BAB VIII PENERAPAN RADIOKIMIA DI BIDANG KEDOKTERAN NUKLIR DAN PRODUKSI UNSUR BUATAN
1. PENERAPAN RADIOKIMIA DI BIDANG KEDOKTERAN NUKLIR Penggambaran organ, lokalisasi tumor pendeteksian ketidaknormalan dalam diagnosis, penentuan jalur metabolis, dan penggunaan sumber radiasi untuk terapi merupakan tujuan dan kedokteran nuklir. Penggunaan yang luas ini disebabkan adanya teknik perunutan (penandaan) dengan radioisotop di bidang ini, misalnya dalam preparasi radiofarmaka (radiokimia digunakan untuk pemurnian farmaka) untuk diagnosis klinis berbagai ketidaknormalan. Nuklida yang digunakan pada radiofarmaka harus memiliki umur paruh yang cukup pendek dan memiliki energi sinar gamma antara 50 — 500 keV tanpa menyebabkan iradiasi yang berlebihan pada jaringan dan pemancar yang lain (misalnya dari partikel beta berenergi tinggi). Radiofarmaka dipreparasi dengan aktivitas jenis yang tinggi dan dalam volume yang sedikit tetapi fluks fotonnya tinggi untuk pencitraan. Bentuk kimia radionuklida dipilih yang sesuai dengan distribusi fisiologi. Perlu diingat bahwa konstanta peluruhan efektif radiofarmaka dalam tubuh merupakan jumlah konstanta peluruhan fisik radionuklida dan konstanta peluruhan biologis radiofarmaka dalam tubuh. Banyak penelitian menggunakan
99
Tcm dengan umur paruh 6 jam, antara lain untuk mencitra tiroid, kelenjar
ludah, otak, tulang, jantung, ginjal, hati, limpa, dan paru-paru. Nuklida yang digunakan meliputi 67Ga, 111In, 125I, 131I dan 203Tl. Proyeksi dua dimensi distribusi radioisotop dihasilkan dengan kamera sintilasi yang terdiri dari kristal NaI yang tipis (≤ 1 cm) dengan diameter besar (≥ 25 cm) dan tabung pelipat cahaya (photomultiplier) sampai dengan 92 (sening disebut sebagai kamera Anger, sesuai dengan nama penemunya H. O. Anger). Tabung pencahaya (phototube) yang paling dekat dengan interaksi antara sinar gamma dengan kristal akan mengumpulkan sebagian besar cahaya. Foton sintilasi diubah dalam phototube menjadi pulsa tegangan yang sebanding dengan banyaknya cahaya yang terkumpul di tabung. Pola tegangan keluaran pada phototube memberikan informasi sinar gamma yang interaksi dengan kristal pada posisi dua dimensi. Kolimator berlubang tunggal atau multipel diletakkan di depan detektor untuk menyerap radiasi yang menyimpang. Pada bab ini hanya akan dibahas dua penerapan, yaitu pengembangan teknik pendeteksian untuk pengukuran radioisotop in vivo dan penggunaan berbagai teknik penandaan untuk preparasi senyawa bertanda dengan nuklida umur pendek untuk evaluasi proses metabolisme in vivo.
Universitas Gadjah Mada
1
a. Peralatan Pencitraan Positron Tomografi emisi merupakan teknik untuk menggambarkan distribusi radionuklida dalam penampang melintang tubuh. Teknik ini merupakan bentuk autoradiograf kuantitatif yang memiliki kelebihan yaitu dapat digunakan untuk penelitian in vivo. Teknik ini Iebih bermanfaat jika digunakan dengan pemancar positron, karena memanfaatkan sifat unik pembangkitan radiasi anihilasi jika positron diserap dalam materi, yaitu dua foton bertenaga 0,511 MeV dipancarkan dengan sudut 180 ± 0,3°. Sejumlah sistem pendeteksian koinsiden telah digunakan untuk tomografi emisi positron (positron emission tomography atau PET). Pada peralatan ini radiasi anihilasi yang dideteksi dalam koinsiden diasumsikan berasal dan kejadian di suatu tempat sepanjang garis yang menghubungkan dengan pusat detektor, sehingga perlu pengadaaan elektronik yang berbentuk pengkolimasian dan memiliki sensitivitas tinggi karena tidak ada pengkolimasian yang diperlukan untuk mencapai resolusi spasial. Pendeteksian kejadian koinsiden sesungguhnya memerlukan tidak ada foton yang terhambur sebelum dideteksi. Dengan demikian atenuasi radiasi anihilasi yang terdeteksi pada koinsiden hampir tidak tergantung pada posisi sumber positron di dalam jaringan diantara dua detektor. Sebagian besar sistem pencitraan positron meletakkan banyak detektor yang mengelilingi obyek yang dicitra, yang akan memaksimalkan efisiensi pengumpulan radiasi. Setiap detektor dioperasikan dalam koinsiden dengan detektor yang saling berlawanan, untuk menghasilkan banyak garis-garis koinsiden yang melewati obyek, seperti ditunjukkan pada Gambar 8-2. Biasanya detektor digerakkan di sekitar obyek. Hasil pencitraan disusun kembali dengan teknik konvolusi komputer yang menggambarkan secara kuantitatif distribusi ruang (spatial) dan radionuklida dalam dua dimensi dari obyak. Diameter detektor merupakan faktor penting dalam penentuan resolusi ruang, sedangkan faktor yang lainnya yang tidak tergantung pada detektor dan geometri sumber adalah jarak positron yang lewat sebelum musnah (beranihilasi) dengan elektron (kira-kira 1 - 6 mm dalam jaringan). Resolusi ruang pada sistem ini adalah 1 - 2 cm. Peralatan pencitraan positron yang sangat berhasil adalah tomograf transaksial emisi positron (Positron Emission Transaxial Tomograph atau PETT) yang dikembangkan di Universitas Washington. Peralatan ini terdiri dari detektor Nal (TI) heksagonal sebanyak 66 dan menggunakan gerak translasi dan rotasi. Pada banyak kasus diperlukan tomografi dari banyak potongan organ yang diinginkan untuk mendapatkan gambaran tiga dimensi yang sesuai dan obyek. Dengan informasi peralatan potongan tunggal (single-slice) dalam tiga dimensi digabungkan dengan hasil citra berulang dan potongan tunggai pada posisi yang berbeda dan organ berikutnya. Beberapa peralatan telah dibuat untuk mengumpulkan banyak (multi) potongan secara serentak. Peralatan tersebut dapat menghasiikan pencitraan dan 7 potongan obyek secara Universitas Gadjah Mada
2
serentak, yang menggunakan susunan detektor NaI(T1) sebanyak 48 yang dapat bergerak, masing-masing dilengkapi 2 tabung pelipat cahaya. Kemampuan mulit-potongan dicapai dengan membandingkan keluaran cahaya dari dua tabung pelipat cahaya dalam setiap detektor. b. Radiofarmaka Secara garis besar yang dimaksud dengan radiofarmaka adalah semua zat radioaktif yang digunakan dalam bidang medis. Atau jika dijelaskan secara lebih terperinci adalah senyawa radioaktif yang dimasukkan ke tubuh manusia untuk tujuan terapi dan diagnosis. Atau definisi yang lain adalah senyawa radioaktif yang dimasukkan ke tubuh manusia baik secara oral (melalui mulut dapat berupa kapsul atau larutan) maupun secara parental (melalui injeksi pada umumnya karena waktu paruh radioaktifnya pendek), tidak berada dalam wadah tertutup, sehingga akan mengalami perubahan metabolisme tubuh. Dari definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa radiofarmaka digunakan dalam praktek medis untuk: 1) mengevaluasi fuingsi suatu organ atau jaringan 2) pencitraan
(imaging)
organ
untuk
menentukan
strukturnya,
ukurannya,
bentuknya, posisinya, dll. 3) perlakuan pada organ yang mengalami hiperfungsi atau pemusnahan tumor (kelainan neopistis). Pada nomor 1) dan 2) bertujuan untuk diagnosis, sedangkan nomor 3) bertujuan untuk terapi. Radioaktif yang digunakan sebagai radiofarmaka ini tergantung pada i) pemilihan jenis radiasinya (peluruhan radioaktif, misal pemancar α, β+, β- tangkapan e-, y (termasuk transisi isomeris, konversi internal dan produksi pasangan). ii) Energi radiasinya, untuk keperluan pencitraan (diagnosis) pada umumnya digunakan zat radioaktif yang memancarkan radiasi gamma dengan energi harus lebih besar dari 50 keV, supaya dapat menembus jaringan, tetapi kurang dari 550 keV untuk menjamin adanya kolimasi yang efisien dan pendeteksian dari foton yang bersangkutan. Untuk terapi, radioaktif ini harus dapat menyerahkan dosis yang tinggi pada bagian-bagian yang sakit (mengalami kelainan). Beberapa radioaktif yang digunakan untuk terapi antara lain 1-131, P-32, Sm-153, Re-186, Y-90, Sr-89 (semuanya pemancar beta). iii) Persen kelimpahan dari masing-masing transisi inti. iv) Waktu paruh fisisnya, radioaktif yang waktu paruhnya panjang, meskipun waktu paruh bioiogisnya pendek, tidak digunakan, karena akan menyebabkan iradiasi yang tidak perlu pada organ-organ yang dikenainya. Radioaktif yang berumur paruh pendek dapat digunakan. Untuk tujuan pendeteksian eksternal (luar tubuh) dapat ditingkatkan dengan Universitas Gadjah Mada
3
menambah dosis yang diinjeksikan tanpa menimbulkan beban radiasi yang berarti. Untuk penggunaan radioaktif berumur paruh pendek harus diperhatikan tentang persiapan (preparasi) radiofarmakanya. Langkah-langkah yang harus ditempuh pada pembuatan atau penyiapan (preparasi) radiofarmaka meliputi 1) Langkah pertama adalah produksi radioaktif atau radionuklida yang murni dan bebas pengemban. Pembuatan radionuklida ini dapat dilakukan pada 23
i) reaktor nuklir, misalnya
Na (n,γ)
24
Na,
50
Cr (n,γ)
51
Cr, dan lain-lain. Reaksi-reaksi
ini dipengaruhi oleh kelimpahan isotop di alam dalam material target, tampang lintang netron, fluks netron, lama iradiasi, dan lain-lain. ii) Akselerator (pemercepat), transformasi inti dalam akselerator terjadi dengan adanya partikel bermuatan (proton, deuteron, alpha, dan lain-lain.). misalnya
203
Tl (p,3n)
201
Pb →201Tl (t1/2: 9,4 jam, EC),
127
I(p,5n)123Xe →123I (t1/2: 2,1
jam, β+, EC), dll. iii) Generator radionuklida, sistem ini terdiri dari radionuklida induk dan anak yang berada dalam kesetimbangan. Misal : sistem generator radionuklida
99
Mo -
99m
TC merupakan system yang paling
banyak digunakan dalam diagnosis.
i. Reaksi pertukaran, radionuklida ditukarkan dengan isotop stabil dan unsur yang sama. R-I + NaI* → Nal + R-I* Misalnya : *I-orto iodohipurat (untuk mengetahui masukan dan ekskresi dalam ginjal), *I-isopropil iodoamfetamin (untuk mengetahui suplai/perfusi dalam otak). ii. Reaksi sintesis, reaksi ini didasarkan pada reaksi anorganik dan organik yang berurutan. Misalnya:
Ligan yang digunakan DTPA, MDP, HIDA, dll.
Universitas Gadjah Mada
4
4) Langkah terakhir adalah quality assurance dan quality control, meliputi QA fisis, QA kimia, dan QA biologis. i) QA & QC fisis, meliputi -
Uji radioaktivitas dan konsentrasinya
-
Evaluasi keadaan fisik meliputi kemurniannya (jika dalam larutan), penentuan ukuran partikel koloid atau agregat, keadaan dispersi atau penyebarannya (jika dalam suspensi atau emulsi), dll.
-
Aktivitas jenisnya
-
Penentuan kemurman radionuklidanya meliputi identifikasi radionuklida, mengetahui banyaknya pengotor/impuritas.
Alat yang digunakan untuk uji mi antara lain adaiah detektor Ge(Li) atau HPGe dan MCA. ii) QA & QC kimia Berhubungan dengan identitas kimia dan integritas dan spesies (jenis) kimia, meliputi -
penentuan pH
-
jenis dan sifat dasar dan spesies kimia
-
kekuatan atau konsentrasi dalam lamtan
Alat yang digunakan untuk QA kimia antara lain kromatografi (TLC, HPLC, dan lain-lain). iii) QC dan fungsi biologisnya. Kontrol biologis dilakukan terutama pada penentuan: a) Spesifisitas (kekhususan) biologis, hal ini dapat diketahui berdasarkan perbandingan antara radiofarmasi dalam organ target dan organ nontarget setelah sediaan tersebut diinjeksikan. Selain itu dapat diketahui dan laju metabolisme dan pola kinetikanya. Hal ini dapat diteliti dengan cara menginjeksikan pada binatang (tikus, kelinci, anjing, kera, dll.). b) Keamanan (safety) biologis, logam tertentu seperti In, Tl, dll dan iogam berat bersifat toksik, oleh karena itu harus berada dalam jumlah kelumit (trace) dan lebih baik bebas pengemban. Pu-239 dan Sr-90 dapat masuk ke dalam jaringan tertentu bahkan pada tingkat yang sangat rendah (jumiah sedikit) dan keberadaannya daiam tubuh harus dihindari. Sekarang ini keberadaan spesies kimia tertentu dapat menyebabkan cytotoxic yang akut atau kronis (jika digunakan berulangkali) termasuk bahaya
immunogenic,
mutagen
teragenic,
karsinogen.
Sebaiknya
penggunaan spesies ini dihindari.
Universitas Gadjah Mada
5
c) Kontrol
sterilitas
mengesampingkan menyuntikkan
dan
apirogenisitas,
adanya
radiofarmasi
pemeriksaan
mikroorganisme ke
dalam
media
sterilitas
dilakukan kultur
untuk dengan
yang
dapat
menyebabkan tumbuh (misalnya larutan tioglikolat) dan mengamati kemungkinan pertumbuhannya selama dua minggu. Uji untuk pirogen dilakukan dengan memberikan suatu zat pada kelinci dan mengamati kenaikan suhu tubuhnya. Saat mi kedua metode tersebut telah digantikan dengan prosedur pengujian yang lebih cepat.
Telah disebutkan tadi bahwa radiofarmaka itu digunakan untuk diagnosis dan terapi. Sifat dari pancaran inti dimanfaatkan untuk mengionisasi dan memusnahkan jaringanjaringan yang dekat dengan sumber radioaktif untuk tujuan mengobati pasien (terapi). Sedangkan teknik diagnosis didasarkan pada pendeteksian banyaknya bahan radioaktif yang didistribusikan dalam organ pasien atau yang berada dalam darah atau ekskresinya. Bahan kimia, yang telah diketahui akan menuju ke bagian tertentu dan tubuh manusia atau yang akan menyebabkan terjadinya suatu proses pada organ tertentu, dipersiapkan (dipreparasi) dengan radioisotop yang sesuai (cocok) dan ini dikenal sebagai perunut (tracer). Perunut ini akan membantu pada penentuan banyaknya bahan kimia atau laju bahan kimia yang bersangkutan, yang diambil oleh organ khusus, atau seberapa cepat bahan tersebut dilarutkan dalam sistem tubuh manusia. Pengukuran dengan perunut radioisotop ini pada umumnya lebih sederhana daripada analisis kimia dan seringkali dilakukan dengan cara jn vivo, yaitu zat radioaktif dimasukkan ke dalam tubuh manusia. Beberapa hal yang harus diperhatikan pada teknik in vivo ini adalah bahwa i) Bahan radioaktif dapat diberikan secara oral atau melalui injeksi. ii) Radioisotop dipilih berdasarkan sifat kimia dan sifat radiasinya. iii) Waktu paruh fisis dan waktu pamh biologis hams pendek, hal ini untuk meminimalkan kemungkinan adanya bahaya radiasi pada pasien. iv) Banyaknya radioaktif harus kecil untuk meyakinkan bahwa radiasinya tidak akan mempengamhi proses biologi yang akan diteliti. v) Radiasi gamma yang dipancarkan oleh radioisotop dideteksi secara eksternal (di luar tubuh) atau dengan mengambil sampel darah, jaringan, urin, udara yang dikeluarkan dan menganalisis keradioaktivitasannya. vi) Dengan mengukur jarak distribusi dan perunut radioaktif pada berbagai waktu, maka proses fisiologi atau biokimia dalam tubuh dapat diteliti. Karena prosedur ini vivo sebagian besar didasarkan pada kinetika bahan perunut, maka dapat dikelompokkan untuk tujuan,
Universitas Gadjah Mada
6
1) Pengukuran kelarutan dalam fluida tubuh atau untuk mengestimasi volume darah, volume plasma, dan lain-lain. 2) Pengukuran fungsi metabolisme yang meliputi uji fungsi tiroid dengan menggunakan
radioiodin,
pergantian
protein
plasma,
kinetika
kalsium,
mempelajari kelangsungan hidup sel darah merah, kinetika zat besi, dan lainlain. 3) Uji flingsi dinamis untuk pengukuran output jantung, mempelajari fungsi ginjal (dengan renogram). 4) Pencitraan organ dengan teknik sintigrafi untuk memberikan informasi tentang posisi, ukuran, batas organ yang diteliti, dengan cara mengukur distribusi radioisotop. -
pencitraan statis, digutiakan untuk nendeteksi adanya kelainan atau tumor pada liver, limpa, tiroid, ginjal dan otak. Pencitraan statis ini prosesnya lambat, pengukurannya dibuat dalam beberapa hari, dan selama pengukuran sistemnya statis
-
pencitraan dinamis dilakukan den gan menggunakan serangkaian pencitraan secara cepat, sistemnya hams berjalan secara kontinyu dalam waktu yang singkat, misalnya untuk meneliti output jantung dan renogram ginjal.
Pada teknik in vivo, penyakit dan malfungsi organ tidak menunjukkan pemasukan radioisotop, sehingga terlihat sebagai daerah cold, kecuali untuk kelainan otak, tulang, infcircution myocadia, tumor pacla kelenjar tiroid dan adrenal terlihat sebagai daerah hot atau daerah terjadinya kenaikan akumulasi perunut. Teknik in vitro digunakan untuk mengestimasi senyawa yang berbeda-beda dalam cairan (fluida) tubuh, misalnya konsentrasi suatu senyawa yang terdapat dalam darah, serum, urin dan fluida aspirasi lainnya. Disamping itu digunakan juga untuk pengukuran protein, hormon, enzim, steroid, asam dan garam dalam empedu yang bertujuan untuk mendiagnosis penyakit. Adapun perbedaan yang mendasar antara teknik in vivo dengan in vitro adalah bahwa pada teknik in vivo zat radioaktif dimasukkan ke dalam tubuh dan ikut metabolisme tubuh. Sedangkan pada teknik in vitro, masukkan dalam tubuh, tetapi fluida yang akan diteliti diambil dan tubuh terlebih dahulu dan dianalisis di luar tubuh. Pengukuran in vitro dan suatu substan dalam fluida biologis itu terdiri dari dua tahap, yaitu tahap reaksi dan tahap deteksi. Tahap reaksi dapat dilakukan secara fisis, kimia, biologis atau imunologi. Untuk teknik konvensional, pada tahap reaksi dilakukan dengan menggunakan suatu penanda yang berupa pewarna (dye), kemudian dilakukan pengukuran kerapatan optisnya. Teknik ini distandarisasi dengan menerapkan konsentrasi bahan yang telah diketahui ke sampel dan menetapkan hubungan antara hasil eksperimen (kerapatan optis) dengan pengukuran yang sesungguhnya (konsentrasi). Teknik konvensional ini memiliki kekurangan Universitas Gadjah Mada
7
jika dibandingkan dengan teknik in vitro, yaitu pada sensitifitasnya, spesifisitasnya, dan ketepatan pengukuran. Karakteristik utama dan suatu pengujian adalah: 1) Sensitifitas (kepekaan), didefinisikan sebagai batas deteksi minimal dan suatu pengujian. 2) Spesifisitas (kekhususan), didefinisikan sebagai derajat atau tingkat dimana suatu pengujian itu merespon substan (yang diuji), bukan pada rancangan pengujian (bukan terletak pada suatu pengujian itu dirancang). 3) Presisi (ketepatan) disebut juga sebagai reproducibility (kemampuan reproduksi), didefinisikan sebagai ukuran perbedaan pengamatan antara penentuan yang dilakukan berulang-ulang pada sampel yang sama. Penerapan klinis PET telah dimungkinkan dengan pengembangan teknik untuk sintesis radiofarmaka secara cepat, yang cocok untuk penelitian in vivo, menggunakan sikiotron dan akselerator linier. Pemancar positron berumur pendek, seperti 13
N(t1/2=10,0 menit),
11
C(t1/2=20,4 menit), dan
15
O(t1/2=122 s),
18
F(t1/2=10 menit) memiliki sifat-sifat kimia dan
fisika yang cocok (sesuai) untuk mendapatkan informasi biokimia dan fisiolagi in vivo jika digunakan dengan PET. Beberapa contoh senyawa yang telah ditandai dengan nuklidanuklida tersebut akan diberikan di bawah ini. i) Oksigen- 15 Reaksi 14N(d, n)15O biasanya digunakan untuk memproduksi 15O dan untuk menandai radiofarmaka. Sebagai contoh adalah karboksi-hemoglobin dipreparasi dari
15
OO yang
dihasilkan dengan mengiradiasi N2 ditambah oksigen dalam jumlah kelumit (0,01%). Oksigen bertanda diubah menjadi C1500 dengan melewatkannya dalam karbon aktif bersuhu 400°C dan kemudian mencampurkan (melarutkan) gas tersebut dalam sampel darah pasien. Air yang ditandai 15O dapat diperoleh melalui pertukaran dengan asam karbonat yang dihasilkan dengan cara melarutkan C15OO dalam air.
ii) Nitrogen- 13 Reaksi yang efisien untuk menghasilkan adalah
12
C(d,n) dan
13
N yang digunakan dalam radiofarmaka
16
O(p,α). N2 bertanda dihasilkan dengan mengiradiasi CO2 yang
mengandung sekelumit N2. Gas diubah menjadi larutan dengan melewatkan gas tersebut di atas tembaga oksida untuk mengubah sekelumit CO menjadi CO2 yang diikuti dengan penyerapan CO2 dalam soda kapur dan diperangkap dengan pelamtan berturut dan dalam garam.Amonia yang ditandai dengan
13
NN
13
N secara luas telah digunakan dalam
penelitian klinis secara Iangsung dan sebagai prekursor dalam sintesis enzim dan rantai asam amino. Salah satu prosedur untuk menghasilkan
13
NH3 meliputi penembakan dengan Universitas Gadjah Mada
8
deuteron pada aliran metana yang dilkuti deng.an penangkapan aktivitas dalam asam dan distilasi 13NH3. iii) Karbon- 11 Karbon dioksida yang ditandai dengan
11
C biasanya digunakan untuk banyak 11
prosedur sintesis dalam memproduksi senyawa bertanda. Senyawa
CO2 dihasilkan dengan
banyak metode, yang meliputi penembakan borat oksida dengan deuteron [ 10B(d, n)11C] dalam sistem aliran helium dan penembakan campuran N2/O2 dengan proton [14N(p, α)11C]. Diantara senyawa yang telah digunakan dalam penelitian klinis adalah karboksi-hemoglobin, glukosa, asam palmitat dan asam amino, yang ditandai dengan dihasilkan secara biosintetik dengan melewatkan
11
C. Senyawa
11
C-glukosa
11
CO2 di atas daun bit Swiss yang disinari
yang sebelumnya dibuat kekurangan cahaya. Setelah ekstraksi aktivitas
11
C dengan etil
alkohol dan hidrolisis sukrosa dengan asam klorida, campuran dinetralisir dan dipekatkan dengan penguapan.Campuran tersebut diinjeksikan ke dalam kolom penukar kation dan dielusi dengan larutan Ca(OH)2. Senyawa Ca(OH)2 dipindahkan dan larutan dengan resin penukar ion, dan larutan sisa dipekatkan, dibuffer menjadi pH yang sesuai dengan fisiologi tubuh dan disaring. Keseluruhan proses memerlukan waktu kira-kira 75 menit c. Radioimmunoassay (RIA) Teknik radioimmunoassay didasarkan pada ikatan kimia antara ligan dengan antibodi tertentu. Prosedur in vitro tergantung pada kemampuan antigen bertanda (AG*) dalam berkompetIsi dengan antigen tidak bertanda (AG) untuk mengikat antibodi (AB). AG dan AG* akan terbagi menjadi bagian yang terikat (bound: B) dan bagian yang bebas (free: F). Fraksi terikat dan fraksi bebas dan antigen bertanda dapat dipisahkan dengan prosedur standar (misalnya dengan adsorpsi menggunakan dextran coated charcoal, presipitasi kompleks antibodi dengan polietilen glikol (PEG) atau dengan amomum sulfat dan pemisahan dengan pasangan antibodi menjadi fase padatan). Karena AG* adalah radioaktif, maka bagian terikat dan bebas dan AG* dapat dicacah dengan detektor dan perbandingan antara bagian terikat dengan jumlahan bagian terikat dan bagian bebas (B*/(B*+F*)), serta perbandingan antara bagian terikat dengan bagian bebas (B*/F*) dari AG* dapat ditentukan. Hubungan antara (BI(B+F)) dan (B/F) dan AG dapat ditentukan dan hubungan antara (B*/(B*+F*)) dan AG* (B/(B+F)) dan AG dan (B*IF*) dan AG* = (B/F) dan AG. Dengan demikian kurva standar antara (B/(B+F)) dan (B/F) vs konsentrasi AG dapat dibuat. Dengan kurva i, maka konsentrasi AG dan sampel yang belum diketahui dapat ditentukan dengan mendapatkan (BI(B+F)) dan sampel. Radioimmunoassay telah banyak digunakan dalam bidang medis. Sebagai contoh, radioimmunoassay dan hormon yang diekskresikan tiroid atau tri-iodotironin (T3) dan tiroxin Universitas Gadjah Mada
9
(T4) telah digunakan untuk penaksiran status tiroid. RIA digunakan juga untuk menentukan tingkat berbagai hormon lainnya seperti stimulasi folikel, hormon pertumbuhan, insulin, hormon paratiroid, estrogen, androgen, dan vitamin-vitamin. Metode ini digunakan juga untuk mendiagnosis penyakit infeksi seperti malaria, TBC, dan penyakit parasit seperti filaria, chagas, dan lain-lain.
Ketepatan hasil RIA tergantung pada kualitas pengukuran sampel dan ketepatan pencacahan radioaktif. Error keseluruhan dinyatakan dengan : T2 = E2 + C2 T : error total E : error eksperimen C : error pencacahan Error eksperimen disebabkan karena pertama error pada prosedur persiapan sampel yang meliputi pemipetan, pencampuran, pemisahan fraksi terikat dan fraksi bebas yang tidak sempurna. Sebab kedua adalah faktor lainnya yang meliputi perbedaan kualitas reagent yang dipakai dan satu batch ke batch yang lain, perbedaan perlakuan seperti suhu, kondisi sentrifuge, efisiensi pencacahan, dan lain-lain. Error pencacahan merupakan hasil sifat random dan peluruhan radioaktif. Semua sistem pencacahan untuk pengukuran radiasi gamma pada in vitro menunjukkan ketergantungan pada geometri pencacahan seperti volume sampel, ukuran dan jenis vial yang dipakai, dan lain-lain. Pada teknik RIA sangat penting untuk menjaga (mempertahankan) kondisi seragam supaya dicapai hasil yang reproducibility dalam jangka waktu hari sampai dengan minggu. Dengan demikian peralatan harus diperiksa dan dikalibrasi secara teratur. Tes quality control yang teratur sebaiknya meliputi kalibrasi energi, resolusi energi, sensitifitas, linieritas dan respon energi, presisi pencacahan dan respon laju cacah.
Universitas Gadjah Mada
10
d. Generator untuk nuklida umur pendek Penggunaan nuklida umur pendek seperti yang telah disebutkan sebelumnya memerlukan siklotron yang segera dapat digunakan, sintesis radiofarmaka yang cepat, dan proses metabolisme yang singkat untuk diteliti. Sejumlah sistem induk-anak dapat digunakan sebagai generator radionuklida umur pendek yang dapat dilanjutkan untuk aplikasi radiofarmaka pemancar positron di dalam laboratoriurium tanpa memerlukan siklotron ada di dekatnya. Contoh dari generator tersebut adalah sistem
68
Ge/68Ga. Germanium-68 (t1/2 =288
hari) meluruh dengan proses tangkapan elektron menjadi 68Ga (t112=68 menit), yang meluruh dengan memancarkan positron sebanyak 88% menjadi
68
Zn yang stabil. Generator
terdiri dari kolom alumina sebagai absorben dan asam etilen diamina tetra asetat (EDTA) sebagai pengelusi. Hasil kompleks
68
Ga-EDTA digunakan bahan scanning otak, atau
didekomposisi sebelum dipreparasi menjadi radiofarmaka yang lain. Generator yang paling banyak digunakan adalah
99
Mo/99TCm. Sistem generator lainnya yang digunakan di
kedokteran nuklir adalah 82Rb/82Sr, 62Zn/62Cu, 122Xe/122I, 81Rb/81Krm.
2. UNSUR-UNSUR YANG DIPRODUKSI SECARA BUATAN Lebih dan 95 tahun yang lalu metode kimia konvensional telah mencapai batas dalam pencarian untuk unsur-unsur yang baru dan yang hilang, penemuan sejak waktu itu tergantung pada pengenalan metode fisika. Melalui penelitian spektrum optik, unsur-unsur rubidium, cesium, galium, indium, dan helium telah diketemukan. Bukti pertama untuk hafnium dan renium berasal dan spektrum sinar X. Penelitian awal radioelemen alam dinyatakan dengan keberadaan (seringkali dalam jumlah yang sangat sedikit) polonium (84), radon (86), radium (88), aktinium (89), protaktinium (91), fransium (87). Melalui penelitian reaksi nuklir dan menginduksi radioaktif secara buatan, maka telah diidentifikasikan teknisium (43), prometium (61), astatin (85), dan unsur bernomor atom 93 sampai dengan 106 telah ditambahkan dalam tabel periodik. Berikut ini akan diberikan beberapa contoh unsur yang diproduksi secara buatan. 1)
Teknesium Teknesium (Z = 43) ditemukan pada tahun 1937 dalam pelat deflektor molibdenum tua dari siklotron. Uji kimia menunjukkan bahwa setelah 60 hari radioaktif dalam bahan ini berbeda dengan unsur yang telah diketahui. Unsur tersebut tidak mengikuti pengemban zirkonium (40), niobium (41) atau molibdenum (42) dan meskipun cenderung untuk mengikuti unsur-unsur golongan VIIA, mangan dan renium, tetapi berbeda dengan keduanya. Kemudian disimpulkan bahwa unsur tersebut merupakan isotop dan unsur golongan VIIA yang hilang dengan nomor atom 43. Bukti yang lain adalah melalui penelitian radiasi dan isotop yang lain, anak dan
99
Mo yang berumur
Universitas Gadjah Mada
11
paruh 67 jam; peluruhannya adalah transisi isomeris (t1/2= 6 jam) dan diantara radiasi tersebut adalah pancaran sinar XK
yang berhubungan dengan Z=43.
Teknesium tidak memiliki nama sampai tahun 1947. Nama tersebut berasal dari bahasa Yunani yang artinya buatan. Penelitian awal dari kimia teknesium antara lain adalah kelakuan unsur tersebut dalam larutan encer, meliputi reaksi oksidasi dan reduksinya, kopresipitasinya dengan unsur lain, dan ekstraksi pelarut; metode pemisahan dari unsur-unsur lainnya; volatilitas pada berbagai keadaan yang berbeda. Tetapi penelitian yang tidak dapat dicapai adalah penentuan warna, bentuk kristal dan senyawa padatannya. Saat ini teknesium tersedia dalam jumlah berorde kilogram, isotop yang dimaksud adalah
99
Tc berumur paruh 2,12 x 105 tahun. Pertama kali dipreparasi dengan 98
mengiradiasi 5,7 kg serbuk molibdenum dalam reaktor nuklir, terjadi reaksi (n, γ ) Mo, diikuti pancaran radiasi beta dan 99
Mo
99
Mo. Teknesium dipisahkan berdasarkan
volatilitasnya dalam bentuk hepta oksida. Jumlah yang banyak dapat diperoleh dengan mengiradiasi uranium, yang terjadi dari reaksi fissi. 2)
Prometium Prometium dapat dihasilkan dari sejumlah reaksi nuklir. Unsur ini dikenal pada akhir perang dunia kedua, karena sulit membedakan unsur tanah jarang satu dengan yang lain. Tetapi pada saat radioaktif berumur paruh beberapa tahun yang ada diantara produk fisi tanah jarang ditunjukkan mulai tumbuh dari neodium pemancar beta berumur paruh 11 hari, maka diketahui bahwa unsur tersebut adalah isotop prometium. Pada akhirnya lebih dipastikan dengan spektrometri massa dan spektrum sinar-X dan diketahui bahwa radioaktif tersebut adalah 147Pm berumur paruh 2,62 tahun. Prometium-147 termasük unsur dalam limbah hasil fisi dari reaktor yang dapat diambil kembali dalam jumlah gram. Proses yang paling banyak dilakukan saat ini 147
adalah ekstraksi pelarut dan hasilnya fraksi tanah jarang bervalensi tiga yang
Pm
merupakan radioaktif yang penting. 3)
Astatin Astatin (z =85) pertama kali dihasilkan pada tahun 1940 dengan reaksi 2n)
Bi( ,
209
211
At. Telah ditunjukkan bahwa produk berumur 7,23 jam tidak seisotop dengan
unsur bernomor atom 80, 81, 82, 83, atau 84, dan telah diidentifikasi sebagai isotop astatin, yang artinya tidak stabil. Astatin (210At) yang berumur paruh paling panjang hanya memiliki umur paruh lebih panjang dan 8,3 jam. Sifat kimia yang diketahui dan unsur ini adalah berkarakter lebih
Universitas Gadjah Mada
12
logam (metal) dan pada iodin, dan mirip dengan halogen unsur ini dapat berbentuk astatida dan astatat. 4)
Francium Isotop fransium (Z =87) yang berumur paling panjang adalah berumur paruh 22 menit, yang terbentuk dari 1,2% peluruhan
223
Fr pemancar beta
227
Ac. Unsur ini ditemukan
pada tahun 1939 dan dinamai untuk menghormati negara perancis (France). Penelitian untuk mengetahui sifat-sifat kimia dibatasi pada jumlahnya yang sangat sedikit (orde kelumit) dan umur paruhnya yang pendek. Sifat kimia fransium yang tidak umum adalah unsur tersebut bersifat seperti logam alkali berat.
5)
Polonium dan Aktinium Meskipun polonium (Z = 84) dan aktinium (Z = 89) telah diketahui sejak akhir (pergantian) abad, tetapi masih dirasa sebagai unsur baru. Sebelum perkembangan reaktor nuklir, kuantitas terbesar adalah 0,1 mgram polonium, dan pada banyak kasus penggunaannya dalam jumlah submikrogram. Saat ini kuantitas miligram biasa dipreparasi dengan reaksi
Bi(n, )210Bi dan
209
226
Ra(n,’ )227Ra, yang diikut; dengan
peluruhan beta, yang menghasilkan berturut-turut
210
Po dan
227
Ac. Jumlah ini masih
tergolong sedikit. Polonium termasuk unsur golongan VIB, yang mirip dengan selenium dan telurium, tetapi sebagian besar bervalensi II dan IV, umumnya bersifat logam (metal). Aktinium termasuk unsur golongan IIIA yang bervalensi III seperti ytrium dan lantanum. Aktinium diberi nama sesuai dengan deret aktinida (Z= 89 — 103), yang unsur ini merupakan anggota pertama dan deret tersebut. Umur paruhnya yang pendek dan aktivitas alpha yang tinggi menyebabkan
210
Po
termasuk berbahaya bagi kesehatan. Senyawa kristalinnya tidak tahan radiasi dan dapat berubah menjadi amorf. 6)
Protaktinium Protaktinium (Z = 91) dapat dinyatakan sebagai unsur baru, dan ada dalam jumlah berskala gram. Banyak senyawa padat telah dipreparasi. Unsur ini biasanya bervalensi V, jika afinitasnya lebih dekat dengan tantalum dibandingkan dengan deret aktinida. Unsur ini juga berada pada valensi IV yang menunjukkan sifat-sifat aktinida.
7)
Neptunium dan plutonium Dalam beberapa tahun tabel periodik diakhiri pada uranium (Z = 92). Penembakan unsur tersebut dengan neutron lambat (tahun 1934) menghasilkan berbagai produk Universitas Gadjah Mada
13
radioaktif yang pada awalnya diduga sebagai transuranium, tetapi saat ini telah diketahui sebagai hasil fisi. Salah satu radioaktif yang dihasilkan dan reaksi (n, ) adalah 239
U berumur paruh 23,5 menit dan akan meluruh memancarkan menjadi
239
Np
berumur paruh 2,35 hari. Radioaktif anak pemancar alpha dikenal sebagai
239
Pu yang waktu itu sangat lemah
dideteksi, dan radioaktif pertama yang dianggap berasal dari plutonium adalah berumur paruh 87,5 tahun yang dipreparasi di dalam sikiotron dan reaksi
238
Pu
238
U(d,
2n)238Np yang diikuti dengan peluruhan . Kedua unsur tersebut diberi nama sesuai dengan nama planet, seperti juga untuk unsur uranium. kedua unsur mirip dengan uranium, yang memiliki tingkat valensi sama, dan berbeda secara prinsip dalam kesiapan untuk dioksidasi dan direduksi. Disamping itu unsur tersebut memiliki tingkat heptavalen dalam larutan alkali.Unsur tersebut termasuk golongan baru dan unsur-unsur transisi, aktinida, dan tidak dalam golongan VIIA serta VIII. Saat ini neptunium dapat disediakan berjumlah kilogram dalam reaktor berupa
237
Np
yang berumur paruh 2,2 x 106 tahun. Plutonium dapat disediakan berjumlah ton sebagai 239
Pu berumur paruh 2,44 x l04 tahun dan berjumlah gram sebagai
242
Pu berumur paruh
3,8 x 105 tahun, yang kurang bersifat radioaktif dibandingkan dengan 239Pu. 8)
Americium dan curium Unsur-unsur yang lebih tinggi tidak dapat dipreparasi dengan teknik yang ada pada tahun 1940. Americium (Z = 95) dapat diproduksi dalam reaktor dengan reaksi sebagai berikut.
Dan curium (Z= 96) dalam siklotron
Reaksi ini dapat dilakukan pada 1944. Penamaan dipilih analog dengan tanah jarang, americium analog dengan europium (nama benua) dan curium analog dengan gadolinium (nama ilmuwan). Americium tersedia dalam jumlah gram bahkan kilogram sebagai paruh 433 tahun dihasilkan dari peluruhan
241
Am berumur
241
Pu Isotop yang berumur lebih panjang
243
Am yang berumur paruh 7950 tahun tersedia dalam skala kilogram dari reaktor Universitas Gadjah Mada
14
berfluks tinggi. Untuk beberapa waktu curium tersedia dalam jumlah kilogram sebagai 242
Cm berumur paruh 162 hari, yang dihasilkan dengan iradiasi ulang 241Am
Kedua unsur sebagian besar adalah trivalen, tetapi americium memiliki banyak valensi kecuali VII.
Universitas Gadjah Mada
15
DAFTAR PUSTAKA
Cember, H., 1983, Introduction to Health Physics, Second Editin, Pergamon Press Inc., New York.
Debertin, K., Relmer, R. G., 1988, Gamma- and X-Ray Spectrometry with Semiconductor Detectors, Elsevier Science Publisher Company Inc., Amsterdam.
Friedlander, G., et al, 1981, Nuclear and Radiochemistry, Third Edition, John Wiley and Sons Inc, New York.
Malcolme-Lawes, D.J., 1979, Introduction to Radiochemstry, First Edition, The Macmillan Press LTD, London.
Mc Kay, H. A. C., 1971, Principles of Radiochemistry, Butterworth & Co (Publishers) Ltd, London.
Tsoulfanidis, N., 1983, Measurement and Detection of Radiation, Hemisphere Publishing Corporation, New York.
Universitas Gadjah Mada
16