BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN Ratifikasi Convention to Eliminate All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) dalam bentuk Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
terhadap
Perempuan
adalah
awal
dari
pembangunan
pemberdayaan perempuan di Indonesia, awal mula perjuangan KKG. Belum banyak hasil dari perjalanan CEDAW di Indonesia setelah 31 tahun berlalu. Pemerintah telah mencoba untuk lebih “membumikan” UU Nomor 7 Tahun 1984 tersebut dengan menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional. Inti peraturan perundangan tersebut adalah instruksi untuk mengimplementasikan PUG ke dalam setiap proses dan tahapan pembangunan nasional. Nafas PUG harus ada pada setiap proses dan tahapan pembangunan nasional guna menjamin kesetaraan dan keadilan gender, dengan cara memastikan masyarakat memperoleh akses untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan (kontrol) hingga manfaat pembangunan dapat dinikmati secara adil dan setara. Kenyataannya, integrasi PUG ke dalam kebijakan publik, khususnya dalam bentuk peraturan perundangan, tidak semudah membalik telapak
163
tangan. Fakta ini dapat dilihat pada lingkup yang lebih sempit, yaitu pada bidang pembangunan kualitas SDM, dimana peneliti mengambil sampel pada sektor kesehatan dan pendidikan. Peraturan perundangan yang mendasari implementasi pembangunan bagi kedua sektor tersebut adalah UU Nomor 36 Tahun 2009 (UU Kesehatan) dan UU Nomor 20 Tahun 2003 (UU Sisdiknas). Kemampuan kedua UU tersebut dalam mengakomodasi isu-isu gender terkait kesehatan dan pendidikan serta menjamin terlaksananya Pengarusutamaan Gender (PUG) dapat dilihat dari beberapa kesimpulan berikut : 1. UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan a. Masalah keterbatasan akses pelayanan kesehatan ternyata tidak terbukti di dalam UU Kesehatan. UU Kesehatan bahkan telah membuka akses yang selebar-lebarnya bagi setiap orang untuk mendapatkan setiap upaya kesehatan sesuai dengan kebutuhannya. Bahkan ada instrumen hukum yang cukup kuat dan mengikat untuk menjamin akses pelayanan kesehatan untuk setiap orang. Misalnya melalui ancaman hukuman bagi fasilitas pelayanan kesehatan yang menghalangi atau menolak memberikan pelayanan kesehatan, terutama dalam keadaan gawat darurat. b. Isu faktor agama, budaya, dan lingkungan yang tidak ramah dalam mengakomodasi kebutuhan pelayanan kesehatan perempuan telah coba diatasi oleh UU Kesehatan, melalui kewajiban setiap orang untuk menghormati hak orang lain dalam mengupayakan kesehatan dirinya.
164
Karenanya, seharusnya sudah tidak lagi ada hambatan bagi perempuan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai kebutuhannya. c. Partisipasi masyarakat dalam pembangunan sektor kesehatan juga telah diakui, meskipun masih terasa semu karena tidak dijelaskan secara gamblang. Setidaknya telah ada good will pemerintah untuk mengakui perlunya partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat sendiri merupakan salah satu ciri demokrasi, dimana demokrasi itu sendiri adalah salah satu prinsip Pengarusutamaan Gender. d. Senada dengan keterjaminan partisipasi, keterjaminan kontrol untuk membuat keputusan (decision-making) juga telah dijamin dalam UU Kesehatan. Setiap orang memiliki hak untuk menentukan upaya kesehatan yang sesuai bagi kebutuhannya masing-masing. Bahkan eksistensi masalah kontrol pada kesehatan reproduksi perempuan telah berkurang.
Ada
hak
untuk
menentukan
upaya
kesehatan
reproduksinya, termasuk adanya legalisasi aborsi pada kasus-kasus tertentu seperti gawat darurat medis dan korban perkosaan yang berpotensi menimbulkan trauma. e. Peneliti melihat UU Kesehatan telah beritikad baik untuk melindungi dan menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan setiap upaya pelayanan kesehatan yang terbaik, hanya orang-orang yang memiliki keahlian
dan
kewenangan
yang
diizinkan
memberi
tindakan
pengobatan dan perawatan, serta adanya kewajiban bagi setiap fasilitas
165
pelayanan kesehatan untuk menyediakan sarana dan prasarana sesuai kebutuhan pasien. f. Dari ketujuh isu gender dalam sektor kesehatan, yang termasuk dalam parameter akses, partisipasi, kontrol, dan manfaat, UU Kesehatan memiliki instrumen untuk menjawab semuanya. Hanya partisipasi masyarakat dalam pembangunan dan manajemen kesehatan yang keterjaminannya kurang jelas dalam UU Kesehatan. g. Dari fakta-fakta yang telah peneliti paparkan dalam Bab IV, terlihat bahwa UU Kesehatan telah melibatkan perspektif gender dalam kebijakan-kebijakannya. UU Kesehatan telah cukup peka dalam melihat adanya dampak dari ketidakadilan gender yang terjadi dalam masyarakat. Ada pertimbangan-pertimbangan bahkan perlakuan khusus bagi perempuan (dan kelompok-kelompok rentan yang lain), yang rentan terhadap diskriminasi. Dapat dikatakan bahwa UU Kesehatan termasuk salah satu contoh kebijakan yang cenderung telah responsif gender, karena mempertimbangkan realitas ketidakadilan gender yang dialami dan merugikan kelompok perempuan pada masa lalu, berorientasi untuk memberikan manfaat pada kelompok perempuan, dan secara khusus memberikan dukungan atas program dan kegiatan yang memberikan manfaat bagi perempuan.
166
2. UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional a. UU Sisdiknas memberikan akses dan peluang yang terbuka lebar bagi siapa pun peserta didiknya serta dimana pun ia berada. Ada akses pelayanan-pelayanan khusus yang disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan peserta didik. Tersedia program beasiswa, bahkan pendidikan gratis, untuk menjamin keterjangkauan akses pendidikan bagi seluruh masyarakat. b. UU Sisdiknas menjamin partisipasi masyarakat dalam setiap tahapan pembangunan sektor pendidikan. Namun ternyata ketentuan tersebut tidak mengikat dan tidak jelas. Peneliti menyebutnya “ajakan partisipasi setengah hati”. Akibatnya cukup panjang dan rumit. Perencana pendidikan yang ada kurang memiliki pengetahuan dan wawasan berperspektif gender hingga program-program pembangunan yang ada seringkali menjadi kurang ramah perempuan. c. Salah satu kekurangan lain UU Sisdiknas adalah ketiadaan jaminan masyarakat untuk memperoleh akses informasi pelayanan pendidikan, berbeda dengan UU Kesehatan yang menjamin keterbukaan akses seluruh informasi terkait dengan berbagai upaya pelayanan kesehatan. Hal ini berakibat pada banyaknya informasi tentang program pendidikan yang tidak tersampaikan pada masyarakat. d. Hal paling mengejutkan dari UU Sisdiknas adalah belum adanya keterjaminan manfaat dari relevansi antara substansi pendidikan
167
dengan kebutuhan di dunia kerja. Akibatnya, pengetahuan dan keterampilan yang didapat peserta didik selama proses belajar di satuan pendidikan tidak relevan dengan tuntutan dunia kerja. e. Dari fakta-fakta yang telah peneliti paparkan dalam Bab IV, dapat dikatakan bahwa UU Sisdiknas adalah salah satu contoh kebijakan yang cenderung netral gender. Kebijakan tersebut terlihat netral atau universal. Namun isinya cenderung bias kepentingan kelompok yang mendominasi pada lembaga pengambil kebijakan publik. UU Sisdiknas kurang mengakui adanya ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender yang mungkin terjadi di dalam masyarakat. 3. Strategi Pengarusutamaan Gender (PUG) belum sepenuhnya terintegrasi dalam pembangunan kualitas SDM, dimana seharusnya bidang tersebut sudah menjamin Keadilan dan Kesetaraan Gender (KKG) secara penuh karena vitalnya kualitas SDM sebagai modal pembangunan bangsa dalam menghadapi tuntutan globalisasi.
B. REFLEKSI Pembangunan SDM dari sektor kesehatan dan pendidikan, merupakan dua dari tiga dimensi Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Kondisi ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender dalam pembangunan SDM akan berdampak pada rendahnya Indeks Pembangunan Gender (IPG). IPG menggunakan perhitungan dimensi yang sama dengan IPM, dengan
168
memperhitungkan komposisi laki-laki dan perempuan. Jika nilai IPG lebih rendah daripada nilai IPM, maka masih ada ketimpangan yang terjadi dimana hasil pembangunan manusia lebih menguntungkan kaum laki-laki. IPM Indonesia tahun 2013 adalah 0,684, menempati peringkat 108 dari 187 negara. Sedangkan IPG Indonesia adalah 0,9231 terhadap IPM dan menempati peringkat 98 dari 187 negara2. Pemahaman konsep dan praktis dari Pengarusutamaan Gender sendiri masih beragam. Decision maker dan masyarakat masih cenderung mendefinisikan PUG sebagai program-program terkait perempuan semata. Artinya, Indonesia masih berada dalam tahap transisi paradigma Gender and Development (GAD) ke paradigma Gender Mainstreaming (GM). Satu kakinya
melangkah
dengan
mantap
dan
pasti
pada
area
Gender
Mainstreaming mengikuti tuntutan masyarakat global tetapi ujung kakinya yang satu masih tertinggal di area Gender and Development. PUG masih dimaknai sebagai pemberdayaan dan perlindungan perempuan, belum pada definisi PUG sebagai strategi untuk mencapai kesetaraan dan keadilan bagi setiap orang, laki-laki dan perempuan. Kondisi ini menyisakan banyak “pekerjaan rumah” yang harus dilakukan untuk menjamin tercapainya KKG di Indonesia. Bukan saja pemerintah yang harus bergerak. Pemerintah kadang terhalang tembok birokrasi yang bersifat hierarkis, menunggu komando atasan/top-down. 1
Rasio perempuan terhadap laki-laki dalam IPM. UNDP Report 2014, Sustaining Human Progress : Reducing Vulnerability and Building Resilience. Diunduh dari http://www.arabstates.undp.org/content/dam/rbas/report/HDR-2014-English.pdf, tanggal 18 Maret 2015. 2
169
Masyarakat lah yang seharusnya dapat bersuara lebih keras dalam memperjuangkan akses, partisipasi, kontrol, dan manfaat pembangunan kualitas SDM yang adil dan setara bagi laki-laki dan perempuan. UU Sisdiknas dan UU Kesehatan adalah dua produk kebijakan peraturan perundangan Indonesia. Yang menimbulkan pertanyaan adalah bagaimana dua produk ini menjadi berbeda dalam hal pengintegrasian PUG di dalamnya. Peneliti melihat waktu pengesahan peraturan dapat menjadi salah satu sebab pembeda. UU Sisdiknas disahkan dan diundangkan pada tahun 2003, pada masa pemerintahan Presiden perempuan pertama RI, Megawati Soekarnoputri. Pada masa itu koordinasi PUG menjadi tanggung jawab Kementerian Pemberdayaan Perempuan, yang dipimpin oleh Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Sri Redjeki Sumarjoto, SH. Sedangkan UU Kesehatan disahkan dan diundangkan pada tahun 2009, pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pada masa itu kementerian telah berganti nama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, yang dipimpin oleh Linda Amalia Sari, SIP. Pada periode tersebut program-program advokasi dan sosialisasi terkait PUG semakin banyak dilakukan, sampai ke tingkat daerah. Tahun 2008 bahkan telah muncul Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender (PPRG) sebagai wujud riil implementasi PUG dalam semua bidang pembangunan3. Contoh riil yang
3
PPRG sejatinya lahir sejak diterbitkannya Kepmendagri Nomor 132 Tahun 2003 tentang PUG dalam Pembangunan Daerah. Namun baru banyak dikenal sekitar tahun 2008 dengan terbitnya Permendagri Nomor 8 Tahun 2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan PUG di Daerah sebagai pengganti Kepmendari 132/2003. Permendagri tersebut juga telah digantikan dengan Permendagri Nomor 67 Tahun 2011. Pada tahun 2012 BAPPENAS, bersama dengan Kementerian
170
dapat kita lihat bersama adalah semakin banyaknya pojok/ruang laktasi bagi ibu menyusui serta ramp bagi penyandang cacat pada ruang-ruang publik. Semakin banyak pula sekolah-sekolah inklusi, yang memberi kesempatan bagi anak-anak berkebutuhan khusus untuk merasakan pendidikan yang sama dengan anak-anak lainnya. Kemajuan-kemajuan tersebut seharusnya tidak membuat kita terlena, dengan menganggap bahwa KKG sudah sepenuhnya tercapai. Masih banyak tantangan dalam peningkatan keterjaminan KKG. Masalah peredaran dan penyalahgunaan NAPZA, misalnya, masih menjadi ancaman serius bagi generasi penerus negeri ini. NAPZA, dalam tinjauan peneliti, adalah masalah dan tanggung jawab bersama bagi sektor kesehatan maupun pendidikan. Ada pula masalah bullying, penyalahgunaan teknologi informasi, sampai kekerasan seksual yang terjadi di sekolah. Semua permasalahan tersebut memerlukan penanganan terpadu dari seluruh sektor terkait, guna melindungi generasi muda. Peraturan perundangan yang baik, dalam artian telah menggunakan perspektif gender dalam penyusunannya, akan menjadi awalan yang diharapkan dapat membawa KKG di Indonesia. Bagaimana pun, dalam kehidupan manusia diperlukan aturan main agar kepentingan setiap orang dapat terakomodir secara optimal dengan tanpa merugikan orang lain. Sementara di sisi lain masih ada keterbatasan kemampuan bernegara
Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, menerbitkan Strategi Nasional Percepatan Pengarusutamaan Gender (PUG) melalui Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender (PPRG).
171
masyarakat sipil, yang terdiri dari laki-laki dan perempuan, dalam mengekspresikan pembangunan,
kebutuhan dan
dan
menggunakan
aspirasinya, hak
memahami
partisipasinya,
proses
serta
dalam
menggunakan mekanisme tanggung-gugatnya. Hukum, dalam hal ini berupa peraturan perundangan, sudah seharusnya melindungi dan mengakomodasi kepentingan semua orang, baik laki-laki maupun perempuan. Di Indonesia, negara yang masih cenderung patriarkis, hukum seharusnya lebih melindungi perempuan yang hak-hak dan kemanusiaannya sering ditindas. Hal ini terlihat dari masih banyaknya UU yang bersifat diskriminatif dan merugikan perempuan, seperti pada pasal-pasal tertentu dalam UU Perkawinan, UU Kewarganegaraan, KUHP dan KUHAP, serta UU Anti Pornografi dan Pornoaksi yang kontroversial.
C. REKOMENDASI Berdasarkan pemaparan kesimpulan, dapat diketahui seberapa jauh integrasi
strategi
Pengarusutamaan
Gender
(PUG)
dalam
kebijakan
pembangunan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) di Indonesia. Peneliti melihat perlu adanya ketegasan decision-maker serta integrasi strategi PUG dalam kebijakan, khususnya peraturan perundangan, agar tercapai kondisi Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG). PUG yang belum terintegrasi dalam peraturan perundangan terkait pembangunan kualitas SDM menjadi satu contoh yang menandakan masih lemahnya komitmen legislatif dan eksekutif
172
dalam implementasi PUG di Indonesia. Perbaikan-perbaikan yang perlu dilakukan pemerintah terkait strategi PUG dalam pembangunan kualitas SDM adalah sebagai berikut : 1. UU Kesehatan dan UU Sisdiknas perlu direvisi pada bagian-bagian yang masih bias dan rawan disalahartikan dengan tindakan-tindakan yang bersifat diskriminatif, terutama pada UU Sisdiknas yang cenderung netral gender dan belum mengakui adanya ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender yang terjadi di dalam masyarakat. a. Pada UU Kesehatan adalah pada bagian minimnya pelibatan masyarakat dalam pembangunan kesehatan. Bagian tersebut perlu diperjelas dengan : 1) Siapa yang berhak berpartisipasi dan pada tahapan apa; 2) Siapa adalah aktor, dapat berarti masyarakat umum, tenaga medis, pemerintah (eksekutif dan legislatif), LSM, penyedia fasilitas pelayanan kesehatan, dan seterusnya; 3) Tahapan adalah tahapan pembangunan, dari tahap perencanaan, implementasi, monitoring, sampai evaluasi. Hal tersebut akan memperjelas keterjaminan KKG serta mengurangi tudingan ketiadaan pelibatan masyarakat. Masyarakat akan menerima apabila secara jelas dinyatakan pada tahap tertentu benar-benar dilibatkan dan tertutup pada tahap lainnya (misalkan hanya untuk tenaga medis profesional yang ahli dan memiliki kewenangan tertentu).
173
b. Pada UU Sisdiknas pada bagian-bagian berikut : 1) Ketiadaan jaminan keterbukaan informasi pelayanan pendidikan, seperti halnya yang ada dalam UU Kesehatan Pasal 17 tentang jaminan ketersediaan informasi kesehatan. 2) Perlunya penambahan instrumen reward bagi satuan pendidikan yang telah berprestasi dan menyediakan : Ketersediaan fasilitas untuk peningkatan akses perempuan dan kelompok-kelompok rentan lainnya untuk bersekolah; Menyelenggarakan program pendidikan yang ramah dan mudah diakses oleh perempuan dan kelompok-kelompok rentan lainnya. Instrumen reward tersebut juga dilengkapi dengan instrumen punishment bagi satuan pendidikan yang tidak menyediakan kedua hal tersebut. 3) Belum adanya relevansi antara substansi pendidikan dengan kebutuhan di dunia kerja menunjukkan perlu kajian lebih lanjut untuk menjamin sinergitas antara sektor pendidikan dengan sektor ketenagakerjaan. 2. Para decision-maker, baik legislatif maupun eksekutif, sebaiknya mendapatkan pendidikan/pelatihan untuk meningkatkan kepekaannya dalam melihat ketidakadilan gender, tetapi bukan dengan metode one size fits all (paket standard). Artinya, pendidikan/pelatihan ini dilaksanakan dengan melibatkan muatan-muatan lokal, mengingat definisi dan peran
174
gender yang berbeda di berbagai wilayah. Hal ini sangat penting untuk membuka dan memberi wawasan tentang gender yang diharapkan dapat menumbuhkan komitmen keduanya untuk mengimplementasikan PUG dalam kebijakan publik guna menjamin KKG dalam masyarakat. 3. Untuk penelitian selanjutnya, perlu dikaji lebih lanjut mengenai evaluasi dari implementasi kebijakan dari kedua sektor penopang pembangunan kualitas SDM ini, kesehatan dan pendidikan, apakah sudah sesuai dengan prinsip-prinsip PUG untuk keterjaminan KKG. Apabila sudah sesuai dengan prinsip-prinsip KKG, faktor apa saja yang mendorongnya, dan apabila belum sesuai, faktor apa pula yang menghambatnya.
175