BAB V PENUTUP
Pada bagian V ini, penulis akan memaparkan tentang kesimpulan dan saran. 5. 1. Kesimpulan Dari pemaparan pada bab-bab sebelumnya, penulis menyimpulkan beberapa hal penting yang menjadi pokok atau inti dari tulisan ini, yaitu sebagai berikut : 1) Setiap rangkaian ritual kematian yang dilakukan tidak hanya dibuat orang yang telah meninggal tetapi juga bagi keluarga yang ditinggalkan. Bagi orang yang meninggal, ritual dilakukan agar terjamin keadaannya “di alam baka” dan bisa sampai atau bertemu dan berkumpul dengan arwah nenek moyang. Dari pihak keluarga yang masih hidup tidak dilanda “pengaruh buruk” (baik itu perasaan kehilangan identitas, maupun mendapat gangguan roh si mati) akibat suatu kematian. Sikap memedulikan sangat berpengaruh ketika seseorang mengalami kedukaan katena kematian orang yang dikasihi. Penulis juga melihat ada beberapa fungsi pastoral yang tampak dari berbagai ritual kematian Suku Sabu. Fungsi pastoral tersebut adalah a) Menyembuhkan (Healing), terlihat dalam ritual
Huhu Kebie, dimana ada
lantunan syair yang menunjukan bahwa hidup harus terus berlanjut sehingga tidak usah bersedih terlalu lama. Hal ini karena secara tidak langsung orang yang melantunkan syair itu telah memberikan semacam motivasi untuk terus melanjutkan. Menyembuhkan (Healing), juga terlihat dari keseluruhan proses mati asin (made haro) atau mati tidak wajar. Dalam upacara ini, mereka melakukan ritual “memaniskan” kembali keadaan yang telah rusak agar orang telah meninggal tersebut dapat diterima para leluhur di alam gaib. Hal ini juga
82
dapat memberikan “kesembuhan” secara batin yang terluka akibat kematian anggota keluarga secara tidak wajar serta menormalkan ke keadaan semula. b) Menopang (Sustaining), penulis melihat fungsi ini lewat kedatangan keluarga, kenalan dan handai taulan. c) Mendamaikan (Reconciling), menurut penulis tampak saat hubungan manusia dan sesama serta Tuhannya telah rusak akibat kematian yang tidak wajar sehingga dalam segala bentuk ritual mati asin (made haro) dilakukan proses memaniskan kembali ke keadaan semula sehingga hubungan atau relasinya dapat tejalin lagi. d) Memberdayakan (empowering) nampak dalam keseluruhan ritual kematian yang dilakukan, yaitu bahwa orang yang datang ke rumah duka dan melihat ritual tersebut dilakukan maka mereka menyaksikan sendiri bahwa keluarga yang berduka di bantu oleh kelompoknya untuk bisa bertahan dalam masa berduka dan ada rasa kekeluargaan yang nampak sehingga ketika kedukaan itu terjadi pada mereka, mereka telah mengetahui cara untuk bertahan dikala duka dan bisa memakainya untuk membantu orang lain yang sedang berduka. Dalam tulisan ini, penulis tidak menambahkan fungsi membimbing (Guiding). Hal ini dikarenakan penulis tidak melihat hal ini dalam ritual kematian orang Sabu. Fungsi ini mungkin ada di beberapa kasus-kasus kedukaan tertentu, namun dalam ritual ini penulis tidak menemukan fungsi ini. Oleh karena itu, penulis melihat bahwa kelima fungsi pastoral dalam yang dikemukakan para ahli tidak semuanya ada pada ritual kematian orang Sabu, namun bisa saja ada pada kasus-kasus kedukaan budaya lain atau dalam kasus pribadi atau kelompok yang memiliki masalah sebelum atau setelah terjadi kematian.
83
Dalam pandangan orang Sabu manusia adalah makhluk sosial, dalam artian mencakup hubungan dengan manusia lain, dengan alam, dan kekuatan yang lebih besar diluar dirinya. Oleh karena itu dalam seluruh rangkain ritual kematian suku Sabu, tampak sikap saling tolong-menolong. Salah satu contohnya adalah ketika ada yang meninggal keluaga ataupun kenalan akan membawa hantaran untuk keluarga yang berduka, bisa berupa barang atau hewan. Setelah itu, hantaran yang dierikan kepada keluarga akan dicatat sehingga ketika keluarga tersebut mengalami pesta atau acara lain termasuk kematian maka akan “dibalas” kembali oleh keluarga yang telah di berikan hantaran tersebut. Hal ini dilakukan agar saling mengingat satu sama lain atau biasa disebut sistem balas jasa, sehingga apa yang kita lakukan kepada orang lain, maka hal itu yang akan di terjadi pada kita. 2) Made atau meninggal menurut kepercayaan orang Sabu adalah keadaan dimana seseorang akan kembali kepada sang pencipta (Deo Ama) untuk berkumpul dengan bersama dengan para leluhur. Arwah orang yang meninggal akan berangkat dari pelabuhan Iki Keli, dengan menaiki perahu yang bernama Ama Piga Laga ke Yuli Haha (tanjung Sasar) dekat pulau Sumba. Menurut penulis kematian merupakan sesuatu yang pasti didalam kehidupan, artinya setiap orang pasti akan mengalaminya. Kematian merupakan saat dimana jiwa atau roh keluar dari tubuh. Tubuh memiliki semacam “tanggal kadaluarsa”nya sehingga tubuh akan menjadi tua dan akhirnya mati. Hal ini berbeda dengan jiwa yang bersifat kekal. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pendapat orang tentang arti kematian, yaitu : keluarga dan lingkungan, tradisi, pendidikan, agama atau keyakinan. 3) Pendeta dan majelis di kota Kupang kurang paham tentang arti pendampingan pastoral. Mereka terjebak dalam pemahaman bahwa pendampingan itu sama dengan pemberian nasihat. Hal ini mengakibatkan dalam melakukan pendampingan mereka
84
cenderung memberikan solusi terhadap masalah yang dialami orang yang didampingi. Mereka juga kurang memahami tahap-tahap atau proses yang benar tentang pendampingan pastoral. Hal ini mungkin kurangnya informasi atau pengetahuan yang jelas tentang hal tersebut. Mereka biasanya melakukan pendampingan pastoral hanya pada saat berkunjung untuk berbelasungkawa kepada keluarga yang berduka, lewat ibadah penghiburan, ibadah penguburan, dan ibadah ucapan syukur saja. Padahal belum tentu rasa duka bisa berkurang atau hilang dengan adanya penghiburan secara singkat itu. ibadah penghiburan dan ibadah ucapan syukur tidak dilakukan oleh pendeta, biasanya dilakukan oleh majelis, pelayan magang ataupun vikaris. Hal ini jelas berpengaruh pada masa berduka seseorang. Menurut penulis, pendeta tetaplah merupakan sosok yang di tinggi dalam gereja, sehingga ketika jemaat mengalami masalah, maka orang yang paling ingin ia datang untuk menghiburnya adalah pemimpin agamanya.
5. 2. Saran Berdasarkan hasil penelitian dan analisa pada bab sebelumnya, penulis juga memberikan beberapa saran yaitu sebagai berikut : 1)
Para pejabat gereja harus membenahi cara atau teknik pendampingan pastoral yang baik dan efisien. Kenyataan yang dihadapi selama ini ketika ada orang yang meninggal dunia yang sering sekali dilakukan adalah sebelum pemakaman dilakukan perkunjungan, malam penghiburan, acara pemakaman (badah di rumah duka, Ibadah di tempat pemakaman), dan ibadah syukur. Sayangnya, tahapan-tahapan ini belum sepenuhnya menjawab kedukaan yang dialami oleh orang-orang yang mengalami kehilangan, sehingga pada gilirannya muncul dampak atau reaksi duka di dalam diri orang yang mengalami kedukaan itu. Sebaiknya diadakan pelatihan bagi pendeta
85
dan majelis tentang pendampingan pastoral bagi orang yang sedang mengalami kedukaan serta melakukan persiapan untuk menghadapi kematian agar lebih efektif dan bermanfaat bagi orang yang didampingi. 2)
Adat istiadat tidak perlu dihilangkan, karena itulah ciri khas Indonesia. Cara yang paling tepat adalah merevitalisasi adat istiadat tadi dengan mengisi nuasa baru, seperti menambahkan aspek pendampingan dan nuansa keagamaan. Hal tersebut menurut penulis merupakan cara yang tepat, daripada menghilangkan sama sekali adat istiadatnya.
3)
Penulis juga menyarankan bagi penelitian selanjutnya untuk melihat pandangan pendeta tentang kematian bagi suku Sabu. Hal ini dirasa penting karena dapat dipakai oleh mereka (pendeta) untuk mendampingi orang yang sedang mengalami kedukaan (dalam hal ini orang Sabu) sehingga dapat lebih efisien dan efektif.
86