan keadaban (bonds of civility)’ (Madjid, 1999: 179). Dan arah dari paham pluralisme adalah munculnya sikap toleransi ekumenik dan sikap keagamaan yang benar, sebagaimana diwariskan dari teladan iman Ibrahim, yakni DOKDQL¿\\DW DOVDPKDK, yaitu mencari kebenaran yang lapang, toleran, tidak sempit, tanpa kefanatikan, dan tidak membelenggu jiwa.22 Dari pihak Kristen, tokoh yang cukup elaboratif dalam menggagas pluralisme adalah Eka Darmaputera, kendatipun ia tidak secara kuat melihatnya dari teks normatif Kristen. Dalam menghadapi kebhinekaan Indonesia, secara sosiologis Eka mencatat bahwa sebenarnya agamaagama jauh dari siap dan mengalami ‘plural shock’ atau ‘kejutan kemajemukan’ karena setiap agama dibesarkan dalam ‘mentalitas anak tunggal’ (Darmaputera, 1996: 131). Namun demikian, eksperimen berkeindonesiaan telah menjadi kerinduan bersama, sebagai pengalaman bersama, untuk mencari landasan bersama agar kemajemukan itu tidak menjelma menjadi sumber malapetaka, melainkan rahmat. Di sinilah Pancasila adalah penemuan sekaligus pilihan cerdik yang telah diambil oleh semua komponen bangsa. Eka dengan mengutip Simatupang, mengatakan Pancasila merupakan ‘payung yang cukup lebar untuk semua orang’7KH¿YH>3DQFDVLOD@DUHDZLGHHQRXJKXPEUHOODIRUHYHU\ERG\1R ERG\KDVDQ\WKLQJDJDLQVWWKHPSHRSOHFDQDFFHSWWKHPZHFDQDOOOLYH together under them’.23 Dalam pengamalannya, yang akan terjadi adalah ‘dialog karya’ sebagai pintu masuk membentuk ‘masyarakat Pancasila’
78
GEMA Vol. 36, No. 1, April 2012 : 69–94
Indonesia. Dengan demikian, Eka sebetulnya sedang membangun sebuah ‘teologi Pancasila’ sebagai model berteologi kontekstual kekristenan Indonesia. Adakah Harapan?: Merintis Jalan Berteologi Agama-Agama Rasanya penting untuk memulai bagian ini dengan memasukkan ide cemerlang Henri Nouwen dalam bukunya ‘Yang Terluka Yang Menyembuhkan’. Nouwen dalam bukunya ini berbicara tentang ‘The Wounded Healer’ atau ‘Penyembuh Yang Terluka’. Maksudnya adalah kemampuan si pendamping –pertama tentu pastoral bagi konteks manusia Eropa Barat-Amerika Utara yang terasing menjadi ‘manusia nuklir’— untuk melihat penderitaan orang lain sebagai sesuatu yang sedang terjadi juga pada dirinya sendiri, dan bahwa kerinduan orang lain akan kemungkinan alternatif hidup merupakan sekaligus kerinduannya pula.24 Dengan menggunakan perspektif Nouwen, kita bisa menerapkan pemahaman penyembuh yang terluka ini pada proses kesembuhan rekonsiliasi, yang hanya bisa terjadi di antara dua pihak yang sama-sama kalah atau samasama korban, dan bukan yang sama-sama menang. Disinilah para pegiat UHVROXVLNRQÀLN±EDLNNRQÀLNHWQLVDWDXDJDPD²KDUXVPXODLVDGDUEDKZD konteks kasus menderita karena kekerasan dan usulan penyelesaiannya dengan ZLQZLQ VROXWLRQ, ternyata solusi tersebut tidak mungkin bisa dijalankan. Bahasan dalam buku Nouwen25 menolong untuk memotret konteks kita di Indonesia, yang disadari berbeda dengan konteks Nouwen, bahwa kita semua –tidak mengenal latar agama apapun— sama-sama sedang menderita karena polarisasi masyarakat yang menjadi korban kekerasan dan teror yang dilakukan oleh sesama bangsa. Konteks kekerasan di Indonesia yang eskalasinya kian meningkat pasca lengsernya Soeharto dan sampai ke pemerintahan SBY, jelas membuat luka terasa pedih bagi yang mengalami. Dan gereja adalah satu dari sekian komponen pluralitas di Indonesia yang nyata mengalaminya, mulai dari pembakaran gereja sampai kekerasan horizontal di Kalimantan, Maluku, Halmahera dan Poso. Dengan perspektif Nouwen kita bisa ditolong untuk melihat bahwa status menderita dan menjadi korban tidak harus membuat kita menjadi komunitas tertutup, dan karena statusnya korban seolah-olah bebas dari ‘panggilan moral’ atau dalam istilah Banawiratma bebas dari µWDQJJXQJMDZDELPDQ¶ (Banawiratma, 2002: 38). Dalam konsep penyembuh yang terluka terkandung spirit solidaritas-belarasa, bahwa yang menjadi korban kekerasan yang bernuansa agama dan mengatasnamakan Tuhan ternyata tidak hanya dirasakan oleh pihak Kristen saja, tetapi juga oleh
Tuhan Tidak Perlu Dibela
79
pihak lain dan semua mereka yang ada dalam barisan yang anti pada kekerasan. Bahkan para penebar teror itupun sebenarnya juga merupakan korban dari sistem masyarakat yang telah dirusak oleh kekuatan antikemanusiaan dan demikian memunculkan perlawanan atasnya. Berarti yang diperlukan ke depan adalah bukan melupakan sejarah masa lalu yang PHPDQJSHQXKNRQÀLNEHUGDUDKDWDVQDPD7XKDQ7HWDSLPHQMDGLNDQQ\D sebagai sumber UHÀHNVLUHNRQVLOLDWLI dan pijakan toleransi bersama kini dan ke masa depan, serta menuju apa yang dikatakan Faisal Ismail sebagai ‘dialog antar peradaban’ (µWKHGLDORJXHRIFLYLOL]DWLRQ¶).26 Ismail juga sebenarnya mau menambahkan bahwa yang menjadi korban dalam kekerasan atas nama Tuhan itu juga Islam, dan karena itu –melawan tesis Huntington— musuh Barat bukan Islam, karena Islam bukan teroris. Yang menjadi musuh Barat dan semua kita di dunia ini adalah terorisme dan kaum teroris yang memakai label agama. Oleh karena itu, terorisme dan kaum teroris yang berkedok agama (pen: mengatasnamakan Tuhan) harus kita lawan dan kita kalahkan (Ismail, 2011: 8). Dalam konteks kita di Indonesia, ingatan kolektif akan masa lalu yang anti-kemanusiaan juga perlu dibawa ke taraf pengakuan bahwa ada yang salah dalam relasi Kristen dengan Islam secara khusus, yang dilakukan dari pihak Kristen. Pengakuan ini, kata Jan Aritonang, tidak akan menjatuhkan derajat dan kredibilitas umat Kristen Indonesia, tetapi malah dapat menghantar pada jalinan hubungan antar umat yang kian baik di masa kini dan masa depan (Aritonang, 2006: 621). Contoh tepat adalah apa yang dilakukan oleh sekretaris umum dan utusan 8QLWLQJ &KXUFKHV in the Netherlands, Dr. B. Plazier. Dalam kata sambutannya pada Sidang Raya XIII PGI di Palangkaraya tahun 2000, ia memohon maaf pada : sikap eksklusif zending Belanda di masa lalu yang memperlebar jurang antara Muslim dan Kristen; sikap superior orang Kristen Belanda atas orang Islam Indonesia yang diwariskan kepada gereja-gereja di Indonesia; dan sikap menganggap diri orang Kristen tulen dengan status teologi dan rohani yang lebih tinggi. Lebih dulu kita juga mengingat bahwa pada tahun 1966, Gereja Kesatuan Jepang (Nippon Kirisuto Kyodan) menyatakan pengakuan bersalah atas keterlibatan gereja dalam Perang Asia Timur Raya dan dalam pendudukan Jepang atas sejumlah negeri di Asia.27 Secara praktis, kita masih punya harapan untuk mematahkan lingkaran kekerasan yang berbasis orientasi keagamaan tertentu yang memakai Tuhan bagi legalisasi gerakan anti-kemanusiaan. Yang penting ke depan adalah keinginan kuat mentransformasi masyarakat agar menjadi lebih adil, lebih merdeka dan manusiawi. Karena tata masyarakat adillah yang menjadi kunci bagi upaya-upaya konsientisasi (penyadaran)
80
GEMA Vol. 36, No. 1, April 2012 : 69–94
peradaban yang tidak sekadar retorika belaka.28 Itulah sebabnya, keprihatinan etis manusia yang hidup dalam konteks interdependensi global saat ini adalah ‘Kedamaian, Keadilan, dan Keutuhan Alam Ciptaan’ (peace, justice, and the integrity of creation). Hans Kung benar saat memberi peringatan µ:LWKRXW SHDFH EHWZHHQ UHOLJLRQV WKHUH ZLOO EH QR SHDFH EHWZHHQ QDWLRQV¶ (Kung, 1990/2: 115). Pandangan Kung ini kian pas dengan Paus Pius XII yang pernah mencanangkan semboyan yang berbunyi 2SXV-XVWLWLDH3D[: kedamaian antar bangsa dan keutuhan alam FLSWDDQDGDODKEXDKGDULNHDGLODQVRVLDOLQWHUQDVLRQDOGDQHNRORJL%LI¿ 1991: 80; Rachmat W, 2005: 31). Dan komponen penting sebagai langkah awal bagi transformasi peradaban adalah pengalaman bersama sebagai ingatan kolektif yang dijadikan, kata Goenawan Mohamad, ‘‘ethics of PHPRU\¶ \DQJ PHPSXQ\DL SHVDQQ\D \DQJ SUDNWLV EDKZD KDQ\D GHQJDQ PHQJDNXLGDQPHQJHQDQJNRPSOHNVLWDVPDVD\DQJWHODKOHZDWNLWDELVD menghadapi problem hari ini dengan cara seksama dan rendah hati’.29 Hanya saja, dari Raimundo Panikkar kita mendapat satu komponen lain yaitu cinta sebagai dasar dialog yang hidup, yang membawa setiap kita yang berdialog kepada yang kita cintai (Pannikar, 2000: 216; 1994: 75). Karena itu, dialog peradaban, menurut Panikkar, adalah sebuah ‘tindakan suci’ (Pannikar, 1994: 77). Dikatakan ‘suci’ karena Panikkar yang mengambil jalan mistik tidak memahami mistik sebagai ketertutupan, individual, apalagi masokisme [=menyiksa diri], sebab yang menjadi muara tindakan mistik sebenarnya adalah konstruksi sosial lewat aksi-aksi profetis. Mistik Panikkar sangatlah konkret karena dihadapkan langsung pada persoalan ultim eksistensial hidup manusia yang membutuhkan karya profetik, dan terbuka dengan saudara-saudara beriman lainnya mengatasi keprihatinan kemiskinan (poverty), kezaliman (YLFWLPL]DWLRQ), kekerasan (violence), patriarki, kerusakan ekologi dll (Pannikar, 2000: 219-220; 2004: 16). Itu makanya bisa dimengerti kalau Paul Knitter memasukkan pandangan teologis Panikkar ke dalam model mutualis dengan sub model ‘mistik-profetis’.30 Jadi, kesucian hidup (spiritualitas) tidak mengenal dikotomi, ia nyatanya berkelindan dengan ajakan untuk ‘transformasi sosial’31, maka tetaplah ada harapan bersama menuju masyarakat berkeadaban di tengah konteks berteologi kita yang diselimuti teror, ketakutan dan permusuhan yang merebak dimana-mana.
Tuhan Tidak Perlu Dibela
81
Berteologi Agama-Agama dari Jembatan Etis-Praktis: Sebuah Tawaran Teologis Dari uraian di atas tentang konteks kekerasan dan kompleksitasnya se-bagai upaya rancang-bangun teologi agama-agama, maka bila menggunakan teori Knitter, salah satu tawaran berteologi agama-agama adalah dari jembatan etis-praktis. Berteologi agama-agama dari jembatan etis-praktis merupakan salah satu sub model mutualis, di mana banyak agama terpanggil untuk berteologi dan berdialog dari realitas kongkret seperti konteks kekerasan (Knitter, 2008: 160-176). Tawaran jembatan etispraktis sangat disadari akan terkait dengan segi ‘pewartaan’ (proklamasi) \DQJ PHUXSDNDQ SDQJJLODQ GDQ SHQJXWXVDQ \DQJ WLGDN EROHK GLQD¿NDQ Namun, komunitas agama-agama tertantang untuk tidak terjebak dalam debat panjang apologetis yang abstrak-spekulatif, antara lain soal keselamatan, sorga atau soal siapa yang layak selamat dan masuk ke dalam sorga.32 Lebih bermakna apabila keprihatinan-keprihatinan etis global seperti: kekerasan, ketidakadilan, terorisme, kemiskinan, emansipasi dan isu ekologis menjadi titik berangkat membangun teologi agama-agama. Dalam hal ini pandangan Paul Knitter perlu dipertimbangkan, yang dituangkannya pada kesimpulan akhir bahasannya soal model-model teologi agama-agama. Ia berkata: ‘Kita berkumpul karena kita telah mendengar teriakan dari mereka yang menderita dan merasakan satu tanggungjawab etis, sebagai umat beragama, untuk berbuat sesuatu […] kita mendengar suara-suara […] dari mereka \DQJWHUOLEDWNRQÀLNNLWDEHUXVDKD>«@SHQXKVLPSDWLWHUKDGDS>«@\DQJ menjadi korban’ (Knitter, 2008: 288).
Seraya memberi kesimpulan, Knitter mengatakan: ‘Saya yakin bahwa umat Kristiani di dalam keempat model yang telah dibahas ini mampu yakin bahwa kerja sama dengan umat beragama lain demi terciptanya perdamaian, keadilan, dan integritas ciptaan adalah bentuk perjumpaan antar-agama yang dimungkinkan, mendesak dan utama’ (Knitter, 2008: 289).
.DODXGDULVLQLNLWDKHQGDNPHODQJNDKGLWDWDUDQUHÀHNVLNRQVWUXNWLI secara teologis –seperti gambaran Kristus apa (&KULVWRORJ\IURPDERYH atau &KULVWRORJ\IURPEHORZ) yang mesti ditampilkan di konteks perjumpaan agama-agama Asia33— maka itu adalah langkah lanjutan setelah soal etis-praktis mengatasi bersama problem ‘kesejahteraan manusia’ (human ZHOIDUH)34 mendahuluinya. Ini sejalan dengan apa yang Tom Jacobs katakan saat ia berbicara tentang Tuhan bahwa
82
GEMA Vol. 36, No. 1, April 2012 : 69–94
‘Kebenaran Allah adalah mutlak. Tetapi kebenaran itu selalu bisa ditunda. Tuhan bisa ditunda…Tetapi manusia tidak bisa ditunda. Berhadapan dengan individu situasi adalah senantiasa darurat, dibutuhkan penanganan segera sebelum diagnosa lanjut yang lebih mendalam…Yaitu bersentuhan dengan mereka satu per satu, melayani dan menemani mereka…’ (Jacobs, 2002: 276).
Jacobs sebenarnya mau berkata lebih tajam bahwa percakapan tentang teologi, termasuk itu berteologi agama-agama, hendaknya berangkat dari isu manusia yang darurat, bukan isu tentang Tuhan. Teologi dan berteologi agama-agama itu menjadi ‘pada orang lain aku melihat Tuhan’. Tuhan hadir kepada manusia sejauh ia mengamalkan keadilan dan kebaikan kepada sesama yang membutuhkan pertolongan. Inilah yang rasanya digaungkan kuat oleh Yesus pada seluruh ajaran dan laku hidupNya, bahwa mencintai Allah tidak pernah terpisah dari mencintai sesama (Matius 22:37-40). Justru dalam cinta kepada sesama kehadiran Tuhan menjadi nyata. Kata Emmanuel Levinas, Tuhan hanya kita sadari (dengan terkejut) melalui wajah manusia ‘liyan’ (de schok van het goddelijke is het gelaat van de ander).35 Sehingga menafsir ulang makna Kejadian 4:9 di tengah-tengah konteks kekerasan dan teror memberikan spirit umat EHUDJDPDXQWXNNHPEDOLSDGD¿WUDKEDKZDDWDVSHUWDQ\DDQ.DLQNHSDGD Tuhan: ‘Apakah aku penjaga adikku? Umat dari komunitas agama-agama tiba pada jawaban, ‘Ya, aku adalah penjaga adikku!’. ‘Aku adalah penjaga orang lain!’ (Adiprasetya, 2000: 142-155). Dalam rangka itu ‘PR’ (pekerjaan rumah) umat beragama ke depan tidaklah ringan. Setidaknya ada dua agenda yang seiring-sejalan perlu digarap oleh agama-agama secara bersama. Pertama, tantangan eskternal berupa budaya kekerasan dan teror, khususnya antara Islam dan Kristen, yang perlu dilawan bersama dengan membangun ‘budaya anti-kekerasan’.36 Sudah tentu pula sebuah teologi anti-kekerasan. Dan kedua, tantangan internal berupa gerakan ke dalam tradisi sendiri mengikis budaya karikatur, penuh curiga dan permusuhan, termasuk berani ‘meninjau ulang’ narasinarasi kekerasan dalam teks-teks normatif sendiri (Setio, 2004, No. 16: 48; Setio, 2006: 155). Kedua agenda ini memang tidak sekadar bicara di tataran teologi sebagai teori, namun hendaknya mewujud dalam panggilan dan komitmen etis-praktis. Justru dengan pintu masuk secara etis-praktis, seluruh upaya berteologi anti-kekerasan memiliki potensi perubahan dibandingkan dengan akses yang bersifat murni teoritis, khususnya untuk konteks Indonesia. Sebab, ketika upaya teologis (teori) sering kali mandek tanpa hasil, maka dimensi etis-praktis justru membentang luas tanpa batas untuk menjadi ‘porsi utama’ pertaruhan yang kian menantang setiap agama di Indonesia agar tetap berdaya guna bagi pembangunan manusia Indonesia
Tuhan Tidak Perlu Dibela
83
yang agamis, dan tentang narasi-narasi teologi (fungsional) keramahan dan toleransi. Kata Darmaputera ‘Tanpa nilai praksis, ia (pen: agama-agama) tidak berfungsi. Dan apa pun yang tak berfungsi, lambat atau cepat akan mati’ (Darmaputera, 2000: 69). Itulah makanya, di konteks Indonesia, kata Sumartana, ‘kemanusiaan’-lah yang menjadi titik temu agar agama-agama tetap vital dan tidak menemui ajalnya (Sumartana, 2000: 194-203). Di sini komunitas agama-agama rasanya setuju bahwa penghayatan iman yang sifatnya pribadi harus diperhadapkan selalu dengan apa yang Bernard Adeney sebut: keyakinan ontologis sebagai kesadaran bahwa apa yang kita yakin benar, perlu disertai kerendahan hati epistemologis untuk mengakui keterbatasan mengetahui apa yang benar. Kedua sikap dasar itu menolong komunitas agama-agama untuk dapat secara sukarela dan benar meng-integrasikan panggilan etis bersama di tengah konteks keindonesiaan (Adeney, 2000: 275-279). Kalau tidak, bisa dibayangkan apa yang dikuatirkan Eka Darmaputera juga diidap oleh agama-agama di Indonesia berupa µLQVLJQL¿NDQVL LQWHUQDO dan irrelevansi eksternal’ (Darmaputera, Vol. 4, No. 14, 1998/1999: 191-197). Bagi komunitasnya sendiri Eka mendorong keterbukaan gereja-gereja untuk keluar dari penjara kesendirian, ghetto yang eksklusif dan masuk ke dalam konteks pluralitas oleh karena pertaruhan eksistensial gereja adalah sama dengan agama-agama lain yakni: µJHUHMDJHUHMD NLWD VHGDQJ WHUVHUHW WDQSD GD\D NH DUDK LQVLJQL¿NDQVL internal, menjadi eksistensi tanpa arti, dengan amat cepatnya! [...] maupun LQVLJQL¿NDQVLHNVWHUQDO\DQJPHQJDUDKSDGDLUUHOHYDQVLNHKDGLUDQJHUHMD± suatu proses yang sangat menyakitkan hati. Orang tidak merasa kehilangan dan menangis bila gereja tiba-tiba lenyap dan tidak ada lagi’ (Sinaga dkk., (Peny.), 2001: 55).
Dalam konteks yang lebih sempit, sungguh menarik evaluasi Gerrit Singgih atas kerangka teologi salah satu gereja Protestan Indonesia, GPIB37, yaitu Pemahaman Iman, yang kurang berbicara banyak soal pluralitas agama-agama, ditambah keselamatan yang masih dipahami sebatas pada hal rohani/spiritual saja. Akibatnya, dari sejak dokumen teologis-nya GPIB kurang peka pada dimensi sosial dari keselamatan berupa perjuangan penghapusan kemiskinan dan penderitaan, penegakan keadilan dan perjuangan hak-hak asasi manusia.38 Penulis lain, Josef Hehanussa, seorang teolog GPIB dan pengajar teologi di UKDW, juga mendorong terus agar GPIB dan warganya tidak terpaku pada pola pelayanan yang formalistik dengan terus mengupayakan revitalisasi dan refungsionalisasi kehadirannya di tengah keprihatinan masyarakat luas yang terkotak-kotak dalam tatanan ketidakadilan (Hehanussa, 2010:
84
GEMA Vol. 36, No. 1, April 2012 : 69–94
73-87). Jadi, di konteks sempit Kristen seperti GPIB, persoalannya pun kurang lebih sejajar dengan upaya-upaya agar keprihatinan etis-praktis menjadi konsentrasi gereja dalam menghadirkan dirinya di tengah-tengah konteksnya. Pada wilayah etis-praktis-lah tugas panggilan dan pengutusan GPIB menjadi titik berangkat yang baik saat hendak merancang-bangun teologi agama-agamanya. Pada ranah etis-praktis-lah agama-agama secara fungsional dapat lebih banyak memainkan peran, lebih-lebih dalam abad yang penuh teror dan kekerasan.
Penutup Bila Gus Dur masih hidup mungkin ia pun akan berkata, ‘Tuhan tidak perlu dibela, karena Tuhan bisa membela diriNya sendiri’. Lalu ditutup kata-kata pamungkas khas Gus Dur, ‘Gitu aja kok repot!’. Ungkapannya ini layak direnungkan kembali sebagai ajakan untuk keluar GDULSHQMDUDSHQMDUDHNVNOXVL¿WDVEHUXSDNHJDPDQJDQPHQJDWDVQDPDNDQ pikiran, sikap dan perilaku sebagai mewakili Tuhan. Justru dengan penegasan identitas diri yang demikianlah kita malah akan menyuburkan kultur kekerasan tumbuh bak cendawan dimana-mana. Tentu Gus Dur dan kita yang senafas dengannya ingin agar dimana pun umat beragama hadir Tuhan tetap dibiarkan menjadi Tuhan. Tuhan itu tetap Maha Besar, tanpa memerlukan pembuktian akan kebesaranNya. Hak Tuhan tidak perlu dibela-bela, karena Ia tahu apa yang terbaik. Tuhan tidak berkurang harga diriNya tatkala manusia tidak membela-belaNya. Dan kalaupun siapa saja ingin menjadi para pembela Tuhan, belalah Ia karena kasih-sayang-Nya, belalah Ia karena memang tangan dan kaki Tuhan untuk kasih dan belarasa adalah kita semua anak-anak-Nya. Daftar Pustaka Adeney, Bernard T. 2000. Etika Sosial Lintas Budaya, Yogyakarta: Kanisius. Aritonang, Jan S. 2006. Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, Jakarta: BPK-Gunung Mulia. Armstrong, Karen. 2001. Berperang Demi Tuhan: Fundamentalisme dalam Islam, Kristen dan Yahudi, Jakarta-Bandung: SerambiMizan.
Tuhan Tidak Perlu Dibela
85
_______. 2001. Sejarah Tuhan, Bandung: Mizan. Ayoub, Mahmoud M. 2007. 0HQJXUDL.RQÀLN0XVOLP.ULVWHQ3HUVSHNWLI Islam, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru. Banawiratma, J. B. 2002. 10 Agenda Pastoral Transformatif: Menuju Pemberdayaan Kaum Miskin dengan Perspektif Adil Gender, HAM, dan Lingkungan Hidup, Yogyakarta: Kanisius. Berger, Peter L., (Ed.). 1999. 7KH'HVHFXODUL]DWLRQRIWKH:RUOG5HVXUJHQW Religion and World Politics, Grand Rapids, Michigan: Eerdmans. _______. 1991. Langit Suci: Agama Sebagai Realitas Sosial, Jakarta: LP3ES. Bertens, Kees. 1985. Filsafat Barat Abad XX : Prancis, Jakarta: Gramedia. %LI¿)UDQFRAjaran Sosial Paus Yohanes Paulus II, Jakarta: Aptik. Darmaputera, Eka. 1998/9.‘Gereja Mencari Jalan Baru Kehadirannya’, dalam Jurnal Penuntun, Vol. 4, No. 14. Daulay, Richard M. 2009. Amerika vs Irak: Bahaya Politisasi Agama, Jakarta: Penerbit Libri. D’Costa, Gavin, (Peny.). 2009. Mempertimbangkan Kembali Keunikan Agama Kristen: Mitos Teologi Pluralistis Agama-Agama, Jakarta: BPK-Gunung Mulia. den End, Th. van, dan de Jonge, Christian. 1997. Sejaran Perjumpaan Gereja dan Islam, Jakarta: STT Jakarta. Jong, Kees de, ‘Hidup Rukun sebagai Orang Kristen: Spiritualitas dari Segi Theologia Religionum’, dalam Gema Teologi: Jurnal Fakultas Theologia, Vol. 30, No. 2, Oktober 2006. ______, Dialog dan Proklamasi di Era Pluralisme’, dalam Gema Teologi: Jurnal Fakultas Theologia, Vol. 33, No. 1, April 2009. Dister, Nico Syukur. ‘Dialog Antar Umat Beragama: Ketegangan antara Keterbukaan dan Identitas’, dalam Limen: Jurnal Agama dan Kebudayaan, Thn. 6, No. 2, April 2010. Effendy, Bahtiar. 1998. Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina. Eck, Diana L. 1993. Encaountering God: A Spiritual Journey from %R]HPDQWR%DQDUHV, Boston: Beacon Press.
86
GEMA Vol. 36, No. 1, April 2012 : 69–94
Esposito, John L. 2003. Unholy War: Teror Atas Nama Islam, Yogyakarta: Ikon Teralitera. Fiorenza, Elisabeth Schussler. 2007. 7KH 3RZHU RI 7KH :RUG 6FULSWXUH and the Rhetoric of Empire, Minneapolis: Fortress Press. Forward, Martin. 2001. Inter-religious Dialogue: A Short Introduction, Oxford: One World. Greenspan, Alan. 2008. Abad Prahara: Ramalan Kehancuran Ekonomi Dunia Abad Ke-21, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. *ULI¿WKV3DXO-(G Kekristenan di Mata Orang Bukan Kristen, Jakarta: BPK-Gunung Mulia. Hamel, Victor, dkk., (Peny.). 2010. Gerrit Singgih: Sang Guru dari Labuang Baji, Jakarta: BPK-Gunung Mulia. Hanna, Milad. 2005. Menyongsong Yang Lain Membela Pluralisme, Jakarta: Jaringan Islam Liberal dan The Asia Foundation. Hasan, Noorhaidi. 2008. Laskar Jihad: Islam, Militansi, dan Pencarian Identitas di Indonesia Pasca-Orde Baru, Jakarta: LP3ES dan KITLV-Jakarta. Hassan, Muhammad Kamal. 1987. Modernisasi Indonesia: Respon &HQGHNLDZDQ0XVOLP, Jakarta: Lingkaran Studi Indonesia. Hick, John. 2001. Dimensi Kelima: Menelusuri Makna Kehidupan, Jakarta: 5DMD*UD¿QGR3HUVDGD Johnson, James Turner. 2002. Ide Perang Suci dalam Tradisi Islam dan Barat, Yogyakarta: Qalam. Jacobs, Tom. 2002. Paham Allah dalam Filsafat, Agama-Agama, dan Teologi, 2002, Yogyakarta: Kanisius Jurnal Teologi GEMA Duta Wacana, No. 47 tahun 1994. Kleden, Ignas. 2010. ‘Masyarakat Post-Secular: Tuntutan Aktualisasi Relasi Akal dan Iman’, dalam BASIS, No.09-10, Tahun ke-59. Knitter, Paul F. 2010. Satu Bumi Banyak Agama: Dialog Multi Agama GDQ7DQJJXQJ-DZDE*OREDO, Jakarta: BPK-Gunung Mulia. ______. 2008, Pengantar Teologi Agama-Agama, Yogyakarta: Kanisius. Kumpulan Makalah Studi Intensif Tentang Islam (SITI) Angkatan IX, Kerjasama PSAA UKDW, LPPS GKJ-GKI, Sinode GKJ, Sinode GKI, 18-28 Juli 2011, tidak diterbitkan.
87
Tuhan Tidak Perlu Dibela
Kung, Hans, µ7RZDUGD:RUOG(WKLFRI:RUOG5HOLJLRQV¶, dalam &RQFLOLXP, 1990/2, London: SCM Press. Lefebure, Leo D., 2006, Penyataan Allah, Agama, dan Kekerasan, Jakarta: BPK-Gunung Mulia. Locher-Scholen, Elsbeth, 1996, Etika yang Berkeping-keping: Lima Telaah Kajian Aliran Etis dalam Politik Kolonial 1877-1942, Jakarta: Djembatan. MAARIF: Arus Pemikiran Islam dan Sosial, Vol. 6, No. 1 – April 2011. Madjid, Nurcholish, 1999, &LWD&LWD3ROLWLN,VODP(UD5HIRUPDVL, Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina. ______. 1998. Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan ‘Beberapa Renungan Tentang Kehidupan Keagamaan Untuk Generasi Mendatang’, dalam Ulumul Qur’an, 1993, No. 1, Vol. IV. _______. 1992. Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan, Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina. Muzaffar, Chandra, 2004, Muslim, Dialog dan Teror, Jakarta: Profetik. Naim, Ngainun dan Sauqi, Achmad, 2010, Pendidikan Multikultural: Konsep dan Aplikasi, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. Nouwen, Henri, 1988, Yang Terluka Yang Menyembuhkan, Yogyakarta: Kanisius. Pannikar, Raimundo, 2004, &KULVWRSKDQ\7KH)XOOQHVVRI0DQ, Maryknoll, New York: Orbis Books. ______. 1994. Dialog Intra Religius, Yogyakarta: Kanisius. Permata, Ahmad Norma, (Ed.). 2000. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Metodologi
Studi
Agama,
Prasetyo, Eko. 2002. Membela Agama Tuhan: Potret Gerakan Islam GDODP3XVDUDQ.RQÀLN*OREDO, Yogyakarta: Insist Press. Setio, Robert. 2006. Membaca Alkitab Menurut Pembaca: Suatu Tafsir Pragmatis, Yogyakarta: Duta Wacana UP. ______. ‘Teks Peperangan dalam Konteks Perang: Pandangan Awal Untuk Pembaca Fungsional’, dalam Forum Biblika: Jurnal Ilmiah Populer, 2004, No. 16.
88
GEMA Vol. 36, No. 1, April 2012 : 69–94
Shenk, Calvin E. 1997. :KR'R
Memasuki
Milenium
Ketiga,
Singgih, Emanuel Gerrit. 2010. ‘Film Jermal dan Perumpamaan Si Anak Hilang’, Yogyakarta, tidak diterbitkan. _______. 2009. Dua Konteks: Tafsir-Tafsir Perjanjian Lama sebagai Respons atas Perjalanan Reformasi di Indonesia, Jakarta: BPK-Gunung Mulia. _______. 2009. Menguak Isolasi, Menjalin Relasi. Jakarta: BPK-Gunung Mulia. _______. 2005. Mengantisipasi Masa Depan: Berteologi dalam Konteks GL$ZDO0LOHQLXP,,,, Jakarta: BPK-Gunung Mulia. _______. 2000. Berteologi dalam Konteks: Pemikiran-pemikiran Mengenai Kontekstualisasi Teologi di Indonesia, Jakarta-Yogyakarta: BPKGunung Mulia dan Kanisius. Soelle, Dorothee. 2001. 7KH 6LOHQW &U\ 0\VWLFLVP DQG 5HVLVWDQFH, Minneapolis: Fortress Press. Soetapa, Djaka. 1991. Ummah: Komunitas Religius, Sosial dan Politis dalam Al-Qur’an, Yogyakarta: Duta Wacana University Press. Sterkens, Carl, (Eds.). 2009. 5HOLJLRQ &LYLO 6RFLHW\ DQG &RQÀLFW LQ Indonesia, Zurich: LIT Verlag Sugiharto, I. Bambang dan Rachmat W., Agus. 2005. Wajah Baru Etika dan Agama, Yogyakarta: Kanisius.
Tuhan Tidak Perlu Dibela
89
Susanto, Trisno S., ‘Perihal Kristen Liberal di Indonesia: Sketsa Pergulatan Th. Sumartana’, dalam Jurnal Teologi Proklamasi, Edisi No. 5 / Th. 3 / Feb. 2004. Talbot, Trobe and Chanda, Nayan, (Eds.). 2001. The Age of Terror: American and The World After Sept 11, New York: Basic Book. Tim Balitbang PGI (Peny.). 2000. Meretas Jalan Teologi Agama-Agama di Indonesia, Jakarta: BPK-Gunung Mulia. Vigil, Jose Maria, (Ed.). 2010. 7RZDUG$3ODQHWDU\7KHRORJ\$ORQJWKH Many Paths of God, Montreal: Dunamis Publishers. Wahid, Abdurrahman. 1999. Tuhan Tidak Perlu Dibela, Yogyakarta: LKiS. Weber, Max. 2006. Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Catatan Akhir 1 Judul paper ini dipengaruhi oleh salah satu artikel dalam buku kumpulan tulisan Gus Dur. Lihat Abdurrahman Wahid, Tuhan Tidak Perlu Dibela, 2011, Yogyakarta: LKiS. Paper ini gubahan Paper Akhir Semester Mata Kuliah Teologi Agama-Agama di semester gasal. 2 Lihat studi mantan Sekretaris Umum PGI (2004-2009), Richard M. Daulay, yang merupakan tesis MA-nya di Kajian Hubungan Internasional, UGM. Ia menemukan kekuatan kaum ‘neokon’, yang berasal dari Kristen evangelikal-pantekostal sebagai berada dibelakang berbagai kebijakan perang George W. Bush. Lihat dalam Daulay,(2009: 22-32). 3 Bdk. Weber, (2006). Buku ini mencoba membuktikan lewat ulasannya bahwa kekristenan turut bertanggungjawab bagi kapitalisme, yang selain menciptakan kemakmuran di Barat, juga punya sisi gelap pada eksploitasi dunia ketiga oleh Negara-negara Barat. Agus Rachmat menambahkan pengaruh teologi Calvinis dengan penjelasan bahwa ‘paham Calvinisme berandil karena menghubungkan pekerjaan dengan keselamatan: sukses di dunia adalah antisipasi dari hidup di sorga (bdk. tesis Max Weber)’. Lihat Agus Rachmat W., ‘Kultur Individualitas Modern’, dalam Sugiharto, (2005: 143). 4 Faisal Ismail membenarkan bahwa motif ekonomi sesungguhnya menjadi faktor awal yang dalam perjalanannya berkelindan dengan faktor agama. Lihat Faisal Ismail, Ingatan Kolektif Tentang Perang Salib dan Butir-Butir Hikmah Pembelajarannya Bagi Kesinambungan Penguatan Hubungan Muslim-Kristen di Indonesia, 2011, dalam Kumpulan Makalah Studi Intensif Tentang Islam (SITI) Angkatan IX, Kerjasama PSAA UKDW, LPPS GKJ-GKI, Sinode GKJ, Sinode GKI, 18-28 Juli 2011, tidak diterbitkan: 7. 5 Elsbeth Locher-Scholen, Etika yang Berkeping-keping: Lima Telaah Kajian Aliran Etis dalam Politik Kolonial 1877-1942, 1996, Jakarta: Djembatan. Studi Elsbeth membuktikan bahwa politik etis kolonial Belanda jauh dari ide kemakmuran (seperti yang disangkakan semula), namun merupakan pengukuhan superioritas, peneguhan kekuasaan
90
GEMA Vol. 36, No. 1, April 2012 : 69–94
dan penguatan penjagaan atas koloni dengan praktik dominasi dan kekerasan. 6 Istilah ini ada di buku John L. Esposito, Unholy War: Teror Atas Nama Islam, 2003: vii. Baca juga Th. van den End dan Christian de Jonge, Sejaran Perjumpaan Gereja dan Islam, 1997, Jakarta: STT Jakarta. van den End dan de Jong sangat baik menyebut motivasi awal invasi Arab Islam lebih didorong oleh alasan-alasan ekonomi, ketimbang alasan keagamaan (p. 19). Ini ‘setali tiga uang’ dengan kolonialisasi Kristen yang pertama-tama demi motif-motif ekonomi. Motif agama adalah alasan lanjutan yang makin mendapat wujud terjelasnya saat terjadi politisasi atas agama, baik Kristen maupun Islam. Lebih-lebih saat benturan keduanya sering terjadi. 7 John Hick, Dimensi Kelima: Menelusuri Makna Kehidupan, 2001, Jakarta: 5DMD*UD¿QGR3HUVDGD6HQDGDGHQJDQ+LFN0DKPRXG$\RXEPHQJDWDNDQµ7HODK GLNHWDKXLEDKZDDNDUNRQÀLN0XVOLP.ULVWHQVHODPDEHUDEDGDEDGDGDODKkecurigaan’. Lihat Ayoub, (2007: 252). 8 Johnson, (2002: 34). Modernitas sebenarnya selalu dilihat berakar pada Barat yang Kristen. Secara umum dunia Islam agak sulit memisahkan modernisme dan kolonialisme dari kebudayaan Barat yang Kristen ini. 9 ‘Kata Pengantar’ dalam buku Noorhaidi Hasan, Laskar Jihad: Islam, Militansi, dan Pencarian Identitas di Indonesia Pasca-Orde Baru, 2008, Jakarta: LP3ES dan KITLV-Jakarta, h. vii. 10 Noorhaidi Hasan membahas panjang lebar di bab dua bukunya sosok karismatik Ja’far Umar Thalib, Panglima Tertinggi Laskar Jihad. Lihat Hasan, Laskar Jihad: 81-127. Ja’far Umar Thalib adalah satu contoh tokoh kharimatik yang menuai banyak pengikut, OHELKOHELKGLPDVDPDVDNRQÀLN$PERQWDKXQ 11 Bdk. Theo Witkamp, ‘Menuju Suatu Identitas yang Terbuka’, dalam Jurnal Teologi GEMA Duta Wacana, No. 47 tahun 1994: 1-3; Bdk. Knitter, (2010: 35-54). Bdk. Pannikar, (1994: 18-24). Disini Pannikar menggunakan istilah ‘Paralelisme’ untuk maksud yang kurang persis sama dengan ‘Pluralis’. Bdk. juga pendapat Bernard A. Risakotta yang tetap menggunakan tipologi umum: eksklusivis, inklusivis dan pluralis walaupun katanya ‘saya tidak merasa bahagia’ sebab tipe ini terlalu menyederhanakan ketumpangtindihan yang selalu terjadi. Lihat bukunya Adeney, (2000: 260-269). Adeney, dalam kuliah Studi Agama-Agama 06 Desember 2011 menambahkan satu model lain: Perspektivalist, yaitu mengambil sebuah perspektif tertentu dan menjadikannya titik tolak memahami dunia. Ini adalah pengaruh cara berpikir postmodern. Uraian yang lebih luas terkait model beragama dapat dilihat dalam Knitter, (2008). Di bukunya Knitter mengupas 4 model yang muncul dalam sejarah: Penggantian, Pemenuhan, Mutualis, dan Penerimaan. 12 Saya sendiri tidak terlalu yakin ada diposisi ini. Saya tidak mau terjebak dengan masalah tipologis ini, dan lebih baik untuk mengembangkan cara berpikir dialektis di antara segi partikularitas agama dengan upaya untuk terus terbuka bersedia belajar dari agama-agama lain. Dasar berpikir saya antara lain dengan mempertimbangkan kritik Kanneth Surin bahwa upaya kaum pluralis telah mereduksi kenyataan partikular dalam DJDPDDJDPD NDUHQD D¿OLDVLQ\D SDGD KHJHPRQL EXGD\D %DUDW /LKDW .DQQHWK 6XULQ ‘Politik Wacana: Pluralisme Keagamaan pada Masa Hamburger McDonald’, dalam Gavin D’Costa (Peny.), Mempertimbangkan Kembali Keunikan Agama Kristen: Mitos Teologi Pluralistis Agama-Agama, 2009, Jakarta: BPK-Gunung Mulia: 311-340. Lebih jauh, pengandaian kaum pluralis soal semua agama memiliki dasar yang satu dan sama
Tuhan Tidak Perlu Dibela
91
jelaslah jauh dari ‘kerendahan hati epistemologis’ bahwa agama-agama lain memang kenyataan yang ‘asing’ tidak dapat dikuasai karena mereka ‘sang liyan’ (the other). Justru karena berbeda (asimetris), maka dialog itu menjadi memungkinkan. Bukan sebaliknya (simetris), karena itu dialog menjadi tidak mungkin. Lihat dalam Nico Syukur Dister, ‘Dialog Antar Umat Beragama: Ketegangan antara Keterbukaan dan Identitas’, dalam Limen: Jurnal Agama dan Kebudayaan, Thn. 6, No. 2, April 2010: 49-67. 13 Uraian pada 3 model/tipe orientasi keagamaan ini, penulis terbantu dengan buku-buku dalam fn. 27, juga tulisan Rakhmat, ‘Benarkah Agama Menyebabkan Tindakan Kekerasan?’, dalam MAARIF, 2011: 172-174. Rakhmat dalam mengembangkan tulisannya ini juga dipengaruhi buku Diana L. Eck, Encountering God: A Spiritual -RXUQH\IURP%R]HPDQWR%DQDUHV, 1993, Boston: Beacon Press: 169. Eck menggunakan WLJDRULHQWDVLNHDJDPDDQLQLXQWXNPHQJLGHQWL¿NDVLWLJDWLSHDNWRUDJDPDGDODPNRQÀLN bernuansa agama. 14 Bahtiar Effendy membuat tipologi Islam Indonesia dalam dua model: (1) Substansialistik dan (2) legalistik-formalistik-skripturalistik. Lihat Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, 1998, Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina. 15 Muhammad Kamal Hassan, 0RGHUQLVDVL ,QGRQHVLD 5HVSRQ &HQGHNLDZDQ Muslim, Jakarta: Lingkaran Studi Indonesia, 1987: 8-9. Hassan mencatat bahwa kurangnya keterlibatan umat Islam dalam proses pembangunan / modernisasi mendorong Orde Baru mencari patner dari kalangan sekuler, baik Kristen dan kaum sosialis. 16 Inilah makanya Eka Darmaputera pernah berujar bahwa kekeristenan (demikian agama lain) tumbuh dan besar dalam mentalitas ‘anak tunggal’, lihat Eka Darmaputera ‘Tugas Panggilan Bersama Agama-Agama di Indonesia’ dalam T.B. Simatupang (Ed.), Peranan Agama-Agama dan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Dalam Negara Pancasila Yang Membangun, 1996, Jakarta: BPK-Gunung Mulia: 131. Kata-kata Eka ini sejalan dengan pandangan E.G. Singgih bahwa mengapa sampai sekarang tidak ada corak teologi lain yang dikembangkan oleh kekristenan Indonesia dalam hubungannya dengan negara, selain berteologi dengan berlindung pada jargon nasionalisme. Lihat E. Gerrit Singgih, Mengantisipasi Masa Depan, 2005: 110. Th. Sumartana menganalisa kegagalan teologi Prostestan Indonesia disebabkan kuatnya ‘paradigma Kraemer’ yang anti dialog dan kuat berlindung pada negara. Lihat Trisno S. Susanto, ‘Perihal Kristen Liberal di Indonesia: Sketsa Pergulatan Th. Sumartana’, dalam Jurnal Teologi Proklamasi, Edisi No. 5 / Th. 3 / Feb. 2004: 38-49. Analisa ini adalah satu cara memahami mengapa ekspresi ketidaksenangan kalangan Islam pada kekristenan, karena diduga ada hubungannya dengan kerangka berteologi yang dibangun kekristenan Indonesia, yang memang sudah mengandaikan ia berlindung pada negara seperti yang diamati oleh Eka Darmaputera, E.G. Singgih, dan Trisno S. Susanto di atas. 17 Singgih, (2005: 165). Lihat juga Karen Armstrong, Berperang Demi Tuhan: Fundamentalisme dalam Islam, Kristen dan Yahudi, 2001, Jakarta-Bandung: SerambiMizan. Sebagai catatan lain bahwa ‘Die le Veut’ (sebenarnya berarti: ‘Tuhan menghendakinya’) adalah kata-kata (homili) Paus Urbanus II di tahun 1095 dalam sebuah pertemuan (konsili) di Clearmont (Prancis) untuk mengobarkan semangat Perang Salib I tahun 10951099 ke Yerusalem. Dengan begitu, perang telah disucikan atas nama ‘kehendak Tuhan’. 18 Menurut catatan David Shenk pada 6 Desember 1992 terjadi ‘Tragedi Ayodhya’, dimana ada 200.000 pemeluk agama Hindu, India, penyembah Dewa Ram
92
GEMA Vol. 36, No. 1, April 2012 : 69–94
menghancurkan sebuah Masjid yang berusia 400 tahun, hanya karena sebuah keyakinan bahwa masjid itu didirikan di tempat dewa mereka, Ram, lahir lebih dari 5000 tahun silam. Selama lebih dari satu minggu kekerasan sektarian itu membunuh 1000 orang kaum Muslim. Lihat David W. Shenk, Ilah-Ilah Global: Menggali Peran Agama-Agama dalam Masyarakat Modern, 2001, Jakarta: BPK-Gunung Mulia: xxvii. Ada juga joke menarik \DQJGLFHULWDNDQROHK3HWHU%HUJHUGDODPNRQWHNVNRQÀLN3URWHVWDQ±.DWROLNGL,UODQGLD Utara. Kisah ini memperlihatkan rumitnya masalah ideologi agama yang telah begitu berakar dalam kesadaran komunitas hingga tidak rasional dan lucu. Dikisahkan: As a man walks down a dark street in Belfast, a gunman jumps out of a doorway, holds a gun to his head, and asks, ‘Are you Protestant or Catholic?’ The man stutters, ‘Well, actually, I’m an atheist’. ‘Ah yes’, says the gunman, ‘but are you a Protestant or a Catholic atheist?’. Lihat Peter L. Berger, ‘The Desecularization of the World: A Global Overview’, dalam Peter L. Berger (Ed.), 7KH'HVHFXODUL]DWLRQRIWKH:RUOG5HVXUJHQW5HOLJLRQDQG:RUOG3ROLWLFV, 1999, Grand Rapids, Michigan: Eerdmans: 15. 19 Berger, (1991). Perlu ditambahkan informasi bahwa Berger, walaupun keukeuh dengan metodologi atheis-nya, sementara ia juga seorang yang taat beragama didapat dalam perkuliahan Studi Agama-Agama oleh Prof. Bernard A. Risakotta pada 20 September 2011. Pak Bernie ketemu Berger di China pada dua tahun lalu, dan sempat menanyakan hal ini, dan Berger tetap seorang penganut metodologi atheis. Dalam metodologi atheis seorang peneliti (sosiolog) tidak punya kepentingan untuk beriman pada Tuhan atau terikat pada satu institusi agama tertentu. Penelitiannya harus murni GHPL PHQFDSDL RE\HNWL¿WDV WHUPDVXN GDUL µNDFDPDWD¶ 7XKDQ \DQJ PHPEXDW WLGDN netral. Saya rasa dunia teologi tidak akan seekstrim Berger. Sementara itu Kees de Jong PHPEXDWGH¿QLVLWHRORJLDJDPDDJDPD\DQJPHQXUXWVD\DPHPSHUOLKDWNDQNHWHUOLEDWDQ GDODPVLWXDVLULLOMXVWUXNDUHQDEHUDQJNDWGDULSHUVSHNWLIDJDPDVHQGLUL'H¿QLVLLWXDGDODK µUHÀHNVLWHRORJLVWHQWDQJPDNQDGDQQLODLDJDPDDJDPDNHSHUFD\DDQNHSHUFD\DDQGDQ keyakinan-keyakinan di dunia ini dalam terang iman masing-masing agama’. Lihat Kees de Jong, ‘Hidup Rukun sebagai Orang Kristen: Spiritualitas dari Segi Theologia Religionum’, dalam Gema Teologi: Jurnal Fakultas Theologia, Vol. 30, No. 2, Oktober 2006: 50. 20 Ada dua istilah yang sebenarnya perlu dijelaskan, berbeda tapi saling berkaitan: Pluralisme dan Multikultural. Pluralisme mengadung arti kemajemukan agama, dan multikulturalisme adalah kemajemukan budaya. Namun, kalau agama dimengerti sebagai salah satu ekspresi budaya manusia, kedua istilah ini bisa saling mengisi dan dipakai. Lihat Sauqi, (2010: 51). 21 Di masa Orde Baru upaya untuk mempertahankan stabilitas dan menata masyarakat dalam kesatuan yang seragam nampak dalam politik pemerintah untuk memberlakukan Pancasila sebagai Azas Tunggal. Lihat Bernard A-Risakotta, ‘Religion, Violence and Diversity: Negotiating the Boundaries of Indonesian Identity’, dalam Carl Sterkens (Eds.), 5HOLJLRQ &LYLO 6RFLHW\ DQG &RQÀLFW LQ ,QGRQHVLD, 2009, Zurich: LIT Verlag: 9-26. 22 Madjid, ‘Beberapa Renungan Tentang Kehidupan Keagamaan Untuk Generasi Mendatang’, dalam Ulumul Qur’an, 1993, No. 1, Vol. IV: 19. Istilah hanif berasal dari akar verba hanafa yang artinya ‘he inclined or declined’. Di masa pra Islam, hanif EHUDUWLND¿U7HWDSLSDGDPDVD,VODPMXVWUXPHQXQMXNNHSDGDµPXVOLP¶\DLWXRUDQJ\DQJ berpaling dari agama salah ke agama benar, yaitu Islam. Lihat Soetapa, 1991: 118-122.
Tuhan Tidak Perlu Dibela
93
23 Lihat dalam buku yang diangkat dari disertasi-nya sendiri, Eka Darmaputera, (1992: 130). Lihat juga dalam Soetapa, (1991: 260). 24 Penulis selain memeriksa buku Henri Nouwen, Yang Terluka Yang Menyembuhkan, 1988, Yogyakarta: Kanisius, juga terbantu dengan tulisan Gerrit Singgih \DQJPHQHUDSNDQSHPLNLUDQ1RXZHQGDODPNRQWHNVNRQÀLNGL,QGRQHVLDVHUWDDQMXUDQ kepada rekonsiliasi. Lihat dalam Singgih, (2009: 47-64). 25 Henri Nouwen saya rasa sejalan, dan dalam arti tertentu teorinya diberi bentuk, oleh Banawiratma saat berbicara tentang FRQÀLFWUHVROXWLRQ yang bergerak dalam tahapWDKDSNRQÀLNVHEDJDL NHSHGXOLDQPDQXVLDZL bersama menjadi (2) kepeduliaan iman menjadi (3) WDQJJXQJMDZDELPDQ dan terakhir (4) dialog aksiQ\DWDPHQJDWDVLNRQÀLN Lihat Banawiratma, (2002: 36-39). 26 Ismail, (2011: 8). Dalam tulisannya ini Ismail juga menolak tesis Samuel P. Huntington tentang µ7KH&ODVKRI&LYLOL]DWLRQV¶. Lihat juga tulisan Aritonang yang tidak sependapat di beberapa kalangan agar ‘tumpas kelor’ melupakan ingatan masa lalu, yang menurut Aritonang masa lalu baik untuk dijadikan pelajaran bersama. Lihat Aritonang, (2006: 621). 27 Aritonang, (2006: 608-609) dan fn. no. 12. Lihat juga Singgih, (2004: 398). Penting mengangkat sebuah contoh dialog buruk antara sang teolog raksasa, Karl Barth, yang bertemu dengan teolog Protestan Srilanka, D.T. Niles di tahun 1935. Contoh ini VDQJDW ND\D GLUHÀHNVLNDQ WHQWDQJ PDVDODK \DQJ VHULQJ PHQJJDQJJX GLDORJ VHKLQJJD perlu dipatahkan bersama. Demikian dikisahkan: Barth told Niles that ‘Other religions are just unbelief’. Niles asked him how many Hindus he had met. Barth told him, ‘None’. Niles then queried how he knew religion was unbelief. Barth replied, ‘A priori’. Niles concluded, ‘I simply shook my head and smiled’. Lihat Forward, (2001: 74). 28 Penting juga mempertimbangkan masukan Milad Hanna. Ia seorang guru besar di Mesir, tokoh HAM dan dialog agama-agama. Ia juga anggota jemaat Kristen Koptik di Mesir. Tentu ia bicara pertama-tama di konteks Timur Tengah dan Mesir yang tersegregasi dalam fanatisme golongan-golongan agama dan salah satunya terhadap komunitas minor di Mesir, seperti anggota Kristen Koptik. Ia mengusulkan ‘solusi alternatif’ dari pendekatan budaya (qabulul akhar) untuk mengatasi masalah terorisme (di abad modern), serta warisan ‘noda hitam’ Perang Salib (&UXVDGH) dalam sejarah hubungan Islam dan Kristen. Katanya, ‘penyelesaian problem terorisme adalah soal bagaimana pemikiran dan kebudayaan dapat menghadapi dan berpersuasi dengan kelompok yang WHU]DOLPL¶. Hanna juga menolak tesis Huntington yang sangat berbahaya. Lihat Milad Hanna, Menyongsong Yang Lain Membela Pluralisme, 2005, Jakarta: Jaringan Islam Liberal dan The Asia Foundation: 55, 167, 217. Pendekatan budaya tentu dekat dengan jembatan etis-praktis yang berkonsentrasi pada isu-isu kemanusiaan dan keadilan. 29 Mohamad, “Reformasi, Katanya. Tapi Mungkin ‘Tumpas Kelor’ terhadap Ingatan”, dalam Tempo 25 Mei 2003: 22-23, sebagaimana dikutip oleh Aritonang, (2006: 621). Singgih juga mengingatkan ‘Pentingnya Arti Sejarah Masa Lalu bagi Konteks Kita Sekarang’ dalam E. G. Singgih, Berteologi dalam Konteks: Pemikiran-Pemikiran Mengenai Kontekstualisasi Teologi di Indonesia, 2000, Jakarta-Yogyakarta: BPK Gunung Mulia dan Kanisius: 125-131. 30 Knitter, (2008: 150). Istilah ‘mistik-profetis’ ini tidak bisa terpisah atau ditiadakan salah satunya. Justru point penting Panikkar adalah jembatan mistik yang mau dibangunnya tidak pernah bersifat tertutup (karena paham kenosis), apalagi berpusat pada
94
GEMA Vol. 36, No. 1, April 2012 : 69–94
diri sendiri (egologi). Namun mistik punya misi profetis untuk ‘konstruksi dan perubahan sosial’. Makanya, dalam sebuah keutuhan: mistik harusnya profetis. 31 Singgih, (2009: 205-207). Di buku ini pada halaman 207, 213, Singgih membandingkan dengan tradisi gerejanya sendiri, Calvinisme, yang menurutnya tidak mendorong perbaikan masyarakat karena tekanan yang terlalu besar pada human depravity. 0HQDULNQ\D0DUWLQ)RUZDUGPHPEHULGH¿QLVLGLDORJMXJDVHEDJDLµWUDQVIRUPDVL¶\DLWX ‘pandangan-pandangan hidup dibicarakan sedalam-dalamnya dan mengarah pada kesimpulan penting dan mungkin juga transformatif bagi satu peserta atau lebih’. Lihat Forward, (2001: 12) 32 Armstrong bicara panjang lebar soal klaim-klaim agama-agama soal sorga dan siapa masuk sorga. Lihat Karen Armstrong, (2001). 33 Saya punya dugaan kuat bahwa dibalik ungkapan Vivekananda (dari perspektif Hindu) yang kritis soal kekristenan, ia juga punya harapan agar Yesus tidak ditampilkan dengan wajah Barat yang triumphalistik, namun sebagai ‘orang Timur’ dan ‘Sang Guru’ yang bersahabat. Dan menurut saya, ini cocok dengan gambaran ‘Kristus dari bawah’ (Christology from Below). Lihat Vivekananda, ‘Kristus Sang Utusan’, dalam Paul J. *ULI¿WKV(G Kekristenan di Mata Orang Bukan Kristen, 2008, Jakarta: BPK-Gunung Mulia: 369, 372. Demikian Dalai Lama XIV (dari perspektif Budhis) secara simpatik mengungkapkan kesamaan Yesus dengan Budha sebagai teladan toleransi dan melayani VHVDPDWDQSDHJRLV6D\DNLUD\DQJSHQWLQJGDODPUHÀHNVL'DODL/DPD;,9LWXEDKZD Yesus-pun di mengerti sebagai ‘Sang Guru’ yang hidup sederhana dan penuh kasih. Lihat Dalai Lama XIV, µ.HUXNXQDQ $JDPD GDQ &XSOLNDQ GDUL :DZDQFDUDZDZDQFDUD GL Bodhgaya’GDODP*ULI¿WKV(G Kekristenan di Mata Orang Bukan Kristen: 299. 34 Lihat pandangan dari perspektif Hindu soal pentingnya isu kesejahteraan/ keselamatan manusia global menjadi prioritas pertama agama-agama. Saya kira pandangan ini juga mewakili ‘jembatan etis praktis’. Lihat K. L. Seshagiri Rao, ‘Interfaith Theology: A Hindu Perspektive’: 150-151. Dari perspektif Budhis saya kira tidak berbeda berharap agar agama-agama dapat punya perhatian bersama terhadap krisis kemanusiaan dan keadilan sosial. Lihat David R. Loy, µ%XGGKLVW5HÀHFWLRQVRQ,QWHUIDLWK7KHRORJ\¶: 86. Semua artikel ada dalam Jose Maria Vigil (Ed.), 7RZDUG$3ODQHWDU\7KHRORJ\$ORQJ the Many Paths of God, 2010, Montreal: Dunamis Publishers. 35 E.G. Singgih, ‘Film Jermal dan Perumpamaan Si Anak Hilang’, 2010,
95
0XWXDO,QÀXHQFHV2I,QGRQHVLDQ$QG'XWFK3HQWHFRVWDO&KXUFKHV
MUTUAL INFLUENCES OF INDONESIAN AND DUTCH PENTECOSTAL CHURCHES Cornelis van der Laan Guru Besar dan Koordinator Program Magister dalam Studi Pantekostalisme, Free University, Amsterdam
Abstract: The relationship between Pentecostal churches in the Netherlands and Indonesia has long taken place as one can see it happen since before the independence of Indonesia. But, what is going on in that relationship has hardly been discussed academically. As a result of a research RQWKHWKHPHWKLVDUWLFOHWULHVWR¿OOWKHJDS7KHKLVWRULFDO past is discussed in periodical frame. While revealing events and names of prominent people in the past, this article also touches the overriding theological thoughts. It shows that QRW RQO\ WKH 'XWFK LQVWLOOV LQÀXHQFHV LQWR WKH ,QGRQHVLDQ but, the opposite is also true, the Indonesian brings changes to the Ducth Pentecostal churches. Key Words : Pentecostalism, Mennonite, Dutch, Indonesian
Charismaticism,
Abstrak: Hubungan antara gereja-gereja Pentakostal yang berada di Indonesia dan di Belanda sudah berlangsung lama, sejak sebelum kemerdekaan Republik ini. Tetapi apa saja yang terjadi dalam hubungan itu, belum pernah dikuak secara serius. Tulisan ini merupakan hasil riset mengenai hubungan tersebut. Dari penelitian tersebut kita tidak hanya belajar tentang sejarah masa lalu (yang dibagi dalam beberapa periode) namun juga fenomena yang terjadi dewasa ini. Sejarah memiliki pengaruh yang kuat hingga sekarang, termasuk dalam soal-soal mendasar seperti corak teologi. Studi ini juga menguak kenyataan bahwa tidak saja pihak Belanda yang menanamkan pengaruhnya di Indonesia, sebaliknya orang-orang Pentakostal Indonesia telah “menularkan” pengaruhnya ke orang-orang Pentakostal di Belanda.
95
96
GEMA Vol. 36, No. 1, April 2012 : 95–126
Kata-kata kunci: Pentakosta, Karismatik, Mennonite, Belanda, Indonesia
1. Introduction The focus of this paper is on the contribution of Dutch Pentecostal missionaries to the rise of Pentecostalism in Indonesia until its independence and the subsequent contribution of Indonesian Pentecostals immigrant to Pentecostalism in the Netherlands after the independence of Indonesia. It will include some recent developments in the dialogue with traditional churches. The Pentecostal and Charismatic Movements have become a major stream within Christianity in Indonesia. Up to now no comprehensive and analytical study of the history of these movements has been published. A number of these groups have occasionally issued uncritical descriptions of their denominational history, with little theological and historical analysis. The attention the Pentecostals and Charismatics have received in the more academic works on Christianity in Indonesia is not in proportion to their VLJQL¿FDQFH,QDOORIWKHVHSXEOLFDWLRQVRQO\OLWWOHFUHGLWLVJLYHQWRWKH role the early Dutch Pentecostal Movement played. A number of primary sources not properly used up to now indicate WKDW WKH 'XWFK 3HQWHFRVWDO 0RYHPHQW KDG D VWURQJ LQÀXHQFH RQ WKH emergence of Pentecostalism in Indonesia. A thorough research of all primary sources available is needed to ascertain the relations between the Pentecostal Movements in the Netherlands and Indonesia. This has to be complemented with a historical and sociological study of the colonial SHULRGDQGE\¿HOGUHVHDUFKLQFOXGLQJLQWHUYLHZLQJH\HZLWQHVVHVRIWKH formative years of Pentecostalism. $IWHU D VKRUW LQWURGXFWLRQ WR PRUH JHQHUDO LVVXHV DV GH¿QLWLRQ and origins of Pentecostalism, this paper will present some of the main FKDUDFWHUVLQWKHPXWXDOLQÀXHQFHVRI'XWFKDQG,QGRQHVLDQ3HQWHFRVWDOLVP 'H¿QLWLRQDQG1XPEHUV During the past century World Christianity nearly quadrupled, just like the world population. On a closer look major geographic changes in Christianity have taken place, sometime referred to as a shift from the North to the South. While the Christian presence in proportion to the
0XWXDO,QÀXHQFHV2I,QGRQHVLDQ$QG'XWFK3HQWHFRVWDO&KXUFKHV
97
population decreased in Europe and to a lesser extend in North America, it showed a strong increase in South America, Africa and Asia. Statistics like those of the World Christian Database attribute the increase for a large part WRWKHHPHUJHQFHRI3HQWHFRVWDODQG&KDULVPDWLF&KULVWLDQLW\:LWK¿JXUHV well above 600 million, this Charismatic Christianity now accounts for more than 25% of World Christianity. Early Pentecostal writers such as Stanley H. Frodsham (1926), Donald Gee (1941) and Carl Brumback (1946) saw as the movement’s most outstanding characteristic the teaching of the Spirit Baptism as an experience different from conversion, manifested by the speaking in WRQJXHV7KLVWKHRORJLFDOGH¿QLWLRQKDVWZRLGHQWL¿FDWLRQPDUNHUVRI6SLULW baptism: it is different from conversion and it is manifested by tongues. 7KH¿UVWRIWKHVHLVVXHVLVJHQHUDOO\DFFHSWHGDPRQJ3HQWHFRVWDOVZKLOH the second is more controversial, certainly outside North America. Walter -+ROOHQZHJHUWKHUHIRUHTXDOL¿HGWKHVHFRQGPDUNHUE\VD\LQJ³XVXDOO\ but not always, associated with speaking in tongues” (Hollenweger, 1972: xix). ,QWKH¿UVWKDOIRIWKHSUHYLRXVFHQWXU\VDZWKHHPHUJHQFHRIZKDW we now call ”Classical” Pentecostalism. For the Classical Pentecostals WKH DERYH GH¿QLWLRQ ZDV XVHIXO DQG LW UHPDLQV VR ZKHQ +ROOHQZHJHU¶V addition is taken into consideration. The second half of the previous century saw the rise of the Charismatic Renewal, sometime called ”second wave”, to which a ”Neo-charismatic: or ”third wave” category was later added. While the ”second wave”, when limited to the charismatic renewal PRYHPHQWVZLWKLQWKHPDLQOLQHFKXUFKHVLVVWLOODQLGHQWL¿DEOHFDWHJRU\ according to the editors of the 1HZ,QWHUQDWLRQDO'LFWLRQDU\RI3HQWHFRVWDO DQG&KDULVPDWLF0RYHPHQWV(1,'3&0) the ”third wave” is a “catch-all FDWHJRU\´WKDWLVQHDUO\LPSRVVLEOHWRGH¿QH [It] comprises 18,810 independent, indigenous, postGHQRPLQDWLRQDOGHQRPLQDWLRQVDQGJURXSVWKDWFDQQRWEHFODVVL¿HG either as pentecostal or charismatic, but share a common emphasis on the Holy Spirit, spiritual gifts, Pentecostal-like experiences (not Pentecostal terminology), signs and wonders, and power encounters. In virtually every other way, however, they are as diverse as the world’s cultures they represent (Burgess, 2001: xx). The broadening of the categories implies a broadening of the GH¿QLWLRQ 7KH HDUOLHU GH¿QLWLRQ VXLWHG &ODVVLFDO 3HQWHFRVWDOLVP EXW not so the Charismatic Renewal and much less so the Neo-charismatic. 7KHUHIRUH PRUH LQFOXVLYH GH¿QLWLRQV DUH VXJJHVWHG ,Q KLV Introduction
98
GEMA Vol. 36, No. 1, April 2012 : 95–126
to Pentecostalism (2004), Allan Anderson has chosen to follow the lead of Robert Anderson, emphasizing experience and practice rather than WKH GRFWULQH LQIRUPLQJ DQ DSSURSULDWH GH¿QLWLRQ DQG VXJJHVWV WKDW LW LV “a movement concerned primarily with the H[SHULHQFH of the working of the Holy Spirit and the practice of spiritual gifts” (Anderson, 2004: 14). %XLOGLQJ XSRQ WKLV EURDG GH¿QLWLRQ$OODQ$QGHUVRQ LQ Studying Global Pentecostalism LGHQWL¿HV IRXU RYHUODSSLQJ W\SHV &ODVVLFDO Pentecostals; 2. Older Church Charismatics; 3. Older Independent and Spirit Churches; 4. Neo-Pentecostals and Neo-Charismatics (Anderson, 2010). Although the debate will no doubt go on, for the present time, this taxonomy seems to be a promising way to address the whole range of Pentecostalism. 1.2 Beginning Pentecostalism Scholars today prefer to speak of multiple origins of Pentecostalism. Reference is made to the role of revival movements in Wales (1904-1905), Pandita Ramabai’s Mukti Mission in India (1905-1907) and the Korean Pentecost (1903 and 1907-1908)(Anderson, 2004: 35-38). Nevertheless the Azusa Street Revival of 1906 has become an icon of the beginning of the worldwide Pentecostal Movement. The Mission emphasized the unity amongst Christians. In every issue of the periodical The Apostolic Faith the colophon stated: The Apostolic Faith Movement stands for the restoration of the faith once delivered unto the saints – the old time religion, camp meetings, revivals, missions, street and prison works and Christian Unity everywhere. :H DUH QRW ¿JKWLQJ PHQ RU FKXUFKHV EXW VHHNLQJ WR GLVSODFH dead forms and creeds or wild fanaticism with living practical Christianity. “Love, Faith, Unity” is our watchword, and “Victory through the Atoning Blood” our battle cry. We see here both continuity as well as discontinuity. A connection is made with the faith handed over by tradition, but there is also a replacing of dead forms with a living practical Christianity. The overall theme is Love, Faith and Unity. In the Azusa Street Revival everyone was equal in Christ, irrespective of ethnic background, social status or gender. Not only Whites and Blacks were visiting the meetings, but also many Hispanics, Asians
0XWXDO,QÀXHQFHV2I,QGRQHVLDQ$QG'XWFK3HQWHFRVWDO&KXUFKHV
99
and Indians (Robeck, 2006). The Holy Spirit brought unity in the midst of diversity. Azusa Street is an example for any society where tolerance towards immigrants and ethnic minorities is decreasing. 1.3 The Netherlands 1907 A century ago The Netherlands was not at all the multicultural society of today. Immigration was small scaled, certainly non-Western immigration. When it comes to church life, the differences were huge. For Gerrit Polman (1868-1932), founder of the Dutch Pentecostal Movement, the unity among Christians was a main thrust (van der Laan, 1991). For him the Pentecostal PHVVDJHZDVDEOHVVLQJRI*RG¶V6SLULWIRUDOOFKXUFKHV,QWKH¿UVWLVVXH of his periodical Spade Regen (Latter Rain, April 1908) he wrote: “It is wonderful to see that God’s children of different Churches or Societies and the Salvation Army are coming together, praying for the baptism in the Spirit. Where God’s Spirit is poured out, all separations fall away and one unites at the feet of the Cross and one just looks at the Saviour of all men”. The international revival was seen in eschatological perspective. James 5:7-8, associating the latter rain with the second coming of the Lord, was quoted in full as the paper’s subtitle. The outpouring of the Holy Spirit with the speaking in tongues was a sign that Jesus was coming soon. In this period of the latter rain the gifts were restored in order to prepare the church as the bride for the eschatological wedding feast. As a preparation to the second advent the EULGHQHHGHGWREHSXUL¿HGVDQFWL¿FDWLRQRIWKHEHOLHYHUV DQGWKHJRVSHO needed to be preached to all nations (foreign mission). 2. Pentecostalism in Indonesia 2.1 Statistics In the national census of 1930 (only once held during Dutch rule), twothird of the total population of 60,7 million lived on Java: Javanese (47%) on Central and East Java; Sundanese (15%) on West Java and Madurese (7%) on East Java and Madura.1 The 1930 census only recorded religions of a very small part of the Indonesian population. According to the 2000 census 88% of the then nearly 206 million are Muslim, making Indonesia the country with the largest Muslim following in the world. The same census shows 18 million Christians, or 9% of the population.2 The census
100
GEMA Vol. 36, No. 1, April 2012 : 95–126
only allowed two categories for Christians: Catholics or Protestant. These ¿JXUHV DUH FKDOOHQJHG E\ %DUUHWW .XULDQ DQG -RKQVRQ LQ WKHLU Word &KULVWLDQ (QF\FORSHGLD (2001), who calculate the number of Christians for mid-2000 at nearly 28 million, making 13,1 % of a total population of 212 million (Barrett, 2001: 104). Mainly responsible for the difference is the category crypto-Christians in the latter publication. These are hidden Christians in areas of strong Muslim hostilities. From the 13,1% of Barrett, Kurian and Johnson, 4% are Catholic (8,44 million) and 4,5% (9,45 million) Pentecostal/Charismatic. Johnstone and Mandryk in Operation World (2001) calculate 16% Christians (34 million), 7% are Catholic and 5,1% (15 million) are Pentecostal/Charismatic (10,8 million)(Johnstone and Jason, 2001: 339). A more recent publication by Aritonang and Steenbrink speaks of 17 million Protestants among whom 6 million are Pentecostal, excluding the Charismatics in the mainline churches (Aritonang, 2008: 882). 2.2 Arrival of Pentecostal Missionaries in 1921 Up to now the arrival of two Pentecostal missionary couples from North America in 1921 is taken as the start of the Pentecostal Movement in Indonesia. Dirk and Stien van Klaveren and Cornelis and Mies Groesbeek, DOO IURP 'XWFK GHVFHQW DQG IRUPHU 6DOYDWLRQ$UP\ RI¿FHUV ZLWK WKHLU children were sent by Bethel Temple, an independent Pentecostal church LQ6HDWWOH:DVKLQJWRQOHGE\:+2I¿OHU 0RUH$PHULFDQ missionaries coming through this church would follow a decade later. Van Klaveren and Groesbeek arrived on the island Bali in March 1921 and started evangelistic work. Afraid of resistance by the predominately Hindu Balinese, the Dutch Government summoned the missionaries to leave for Java (Sumual, tt: 51). No church being established on Bali, both couples moved to Java during 1922, where the Pentecostal Movement really took shape as from 1923. Unnoticed by many publications up to now, Johann Thiessen (18691953) also arrived as Pentecostal missionary early 1921, simultaneously with Van Klaveren and Groesbeek. While Van Klaveren and Groesbeek worked on Bali, Thiessen already was active on Java. Thiessen was sent out E\WKH'XWFK3HQWHFRVWDOPRYHPHQWDVWKHLU¿UVW3HQWHFRVWDOPLVVLRQDU\ for the Dutch East Indies. In the same year Anna Gnirrep was sent out, followed in 1922 by the couple William en Henriette Bernard and Minna Hansen. The next and last Dutch Pentecostal missionary to Indonesia in this period, Piet Klaver and his family, would come in 1929.
0XWXDO,QÀXHQFHV2I,QGRQHVLDQ$QG'XWFK3HQWHFRVWDO&KXUFKHV
101
After Van Klaveren and Groesbeek moved to Java they cooperated with Thiessen and Bernard. Together they were the pioneers that introduced the Pentecostal message to the Dutch East Indies. Among those of Dutch descent that were won for the Pentecostal cause were F.G. van Gessel (1893-1958), D.H.W. Weenink van Loon (1877-1944), F. van Abkoude and M.A. Alt (1883-1962). Out of their initiatives large Indonesian Pentecostal churches developed. Especially, Thiessen, Van Gessel, Weenink van Loon DQG$OW ZHUH WR EHFRPH OHDGHUV RI PDMRU VLJQL¿FDQFH LQ WKH IRUPDWLYH years. They belonged to the founding parents of what today still is the largest Pentecostal Church, the Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI), ZLWKPLOOLRQDI¿OLDWHVLQ'XHWRDFRQÀLFWLQ7KLHVVHQ separated and subsequently was not given due credit or even ignored in the historical accounts that usually are told from the perspective of the American missionaries Van Klaveren and Groesbeek. As female leadership was considered unbiblical by many, the role of Margaretha Alt is often obscured. To balance the former, this paper will focus on Thiessen and Alt. &RQWDFWVEHIRUH %HIRUHWKH¿UVW3HQWHFRVWDOPLVVLRQDULHVZHQWRXWWR,QGRQHVLDWKHUHKDG been some contacts between Pentecostals in the Netherlands and Dutch believers in Indonesia. Mrs. Polman was born in Wonosobo, Central Java, and had lived there 20 years. It is unknown whether she still kept in touch with friends over there. Certainly she must have been in contact with her sister Marie (4,5 years younger), also born on Java, when Marie for a period ZRUNHGLQ,QGRQHVLDDVRI¿FHURIWKH6DOYDWLRQ$UP\EHIRUHVKHPDUULHG the English Pentecostal widower William Bernard in 1914. Ten years later Marie and her husband would be Pentecostal missionaries on Java. In April 1908 Polman started the publication of Spade Regen. In January 1909 he reported that out of the 3,000 copies hundreds were send to Dutch speaking abroad, especially in South Africa, but also in Indonesia. In July 1911 he writes We rejoice greatly, that also from our Dutch East Indies requests are coming for the Spade Regen. How we have prayed, and how we still do, that the Holy Spirit will also be poured out upon the missionaries in our colonies. Then many questions will be solved, like: What to do against the mighty stream of the Islam? 7KHQ¿QDQFLDOQHHGVDQGPDQ\RWKHUGLI¿FXOWLHVZLOOEHPHW7KH Pentecostal blessing is the only divine way out (Nn., 1911: 4).
102
GEMA Vol. 36, No. 1, April 2012 : 95–126
It seems these contacts with Polman led to the formation of an ecumenical prayer group with Pentecostal sympathies at Temanggung in 1911 around the reformed pastor Horstman, Weirs and Van Abkoude.3 Some of the later Dutch Pentecostal missionaries would cooperate with Horstman at Temanggung on Central Java, while the son of Horstman and Van Abkoude would become leaders in the Indonesian Pentecostal movement. In September 1911 Piet Pilon left for Java as a medical missionary for the Salatiga Mission. For several years during his medical training in Amsterdam he attended Pentecostal meetings and received the Spirit Baptism (Nn. 1909: 25-26). He even made a trip to Alexander Boddy in Sunderland, the Anglican priest who led the early Pentecostal Movement in Britain. Its seems that his contacts with the Pentecostals did not continue on Java. In 1915 he is known to have visited Margaretha Alt on Gambung Waluh, which was before Alt joined the Pentecostal movement. In December 1918 Polman quotes from a letter of a ‘sister in the Lord’ from Makassar on Celebes. She has just read a more than 2 years old Spade Regen (July 1916) and longs for the outpouring of the Holy Spirit (Nn., 1918: 36). In September 1920 Polman published a request from friends in Indonesia to send Pentecostal missionaries to Java (Nn., 1909: 1Q 7KLHVVHQZDVWKH¿UVWWRUHVSRQG 3. Johan Thiessen (1869-1953) 3.1 Mennonite period Johann Thiessen was born on November 22, 1869 in Ukraine. It is claimed that his ancestors in the 17thFHQWXU\ZHUH0HQQRQLWHVWKDWKDGÀHGIURP Friesia (Netherlands) to Poland and from there to South Russia (Ukraine). Upon the invitation of Tsarina Catherina the Great, many Mennonites had settled there in the 18th century. At the age of 25 Johann Thiessen had a conversion experience (Thiessen, 1939: 2). He went to Switzerland for a theological training (Sankt Chrishona Seminary near Basel). In 1899 he became a candidate missionary for the Dutch Mennonite Mission Society ‘Doopsgezinde Zendings Vereniging’ (DZV). In Rotterdam he followed a two year medical study and learned the Batak language as well as Malay and Dutch. In 1902 he was sent out by the DZV to Pakantan on Sumatra. Just before his departure he embarrassed the DZV by letting himself being re-baptised by immersion in a Baptist Church in Berlin. On top of it he married a non-Mennonite lady, Anna Maria Vink, a niece of the well known reformed Professor A.H. de Hartog.
0XWXDO,QÀXHQFHV2I,QGRQHVLDQ$QG'XWFK3HQWHFRVWDO&KXUFKHV
103
Once in Pakantan Thiessen extended the already existing mission station “with a church, schools, an orphanage, a hospital, a place where widows could live, and self constructed paved roads” (Hoekema, $IWHU \HDUV RQ WKH PLVVLRQ ¿HOG 7KLHVVHQ UHWXUQHG WR WKH Netherlands. The Mennonite church historian Hoekema relates: “Thiessen DSSDUHQWO\ZDVDJRRGRUJDQL]HUXQIRUWXQDWHO\KLV¿QDQFLDOPDQDJHPHQW was disastrous and he had to leave the DZV service in 1912. Certainly the DZV board also bears responsibility here” (Hoekema, 2001: 90). In 1914 Thiessen, who was a competent photographer, published a beautiful book with many self made photos about his mission work in Pakantan: Pakantan: Een belangrijk gedeelte van Sumatra (Apeldoorn: privately published, 1914).4 3.1 Intermediate period )RUVHYHUDO\HDUV7KLHVVHQOLYHGDW$SHOGRRUQZKHUHKHZDVDNH\¿JXUHLQ the independent city mission ‘Maranatha’. This mission was later carried on by the reformed pastor J.H. Gunning JHz., who lived at Apeldoorn in 1916-1920.5 During these years Thiessen joined the Pentecostal Movement, probably through his contacts in Germany or Switzerland and was baptized with the Holy Spirit.6 The German Pentecostal leader -RQDWKDQ 3DXO KDG D JUHDW LQÀXHQFH XSRQ KLV OLIH +H DOVR HVWDEOLVKHG D good relation with Polman, whose ecumenical aspirations seemed to pay off during this time. Several reformed ministers showed sympathy for the Pentecostal movement: G.A. Wumkes, J.H. Gunning JHz. and A.H. den Hartog (whose niece had married Thiessen), but also someone of nobility like Dr. Frederik M. Baron van Asbeck (1889-1968). These contacts would prove advantageous for Thiessen. At Apeldoorn Thiessen may have met the missionary to Indonesia on furlough C.J. Hoekendijk, who lived there during 1916-1918 and was befriended with Gunning.7 Hoekendijk’s son .DUHOZRXOG\HDUVODWHUEHFRPHDPDMRU¿JXUHLQ'XWFK3HQWHFRVWDOLVP while his other son Hans would become Professor of Missions at Utrecht. In Indonesia Thiessen would for a short while cooperate with Hoekendijk at Bandung. At Polman’s home Thiessen met the above-mentioned Van Asbeck (1889-1969).8 They too would meet again in Indonesia. During 1919-1934 Van Asbeck worked in Indonesia for the Dutch government and as Professor in international and colonial law at the university in Batavia.
104
GEMA Vol. 36, No. 1, April 2012 : 95–126
Thiessen made journeys to Eastern Europe.9 He was in Russia during the Revolution and imprisoned for some time. Mrs. Thiessen received her Spirit baptism in Amsterdam during 1920 (Nn., 1931: 180-184). That same year Thiessen participated in the founding of the Dutch Pentecostal Missionary Society and became its vice-president. The next year he left for Indonesia. 3.3 Introducing Pentecost in Evangelical circles on Java Early 1921 Thiessen sailed to the Dutch Indies, this time as a Pentecostal missionary to Java. The October issue of Spade Regen reports that the Thiessen family and Anna Gnirrep had arrived safely and were preparing WKHPVHOYHV IRU PLQLVWU\$QQD *QLUUHS ZRXOG ¿QG ZRUN LQ D KRPH IRU neglected children at Weltevreden on Java from 1921 till 1927.10 The reformed missionaries Hoekendijk, Wijers at Bandung and others had established the ‘Bond voor Evangelistatie’ (Union for Evangelization) in 1916, which purpose it was to reach the Dutch people in Indonesia with the gospel. Hoekendijk edited their periodical Vredebode (Messenger of Peace) DQGEHFDPHWKH8QLRQ¶V¿UVWPLVVLRQDU\11 Wijers had opened a Christian hostel at Bandung and saw in Thiessen the right person to provide spiritual guidance to the souls seeking rest in this home. The enterprise failed and Thiessen for a while cooperated with Hoekendijk preaching all over Java. At the Whitsuntide Conference 1922 at Bandung Hoekendijk preached on the necessity of the baptism in het Holy Spirit and prayed for a Pentecostal revival. Polman enthusiastically commented: “We rejoice to hear that on Java there awakes a strong desire among God’s children for the baptism of the Holy Spirit” (Polman, 1922: 78). Some readers in the Netherlands, like Gunning, concluded that Hoekendijk had joined the Pentecostals! (Nn., 1922, 371; Gunning, 1922: 301-02). The Free Evangelical periodical Ons Orgaan quickly explained that Gunning had made an unpleasant mistake (Winckel, 1922: 191). Missionaries on Java were warned against the Pentecostals based on negative reports from Germany. By this time our Van Asbeck had become chairman of the Union of Evangelization. In August 1922 Thiessen claimed he had been able to remove some of the prejudices: Because of wrong messages and literature from the Netherlands one was reserved against the Pentecostals. . . Due to the many meetings I held in conferences, the opinion has changed. At present there is a cry in many small circles from Surabaya till Batavia: O God, give us a Spirit Baptism (Nn., 1922: 126-127).
0XWXDO,QÀXHQFHV2I,QGRQHVLDQ$QG'XWFK3HQWHFRVWDO&KXUFKHV
105
One month later he is even more optimistic: As I wrote earlier there was to be a conference in Semarang. I have been there with sister Gnirrep and brother Asbek [sic.]. It was wonderful how prejudices were removed. The Lord gave mercy that His Word proved itself as a power. Missionaries fell on their knees and asked for a baptism in the Holy Spirit (Nn., 1922: 144). Meanwhile other Dutch missionaries to the Dutch Indies had arrived. William Bernard (1866-1945) and Marie Henriette Blekkink (1882-1932) left for Java in August 1922 together with Miss Minna Hansen (1893-1939) from Denmark, who had stayed about a year with the Polmans in Amsterdam. They settled at Temanggung, where they would ZRUN XQGHU WKH ÀDJ RI +RUVWPDQ DPRQJ &KLQHVH DQG 0XVOLPV12 In the above quoted letter from Thiessen of September 30, 1922, we are also informed that Thiessen travelled to Temanggung, together with Gnirrep, to welcome the Bernards and Minna Hansen. With Gnirrep he also visited Margaretha Alt “and her 50 orphans and the Javanese assembly” at Gambung Waluh, “who had tired herself up to now in legalism, but now with all she is throws herself in the Pentecostal stream” (Nn., 1922: 144). The same letter also reports Thiessen and Gnirrep visiting Van Klaveren at Surabaya. Obviously Thiessen is travelling around and extending his contacts outside of the Union for Evangelization. In his diary Hoekendijk recalls another meeting in Surabaya. Hoekendijk and Thiessen both met Van Klaveren and Groesbeek who had UHFHQWO\ FRPH WR -DYD DQG DOVR %HUQDUG$IWHU WKH FRQYHUVDWLRQ WKH ¿YH men kneeled down for prayer: “Suddenly one started to pray in tongues, then another one and in the end all four. I had never been in contact with a Pentecostal assembly and I had never heard such a thing. (van den End, 1993: 174-75).” That same evening an open air meeting was held in the city garden with Thiessen preaching. Hoekendijk admitted: “I must honestly VD\WKDWVHOGRPKDG,KHDUGVXFKD¿UPPHVVDJH´\HWKHZDVVXVSLFLRXV about the tongue speaking and kept at a distance (van den End, 1993: 175). While Hoekendijk became more and more doubtful, others from his circle, like D.H.W. Weenink van Loon, accepted the Pentecostal message or were sympathetic to it, like Baron van Asbeck. Baron van Asbeck was chairman of the Union of Evangelization and Weenink van Loon its treasurer. The rupture would come after meetings in Cepu in March 1923. In a meeting led by Thiessen in Cepu people started to speak in tongues and received all kinds of visions. They were told to have received
106
GEMA Vol. 36, No. 1, April 2012 : 95–126
the baptism in the Holy Spirit. The Union’s board members, Weenink van Loon, wrote an enthusiastic report which was published in de Vredebode without the knowledge of Hoekendijk. The article announced a new Pentecost for Java. Hoekendijk felt he had to act. At the annual general council of the Union on May 21, 1923, Hoekendijk’s proposal was accepted to remove from their board all members in sympathy with the Pentecostal movement. This led to the resignation of their administrator Weenink van Loon, but also of the chairman Baron van Asbeck (Nn., 1923: 268-289; 12-13). Several articles by Hoekendijk repudiating the Pentecostal movement in Vredebode followed (Nn., 1923: 282-283; 290-291; Nn., 1924: 308-309; 315-316). Thiesssen’s efforts to integrate the Pentecostal message in existing evangelical circles came to an end. Hereafter the Pentecostal movement would develop as a separate movement. In his diary Hoekendijk wrote: “The performance of this brother with his new message went through our Union like a storm… Thank God the storm also passed away, even if it did destroy a lot. (van den End, 1993: 176).” 3.4 Foundation of the Pentecostal Movement :KHQ 9DQ .ODYHUHQ HQ *URHVEHHN FDPH IURP %DOL WR -DYD WKH\ ¿UVW cooperated with Thiessen. It seems they left Bali separately. Van Klaveren speaks of leaving Bali “after 14 months”, indicating mid 1922, while Groesbeek dates his arrival on Java as December 27, 1922.13 After a short stay at Surabaya Van Klaveren would settle in Lawang, while Groesbeek ¿UVW VWD\HG DW &HSX DQG WKHUHDIWHU VHWWOHG LQ 6XUDED\D 7KLHVVHQ RQO\ mentions Van Klaveren in his letter cited above dated September 30, 1922, at that time Van Klaveren was in Surabaya, while the Bernards were already at Temanggung. The above implies that the Bernards and Minna Hansen arrived on Java before Groesbeek. $W¿UVW7KLHVVHQ9DQ.ODYHUHQ*URHVEHHNDQG%HUQDUGDOOZRUNHG together. The revival at Cepu on March 29, 1923, reported by Weenink van Loon in De Vredebode,LVXVXDOO\LGHQWL¿HGDVWKHEHJLQQLQJRIWKH 3HQWHFRVWDO0RYHPHQWLQ,QGRQHVLD$OVRE\7KLHVVHQLQWKH¿UVWLVVXHRI his periodical Dit is Het of July 1923. A few days after their arrival on Java in December 1922 the couple Groesbeek was invited to do missionary work in Cepu. Here he met George van Gessel who worked for the Dutch Oil Company. In a meeting a young man was healed from a chronic kidney disease (Nn., 1923: 8). A small group of followers developed, mostly from Roman Catholic background.
0XWXDO,QÀXHQFHV2I,QGRQHVLDQ$QG'XWFK3HQWHFRVWDO&KXUFKHV
107
When a number wanted to baptized in water, Thiessen was called to come over from Bandung. On Good Friday, March 29, 1923, 15 people (8 of whom had been Roman Catholic) were baptized by immersion in a river by Thiessen and Groesbeek. That evening, while Thiessen led the Lord’s 6XSSHU WKH ¿UVW UHFHLYHG WKH 6SLULW %DSWLVP DFFRPSDQLHG E\ VSHDNLQJ in tongues and visions, more received the days following (Nn. 1923: 7). Weenink van Loon, who accompanied Thiessen, mentions a Menadonese girl, servant in the house of Van Gessel, who in tongues sang in correct English “Glory to Jesus”.14 Very touching was that the servant girl kneeled next to her master George van Gessel, who was praying for the Spirit Baptism, and laid her hands on his back. Weenink van Loon exclaimed: Truly there is no partiality with God and with Him every difference of colour, race and rank disappears, it does not exist before His Holy Presence! Halleluja! Glory for Jesus! Ten souls received the Baptism in the Holy Spirit (van Loon: 1923). These were quite remarkable words in a colonial context. Weenink YDQ /RRQ VWDWHG WKHVH ZHUH WKH ¿UVW RQ -DYD HYHU WR EH EDSWL]HG LQ WKH Holy Spirit after Joël 2.15 No wonder his article in Vredebode aroused controversy. Thiessen wrote in a similar way: $WODVWWKH¿UVWÀDPHVRI¿UHKDYHIDOOHQRQ'XWFK,QGLHVDQRWKHU HUDKDVEHJXQDOVRKHUHIRUWKHVHLVODQGV7KH¿UVWWHQFKLOGUHQRI God were baptized in water and in the Holy Spirit, accompanied by tongues and visions and revelations after God’s Word, like God has started in all the world to prepare His Bridal Assembly for the coming Christ. . . What never happened in the Indies, happened on Easter 1923 (Nn., 1923: 33-45). A few days later several in Surabaya received the Spirit Baptism and thereafter in Bandung (Nn., 1923: 63, 69). No longer under the umbrella of the Union for Evangelization, it was necessary to establish an organization recognized by the government. On June 19, 1923, the ‘Vereeniging De Pinkstergemeente in Nederlandsch Indië’ (PGNI Association of the Pentecostal Assembly in Dutch Indies) was founded. Today the church is known as “Geredja Pantekosta di Indonesia” (GPdI). Thiessen and Weenink van Loon submitted a request to the government for incorporation, which was approved on June 4, 1924. $W:KLWVXQWLGH-XO\7KLHVVHQFRQYHQHGWKH¿UVW3HQWHFRVWDO conference on Java at Bandung. Van Klaveren, Groesbeek, Bernard and Gnirrep were present. At this point Thiessen had established a Pentecostal
108
GEMA Vol. 36, No. 1, April 2012 : 95–126
assembly in Bandung, which formed the nucleus of the conference. On Sunday morning 42 people were baptized in water by Thiessen assisted by Bernard in a small village outside Bandung. It reminded Bernard of the “good old days at Sunderland” (Nn. 1923: 63). The same month saw WKH SXEOLFDWLRQ RI WKH ¿UVW ,QGRQHVLDQ 3HQWHFRVWDO SHULRGLFDO Dit is Het. Thiessen is the editor with co-operation of Bernard, Groesbeek and Van .ODYHUHQ 7KH ¿UVW LVVXH FDUULHG WHVWLPRQLHV RI WKH ODWWHU WKUHH DQG RQH from Van Gessel, while Weenink van Loon explained his departure from the Union of Evangelization. In the standard text on page 2, the reader is informed that this work has nothing to do neither with the Union of Evangelization nor with the Vredebode. The August 1923 issue of Spade RegenUHSRUWVWKH¿UHRI*RGEHLQJIDOOHQDW&HSXWKHQDW6XUDED\DDQG also at Bandung, but also speaks of resistance. In a letter dated September 0UV%HUQDUG%OHNNLQNJLYHVDUHSRUWRIWKHLU¿UVW\HDUDVPLVVLRQDULHV at Temanggung (van Abkoude, 1933). 3.5 Secession Shortly hereafter the relation between Thiessen and the others ended. It seems there was a clash between Weenink van Loon and Thiessen, who both worked in Bandung. In a later letter ten years later Frans van Abkoude would blame Thiessen for the split, as he was becoming “proud and fanatical” (van Abkoude, 1933). Weenink van Loon and the others remained in the PGNI, while Thiessen sometime during the end of 1923 or beginning of 1924 founded a new group: “De Pinksterbeweging” (later to be called Gereja Gerakan Pentakosta). This is contrary to perhaps all historical descriptions that suggest Thiessen came in later and broke away in 1932. While Thiessen kept control of his paper Dit Is Het, the PGNI in October 1924 started publication of De Pinksterbode with as appendix De Pinksterboodschap, edited by Mrs. M.H. Bernard-Blekkink (Nn.,1924: 125-126). No issues are found as yet. Due to illness of William Bernard, the IDPLO\KDGWRUHVLJQIURPWKHPLVVLRQ¿HOGLQZKLOH0LQQD+DQVHQ remained to carry on the work at Temanggung (Nn., 1925: 192, 127-128). The periodical De Pinksterbode was renamed De Pinksterkracht and from then onwards edited by F. van Abkoude. As from 1928 it would be edited by Margaretha Alt, who would rename it into Gouden Schooven. A good collection as from 1927 has been found. In July 1934 Gouden Schooven ceased to be the organ of PGNI. Subsequently it became the organ of “De Pinksterzending” founded by M.A. Alt in 1935. The PGNI started a new
0XWXDO,QÀXHQFHV2I,QGRQHVLDQ$QG'XWFK3HQWHFRVWDO&KXUFKHV
109
periodical Het Volle Evangelie in 1935, edited by C.J.H. Theijs and with cooperation of F.G. van Gessel, H.E. Horstman, D. Weenink van Loon, H.N. Runkat and W.W. Patterson. Up to now only a few copies have been traced. Although the Bernards remained in the PGNI and thus worked separately from Thiessen, Polman kept in contact with both parties. In December 1924 issue of Spade Regen Thiessen reports of continuing great blessings. Meetings are held daily. Chinese, Sundanese, Menadonese, Javanese and Ambonese are receiving the same blessing as the Europeans. At Cimahi 25 soldiers are baptized in water. The work is expanding to Batavia, Weltevreden, Mr. Cornelis, Cheribon and Buitenzorg.16 In December 1923 WKH¿UVWVWRQHIRUDFKXUFKEXLOGLQJZDVODLGLQ%DQGXQJ/DWHUDQRWKHU building three times its size was build (Thiessen: 1973). During 1924-1926 Thiessen was confronted with a lot of controversy. Complaints were issued against him by the psychiatrist Dr. E.A.G. van Loon, who felt Thiessen was dangerous for the public health. The police started an investigation. Negative reports appeared in the Java Bode7KLHVVHQZDVDOVR¿QHGIRU evangelizing in areas for which he had no license. In the end it settled down and Thiessen was granted the required freedom of travel.17 Three sons of Thiessen: John, Theo and Henk participated in the work of their father. John and Henk, went to the Elim Bible College in London and spent a considerable time in Holland during 1926 (Nn., 1926, 62; John and Thiessen, 1927:339-340). When in 1929 J. Thiessen visited Polman “old ties of friendship were renewed” ((Nn., 1929: 107-108). The same year Piet Klaver from Amsterdam became attached to Thiessen’s mission at Java until 1933. The leadership in the Pentecostal circles had for a large part been in the hands of the Dutch and Indo Europeans. When during the World War II the Dutch were held in Japanese camps, the Indonesians took over leadership. In 1942 the PGNI changed its name to Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI). After independence more secessions took place. In 1952 Van Gessel left the GPdI and with H.L. Senduk started the Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS). In 1954 Van Gessel separated again and started the Gereja Pantekosta Bethel (GPB). After the World War II the son John Thiessen became heavily involved in politics when he openly supported Westerling, who did not accept the surrender of the Dutch Indies. In 1950 Thiessens name is even mentioned in the minutes of the Dutch government. In that year he accompanied Mrs. Westerling to the Netherlands which was reported in
110
GEMA Vol. 36, No. 1, April 2012 : 95–126
the newspapers. In the end John settled in the U.S.A. where he joined the Assemblies of God. The other son Theo did not survive the war, while Henk moved to the Netherlands in 1958 and led the Dutch branch of ‘De Pinksterbeweging’ consisting of a few small gatherings. Johan Thiessen GLHGDW%DQGXQJLQOHDYLQJEHKLQGDÀRXULVKLQJGHQRPLQDWLRQWKDW still exists. After his death the name changed into Penggerakan Kristus and in 1960 it adopted the present name Gereja Gerakan Pentakosta.18 4. Margaretha A. Alt (1883-1962) Margaretha Alt was born August 22, 1883, at The Hague, as the second child in a reformed family.19 Her mother died when she was four. Together with her older brother she was raised by her great parents. Around the age of 9 she once attended a meeting of the Salvation Army and was impressed by the female preaching. A few years later she wanted to become a missionary, then a singer and thereafter a writer. In 1903 she left for the Dutch Indies, where she would be trained as a nurse. She would never see her brother, father and great parents again. 4.1 From nurse to missionary Upon arrival in Batavia she attracted malaria. This disease would hunt her for the rest of her life. She became apprentice nurse in a psychiatric clinic in Porong, near Lawang. In this period she got interested in Spiritism. An illness brought her closer to God. In July 1908 she dedicated her life to God, which gave her the rest and peace longed for. Her planned marriage with WKHORYHRIKHU\RXWKLVFDQFHOOHGEHFDXVHKHU¿DQFpHLVQRWFRQYHUWHG6KH now feels that God calls her to remain single. The new convert, wanting to obey God above all, submits to the teachings of the Seventh Day Baptists conveyed to her by a colleague nurse. She was baptized in a river. Keeping the Sabbath is not easy as the Saturday was the busiest day in the clinic. She resigned and became a missionary nurse in the land colony for the poor Pangungsen at Taju run by a Sabbatarian lady, sister Marie Jansz. In the 4,5 year she worked here she learned the Javanese language. Due to illness she temporarily had to leave Taju in 1913 and was taken care of by the friendly Graafstal family in Temanggung. Mrs. Graafstal nursed a number of retarded children. Her brother owned a former coffee plant at Gambang Waluh; a desolate but lovely cool spot, some 30 kilometres outside of Temanggung on a hill, 1000 meter above sea level. The people RIWKH¿YHVXUURXQGLQJYLOODJHVDUHDQLPLVWV,VODPKDVKDUGO\UHDFKHGWKH
0XWXDO,QÀXHQFHV2I,QGRQHVLDQ$QG'XWFK3HQWHFRVWDO&KXUFKHV
111
area. When Alt visits the place it is as if she hears the voice of the Lord: ³7KLV ZLOO EH \RXU ¿HOG RI ODERXU´ 6KH IHOW WKH FDOOLQJ VKH RQFH KDG DW DJHZDVQRZFRPLQJWRIXO¿OPHQW,Q$OWVHWWOHGWKHUHWREULQJ the gospel to the villages. At the request of Mrs. Graafstal she took over WKHFDUHRI¿YHUHWDUGHGFKLOGUHQ$FFRPSDQLHGE\-DYDQHVHJLUOVDQG DQDGRSWHGFKLOGRI\HDUVZLWKQR¿QDQFHVDQGQRVSRQVRUVVKHVWDUWHG an independent mission in a very remote area. Soon she opened a school where the people could learn to read and write for free. Every class is started with a short prayer session. The converted children are taught to keep the Sabbath. After some time there is a strong indigenous church. Every Javanese that wants to settle in Gambung Waluh receives a small piece of land on the condition that the whole family attends church weekly. What used to be a rough piece of land becomes a cultivated village. Due to a plague in 1918 hundreds of people in the area die. Some of the orphans are brought to the missionary. Alt takes 40 orphans into her home, all orphans and all inhabitants of the village survive. After the plague she also takes care of some neglected European children. In a dream Alt receives new light on the issue of the Sabbath. From then onwards the meetings are held on a Sunday. The departure from her legalistic Sabbath observance, as we shall see, seems to be related to her contacts with the Pentecostals, but this relation is not made in her autobiography. &RQWDFWZLWK3HQWHFRVWDOV According to her diary already in 1912 Alt corresponded with Polman and read Spade Regen. She was longing for the Spirit Baptism. In 1918 she read the German periodical 3¿QJVWJUVVH and books by pastor Jonathan Paul. In the home of the aged reformed pastor Horstman at Temanggung early 1920, she met the Dutch Pentecostal missionary Elize Scharten, who ZDVRQKHUZD\IURP&KLQDWRWKH1HWKHUODQGV)RUWKH¿UVWWLPHLQKHUOLIH she heard someone singing in tongues. We already know that in September 1922 Thiessen (with Gnirrep) ¿UVWYLVLWHG$OWDW*DPEXQJ:DOXK+HGHVFULEHG$OWDVDVWURQJ6DEEDWDULDQ tired of the legalistic observance of their regulations. Alt had been cautious against Pentecostals because of articles in the periodical Het Zoeklicht concerning Kassel 1907. According to Thiessen “the veils of unnecessary martyrdom fell from her eyes” during that visit (Nn., 1923: 159-160). One month later, on October 28 1923, Thiessen and Bernard went to Gambung Waluh and baptized the following day 37 people in water. They all received a new self chosen name. At the Lord’s Supper in the evening there was
112
GEMA Vol. 36, No. 1, April 2012 : 95–126
prayer for the Baptism in the Holy Spirit. Thiessen writes that the Spirit of liberty fell, and all started to pray aloud and praise God, something that never had happened before (Nn. 1923: 159-160). Thiessen mentions that Minna Hansen will possibly assist Alt. Hansen together with her later husband the Dutchman Frans Abell would indeed become important coworkers of Alt. It is remarkable that Alt in her autobiography does not mention the name Thiessen, nor his contribution, probably due to his alienation from the fellowship Alt would later be part of. Hereafter we have a gap in information of 2,5 years. Most likely Alt kept in contact with the Bernards and Minna Hansen at Temanggung and others. 4.3 Joining the Pentecostals Her autobiography connects her joining the Pentecostals to the Pentecostal Conference at Surabaya she attended in July 1926. On the last day of the Conference, July 31, she received the Spirit Baptism. Her whole body was shaking and she heard herself singing in unknown languages. Repeatedly she was speaking the words ‘Santa Dios’ and ‘Kurios’. Only later she would learn the meaning of those words. In tongues she sang a beautiful song. %DFNDW*DPEXQJ:DOXKWKHUHLV¿UVWDSUD\HUPHHWLQJZLWKWKH orphans. The next day the whole assembly is called together. All are ready to accept the new blessing. A large number receive the Spirit Baptism and speak in tongues. Many have visions. This is the start of a revival (Nn. 1923: 60-64; Alt, 1927: 15-16; Nn., 1927: 15-16, 30-31, 63-64). Small children have remarkable prophecies and visions. After most members have received the Spirit Baptism, the ministry of healing became more prominent. Alt felt called by God to publish a periodical in Dutch. She would call it Gouden Schooven (Golden Sheaves). In a vision she saw a large songbook. This resulted in the publication of Glorieklokken (Bells of Glory), a song book that would grow larger over the years. Next to the many articles in the periodical and the songs, she also wrote novels, poems, devotional and more doctrinal literature. In 1927 Alt became secretary of the PGNI and editor of its periodical De Pinksterkracht. Two years later she moved to Surabaya, taking along 30 Javanese children. The Pentecostal movement was spreading rapidly in these years. In September 1928 she changed the name of Pinksterkracht
0XWXDO,QÀXHQFHV2I,QGRQHVLDQ$QG'XWFK3HQWHFRVWDO&KXUFKHV
113
into Gouden Schooven and also published an Indonesian version Gandoem Mas$WWKHVDPHWLPHWKH¿UVWHGLWLRQRIGlorieklokken appeared. The malaria tormented her day and night with headache, pain in the back, dizziness and pressure on the brains. Since her Spirit Baptism she no longer took medicines. Her prayer for healing was not answered. Instead VKHZDVWROG³0\JUDFHLVVXI¿FLHQWIRU\RX´&RU )URPWLPHWR time she visited her village in the mountains. Every time her coming is celebrated. There are always babies to be dedicated and marriages to be closed, because some villagers only want their ‘ibu’ (mother) to do it. In February 1930 Alt and her more than 30 children moved to Waru, a village outside of Surabaya. Alt is now appointed by the Convent as travelling evangelist for all the Dutch Indies. She is also assigned to overlook the smaller assemblies. This gives her great freedom. In 1932 she moved to Kediri, East Java. In the four years she worked there she founded a new church. Hundreds are baptized. As the malaria keeps troubling her, she accepts an offer to start a church at Lawang, also East Java, where the FOLPDWHLVFRROHU$WWKHEDFNJURXQGWKHUHLVDJURZLQJFRQÀLFWZLWKWKH denomination dealing with doctrinal issues and female leadership. 'LI¿FXOWLHVZLWKLQWKH3*1, The PGNI was not very structured. In the second part of the 1920s the %HUQDUGV KDG OHIW WKH PLVVLRQ ¿HOG DQG WKH$PHULFDQ PLVVLRQDULHV ZHUH on furlough, while the movement was growing. Weenink van Loon and George van Gessel were the leading evangelists. A ‘Convent of Evangelist’ was formed; most likely an initiative of Van Gessel, who was pastoring a large church in Surabaya. The Convent should probably be seen as the spiritual leadership of the PGNI. It was Van Gessel who invited Alt to join the Convent. In February 1927 the 8 assigned evangelists included two ladies (Alt and Hansen), one Chinese and one Indonesian. A few month later even a third female evangelist (Determeijer) was appointed (only included in the list for 3 months). As the work grew In August 1928 a new ordering was PDGHUHVXOWLQJLQRQO\¿YHPDLQHYDQJHOLVWVLQFOXGLQJRQO\RQHIHPDOH en no indigenous evangelist. These were: Van Gessel, Weenink van Loon, Horstman, Van Abkoude and Alt. Others were made assistant evangelist. At the end of 1928 Van Klaveren returns to Indonesia. Groesbeek who had left in 1926 returns in 1930 together with two new missionaries from
114
GEMA Vol. 36, No. 1, April 2012 : 95–126
Seattle and more to follow. With Van Klaveren and Groesbeek back the QXPEHURIPDLQHYDQJHOLVWVUDLVHVDFFRUGLQJO\,WVHHPVWKDWWKHLQÀXHQFH of Seattle now becomes stronger, in particular in the areas of church government and doctrine. Alt’s position as female evangelist is more and more challenged. Another issue regards the baptismal formula, which now must be “in the name of the Lord Jesus Christ”. Although the use of this formula is not accompanied by a denial of the Trinity, Alt turns against the change especially when believers are re-baptized to comply with the new formula. Disagreements among the leaders in September 1932 leads to the termination of the Convent, although the PGNI chaired by Weenink van Loon is not dissolved. In the turmoil Weenink van Loon and 9DQ*HVVHOEHFRPHRSSRQHQWV$OWVLGHVZLWKWKH¿UVW,WVHHPVWKDW9DQ Gessel and Horstman announced that Gouden Schooven was no longer WKHRI¿FLDORUJDQRIWKH3*1,$OW1Q 7KLVZDV SUHPDWXUHEXWGHPRQVWUDWLYHRIWKHFRQÀLFW$FFRUGLQJWR$OW9DQ*HVVHO and Horstman continued in their disapproval of the periodical and in June 1934 Gouden SchoovenLVQRORQJHUWKHRI¿FLDORUJDQRIWKH3*1,$OW 1934: 14). At a meeting for evangelists in July 1934 it was decided to divide the PGNI in two regions for Java: 1. West/Central and 2. East. Alt turned down the proposal to make Gouden SchoovenWKHRI¿FLDORUJDQIRU West Java (Alt, 1934: 7-8). In July 1934 the number of named meeting places dropped from 140 to 38. Weenink van Loon, Van Klaveren, Van Abkoude and Horstman are still mentioned, but no longer Van Gessel and Groesbeek. In September 1934 the number of meeting places has gone down to 28. Further names dropped include Van Abkoude, Horstman and Van Klaveren. Hereafter it slowly grows again to 45 in February 1935 when the Pinksterzending is established. Weenink van Loon at Bandung is still listed, but he is not in the board. In April 1935 his name disappeared from the list. In October 1935 the number of meetings places has grown to 70. 3LQNVWHU]HQGLQJ*HUHMD8WXVDQ3HQWHNRVWD In February 1935 the ‘Pinksterzending’ (Pentecostal Mission) is established at Lawang. The governmental approval would come in September 1935. Alt took with her the periodical and the song book that were very popular in the Dutch Indies as well as in the Netherlands. From everywhere on East Java she received invitations to bring the Pentecostal message. She led the work at Lawang until 1943. When the Japanese came she was imprisoned and sentenced to death. Awaiting her execution by beheading, her co-
0XWXDO,QÀXHQFHV2I,QGRQHVLDQ$QG'XWFK3HQWHFRVWDO&KXUFKHV
115
ZRUNHU6RHPDUGL6WHIDQXVMXVWLQWLPHGHOLYHUHGKHUELUWKFHUWL¿FDWH$V she just turned 60 she was exempted from the death penalty. Her years in Japanese camps are recorded in her Mijn Kampleven (1948). During the turbulent years preceding the establishment of the Pinksterzending some attempts were made by F. van Abkoude to join up with the British Assemblies of God (AG). Possibly Van Abkoude at this VWDJHZDVDFWLQJRQEHKDOIRI$OWEXWKHUQDPHGRHVQRWDSSHDU+LV¿UVW letter of application dates May 15, 1933.20 After some correspondence and investigation Van Abkoude is informed by the Executive Presbytery on April 16, 1934, that his application for membership will be recommended to the General Presbytery Conference at Whitsuntide. It is unknown how this proceeded. In March 1935 Howard Carter, chairman of the British AG, together with the American Lester Sumrall, visited the Dutch Indies. In their reports Van Abkoude is referred to as the Chairman or President of the Assemblies of God in Indonesia (Sumrall, 1935: 5). Carter and Sumrall also visit Alt and Van Gessel. In connection with this visit Alt informs the readers of Gouden Schooven that the Pinksterzending has applied for membership with the AG (Nn.: 1935). Although the proceedings with the British AG are still vague, it is certain that Alt and her Pinksterzending after the war joined the American AG. The Assemblies of God in Indonesia (Gereja Sidang-sidang Jemaat Allah) was established after the war by some American missionaries that ¿UVWKDGZRUNHGIRU%HWKHO7HPSOH6HDWWOH6KRUW%XVE\DQG'HYLQ$OW allowed her churches to decide themselves about whether or not to join the AG. Some chose to continue as the old denomination. In 1951 she surrendered leadership to her co-worker Stefanus, who would become the ¿UVWLQGLJHQRXVFKDLUPDQRIWKH$VVHPEOLHVRI*RG,QGRQHVLD$OWOHIWIRU New Guinea in May 1951. At the age of 67, she started a new church at Manokwari. That same year her %LMEHOVWXGLHYRRU]HOIRQGHUULFKW appears, that would have several reprints. After ten years the political situation forced her to return to her home country. On October 21, 1961, after being away for 58 years, she is back in the Netherlands. She is widely known WKURXJKKHUVRQJERRNSHULRGLFDODQGERRNV,QWKHUHPDLQLQJ¿YHPRQWKV of her life she preached all over the county and established a church in Arnhem. She died on March 22, 1962, without a sick bed. For decades her writings were reprinted, Gouden Schooven continued until 1988. Up to the seventies her song book Glorieklokken was the most popular song book in the Dutch Pentecostal assemblies. At the funeral her co-worker
116
GEMA Vol. 36, No. 1, April 2012 : 95–126
Dik Groeneveld quoted from her diary the words that characterized her life, Ancilla Domini, a handmaiden of the Lord. 5. Indonesian Pentecostals in Holland Between 1946 and 1958 some 290,000 immigrants came from the Dutch East Indies (Indonesia). They were of Dutch origin, of mixed DutchIndonesian origin (Indo’s), Chinese or Moluccan and, from 1962 onwards, also Papuan from New Guinea. Except for the Moluccans, their integration in Dutch society went rather smoothly. Many were Protestants and became members of the Dutch Reformed Church, others joined the Roman Catholic Church. Among the migrants were also Pentecostal believers. Rather than joining the existing Pentecostal assemblies, these believers often preferred to form their own congregations. Four national groups developed: Christian Fellowship The Pentecostal Movement (Christelijke Gemeenschap De Pinksterbeweging), Bethel Pentecostal Temple Fellowship Netherlands, Bethel Pentecostal Church Netherlands (Bethel Pinkster Kerk Nederland), Full Gospel Bethel Church (Volle Evangelie Bethel Kerk). In addition to these denominations with services in Dutch, there are some Indonesian Pentecostal churches with bilingual services. One example is the Gereja Kristen Perjanjian Baru Air Hidup (Christian Church of the Living Water Covenant), founded by John Tan in 1991 with 400 members in two congregations (Amsterdam, Rotterdam). Another example is Gereja Utusan Kristus (Christ Ambassadors Church), founded in 1982 by Samuel Kusuma, with 400 members in three congregations (Amsterdam, Almere, Wormerveer). Altogether, there are about 50 Pentecostal Indonesian congregations totalling 6,000 members. &KULVWLDQ)HOORZVKLS7KH3HQWHFRVWDO0RYHPHQW Henk Thiessen, the son of Johan Thiessen, moved to the Netherlands in 1958 and founded the Christian Fellowship The Pentecostal Movement (Christelijke Gemeenschap De Pinksterbeweging). The mother-church in Indonesia (Gereja Gerakan Pentakosta) has since then been led by Indonesian21 believers. The Fellowship has three small assemblies with in total 300 members (The Hague, Apeldoorn and Arnhem). The small Fellowship has maintained contact with the old Pentecostal church at Mülheim, Germany.
0XWXDO,QÀXHQFHV2I,QGRQHVLDQ$QG'XWFK3HQWHFRVWDO&KXUFKHV
117
%HWKHO3HQWHFRVWDO7HPSOH)HOORZVKLS1HWKHUODQGV C.J.H. Theijs, who had worked with Van Gessel in Indonesia, started home meetings in The Hague in 1952. Since 1956 he published the monthly Het Volle Evangelie (The Full Gospel), in which he propagated the tabernacle teachings. Around 1960 the Bethel Pentecostal Temple Netherlands was founded, later called Bethel Pentecostal Temple Fellowship Netherlands, or simply Bethel Temple. In 1963 Theijs moved to Seattle. When after a few months his deputy W.A. Hornung died, there was a vacuum in leadership. In this period C. Totaijs, coming from New Guinea, founded the Bethel Pentecostal Church Netherlands. Theijs returned after three years and regained leadership of the much reduced Bethel Temple. In 1980, three years before his death, Theijs moved to Spain. He was succeeded by G.B. van Kempen from Nijmegen. As from 1984 the Fellowship is led by David Kok from Alphen a/d Rijn. Bethel Pentecostal Temple Fellowship has eight member-churches with a WRWDORIPHPEHUV 'XULQJWKHHLJKWLHVRI¿FLDOFRQWDFWVZLWKWKH %HWKHO3HQWHFRVWDO7HPSOHLQ6HDWWOHZHUHPDGHUHVXOWLQJLQDQDI¿OLDWLRQ At the same time contacts are maintained with the Gereja Pantekosta di Indonesia, the large Pentecostal church in Indonesia. %HWKHO3HQWHFRVWDO&KXUFK1HWKHUODQGV Carel Totaijs, the son in law and successor of Van Gessel, moved from New Guinea to the Netherlands in 1961. In Amsterdam he became pastor of an already-existing Pentecostal assembly. In 1963 he founded the Bethel Pentecostal Church Netherlands (Bethel Pinksterkerk Nederland), ZKLFK XQGHU KLV OHDGHUVKLS GHYHORSHG LQWR D ¿UP EXW FORVHG DQG UDWKHU H[FOXVLYHIHOORZVKLS7RWDLMVUH¿QHGWKHWDEHUQDFOHGRFWULQHRI9DQ*HVVHO and called it ‘Bridal Doctrine’. Since 1977 the periodical Bruidstijding (Bride Tidings) has appeared. In order to propagate the bridal message abroad, Totaijs founded the Bride Tidings International (1983), with the result that the bridal message has also reached Ghana, Nigeria, Zambia and the Philippines. Totaijs died in 1998. There are 16 member-assemblies with in a total of 1,000 members (2007). The national board is formed by all assigned pastors and elders. A chairman is chosen for each meeting.
118
GEMA Vol. 36, No. 1, April 2012 : 95–126
)XOO*RVSHO%HWKHO&KXUFKLQWKH1HWKHUODQGV After a visit by H.L. Senduk to the Netherlands, some independent Indonesian assemblies united in 1975 as the Full Gospel Bethel Church in the Netherlands (Volle Evangelie Bethel Kerk Nederland). Following the example of the mother-church in Indonesia (Gereja Bethel Indonesia), WKH)XOO*RVSHO%HWKHO&KXUFKDI¿OLDWHGZLWKWKH&KXUFKRI*RGLQ For many years the fellowship was led by Dr. S.K. Thé from Zwijndrecht. At present Jan Lataster is the chairman. The fellowship has 10 memberchurches with a total of 750 members (2007). There are departments for Sunday school, youth, women and education. Contrary to the other Bethel groups in the Netherlands, the Full Gospel Bethel Church does not teach the tabernacle doctrine and is more open to contacts with other Pentecostal groups. 6. Ecumenism Pentecostal ecclesiology developed into the free church type, with much emphasis on the autonomy of the local assembly.22 There is resistance against the formation of a national body exercising power over the local. For practical purposes gradually national forms of cooperation have come up, preferably with a minimal measure of organization. Personal contact and collective worship are more important elements in these gatherings than business meetings. Even today the superlocal structures are rather relational than institutional. *UDGXDOO\ GLDORJV ZLWK WKH PDLQOLQH FKXUFKHV VWDUWHG$W ¿UVW LV reluctant and uneasy. In 1991 the Dutch Pentecostals installed a committee for the dialog with the churches. The vision of a serving relation with the church, seemingly forgotten, received a second life. Between 1993 and 1995 meetings were held with the Reformed Churches. Since 1999 there is a still ongoing active bilateral dialog between Pentecostals and Roman Catholics. In September 2007 a celebration of 100 years of Pentecostalism in the Netherlands took place in the Olympic Stadium Amsterdam. Bas Plaisier, then general secretary of the Protestant Church Netherlands, surprised everyone with his words of reconciliation, asking forgiveness for the attitude of the Reformed Church in the past. A few months later Peter Sleebos, the President of the National Platform Pentecostals Movement, addressed the General Synod of the Protestant Church, asking forgiveness
0XWXDO,QÀXHQFHV2I,QGRQHVLDQ$QG'XWFK3HQWHFRVWDO&KXUFKHV
119
for the unjust reactions from Pentecostal side (Sleebos, 2010: 15-18). This OHGWRDQRI¿FLDOGLDORJXHEHWZHHQUHSUHVHQWDWLYHVRIWKH3HQWHFRVWDOVDQG of the Protestant Church. Every three months we meet, mostly in a group of 12 persons, 6 from each side. We usually start with a short service in which we have singing, praying, Scripture reading and a homily. After a period of getting acquainted, we selected a number of themes for discussion. For one and half year we had a dialogue about water baptism and we now are discussing Spirit Baptism. The Global Christian Forum has found a new way to involve Pentecostals and Evangelicals in the global ecumenical conversation. (IIRUWZDVPDGHWR¿QGDQDSSURDFKWKDWZRXOGQRWVHWEDFNWKRVHSDUWQHUV with little experience in ecumenism. Partners meet each other on basis of equality and mutual respect. Meetings with testimonies, Bible Study and prayer, made the Pentecostals feel at home, but were also warmly welcomed by other partners. The guiding purpose of the Forum is: to create an open space wherein representatives from a broad range of Christian churches and inter-church organizations, which confess the triune God and Jesus Christ as perfect in His divinity and humanity, can gather to foster mutual respect, to explore and address together common challenges.23 The World Pentecostal Fellowship joined Global Christian Forum DWLW¿UVWJOREDOJDWKHULQJLQ1DLUREL.HQ\DLQ'XWFKDQG,QGRQHVLDQ Pentecostals have also been part of the GCF activities since Nairobi 2007. ,FRXQWHG¿YHGHOHJDWHVIURP,QGRQHVLDRQWKHSDUWLFLSDQWOLVWRI Nairobi 2007. One Evangelical, Rev. Roland Octavanius (Indonesian Evangelical Fellowship), one Lutheran, Ephorus Dr. Bonar Napitupulu (Protestant Batak Christian Church), one Reformed, Rev. Dr. Henriette Hutabarat Lebang (Toraja Church) and two Pentecostals, Rev. Yesaya Tobing and Dr. Muljadi Suleiman (Indonesian Pentecostal Churches Fellowship). A few weeks ago the second global gathering of Christian Global Forum was held in Manado, Indonesia, demonstrating the commitment of Indonesian churches, mainline and Pentecostal in this ecumenical endeavor. The theme in Manado was “Life together in Jesus Christ: Empowered by WKH 6SLULW´ ,Q ¿QDO SOHQDU\ WKH ,QGRQHVLDQ KRVW FKXUFKHV HVWDEOLVKHG DQ Indonesian Christian Forum.
120
GEMA Vol. 36, No. 1, April 2012 : 95–126
7. Conclusion In their presentation of the gospel the early Pentecostal missionaries in Indonesia were confronted with restrictive government regulations and negative responses by existing missionary organisations and churches. They had to accommodate to people of various ethnic origin with different cultures, customs and faiths. All were in the context of colonial history. This paper demonstrated the strong ties between the Dutch Pentecostals and the rise of Pentecostalism in Indonesia. More credit should be given to the formative roles in the early period of missionaries like Johan Thiessen en Margaretha Alt. Under the Japanese occupation all Western missionaries were interned in camps. Later the Indo-Dutch, who were suspect because of their close ties to the Dutch, were interned as well. This meant that a complete new leadership had to take over in the churches. When the Dutch and Indo-Dutch leaders were released from the camps the old situation would not return. In the new Indonesian Republic the churches were under SUHVVXUHWRDOORZRQO\IRUIXOO\LQGLJHQRXVOHDGHUVKLS'XULQJWKH¿IWLHV tens of thousand of the Indo-Dutch moved to the Netherlands, among them many Pentecostals. They had a strong impact on the Dutch Pentecostal Movement resulting in a large number of Indonesian Pentecostal churches. It appears these Indonesian Pentecostals integrated very well into Dutch society, which might serve as a mirror for present day migrant churches. In the early years Pentecostals were rejected as a sect. How different is the situation today. As we lose our reluctance and are in dialogue it appears that much of what separates us contain riches of insights and experiences with which we can be a blessing for one another. References Alt, M. 1932. “Correspondentie”. Gouden Schooven 8. Alt, M. 1934. “Kennisgeeving”. Gouden Schooven 10. Alt, M. 1934. “Onze Broederbond”. Gouden Schooven 10. Anderson, Allan (dkk). 2010. Studying Global Pentecostalim: Theories and Methods. Berkeley: California University Press. Anderson, Allan. 2004. An Introduction to Pentecostalism. Cambridge: CUP.
121
0XWXDO,QÀXHQFHV2I,QGRQHVLDQ$QG'XWFK3HQWHFRVWDO&KXUFKHV
Anderson, Allan. 2004. ,QWURGXFWLRQWR3HQWHFRVWDOLVP*OREDO&KDULVPDWLF &KULVWLDQLW\. Cambrdge: Cambridge University Press. Aritonang, Jan Sihar dan Karel Steenbrink. 2008. $+LVWRU\RI&KULVWLDQLW\ in Indonesia. Leiden: Brill Barrett, David B. 2001. :RUG &KULVWLDQ (QF\FORSHGLD. Oxford: Oxford University Press Bernard-Blekkink, M. 1923. “Letter M. Bernard-Blekkink September 192”. Spade Regen 16. Bernard, Wm. 1923. “Letter Wm. Bernard ”. Spade Regen 16. van den Brink, J.E. 1964. ”De Pinksterbeweging in Indonesië”, Kracht van Omhoog 27. van den End, Th. (ed.).1993 Bladen uit mijn levensboek: $XWRELRJUD¿HYDQ'V&-+RHNHQGLMN . The Hague: Boekencentrum. Burgess, Stanley M. (ed.). 2001. 1HZ,QWHUQDWLRQDO'LFWLRQDU\RI3HQWHFRVWDO DQG&KDULVPDWLF0RYHPHQWV. Grand Rapids: Zondervan. Hoekema, Alle (ed.). 2001. Dutch Mennonite Mission in Indonesia. Historical Essays. Elkhart: Institute of Mennonite Studies. Hollengweger, W. J. 1972.
The Pentecostal. London: SCM.
Hz., J.H. Gunning J. 1922. “De doop des Heiligen Geestes,” Pniel 31. Hz., J.H. Gunning J. 1941. Herinneringen uit mijn leven. Amsterdam: H.J. Spruyt Johnstone, Patrick dan Jason Mandryk. 2001. &HQWXU\(GLWLRQ. Gerards Cross: WEC Int.
Operation World 21st
Kusardy, R. (ed.). 1993. 'H 3LQNVWHUEHZHJLQJ MDDU. Den Haag: De Pinksterbeweging. Nn. 1909. “A Dutch University Student’s Pentecost”. &ORXOGRI:LWQHVVWR Pentecost in India 8. Nn. 1909. Spade Regen 6. Nn. 1911. “Mededeelingen”. Spade Regen 24. Nn. 1912. &RQ¿GHQFH 5. Nn. 1918. “Mededeelingen”. Spade Regen 11.
122
GEMA Vol. 36, No. 1, April 2012 : 95–126
Nn. 1920. Spade Regen 13. Nn. 1922. De Vredebode 371. Nn. 1922. Spade Regen 15. Nn. 1923. “Bond voor Evangelisatie in Ned. O.-Indië”. Ons Orgaan 18. Nn. 1923. “De Pinksterbeweging”. Ons Orgaan 18. Nn. 1923. Dit is Het 1. Nn. 1923. Spade Regen 16. Nn. 1924. Ons Orgaan 19. Nn. 1924. “Java”, Spade Regen 17. Nn. 1925. Spade Regen 17. Nn. 1925. Spade Regen 18. Nn. 1926. Spade Regen 19. Nn. 1927. Spade Regen 20. Nn. 1929. Spade Regen 22. Nn. 1931. “Ter nagedachtenis van ‚Onze lieve Ma‘“. Dit is het 8. Nn. 1935. Gouden Schooven 11. Nn. 1939. Kracht van Omhoog 2. Nn. 1959. The Mennonite Encyclopedia 4. van der Laan, Cornelis. 1991. Sectarian Against His Will:Gerrit Roelof Polman and the Birth of Pentecostalism in the Netherlands. Metuchen: Scarecrow Press. van Loon, Weenink. 1923. “Korte uiteenzetting van mijn uittreden uit den Bond van Evangelisatie,” Dit is Het 1. van Loon, Weenink. 1923. “Doorbraak te Tjepoe naar Joël 2 en Hand. 2 en10,” Spade Regen 16. Patoir, H. 1926. De waarheid omtrent de Pinksterbeweging in Nederlands-Indië. Bandung: De Pinksterbeweging. Polman,G.R. 1922. Spade Regen 15. Robeck, Cecil M. 2006. $]XVD6WUHHW0LVVLRQ 5HYLYDO7KH%LUWKRIWKH Global Pentecostal Movement. Nashville: Thomas Nelson.
0XWXDO,QÀXHQFHV2I,QGRQHVLDQ$QG'XWFK3HQWHFRVWDO&KXUFKHV
123
Sleebos, Peter. 2010. “Nieuwe patronen in de oecumenische samenwerking op nationaal niveau”. Parakleet 30. Sumrall, L. 1935. “The Arrival on Java”. Redemption Tidings 11. Sumual, Nicky. 60 tahun Pantekosta Indonesia: Suatu Sejarah. Suryadinata, Leo. 2003. Indonesian Population: Ethnicity and Religion LQD&KDQJLQJ3ROLWLFDO/DQGVFDSH. Singapore: Institute of South East Studies. Thiessen, Henk and John. 1927. “An Aggressive Work in Java”. The Elim Evangel 8. Thiessen, H. 1973. +HWJRXGHQMXELOHXPYDQGH3LQNVWHU%HZHJLQThe Hague: De Pinksterbeweging. Thiessen, J. 1922. “Letter from J. Thiessen, Bandung, 20 August 1922”. Spade Regen 15. Thiessen, J. 1922. “Letter from J. Thiessen, Bandung, 30 September 1922”. Spade Regen 15. Thiessen, J. 1923.Spade Regen. Thiessen, J. 1923. “Letter J. Thiessen ”. Spade Regen 16. Thiessen, J. 1923. “Dit is het”. Dit is Het 1. Thiessen, J. 1924. Spade Regen 17. Thiessen, Johan. 1939. “Ter meerdere ere Gods”. Dit is Het 16. Winckel, A. 1922. “Br. Hoekendijk,” Ons Orgaan 17. Wiyono, Gani. 2005. “Pentecostals in Indonesia” dalam Allan Anderson and Edmond Tang (eds.), $VLDQDQG3HQWHFRVWDO7KH&KDULVPDWLF )DFHRI&KULVWLDQLW\LQ$VLD Baguio City: Regnum Books. Wumkes, G.A. 1949. 1HL6DZQWLFK-LHU. Boalsert: A.J. Osinga. http://www.globalchristianforum.org/document/article3.php Catatan Akhir 1 http://www.kbri-bangkok.com/about_indonesia/land_and_people_02.html [24 July 2009] 2 Suryadinata, (2003: 104). This publication does not differentiate between Catholics and Protestants.
124
GEMA Vol. 36, No. 1, April 2012 : 95–126
3 Wiyono (2005: 308). Wiyono refers to: “Api Tuhan di Indonesia: Sejarah Masuk dan Berkembangnya Gerakan Pentakosta di Indonesia”, Tiberias 11/6 (n.d.), 32-33. 4 In November 2008 the Mennonite church at Haarlem held an exposition ‘Back to Pakistan’ of these photos from Thiessen as well as those from the professional photographer Lukas Göbel who had visited the same area in 2008 together with Alle Hoekema. 5 Gunning (1941: 232-240). In August 1918 when Gunning opened the hall “Maranatha” at Apeldoorn, J. Thiessen participated in the service. Gunning stayed at Apeldoorn during 1916-1920. During 1917-1920 Gunning was not active as minister of a local parish in the Netherlands Reformed Church to be free to lead the independent mission Maranatha. 6 van den Brink (1964: 11; 1959: 712). The exact year of his connection with the Pentecostal movement is uncertain. 7 van den End (1993: 16-17). Gunning seems to date the arrival of Hoekendijk at Apeldoorn after Thiessen’s departure for Russia. Gunning (1941: 233). 8 Wumkes (1949: 434). When G.A. Wumkes visited Polman in June 1917 he met Thiessen and Van Asbeck there. This date falls in the period that Thiessen is supposed to be in Russia. 7KH¿UVWUHIHUHQFHWR7KLHVVHQLQSpade Regen is found in July 1918, where Thiessen is said to have returned to Apeldoorn after a two year stay in Russia. In 1918 Thiessen wanted to bring the Pentecostal gospel to the Ukraine and the Balkans in co-operation with Polman and issue a Pentecostal paper in the Dutch and German language. In the Ukraine lived 80.000 people of Dutch descend. nn. (1918: 28). 10 nn. (1927: 112). The home for neglected children was led by Mrs. Middelberg and was not connected to the Pentecostal movement. 11 Hoekendijk did not have an academic theological training and therefore was not fully recognized as minister in the Netherlands Reformed Church. He could administer WKHVDFUDPHQWVRQWKHPLVVLRQ¿HOGEXWQRWDWKRPH:KHQKHUHWXUQHGWRWKH1HWKHUODQGV in 1925 he became pastor in the Fee Evangelical Church. %HUQDUGDQ(QJOLVKEXVLQHVVPDQKDGORVWKLV¿UVWZLIHLQ1Q On 20 June 1914 he married Marie Blekkink, sister of Mrs. Polman, who had been raised in the Dutch Indies. Nn. (1922: 46). 13 Nn. (1923). In a special 75th anniversary edition the periodical Pentecostal 3RZHU, published by Bethel Pentecostal Temple in Seattle, speaks of one and a half years at Bali, which corresponds with other data. Daughter Corrie Groesbeek in an interview states: “our family stayed on Bali unit December 1922”. “Herinneringen van de eerste missionarissen” translated by Aart Smit from 3HQWHFRWDO3RZHU (1991). 14 van Loon (1923: 38-41). Quoted from the Vredebode and dated April 4, 1923. 15 van Loon (1923). The writer refutes the claim of someone else that 29 believers in Bandung had already received the Spirit Baptism.
0XWXDO,QÀXHQFHV2I,QGRQHVLDQ$QG'XWFK3HQWHFRVWDO&KXUFKHV
125
16 Nn. (1924: 143-144). Now they are named Menteng, Jatinegara, Cirebon and Bogor (red.). 17 Patoir (1926). H. Thiessen, Gouden jubileum. 18 Kusardy., ed. (1993: 28-29). In 1993 it had 180 congregations. 19 Many of the following details are derived from her autobiography: Alt (1971). 20 Correspondence present at the Donald Gee Centre. 21 ‘Indonesian’ when used in the Netherlands often refers to the Indo’s. 22 H. Zegwaart, “Visie op de Gemeente. Pinksteren en de leer aangaande Kerk”. Inleiding 6e dialoogdag pinkstergelovigen en katholieken, 29 november 2001 in Amersfoort (StuCom0080). Hocken (2002: 544-551). 23 http://www.globalchristianforum.org/document/article3.php
126
GEMA Vol. 36, No. 1, April 2012 : 95–126
Pelayanan Diakonia Yang Transformatif: Tuntutan Atau Tantangan
127
PELAYANAN DIAKONIA YANG TRANSFORMATIF: TUNTUTAN ATAU TANTANGAN (Tinjauan Kritis terhadap Pelaksanaan Diakonia Gereja1) Jozef M. N. Hehanussa Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Dosen pada Fakultas Teologi, Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta
Abstract: Diaconia is parallel with the preaching of the Gospel. The church fails to do diaconia because diaconia is not really the main part of church service yet. The church is busy with many activities that have internal orietation, namely to the church itself. Church diaconia gets less priority compared to preaching the Gospel or renewing church dogma. The situation and the development of church and society should have impact on the change of model of diaconia. It means that the churches need to think about how they do diaconia in the society. There are three types of Diaconia, namely caritative diaconia, reformative diaconia and transformative. It is not enough to do just caritative and reformative diaconia. In context of injustice there is a need of transformative diaconia. Key Words: diaconia, church, transformative. Abstrak: Diakonia seharusnya disejajarkan atau menjadi bagian dari pekabaran Injil. Namun gereja sering gagal dalam melakukan diakonia karena belum dilihat sebagai bagian penting dari pelayanan gereja. Gereja sering kali sibuk dengan urusan internal, atau sibuk dengan pelayanan bagi gereja itu sendiri. Diakonia bahkan sering kurang mendapat prioritas dibandingkan dengan urusan gereja yang terkait dengan dogma atau ajaran. Namun upaya untuk menjadikan diakonia sebagai bagian penting dari pelayanan gereja haruslah sejalan dengan perhatian gereja konteks gereja khususnya masyarakat dimana gereja ada. Itu berarti bahwa perkembangan gereja dan masyarakat harus memiliki dampak pada pengembangan diakonia gereja. Dengan demikian diakonia haruslah memperlihatkan keseriusan gereja untuk hadir dan berkarya di 127
128
GEMA Vol. 36, No. 1, April 2012 : 127–138
tengah-tengah masyarakat. Ada tiga bentuk diakonia yang dapat dikembangkan oleh gereja, yaitu diakonia karitatif, diakonia seformatif dan diakonia transformatif. Konteks masyarakat saat ini, dimana ketidakadilan menjadi konteks yang dominan, menantang gereja untuk tidak hanya melakukan diakonia karitati atau reformatif, tetapi juga diakonia transformatif. Kata-kata Kunci: diakonia, gereja, transformatif. Pengantar Saat ini pelayanan diakonia telah menjadi sebuah percakapan dan praktek yang umum dalam pelayanan gereja. Namun ada pertanyaan penting yang perlu kita diskusikan bersama: “apakah diakonia merupakan wujud dari kasih Kristus bagi manusia, ataukah sebuah bentuk pelayanan sosial modern yang selalu dikaji dan dikembangkan bentuk-bentuk pelaksanaannya”? Untuk menjawab pertanyaan ini, sejak awal tulisan ini saya ingin memberikan keseimbangan terhadap teks-teks Alkitab yang sering dipakai untuk menggambarkan pelayanan diakonia yang berbasis pada Alkitab. Orang sudah sangat sering atau terbiasa memakai Matius 25:31-46 tentang ‘Penghakiman Terakhir’ dan Lukas 10:25-37 tentang ‘Orang Samaria yang Murah Hati’ untuk membangun sebuah paradigma tentang pelayanan diakonia yang dilakukan oleh gereja (Rössler, 1994: 158). Singgih memakai Lukas 10:25-37 untuk menjelaskan bentuk pelayanan diakonia yang keluar dari batas golongan sendiri (Singgih, 1992: 18-19). Namun dalam diskusi-diskusi tentang diakonia gereja penggunaan perikop-perikop ini tidak menolong orang untuk memahami apa sebetulnya diakonia. Penggunaan perikop-perikop ini sering membuat orang melihat pelayanan diakonia menjadi tidak berbeda sama sekali dengan pelayanan sosial modern yang ada dalam masyarakat. Orang tidak lagi melihat diakonia sebagai pelayanan gereja yang bertujuan untuk menjadi “alat untuk menyatakan kemuliaan Tuhan atau ‘Kerajaan Allah’ di dunia ini” (Singgih, 1992: 22). Karena itu menurut saya penting sekali bila orang juga mau memahami pelayanan diakonia gereja dari uraian Kis 6:1-7. Kisah dalam Kis 6:1-7 berawal dari protes orang-orang Yahudi yang berbahasa Yunani kepada orang-orang Ibrani karena pelayanan ‘pembagian makanan setiap hari kepada janda-janda’ (Gaertner, 2006: 118) dari kalangan orang Yahudi berbahasa Yunani ini terabaikan. Keluhan atau kritik ini sebenarnya menggambarkan apa yang menjadi praktek
Pelayanan Diakonia Yang Transformatif: Tuntutan Atau Tantangan
129
NHNULVWHQDQ PXODPXOD VDDW LWX \DLWX SHOD\DQDQ ¿UPDQ \DQJ EHUMDODQ seiring dengan pelayanan sosial gereja. Praktek gereja mula-mula ini, khususnya gereja di Yerusalem, sebenarnya merupakan warisan dari tradisi Yahudi di Sinagoge. Dalam tradisi Yahudi Sinagoge memiliki minimal dua fungsi, yaitu fungsi religius dan fungsi sosial. Sinagoge bukan hanya menjadi tempat ibadah tetapi juga menjadi tempat pelayanan kasih kepada kaum miskin (Willimon, 1988: 59). Gaertner menjelaskan: “Two forms of benevolence were practiced by the Jews. Every Friday relief RI¿FHUVZRXOGFROOHFWPRQH\IRUWKHSRRULQDER[kupah) and distribute enough for fourteen meals to those resident poor in the community. The second form was IRU SRRU VWUDQJHUV ZKRVH SUHVHQFH ZDV WHPSRUDU\7KH UHOLHI RI¿FHUV ZRXOG JR KRXVHWRKRXVHWR¿OODWUD\tambuy) with food and drink from which they will distribute to the poor” (Gaertner, 2006: 119).
Pelayanan diakonia gereja ini merupakan satu kesatuan dengan pelayanan Firman. Keduanya memiliki arti yang sama penting dan keduanya saling berkaitan satu dengan yang lain. Keduanya merupakan perwujudan ‘Kerajaan Allah’ dalam kehidupan manusia. Yang satu, pelayanan Firman, dalam bentuk kata-kata atau verbal, sedangkan yang lain, pelayanan diakonia, dalam bentuk praxis atau karya atau tindakan. Karena keduanya sama-sama merupakan perwujudan ‘Kerajaan Allah’ di tengah-tengah dunia maka keduanya harus dilakukan dengan serius. Karena itu para rasul memutuskan untuk tidak ‘merangkap pekerjaan, karena mereka ingin betulbetul mencurahkan pikiran dan tenaga sepenuhnya pada apa yang sudah menjadi tugas dan tanggung jawab mereka sebelumnya, yaitu pelayanan Firman. Untuk melakukan pelayanan diakonia dibutuhkan orang-orang yang juga nantinya akan mencurahkan pikiran dan tenaga sepenuhnya pada pelayanan tersebut. Jadi orang-orang yang melakukan pelayanan diakonia juga haruslah orang-orang yang secara penuh waktu memberikan tenaga dan pikirannya untuk pekerjaan tersebut. Ini menunjukkan bahwa pelayanan diakonia dilakukan secara serius karena dianggap memiliki arti yang sama penting dengan pelayanan Firman. Kegagalan banyak gereja dewasa ini dalam melakukan pelakukan diakonia disebabkan oleh beberapa alasan, antara lain: 1. gereja memberikan perhatian lebih kepada pelayanan Firman dibandingkan dengan diakonia, dimana pelayanan diakonia hanya menjadi pelengkap dari pelayanan ¿UPDQ DWDX WXJDV WDQJJXQJ MDZDE *HUHMD \DQJ QRPRU GXD JHUHMD masih sering menjadikan pelayanan diakonia hanya sebagai pelayanan yang bersifat insidental; 3. pelayanan diakonia hanya menjadi sama seperti
130
GEMA Vol. 36, No. 1, April 2012 : 127–138
tindakan‚ pertolongan pertama pada kecelakaan‘; 4. Gereja gagal untuk secara sungguh-sungguh menjadikan pelayanan diakonia sebagai kesaksian gereja dalam menghadirkan kerajaan Allah di tengah-tengah dunia ini, di tengah-tengah kehidupan manusia. Menghadirkan kerajaan Allah di tengah-tengah dunia ini tidak berarti mengkristenkan dunia ini. Karena itu pelayanan diakonia gereja juga tidak berarti melakukan pengkristenan terhadap orang-orang yang dilayani oleh gereja. Tetapi gereja juga harus bisa menjadikan pelayanan diakonia gereja sebagai sebuah kesaksian bahwa gereja juga ingin berperan serta dalam menghadirkan kerajaan Allah melalui pelayanan diakonia gereja yang menghadirkan kasih, keadilan dan damai sejahtera bagi umat manusia. Karena itu saya tidak sependapat dengan orang-orang yang sering berpendapat bahwa kita harus melakukan pelayanan diakonia kepada masyarakat tanpa mereka harus tahu apakah yang memberikan pelayanan kepada mereka itu gereja atau bukan. Dengan kata lain orang ingin agar gereja melakukan pelayanan diakonia tetapi gereja sebaiknya menyembunyikan identitas kekristenannya itu. Jika sikap semacam ini dimiliki oleh banyak gereja dalam melakukan pelayanan diakonia maka gereja belum mampu untuk menjadikan pelayanan diakonia sebagai alat kesaksian gereja di tengahtengah dunia ini. Sikap semacam ini menurut saya memperlihatkan bahwa gereja pada satu sisi telah menjadikan pelayanan diakonia hanya sebagai sebuah bentuk pelayanan sosial modern, tetapi pada sisi yang lain (kecurigaan saya) memiliki sindrom minoritas dan fobia kristenisasi. ‘Diakonia: Tantangan Pelayanan Gereja Masa Kini’ 2 Perkembangan pelayanan diakonia pada abad 20 memperlihatkan bahwa pelayanan diakonia tidak lagi melulu didominasi oleh gereja. Keterlibatan institusi atau lembaga Kristen dalam melakukan pelayanan diakonia di tengah-tengah masyarakat menunjukkan bahwa tugas dan tanggung jawab untuk melakukan pelayanan diakonia tidak lagi dimengerti hanya sebagai tugas dan tanggung jawab gereja sebagai sebuah institusi agama, tetapi sudah merupakan tugas dan tanggung jawab orang Kristen pada umumnya dan itu bisa saja dilakukan melalui institusi atau lembaga Kristen. Bahkan orang-orang yang bergerak di bidang pelayanan diakonia merasa pelayanan diakonia yang dilakukan oleh institusi atau lembaga Kristen jauh lebih maju atau berkembang dibandingkan dengan yang dilakukan institusi gereja (Widyatmadja, 2010: 31). Perhatian Lembaga Pelayanan pada Masyarakat Universitas Kristen Duta Wacana (LPM UKDW) terhadap pelayanan diakonia di tengah-tengah masyarakat adalah
Pelayanan Diakonia Yang Transformatif: Tuntutan Atau Tantangan
131
salah satu contoh dari keikutsertaan institusi atau lembaga Kristen dalam pelayanan diakonia khususnya bagi masyarakat. LPM UKDW bahkan sudah seringkali merangkul gereja-gereja untuk melakukan pelayanan diakonia bersama dan juga menolong gereja-gereja untuk mengkaji ulang pemahaman mereka tentang diakonia dan bagaimana sebaiknya mendesain sebuah pelayanan diakonia. Hal ini tentu menarik karena memperlihatkan hubungan dan kerjasama diantara gereja dan institusi atau lembaga Kristen dalam melakukan pelayanan diakonia, tetapi pada sisi lain memperlihatkan perubahan arah basis pelayanan diakonia yang sepertinya berpindah dari gereja kepada institusi atau lembaga Kristen. Saya membayangkan seharusnya gereja yang menolong institusi atau lembaga Kristen untuk memahami pelayanan diakonia dengan benar dan bersama-sama dengan institusi atau lembaga Kristen mendesain bentukbentuk pelayanan diakonia. Hasil seminar yang dipublikasikan dalam buku “Diakonia: Tantangan Pelayanan Gereja Masa Kini” merupakan usaha LPM UKDW untuk menolong gereja dan juga institusi atau lembaga Kristen atau organisasi sosial Kristen lainnya untuk memahami apa itu diakonia dan bagaimana sebaiknya melakukan pelayanan diakonia. Tulisan-tulisan dalam buku ini sejak awal memperlihatkan sebuah kesadaran bahwa diakonia merupakan aspek penting dari pelayanan gereja dan juga tidak kalah pentingnya dibandingkan dengan bentuk-bentuk pelayanan gereja lainnya. Situasi dan perkembangan gereja dan masyarakat membuat diakonia gereja juga mengalami perubahan. Itu artinya bahwa gereja perlu memikirkan bentuk-bentuk pelayanan diakonia yang pas dengan situasi dan perkembangan gereja dan masyarakat yang ada. Hal yang tidak kalah pentingnya yang ditekankan sejak awal dalam buku ini adalah pentingnya menggali sumber daya atau potensi yang ada di dalam gereja untuk mendukung pelayanan diakonia. Namun, tulisan-tulisan yang disajikan belum memberikan gambaran jelas tentang model pelayanan diakonia macam apa yang perlu dikembangkan oleh gereja di tengah-tengah konteks dimana gereja berada, apakah itu model diakonia karitatif, diakonia reformatif ataukah diakonia yang transformatif.3 Budyanto, misalnya, hanya lebih memberikan perhatian pada pelayanan yang diistilahkannya sebagai pelayanan yang komprehensif dan kepioniran. (Budyanto, 1992: 26-29). Yang ingin ditekannya melalui pelayanan yang komprehensif di sini hanyalah ajakan bagi gereja-gereja untuk melakukan pelayanan diakonia secara bersama-sama. Sedangkan dalam pembahasannnya tentang pelayanan kepioniran Budyanto mengajak gereja untuk kembali
132
GEMA Vol. 36, No. 1, April 2012 : 127–138
menjadi pelopor dalam melakukan pelayanan-pelayanan yang menjawab tantangan zaman. Dia memberikan contoh ketika orang belum berpikir tentang pentingnya pelayanan di bidang pendidikan dan kesehatan, orangorang Kristen sudah memiliki sekolah-sekolah dan rumah-rumah sakit. Kajian teologis terhadap pelayanan gereja dibahas secara mendetail dalam tulisan Singgih (Singgih, 1992: 14-25). Sejak awal dalam tulisannya Singgih menegaskan bahwa jika orang-orang Kristen mengartikan pelayanan itu secara umum sekali maka arti pelayanan ini akan menjadi jauh berbeda dengan arti pelayanan yang digambarkan dalam Injil. Dalam hal ini menurut Singgih pelayanan Kristen harus mengikuti model pelayanan yang ditunjukkan oleh Yesus. Hal yang pertama yang perlu diingat oleh gereja adalah bahwa gereja memiliki tanggung jawab untuk melayani dan bukan dilayani. Dengan mengacu pada Mk 10:35-45, Singgih menegaskan bahwa jika yang menjadi orientasi gereja adalah kesejahteraan orang lain maka gereja akan berpikir bagaimana dia melayani. Jika orientasinya hanya pada dirinya sendiri maka gereja hanya ingin selalu dilayani. Penekanan Singgih yang kedua didasari atas Mk 2:13-17 dan 1 Kor 12:12-31 dimana dia ingin menegaskan bahwa sebagaimana Yesus maka pelayanan gereja juga harus merupakan pelayanan yang selalu mendahulukan mereka yang lemah atau mereka yang seringkali terabaikan atau tersingkir dalam masyarakat. Inilah yang dimaksudkannya dengan pelayanan yang menunjukkan di satu sisi solidaritas gereja dengan mereka yang ‘menderita’, tetapi di sisi lain sebuah pelayanan yang adil karena melayani mereka yang belum terlayani. Namun pemahaman tentang pelayanan sebagaimana dikatakan Singgih di sini menurut saya bisa memberi kesan gereja sebagai pihak luar yang kehadirannya seakan dibutuhkan oleh pihak lain. Sosok gereja menjadi seperti sosok sang penyelamat. Karena itu pemahaman bahwa gereja adalah bagian dari mereka yang dilayani haruslah lebih ditekankan lagi. Gereja harus juga bisa menemukan tempatnya atau menyadari bahwa dia juga bagian dari tubuh yang digambarkan dalam 1 Kor 12:12-31. Yesus tidak melayani sebagai orang asing yang datang melayani orang lain. Yesus adalah bagian dari orang-orang yang dilayaniNya itu. Yesus telah menjadi sama dengan manusia supaya dia juga bisa menolong manusia. Menjadi sama di sini harus dimengerti sebagai mengambil bagian dalam keberadaan manusia. Dengan mengambil bagian dalam keberadaan manusia Yesus mampu memahami dan merasakan ‘sakit’ yang dirasakan manusia, dan pada gilirannya bisa memberikan ‘obat’ yang tepat untuk mengatasi ‘sakit’ tersebut. Prinsip semacam inilah yang juga harus dimiliki gereja dalam melakukan pelayanannya.
Pelayanan Diakonia Yang Transformatif: Tuntutan Atau Tantangan
133
Pada pembahasan selanjutnya Singgih memberikan penekanan pada tanggung jawab gereja untuk melayani melewati batas golongannya sendiri. Dalam konteks gereja saat ini mungkin lebih tepat jika kita membahasakan ‘melewati batas golongannya sendiri’ ini sebagai ‘melewati batas kekristenan itu sendiri’. Saya lebih memilih mengatakan di luar batas kekristenan karena ada gereja yang melakukan pelayanan di luar gerejanya sendiri tetapi masih juga untuk orang Kristen yang adalah warga gereja lain. Untuk mendukung pendapat tentang pelayanan yang ‘melewati batas kekristenan itu sendiri’ ini Singgih menguraikan apa yang tertulis dalam Luk 10:25-37 tentang orang Samaria yang murah hati dan Mrk 8:1-10 tentang pemberian makan kepada 4000 orang. Sebenarnya ada dua unsur penting yang ditekankan oleh Singgih yang bisa menolong gereja untuk melayani keluar dari batas golongannya sendiri. Dan menurut saya kedua hal inilah yang seharusnya menjadi nilai utama dalam melakukan pelayanan diakonia. Kedua unsur penting yang dimaksudkan Gerrit Singgih itu adalah ‘orang lain adalah juga manusia, sesama kita’ dan ‘belas kasihan (compassion)’. Jika kedua unsur ini tetap dipertahankan maka kita bisa melakukan pelayanan diakonia sebagai sebuah kesaksian dalam menghadirkan kehadiran Allah di tengah-tengah kehidupan manusia tanpa berusaha melakukan apa yang diistilahkan Singgih dengan ‘pertobatan moral’ dan ‘menjadi anggota’. Itu artinya bahwa arti pelayanan diakonia yang tanpa ‘pertobatan moral’ dan ‘menjadi anggota’ adalah menjadikan orang yang menerima karya pelayanan tersebut sebagai ‘manusia bebas’ yang memiliki kekebasan untuk menghayati kehadiran Allah melalui penghayatannya sendiri. Catatan Singgih tentang hubungan diantara ‘Koinonia’, ‘Diakonia’ dan ‘Marturia’ penting untuk diperhatikan dalam memahami apa sebenarnya pelayanan diakonia itu. ‘Koinonia’, ‘Diakonia’ dan ‘Marturia’ yang dipahami sebagai tiga panggilan gereja seringkali dimengerti secara terpisah atau tanpa dilihat kaitannya satu dengan yang lain. Karena itu orang sering kali merasa yang satu lebih penting dari yang lain dan dalam prakteknya seringkali melakukan yang satu dan mengabaikan yang lain. Seringkali gereja memberi penekanan yang kuat pada yang institusional atau kelembagaan (Koinonia) tetapi mengabaikan yang ritual (Marturia) dan yang etikal (Diakonia). Atau yang ritual dan yang etis hanya ditempatkan dalam kaitannya dengan yang institusional. Atau ada gereja yang memberikan penakanan yang kuat pada segi ritual (Marturia) dan melihat yang institusional (Koinonia) dan etikal (Diakonia) itu hanya dari segi ritual saja. Penekanan atas yang etikal (Diakonia) juga seringkali menyebabkan pengabaian terhadap yang institusional dan yang ritual.
134
GEMA Vol. 36, No. 1, April 2012 : 127–138
Singgih mengatakan: “Orang tidak lagi berbicara mengenai Gereja dan masyarakat, tetapi mengenai pribadi (yang kebetulan adalah warga gereja) dan masyarakat. Orang tidak lagi berbicara mengenai ritual dan simbol sehingga tugas gereja dilihat sekadar sama seperti LSM-LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat).”
Catatan Singgih ini menurut saya tentu juga berlaku bagi institusi atau lembaga-lembaga Kristen yang ikut ambil bagian dalam melakukan pelayanan diakonia atau juga yayasan-yayasan yang didirikan oleh gereja untuk melakukan pelayanan diakonia. Itu artinya bahwa kita berharap institusi atau lembaga atau yayasan Kristen tidak mengabaikan hubungan antara ritual dan simbol sehingga menjadikan pelayanan diakonia mereka sama seperti LSM-LSM. Hal ini tentu merupakan tantangan bukan hanya bagi gereja tetapi juga bagi intitusi atau lembaga atau yayasan Kristen yang melakukan pelayanan diakonia bagi masyarakat secara menyeluruh. Pada bagian akhir dari tulisannya Singgih memberi penekanan pada pelayanan diakonia sebagai usaha menghadirkan kesejahteraan hidup bersama. Hal ini menurutnya sesuai dengan konteks masyarakat Indonesia yang orientasi berpikirnya selalu ke arah kelompok atau komunal. Kesenjangan sosial yang sepertinya semakin tidak teratasi melalui pembangunan di Indonesia menuntut gereja untuk melakukan pelayanan diakonial demi kesejahteraan komunal sehingga menolong menjembatani kesenjangan yang ada dalam masyarakat. Singgih bahkan dengan tegas mengatakan bahwa usaha menghadirkan kesejahteraan bersama ini harus bersumber pada kelompok yang terbesar dalam negara ini, yaitu umat Muslim. Mereka harus juga dilibatkan dalam pelayanan diakonia gereja tanpa usaha ‘pertobatan moral’ dan ‘menjadi anggota’. Jika diakonia gereja harus menjadi usaha menghadirkan kesejahteraan bersama maka menurut saya untuk konteks saat ini gereja bukan hanya harus memikirkan siapa yang harus dilibatkan dalam pelayanannya tetapi apa yang seharusnya dilakukan gereja untuk mengatasi kesenjangan yang ada dan menghadirkan kesejateraan bersama. Untuk itu, ‘Delapan Sasaran Pembangunan Milenium’ yang ditetapkan dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Milenium pada September 2000 4 haruslah benarbenar menjadi bagian dari perencanan gereja dalam melakukan pelayanan diakonia.
Pelayanan Diakonia Yang Transformatif: Tuntutan Atau Tantangan
135
Diakonia Transformatif: Sebuah kebutuhan Saya mengandaikan bahwa kajian teologis dalam buku ‘Diakonia: Tantangan Pelayanan Gereja Masa Kini’ tidak memberikan perhatian pada bentuk atau model dari diakonia gereja tidaklah berarti menganggap bentuk atau model itu tidak terlalu penting. Namun dalam buku itu yang ingin ditekankan adalah nilai yang seharusnya mendasari atau menjiwai apapun bentuk atau model diakonia gereja. Dengan kata lain apakah gereja ingin melakukan diakonia yang karitatif, reformatif atau transformatif semuanya itu harus didasari atas nilai-nilai yang sudah dibicarakan di atas. Bentuk atau model diakonia gereja hanyalah persoalan pemilihan metode yang pas dengan situasi dan konteks masyarakat termasuk konteks manusianya itu sendiri dalam melakukan pelayanan diakonia gereja. Akhir-akhir ini orang seringkali berbicara tentang diakonia yang transformatif. Bahkan ada orang yang merasa bahwa diakonia yang karitatif tidaklah begitu pas lagi dengan situasi masyarakat kita saat ini. Meskipun menurut Yewangoe dimana diakonia transformatif belum bisa dilakukan maka gereja juga perlu melakukan diakonia karitatif (Yewangoe, 2009: 136-137). Tetapi pernyataan ini menurut saya juga memberi kesan bahwa pada akhirnya diakonia karitatif akan ditinggalkan ketika gereja sudah mampu untuk melakukan diakonia transformatif. Mengacu kepada diskusidiskusi di seputar diakonia transformati maka perlu diajukan pertanyaan di sini: apakah diakonia transformatif pada akhirnya akan menjadi satusatunya model pelaksanaan diakonia gereja? Van Kooij, dkk merumuskan diakonia transformatif sebagai pelayanan yang mengarah kepada perubahan struktural dalam masyarakat. (van Kooij, 2007: 41). Kesan yang muncul adalah sistem dalam masyarakat dianggap tidak menolong masyarakat untuk hidup dengan lebih baik karena hanya menciptakan ketidakadilan dalam masyarakat. Karena itu sistem yang ada perlu dibongkar dan dibuat sistem yang baru yang lebih mendukung perwujudan keadilan dalam masyarakat sebagai usaha untuk mengatasi kemiskinan. Widyatmadja mengartikan diakonia transformatif sebagai pelayanan ‘mencelikkan mata yang buta dan memampukan kaki seseorang yang kuat untuk berjalan sendiri’. (Widyatmadja, 2010: 44). Widyatmadja mengatakan lebih lanjut: “Rakyat kecil yang buta hukum serta mengalami kelumpuhan semangat berjuang perlu dilayani, yaitu dengan menyadarkan hak-hak mereka dan memberdayakan mereka. Rakyat kecil butuh penyadaran atas hak-haknya karena mereka telah menjadi kelompok yang putus asa serta kehilangan dan tidak menyadari hak
136
GEMA Vol. 36, No. 1, April 2012 : 127–138
mereka. Semangat dan harapan mereka telah hilang atau pudar. [...] Mereka juga butuh dorongan dan semangat untuk percaya pada diri sendiri.” (Widyatmadja, 2010: 44).
Untuk bisa melakukan diakonia transformatif perlu diperhatian beberapa hal penting berikut ini: [1] Rakyat tidak boleh menjadi obyek. Mereka adalah subyek dari sejarah kehidupan ini; [2] Yang diperlukan adalah usaha-usaha preventif dan bukan karitatif; [3] Usaha mewujudkan keadilan harus menjadi dasar; [4] Rakyat harus didorong untuk berpartisipasi aktif; [5] Sebelum melakukan tindakan maka perlu dilakukan analisis sosial; [6] Perlunya penyadaran rakyat atas apa yang menjadi hak-hak mereka; [7] Rakyat perlu diorganisir untuk melakukan ini secara bersama. (Widyatmadja, 2010: 45). Uraian-uraian ini menujukkan kepada kita bahwa diakonia transformatif adalah sebuah kebutuhan bagi masyarakat kita saat ini, karena mengacu kepada konteks sosial politik masyarakat kita saat ini. Namun itu bukan berarti bahwa diakonia yang karitatif dan reformatif harus diabaikan. Menurut saya diakonia yang karitatif dan reformatif sampai kapanpun masih tetap perlu untuk dilakukan. Namun yang harus menjadi perhatian bersama kita saat ini adalah bagaimana menghadirkan diakonia yang transformatif dalam kehidupan masyarakat. Menghadirkan diakonia yang transformatif berarti menolong masyarakat untuk mematahkan kuasa-kuasa yang membuat mereka tidak menjadi manusia ciptaan Tuhan sepenuhnya. Dan untuk melakukan diakonia yang transformatif gereja tidak bisa hanya mau berurusan dengan ‘pihak bawah’ tetapi juga dengan ‘pihak atas’. Diakonia yang transformatif ini harus menjadi sebuah pelayanan gereja secara bersama. Yesus bukan hanya hadir untuk menolong mereka yang diperlakukan dengan tidak adil, tetapi juga mau mengkritik mereka yang menjadi penyebab ketidakadilan dalam masyarakat. Dengan demikian diakonia transformatif adalah sebuah tantangan bagi gereja tetapi sekaligus juga sebuah tuntutan.
Daftar Pustaka Budyanto. 1992. Orientasi dan Bentuk Pelayanan. Dalam Andaru Atnyoto (Ed.), Diakonia: Tantangan Pelayanan Gereja Masa Kini. Yogyakarta: LPM UKDW. Gaertner, Dennis. 2006. $FWV7KH&ROOHJH3UHVV1,9&RPPHQWDU\. Joplin: College Press Publishing Company
Pelayanan Diakonia Yang Transformatif: Tuntutan Atau Tantangan
137
van Kooij, Rijnardus A., Patnaningsih, Sri A., dan Tsalatsa, Yam’ah. 2007. Menguak Fakta, Menata Karya Nyata, Sumbangan Teologi Praktis dalam Pencarian Model Pembangunan Jemaat Kontekstual. Jakarta: BPK Gunung Mulia Rössler, Dietrich. 1994. Grundriß der praktischen Theologie. Berlin: Walter de Gruyter & Co. Singgih, Emanuel Gerrit. 1992. Hakikat Gereja yang Melayani. Dalam Andaru Satnyoto (Ed.), Diakonia, Tantangan Pelayanan Gereja Masa Kini. Yogyakarta: LPM UKDW. Widyatmadja, Josef P. 2010.
Lihat Satnyoto (1992)
3 Tiga bentuk atau model diakonia ini adalah yang umum dipahami tentang model pelayanan diakonia. Lih. Widyatmadja (2010: 31-55). Van Kooij, dkk malah membuat sebuah kombinasi dari ketiga model ini untuk memperlihatkan kesinambungan dari ketiga model ini, yaitu: diakonia karitatif, diakonia karitatif-reformatif, diakonia reformatif, diakonia reformatif-transformatif dan diakonia transformatif. Kooij (2007: 88-89). 4 Hasil KTT Milenium ini dikenal dengan nama ‚Deklarasi Milenium‘ Deklarasi ini diadopsi oleh 189 negara dan ditandatangani oleh 147 kepala negara termasuk pemerintah Indonesia. Deklarasi Milenium ini menetapkan delapan sasaran pembangunan mile-
138
GEMA Vol. 36, No. 1, April 2012 : 127–138
nium, yaitu: [1] Pengentasan kemiskinan dan kelaparan yang ekstrim; [2] Pemerataan pendidikan dasar; [3] Mendukung adanya persaman jender dan pemberdayaan perempuan; [4] Mengurangi tingkat kematian anak; [5] Meningkatkan kesehatan ibu; [6] Perlawanan terhadap HIV/AIDS, malaria, dan penyakit lainnya; [7] Menjamin daya dukung lingkungan hidup; [8] Mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan.
Jika Aku Lemah, Maka Aku Kuat: Spiritualitas Eka Darmaputera Bergumul Dengan Sakit-Penyakit
139
JIKA AKU LEMAH, MAKA AKU KUAT: SPIRITUALITAS EKA DARMAPUTERA BERGUMUL DENGAN SAKIT-PENYAKIT1 Natanael Setiadi Pendeta Jemaat yang melayani di GKI Kayu Putih, Jakarta
Abstract: Everybody can be sick. The sick people absolutely want to be healed. So, the most important thing when we talk about sickness is our response and attitude of LW)RUUHOLJLRXVSHRSOHWKHDWWLWXGHLVLQÀXHQFHGE\KLVRUKHU VSLULWXDOLW\:KDWNLQGRIVSLULWXDOLW\WKDWLV¿WWRIRUPDQDWWLWXGH WRZDUG VLFNQHVV" 0\ K\SRWKHVLV KHUH LV LQÀXHQFHG E\ (ND¶V book, “Jika Aku Lemah, Maka Aku Kuat”. His spirituality was LQÀXHQFHGE\KLV&DOYLQLVWEDFNJURXQG%HVLGHWKDWLIZHORRN at Eka’s spirituality from the perspective of mystic spirituality, HVSHFLDOO\ZKLFKLVGH¿QHGE\0HLVWHU(FNKDUWDQG'RURWKHH Soelle, there are some similarities with that kind of spirituality. My observation here is based from several of Eka’s writings, including his open letter to the participants of one program named “Night prayer with Eka Darmaputera”. Key Words: Eka Darmaputera, Sickness, Soelle, Eckhart, Hopeful Realism. Abstrak: Manusia bisa mengalami sakit-penyakit. Dalam situasi seperti itu, maka harapan wajar yang muncul adalah kesembuhan. Dalam hal ini, spiritualitas seseorang berperan besar untuk menentukan sikapnya terhadap penyakit yang dihadapinya. Eka Darmaputera yang dibahas dalam tulisan ini, adalah tipe orang yang memiliki penyakit yang tak kunjung sembuh. Tulisan ini juga menelusuri bahwa spiritualitas mistik Eka yang demikian itu tidak baru muncul setelah Eka menderita sakit, melainkan sesuatu yang sudah lama muncul dalam kesadaran dan penghayatan Eka. Dalam tulisan ini juga ditunjukkan bahwa apa yang diajarkan oleh Eka sebagai pendeta, misalnya tentang spiritualitas, penderitaan dan pengharapan, itulah juga yang dihidupinya saat bergumul 139
140
GEMA Vol. 36, No. 1, April 2012 : 139–160
dengan penyakitnya. Pada akhirnya, lewat tulisan ini, nampak bahwa Eka sebagai orang Kristen Indonesia telah memberi contoh bahwa spiritualitas mistik sesungguhnya bisa dimiliki oleh setiap orang yang mencintai Allah. Kata-kata Kunci: Eka Darmaputera, sakit-penyakit, Soelle, Eckhart, Realisme yang berpengharapan. I. Pendahuluan Setiap orang bisa mengalami sakit-penyakit.2 Tidak ada orang yang tidak pernah jatuh sakit selama hidupnya. Secara teologis, bisa dikatakan bahwa ihwal munculnya sakit-penyakit (secara khusus dan penderitaan secara umum) adalah pasca kejatuhan manusia dalam dosa.3 Dalam Perjanjian Lama (PL), terutama kitab-kitab yang dipengaruhi perspektif Deuteronomistis, yakni Ulangan sampai 2 Raja-raja, muncul tekanan kuat terhadap ’keadilan retributif’, bahwa orang baik/yang benar/yang taat kepada Allah mendapat berkat dan keselamatan; sebaliknya orang jahat/ yang bersalah/yang tidak taat kepada Allah mendapat kutuk berupa berbagai penyakit, bencana alam, kekalahan dalam perang; singkatnya penderitaan dalam berbagai aspek kehidupan. Dalam pemberitaan para nabi, terutama Hosea, Amos, Yesaya dan Mikha, diserukan tentang pentingnya kepedulian umat pada dimensi sosio-etis dari ibadah. Pengabaian terhadap seruan para nabi berujung pada bencana. Namun pemaknaan terhadap keadilan retributif dalam PL ternyata mengalami gugatan radikal, sebagaimana nampak dalam Kitab Ayub dan Pengkhotbah. Ayub dijelaskan sebagai orang yang saleh dan jujur, takut akan Allah dan menjauhi kejahatan (Ayb. 1:1), namun justru menanggung derita. Dalam Kitab Pengkhotbah disebutkan bahwa nasib orang benar/baik/tahir adalah sama dengan orang fasik/jahat/tidak tahir (Pkh. 9:2). Pada bagian lain bahkan dikatakan bahwa ada orang benar yang menerima ganjaran yang layak untuk orang fasik, dan ada orang fasik yang menerima pahala yang layak untuk perbuatan orang benar (Pkh. 8:14) (Tjen, 2010: 17-27). Di sini nampak bahwa ada misteri tak terpecahkan mengenai keadilan Allah dan kontradiksi yang ada di dalamnya. Dari berbagai perspektif PL tentang penderitaan di atas, nampak bahwa sakit-penyakit tidak selalu identik dengan dosa si sakit atau dosa si sakit menyebabkannya mengalami sakit-penyakit tertentu. Memang ada dosa tertentu yang menyebabkan sakit tertentu pula, misalnya: orang yang terus-menerus menyalahgunakan narkoba lewat jarum suntik kemudian
Jika Aku Lemah, Maka Aku Kuat: Spiritualitas Eka Darmaputera Bergumul Dengan Sakit-Penyakit
141
terkena virus HIV. Akan tetapi, ada juga berbagai penyakit yang tidak disebabkan oleh dosa, namun oleh hal lain. Ilmu kedokteran modern menjelaskannya sebagai yang disebabkan oleh virus, bakteri jahat, bahkan mutasi genetik. Pastinya, setiap orang bisa mengalami sakit-penyakit. Mengingat setiap orang pernah jatuh sakit, maka setiap orang pasti punya harapan untuk sembuh dari sakit-penyakitnya. Bahkan, bagi banyak orang, berapapun harga yang harus dibayar untuk sebuah kesembuhan, akan diperjuangkan. Saat ini, ketika sebagian orang meragukan kualitas pengobatan di dalam negeri, ada yang menjalani ”wisata berobat” ke negeri jiran, yakni: Malaysia dan Singapura, bahkan sampai ke ”negeri pengobatan Timur”, Republik Rakyat Cina. Bahkan, mereka yang berjuang untuk sembuh di dalam negeri pun tidak sedikit. Mulai dari yang menjalani pengobatan rasional (yakni: pengobatan modern dan tradisional4 yang bisa dijelaskan secara ilmiah dan/atau akal sehat), suprarasional (yakni: pengobatan lewat penyembuhan yang mengandalkan kekuatan ilahi alias mujizat), sampai irasional (yakni: pengobatan klenik, yang mengandalkan kekuatan gaib atau bahkan yang tidak jelas; sesuatu yang tidak bisa dijelaskan oleh akal sehat). Persoalan muncul ketika kesembuhan yang diperjuangkan tidak didapat. Terlebih lagi ketika pandangan masyarakat umumnya masih mengaitkan sakit-penyakit dengan dosa si sakit, maka perjuangan untuk sembuh bisa membawa seseorang pada jalan Machiavelian, yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan (baca: kesembuhan). Karena itu, bicara tentang sakit-penyakit, maka hal yang perlu dipahami adalah pada bagaimana sikap seseorang dalam menghadapi sakitpenyakitnya itu. Bagi orang beragama, sikapnya tersebut ditentukan oleh spiritualitasnya. Memahami tentang spiritualitas tentu tidak bisa dipisahkan dari pembicaraan tentang agama. Eka Darmaputera (selanjutnya akan disebut Eka) menjelaskan arti dan kaitan spiritualitas dengan agama. Dalam agama, dikenal dengan adanya pengalaman agamawi, yakni pengalaman yang penuh misteri. Di satu sisi amat memesona. Pada saat yang sama, menggetarkan dan menggentarkan. Pengalaman agamawi ini tidak dapat diulang, tapi dalam batas tertentu dapat dipertahankan. Hal ini diibaratkan Eka dengan ’api’ dan ’panas’. Pengalaman agamawi itu adalah ’api’ yang sekali menyala, tapi ’panas’-nya dapat terus dipelihara dan dirasakan yakni dalam spiritualitas (Darmaputera, 1997: 389-390). Jadi, saya memahami bahwa spiritualitas itu adalah bagian integral dari kehidupan setiap orang beragama atau orang yang mengasihi Allah. Apa yang diimani seseorang
142
GEMA Vol. 36, No. 1, April 2012 : 139–160
dalam agamanya, itulah pula yang dihayati dan diungkapkan dalam kesehariannya, termasuk dalam menghadapi penderitaan secara umum dan sakit-penyakit secara khusus. Terkait dengan pembahasan mengenai sakit-penyakit di atas, spiritualitas seperti apa yang dapat membentuk sikap seseorang yang tepat dalam menghadapi sakit-penyakit? Apakah ”spiritualitas yang ada maunya” (yakni: kesembuhan)? Sungguh manusiawi harapan kesembuhan tersebut. Namun bagaimana jika seseorang (yang beriman) akhirnya tidak sembuh? Apakah situasi itu akan menggoyahkan spiritualitasnya; melunturkan cintanya kepada Allah? Eka, yang dibahas dalam makalah ini, menurut saya bukanlah orang yang seperti itu. Hipotesis awal saya ini turut dipengaruhi oleh judul buku buah karya Eka yang berjudul Jika Aku Lemah, Maka Aku Kuat5, yang menjadi judul makalah ini. Di tengah-tengah pergumulannya menghadapi penyakit (sirosis dan kanker hati)6 selama dua puluh satu tahun lebih7 (yang akhirnya merenggut nyawanya pada 29 Juni 2005), ia justru menunjukkan spiritualitas yang bisa diteladani. Spiritualitas yang seperti apakah itu? Adakah itu dipengaruhi oleh masa kecil Eka yang sulit di Magelang? Adakah itu dipengaruhi oleh spiritualitas Calvinis, mengingat ia berkarya di suatu jemaat yang sinodenya bercorak Calvinis? Apakah spiritualitas Eka tersebut baru muncul atau terbentuk ketika ia sakit? Bagaimana jika ia tidak sakit? Hal-hal ini akan dibahas, dianalisa dan dibuktikan lebih lanjut dalam uraian selanjutnya dari makalah ini. Sementara mengenai subjudul, saya memaksudkannya sebagai pembatasan topik yang hendak diuraikan berhubung keterbatasan tempat dalam makalah ini, bukan bermaksud mempersempit atau memperdangkal keluasan dan kedalaman spiritualitas seorang Eka. Sekalipun begitu, dalam uraian makalah ini persinggungan dengan spiritualitas Eka yang utuh menjadi suatu keniscayaan.
2. Mengenal Eka Darmaputera (1942-2005) dan Spiritualitasnya 2.1. Masa kecil Eka dan pengaruhnya bagi Eka Trisno S. Sutanto, yang coba menguraikan riwayat hidup Eka dalam festschrift (buku penghargaan) untuk Eka, ”Pergulatan Kehadiran Kekristenan di Indonesia”, menerangkan bahwa Eka dilahirkan pada tanggal 16 November 1942 di Magelang, dengan nama The Oen Hien, ”nama asli” yang tak pernah dipakainya lagi. Ia merupakan sulung dari dua bersaudara, buah pernikahan suami-istri The Sie Piauw (alm.) dan Tjeng
Jika Aku Lemah, Maka Aku Kuat: Spiritualitas Eka Darmaputera Bergumul Dengan Sakit-Penyakit
143
Kwan Nio. Keluarganya tersebut tergolong sangat miskin. Orangtuanya mengandalkan hidup dengan membuka warung kecil. Situasi itulah yang membuat Eka menempuh pendidikan di sekolah non-elite, yakni SD Masehi, SMP BOPKRI, dan SMA Negeri Magelang. Di situlah ia bergaul melintasi batas-batas ras. Sutanto mencatat pengakuan Eka sebagai berikut, ”Itulah masyarakat di mana saya hidup. Mereka itulah yang membentuk diri saya.” (Sutanto, 2001: 9-13). Rumahnya semasa di Magelang berada di sekitar tangsi kompleks militer. Menurut Sutanto, yang mengutip wawancara Bahana dengan Eka, semasa kecil Eka memiliki kawan-kawan akrab dari kelompok pribumi. Sutanto menilai, bisa jadi hal inilah yang membuat Eka memiliki perasaan nasionalisme yang begitu besar. Bahkan, Sutanto juga mencatat bahwa Eka sempat punya impian menjadi seorang tentara yakni dengan masuk Akademi Militer Nasional (AMN) (Sutanto, 2001: 10-11). Sementara pengalaman Eka yang kemudian, seperti menjalani kuliah di STT Jakarta, tinggal di asrama mahasiswa, menjadi Ketua Senat Mahasiswa STT Jakarta, serta keaktifan dalam gerakan-gerakan kepemudaan seperti: Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Gerakan Siswa Kristen Indonesia (GSKI) dan Front Pelajar Nasional, menurut Sutanto turut membentuk kesadaran ekumenis Eka (Sutanto, 2001: 14-17).
2.2. Menjadi pendeta GKI dan kaitannya dengan spiritualitas Calvinis Atas dorongan Pdt. Clement Suleeman, selepas lulus S1 dari STT Jakarta, Eka melayani suatu jemaat yang lebih dikenal dengan sebutan “Gereja Gang Padang” (kini bernama GKI Bekasi Timur). Pelayanan tersebut berlanjut dengan dipanggilnya Eka menjadi pendeta di jemaat tersebut (Sutanto, 2001: 20-24). Eka ditahbiskan sebagai pendeta pada 15 September 1967 (Sutanto, 2001: 24) dan menjalani emeritasi pada 23 Oktober 2000 (Tim Kompilasi, 2001: 837). Gereja tersebut merupakan bagian dari sinode GKI Jawa Barat.8 Sinode ini mewarisi tradisi Calvin dalam sejarahnya, yang dibawa oleh NZV (Nederlandsche Zendingsvereeneging).9 Karena itu, menurut saya, setiap pendeta yang melayani di sinode tersebut mengenal bahkan dipengaruhi oleh spiritualitas Calvinis, termasuk Eka. Christopherus Hartono menjelaskan bahwa dalam upaya memahami spiritualitas Calvinis, maka tidak bisa dipisahkan dari Reformasi Calvin. Menurutnya, reformasi itu telah menyebabkan perubahan-perubahan yang
144
GEMA Vol. 36, No. 1, April 2012 : 139–160
mendasar dalam cara orang menghayati iman dan melihat kedudukannya di dalam dunia (Hartono, 2006: 14). Adapun butir-butir reformasi Calvin adalah sbb (Hartono, 2006: 14-15): a. Penyangkalan terhadap peranan gereja sebagai pengantara keselamatan sebagai akibat dari dikritiknya anggapan bahwa gereja adalah wakil (Allah dan) Kristus di dunia. Untuk memperoleh keselamatan, orang harus menyerahkan dirinya secara langsung kepada Allah dalam iman (sola gratia). Pengetahuan mengenai apa yang diperlukan untuk keselamatan langsung dapat ditemukan dalam Alkitab (sola scriptura). b. Penyangkalan terhadap perbedaan para rohaniwan dan orang-orang lain sebagai akibat tekanan pada ajaran tentang imamat am orang percaya. Setiap orang percaya, yang merupakan anggota imamat am, terpanggil untuk melayani Allah. c. Pergeseran sikap terhadap kehidupan di dunia sebagai akibat perubahan sikap orang percaya terhadap pekerjaan di dunia. Dunia merupakan tempat bagi orang percaya untuk melaksanakan tugas panggilannya. d. Tekanan pada pengudusan (VDQFWL¿FDWLR), yang harus menyertai pembenaran (LXVWL¿FDWLR). e. Pengajaran predestinasi dalam arti bahwa orang yang dipilih tidak pernah berjuang sendiri melainkan dengan pertolongan Allah. f. Reformasi atas kehidupan gereja, di mana kaum awam dilibatkan dalam pemerintahan gereja dan penekanan pada pendidikan agama, terutama melalui kotbah, sehingga kaum Calvinis berkesempatan memperoleh pengetahuan yang dalam mengenai Alkitab dan ajaran, yang pada gilirannya mempengaruhi mereka dalam menghayati iman mereka. Dari butir-butir reformasi Calvin tersebut, Hartono menjelaskan aktualisasi spiritualitas Calvinis sebagai berikut (Hartono, 2006: 16-17): a. Kemuliaan Allah, gloria Dei. Calvin sangat menekankan bahwa kemuliaan Allah adalah tujuan utama dari segala-galanya, baik untuk Allah maupun untuk manusia. Tekanan yang seperti ini terkait erat dengan reformasi Calvin yang sangat mementingkan kelahiran baru (regeneratio) atau pengudusan (VDQFWL¿FDWLR) –
Jika Aku Lemah, Maka Aku Kuat: Spiritualitas Eka Darmaputera Bergumul Dengan Sakit-Penyakit
145
yang harus menyertai pembenaran (LXVWL¿FDWLR) orang berdosa. b. Hidup baru, pembaruan seumur hidup. Calvin menekankan bahwa kehidupan beriman adalah suatu proses pembaruan senantiasa, yang berlangsung seumur hidup, di mana Calvin meyakini bahwa Roh Kudus mengerjakan pembaruan orang percaya, tetapi Calvin juga menekankan bahwa orang percaya sendiri harus bekerja dengan keras agar pembaruan oleh Roh Kudus dapat berhasil. c. Pedoman hidup baru, sentralitas Alkitab. Di sini, Alkitab dibaca dan direnungkan sebagai buku petunjuk untuk kelakuan, yakni sebagai sumber untuk mengetahui kehendak Allah. d. Semangat mempertahankan keesaan gereja.
2.3. Aktualisasi spiritualitas Calvinis dalam hidup Eka, terutama ketika ia bergumul dengan sakit-penyakit Dari uraian di atas, maka saya melihat dalam diri Eka terdapat spiritualitas Calvinis yang kental. Salah satu wujud spiritualitas Calvinis dalam diri Eka nampak dalam mission statement-nya, sebagaimana dikutip Adi Pidekso, yakni (Pidekso, 2008: 97): ”Mission statement saya adalah menjadi berkat yang sebesarbesarnya bagi sebanyak mungkin orang ... Mengapa? ... karena keyakinan teologis saya yang paling hakiki tentang Kristus adalah bahwa Ia adalah man of God and a man for others ... Dan ayat yang memotivasi dan mewarnai kehidupan saya adalah Yoh. 21:18.” Motto hidup Eka yang seperti itu menunjukkan adanya kerja keras dalam diri Eka, yang ditunjukkannya lewat karya nyata yang di antaranya nampak lewat sejumlah karya tulis dalam berbagai bentuk, yang diterbitkan di dalam dan luar negeri. Mengenai kegetolan Eka dalam menulis, Andar Ismail, memberi kesaksian tersendiri. Menurut Andar, dirinya dan Eka mendisiplinkan diri untuk mengarang minimal satu artikel setiap bulan. Pada tahun 1968-1974, seminggu sekali mereka berkumpul untuk melatih diri dalam mengalimatkan isu teologi menjadi tulisan yang mudah untuk awam (Ismail, 2007: 57). Di sini, saya melihat bahwa Eka sedang berusaha memuliakan Allah lewat keberadaan hidupnya, di mana GLGDODPQ\D$ONLWDEPHQMDGLVXPEHU\DQJGLUHQXQJNDQGLUHÀHNVLNDQGDQ
146
GEMA Vol. 36, No. 1, April 2012 : 139–160
diaktualisasikan di dalam dan melalui kehidupan Eka. Suatami Sutedja, seorang pendeta emeritus GKI yang pernah melayani bersama-sama Eka di jemaat GKI Bekasi Timur dan yang terus berhubungan dengan Eka sebagai rekan sesudah ia pindah ke jemaat lain, menyaksikan bahwa Eka berusaha memuliakan Allah, baik dalam sehat maupun sakit. Hal itu tidak hanya diungkapkan Eka dalam doa, tapi juga dijalaninya (Sutedja, 1999: 852-853). Apa yang disaksikan Sutedja tersebut menemui kebenarannya, ketika Eka yang terus digerogoti oleh penyakitnya, malah tidak menyerah dalam keluh kesah, melainkan terus bergumul dengan sakit-penyakitnya, PHUHÀHNVLNDQQ\DVHFDUDWHRORJLVGDQPHPEDJLNDQKDVLOSHUJXPXODQVHUWD UHÀHNVLHPSLULVQ\DWHUVHEXWGDODPEXNXJika Aku Lemah, Maka Aku Kuat. Dalam bagian Kata Pengantar buku tersebut, Eka mengakui bahwa ia berutang banyak kepada Phillip Yancey, khususnya lewat bukunya Where is God When it Hurts?(Darmaputera, 2004: 10). Buku tersebut membawa pencerahan dan memberi kekuatan kepada Eka. Uraian mengenai pergumulan Eka dalam menghadapi sakitpenyakit dapat menolong, setidaknya saya, untuk mengenali spiritualitas (ND.DUHQDLWXVD\DDNDQPHQJXUDLNDQEXDKEXDKUHÀHNVL(NDWHQWDQJ sakit-penyakit, sebagaimana yang dimuat dalam bukunya di atas, maupun dalam tulisan-tulisannya yang lain.
2.3.1. Kesakitan sebagai anugerah Allah dan megafon Tuhan Eka coba membedakan antara sakit dengan penyakit. Dalam pemahamannya, ada ”sakit” yang bukan ”penyakit”, misalnya: tertusuk paku. Namun ada pula ”penyakit” yang justru tanpa ”rasa sakit”, misalnya: penderita penyakit kusta yang mati rasa. Bukan berarti bahwa penyakit yang tanpa rasa sakit itu lebih baik, sebab justru itu mengerikan (Darmaputera, 2004: 13-14). Sementara ”penyakit” adalah suatu keadaan yang sedapat mungkin harus manusia atasi, obati dan lenyapkan sampai tuntas (Darmaputera, 2004: 15). Selain pembedaan di atas, Eka – mengutip Yancey – juga membedakan antara ”kesakitan” (pain) dan ”penderitaan” (suffering). Hal yang terakhir ini hendak memperlihatkan sisi yang kelam dan kejam dari suatu realita yang terjadi dalam pengalaman hidup manusia (Darmaputera, 2004: 35). Pada tulisannya yang lain, Eka menjelaskan bahwa orang Kristen dipanggil untuk mengikuti jejak/teladan Kristus (1 Ptr. 2:21), yakni jejak dan teladan penderitaan. Tentu, penderitaan bukanlah tujuan dan jangan
Jika Aku Lemah, Maka Aku Kuat: Spiritualitas Eka Darmaputera Bergumul Dengan Sakit-Penyakit
147
dijadikan tujuan. Namun kalau demi iman orang Kristen harus menderita, maka Eka menyatakan agar ia harus berani merangkul penderitaan. Lewat tulisan ini, Eka juga mengkritik ajaran Injil Sukses yang membuat Injil begitu menarik tetapi sekaligus menyesatkan, sebab berusaha menyangkal realitas penderitaan (Darmaputera, 2009: 31). Sementara pada kotbahnya yang kemudian dibukukan, Eka melihat sisi positif penderitaan, yakni sebuah kehormatan yang diberikan Allah kepada manusia, dengan alasan bahwa semakin suatu makhluk peka terhadap penderitaan, maka semakin bermartabatlah makhluk tersebut. Manusia, dalam pandangan Eka, adalah makhluk yang bermartabat paling tinggi, karena ialah makhluk yang paling peka terhadap penderitaan. Ia dapat disakiti oleh perasaan hatinya, digelisahkan oleh kesadaran dirinya, disiksa oleh hati nuraninya (Darmaputera, 2006: 58-59). Sementara mengenai hal yang pertama (kesakitan atau pain), saya melihat bahwa Eka coba memaknainya secara rasional, ilmiah dan realistis. Dalam pemahaman Eka, rasa sakit atau kesakitan itu adalah anugerah Allah untuk memberi peringatan bahwa ada bahaya mengancam. Peringatan tersebut bermakna ganda: supaya kita jera dan/atau supaya kita segera bertindak.10 Eka menyadari bahwa anugerah Allah yang satu ini adalah yang paling tidak disukai dan tidak disyukuri; the most unaprreciated and XQZDQWHGJLIW (Darmaputera, 2006: 20). Namun, hal yang ingin ditegaskan Eka lewat pemaknaan yang seperti itu adalah agar orang Kristen tidak terlalu fanatik lalu memusuhi, menolak, dan menghindari rasa sakit; tidak juga memberhalakan atau meromantisasikan rasa sakit (bnd. Darmaputera, 2006: 20-21). Memanfaatkan pendapat Helmut Thielicke dan Yancey, Eka memaknai kesakitan sebagai bagian yang menyatu dengan kehidupan, sebagai konsekuensi kehidupan, karena itu perlu dirangkul sebagai bagian dari berkat Tuhan yang bernama kehidupan (bnd. Darmaputera, 2006: 24, 30, & 62). Eka mengutip pendapat Yancey yang menganalogikan kerja otak manusia dengan sebuah DPSOL¿HU )XQJVL VHEXDK DPSOL¿HU adalah menyaring dan mengatur 1.001 macam aneka gelombang yang masuk dari luar. Semua itu disaring sedemikian rupa, sehingga alat-alat elektronik yang manusia punya tidak rusak. Otak manusia pun demikian. Ia juga menerima berbagai macam masukan, termasuk ”rasa sakit”, di mana rasa sakit dinyatakan ”lolos”, karena tubuh memerlukannya, untuk menginformasikan bila ada gejala-gejala yang membahayakan (Darmaputera, 2004: 26). Karena itu, Eka mengingatkan dampak negatif dari budaya modern yang sekalipun dapat memberi kemudahan dan kenikmatan, namun justru bisa membuat manusia tidak berdaya (karena tidak lagi terlatih melewati suatu proses alamiah – ed) dan hanya merasakan
148
GEMA Vol. 36, No. 1, April 2012 : 139–160
NHQLNPDWDQDUWL¿VLDOOLK'DUPDSXWHUD 25-29). Meminjam pendapat C.S. Lewis yang dikutip Yancey, Eka juga menjelaskan bahwa kesakitan adalah ”megafon” atau ”pengeras suara” yang dipakai Tuhan untuk membangunkan kesadaran manusia.11 Tentang hal ini Eka mengatakan: ”Allah tak hanya berbisik melalui pengalaman-pengalaman kita yang menyenangkan. Allah tidak hanya berbicara melalui getaran-getaran kesadaran hati nurani kita. Namun, Dia juga berteriak keras-keras melalui kesakitan-kesakitan kita. Kesakitan adalah ’megafon’ Tuhan guna membangunkan dunia yang telah tuli.” (Darmaputera, 2004: 47). Lebih lanjut Eka berpendapat bahwa ia tidak setuju dan menentang keras pandangan yang mengatakan bahwa kesakitan dengan sendirinya diakibatkan oleh dosa atau kesalahan pribadi yang bersangkutan. Seolaholah semakin parah sakitnya, itu pertanda semakin besar dosanya (Darmaputera, 2004: 48). Eka mengakui bahwa merebaknya kejahatan, kesakitan dan penderitaan adalah akibat dari penyalahgunaan kebebasan oleh manusia. Ketika manusia memilih menggunakan kebebasannya untuk melawan Allah, maka tidak hanya manusia, tetapi seluruh alam mengerang kesakitan. Jadi, kesakitan memang bisa disebabkan oleh dosa-dosa pribadi, tetapi tidak selalu.12 Atas dasar pemahaman yang seperti itu, Eka menegaskan bahwa melalui kesakitan, Allah dengan suara keras sedang berusaha menghentikan langkah kita, supaya kita mencari kalau-kalau ada yang salah yang perlu dikoreksi, dan kalau-kalau ada yang lebih baik yang perlu dijajaki.13 Di sini saya melihat bahwa kesakitan bukan hanya jeritan manusia, tetapi juga teriakan Tuhan. 2.3.2. Bukan jawab, melainkan sikap Pada bagian lain, Eka menyinggung tentang kecenderungan manusia ketika berhadapan dengan sakit-penyakit untuk bertanya, ”Mengapa saya sakit? Apa sebabnya? Siapa yang menyebabkannya?” Menurut Eka, jika pertanyaan-pertanyaan itu dicari jawabannya dalam Alkitab, ternyata Alkitab bukanlah ”buku kunci”, sebab Alkitab tidak punya satu jawaban.14 Karena itu sulit bagi manusia untuk memastikan mana penyebab yang sesungguhnya dari penderitaannya (lih. Darmaputera, 2004: 63, 74-75). Mengingat hal tersebut, Eka mengingatkan bahwa semua pertanyaan tersebut menunjuk ke masa lampau. Sementara yang Yesus kehendaki,
Jika Aku Lemah, Maka Aku Kuat: Spiritualitas Eka Darmaputera Bergumul Dengan Sakit-Penyakit
149
menurut Eka, adalah manusia melihat ke depan. Eka berkata (Darmaputera, 2004: 75): ”Oke, sekarang saya sakit. Apa yang dapat dan harus saya lakukan sekarang, supaya ’pekerjaan-pekerjaan Allah dinyatakan’ melalui keterbatasan saya ini?” Pada bagian selanjutnya dari bukunya, Eka menegaskan perihal di atas, bahwa isu kesakitan dan penderitaan bukanlah isu enteng yang cukup dijawab dengan luapan emosi atau argumentasi logis semata. Lebih dari emosi dan argumentasi, Allah – menurut Eka – menuntut SIKAP yang benar dan tepat (Darmaputera, 2004: 61 & 98). Eka menguraikan lebih lanjut sikap yang dimaksud (selain perkataannya di atas), yakni jangan sampai penderitaan mematahkan semangat serta memadamkan seluruh vitalitas hidup kita. Sekalipun kemampuan orang yang sakit dan menderita amat terbatas dan kekuatannya tak tersisa banyak, orang yang sakit dan menderita harus berusaha menjadikan hidupnya tetap bermakna, bagi diri sendiri, bagi sesama, dan bagi Tuhan (Darmaputera, 2004: 102). Eka memberikan contoh tentang sikapnya dalam menghadapi penyakit mematikan yang menggerogoti tubuhnya. Dalam doanya, ia tidak terutama meminta kesembuhan, walaupun kerinduannya untuk sehat kembali cukup besar. Doa Eka yang utama adalah agar dalam sehat atau sakit, sembuh atau tidak, Eka masih berguna bagi Kerajaan-Nya; ia dilayakkan dan dimampukan untuk menjadi saksi nyata dari kebaikan-Nya (Darmaputera, 2004: 75).
2.3.3. Yesus sebagai model Dalam upaya menolong orang Kristen memiliki pemahaman yang lebih utuh tentang sakit-penyakit, Eka pun coba mengajak orang Kristen untuk melihat Yesus sebagai model dalam menghadapi kesakitan dan penderitaan manusia. Yesus, menurut Eka, menghadapi realitas kesakitan dengan ”takut” dan ”gentar” (Mat. 26:38). Artinya, Yesus tidak menolak kesakitan itu, malah merasakan-Nya. Justru karena kemampuan-Nya merasakan kesakitan itulah, Dia peka terhadap orang-orang yang ”senasib”. Dia tidak sekadar mengkotbahi mereka dengan kata-kata tetapi dengan tindakan. Kuasa ilahi yang dimiliki-Nya tidak Dia pakai untuk menghukum, tetapi untuk menguatkan dan menyembuhkan. Sekalipun pada diri-Nya Yesus memiliki kuasa supranatural, menurut Eka, Yesus hanya sekali-sekali
150
GEMA Vol. 36, No. 1, April 2012 : 139–160
menggunakan kuasa-Nya pada saat-saat yang Dia anggap perlu. Pada umumnya, Yesus memilih untuk menghormati hukum alam. Bahkan pada saat yang paling gawat pun, ketika Dia akan ditangkap, Yesus tidak menggunakan kuasa-Nya (Mat. 26:53). Yesus rela pergi bersama-sama dengan para penangkap-Nya. Oleh karena itu, Dia pun ingin agar manusia dengan rendah hati bersedia menerima keterbatasan kodratinya, termasuk realitas bahwa manusia bisa sakit dan menderita, sekalipun sakit serta menderita itu memang tidak enak. Eka yang saya lihat, nampaknya benar-benar menjadikan Yesus sebagai model dalam menghadapi penyakit yang dideritanya. Sepertinya Eka sedang mengimitasi Yesus untuk rela dan sadar menghadapi penderitaan. Lagipula, Yesus tidak hanya bergelar Anak Allah (yang identik dengan theologia gloriae) seperti dalam Mrk. 5:7, yang di dalamnya ada kuasa mengalahkan demi pemuliaan Allah, melainkan juga Anak Manusia (yang berakar pada theologia crucis) seperti dalam Mrk. 8:31, yang bisa menderita, direndahkan dan mengalami kematian (bnd. Ladd, 1993: 232). Bagi Eka sendiri, jalan Kristus adalah jalan salib (Darmaputera, 2003: 40). Pemaknaan seperti itulah yang nampaknya coba dihidupi dalam diri Eka saat menghadapi penyakit yang dideritanya.
2.3.4. Belajar dari Ayub Menurut Eka, masalah kesakitan dan penderitaan dikupas sampai tandas hanya di kitab Ayub. Sekalipun kitab Ayub adalah kitab tua, tetapi inti persoalan yang digulatinya tak pernah lapuk digerus usia. Lewat uraian tafsiran terhadap kitab Ayub, Eka menyimpulkan bahwa kesetiaan manusia kepada Allah tidak boleh manusia gantungkan kepada apakah Dia memberikan yang manusia inginkan atau tidak. Hal yang terakhir itu, bagi Eka, adalah mental pengemis dan pengamen murahan; kualitas iman yang paling rendah. Seolah-olah ketika senang Tuhan disayang, tetapi ketika sedikit saja dikecewakan, Tuhan dipersetan.15 Memanfaatkan pendapat Yancey, Eka menegaskan bahwa pertanyaan isu paling pokok dari kitab ini adalah, ”Apakah manusia benarbenar bebas? Atau, serbatergantung dan terkondisi?” Setan mewakili pendapat yang mengatakan bahwa manusia itu tidak bebas melainkan serbaterkondisi. Manusia, menurut Setan, terkondisi untuk taat dan setia kepada Allah. Tidak dari hati mengasihi Allah (Darmaputera, 2004: 82). Pemahaman ini berangkat dari perkataan Setan dalam kitab Ayub 1:11
Jika Aku Lemah, Maka Aku Kuat: Spiritualitas Eka Darmaputera Bergumul Dengan Sakit-Penyakit
151
dan 2:5, yang dibahasakan ulang oleh Eka menjadi ”Cabutlah semua kemudahan dan fasilitas, maka dalam sekejap ia (Ayub) pasti akan berbalik melawan Allah!” (Darmaputera, 2004: 82). Sebaliknya Allah – menurut Eka, hendak membuktikan bahwa kebebasan itu ada. Bahwa kasih dan kesetiaan yang merupakan hasil pilihan dan keputusan yang bebas itu mungkin. Bahwa ada atau tidak ada fasilitas, bahkan di tengah penderitaannya yang ekstrem, Ayub tetap akan memperlihatkan kesetiaan dan ketaatannya kepada Allah. Terbukti, Ayub dengan segala kepahitan dan kegetirannya, berhasil mempertahankan loyalitasnya. Dan Tuhan sangat menghargainya. Sebab Allah memang mengharapkan orang-orang mencari-Nya, bukan terutama karena pemberian-Nya, melainkan semata-mata karena Dia adalah Dia – terlepas dari apa pun yang Dia berikan. Tuhan, menurut Eka, menginginkan iman kualitas nomor satu. Orang-orang Kristiani yang tidak ”bermental pengemis”, yang mendekat hanya karena ada yang diharap. Melainkan orang-orang yang ”bermental patriot”. Orang-orang Kristiani yang dengan tulus berkata, ”Saya rasa tidak sepantasnya saya harus menanggung kesakitan ini. Tapi bagaimanapun, Tuhan tetap pantas menerima kasih dan kesetiaan saya. (Sebab) apakah saya mau menerima yang baik dari Allah, tapi tidak mau menerima yang buruk?” (bnd. Ayb. 2:10)(Darmaputera, 2004: 81 dan 82-83). Lebih lanjut Eka menganalogikan Tuhan dalam tafsiran kitab Ayub tersebut dengan orangtua. Menurutnya, jika Tuhan seperti orangtua yang tak pernah membiarkan anaknya belajar berjalan sendiri, karena begitu takut anaknya jatuh dan terluka; yang mengurung anaknya di dalam kamar yang ”aman”, di mana di dalamnya tersedia lengkap semua kebutuhan namun tanpa kemerdekaan, maka akan menghasilkan tipe anak yang gampangan; yang mudah menyerah menghadapi kesakitan dan penderitaan (bnd. Darmaputera, 2004: 84).
2.3.5. Jika Aku Lemah, Maka Aku Kuat Pada bagian terakhir bukunya yang berjudul Jika Aku Lemah, Maka Aku Kuat, Eka mengutip hasil survei yang dikemukakan Paul Tournier, seperti dikutip Yancey, mengenai 300-an tokoh yang dinilai mempunyai dampak besar dalam sejarah dunia. Setelah dilakukan studi banding yang mendalam, para peneliti menemukan persamaan yang menarik di antara tokoh-tokoh itu, yaitu bahwa mereka yatim piatu, baik secara
152
GEMA Vol. 36, No. 1, April 2012 : 139–160
DNWXDO PDXSXQ HPRVLRQDO (ND ODOX PHUHÀHNVLNDQ KDVLO VXUYHL WHUVHEXW dengan pengalaman hidup dari tokoh iman seperti Martin Luther King Jr. dan membandingkannya dengan pengajaran Alkitab, seperti ”Kotbah di Bukit”, untuk tiba pada kesimpulan bahwa kedewasaan dan kehidupan rohani yang sehat sulit dicapai tatkala orang hanya bergelimang dalam kelebihan dan kemewahan bendaniah. Sebaliknya, di tengah erangan kesakitan dan tindihan penderitaan, orang menemukan kekayaan rohani luar biasa. Sebab itu, menurut Eka, bukan sebuah kebetulan jika dalam konteks masyarakat Korintus yang amat memuja ”penampilan eksternal” ketimbang ”kualitas internal”, Paulus justru dengan bangga menonjolkan ”kelemahannya” (2 Kor. 12:1-10). Menurut Eka, sejarah hidup Paulus telah membimbing Paulus untuk tiba pada kesimpulan, betapa kesakitan dan penderitaan justru adalah wahana yang efektif bagi anugerah Allah. Jika aku lemah, maka aku kuat, demikianlah ujar Paulus yang diyakini Eka (lih. Darmaputera, 2004: 112-119).
3. Realisme yang Berpengharapan 3.1. Eka seorang Mistikus? Dari uraian yang dipaparkan di atas, saya melihat bahwa Eka telah memaknai sakit-penyakit secara realistis, dengan alasan sebagai berikut: a. Eka tidak menyangkal realitas sakit-penyakit (dan juga penderitaan), malah mengajak orang beriman merangkulnya.16 b. 'DODP EXDKEXDK UHÀHNVLQ\D (ND VDODK VDWXQ\D PHPDQIDDWNDQ kajian ilmiah, yang sebagian di antaranya dikutip dari Yancey, dalam bukunya Jika Aku Lemah, Maka Aku Kuat, yang bicara tentang realitas sakit-penyakit (dan penderitaan) (Darmaputera, 2004: 112-119). c. Eka juga menafsirkan kembali teks-teks Alkitab yang bicara tentang VDNLWSHQ\DNLWGDQSHQGHULWDDQ GDQNHPXGLDQPHUHÀHNVLNDQQ\D sebagai penegasan bahwa sakit-penyakit (dan penderitaan) adalah realitas kehidupan manusia.17 Namun selain realistis, saya juga melihat bahwa Eka dalam pergumulannya dengan sakit-penyakit, memiliki spiritualitas mistik dalam dirinya. Hal ini didasarkan pada pemahaman Soelle tentang mistisisme. Bagi Soelle, mistisisme terkait dengan kasih (manusia) kepada Allah, bahkan ia mengutip pernyataan Novalis yang mengatakan, ”Jika semua
Jika Aku Lemah, Maka Aku Kuat: Spiritualitas Eka Darmaputera Bergumul Dengan Sakit-Penyakit
153
umat manusia adalah pencinta, pembedaan antara mistik dan non-mistik akan lenyap” (Soelle, 2001: 2 dan 9). Bukankah Eka dalam hidup dan karyanya (yang sebagian telah dipaparkan di atas) menunjukkan cinta yang sungguh kepada Allahnya? %HOXPODJLNHWLND(NDPHQDIVLUNDQGDQPHUHÀHNVLNDQSHQGHULWDDQ yang dialami Ayub, ada kesejajaran dengan pemikiran Soelle – yang mePDQIDDWNDQWDIVLUDQ*XVWDYR*XWLpUUH]WHQWDQJ¿JXU\DQJVDPD'DODP bukunya 7KH 6LOHQW &U\, Soelle menegaskan bahwa pergumulan yang dihadapi Ayub bukan lagi pergumulan dengan penguasa sorga tetapi pergumulan dari cinta mistik dengan Allah. Menurut Soelle, Setan dapat memahami agama hanya lewat istilah memanipulasi Allah dalam rangka memenuhi minat tertentu dari manusia. Gutiérrez seperti yang dikutip Soelle, menyatakan Setan tidak dapat membayangkan bahwa bisa saja ada hubungan yang bebas sepenuhnya dan penuh kasih dari dua kebebasan, yang ilahi dan yang insani (Soelle, 2001: 133-134). Pada kitab Ayub, Setan kalah taruhan, sebab Ayub tidak berhenti mengasihi Allah (sekalipun Ayub tidak lagi memiliki apa-apa dan siapa-siapa – ed). Di situlah Ayub menghidupi VXQGHU ZDUXPEH.18 Dalam hal inilah, spiritualitas Eka juga menyerupai spiritualitas mistik Meister Eckhart, sebab bagi Eckhart, VXQGHUZDUXPEHitu adalah suatu hidup di mana seseorang tidak berbuat atas dasar pamrih atau imbalan tertentu, baik itu duniawi maupun rohani (bnd. uraian bagian 2.3.4.) (Almirzanah, 2008: 204). Petunjuk lainnya tentang kedekatan spiritualitas Eka dengan sunder ZDUXPEH adalah lewat surat terbuka yang dibuatnya bagi para peserta acara ”Malam Doa Bersama Eka Darmaputera” yang diselenggarakan di GKI Kebayoran Baru pada 9 Maret 200519 dan juga bagi para sahabat yang mendoakannya. Beginilah petikan isi surat tersebut: “Ada permintaan saya. Bila Anda berdoa untuk saya, baik di sini maupun di mana saja, saya mohon janganlah terutama memohon agar Tuhan memberi saya kesembuhan, atau mengaruniai saya usia panjang, atau mendatangkan mukjizat dahsyat dari langit! Jangan! Biarlah tiga perkara tersebut menjadi wewenang dan ”urusan” Tuhan sepenuhnya!”20 Lalu apa yang Eka mohon untuk disampaikan dalam doa tersebut? Berikut Eka menulis: “Saya cuma mohon didoakan, agar sekiranya benar ini adalah tahap pelayanan saya yang terakhir, biarlah Tuhan berkenan
154
GEMA Vol. 36, No. 1, April 2012 : 139–160
memberikan saya dan keluarga keteguhan iman, kedamaian, dan keikhlasan dalam jiwa. Semoga Tuhan berkenan menganugerahi saya perjalanan yang tenang, kalau boleh tanpa kesakitan, dan tidak mahal biayanya, sampai saya tiba di pelabuhan tujuan. Dan kemudian, biarlah tangan Tuhan dengan setia terus tanpa putus menggandeng -- bila perlu menggendong -- Evang, Arya, Vera, serta (mudah-mudahan) cucu-cucu saya melanjutkan perjalanan mereka.”21 Pada bagian akhir surat tersebut, Eka menyampaikan permohonannya: “Dan, tolong jangan lupa berdoa pula bagi hamba-hambaNya yang kini juga tengah bergulat dengan penyakit, khususnya Andar Ismail dan Lydia Zakaria.”22 Apa yang Eka sampaikan terakhir ini, menurut saya merupakan kritik Eka bagi para sahabat yang pada waktu itu terjebak pada euforia mendoakan dirinya yang sedang kritis (perhatikan tajuk acara doa tersebut!), namun lupa bahwa pada saat yang bersamaan ada juga dua orang pendeta emeritus GKI yang juga sedang sakit berat, yakni Andar Ismail dan Lydia Zakaria. Jika hal ini dilihat dari perspektif spiritualitas kenosis, Eka nampaknya sedang mengosongkan diri, dalam arti hendak mengalihkan perhatian para sahabat yang semula begitu kuat terhadap diri Eka kepada dua pendeta lain yang juga sama-sama sedang sakit berat. Bukankah Yesus juga telah mengosongkan diri-Nya sedemikian rupa, sehingga ada ”ruang” bagi hadirnya yang lain (bnd. Flp. 2:5-11)? Namun ada hal yang menarik di sini. Jika Eckhart memahami VXQGHU ZDUXPEH sebagai suatu hubungan cinta kepada Allah tanpa mengharapkan sesuatu, tanpa embel-embel, Eka justru masih memberi tempat pada harapan. Dalam suatu tulisannya, Eka berkata: ”... sesungguhnya penderitaan tidak pernah mampu mengalahkan manusia – asal masih ada pengharapan... Setelah itu kadarnya tak menjadi berkurang – memang – tetapi mau juga kita bertahan, sebab masih ada pengharapan. Orang butuh pengharapan. Orang tidak dapat hidup tanpa pengharapan.23 Ferdinand Suleeman, rekan sepelayanan Eka di GKI Bekasi Timur,
Jika Aku Lemah, Maka Aku Kuat: Spiritualitas Eka Darmaputera Bergumul Dengan Sakit-Penyakit
155
menyatakan bahwa pengharapan itulah yang memampukan Eka untuk terus bertahan dalam pergumulan dan perjuangannya, menghadapi pasang surut kehidupan (Suleeman, 1999: xiii). Jadi, harapan yang dipahami dan dihayati Eka dalam relasi cintanya dengan Allah, tidak dipahami dalam pengertian untung-rugi, sebab Eka memaknainya sebagai kekuatan (dalam menghadapi sakit-penyakit). Kembali, saya melihat sisi yang realistis dari spiritualitas Eka. Karena itu, spiritualitas Eka bisa pula dibahasakan dengan ”realisme yang berpengharapan”. Ketika saya menelusuri pendapat Eka tentang hal-hal di atas, maka saya berkesimpulan bahwa penghayatan Eka yang demikian itu dapat menjadi pelengkap atau bersifat komplementer bagi spiritualitas sunder ZDUXPEH-nya Eckhart, sebab menurut saya manusia tidak bisa dipisahkan sama sekali dari yang namanya harapan, termasuk dalam hubungan cintanya kepada Allah. Tentu harapan di sini bukan dalam pertimbangan untungrugi ketika berhubungan dengan Allah, tetapi lebih berupa permohonan agar Allah memberi kekuatan di tengah kelemahan atau pergumulan yang dialami. 3.2. Catatan kritis tentang spiritualitas Eka bergumul dengan sakitpenyakit Ketika memaparkan dan menganalisa spiritualitas Eka di atas, muncul pertanyaan dalam diri saya, ”Apakah spiritualitas Eka yang demikian itu baru muncul ketika Eka mengidap penyakit mematikan? Bagaimana jika Eka tidak sakit? Apakah spiritualitas serupa yang akan muncul?” Lantas, saya menelusuri tulisan Eka sebelum ia sakit, yakni buku serial Tuhan dari Poci dan Panci yang pernah dimuat dalam harian Sinar Harapan pada tahun 1979 (lihat catatan kaki no. 62). Di situ, Eka sudah bicara tentang penderitaan dan harapan di dalamnya; sesuatu yang konsisten dengan apa yang diuraikannya dalam buku Jika Aku Lemah, Maka Aku Kuat. Lalu, Eka juga pernah bicara tentang ”merangkul penderitaan” dalam salah satu kotbahnya yang pernah dibukukan dalam Firman Hidup 12 – diterbitkan tahun 1980, kini: Hidup yang Bermakna, halaman 61-62 (lih. catatan kaki no. 2). Pengajaran yang seperti itu konsisten dengan apa yang kemudian dikemukakan Eka dalam buku Jika Aku Lemah, Maka Aku Kuat – diterbitkan tahun 2004, pada topik ”Mensyukuri Kesakitan”.24 Jadi, spiritualitas yang dilakoni Eka di atas, bukan sesuatu yang baru muncul ketika ia sakit, sebab sudah disadari dan dihayati Eka minimal sejak tahun 1979! Lantas, apakah spiritualitas Eka yang seperti itu bebas dari
156
GEMA Vol. 36, No. 1, April 2012 : 139–160
kritik? Kuntadi Sumadikarya, seorang pendeta GKI yang menjabat sebagai Ketua Umum Badan Pekerja Majelis Sinode Wilayah (BPMSW) GKI SW Jawa Barat, sewaktu Eka menjalani emeritasi, menyampaikan kritik dalam sambutannya terhadap Eka, yang salah satunya berbunyi: ”Eka tidak menjaga kesehatannya di tengah begitu banyak tuntutan dan tugas. Eka nampaknya menyambut gembira ”segala” tugas dari mana-mana, mulai dari lokal, regional sampai internasional. Menulis, bersidang, konferensi, memimpin organisasi massa, berdiskusi, berkotbah, memimpin PA adalah riwayat hidupnya. Padahal sejak muda, menurut Andar Ismail, Eka bertubuh lemah, sakitsakitan.” (Sumadikarya, 2007: 265). Penilaian Kuntadi (demikian ia biasa disapa) di atas bertolak belakang dengan kesaksian Sutedja: ”Eka amat sadar akan keadaan sehat dan sakitnya, dan berusaha untuk mengerjakan tugas yang pas dengan kondisi kesehatannya, yang dihayatinya sebagai karunia Tuhan yang menjadi bagiannya. Eka yang sakit adalah juga Eka yang sehat, yang tetap bekerja. Tetapi, Eka yang bekerja adalah juga Eka yang sakit, karenanya ia tidak dapat mengerjakan semua. Ia harus memilih dengan amat teliti apa yang akan dibuatnya.” (Sutedja, 1999: 854-855). Saya pribadi meragukan akurasi kritik Kuntadi, sebab seperti diakuinya sendiri dalam bagian awal tulisannya, ada lapisan rasa “tidak suka” kepada Eka, karena kritik Eka terhadap GKI (Sumadikarya, 2007: 263). Lagipula, Kuntadi hanya melihat Eka “dari jauh” – walaupun dalam kadar tertentu hal ini perlu, sebab ia tidak pernah berada satu jemaat dengan Eka; lain halnya dengan Sutedja yang kurang lebih pernah 10 tahun (persisnya hanya 5 tahun yang efektif, sebab pada 5 tahun lainnya Eka studi lanjut di luar negeri) bersama-sama Eka di jemaat yang sama (lih. Sutedja, 1999: 851). Eka, menurut saya, telah konsisten menghayati spiritualitas VHEDJDLPDQD SHUQDK LD GH¿QLVLNDQ OLK EDJLDQ 3HQGDKXOXDQ VHEDE sampai akhir hayatnya, ia telah berhasil mempertahankan ‘panas’ dari ‘api’ iman yang dimilikinya. Spiritualitas yang dimilikinya dipengaruhi spiritualitas Calvinis, tetapi juga nampak segi mistisnya.
Jika Aku Lemah, Maka Aku Kuat: Spiritualitas Eka Darmaputera Bergumul Dengan Sakit-Penyakit
157
Semoga lewat uraian ini, kita dapat lebih menghayati spiritualitas mistik, tidak hanya dalam konteks penderitaan, tapi juga dalam konteks yang lain, sebab ternyata spiritualitas yang seperti itu tidak melulu dimonopoli oleh “teolog atau spiritualis asing”, melainkan juga bisa dimiliki oleh setiap orang yang mencintai Allah (Soelle), termasuk orang Kristen Indonesia. Soli Deo Gloria.
Daftar Pustaka Almirzanah, Syafa’atun. 2008. When Mystics Masters Meet. Jakarta: Gramedia. Darmaputera, Eka. 2006. Hidup yang Bermakna. Jakarta: BPK Gunung Mulia. ______________. 2004. Jika Aku Lemah, Maka Aku Kuat. Jakarta: Gloria Graffa. ______________. 2003. Jalan Kematian, Jalan Kehidupan. Jakarta: BPK Gunung Mulia. ______________. 2005. Salib dan Mahkota: Seri Tuhan dari Poci dan Panci. Yogyakarta: Kairos. ______________. 2009. “Tantangan Zaman, Bersedia Menderita”. Inspirasi Indonesia no. 3, tahun I. ______________. 1997. “Agama dan Spiritualitas: Suatu Perspektif Pengantar”. PENUNTUN, vol. 3, no. 12. Hartono, Chris. 1996. Orang Tionghoa dan Pekabaran Injil. Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen. ______________. 2006. “Spiritualitas Calvinis” .Gema Teologi, vol. 30, No. 2. Ismail, Andar. 2007. Selamat Berteman. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Ladd, George Eldon. 1993. $ 7KHRORJ\ RI WKH 1HZ 7HVWDPHQW. Revised Edition. Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans. Pidekso, Adi. 2008. “Membangun Jemaat di Tengah Kemajemukan Masyarakat: Menggali Pemikiran Pastoral Eka Darmaputera” PENUNTUN, vol 9, no. 22. Soelle, Dorothee. 2001. 7KH 6LOHQW &U\ 0\VWLFLVP DQG 5HVLVWDQFH Minneapolis: Augsburg Press. Suleeman, Ferdinand. 1999. “Prolog: Bergumul dalam Pengharapan” Bergumul dalam Pengharapan, ed. Suleeman, Ferdinand et. al. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Sumadikarya, Kuntadi. 2007. Selusur Spiritual: Dokumen-dokumen 5HÀHNVL%306:*.,6LQZLO-DEDU
158
GEMA Vol. 36, No. 1, April 2012 : 139–160
Jakarta: Binawarga. Sutanto, Trisno S. 2001. ”Pendahuluan: Catatan tentang Hidup dan Pemikiran Eka Darmaputera” . Pergulatan Kehadiran Kristen di Indonesia, ed. Sinaga, Martin L. et. al. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Sutedja, Suatami.1999. “Eka yang Saya Kenal”. Bergumul dalam Pengharapan, ed. Suleeman, Ferdinand et. al. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Tjen, Anwar. 2010. ”Penderitaan: Salah Siapa, Ini Dosa Siapa. Sebuah Tinjauan Teologis-biblis Berdasarkan Perjanjian Lama”. PENUNTUN vol. 11, no. 23. Tim Kompilasi. 2001. ”Epilog”. Pergulatan Kehadiran Kristen di Indonesia, ed. Sinaga, Martin L. et. al. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Yancey, Philip. 1977. Where is God When it Hurts? London & Glasgow: Pickering & Inglis. http://ekadarmaputera.blogspot.com/, diakses tanggal 8 Desember 2009. http://ekadarmaputera.blogspot.com/2006/01/surat-terbuka.html, diakses tanggal 4 Desember 2009. “Sakit: Tulah atau Anugerah”. http://www.sinarharapan.co.id/ berita/0303/08/fea01.html, diakses tanggal 8 Desember 2009. http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/e/eka-darmaputera/berita/ index.shtml, diakses tanggal 8 Desember 2009 Catatan Akhir 1 Disampaikan pertama kali sebagai makalah untuk tugas akhir mata kuliah Teologi, Spiritualitas dan Seni. 6DNLWSHQ\DNLW GL VLQL PHQXQMXN SDGD JDQJJXDQ NHVHKDWDQ ¿VLN VHVHRUDQJ 'DODPPDNDODKLQLNDWD³VDNLWSHQ\DNLW´VHQDQWLDVDPHQXQMXNSDGDVDNLWSHQ\DNLW¿VLN (physical illness). 3 Bnd. Darmaputera (2006: 60). Buku yang merupakan kumpulan kotbah Eka ini, pada tahun 1980 pernah diterbitkan dengan judul Firman Hidup 12. Lih. Ibid., p. iv. 4 Ada yang menggunakan istilah “pengobatan alternatif” sebagai antonim dari istilah “pengobatan modern”. Namun menurut saya hal ini tidak tepat, sebab orang yang biasa menjalani “pengobatan tradisional” lalu kemudian menjalani “pengobatan modern” akan menyebut “pengobatan modern” sebagai “pengobatan alternatif” (dari “pengobatan tradisional”). Jadi, antonim dari istilah “pengobatan modern” seharusnya “pengobatan tradisional”. 5 Buku ini berisi buah-buah pemikiran dan pergumulan Eka menghadapi sakitpenyakit, baik yang dialami orang lain maupun dirinya sendiri. Buku ini merupakan hasil suntingan dari serial ”SABDA” yang pernah dimuat dalam harian Sinar Harapan. Lih.
Jika Aku Lemah, Maka Aku Kuat: Spiritualitas Eka Darmaputera Bergumul Dengan Sakit-Penyakit
159
Darmaputera (2004: 9-10). 6 Darmaputera (2004: 9). Eka menegaskan dalam bukunya, bahwa ia tidak mengidap hanya satu penyakit, tapi beberapa penyakit yang secara medis tak tersembuhkan. Darmaputera (2004: 86). 7 Bnd. “Surat Terbuka” Eka yang diunggah Ang Tek Khun dalam http:// ekadarmaputera.blogspot.com/ sebagaimana diakses pada 4 Desember 2009. 8 Kini resminya bernama Sinode Wilayah GKI Sinode Wilayah Jawa Barat, yang merupakan bagian dari Sinode GKI. 9 Hartono (1996: 70). Sebagai informasi, awal mula kemunculan GKI SW Jabar (yang dulu bernama Tiong Hoa Kie Tok Kauw Hwee – Khoe Hwee Djawa Barat) juga dipengaruhi oleh latar belakang Metodis, yakni pada jemaat-jemaat bekas asuhan BFM (Board of Foreign Mission – ed). Namun, kini GKI SW Jabar menghayati dirinya bercorak Calvinis. 10 Darmaputera (2006: 18-19). Mengenai argumen Eka selengkapnya dapat dilihat pada halaman tersebut dan halaman 22-30. 11 Ibid., 47. Bnd. Philip Yancey, Where is God When it Hurts? (London & Glasgow: Pickering & Inglis, 1977), pp. 55-57. 12 Darmaputera (2004: 44-45 dan 48). Uraian Eka tentang hal ini juga dapat dilihat pada halaman 64-66. 13 Darmaputera (2004: 48). Yancey memandang bahwa kesimpulan ringkas dari peran kesakitan dalam kehidupan manusia adalah bahwa kesakitan membawa manusia berbalik kepada Allah. Yancey (1977: 86). 14 Menurut Eka, secara sepintas, Alkitab paling sedikit punya empat macam jawaban, yakni: (1) Ayat-ayat yang memberikan kesan bahwa memang Tuhan-lah si “biang kerok” (mis.: Kej. 38:7); (2) Setan yang menjadi penyebab utama kesakitan dan penderitaan manusia (mis.: Luk. 13:10-18); (3) Perpaduan dari dua jawaban di atas (mis.: Ayb. 2:4-7); dan (4) Manusialah penyebabnya (mis.: Ams. 26:27). Lih. Darmaputera (2004: 64-65). 15 Darmaputera (2004: 81). Uraian Eka terhadap kitab Ayub sedikit-banyak dipengaruhi juga pendapat Yancey. Lih. Yancey (1977: 81-85). 16 Lihat uraian makalah bagian 2.3.1. 17 Lihat uraian makalah bagian 2.3.3. sampai 2.3.5. 18 Soelle (2001: 136). Istilah VXQGHUZDUXPEH(hidup tanpa alasan ‘mengapa’) diperkenalkan oleh mistikus Jerman, Meister Eckhart. Bagi Eckhart, VXQGHU ZDUXPEH berarti hidup dan mencintai seperti halnya Tuhan hidup dan mencintai. Lih. Almirzanah. (2008: 203). 19 http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/e/eka-darmaputera/berita/index. shtml diakses tanggal 8 Desember 2009. 20 http://ekadarmaputera.blogspot.com/2006/01/surat-terbuka.html diakses tanggal 8 Desember 2009.
160
GEMA Vol. 36, No. 1, April 2012 : 139–160
21 http://ekadarmaputera.blogspot.com/2006/01/surat-terbuka.html diakses tanggal 8 Desember 2009. 22 http://ekadarmaputera.blogspot.com/2006/01/surat-terbuka.html diakses tanggal 8 Desember 2009. 23 Darmaputera (2005: 43). Buku yang berisi Renungan Minggu karya Eka yang dimuat di harian Sinar Harapan ini pernah diterbitkan dalam bentuk buku pada tahun 1979 dengan judul Tuhan dari Poci dan Panci. Lih. Darmaputera (2005: 7). 24 Topik “Mensyukuri Kesakitan” pernah dimuat dalam Sinar Harapan, 8 Maret 2003 dengan judul “Sakit: Tulah atau Anugerah”. Lih. http://www.sinarharapan.co.id/ berita/0303/08/fea01.html diakses tanggal 8 Desember 2009.
Tinjauan Buku Herbert Vorgrimler, Trinitas: Bapa, Firman, Roh Kudus
161
TINJAUAN BUKU Herbert Vorgrimler, Trinitas: Bapa, Firman, Roh Kudus Judul asli: GOTT, Vater, Sohn und Heiliger Geist, terjemahan: Prof. Dr. Tom Jacobs, SJ Yogyakarta: Kanisius, 2005 Emanuel. G. Singgih Guru Besar dan Ketua Program Studi Doktoral (S3) Ilmu Teologi Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta
Pendahuluan Kesan pertama saya terhadap buku ini adalah bahwa di dalamnya tidak dibahas Trinitas secara konvensional dalam arti ada uraian yang mengurutkan pokok Bapa, kemudian Anak (Putra) dan terakhir Roh Kudus, melainkan sebuah uraian mengenai siapa dan bagaimana Yesus! Atau setidak-tidaknya, pemahaman mengenai Yesus seperti terdapat dalam teks-teks Perjanjian Baru dipakai untuk menjelaskan Trinitas. Sebagai orang Protestan yang berprinsip bahwa kita harus kembali ke Alkitab kalau menjelaskan iman kita, tentu saya senang dengan pendekatan semacam ini. Di samping itu saya terlatih sebagai orang Biblika, bukan orang Sistematika. Maka makin banyak uraian biblis dalam sebuah buku yang harus saya tinjau, makin senang saya, karena tugas saya rasanya menjadi lebih ringan, daripada memikirkan kembali tema-tema teologi sistematika yang dulu saya pelajari di sekolah teologi dan kemungkinan besar banyak yang sudah terlupakan. Maka saya mulai dengan memberikan sebuah sketsa dari bab 1 s/d bab 8 buku Vorgrimler, yang menurut pengakuannya sangat dipengaruhi oleh Karl Rahner (dalam h. 11 fn 1 ada catatan dari penerjemah bahwa penulis adalah asisten dan teman kerja dari Karl Rahner). Sambil jalan saya memberi catatan-catatan terhadap tulisannya ini. Selanjutnya saya memberi rangkuman terhadap bab-bab yang sisa dan sekalian saya bandingkan dengan apa yang dilakukan oleh orang Protestan Indonesia dalam menghayati Trinitas dalam konteks di mana mayoritasnya adalah penganut agama Islam. Seperti kita ketahui di dalam Kitab Suci Al Qur’an
161
162
GEMA Vol. 36, No. 1, April 2012 : 161–172
sudah terkandung penentangan terhadap ajaran Trinitas, dan hal ini diperkembangkan dalam apologia Islam terhadap Kristen. Untuk siapa buku ini? Bagi kebanyakan orang Kristiani kekhasan Kristiani terletak pada 2 hal, yaitu misteri iman berupa kepercayaan akan Allah Tritunggal, dan kepercayaan akan penjelmaan Allah dalam Yesus Kristus. Tetapi karena berupa misteri, tidak banyak yang memusingkan tentang apa yang sebetulnya dimaksud dengan rumus-rumus yang berkaitan dengan kedua misteri ini (p.10). Vorgrimler tidak setuju bahwa mentang-mentang karena ini misteri, maka hanya harus diimani saja. Bagaimana memikirkan hal ini juga merupakan tugas orang Kristiani bersama-sama. Tetapi biar bagaimanapun kita memerlukan pemandu, dan menurut Vorgrimler, Karl Rahner dapat menjadi pemandu yang jujur dan terpercaya (h. 11). Rahner tidak membuat rumus-rumus baru, tetapi menjelaskan yang lama secara baru. Saya setuju bahwa misteri ini perlu dipikirkan, sehingga cukup jelas (VXI¿FLHQW) pertama-tama bagi diri kita sendiri dan kemudian tentu saja bagi orang lain, juga apabila dia tidak beragama Kristiani. Tetapi saya merasa bahwa apapun pikiran kita, pikiran tersebut tidak bisa menjelaskan misteri secara tuntas dan karena itu kita perlu membuka diri juga untuk pemahaman mengenai Trinitas yang berbeda, bahkan pemahaman mengenai Tuhan Yesus Kristus, yang bisa berbeda dari apa yang kita pahami. Pemahaman yang berbeda itu lain, tetapi karena subyeknya adalah sebuah misteri, maka lain belum tentu berarti salah, sesat atau tidak biblis. Kadang-kadang Vorgrimler merujuk ke pendapat-pendapat lain mengenai Trinitas, tetapi yang lain itu dikecam sebagai salah. Menurut saya kalau begitu Trinitas bukan misteri lagi, karena dianggap sudah tuntas menurut apa yang dipikirkannya. Nanti kita akan sampai ke situ. Tetapi kembali ke pertanyaan “untuk siapa buku ini”? Pertanyaan ini tidak dijawab, sebab isinya adalah mengenai tujuan buku ini. Atau jawabannya umum sekali, yaitu untuk kebanyakan orang Kristiani yang malas memikirkan apa yang sebetulnya dimaksudkan dengan rumusrumus yang diwarisi dari zaman yag telah lalu itu. Tetapi yang saya tahu, kebanyakan orang Kristen Protestan agak alergi dengan rumus-rumus ajaran Trinitas yang diwariskan. Bagi mereka yang penting adalah bahwa “Yesus menyelamatkan”. Itu sudah cukup. Kalau pun ada buku yang menerangkan mengenai hal-hal lain seperti Trinitas, maunya adalah bahwa
Tinjauan Buku Herbert Vorgrimler, Trinitas: Bapa, Firman, Roh Kudus
163
buku yang memuat hal-hal seperti itu menerangkan secara sangat gampang dan popular. Masalahnya adalah bahwa buku Vorgrimler ini tidak memberi kesan tersebut. Maka kalau saya harus menjawab “untuk siapa buku ini?” maka menurut saya buku ini ditujukan kepada para pemimpin agama, mahasiswa teologi dan awam yang agak terpelajar. Misteri yang tidak dapat dipahami (bab 2-3) Allah tidak dapat dibuktikan dan tidak dapat diajarkan (h. 13). Juga orang beriman yang dalam hidup sehari-hari mengharapkan cahaya dan kasih Allah, dapat mempunyai pengalaman bahwa Allah itu jauh. Bahkan bagi orang beriman pengalaman seperti ini lebih mungkin daripada orang yang tidak peduli bahkan menyangkal Allah (h. 13). Bisa ada pengalaman mengenai Allah yang sama pada orang beriman dan orang tidak beriman. Namun demikian bagi yang beriman ada 2 tugas : yang pertama adalah memeriksa dengan serius jangan-jangan Allah yang terasa jauh itu bukan Allah, tetapi gambaran Allah yang picik, salah dan sempit. Rahner menamakannya “Allah dari rumusan beku” (p.14). Dapat pula saya tambahkan, gambaran Allah yang sudah tidak relevan dan aktual bagi konteks tertentu, misalnya konteks kita di Indonesia. Allah dari rumusan beku ini adalah berhala. Contohnya gambaran Allah baik sebagai Allah keras yang gemar menghukum manusia berdosa maupun Allah manis dari anak-anak, yang serba memperbolehkan, atau Allah yang hanya membela kepentingan-kepentingan sendiri, termasuk di dalamnya kepentingan kaum rohaniwan atau pemuka agama. Yang kedua adalah dalam keheningan, kita menyadari Tuhan. Kalau kita merasa bahwa Allah jauh, maka sesungguhnya itu berarti bahwa dunia menghilang karena Allah datang dalam jiwa; bahwa kegelapan tidak lain daripada kekudusan Allah, yang tidak punya bayangan; bahwa perasaan tidak adanya jalan keluar hanyalah Allah yang tidak terukur, yang tidak butuh jalan kepadaNya, karena Ia sudah hadir. Dia adalah segala-galanya, dan karena itu kelihatan seolah-olah Dia tidak ada (saya mengutip sebagian dari keterangan yang diberikan oleh Rahner dalam h. 18-19). Juga di hadapan maut atau kematian, dan justru karena itu, maka kepastian akan adanya Allah menjadi semakin kuat. Vorgrimler mengemukakan bahwa Rahner selalu berbicara mengenai kematian bukan dengan maksud untuk memanfaatkan ketakutan akan maut dalam rangka menampilkan agama sebagai pemenang (seperti dalam kebaktian-kebaktian kebangunan rohani Protestan: Anda takut mati? Percayalah pada Yesus, maka anda pasti masuk surga!). Sebaliknya kita harus selalu melatih diri kita untuk meninggal
164
GEMA Vol. 36, No. 1, April 2012 : 161–172
(p.19), sebab kematian yang diterima dengan sadar akan menjadi jalan untuk kebahagian yang tertinggi. Kalau dunia penuh dengan gambaran-gambaran Allah yang menutupi kita dari kesadaran akan Allah yang sejati, maka penting sekali agar kita tidak mengandalkan pada pikiran kita sendiri mengenai Allah. Allah tidak dapat dimengerti, tetapi justru di situlah letak keallahanNya. Thomas Aquino mengatakan antara lain “karena kita tidak dapat tahu Allah itu apa, tetapi hanyalah bahwa bukan ini, bukan itu, maka kita juga tidak dapat memikirkan Allah, tetapi hanya berpikir mengenai ‘bukan ini, bukan itu’ “. Ini disebut jalan negatif (via negativa), dan mirip dengan pemikiran India dan kebatinan Jawa mengenai yang ilahi. Jadi kita selalu harus mulai dengan via negativa baru kemudian disusul dengan via positiva. Dan hal ini juga berlaku untuk teks-teks Kitab Suci yang berbicara mengenai Allah seperti misalnya “Allah adalah kasih” (Yoh 4:16). Kasih adalah bahasa manusia, dan dalam pengalaman manusia kasih selalu membutuhkan dua pihak. Namun apabila istilah kasih diterapkan kepada Allah maka kita tidak dapat mengatakan bahwa di dalam Allah ada dua kutub atau dua pihak. Mengapa? Oleh karena setiap kali kita menggambarkan kemiripan Allah dengan manusia, kita harus mencamkan bahwa ketidakmiripan di antara Allah dan manusia masih jauh lebih besar daripada kemiripannya (pp.22-23). Usaha-usaha di masa lalu untuk menggambarkan Allah sebagai yang Mahakuasa, yang Mahatahu, yang tidak dipengaruhi oleh penderitaan disoroti dan tidak dianjurkan. Jalan yang betul diberitahukan kepada kita, yaitu melalui jalan doa oleh Nikolas dari Kusa (h. 28), dan SHQJDODPDQEDWLQ$JXVWLQXVK 0HUHÀHNVLNDQPLVWHUL\DQJGLVHEXW Allah, adalah mendengarkan ke dalam: berdoa kepada Dikau di dalam aku, tetapi juga mengarahkan pandangan ke luar, kita di dalam Dia. Dus spiritualitas! Betul, tetapi saya hanya mau mencatat bahwa setiap statement mengenai ketidakmiripan, kalau hanya didasarkan atas via negativa, tidak akan menghasilkan gambaran Allah! Banyak gambaran Allah yang salah, tetapi kalau tidak ada gambaran Allah, kita tidak bisa hidup. Allah itu Bapa (atau Bapak? Mengapa Dibedakan antara “Bapa” dan “Bapak”? Apakah Karena Prinsip Ketidakmiripan Di Atas?) (bab 4) Mengapa Allah disebut Bapa? Karena Allah adalah misteri abadi yang hadir namun lebih luas daripada apa yang dapat ditangkap oleh SHPLNLUDQPDQXVLD+DOLQLPHUXSDNDQSHQJDODPDQUHÀHNVL6HJDODVHVXDWX yang ada, punya dasar. Tidak ada yang tidak punya dasar. Nah, dasar ini tidak netral bagi manusia. Kalau disadari bahwa dasar itu menunjang manusia
Tinjauan Buku Herbert Vorgrimler, Trinitas: Bapa, Firman, Roh Kudus
165
dalam hidupnya, maka dengan sendirinya manusia akan bersyukur penuh kasih. Dalam doa kita mendekati misteri itu. Kalau kita mendekatinya kita tidak melebur di dalamnya melainkan mendapat tempat dalam misteri tak terhingga itu (p.34). Lambat laun kita akan menyadari bahwa kasih adalah rahasia yang besar. Bila manusia mengalami kesadaran akan Allah muncul dalam dirinya, maka ia dapat menjawab dan menyapa Allah sebagai Dikau. Seperti sudah terlihat sebelumnya, di sini juga Rahner berbicara mengenai spiritualitas dan bukan teologi, padahal dia adalah seorang teolog ulung (ketika ditanya mengapa ia beriman, jawabnya, “aku beriman karena aku berdoa”) (p.35). Jangan-jangan Rahner mau mengatakan bahwa pokok Trinitas adalah masalah spiritualitas dan bukan teologi? Allah ada, dan Allah adalah Kasih. Karena itu, dan hanya karena itu saja, Allah adalah Pencipta bumi dan langit (h. 36). Tetapi keterangannya terus terang agak membingungkan saya. “Allah tidak dapat diterangkan oleh sesuatu dari dunia. Termasuk inti rahasia, bahwa kita yang membutuhkannya, di mana rahasia tidak membutuhkan kita. Hanya dalam kerangka kasih-mengasihi antara Allah dan manusia boleh dikatakan bahwa Allah tidak dapat hidup tanpa kita. Sebab hanya dalam kasih itu apa yang diterima juga dilepaskan secara mutlak. Inilah rahasia cinta kasih, dan cinta kasih itu adalah rahasia yang menjanjikan diri kepada kita”. Di satu pihak, Allah tidak membutuhkan kita untuk menjadi diri sendiri. Allah tidak butuh alam ciptaan. Di lain pihak kita mengalami bahwa Allah menginginkan kita, bahwa kita dicintai tanpa batas. Tetapi kalau Allah menginginkan kita, bukankah Ia juga menginginkan cinta kasih kita manusia yang berdosa ini? Saya sendiri suka menafsirkan mengapa Tuhan menciptakan manusia. Ia sudah menciptakan langit dan bumi, dan Ia sudah menciptakan seluruh bala tentara surgawi yang berbasis dan bernyanyi terus siang dan malam tanpa henti, “sanctus, sanctus, sanctus”. Tetapi Ia kesepian di tengah tentara yang berbaris dan bernyanyi terus, dan karena itu Ia menciptakan manusia, supaya Ia yang amat manusiawi itu bisa berkomunikasi dengan manusia yang amat ilahi itu (ini tafsiran saya mengenai konsep imago dei, yang dipengaruhi oleh Karl Barth), dan manusia tidak selalu harus bernyanyi “sanctus, sanctus, sanctus”, karena dia toh bukan malaikat. Karena Allah adalah Pencipta bumi dan langit, dan karena Dia mencintai kita secara habis-habisan, maka dia disebut “Bapa”. Tetapi Dia tidak hanya Bapaku, melainkan juga Bapa kita semua (h. 39). Kita adalah anak-anak Sang Pencipta karena kodrat dan karena rahmat (h. 3940). Tentu saja seperti sudah dikatakan sebelumnya ada gambaran Allah
166
GEMA Vol. 36, No. 1, April 2012 : 161–172
yang salah, dan dalam hal ini termasuk pengalaman kita manusia dalam mengalami relasi dengan bapak. Ada bapak yang egois, yang diktatorial, yang sewenang-wenang dan melecehkan istri dan anak, dan ada gambaran bapak yang tradisional, yang selalu menuntut kontrol atas yang lain. Tetapi kebapaan Allah didasarkan atas cinta kasihNya yang habis-habisan kepada manusia. Tetapi di samping sebutan Allah sebagai Bapa juga ada sebutan Alkitabiah terhadap Allah sebagai Ibu, atau minimal sifat-sifat keibuan (mis Yes 66:12-13). Yesus menyebut Allah sebagai Bapa, meskipun Dia membedakan di antara “Bapamu” dan “BapaKu”. Tetapi sebutan Allah sebagai Bapa bukan khas dari Yesus, sebab tradisi Yahudi mulai dari Perjanjian Lama sudah menyebut Allah sebagai Bapa. Yesus Anak Bapa (bab 5) Dalam kerangka pemikiran Barat dibedakan di antara kemungkinan dan pelaksanaan. Pada Allah dibedakan di antara apa yang dikehendaki dan apa yang kemudian dilaksanakanNya. Tetapi pemikiran Yahudi (Timur?) tidak demikian. Kalau Allah menghendaki melaksanakan sesuatu, maka kemungkinan itu pada Allah sudah terwujudkan sebelum diwujudnyatakan di dalam dunia. Maka contohnya orang Yahudi beriman berpendapat bahwa Firdaus sudah berada di dalam Allah, sebelum diadakan di dunia sebagai taman bagi manusia pertama. Maka bagi orang Yahudi beriman bukan masalah untuk menerima bahwa Yesus dari Nazaret sudah hidup pada Allah, sebelum Ia menjadi manusia dalam rahim Santa Perawan (h. 46). Contohnya adalah madah Kristologis di dalam Flp 2:5-7. Tetapi sekaligus diakui bahwa teks ini masih lebih menekankan keallahan Yesus daripada kemanusiaanNya. Yesus sendiri mengakui bahwa Allah itu Esa seperti pengakuan Shema orang Yahudi: Dengarlah orang Israel: Tuhan itu Allah kita, Tuhan itu Esa! (Mark 12:29 yang diambil dari Ul 6:4-9, tetapi di dalam buku yang dikutip adalah teks Ulangan dan bukan teks Markus, h. 47). Syahadat Yahudi yang adalah juga syahadat Yesus ini seharusnya menjadi tolok ukur untuk segala jenis syahadat Kristiani: Allah kita adalah satu (tidak lebih) dan tunggal (tanpa saingan). Tetapi di pihak lain Yesus juga menekankan perbedaan dengan Allah yang disebutnya Bapa-Nya. Yesus sama sekali tidak boleh disamakan dengan Allah Bapa (h. 49). Memang ada hubungan khusus dan erat serta istimewa di antara Yesus dan Allah Bapa, tetapi kita tidak boleh lupa bahwa Dia itu anugerah Bapa kepada kita. Maka doa-doa kita harus ditujukan kepada Bapa, dengan perantaraan Yesus Kristus. Tetapi dengan demikian menurut saya maka ke-satu-an Allah yang tadi
Tinjauan Buku Herbert Vorgrimler, Trinitas: Bapa, Firman, Roh Kudus
167
ditekankan menjadi masalah. Kalau Yesus adalah penjelmaan Allah, maka dia mestinya sama dengan Allah Bapa. Kalau teks Alkitab Perjanjian Baru yang dikutip memberi kesan kuat bahwa Anak tidak sama dengan Bapa, maka kita tidak bisa menyebut Yesus sebagai penjelmaan Allah. Atau kita ikut teks, atau kita ikut perumusan di kemudian hari, yang menyebutnya penjelmaan. Tetapi tidak bisa dua-duanya. Seorang rekan saya, Budyanto, malah menekankan kesamaan bahkan kesatuan Yesus sebagai Anak dengan Yesus sebagai Bapa. Allah adalah Esa, karena itu Yesus Kristus adalah Allah. Dengan demikian di satu pihak kecaman Islam terhadap Kristen mengenai Trinitas dapat diatasi (Budyanto malah mengusulkan meninggalkan saja istilah Trinitas), namun di pihak lain diakui bahwa persoalan dengan Islam belum selesai bahkan bisa semakin runcing, karena Islam justru menolak ke-Allah-an Yesus (lih. Budyanto, Mempertimbangkan ulang ajaran mengenai Trinitas, Yogyakarta: TPK, 2001, h. 334-338). Allah Tritunggal (bab 6-8) Dalam bab 6 barulah secara eksplisit diterangkan mengenai Allah tritunggal yang sesuai dengan judul dalam bahasa Indonesia. Bab ini mulai dengan sebuah sanggahan keras bahwa di dalam agama-agama bukan Kristiani ada tanda-tanda mengenai Trinitas. Tridewa tidak sama dengan Tritunggal (tetapi menurut saya masih masalah apakah agama bukan Kristiani memang merumuskan kepercayaan mereka kepada yang ilahi sebagai Tridewa dalam arti tidak ada kesatuannya). Maka Trinitas harus diarahkan kepada manusia, yang mengalami pewahyuan Allah. Manusia harus sadar bahwa adanya manusia di dunia ini hanyalah karena Allah mencari “partner”, teman yang kepadanya Ia dapat memberi kasihNya, dan yang dalam kebebasan dapat menerima cinta Allah itu dan membalasnya (h. 52). Kalimat ini sudah BERBEDA dengan apa yang dikemukakan di atas dalam h. 36-37 mengenai Allah yang hanya mengasihi dan tidak membutuhkan ciptaan ataupun cinta kasih manusia. Allah mewahyukan Diri sebagai yang tidak terhingga, namun menurut dua cara dasariah pewahyuannya, yaitu sebagai kebenaran dan sebagai cinta kasih. Keduanya tidak boleh dipisahkan. Rahasia semacam ini disebut Bapa, Firman dan Roh (h. 53). Baik Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru berbicara mengenai Roh Allah, yang adalah Allah sendiri dan yang melaluinya Allah berkarya. Oleh Roh, kita boleh mengajukan permohonan-permohonan kepada Allah. Hal ini tidak berarti bahwa Allah dalam keadaan-keadaan tertentu bisa “dipakai”
168
GEMA Vol. 36, No. 1, April 2012 : 161–172
sehingga boleh mengharapkan sesuatu yang tidak mungkin dilaksanakan oleh Tuhan, karena Dia sendiri telah mengikat diri pada rencana ciptaan, yang dibuat olehNya. Doa permohonan mengimplikasikan bahwa segala yang jahat dan tidak masuk akal tidak berasal dari Allah melainkan dibuat oleh manusia yang bebas merdeka, dan tidak dapat diatasi dengan doa permohonan saja. Begitu juga percuma mengharapkan bahwa kita akan dihindarkan dari bencana alam (tsunami misalnya), berkat doa permohonan. Tuhan tidak berubah karena doa permohonan kita, melainkan kita manusia yang berdoa, kitalah yang berubah (h. 59). Roh Kudus adalah Allah yang masuk ke dalam dunia, yang mengerjakan sesuatu yang baru. Dia adalah Roh pendekatan cinta Allah, yang dalam bahasa gereja disebut “rahmat” (h. 60). Roh Kudus adalah suara Allah dalam hati manusia, juga apabila dia bukan Kristiani, dan menghimbau supaya hati nurani dibuat menjadi pedoman bagi tingkah laku (h. 61). Apa yang dibuat Roh Kudus dalam diri orang beriman disebut “perasaan iman”. Dari perhatian untuk aneka kebenaran iman, yang dikerjakan oleh Roh, dan yang menggerakkan hati orang, timbullah “katekismus hati” (istilah dari Rahner, h. 61). Itu tidak berarti bahwa semua katekismus dan ajaran tidak penting. Tidak yang paling penting adalah katekismus hati ini. Dalam bab 8 dikemukakan mengenai Firman dengan mendasarkannya pada pemahaman mengenai Logos, Sang Firman di dalam Injil Yohanes. Firman telah menjadi daging dan diam di antara kita (Yoh 1:14). Dikatakan daging, bukan manusia, sebab yang dimaksud adalah yang rentan, yang rapuh, yang termasuk sejarah. Dogma Khalkedon berkata bahwa dalam diri Yesus Kristus kodrat ilahi dan kodrat insani dipersatukan dalam kesatuan yang tak terpisahkan, namun juga tak tercampur. Jadi tidak ada makhluk campuran, setengah Allah dan setengah manusia. Sebenarnya rumus Khalkedon adalah rumus kompromis, dan bahayanya adalah bahwa dengan adanya Logos, barulah terbentuk kesadaran diri Yesus. Seandainya demikian, maka kemanusiaan Yesus yang begitu jelas dinyatakan dalam Perjanjian Baru, dicaplok oleh keallahan Firman abadi. Budyanto yang sudah saya sebut di atas malah berpendapat bahwa hal itu tidak mengapa. Pada dirinya sendiri kemanusiaan Yesus tidak bermakna apa-apa bagi manusia. KemanusiaanNya menjadi bermakna dalam karya dan status yang ada padaNya. Tabiat manusiawinya melayani tabiat ilahinya (lih. Budyanto, ibid, h. 335-336). Imitatio Jesu yang diuraikan oleh Vorgrimler sebagai penghayatan terhadap Trinitas dan saya setujui, tidak akan disetujui oleh Budyanto.
Tinjauan Buku Herbert Vorgrimler, Trinitas: Bapa, Firman, Roh Kudus
169
Untuk mencegah bahaya ini menurut Vorgrimler, lebih baik kita mengikuti paham Shekinah dari agama Yahudi, yang berbicara mengenai kemuliaan dan/atau kehadiran Allah. Kemuliaan Allah bisa turun atas kota atau kenisah atau nabi. Roh Kudus tinggal di dalam hati orang, maka menurut dia kata yang lebih tepat dari penjelmaan adalah kehadiran Firman Allah, Logos, dalam diri manusia Yesus dari Nazaret. Firman itu adalah Allah sendiri, yang dengan sepenuhnya dan seutuhnya memberikan diri kepada manusia sebagai Firman yang hadir dalam sejarah manusia. Kalau logos itu memasuki manusia Yesus, maka kedua-duanya tetap utuh, tetap ada Allah sepenuhnya dan manusia sepenuhnya. Tetapi apakah kehadiran Firman pada Yesus sama dengan kehadiran Roh Kudus pada orang lain? Tidak, karena pertama, Yesus dipersiapkan secara khusus oleh Allah dan kedua, hanya Yesuslah yang diutus sebagai Firman Allah yang terakhir bagi manusia. Kedua hal ini membedakan Yesus dari manusia lain, termasuk ibuNya. Penutup Bab-bab selanjutnya merupakan uraian yang menurut saya memperlihatkan bahwa bagi Vorgrimler, meneladani Yesus (imitatio Jesu) merupakan penghayatan terhadap Trinitas. Yesus adalah manusia teladan. Tetapi tidak berarti bahwa Dia adalah superman (h. 70). Juga Dia bukan manusia sempurna (h. 73). Yesus memang tidak mempunyai dosa, tetapi bukan berarti dia tidak mempunyai kelemahan yang merupakan bagian hakiki dari diri Yesus sebagai manusia sejati. Yesus terbatas, Dia dibatasi oleh zamanNya, kelahirannya dan pendidikannya. Bahasanya tidak selalu unggul kalau ditinjau dari segi sastra atau puisi. Dia juga tidak terlalu ¿ORVR¿V GLEDQGLQJNDQ PLVDOQ\D GHQJDQ VDQJ %XGGKD 7HWDSL
170
GEMA Vol. 36, No. 1, April 2012 : 161–172
Tetapi ini TIDAK COCOK dengan apa yang sudah dikemukakan di atas bahwa kita tidak boleh menyamakan Yesus dengan Bapa. Atau maksudnya Yesus dan Bapa tidak sama namun sejajar? Teks-teks Perjanjian Baru tidak semua memberi kesan kesejajaran. Dalam Injil Yohanes anak dan Bapa di satu pihak satu adanya, tetapi di pihak lain Bapa lebih besar dari Anak. Tetapi begitulah, menurut Vorgrimler yang mengandalkan baik Karl Rahner maupun Karl Barth, Allah kita adalah satu pribadi, yang dalam doa kita disapa dengan “Engkau” dan bukan “Anda bertiga”. Cara berada Allah dapat diungkapkan dengan kata “Data” atau “Fakta” (h. 114). Dan sehubungan dengan istilah Anak, Rahner lebih suka menggunakan kata “Firman”. Itupun dapat terlihat dalam sub-judul buku ini, yaitu “Bapa, Firman dan Roh Kudus”. Saya membayangkan bahwa Rahner mengusulkan itu dalam kerangka diskusi dengan Islam >(seperti dapat dilihat dalam fn 26 h. 115, (“Oneness and Threefoldness of God in Discussion with Islam”)@. Teman saya Banawiratma nampaknya meneruskan pemahaman Rahner dalam usahanya untuk mendialogkan Trinitas dengan kritik Islam (kitab suci Al-Qur’an) terhadap Trinitas. Di dalam bab terakhir yaitu bab 15, Vorgrimler mengecam mereka yang memberi kesan bahwa Allah adalah tiga pribadi. Ia tidak suka pada ikon-ikon yang menggambarkan Trinitas sebagai tiga orang yang duduk bersama, misalnya ikon Trinitas yang terkenal dari Rublev, yang saya lihat amat digemari di Taize (katanya pada tahun 1745 Paus Benediktus XIV sudah melarang gambar seperti itu). Juga St Ignatius dalam latihan rohaninya yang kadang-kadang memberi kesan Trinitas itu seperti “raker” (h. 118), nyanyian-nyanyian tertentu, Richard dari St. Viktor, Scotland, dan Hans Urs von Balthasar, yang mengarang buku mengenai Theo-dramatik. Pandangan Balthasar dinilai sebagai tidak berdasarkan wahyu ilahi (h. 120), padahal von Balthasar mendasarkan uraiannya pada vision dan ilham dari Adrienne von Speyr, seorang mistikus perempuan yang meninggal pada tahun 1967. Juergen Moltmann teolog Protestan juga dicela, oleh karena menggambarkan Allah berhadapan dengan Allah pada peristiwa salib. Menurut saya Moltmann diinspirasikan oleh Luther (“Da strydet Gott mit Gott!”). Berarti Luther juga salah. Padahal Moltmann justru mau konsekuen dengan Trinitas dalam memhami Yesus yang tersalib, dan karena itu tidak mengatakan Yesus yang tersalib, melainkan Allah yang tersalib (judul bukunya yang tidak dipakai oleh Vorgrimler. Yang dirujuk adalah buku Moltmann yang lain, “The Trinity and the Kingdom of God”. Dan akhirnya masih ada satu teolog Katolik yang dikecam, yaitu Greshake, yang menekankan pada keanekaragaman di dalam Allah. Penjelasannya ini dianggap semacam “simsalabim” (p.123).
Tinjauan Buku Herbert Vorgrimler, Trinitas: Bapa, Firman, Roh Kudus
171
Menurut saya dalam hal ini Vorgrimler terlalu keras. Ada dua alasan saya. Pertama, di atas saya sudah mengemukakan bahwa kalau Trinitas itu misteri, maka kita tidak bisa mengklaim bahwa perumusan kita pasti benar dan perumusan orang lain pasti salah. Kita mendekati misteri, berarti kita hanya bisa menangkapnya secukupnya tetapi tidak seluruhnya. Apa yang tidak kita tangkap dapat saja ditangkap oleh orang lain dengan perumusan yang lain. Kedua, sejak modernitas dikecam oleh postmodernitas, dunia teologi mulai sadar mengenai dialektik di antara “the one” and “the many”. Di dalam “the one” ada “the many” dan di dalam “the many” ada “the one” (kalau ini dianggap “simsalabim” ya apa boleh buat, tetapi Rahner yang tiba-tiba tanpa argumentasi menekankan bahwa Allah ada dan tidak usah dipertanyakan juga bisa dianggap sebagai semacam “simsalabim”. Dia tidak bisa mengalaskannya pada Alkitab karena di dalam Keluaran 3:14 yang tidak disinggung dalam buku ini, ehyeh asyer ehyeh tidak bisa berarti “Dia yang Ada”, melainkan “Dia yang akan ada”). Jangan-jangan salah kalau kita terlalu keras menekankan pada salah satunya. Sebelumnya monoteisme yang betul dan politeisme yang salah. Saya tidak mengatakan sekarang politeisme yang benar monoteisme yang salah, tetapi siapa tahu Trinitas tidak berpihak pada salah satunya? Tentu kita harus mempertimbangkan konteks Islam, terutama Islam yang normatif, tetapi konteks Indonesia bukan hanya itu. Ada konteks Hindu dan agama rakyat. Kebanyakan dari penganut agama Kristiani tidak berasal dari Islam tetapi dari agama lain. Kalau dalam agama mereka ada idea mengenai keragaman di dalam Yang Ilahi dan itu menolong mereka memahami Trinitas, apanya yang salah?
172
GEMA Vol. 36, No. 1, April 2012 : 161–172
JURNAL GEMA Menghaturkan terima kasih kepada: Mitra Bebestari yang telah membantu terbitan edisi ini:
9Mateus Mali 9Jan S. Aritonang 9Simon Rachmadi 9Matheus Purwatma 9I. Martasudjita 9Hamim Ilyas 9Olaf Schumann 9Joas Adiprasetya 9St. Gitowiratmo
Fakultas Teologi Sanata Dharma Yogyakarta Sekolah Tinggi Teologi Jakarta Jakarta Sekolah Tinggi Teologi Jakarta Jakarta Fakultas Teologi Sanata Dharma Yogyakarta Fakultas Teologi Sanata Dharma Yogyakarta Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Sekolah Tinggi Teoloji Sabah, Malaysia Sekolah Tinggi Teologi Jakarta Jakarta Fakultas Teologi Sanata Dharma Yogyakarta
Tinjauan Buku Herbert Vorgrimler, Trinitas: Bapa, Firman, Roh Kudus
173
FORMULIR BERLANGGANAN GEMA Dengan ini, Saya
: ………………………………………………………
Alamat lengkap
: ……………………………………………………… ……………………………… Kode Pos ………..…
Telp/HP/Fax/E-mail : ……………………………………………………… Ingin berlangganan mulai volume
: ...................................................
sebanyak
: ........................ eksemplar
Pembayaran secara
:
tunai pos wesel bank transfer (mohon mengirim bukti transfer bisa melalui pos ke alamat Redaksi atau fax: 0274-513235. Bisa juga memberitahukannya melalui email ke
[email protected]
Gema dijual dengan harga Rp. 35.000,- per-eksemplar Rekening Gema: BNI UGM, No. AC 0249898884 atas nama Fakultas Theologia UKDW. GEMA terbit dua kali dalam setahun: bulan April dan Oktober Website: www.ukdw.ac.id/journal-theo
174
GEMA Vol. 36, No. 1, April 2012 : 161–172