Bahan Diskusi Workshop “Tasharuf Zakat: Problematika dan Solusi Pengelolaan Zakat bagi Yatim” Oleh : Ust. Izzuddin Abdul Manaf, Lc., MA.
Pendahuluan Anak yatim dapat tinggal bersama keluarganya yang masih hidup seperti ibu, atau kakak, dapat pula bersama saudara, ataupun hidup di panti asuhan. Kadangkala kita menganggap bahwa anak yang hidup di panti asuhan adalah mereka yang tidak lagi memiliki ayah atau kedua orang tuanya telah tiada. Menurut data dari organisasi kemanusiaan Save The Children dan UNICEF hanya 6% dari 500 ribu anak yang berada dalam pengasuhan rumah yatim-piatu benar-benar yatim piatu. Dengan kata lain, 94% dari anak asuhan yatim piatu “menjadi” yatim piatu karena alasan kemiskinan. Orang tua merasa tidak mampu untuk memberikan penghidupan yang layak sehingga menempatkan anak mereka ke panti asuhan. Bahkan tak jarang kita temui anak “yatim” yang sengaja ditinggalkan oleh ayahnya. Angka kemiskinan di Indonesia sangat tinggi yakni tahun 2012 terhitung ada 29,13 juta orang miskin yang hidup dibawah garis kemiskinan yang berkisar di angka Rp.300.000,per bulan. Ketidakmampuan secara finansial memicu para orang tua untuk meninggalkan atau menitipkan anaknya ke pihak lain. Tentu saja tidak semua anak yatim berada pada pengasuhan panti asuhan atau keluarga/saudaranya yang miskin. Masih dapat dijumpai anak yatim berada pada asuhan keluarga yang mapan. Namun, apakah cukup proporsional memilah anak yatim yang berhak menerima santunan (khususnya zakat) berdasarkan „kaya‟ atau „miskin‟ anak yatim tersebut, yang berada di panti asuhan ata u tidak, yang ditinggal meninggal ayahnya atau yang sengaja ditinggalkan?
Masharif Zakat "Sesungguhnya sedekah-sedekah (zakat-zakat) itu hanyalah untuk orang¬orang fakir, orangorang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang di bujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak. Orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah,dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (QS. al-Taubah:60) Anak yatim dalam hal ini tidak disebutkan dalam delapan asnaf penerima zakat. Akan tetapi, apabila anak yatim ini tergolong ke dalam salah satu golongan yang disebutkan dalam At Taubah: 60, maka diperbolehkan memberikan zakat kepadanya. Contohnya anak yatim yang fakir, miskin, atau termasuk ke dalam kriteria lain dalam 8 asnaf.
Workshop Tasharuf Zakat : Problematika dan Solusi Pengelolaan Zakat bagi Anak Yatim 18 Desember 2012, IMZ Building
Batasan umur anak yatim laki-laki yang dapat menerima zakat adalah balig (mencapai usia nikah). Ini sesuai dengan ayat dalam Alquran, "Ujilah anak-anak yatim itu sampai mereka mencapai usia nikah, dan jika menurut perkiraan kalian mereka sudah cerdas, maka kembalikanlah harta mereka--yang selama ini dititipkan kepada kalian." (An Nisa: 6) Ketika menjelaskan ayat ini, Imam Ibnu Katsir berkata, "Menurut Mujahid, telah sampai usia nikah, maksudnya telah bermimpi (keluar sperma saat tidur). Mayoritas ulama mengatakan, mencapai usia balig pada anak laki-laki ialah ketika dia bermimpi dalam tidurnya, sehingga keluar sperma. Atau telah mencapai usia 15 tahun, berdasarkan hadis dari Abdullah bin Umar Ra, bahwa dia berkata, 'Aku menghadap Nabi SAW dalam perang Uhud, ketika itu usiaku 14 tahun, lalu Nabi tidak mengizinkanku ikut perang. Kemudian aku menghadap beliau dalam perang Khandaq, ketika usiaku 15 tahun, lalu beliau membolehkan aku.'" (HR BukhariMuslim) Batas untuk anak yatim perempuan adalah hingga ketika dia sudah siap menikah, yaitu telah siap dari sisi kematangan agama dan siap mengatur hartanya sendiri. Hal ini sesuai konteks Surat An Nisaa ayat 1-10 yang memang membahas posisi anak yatim perempuan
Fiqh Anak Yatim Ajaran Islam memberikan perhatian yang tinggi kepada anak YATIM. Banyak ayat-ayat Al Qur’an yang membahas posisi anak yatim ini. Dalam Al Qur’an disebutkan bentuk amal kebajikan, yaitu: “Wa atal maala ‘ala hubbihi dzawil qurba, wal yatama, wal masakini, wabnas sabili, was sa’ilina, wa fir riqaab” (dan memberikan harta itu kepada orang-orang yang dicintai dari karib-kerabat, kepada anak yatim, kepada kaum miskin, kepada musafir di perjalanan, kepada orang yang meminta-minta, dan kepada hamba sahaya. Surat Al Baqarah, ayat 177). Dalam ayat lain, “Wa yas-alunaka ‘anil yatama, qul ish-lahul lahum khairun” (dan mereka bertanya kepada tentang anak yatim, katakanlah: memperbaiki urusan mereka adalah lebih baik. Surat Al Baqarah, ayat 220). Dalam ayat lain, “Wa an taqumu lil yatama bil qis-thi” (dan –Allah memerintahkan- agar kalian memperlakukan anak yatim secara adil. Surat An Nisaa’, ayat 127). Bahkan dalam Surat Al Hasyr ayat 7 disebutkan, bahwa harta fa’i (rampasan dari musuh tanpa peperangan) diberikan kepada: Allah, Rasul-Nya, karib-kerabat, anak yatim, kaum miskin, dan ibnu sabil (musafir dalam perjalanan); dalam ayat itu juga dijelaskan bahwa pembagian ini dimaksudkan agar harta tidak hanya beredar pada orangorang kaya di kalangan Ummat Islam saja. Dalam Surat An Nisaa’ ayat 10 disebutkan, orang-orang yang makan harta anak yatim secara zhalim, maka dia telah memenuhi perutnya dengan api neraka, dan kelak mereka akan masuk neraka sa’iir. Dalam Surat Al Fajr disebutkan, “Kalla bal laa tukrimunal yatim, wa laa tahad-dhuna ‘ala tha-amil miskin” (sungguh tidak demikian, akan tetapi kalian tidak memuliakan anak yatim dan tidak menganjurkan manusia memberi makan orang miskin. Surat Al Fajr, ayat 17-18). Dan sudah sangat dikenal, dalam Surat Al Ma’uun ayat 1-3, bahwa ciri pendusta agama adalah: menghardik anak yatim dan tidak memberi makan orang miskin. Workshop Tasharuf Zakat : Problematika dan Solusi Pengelolaan Zakat bagi Anak Yatim 18 Desember 2012, IMZ Building
Imam Nawawi rahimahullah, dalam kitabnya yang terkenal,Riyadhus Shalihin menyebutkan sebuah bab tentang keutamaan bersikap lembut kepada anak yatim, kepada anak-anak perempuan, kaum fakir-miskin, dan sebagainya. Beliau menyebut hadits Nabi Saw, yang artinya: “Dari Sahal bin Sa’id Ra, dia berkata bahwa Rasulullah Saw telah bersabda, ‘Aku dan orang yang menanggung kehidupan anak yatim, kelak di syurga akan seperti ini,’ beliau memberi isyarat dengan jari telunjuk dan jari tengah beliau yang saling ditempelkan.” (HR. Bukhari). Kata Imam Nawawi, yang menanggung anak yatim maksudnya, mengurus keperluan-keperluan mereka secara baik. (Riyadhus Shalihin, hal. 66. Beirut, Daarul Fikri, 1994). Dapat disimpulkan, bahwa Islam sangat peduli dan pengasih kepada anak yatim, baik laki-laki maupun wanita, baik yang kaya maupun fakir-miskin. Rasulullah Saw adalah seorang yatim. Lalu pertanyaannya, siapakah anak yatim itu? Secara umum, anak yatim adalah anak yang telah ditinggal wafat oleh ayahnya. Kalau ditinggal wafat oleh ibunya, tidak disebut anak yatim. Anak yatim termasuk golongan manusia yang lemah karena telah kehilangan pilar keluarga (qa’imul bait). Ketika menjelaskan istilah anak yatim, Syaikh Abdurrahman As Sa’diy rahimahullah, dalam tafsirnya mengatakan, “Anak yatim adalah mereka yang tidak memiliki penghasilan, dan mereka tidak memiliki kekuatan yang bisa menanggung kebutuhannya. Hal ini merupakan bukti rahmat Allah atas hamba-hamba-Nya, menjadi dalil bahwa Allah Ta’ala lebih pengasih kepada mereka daripada orangtua kepada anak-anaknya. Allah telah berwasiat kepada hamba-Nya dan mewajibkan sikap ihsan dalam urusan harta anak yatim, agar siapa yang telah kehilangan ayah-ayahnya, mereka diurus sedemikian rupa sehingga seperti tidak kehilangan mereka. Dan balasan atas amal seperti ini, maka siapa yang pengasih kepada anak yatim, maka anaknya akan dikasihi.” (Tafsir Karimir Rahman, hal. 76. Riyadh, Daarul Mughni, 1999). Ketika menafsirkan ayat yang sama, Imam Ibnu Katsir rahimahullah memberi penjelasan, “Anak yatim adalah mereka yang tidak memiliki penghasilan, telah wafat ayah mereka, sedangkan mereka dalam keadaan lemah, masih kecil, belum mencapai baligh, dan belum punya kemantapan dalam pekerjaan.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim li Imam Ibnu Katsir, Jilid I, hal. 270. Takhrij hadits oleh Syaikh Hani Al Hajj. Kairo, Maktabah Taufiqiyyah, tanpa tahun). Jadi, anak yatim adalah anak yang telah ditinggal wafat oleh ayahnya, lalu dia kehilangan pilar keluarga yang menanggung dan mengurus kehidupannya. Kemudian, sejauhmana batasan seorang anak disebut yatim? Sebab semua orang lambat atau cepat pasti akan ditinggal wafat oleh ayahnya. Apakah orang dewasa yang sudah berusia 40 tahun, lalu ditinggal wafat ayahnya, dia juga disebut yatim? Dalam Al Qur’an disebutkan ayat yang berbunyi, “Wab-talul yatama hatta idza balaghuu an nikah, fa in anastum minhum rusy-dan fad-fa’uu ilaihim amwalahum” (dan ujilah anak-anak yatim itu sampai mereka mencapai usia nikah, dan jika menurut perkiraan kalian mereka sudah cerdas, maka kembalikanlah harta mereka –yang selama ini dititipkan kepada kalian -. Surat An Nisaa’, ayat 6). Imam Ibnu Katsir ketika menjelaskan ayat ini beliau berkata, “Menurut Mujahid, telah sampai usia nikah, maksudnya telah bermimpi (keluar sperma saat tidur). Mayoritas ulama mengatakan, mencapai usia baligh pada anak laki-laki ialah ketika dia bermimpi dalam tidurnya, sehingga keluar sperma. Atau telah mencapai usia 15 tahun, Workshop Tasharuf Zakat : Problematika dan Solusi Pengelolaan Zakat bagi Anak Yatim 18 Desember 2012, IMZ Building
berdasarkan hadits dari Abdullah bin Umar Ra, bahwa dia berkata, ‘Aku menghadap Nabi Saw dalam perang Uhud, ketika itu usiaku 14 tahun, lalu Nabi tidak mengijinkanku ikut perang. Kemudian aku menghadap beliau dalam perang Khandaq, ketika usiaku 15 tahun, lalu beliau membolehkan aku.’ (HR. Bukhari-Muslim). Berkata Umar bin Abdul Aziz rahimahullah ketika disampaikan kepadanya hadits ini, “Perkara ini (usia 15 tahun) merupakan pembeda antara anak kecil dan orang dewasa.” (Tafsir Ibnu Katsir, jilid I, hal. 153. Kairo, Maktabah Taufiqiyyah). Ketika menjelaskan Surat An Nisaa’ ayat 6 di atas, tentang batasan telah mencapai usia nikah, berkata Sa’id bin Jubair Ra, “Telah menjadi shalih dalam urusan agama mereka, dan pandai menjaga hartanya.” Singkat kata, batasan anak yatim laki-laki ialah ketika sudah mencapai baligh, yaitu telah keluar sperma dari kemaluannya. Atau sudah mencapai usia 15 tahun. Adapun batasan anak yatim perempuan, ialah ketika dia sudah siap menikah, yaitu telah siap dari sisi kematangan agama dan siap mengatur hartanya sendiri. Hal ini sesuai konteks Surat An Nisaa’ ayat 1-10 yang memang membahas posisi anak yatim perempuan.
Anak Yatim sebagai Masharif Zakat ? Pertanyaan intinya, apakah anak yatim berhak mendapatkan bagian dari Zakat? Maka sebelum dijawab pertanyaan ini, terlebih dulu harus dilihat keadaan anak yatim tersebut. Apakah dia termasuk anak yatim yang ditinggali banyak harta warisan oleh ayahnya, sehingga dengan harta itu bisa tercukupi kebutuhan materinya? Atau dia termasuk anak yatim yang fakir, miskin, muallaf, dalam perjalanan, menanggung hutang, dll. sesuai kriteria 8 kelompok penerima Zakat? Kalau dia termasuk anak yatim yang berkecukupan materi, tidak perlu diberi Zakat. Tetapi kalau dia termasuk anak yatim yang masuk 8 golongan penerima Zakat, SANGAT AFDHAL kalau mereka diberi bagian Zakat. Karena selain dia masuk 8 golongan, dia juga yatim. Perlakuan seperti ini ditujukan ialah untuk menyalurkan Zakat sesuai dengan sasaran yang dituju. Kita jangan menyalurkan Zakat kepada yang tidak berhak menerima; atau sebaliknya, menolak memberikan Zakat kepada sasaran yang justru sangat berhak menerima. Dalam Al Qur’an, “Innallaha ya’murukum an tu-addul amanati ila ahliha, wa idza hakamtum bainan naasi antahkumu bil ‘adl” (sesungguhnya Allah memerintahkan kalian menyampaikan amanat kepada yang berhak, dan jika kalian menghukumi, hendaklah menghukumi secara adil. Surat An Nisaa’, ayat 58). Terkait pembagian Zakat ini, seorang ulama besar di Timur Tengah, Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan berkata, “Tidak boleh menetapkan Zakat kepada seorang wanita fakir, jika dia berada di bawah pembiayaan nafkah suaminya yang kaya; begitu juga tidak boleh diberikan Zakat kepada seorang fakir, kalau dia memiliki kerabat kaya yang memberi nafkah kepadanya; dimana mereka diberi kekayaan lewat nafkah itu daripada harus mengambil harta Zakat.” (Mulakhas Fiqhiy, jilid I, hal. 254. Riyadh, Daaru Ibnil Jauzi, tahun 2000). Menyimpulkan dari pendapat ini, maka anak yatim yang mewarisi banyak harta dari
Workshop Tasharuf Zakat : Problematika dan Solusi Pengelolaan Zakat bagi Anak Yatim 18 Desember 2012, IMZ Building
orangtuanya, atau dia berada dalam sebaik-baik pemeliharaan nafkah oleh kerabatnya, anak seperti itu tidak perlu menerima bagian dari Zakat. Ada beberapa hadits Nabi Saw yang menjelaskan, bahwa anak-anak yatim berhak menerima bagian dari Zakat. Diriwayatkan dari Abu Sa’id Al Khudri Ra, dia berkata, “Zainab Ra, isteri Ibnu Mas’ud Ra, datang kepada Nabi Saw, lalu bertanya, ‘Ya Rasulullah, engkau telah memerintahkan pada hari ini untuk bersedekah. Di sisiku ada beberapa perhiasan, milikku. Aku berniat bersedekah dengannya. Namun Ibnu Mas’ud (suami Zainab) menyatakan, bahwa dia dan putranya lebih berhak menerima sedekah itu dariku.’ Lalu Nabi Saw berkata, ‘Ibnu Mas’ud benar. Suamimu dan anakmu lebih berhak engkau bersedekah kepada mereka.’” (HR. Bukhari). Hadits ini disebutkan oleh Imam Ibnu Hajar Al Asqalani dalam kitab beliau, Bulughul Maram, bagian Kitab Zakat, no. 515. Hadits ini memberi hikmah, seorang isteri boleh bersedekah kepada keluarganya sendiri, jika mereka membutuhkan harta. Adapun seorang suami tidak boleh bersedekah kepada isterinya, sebab sudah MENJADI KEWAJIBAN bagi suami itu untuk menafkahi isteri dan anak-anaknya. Dalam hadits lain yang cukup panjang, Zainab Ra isteri Ibnu Mas’ud Ra, bermaksud memberikan sedekah. Lalu dia pergi ke rumah Rasulullah Saw. Kebetulan di rumah beliau sedang ada wanita yang ingin bertanya hal yang sama. Melalui Bilal Ra, Zainab dan wanita itu bertanya, “Atuj-ziu as shadaqah ‘anhuma ila azwajihima wa ‘ala aitamin fi hujurihima?” (bolehkah sedekah dari kedua wanita itu diberikan kepada suaminya atau anak yatim yang ada di rumahnya?). Maka kemudian Nabi Saw memberi jawaban, “Lahuma ajran, ajrul qarabah, wa ajrus shadaqah” (bagi kedua wanita itu dua pahala, pahala berbuat baik kepada keluarda terdekat, dan pahala sedekah). Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari-Muslim, disebutkan oleh Imam Al Munzhiri dalam Mukhtashar Shahih Muslim. Untuk memperjelas lagi, Syaikh Shalih Fauzan Al Fauzan berkata, “Dan di kitab As Shahih, disebutkan bahwa isteri Abdullah (maksudnya, Abdullah bin Mas’ud atau Ibnu Mas’ud Ra) bertanya kepada Nabi Saw, tentang anak saudaranya yang menjadi yatim dan hidup di rumahnya, apakah boleh memberikan zakat dia ke mereka? Lalu Nabi Saw menjawab, “Ya!” Kalau diperhatikan, hadits-hadits di atas saling berkaitan satu sama lain, saling melengkapi. Bisa jadi, kejadiannya satu, tetapi yang menceritakan berbeda-beda. Singkat kata, memberikan Zakat kepada anak-anak yatim yang membutuhkan, hal itu diperbolehkan oleh Nabi Saw. Termasuk anak yatim yang berada dalam pemeliharaan sebuah keluarga, boleh diberi Zakat oleh karib-kerabatnya. Secara umum, ajaran Islam sangat peduli dengan nasib anak yatim, laki-laki atau perempuan, kaya atau miskin. Jika anak yatim itu miskin, fakir, muallaf, dan sebagainya sehingga masuk kategori 8 kelompok yang berhak menerima Zakat; mereka sangat diutamakan untuk menerima Zakat. Namun jika mereka tergolong anak yatim yang kaya, berkecukupan, mendapat nafkah yang memadai dari kerabatnya, tetap berhak mendapat kemurahan dari kaum Muslimin. Tetapi bentuknya bukan materi, melainkan perhatian, kasihsayang, kelembutan, serta perlindungan. Hal ini untuk merealisasikan sabda Nabi Saw, “Ana
Workshop Tasharuf Zakat : Problematika dan Solusi Pengelolaan Zakat bagi Anak Yatim 18 Desember 2012, IMZ Building
wa kafilul yatama fil jannah” (aku dan pemelihara anak yatim kelak berada –sangat dekatdi syurga. HR. Bukhari).
Pendapat Ulama Kontemporer Memang, kalau kita merujuk kitab Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuh karya Dr Wahbah Az-Zuhaili dalam Bab Zakat dijelaskan bahwa ada beberapa ulama yang tidak memperbolehkan “anak” itu menerima zakat. Jadi, bukan “yatim”nya, tapi “anak”. Sebab, anak itu masih dibawah tanggungan orang tuanya. Dan yang berhak menerima zakat itu harus sudah baliqh. Sehingga dikitab itu disebutkan ada beberapa yang tidak boleh menerima zakat, yaitu anak, budak, istri, yang semuanya masih didalam tanggungan seseorang (anak tanggungan orang tua, budak tanggungan majikan dan istri tanggungan suami). Semuanya itu dianggap tidak berhak menerima zakat. Menurut Imam Syafi’i dan Imam Maliki, anak itu tidak berhak menerima zakat kalau anak itu masih dibawah tanggungan orang tua, sehingga walaupun anak itu “miskin” atau “tidak punya”, karena masih ada yang menanggung yakni orang tuanya, maka anak itu dianggap tidak berhak menerima zakat. Istri, meski miskin tapi masih ada suaminya, dianggap tidak berhak menerima zakat. Jadi, 8 golongan tadi mensyaratkan “kedewasaan” atau “baliqh” dan “tidak dalam tanggungan orang lain”. Sehingga “yatim” dianggap sebagai golongan yang tidak berhak menerima zakat karena belum baligh, meskipun dia fakir miskin. Namun, ada juga ulama yang memperbolehkan “anak-anak” menerima zakat kalau memang dia termasuk fakir miskin. Itulah pendapat Ahmad bin Hanbal. Pendapat beliau ini didasarkan pada hadis Nabi Muhammad SAW; Dari Abi Juhaifah, dia berkata: Rasulullah SAW pernah mengutus Juru Pungut Zakat, kemudian juru pungut itu mengambil zakat dari orang-orang kaya kita, lalu diberikan kepada orang-orang fakir dilingkungan kita. Saya termasuk anak yatim yang tidak punya harta. Kemudian Rasulullah SAW memberiku unta yang masih muda (HR. Daruquthni). Berdasarkan hadis ini, menurut Imam Ahmad bin Hanbal, anak yatim yang fakir berhak menerima zakat. Dari penjelasan diatas, saya lebih cenderung kepada pendapat yang memperbolehkan anak yatim miskin menerima zakat. Alasan saya, disamping ada dasar hadis diatas, secara kebutuhan memang mereka (anak-anak yatim itu) yang berhak menerima zakat. Sebab, kalau alasannya anak itu ada yang menanggung, orang tua (ibu) anak-anak yatim itu kan juga miskin. Jika demikian kenyataannya, siapa yang menanggung anak-anak yatim miskin itu? Jadi, menurut pendapat saya, anak-anak yatim itu berhak menerima zakat Lalu bagaimana dengan lembaga sosial Islam yang memanfaatkan dana Zakat untuk membangun sekolah, pesantren, panti asuhan, atau fasilitas pelatihan, yang semua itu diperuntukkan bagi anak-anak yatim? Jawabannya mudah, seperti yang dikatakan Syaikh Prof. Ali Tanthawi rahimahullah, dana Zakat tidak boleh dibuat untuk semua keperluan itu. Dana Zakat harus disalurkan kepada yang berhak, tidak boleh dibuat macam-macam. Kecuali, kalau dana sudah diserahkan, lalu orang-orang yang menerima Zakat itu sepakat Workshop Tasharuf Zakat : Problematika dan Solusi Pengelolaan Zakat bagi Anak Yatim 18 Desember 2012, IMZ Building
untuk menggunakannya demi membangun sekolah, pesantren, panti asuhan, dll. Itu diperbolehkan. Syaratnya, dana Zakat harus sampai di tangan yang berhak dulu. Namun untuk membangun sekolah, pesantren, panti asuhan, dll. itu boleh menggunakan dana non Zakat, misalnya infak, sedekah, waqaf, hibah, hadiah, dll. Di kalangan masyarakat ada sebuah pemikiran tentang anak yatim. Menurut mereka, “Anak-anak yatim itu cenderung nakal. Mereka selalu membuat masalah. Hal itu membuat hati kami jadi tidak tertarik untuk membantu anak yatim.” Bagaimana dengan pemikiran seperti ini? Harus dipahami dengan baik, bahwa kenakalan anak yatim itu merupakan AKIBAT dari sebuah keadaan. Ia tidak muncul begitu saja. Mereka nakal, karena kurang mendapat perhatian, kasih-sayang, perlindungan, serta pemenuhan nafkah dari ayahnya, karena sang ayah sudah meninggal. Hal ini malah semakin memperkuat pandangan, bahwa anak yatim sangat membutuhkan PERHATIAN lahir-batin. Tidak hanya pemberian materi saja. Seperti yang dikatakan oleh Syaikh As Sa’diy ketika menafsirkan Surat Al Baqarah ayat 177, “Maka Allah telah berwasiat kepada hamba-hamba-Nya, dan mewajibkan mereka bersikap ihsan dalam perkara harta anak yatim, agar siapa yang kehilangan ayah-ayah mereka diperlakukan sedemikian sehingga seperti siapa yang tidak kehilangan orangtuanya.” (Tafsir Karimis Rahman, hal. 72. Riyadh, Daarul Mughni, 1999). Seharusnya, perlakuan kita kepada anak yatim ialah memberikan kepedulian yang sepadan dengan kepedulian ayahnya kepada mereka, jika kita sanggup melakukannya. Bila perhatian itu kecil atau tidak memadai, sangat mungkin akibatnya akan muncul perilaku anak-anak yatim yang nakal. Semoga Allah Ta’ala melindungi dan membimbing anak-anak yatim kaum Muslimin sebaik-baiknya. Semoga pula Allah menolong kita untuk bersikap arif, bijak, dan pemurah kepada anak-anak yatim. Allahumma amin ya Arhama Rahimin. Penutup Kondisi anak Yatim: 1) Anak yatim itu ada yang kaya, mewarisi harta banyak dari orangtuanya, atau mereka berada di bawah pemberian nafkah yang mencukupi dari kerabatnya. Dalam posisi demikian, anak yatim tidak perlu diberi bagian dari Zakat. 2) Bagi anak yatim yang miskin, fakir, muallaf, dalam perjalanan, dll. sesuai criteria 8 kelompok penerima Zakat, mereka lebih AFDHAL untuk menerima Zakat, karena selain membutuhkan, mereka juga yatim. 3) Bagi semua anak yatim, baik miskin atau kaya, mereka berhak mendapat santunan BATIN dari kaum Muslimin, berupa sikap lembut, perhatian, kasihsayang, perlindungan, dll. Hal itu sesuai perintah Nabi Saw untuk memperlakukan anak yatim dengan sebaik-baiknya. 4). Secara umum, ajaran sangat peduli dengan nasib kaum yang menderita, khususnya dalam hal ini adalah nasib anak yatim. Maka tidak salah jika Islam disebut sebagai agama Rahmatan Lil ‘Alamiin.
*Disampaikan dalam Diskusi “Tasharuf Zakat: Problematika dan Solusi Pengelolaan Zakat bagi Yatim” oleh: Izzuddin Abdul Manaf, Lc. MA. IMZ, 18 Desember 2012.
Workshop Tasharuf Zakat : Problematika dan Solusi Pengelolaan Zakat bagi Anak Yatim 18 Desember 2012, IMZ Building