BAGAIMANA MENULIS KARYA ILMIAH MENJADI BUKU AJAR*) Oleh: Prof.Dr.Ir. Ika Rochdjatun Sastrahidayat (Guru Besar Fakultas Pertanian Universita Brawijaya) Pendahuluan Ada suatu nasehat yang senantiasa jadi pegangan hidup penulis yang berbunyi: "Apabila mati keturunan Adam (maksudnya manusia); maka putuslah amalnya, kecuali tiga hal: ilmu pengetahuan yang bermanfaat, amal baik sewaktu hidup, dan anak sholeh yang pandai berdo'a untuk kedua orang tuanya” (Hadist Muslim). Terus terang untuk mengejewatahkan ilmu yang bermanfaat tidak ada lain adalah dengan menuliskannya dan menyebar-luaskannya kepada khalayak agar supaya sekecil apapun pengetahuan kita dapat dipelajari oleh orang lain sehingga akan menduduki posisi bermanfaat tersebut. Seorang saintis pada dasarnya adalah mereka yang telah memilih jalan hidupnya untuk berada dalam “koridor keilmuan (sains)” yang bersifat rasional, objektif, tidak memihak, dan berbicara apa adanya. Apabila dijabarkan secara etika saintifik maka saintis adalah mereka yang mau menerima kaedah berikut: (1) berjalan di atas kebenaran sains, (2) bersifat terbuka dan responsif terhadap informasi pengetahuan, (3) menghargai pendapat orang lain sekalipun berbeda dan antagonis, (4) bertanggungjawab terhadap pengetahuan yang dirilisnya, (5) mengamalkan pengetahuannya secara jujur dan terbuka untuk kemaslahatan umat manusia. Dengan kaedah tersebut maka karya ilmiah yang dihasilkan melalui paradigma saintifiknya seharusnya disebar luaskan dan akan menjadi milik masyarakat luas dikemudian hari. Penyebar luasan karya ilmiah tersebut dikemas dalam berbagai bentuk, yakni: bentuk oral (lesan) dan tulis. Adapun bentuk oral bisa dalam forum: pendapat ahli (statement of the autority), ceramah umum, seminar, diskusi, studi kelompok, dan sebagainya; sementara bentuk tulis bisa dalam bentuk lembaran-lepas (leaflet), poster, laporan hasil penelitian, makalah (paper), jurnal, prosiding, diktat, buku (ajar), teksbook, hasil 1
dokumentasi (gambar, foto, film, video, fosil), dan lain-lain (sekarang elektronik saintifik). Demikian luasnya bentuk karya ilmiah yang berkembang dalam dunia ilmiah dan akan terus mengembangkan dirinya sesuai dengan sifat keterbukaannya, maka peluang seorang saintis untuk mengekspresikan karya ilmiahnya kemasyarakat sangatlah mudah dan terbuka luas. Maka apabila peluang ini tidak pernah diambil, maka ia akan menyesal seumur hidup dan kematiannya tidak akan pernah terukir dalam perjalanan waktu hidupnya. Makalah ini akan membatasi ruang lingkup pembahasan kepada satu tujuan yakni bagaimana suatu karya ilmiah seseorang dapat diakses masyarakat luas melalui buku ilmiah sebagai karya ilmiah yang abadi. Pengertian istilah-istilah Sebelum kita membahas lebih jauh mengenai topik bahasan di atas, marilah kita pahami bersama mengenai apakah karya ilmiah itu dan apakah buku ilmiah itu? Menurut Nasoetion (1989), karya ilmiah adalah hasil usaha akal manusia yang teratur dan taat-azaz menuju penemuan keterangan tentang pengetahuan yang benar. Pengetahuan ini disebut sebagai pengetahuan sains dan disingkat sains (diadopsi dari kata science) saja karena istilah pengetahuan (knowledge) bermakna luas, antara lain: filsafat, intuisi, religi, hikmah, dsb. Menurut Suriasumantri (1985), untuk mendapatkan pengetahuan sains tentu berbeda dengan cara mendapatkan jenis pengetahuan lainnya tersebut baik dari sisi ontologi
(tujuan),
epistemologi
(metode
mendapatkannya),
dan
aksiologi
(kegunaannya). Untuk mendapatkan pengetahuan sains maka diperlukan penelusuran melalui alur ilmiah atau lebih dikenal sebagai metode ilmiah yang meliputi: (1) perumusan masalah, (2) perumusan hipotesis, (2) pengujian hipotesis, (3) kesimpulan ilmiah. Langkah-langkah tersebut itulah yang kemudian dikenal dengan istilah karya ilmiah. Memang alur ilmiah ini tidak bersifat kaku (rigit) karena dalam kenyataannya di lapangan keilmuan banyak bidang-bidang ilmu (khususnya sosial) yang tidak selalu melalui alur itu, misal mengenai kebudayaan masyarakat tertentu; maka metode ilmiah melalui observasi-partisipatif langsung pada objek riset tentu saja hasilnya dapat disebut dengan karya ilmiah. 2
Sumber-sumber ekplorasi ilmiah Sebelum sampai pada langkah ilmiah lebih jauh tentunya seseorang akan bertanya-tanya dimanakah ekslorasi keilmuan itu didapat agar supaya tidak merabaraba sehingga persoalan menjadi komplek dan tidak jelas. Dari pengamatan penulis banyak sumber yang dapat menjadi pijakan bagi seseorang untuk mencari inspirasi penelitian antara lain: a) Pengalaman seseorang yang dapat pribadi atau orang lain. Cerita klasik tentang buah apel yang jatuh ke kepala Issac Newton yang diteruskan dengan penelitiannya dari menara miring Pisa dengan menjatuhkan berbagai benda dan menghitung kecepatan jatuh sehingga didapatlah hukum gravitasi menjadi bukti pengalaman seorang jenius yang bermanfaat bagi orang banyak. Maka jangan biarkan pengalaman berlalu jadikan dia guru untuk menemukan ilmu. Pantun Nasehat mengatakan: Intan dijalan diduga kaca; Banyak pejalan takan peduli; Orang yang arif dapat membaca; Orang yang bodoh sulit kenali (Ika Rochdjatun Sastrahidayat, Yokkaichi-1993). b) Melalui penelusuran pustaka. Buku atau pustaka sebagai bahan bacaan sehari-hari sangat membantu seseorang untuk mencari atau memilah-milah tentang objek riset bahkan mungkin-tidaknya prosedur riset dilakukan. Ketrampilan seseorang untuk menguasai berbagai bahasa tentu saja menjadi faktor pemicu sekaligus pemacu “betah” tidaknya berlama-lama membaca atau mempelajari suatu naskah. Referensi melalui kepustakaan dengan tahun terbit mutakhir memang diharapkan dalam rangka mendapatkan informasi baru, namun bukan berarti yang kuno sekalipun tidak mempunyai nilai guna yang tentu saja tergantung dari tujuan riset tersebut. Dengan tersedianya fasilitas elektronik (internet) saat ini hampir dapat dipastikan bahwa penelusuran pustaka bukanlah suatu kendala serius karena kita dapat keliling dunia melalui medium tersebut sekalipun berada dalam ruangan dan tak beranjak. Tentu saja dalam perpustakaan sebagai sumber pustaka kita dapat menemukan berbagai jenis informasi mulai dari yang benar-benar ilmiah, fiksi ilmiah, sihir jenis Hary Potter, sampai betaljemur bukunya orang percaya klenik.
3
c) Melalui eksplorasi di lapangan atau alam. Cara ini biasanya sudah dipertimbangkan masak-masak mengenai suatu objek yang akan dijadikan bahan penelitian lebih mendalam melalui metode-metode riset tertentu sehingga dia merupakan pra survey untuk mendapatkan masukan bagi survey sesungguhnya. Kejelian seseorang untuk melihat
indikator-indikator
bahan
penelitian
sangatlah
membantu
dalam
memunculkan ide atau perumusan yang akan dikumpulkan nantinya. Sering seseorang kurang memperhatikan (cuek) terhadap suatu indikator yang dianggapnya kurang menarik padahal justru itulah yang menjadi kunci keberhasilan terhadap langkahlangkah selanjutnya. Suatu contoh yang menarik dalam bidang biologi adalah komodo, orang Indonesia khususnya akhli biologi hanya tertarik pada keunikan dari sisi “kadal raksasanya” sehingga perlu dilestarikan. Beda dengan ahli Rusia mereka tertarik pada air liur komodo yang ternyata merupakan senjata mematikan karena dengan gigitan kecil saja cukup melumpuhkan kerbau besar disebabkan sistem syarafnya terkontaminasi bakteri pelumpuh yang terkandung dalam liur tersebut. Mereka mengambil sampel air liur komodo terus diisolasi bakterinya, dikembangkan di laboratorium, jadilah senjata biologis yang mematikan. Orang Amerika tahu Rusia mengembangkan senjata biologis dari liur komodo, datanglah mereka ke pulau Komodo, bukan untuk cari air liurnya namun mencari orang yang pernah digigit komodo namun tak mati, diambilah darah orang itu, demikian pula dengan darah komodo karena bila terjadi perkelahian sesamanya mengapa komodo tak lumpuh. Sampel darah tersebut kemudian dikembangkan dan diperbanyak di laboratorium dijadikan serum yang bersifat anti bakteri liur komodo; inilah yang disebut perang biologis. Dimana kita? Dasar goblog, hanya jadi objek wisata bahkan mungkin komodo disembah jadi dunia pedukunan. d) Melalui ilham atau intuisi. Sampai saat ini memang ilham belum banyak diteliti secara ilmiah gejala apakah itu sebenarnya, sehingga tentu saja jaranglah digunakan sebagai suatu sumber eksplorasi, bahkan cara atau metodenyapun sulit dikemukakan dengan pendekatan metode ilmiah. Namun kita tak dapat menafikkan bahwa banyak penemuan ilmiah terkuak karena secara tidak sengaja muncul inspirasi yang tak terduga atau ilham tadi sehingga menjawab pertanyaan yang selama ini 4
membebaninya. Contoh ilham yang spektakuler adalah dikala tuan Archimides mencari jawab tentang bagaimana orang bisa mengapung; secara tak sengaja disaat ini berendam dalam bak mandi, tiba-tiba ia melompat dari bak mandi dan keluar kamar mandi lari ke jalan sambil berteriak “I got it..I got it” (tentu saja ia telanjang bulat). Apa yang ia dapat tersebut saat ini telah menjadi dalil Archimedes yang dipelajari sejak bangku SMP oleh anak-anak kita. Dalam pengetahuan keagamaan lebih dahsyat lagi apa yang ditemukan oleh Sidarta Gautama yang karena terusiknya kesadaran dirinya akan ketidak adilan atau ketimpangan hidup, mengapa di negerinya ada yang sakit, ada yang melarat, ada yang teraniaya, ada yang cacat sementara kehidupannya sendiri berada dalam hedonisme penuh kenikmatan dan kelezatan. Isolasi dirinya di bawah pohon boldi tidaklah membuka takbir rahasia makna hidup yang sebenarnya, hingga sampailah pada suatu waktu ketika terdengar lamat-lamat olehnya seorang guru kecapi yang berperahu dengan muridnya berujar begini: “wahai muridku apabila engkau menginginkan irama kecapi yang merdu maka kencangkanlah talinya namun jangan kencang-kencang karena nanti putus”. Mendengar itu muncullah ilham dalam diri Sidarta karena tiba-tiba ia paham apa maksudnya, inilah yang merubah sejarah kebudayaan manusia karena muncullah tokoh besar yang kemudian disebut Budha dan diadopsi menjadi nama agama. Nah! Apakah anda punya kepekaan hati seperti Sidarta, atau intelektual seperti Archimedes? Kalau tidak jangan berharap jadi orang besar!!! e) Melalui Kitab Suci. Agak aneh memang bahwa kitab suci menjadi sumber penelusuran ilmiah, namun bagi mereka yang tartil Al-Qur’an dan melakukan analisis terhadap kandungan yang ada di dalamnya maka mata mereka akan terbeliak. Tenyata kitab suci yang satu ini nampaknya hanya bisa dipahami dengan benar oleh mereka yang mempunyai basic science tertentu, dengan kata lain ternyata selama ini umat Islam salah dalam mengimplementasikan isi kandungan kitab sucinya sehingga mereka tetap menjadi korban dari kebodohannya sendiri. Beberapa contoh yang mendukung statement tersebut antara lain:
Tentang alam raya (Q. 3: 190-191, Q. 21: 30-33, Q. 39: 68) Tentang gunung (Q. 78: 7, Q. 27: 88) Tentang tanaman (Q. 13: 4) 5
Tentang mahluk hidup dari air (Q. 21: 30) Tentang laut tawar dan asin (Q. 25: 53) Tentang langit sbg atap terpelihara (Q. 21: 32) Tentang hibernasi (Q. 18: 25) Tentang lebah (Q. 16: 69) Tentang semut (Q. 27:18)
Bagaimana menulis suatu karya ilmiah Sering orang berprasangka bahwa karya ilmiah hanya dapat dihasilkan oleh mereka yang berkutat dalam bidang tertentu bahkan menyandang gelar kesarjanaan tertentu. Tentu saja prasangka ini tidak tepat karena bukankah banyak yang bergelarpun kesulitan untuk menuliskan karya ilmiahnya, sebaliknya bagi mereka yang non-gelarpun tidak sedikit dapat menyampaikan pengalaman hidupnya dengan alur ilmiah sehingga dapat disebut karya ilmiah. Mari kita lepaskan dahulu paradigma ilmiah agar supaya punya kebebasan dan kreatifitas dalam membangun karya ilmiah; langkah-langkah berikut dapat kiranya dijadikan teladan. 1. Berilah perhatian dengan saksama terhadap apa yang anda dengar, anda lihat, dan anda rasakan pada setiap momentum (kejadian), karena hal tersebut tidak akan terulang lagi. 2. Buatlah catatan singkat pada saat anda melakukan perhatian tersebut dengan memberikan penekanan kepada faktor-faktor dominan atau yang paling menonjol. 3. Buatlah dokumentasi terhadap fakta lapangan secara komprehensif dan informatif agar dapat diolah menjadi data ilmiah. 4. Buatlah kesimpulan sementara mengenai objek perhatian tersebut untuk menjadi objek pendalaman dengan melakukan klasifikasi atau pengelompokan sederhana, sehingga kita telah punya salah satu objek yang ingin didalami namun objek lain akan menjadi perhatian lain kali (tak ada fakta yang hilang). 5. Anda akan menjadi ilmuwan kaya fakta yang terdatakan apabila prosedur tersebut di atas diabadikan dalam suatu karya tulis paling sederhana seperti jurnal perjalanan (selayang pandang), karya ilmiah populer dalam majalah atau
6
mass media tulis lainnya, atau leaflet untuk kepentingan terbatas (laboratorium atau kantor). 6. Biasakan mengarsipkan dokumen tersebut dalam tempat penyimpanan (filling cabinet) secara rapi dan teratur sehingga apabila telah dianggap cukup, maka dapat diunduh kembali menjadi karya tulis yang orisinil. 7. Untuk mengikuti kaedah keilmuan tentu saja karya orisinil tersebut dapat pula dibandingkan dengan kajian orang lain yang saat ini dapat ditelusuri melalui perpustakaan, kontak person, atau dunia maya (internet). Jangan takut untuk menuliskan hasil eksplorasi anda dan mempublikasikannya sekalipun tidak didapat padanannya dalam kajian pustaka, justru itulah orisinilitas anda yang nantinya akan dijadikan rujukan orang lain.
Beberapa contoh karya ilmiah Setelah mengikuti beberapa langkah sederhana tersebut di atas, maka uraian berikut ini kita fokuskan pada beberapa contoh tulisan ilmiah yang dapat dijadikan rujukan.
Leaflet. Dari istilah berarti kertas lepas atau lebar lepas, yang ukurannya terbatas (misal kuarto) dengan isinya dapat dimuati berbagai macam informasi (misal mimbar jum’at, promosi dagang, pengumuman, termasuk informasi ilmiah). Dalam leaflet uraian ilmiah dikemukakan secara ringkas dan praktis dan bersifat informasi sesaat sehingga kaedah tulisan ilmiah belum lengkap.
7
Diktat. Diktat adalah bahan ajar untuk suatu matakuliah atau praktikum yang ditulis dan disusun oleh pengajar matakuliah tersebut, mengikuti kaidah tulisan ilmiah dan disebar luaskan kepada peserta kuliah (lihat contoh pada gambar di bawah).
Buku bahan ajar. Berdasarkan Kepmen diknas No: 36/D/O/2001, Pasal 5, ayat 9 (a); “Buku ajar adalah buku pegangan untuk suatu mata kuliah yang ditulis dan disusun oleh pakar bidang terkait dan memenuhi kaidah buku teks serta diterbitkan secara resmi dan disebarluaskan”. Dengan demikian buku bahan ajar atau disingkat saja menjadi buku ajar mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: (1) Buku yang ditulis dengan tujuan utama sebagai sumber acuan pembelajaran, (2) Mencakup bidang ilmu tertentu, (3) Memenuhi kaidah ilmiah penulisan karya ilmiah (4) Diterbitkan dan disebarluaskan, (5) Disusun untuk mencapai tujuan pembelajaran atau kompetensi tertentu. Untuk membuat suatu karya ilmiah berupa buku ajar sangatlah sederhana apabila kita sudah terbiasa mendokumentasi karya ilmiah kita selama perjalanan hidup, yang materinya dapat diambil dari berbagai sumber, antara lain: 1. Hasil penelitian 2. Buku diktat, jurnal, makalah 3. Materi lain yang diperoleh via online yang dirasa benar 4. Pengalaman pribadi, modul, makalah-makalah nara sumber, leaflet 8
5. Lain-lain Dalam membuat buku ajar maka kaedah penulisan perlu mengikuti aturan yang telah disepakati bersama yang menurut aturan dalam edaran Diknas-Dikiti dapat dibuat strukturnya menjadi tiga bagian, yakni: 1. Bagian muka atau awal, terdiri dari: o Judul o Kata Pengantar/Prakata: Memuat tujuan/alasan penulisnan buku, keunikan buku dibandingkan buku yang telah ada, kelompok sasaran, struktur/isi buku dan ucapan terima kasih. o Daftar Isi o Daftar Tabel/Gambar 2. Isi atau batang tubuh buku, yang didalamnya memuat uraian secara sistematis yang dimasukkan dalam Bab per Bab yang menyangkup tujuan, standar kompetensi, rangkuman, dan latihan. Diakhiri dengan Daftar Pustaka yang ditulis dengan kaedah tertentu, dan apabila diperlukan dapat dibuat pula jawaban latihan atau pendalaman. 3. Bagian akhir, disini terdiri atas: o Glosarium o Lampiran o Indeks o Biodata o Sinopsis
Mengingat buku ajar ini adalah merupakan alat komunikasi ilmiah antara pendidik (dosen) dan anak didik (mahasiswa), maka perlu diperhatian alur “cerita” dari bahan yang disampaikan dengan tata bahasa yang jelas dan tepat (tidak bertele-tele). Hal lain yang perlu mendapatkan perhatian adalah kualitas cetak dan penyajian gambar, serta hindari salah ketik. Perlu dikemukakan disini bahwa Bahan ajar memiliki fungsi strategis bagi proses belajar mengajar, karena dapat membantu dosen dan mahasiswa dalam kegiatan pembelajaran, sehingga dosen tidak terlalu banyak menyajikan materi dengan demikian bahan ajar dapat menggantikan sebagian peran 9
dosen agar supaya mahasiswa mampu belajar secara mandiri. Untuk Perguruan Tinggi hal tersebut akan sangat membantu dosen untuk melaksanakan tugas Tri Darma lainnya berupa penelitian dan pengabdian pada masyarakat, serta tugas-tugas keilmuan lainnya seperti seminar, kongres profesi ilmiah, dsb. Sebaliknya untuk mahasiswa akan membantu dalam menumbuhkan sikap mental untuk mandiri karena berkurangnya ketergantungan pada orang lain, itulah pada hakekatnya tujuan pendidikan yakni belajar sepanjang hidup (life long education). Untuk dapatnya menulis buku ajar (lihat pada gambar di bawah) yang tepat sasaran maka perlu diperhatikan hal sebagai berikut: A. Telaah kurikulum, B. Penyusunan silabus, C. Pengorganisasian buku, D. Pemilihan materi, E. Penyajian materi, dan F. Penggunaan bahasa dan keterbacaan G. Studi kepustakaan
Teksbook. Mengenai kretarium teksbook dapat dilihat pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Buku Teks 10
Pelajaran Pasal 1. Buku teks pelajaran adalah buku acuan wajib untuk digunakan di sekolah yang memuat materi pembelajaran dalam rangka peningkatan keimanan dan ketakwaan, budi pekerti dan kepribadian, kemampuan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, kepekaan dan kemampuan estetis, potensi fisik dan kesehatan yang disusun berdasarkan standar nasional pendidikan. Secara operasional maka teksbook (buku teks) adalah buku pelajaran dalam bidang studi tertentu yang merupakan buku standar disusun olehpara ahli/pakar dalam bidang tersebut untuk maksud dan tujuan instruksional yang diperlengkapi dengan sarana-sarana pengajaran yang serasi dan mudah dipahami para pemakainya di sekolah-sekolah/ perguruan tinggi sehingga dapat menunjang sesuatu program pengajaran. Dibandingkan dengan buku ajar maka teksbook bersifat pasif atau one-way communication, yakni dari penulis ke pembaca tanpa adanya diskusi dan diperuntukan kepada umum yang berminat untuk mendalami bidang tertentu. Dalam penulisannya mengikuti kaedah keilmuan seperti halnya buku ajar dan biasanya dengan penampilan yang menarik untuk merangsang minat baca orang seperti sampul yang lux, berwarna, dan sebagainya. Isinya berupa pembahasan yang relatif mendalam terhadap bidang tertentu yang diklasifikasikan dalam bab-per-bab (lihat gambar bawah).
Penutup Suatu karya ilmiah pada prinsipnya dapat dihasilkan oleh siapa saja selama ia dikemukakan dengan kaedah saintifik dan akan menjadi bahan ilmiah apabila ia dipublikasikan dalam suatu buku ilmiah. Pak Mukibat adalah petani teladan yang 11
menghasilkan ubi kayu berproduksi tinggi per pohonnya dari hasil rekayasa bercocok tanam dengan menyambung ubi beracun (dikenal gendruwo) sebagai batang atasnya dan ubi biasa sebagai batang bawahnya. Sementara Pak Satrawi dengan membuat tiga cabang sambungan ubi biasa sebagai batang bawahnya. Pekerjaan mereka pada dasarnya sudah berada dalam koridor ilmiah, namun tidak dikenal sebagai penelitian ilmiah karena oleh yang bersangkutan tidak dipublikasikan secara saintifik, baru menjadi bahan ilmiah setelah adanya pakar yang menulis dan membahasnya. Sayang memang! Nah apakah para ilmuwan di kampus yang setiap hari bergelut dengan keilmuan akan mengalami nasib seperti Mukibat atau Satrawi? Jawaban ada pada diri ilmuwan itu sendiri, karena hidup ini adalah pilihan!
Bahan Bacaan: Nasoetion, A.H. 1989. Pengantar ke filsafat sains. Lentera Antar Nusa, Jakarta. 225 h. Suriasumantri, J.S. 1985. Ilmu dalam perspektif. PT. Gramedia, Jakarta. 257 h. *) Materi disampaikan dalam Seminar Nasional Penulis Buku, yang diselenggarakan oleh UB. Press dan IKAPI; pada tanggal 4 Desember 2013 di Hotel Santika Malang.
12