BABl
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Pajak merupakan sumber utama yang menjadi andalan bagi penerimaan kas Negara Indonesia, selain penerimaan negara dari sumber yang lain. Negara Indonesia memerlukan dana yang besar untuk membiayai segala kegiatanya, karena itu pajak mempunyai peranan yang besar untuk membiayai pembangunan nasional. Pajak mempunyai potensi yang besar untuk membiayai pengeluaran umum negara, misalnya untuk biaya pendidikan nasional, biaya pembangunan fasilitas umum, dan pengeluaran umum lainya. Peraturan
perpajakan
selalu
mengalami
perubahan
dan
penyempurnaan dalam rangka menyesuaikan dengan perkembangan ekonomi dan sosial masyarakat yang ada pada saat itu. Perubahan dan penyempurnaan peraturan perpajakan tersebut sudah sering dilakukan karena sistem dan peraturan perpajakan yang lama dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan tingkat kehidupan sosial ekonomi masyarakat Indonesia. Sebagai contoh, pada tahun 1984 telah teijadi reformasi perpajakan. Pada reformasi tersebut, menyebabkan teijadinya perubahan yang mendasar dalam sistem perpajakan di Indonesia yang semula menggunakan sistem official assessment berubah menjadi sistem selfassessment.
1
2
Dalam rangka meningkatkan penerimaan pajak, pada tahun 2013 pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak telah mengeluarkan peraturan baru yaitu Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2013 Tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu atau yang lebih sering disebut dengan PP-46-2013. Inti dari Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 ini adalah mewajibkan seluruh Wajib Pajak yang memiliki omset atau peredaran bruto dibawah Rp 4,8 Milyar selama satu tahun Pajak di mulai dari bulan Juli tahun 2013 dan seterusnya di wajibkan untuk membayar Pajak Penghasilan sebesar 1% dari total omset yang diperoleh oleh Wajib Pajak setiap bulan nya Pertimbangan pemerintah atas pengenaan PPh dengan tarif 1% dari peredaran usaha setiap bulan dan bersifat final terhadap UMKM sebagaimana tercantum dalam penjelasan umum PP No. 46 Tahun 2013 adalah kesederhanaan dalam pemungutan pajak, berkurangnya beban administrasi baik bagi Wajib Pajak maupun Direktorat Jenderal Pajak, serta memerhatikan perkembangan ekonomi dan moneter. Antropov, (2013) menyatakan bahwa kesederhanaan yang diberikan dalam PP 46 ini pun menjanjikan banyak perubahan. Lewat model yang lebih sederhana kita bisa menemukan sebuah kekuatan perubahan. Perubahan tersebut dapat memicu kesadaran wajib pajak dalam menghitung dan membayar pajaknya di kemudian hari. Inilah efek perubahan sederhana yang paling diharapkan. Pada sisi ini, memang tampak hal sederhana yang
3
ditawarkan oleh PP 46 terkesan sangat kecil dan tidak berarti, tetapi sadarkah kita bahwa hal sederhana yang kita anggap kecil itu mampu membingkai sebuah permasalahan besar yang terjadi pada wajib pajak. Bayangkan, jika seorang pengusaha harus mengeluarkan biaya lebih untuk mengurusi pajaknya lewat konsultan, jika harus masih merasa dibayang-bayangi ketakutan akan pemeriksaan pajak selama ini sekejap saja mampu melepaskan bebannya hanya dengan pemberlakuan PP 46. Masalah yang semula besar pun bisa disulap menjadi sederhana dengan PP ini. Satu cara, satu tarif dan satu persen dari omzet menjadi kampanye yang paling melekat di balik terbitnya PP 46 ini. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) beranggapan bahwa aturan ini merupakan suatu bentuk insentif.
Pengenaan tarif 1% terhadap omset jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan tarif 25% terhadap laba. Sebenarnya jika diteliti lebih jauh tarif ini memang sedikit lebih kecil daripada tarif Pasal 17 UU PPh sebesar 15 % untuk wajib pajak orang pribadi dengan laba antara Rp 50 juta hingga Rp 250 juta setahun. Namun dalam pelaksanaannya, Peraturan Pemerintah Nomor 46 ini banyak menuai respon dari berbagai pihak terutama para Wajib Pajak. Wajib Pajak banyak yang merasa keberatan dengan di berlakukannya peraturan tersebut karena dirasa sangat memberatkan para Wajib Pajak apabila harus membayar Pajak sebesar 1% dari total omset yang di terima oleh Wajib Pajak setiap bulan. Kharisma eta/., (2014) meyatakan bahwa dampak negatif yang dirasa oleh para pelaku UMKM adalah, pemungutan pajak satu persen dari
4
peredaran bruto/omzet terhadap para pelaku usaha mikro kecil menengah (UMKM) dianggap sebagai kebijakan yang memberatkan pelaku usaha itu. Para pelaku UMKM yang akan terkena Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2013 ini merasa bahwa aturan ini akan menambah beban mereka sebagai pelaku usaha di tengah kondisi perekonomian yang semakin sulit. Penarikan Pajak akan berdampak luas. Sebagai pengusaha mereka akan berhitung pengeluaran tambahan. Akibatnya, harga produk mnjadi kompetitif atau mahal. Bahkan, bisa menurunkan daya saing. Tidak hanya harga saja, kualitas juga akan menurun (Susilo dan Sirajudin, 2013). Setyaningsih, (2014) menyatakan bahwa unsur kesederhanaan barangkali menadi tujuan PP-46 tahun 2013 namun pemungutan pajak harus diusahakan sedemikian rupa agar tidak menggangu kondisi perekonomian, baik kegiatan produksi, perdagangan, maupun jasa. Pemungutan pajak jangan sampai merugikan kepentingan masyarakat dan menghambat lajunya usaha masyarakat pemasok pajak, terutama masyarakat kecil dan menengah. Pengenaan pajak sebesar 1% dari omset tidak sesuai dengan asas keadilan karena perhitungan didasarkan pada omset perusahaan, padahal omset perusahaan tidak mencerminkan pendapatan riil dari sebuah perusahaan (Peptasari, 20 15). Memang ada yang berbeda dari penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 46 ini, yaitu apabila biasanya dasar untuk menentukan Pajak Penghasilan
ditentukan
berdasarkan
Laba Bersih (Undang
Undang
5
Perpajakan No. 36 tahun 2008Pasal 4 (1b)), namun dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46 ini dasar penetuan Pajak Penghasilan nya berdasarkan kepada total pendapatan yang di terima oleh Wajib Pajak setiap bulan, hal ini sesuai dengan isi Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 pasal4 ayat 1 yang menyatakan bahwa Dasar Pengenaan Pajak yang digunakan untuk menghitung Pajak Penghasilan yang bersifat final ini adalah jumlah peredaran bruto setiap bulan. Hal ini berarti bahwa dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46 ini tidak mengakui adanya biaya- biaya yang di keluarkan oleh Wajib Pajak dalam rangka mendapatkan pendapatan tersebut. Dalam terminologi perpajakan, pengenaan PPh dari peredaran bruto dengan tarif tertentu dikenal sebagai salah satu cara penerapan presumption
taxation atau presumptive tax (Thuronyi, 2003). Dalam hal ini pihak otoritas pajak (fiskus) menganggap bahwa Wajib Pajak memperoleh penghasilan netto minimum sejumlah persentase tertentu sehingga diwajibkan membayar pajak. Di satu sisi presumptive tax dipandang memiliki beberapa kelebihan terutama efektifitasnya dalam mengurangi beban administrasi Wajib Pajak dan administrasi perpajakan (fiskus) karena penghitungan pajak sangat sederhana, pemerataan distribusi beban pajak serta dapat mengeliminir penghindaran dan penyelundupan pajak (Thuronyi, 2003). Namun di sisi lain aspek keadilan merupakan kritik utama atas penerapan konsep pemajakan yang bersifat final ini. Oleh karena itu penerapan presumptive tax harus dilakukan oleh pemerintah secara selektif
6
dan hati-hati. Misalnya bagi kelompok UMKM orang pribadi maupun badan usaha yang selama ini telah sanggup menyelenggarakan pembukuan dengan tertib sebaiknya tidak dimasukkan dalam cakupan ketentuan PP No. 46 Tahun 2013. Dengan memasukkan kelompok ini dalam ketentuan PP No. 46 Tahun 2013, dorongan agar Wajib Pajak menyelenggarakan pembukuan sebagai bagian dari sistem self-assessmen tbisa menjadi berkurang, padahal salah satu tugas fiskus adalah pembinaan wajib pajak termasuk dalam hal kepatuhan penyelenggaraan pembukuan. Bagi kelompok ini, system self assessment yang memberi kepercayaan kepada Wajib Pajak untuk memperhitungkan, menyetor dan melaporkan sendiri kewajiban perpajaknya jelas menjadi tidak bermakna. Kebijakan pengenaan PPh Final terhadap UMKM mundur dan tidak selaras dengan tujuan utama dari sistim self- assesment yaitukepatuhan membayar pajak secara sukarela (voluntary compliance). Ditinjau dari aspek keadilan dalam perpajakan (equity principle), pengenaan pada PPh Final tidak sesuai dengan prinsip keadilan karena tidak mencerminkan kemampuan membayar (ability to pay).Pemajakan yang adil adalah bahwa semakin besar penghasilan maka semakin besar pula pajak yang harus dibayar.Ini disebut dengan keadilan vertikal atau vertical equity (Musgrave dan Musgrave, 1976).Penghasilan yang dimaksud disini adalah penghasilan neto, yaitu setelah dikurangi dengan biaya-biaya pengurang penghasilan bruto yang diperkenankan menurut ketentuan perpajakan yang berlaku (Mansury, 1996).Karena dalam PP 46 ini tarif PPh Final dihitung langsung dari peredaran bruto maka pemajakan tersebut tidak sesuai dengan
7
konsep keadilan dalam pemajakan.Hal ini karena, besar kecilnya penghasilan neto seseorang atau badan usaha tidak akan mempengaruhi besarnya pajak yang akan dibayar karena pajak dihitung dengan mengalikan tarif langsung terhadap peredaran bruto. Bahkan di dalam keadaan rugi pun, dengan pengenaan PPh Final seseorang atau badan usaha tetap harus membayar pajak. Banyak kalangan menilai bahwa kebijakan ini kurang menguntungkan bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang cukup bergantung pada sektor informal ditengah kelesuan ekonomi dunia. Banyak pakar yang menyatakan bahwa kebijakan untuk memajaki Wajib Pajak dengan peredaran bruto tertentu tersebut akan berimbas langsung pada penurunan pertumbuhan ekonomi. Beberapa pengusaha bahkan berencana melakukan uji materi atas ketentuan terbaru ini ke mahkamah agung (Diatmika, 2013). Ada beberapa hal yang perlu dikaji terkait PP 46 tahun 2013 ini, terutama aspek ability to pay yang sebenarnya menjadi ruh dari pajak penghasilan.Pada dasarnya Pajak Penghasilan tergolong pajak subjektif, yaitu pajak yang mempertimbangkan keadaan pribadi wajib pajak sebagai faktor utama dalam pengenaan pajak.Keadaan wajib pajak yang tercermin pada kemampuannya membayar pajak ikut dipertimbangkan sebagai dasar utama dalam menentukan berapa besar jumlah pajak yang dibebankan kepadanya. Seharusnya PP 46 tahun 2013 yang ditetapkan menjadi pajak final ini didukung oleh Peraturan Menteri Keuangan untuk mengatur perkecualian yang tidak dapat dijangkau oleh PP 46 ini.Misalnya kerugian yang diderita
8
oleh Wajib Pajak, karena bersifat pajak fmal sehingga biaya usaha tidak dapat menjadi pengurang penghasilan kena pajak padahal biaya usaha lebih besar daripada penghasilan yang didapatkan. Oleh karena itu PP 46 tahun 2013 harus direvisi secara spesifik dikaitkan dengan penghasilan, bukan dengan peredaran bruto dan seharusnya bersifat tidak final supaya ada perlakuan kompensasi kerugian jika UMKM memang dalam kondisi merugi (Setyaningsih, 2014). Kerugian merupakan hal yang lazim dalam dunia usaha sehingga perlu aturan khusus untuk memperlakukan pengusaha UKM yang mengalami kerugian. Bentuk dari aturan khusus ini setidaknya membebaskan dari tarif 1% PP 46 tahun 2013 untuk pengusaha yang mengalami kerugian usaha, dengan syarat mampu membuktikannya. Hal ini akan lebih dekat dengan keadilan dan sesuai dengan asas equity yang disampaikan oleh Adam Smith. Selain itu, PP no 46 tahun 2013 ini memiliki spirit yang kurang tepat terutama dalam hal ''fairness" dimana seharusnya besaran pajak ditentukan secara berjenjang sesuai dengan laba dari wajib pajak yang bersangkutan, karena seperti yang telah diketahui bersama bahwa, setiap jenis bisnis memiliki margin yang jauh berbeda. Sedangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 ini besaran pajak yang terhutang oleh Wajib Pajak di tentukan berdasarkan besaran Omset setiap bulan yang dikalikan dengan tarif 1% dan bersifat final yang artinya pembayaran pajak tersebut tidak dapat menjadi kredit pajak pada akhir tahun, sehingga dalam hal ini tidak terlihat aspek keadilan yang menjadi faktor pertimbangan terbitnya Peraturan
9
Pemerintah ini. Pengenaan PPh yang bersifat final bennakna bahwa setelah pelunasan PPh 1% yang dihitung dari peredaran bruto setiap bulan, kewajiban pajak atas penghasilan tersebut telah dianggap selesai dan final. Salah satu variabel nonekonomi kunci dari perilaku kepatuhan pajak adalah dimensi keadilan pajak. Pembayar pajak cenderung untuk menghindari membayar pajak jika mereka menganggap sistem pajak tidak adil. Hal tersebut menunjukan pentingnya dimensi keadilan pajak sebagai variabel yang mempengaruhi perilaku kepatuhan pembayar pajak (Andarini, 201 0). Penetapan tarif PPh Final juga sebaiknya dilakukan dengan benarbenar mempertimbangkan tingkat keuntungan rata-rata per sektor di UMKM, sehingga tidak menimbulkan perbedaan yang Iebar antara UMKM yang dirugikan dan yang diuntungkan dengan berlakunya PP No. 46 Tahun 2013 Hal inilah yang menyebabkan para Wajib Pajak merasa keberatan dengan diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 46 ini, karena tarif pajak 1% tidak dikenakan berdasarkan laba bersih tetapi berdasarkan omset, karena secara tidak langsung pajak tersebut akan menjadi tambahan biaya bagi para Wajib Pajak, dan Wajib Pajak berharap Pemerintah dapat meninjau kembali Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tersebut. Sehingga diharapkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tersebut dapat lebih diterima oleh masyarakat terutama Wajib Pajak.
10
1.2 Rumusan Masalah Sesuai dengan latar belakang permasalahan di atas maka rumusan masalah yang akan diangkat dalam penelitian ini adalah: Bagaimana respon Wajib Pajak dan Fiskus terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013?
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini untuk mengetahui respon Wajib Pajak dan Fiskus terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013.
1.4 Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian
Im
adalah antara lain dapat
memberikan : 1. Kontribusi Teoritis Dapat memberikan kontribusi bagi perkembangan ilmu pengetahuan, dan diharapkan dapat memberikan masukan terhadap kajian dalam bidang perpajakan. 2. Kontribusi Praktis Dapat memberikan kontribusi praktis bagi para pihak yang melaksanakan kegiatan perpajakan dalam hal ini adalah Pemerintah yang diwakili oleh Direktorat Jenderal Pajak dan Wajib Pajak sebagai pengawas dan pelaksana jalannya kegiatan perpajakan di Indonesia.
11
3. Kontribusi Kebijakan Penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi kepada pemerintah dalam hal penetapan kebijakan melalui sumbangan pemikiran empiris tentang kondisi perpajakan saat ini.