52
BAB IV UPACARA ADAT GAWAI DAYAK Bab ini menjelaskan hasil interpretasi penulis mengenai upacara Adat Gawai Dayak di Pontianak Kalimantan Barat, dengan pembahasan yang dikembangkan menjadi empat sub pokok bahasan, yaitu pertama, mengenai kehidupan masyarakat di Pontianak Kalimantan Barat yang mencakup aspek batas administratif, geografis, kondisi penduduk, mata pencaharian, dan kondisi sosial masyarakat. Kedua, mengenai latar belakang keberadaan upacara Adat Gawai Dayak di Pontianak Kalimantan Barat. Ketiga, mengenai perkembangan pelaksanaan upacara Adat Gawai Dayak Sejak Tahun 1986 sampai Mei 2009, yang menunjukkan adanya perubahan baik dari fungsi, bentuk pelaksanaan atau para pelakunya sendiri. Keempat, mengenai pelaksanaan upacara Adat Gawai Dayak dapat berperan sebagai suatu pelestarian nilai-nilai budaya masyarakat Dayak serta dampak keberadaan upacara ini terhadap kehidupan sosial budaya dan ekonomi masyarakat setempat.
4.1. Keadaan Umum Masyarakat Kota Pontianak 4.1.1 Keadaan Geografis Kota Pontianak Pontianak merupakan ibu kota Propinsi Kalimantan Barat, dengan luasnya mencakup 107,82 Km2 yang terdiri dari lima Kecamatan dan 24 Kelurahan. Secara geografis Pontianak dilintasi oleh garis Khaturistiwa yaitu pada 00 02’ 24” Lintang Utara sampai dengan 00 05’ 37” Lintang Selatan dan 1090 16’ 25” Bujur Timur sampai dengan 1090 23’ 01” Bujur Timur, dengan ketinggian berkisar
53
antara 0,10 meter sampai 1,50 meter di atas permukaan laut. Secara keseluruhan wilayah Pontianak berbatasan dengan wilayah Kabupaten Pontianak yaitu, 1. Bagian Utara dengan Kecamatan Siantan. 2. Bagian Selatan dengan Kecamatan Sungai Raya, Kecamatan Sungai Kakap dan Kecamatan Siantan. 3. Bagian Barat dengan Kecamatan Sungai Kakap. 4.Bagian Timur dengan Kecamatan Sungai Raya dan Kecamatan Sungai Ambawang (Sumber : Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Pontianak, 2007). Berdasarkan hasil sensus tahun 2007 luas wilayah Kecamatan-kecamatan di Kota Pontianak adalah sebagai berikut, wilayah Kecamatan Pontianak Utara (34,52 %), diikuti oleh Kecamatan Pontianak Selatan (27,24 %), Kecamatan Pontianak Barat (15,28 %), Kecamatan Pontianak Kota (14,82 %) dan Kecamatan Pontianak Timur (8,14 %). Di wilayah Kota Pontianak terdapat 33 sungai dan parit. Sungai atau parit tersebut dimanfaatkan oleh sebagian masyarakat untuk keperluan sehari-hari dan sebagai penunjang sarana transportasi.
54
Peta 1 Peta Kota Pontianak
a
Sumber : Badan Pusat Statistik Kota Pontianak (2007) Tabel 4.1. Luas Wilayah Kota Pontianak Menurut Kecamatan, 2007 Kecamatan
Luas Daeah (Km2)
Persentase (%)
Pontianak Utara
37,22
34,52
Pontianak Selatan
29,37
27,24
Pontianak Barat
16,47
15,25
Pontianak Kota
15,98
14,82
Pontianak Timur
8,78
8,14
Kota Pontianak
107,82
100,00
Sumber : Badan Pusat Statistik Kota Potianak, 2007 Kondisi tanah di wilayah Pontianak terdiri dari jenis tanah Organosol, Gley, Humus, dan Aluvial yang masing-masing mempunyai karakteristik yang berbeda. Dalam hal penggunaan tanah atau lahan, untuk luas lahan sawah dari
55
tahun-ketahun menunjukkan gejala peningkatan, ini sesuai dengan anjuran pemerintah untuk memanfaatkan lahan tidur dalam mengatasi masa kritis. Luas lahan sawah kini sebesar 3,70 % dari seluruh luas wilayah Kota Pontianak atau seluas 399 Hektar, sedangkan luas lahan kering menjadi 96,30 % dari seluruh luas Kota Pontianak 10.383 Hektar yang dirinci untuk perkarangan/ bangunan/ halaman 48,82 %, tegal/kebun 27,58 %, lahan sementara tidak diusahakan 4,34 %, hutan rakyat 6,34 %, perkebunan 1,14 % dan lain-lain sebesar 11,97 % (lihat tabel 4.2). Tabel 4.2. Luas Lahan Sawah dan Lahan Kering Menurut Jenis Penggunaan di Kota Pontianak, 2005-2007 (Ha) Jenis Penggunaan
2005
2006
2007
Lahan Sawah :
334
336
399
Tadah Hujan
31
31
36
Pasang Surut
293
295
363
Sawah yang sementara tidak
10
10
-
Lahan Kering :
10 448
10 446
10 383
Pekarangan / Bangunan dan
4.762
5.051
5.069
3.288
2.945
2.863
4
4
4
Sementara tidak diusahakan
201
451
451
Lahan yang ditanami kayu/ Hutan
690
635
635
Perkebunan
601
118
118
Lain-lain
902 1.242
1.243
10 782
10 782
diusahakan
Halaman Tegal / Kebun / Ladang Kolam / Empang
rakyat
Jumlah
10 782
Sumber : Badan Pusat Statistik Kota Pontianak, 2007
56
4.1.2 Kondisi Penduduk dan Mata Pencaharian Masyarakat Kota Pontianak 4.1.2.1 Kondisi Penduduk Kota Pontianak Berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2000 dan 2007, Jumlah penduduk tetap wilayah Pontianak berkisar 514.622 jiwa, terdiri dari penduduk laki-laki 257.574 jiwa dan penduduk perempuan 257.046 jiwa yang tersebar pada lima wilayah kecamatan yaitu, 4.3 Jumlah Penduduk Kota Pontianak Menurut Kecamatan Tahun 2007 Kecamatan
Jumlah Penduduk
Persentase ( % )
Pontianak Selatan
123.389
23,98
Pontianak Barat
111.080
21,58
Pontianak Utara
107.277
20,85
Pontianak Kota
103.154
20,04
Pontianak Timur
69,722
13,55
Sumber : Badan Pusat Statistik (SP 2000 dan 2007) Berdasarkan tabel di atas dapat disimpulkan jumlah penduduk Kota Pontianak menurut Kecamatan adalah sebagai berikut, wilayah Kecamatan Pontianak Selatan 123.389 jiwa (23,98 %), Kecamatan Pontianak Barat 111.080 jiwa (21,58 %), Kecamatan Pontianak Utara 107.277 jiwa (20,85 %), wilayah Kecamatan Pontianak Kota 103.154 jiwa (20,04 %), dan Kecamatan Pontianak Timur 69.722 jiwa (13,55 %). Kepadatan Penduduk di wilayah Kota Pontianak pada tahun 2000 sekitar 464.534 jiwa. Dengan kata lain, kepadatan penduduk di wilayah Pontianak periode 1990-an meningkat sebesar 629 jiwa dari sebelumnya berkisar 463.905 jiwa. Selama sepuluh tahun terakhir Kecamatan yang memiliki tingkat kepadatan
57
terpadat adalah Kecamatan Pontianak Timur yaitu 6.936 jiwa, sedangkan Kelurahan yang paling padat penduduknya adalah Kelurahan Tanjung Hilir yang juga terlatak di Kecamatan Pontianak Timur yaitu 32.773 jiwa. Telah terjadi peningkatan penduduk selama empat tahun terakhir (tahun 2000-2004) yaitu sebesar 1,76 persen pertahunnya, Dilihat dari kelompok umurnya, penduduk di wilayah Kota Pontianak tergolong pada umur produktif, dimana sebagian besar masih mengelompok pada usia 15-49 tahun (tabel 4.4). Tabel 4.4. Penduduk Kota Pontianak Menurut Jenis Kelamin dan Kelompok Umur 2007 No
Kelompok Umur
Laki-laki
Perempuan
Jumlah
Sex Ratio
1
0–4
25 343
24 210
49 553
104,68
2
5–9
22 678
22 711
45 389
99,85
3
10 – 14
23 586
22 471
46 057
104,96
4
15 – 49
146 427
148 310
294 737
98,73
5
50 – 54
29 335
28 586
57 921
102,62
6
65 +
10 205
10 760
20 965
94,84
257 574
257 048
514 622
100,20
Kota Pontianak
Sumber : Badan Pusat Statistik Kota Pontianak, 2007 Berdasarkan tabel di atas dapat dijelaskan bahwa jumlah penduduk Kota Pontianak menurut umur adalah 514.622 jiwa yang terdiri dari laki-laki 257.574 jiwa dan perempuan 257.048 jiwa, yang terbagi dalam tingkatan umur 0-4 tahun 49.553 jiwa, umur 5-9 tahun 45.389 jiwa, umur 10-14 tahun 46.057 jiwa, 15-49 tahun 294.737 jiwa, umur 50-54 tahun 57.921 jiwa dan umur 65 + tahun 20.965 jiwa. Penduduk Kota Pontianak yang tergolong dalam umur produktif yang
58
mengelompok pada umur 15-49 tahun, yang terdiri penduduk laki-laki 146.427 jiwa dan penduduk perempuan 148.310 jiwa.
4.1.2.2 Mata Pencaharian Penduduk Kota Pontianak Secara geografis wilayah Pontianak sangat cocok untuk lahan pertanian, perkebunan, dan perternakan, sehingga masyarakat Pontianak mempunyai mata pencaharian sebagai petani dan peternak. Selain bertani masyarakat Pontianak juga menjadikan sektor peternakan menjadi salah satu mata pencaharian mereka dengan membudidayakan beberapa hewan ternak yang tergolong dalam populasi ternak besar dan ternak kecil serta populasi unggas. Hewan ternak yang termasuk populasi ternak besar adalah sapi daging, sedangkan yang termasuk populasi ternak kecil adalah kambing dan yang termasuk populasi unggas adalah ayam, bebek dan burung puyuh. Selain bekerja pada bidang pertanian dan peternakan, masyarakat Pontianak juga bekerja pada sektor lain (Sumber : Survei Pertanian, & Departemen Pertanian, 2007) Menurut data potensi Kota Pontianak pada tahun 2007, Penduduk Pontianak mempunyai mata pencaharian sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), Pedagang dan wiraswasta. Penduduk Pontianak yang berumur 15 tahun ke atas (usia kerja) dalam kegiatan ekonomi dibagi menjadi dua bagian yaitu, 1. Angkatan Kerja, terdiri dari bekerja dan mencari kerja 2. Bukan Angkatan Kerja, terdiri dari sekolah, mengurus rumah tangga dan lainnya (Pensiun, jompo,dll).
59
4.5 Penduduk Berumur 15 Tahun Ke atas Menurut Jenis Kegiatan di Kota Pontianak Tahun 2007 Jenis Kegiatan
2007 Laki-laki
Perempuan
Jumlah
153. 183
85.573
238.756
o Bekerja
134.053
73.291
207.344
o Mencari Pekerjaan
19.130
12.282
31.412
43.268
108.459
151.727
o Sekolah
22.496
26.428
48.924
o Mengurus Rumah Tangga
5.459
75.576
81.035
o Lainnya
15.315
6.455
21.770
196.451
194.032
390.483
1. Angkatan Kerja
2. Bukan Angkatan Kerja
Jumlah
Sumber : Badan Pusat Statistik Kota Pontianak, 2007 Berdasarkan tabel di atas dapat dijelaskan bahwa jumlah penduduk angkatan kerja di Kota Pontianak dari hasil Survai Angkatan Kerja Nasional tahun 2007 adalah 238.756 jiwa (61,14 persen) dari jumlah penduduk usia kerja yaitu yang berumur 15 tahun ke atas. Angkatan kerja yang bekerja 207.344 jiwa (93,19 persen) dan yang mencari pekerjaan 31.412 jiwa (13.16 persen), sedangkan yang bukan merupakan angkatan kerja berjumlah 151.727 jiwa (38,86 persen) yang terdiri dari sekolah 48.924 jiwa (32,24 persen), mengurus rumah tangga 81.035 jiwa (53,41 persen), dan lainnya 21.770 jiwa (14,35 persen). (Sumber : Badan Pusat Statistik Kota Pontianak, 2007)
60
4.1.3 Kehidupan Sosial Masyarakat Kota Pontianak Kehidupan sosial budaya masyarakat Pontianak Kalimantan Barat dapat dilihat dari beberapa aspek yang meliputi aspek pendidikan, agama, serta nilainilai tradisi yang berkembang dalam kehidupan masyarakat setempat. Kehidupan masyarakat Pontianak secara kultural sangat dipengaruhi oleh berbagai budaya seperti budaya Dayak, Melayu, Madura, Cina, dll. Kultur ini mewarnai kehidupan masyarakat yang bertempat tinggal di wilayah Kalimantan Barat. Orang-orang yang berbudaya Melayu dan Madura diidentikan dengan Agama Islam, sedangkan orang yang berbudaya Dayak diidentikan dengan Agama Kristen dan orang-orang berbudaya Cina diidentikan dengan Agama Budha. Masyarakat Dayak pada umumnya yang berada di Kalimantan Barat dalam kehidupan sehari-hari selalu melaksanakan tradisi-tradisi warisan nenek moyang yang telah mendarah daging dengan jiwa mereka. Tradisi yang masih mereka laksanakan diantaranya adalah Kepercayaan terhadap roh-roh dan mahluk-mahluk halus yang mendiami tempat-tempat tertentu, seperti mata air, gunung, sungai, pohon, batu, dan lain sebagainya. Pada saat panen padi para petani harus melaksanakan suatu acara syukuran yang dikemas dalam bentuk upacara adat. Upacara adat tersebut dilakukan sebagai tanda terima kasih kepada Jubata atau Tuhan atas hasil panen mereka (wawancara dengan Bapak Enseng selaku Ketua Adat Suku Dayak pada tanggal 21 Mei 2009). Dalam kehidupan masyarakat Dayak masih berlaku hukum Adat bagi siapa saja yang melanggar tidak ada terkecuali. Sebenarnya Kepercayaan masyarakat Dayak terhadap roh-roh halus dan mahluk-mahluk gaib yang tinggal
61
di tempat tertentu sama seperti masyarakat Dayak di daerah lainnya. Pada umumnya masyarakat Dayak percaya bahwa ada tempat-tempat tertentu yang dipercayai tempat kediaman mahluk-mahluk halus yang pada umumnya bertindak merugikan atau membawa celaka, namun ada pula yang menguntungkan bagi manusia. Sebagian dari masyarakat Dayak di Kalimantan Barat sering membuat sesaji untuk dipersembahkan kepada para roh dan mahluk halus, karena mereka percaya dengan memberikan sesaji para roh dan mahluk halus akan memberikan perlindungan kepada mereka (wawancara dengan Bapak Enseng selaku Ketua Adat Suku Dayak pada tanggal 21 Mei 2009). Hal tersebut sesuai dengan pendapat yang dikemukakan Ani Rostiyanti (1995: 16) mengenai pemberian sesaji kepada roh dan mahluk halus sebagai berikut, “ Roh-roh halus itu adalah leluhur yang harus dihormati dan diberi sesaji. Roh-roh itu ada yang menguntungkan dan yang merugikan, oleh karena itu berusahalah selalu membuat hubungan dengan membuat sesaji agar selamat ”. Masyarakat Dayak masih memegang teguh kepercayaan Dinamismenya, mereka percaya setiap tempat-tempat tertentu ada penguasanya yang mereka sebut Jubata, Petara, Ala Taala, Penompa dan lain-lain, untuk sebutan Tuhan yang tertinggi, kemudian mereka masih mempunyai penguasa lain di bawah kekuasaan Tuhan tertingginya, misalnya Puyang Gana (Dayak Mualang) adalah penguasa tanah, Raja Jubata (penguasa Air), Kama Baba (Penguasa Darat), Jubata, Apet Kuyan'gh (Dayak Mali) dan lain-lain. Bagi mereka yang masih memegang teguh kepercayaan Dinamisme dan budaya aslinya, mereka memisahkan diri masuk semakin jauh ke Pedalaman. Sebagian dari masyarakat Dayak yang telah
62
menganut Agama Islam karena perkawinan lebih banyak meniru gaya hidup pendatang yang dianggap telah mempunyai peradaban maju karena banyak berhubungan dengan dunia luar. Sesuai perkembangannya, maka masuklah Agama Kristiani atau Nasrani ke Pedalaman yang dibawa para pendatang. Pada umumnya masyarakat Dayak yang pindah keyakinan memeluk Agama Islam di Kalimantan Barat dianggap oleh Suku Dayak sama dengan Suku Melayu. Suku Dayak yang masih asli (memegang teguh kepercayaan nenek moyang) dimasa lalu, hingga mereka berusaha menguatkan perbedaan diantara mereka. Suku Dayak yang masuk Islam (karena Perkawinan dengan suku Melayu) memperlihatkan diri sebagai Suku Melayu (wawancara dengan Bapak Ellysius selaku Pimpinan Sanggar Rian Siname pada tanggal 18 Mei 2009). Masyarakat Dayak saat ini banyak yang lupa akan identitas sebagai Suku Dayak dan aturan keterikatan dengan Adat Istiadatnya. Setelah penduduk pendatang di pesisir berasimilasi dengan Suku Dayak yang pindah keyakinan memeluk Agama Islam (lewat perkawinan dengan Suku Melayu), sehingga Agama Islam lebih identik dengan Suku Melayu dan Agama Kristiani atau kepercayaan Dinamisme lebih identik dengan Suku Dayak. Sejalan terjadinya urbanisasi ke Kalimantan, menyebabkan pesisir Kalimantan Barat menjadi ramai, karena semakin banyak di kunjungi pendatang baik lokal maupun Nusantara lainnya (Wawancara dengan masyarakat setempat pada tanggal 20 Mei 2009).
63
4.1.3.1 Pendidikan Salah satu indikator untuk melihat tingkat kemajuan suatu Negara atau daerah adalah tingkat pendidikan Penduduk. Tingkat pendidikan penduduk yang menyelesaikan pendidikan merupakan salah satu variabel pendukung peningkatan produktifitas kerja. Pendidikan dasar telah mengalami pergeseran dari pendidikan dasar enam tahun menjadi sembilan tahun sejak tahun 90-an. Dampak positifnya, tingkat pendidikan penduduk yang di dalamnya termasuk tingkat pendidikan pekerja secara empirik mengalami pergeseran kejenjang yang lebih tinggi dan cukup significan. 1. SD / MI Jumlah SD di Kota Pontianak sebanyak 211 buah, yang dikelola oleh pemerintah non Departemen Agama sebanyak 185 buah dan ditunjang dengan totalitas ruang belajar 1.588 ruang kelas serta ada sebanyak 1.820 kelas. Kemudian banyaknya SD yang dikelola oleh Departemen Agama ada sebanyak 26 sekolah dan memiliki ruang belajar 125 ruang serta jumlah kelas 210 kelas. Jumlah murid SD seluruhnya adalah sebanyak 71.306 orang dengan 3.368 orang guru, sehingga ratio murid terhadap guru adalah 21. Artinya, setiap seorang guru menangani sekitar 21 murid. Ratio murid terhadap guru SD adalah 21 dan Madrasah Ibtidaiyah 18 (Sumber : Badan Pusat Statistik Kota Pontianak, 2007). 2. SLTP / MTS Banyaknya sekolah SLTP umum yaitu ada 93 sekolah yang terdiri dari 68 SLTP dan 25 sekolah Madrasah, dan terdiri dari 660 ruang belajar. Jumlah
64
murid SLTP umum sebanyak 24.626 orang dengan jumlah guru 1.604 orang. Ratio murid terhadap guru sekitar 14 yaitu sekitar 15 untuk SLTP umum dan sekitar 8 untuk Madrasah Tsanawiyah (Sumber : Badan Pusat Statistik Kota Pontianak, 2007). 3. SMA / SMK / MA Banyaknya sekolah SMA sederajat di Kota Pontianak adalah 80 buah yaitu 40 buah
SMA, 12 Madrasah Alaiyah dan 28 sekolah menengah
Kejuruan. Banyaknya ruang belajar adalah 412 untuk sekolah SMA, serta 438 kelas, sekolah Madrasah Aliyah ada 77 ruang belajar dan terdapat 67 kelas dan untuk Sekolah Menengah Kejuruan ada 296 ruang belajar dan 300 kelas. Ratio Murid terhadap guru sekitar 14 untuk SMA, dan 11 pada SMK dan 7 pada MA (Madrasah Aliyah) (Sumber : Badan Pusat Statistik Kota Pontianak, 2007). 4. Ratio Sekolah Ratio murid terhadap kelas, ratio terendah terdapat pada jenjang pendidikan Masdrasah Ibtidaiyah (MI) yaitu sekitar 32 yang artinya, secara rata-rata setiap kelas menampung sekitar 32 murid. Ratio tertinggi terdapat juga pada jenjang SMA yaitu 38, yang artinya setiap kelas menampung sekitar 38 murid SMA Ratio murid yang terbesar terdapat pada SMA yaitu 415 dan terkecil terdapat pada Madrasah Aliyah yaitu 170, artinya setiap sekolah secara rata-rata mempunyai murid sekitar 415 SMA dan sekitar 170 murid untuk MA (Sumber : Badan Pusat Statistik Kota Pontianak, 2007).
65
Tabel 4.6. Jumlah Murid Sekolah Menurut Jenis Kelamin dan Sex Rasio Di lingkungan Dinas Pendidikan Nasional 2007 No
Jenjang Pendidikan SD
Murid
Sex Rasio
Laki-laki
Perempuan
Jumlah
36 862
34 444
71 306
107
1
Sekolah Dasar
33 560
31 119
64 679
108
2
Masdrasah Ibtidaiyah
3 302
3 325
6 627
99
SMP
14 215
13 957
28 172
102
3
SLTP
12 429
12 197
24 626
102
4
MTS
1 789
1 760
3 546
101
14 564
14 316
28 880
102
SMA 5
SMA
7 901
8 712
16 613
91
6
SMK
5 737
4 491
10 228
128
7
Madrasah Aliyah
926
1 113
2 039
83
Sumber : Badan Pusat Statistik Kota Pontianak, 2007 Dari data Badan Pusat Statistik Kota Pontianak, dapat dijelaskan bahwa jumlah murid yang duduk dijenjang pendidikan sekolah dasar (SD) sampai sekolah menengah atas berjumlah 128.358 murid, yang terdiri dari murid sekolah dasar (SD) 71.306 murid, sekolah menengah pertama (SMP) 28.172 murid dan sekolah menengah atas (SMA) 28.880 murid. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa jumlah murid yang duduk dijenjang pendidikan sekolah dasar (SD) lebih banyak daripada murid yang duduk dijenjang pendidikan sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA).
66
Tabel.4.7 Penduduk Berumur 5 Tahun Ke Atas Menurut Pendidikan yang Ditamatkan Di Kota Pontianak 2007 Pendidikan yang
Laki-laki
Perempuan
Jumlah
1. Tidak Sekolah
11.649
25.716
37.365
2. Belum Tamat SD
54.864
52.074
106.938
3. SD
41.165
38.152
79.317
4. SMP Umum
35.083
38.808
73.891
5. SMA Umum
68.129
56.711
124.840
6. Akademi / D1 / D2
6.515
10.761
17.276
7. Universitas
14.825
10.616
25.441
232.230
232.838
465.068
ditamatkan
Jumlah
Sumber : Badan Pusat Statistik Kota Pontianak, 2007 Berdasarkan hasil sensus tahun 2007, dapat dijelaskan bahwa penduduk Kota Pontianak sebagian besar telah menduduki pendidikan dijenjang sekolah menengah atas (SMA) dengan jumlah 124.840 jiwa, sedangkan sebagian kecil penduduk Kota Pontianak menduduki jenjang pendidikan Universitas dengan jumlah 25.441 jiwa. Dari hasil sensus tersebut dapat disimpulkan bahwa sebagian besar pendidikan penduduk Kota Pontianak dijenjang sekolah menengah atas (SMA). Agama Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Kota Pontianak, Penduduk Pontianak yang memeluk agama yang diakui oleh Negara adalah Islam 412.057 jiwa, Protestan 22.438 jiwa, Khatolik 15.706 jiwa, Hindu 2.243 jiwa, Budha 108.600 jiwa. Penduduk yang memeluk agama selain kelima agama yang diakui oleh pemerintah misalnya, aliran kepercayaan Khong Hu Cu,
67
Animisme, dan sebagainya ada 25.803 jiwa. Sedangkan sarana peribadatan masing-masing pemeluk agama adalah sebagai berikut, Mesjid 218 buah, mushola 330 buah, Gereja Khatolik 23 buah, Gereja Protestan 58 buah, pura 2 buah, Vihara 34 buah. Tabel 4.8. Penduduk Menurut Agama yang Dianut di Kota Pontianak, 2007 No
Kecamatan
Agama Islam
Protestan
Khatolik
Hindu
Budha
Lainnya
1
Pontianak Selatan
75 000
7000
5 015
636
33.993
9 312
2
Pontianak Timur
79 033
300
1 140
32
22.253
81
3
Pontianak Barat
101 006
5 070
4 505
90
21.280
232
4
Pontianak Kota
94 000
7 064
4 036
969
23.078
3 992
5
Pontianak Utara
63 018
3 004
1 010
516
7 996
15186
412.057
22.438
15.706
2.243
108.600
25.803
Jumlah
Sumber : Badan Pusat Statistik Kota Pontianak, 2007 Berdasarkan tabel di atas dapat disimpulkan bahwa penduduk Kota Pontianak sebagian besar memeluk Agama Islam 412.057 jiwa yang tersebar di wilayah lima Kecamatan di Kota Pontianak. Wilayah Kecamatan Pontianak Barat merupakan wilayah yang terbanyak yang memiliki penduduk yang memeluk Agama Islam 101.006 jiwa, sehingga dapat dikatakan bahwa sebagian besar penduduk Kota Pontianak beragama Islam.
68
Tabel 4.9. Jumlah Rumah Ibadah Menurut Kecamatan di Kota Pontianak 2007 Agama No
Kecamatan
Masjid
Mushola
Gereja
Gereja
Khatolik
Protestan
Pura
Vihara
1
Pontianak Selatan
66
91
8
24
2
19
2
Pontianak Timur
22
20
3
5
-
-
3
Pontianak Barat
44
57
9
13
-
1
4
Pontianak Kota
47
81
-
-
-
6
5
Pontianak Utara
39
81
3
16
-
8
218
330
23
58
2
34
Jumlah
Sumber : Badan Pusat Statistik Kota Pontianak, 2007 Karena Penduduk Kota Pontianak sebagian besar memeluk Agama Islam, sehingga Masjid dan Mushola merupakan sarana ibadah yang sebagian besar terdapat di Kota Pontianak yang tersebar dilima Kecamatan, wilayah Kecamatan Pontianak Selatan merupakan wilayah yang terbanyak terdapat Masjid 66 buah dan Mushola 91 buah.
69
4.2 Latar Belakang Keberadaan Upacara Adat Gawai Dayak di Pontianak Kalimantan Barat 4.2.1 Latar Belakang Upacara Adat Gawai Dayak Upacara Adat di suatu daerah merupakan perkembangan dari unsur Kebudayaan, yaitu unsur religi. Unsur religi yang dikembangkan manusia dengan tujuan untuk mengatasi keterbatasan yang dimiliki oleh manusia dan untuk mencapai ketenangan jiwa atau kebahagiaan (Saini dalam Nalan dan Sarjono, 1998: 4). Keterbatasan yang dimiliki oleh manusia biasanya muncul dari keadaan lingkungannya. Kebudayaan dalam suatu daerah adalah cerminan dari keadaan lingkungan dan kebiasaan masyarakat daerah tersebut. Tidak ada masyarakat yang tidak memiliki Kebudayaan, atau sebaliknya tidak ada Kebudayaan tanpa masyarakat sebagai wadah dan pendukungnya (Nazsir, 2008: 87). Masyarakat dan Kebudayaan saling mempengaruhi satu sama lainnya. Upacara Adat Gawai Dayak di Pontianak Kalimantan Barat berhubungan dengan keadaan lingkungan dan kebiasaan bertani masyarakat Dayak di Kalimantan Barat pada umumnya. Upacara Adat Gawai Dayak muncul karena menurunnya kecintaan terhadap budaya Dayak dan adanya mitos asal mula padi yang populer dikalangan orang Dayak Kalimantan Barat, yakni cerita Nek Baruang Kulup. Cerita asal mula padi berawal dari setangkai padi milik Jubata di gunung bawakang yang dicuri seekor burung pipit dan jatuh ketangan Nek Jaek yang tengah mengayau. Kepulangannya yang hanya membawa setangkai buah rumput
menyebabkan
ia
diejek,
dan
keinginan
membudidayakannya
70
menyebabkan pertentangan dan bahkan ia diusir. Dalam pengembaraannya ia bertemu dengan Jubata. Hasil perkawinannya dengan Jubata, adalah Nek Baruang Kulup. Nek Baruang Kulup inilah yang akhirnya membawa padi kepada Talino (manusia) karena ia suka turun ke dunia bermain gasing. Perbuatan ini juga menyebabkan ia diusir dari gunung bawakang dan akhirnya kawin dengan manusia. Padi akhirnya menjadi makanan sumber kehidupan yang menyegarkan, sebagai pengganti kulat (jamur) bagi manusia. Namun, untuk memperoleh padi terjadi tragedi pengusiran di lingkungan keluarga manusia dan Jubata yang menunjukkan kebaikan hati Jubata bagi manusia. Fungsi padi dan kemurahan Jubata inilah yang menjadi dasar upacara Adat Gawai Dayak (wawancara dengan Bapak Enseng selaku Ketua Adat Suku Dayak pada tanggal 21 Mei 2009). Masyarakat Dayak percaya dengan melakukan upacara Adat Gawai Dayak akan membantu pelestarian nilai-nilai budaya Dayak agar tidak punah dan sebagai ungkapan syukur atas hasil panen yang melimpah dan memohon untuk diberikan keselamatan dan pertolongan kepada Tuhan. Jika dilihat dari arti katanya, yang dimaksud dengan Gawai memiliki beberapa arti, Gawai adalah pesta adat yang diselenggarakan oleh penduduk Suku Dayak pada umumnya untuk menghormati arwah para leluhur yang telah meninggal. Penghormatan ini merupakan balas budi dari anak cucu terhadap leluhurnya yang telah berjasa memberi tempat hidup dan mata pencaharian terhadap anak cucunya. Ada juga yang mengartikan Gawai merupakan niatan atau nazar baik nazar yang diucapkan oleh penyelenggara sendiri maupun oleh orang tua dan para leluhur yang belum terlaksanakan. Nazar
71
itu seperti utang yang harus dibayar dan utang itu dapat diwariskan dari bapak ke anak, dari anak ke cucu dan seterusnya. Dalam
bentuknya
yang
tradisional,
upacara
ini
hanya
sebatas
nyangahathn, yakni pembacaan doa atau mantera. Kemudian dilanjutkan saling kunjung-mengunjungi antar sesama warga dengan suguhan utamanya seperti salika/poe (lemang/pulut dalam bambu), tumpi (cucur), bontokng (nasi yang dibungkus dengan sejenis daun hutan seukuran kue), jenis makanan tradisional yang terbuat dari bahan hasil panen tahunan dan bahan makanan tambahan lainnya. Meski berbentuk sangat sederhana, pelaksanaan ritual Gawai Dayak bisa menghabiskan waktu yang cukup panjang (wawancara dengan Bapak Stepanus selaku Panitia Pelaksana pada tanggal 19 Mei 2009). Orang Dayak mengenal 18 tahapan upacara Adat Perladangan mulai dari Baburukng sampai tahap terakhir yaitu, upacara Adat Naik Dango atau Gawai Dayak. Sebelum hari H dilaksanakan, terlebih dahulu diadakan pelantunan mantera (Nyangahathn), yang disebut Matik. Tujuannya ialah memberitahukan dan mohon restu kepada Jubata bahwa besok akan dilaksanakan pesta Adat. Pada hari H dilaksanakan upacara adat dengan pembacaan mantera, memanggil semangat (jiwa) padi yang belum kembali, Nyangahathn atau pembacaan mantera di lumbung padi (baluh atau langko) untuk mengumpulkan semangat padi di tempatnya, dan Nyangahathn di tempayan beras (pandarengan) tujuannya memberkati beras agar bertahan dan tidak cepat habis. Nyangahathn atau membaca mantera dapat disebut sebagai tata cara utama ekspresi religi suku Dayak. Bahari Sinju dkk. (1996: 146), berpandangan bahwa
72
Nyangahatn adalah wujud upacara religius. Ia menjadi bagian pokok dalam setiap bentuk upacara, dengan urutan atau tahapan yang baku, kecuali bahan, jumlah roh suci, para Jubata yang diundang. Dari segi tahapannya Nyangahatn terbagi menjadi, (1) Matik, (2) Ngalantekatn, (3) Mibis, dan (4) Ngadap Buis. Matik bertujuan memberitahukan hajat keluarga kepada awa pama (roh leluhur) dan Jubata. Ngalantekatn bertujuan permohonan agar semua keluarga yang terlibat selamat. Mibis bertujuan agar segala sesuatu (kekotoran) dilunturkan, dilarutkan, dan diterbangkan dari keluarga dan dikuburkan sebagaimana matahari terbenam ke arah barat. Terakhir adalah Ngadap Buis, yakni tahapan penerimaan sesajian (Buis) oleh Awa Pama dan jubata, dengan tujuan ungkapan syukur dan memperoleh berkat atau pengudusan (penyucian) terhadap segala hal yang kurang berkenan, termasuk pemanggilan semua jiwa yang hidup (yang tersesat) agar tenang dan tenteram. Dilihat dari kondisi bahan yang digunakan, tahapan pertama sampai ketiga, disebut Nyangahathn mentah, yakni Nyangahathn dengan bahan yang belum masak (mentah), sedangkan Ngadap Buis disebut Nyangahathn masak, disiapkan dengan bahan-bahan yang siap hidang (sudah masak). Sebenarnya ada Nyangahathn dalam bentuk yang sederhana, yakni berupa ungkapan atau doa pendek dengan sajian sederhana seperti nasi, garam, dan sirih masak (kapur, sirih, gambir, tembakau, dan rokok daun nipah), Nyangahathn sederhana ini disebut Babamang.
73
4.2.2 SEKBERKESDA Seiring berjalannya waktu, terkadang sejarah mulai terlupakan atau sengaja untuk dilupakan. Untuk itu Sekretariat Bersama Kesenian Dayak (SEKBERKESDA) Kalimantan Barat, yang merupakan wadah perkumpulan sanggar-sanggar Kesenian Dayak Kalimantan Barat, yang tujuan pertamanya adalah untuk lebih memperkuat posisi kesenian dan kebudayaan masyarakat Dayak yang telah terbentuk, (sesuai arsip SEKBERKESDA), berkeinginan untuk membuka kembali sejarah berdirinya Sekretariat Bersama Kesenian Dayak Kalimantan Barat untuk memberi informasi kepada pihak-pihak atau lembaga tertentu dalam masyarakat Dayak yag selama ini mempertanyakan “Mengapa harus SEKBERKESDA yang mengelola Upacara Adat Gawai Dayak”, dapat terjawab dan memahami, yang akhirnya kekompakan dan kerjasama yang ingin diwujudkan dalam masyarakat Dayak tercapai. Dimulai tahun 1986, dua orang pekerja seni Dayak yaitu Bung Yoseph Odillo Oendoen dan Bung Yohanes Eugenne Palausoeka merasa terpanggil untuk membuat suatu Pergelaran Seni Budaya Dayak di Kalimantan Barat yang saat itu kepedulian masyarakat Dayak di Kota Pontianak terhadap Seni Budaya Dayak sangat minim. Apalagi mulai munculnya sanggar-sanggar Dayak di Kota Pontianak sesuai dengan sub-Sukunya namun belum berkembang seperti sanggarsanggar etnis lain. Sanggar Banua Maribui merupakan sanggar Dayak pertama di Kota Pontianak yang merupakan wadah Seni Budaya Dayak yang tergabung dari setiap sub-Suku Dayak yang ada di Kalimantan Barat. Sanggar Banua Maribui pada tahun 1960-an sangat berkembang dan pernah pengadakan pertujukan di
74
Jakarta, Surabaya bahkan di Singapura. Namun sanggar tesebut akhirnya bubar dan masing-masing mendirikan sanggar sesuai sub-Sukunya Untuk membicarakan pembentukam Sekretariat Bersama Kesenian Dayak (SEKBERKESDA), maka diadakanlah pertemuan sanggar-sanggar Dayak yang ada di Kota Pontianak sebanyak dua kali yaitu : I. Pertemuan Pertama tanggal 2 maret 1986 bertempat di gedung Pasifikus, sedangkan masalah yang dibahas yaitu, rencana pembentukan Badan Kerjasama sanggar-sanggar daerah pedalaman. Kesimpulan dari pertemuan tersebut yaitu : 1. Pimpinan sanggar yang hadir setuju dibentuknya badan kerjasama sanggar-sanggar yang ada. 2. Belum dapat dibentuk pada pertemuan tanggal 2 Maret 1986, karena masih terdapat sanggar yang belum hadir 3. Masalah nama supaya dicari nama yang sesuai tetapi predikat Dayak ada terkandung di dalamnya. 4. Bentuk Badan Kerjasama yang direncanakan bersifat Sekretariat Bersama. 5. Badan ini akan meminta fasilitas kepada Kanwil Departemen Pariwisata dan Kebudayaan bidang Kesenian dan bidang Kebudayaan Kalimantan Barat, untuk dapat mempergunakan Rumah Adat yang ada sebagai sekretariat bersama dan tempat latihan tarian dan sebagainya yang merupakan kebudayaan Dayak.
75
6. Mengundang kembali sanggar-sanggar yang belum hadir untuk meminta pendapatnya, tetapi apabila tidak mendapat tanggapan, maka baru diambil keputusan pembentukan Badan Kerjasama ini. 7. Sanggar-sanggar yang hadir telah sepakat bahwa tanggal 20 Mei 1986 akan dilakukan malam Pergelaran Seni, sehubungan dengan hari Kebangkitan Nasional dan Gawai Dayak telah ditetapkan oleh SK Gubernur. II. Pertemuan kedua bertempat di gedung pertemuan Pasifikus pada tanggal 12 Maret 1986. Dalam pertemuan kedua ini dihadiri seluruh sanggar-sanggar yang terdapat di Kalimantan Barat, yaitu sanggar Sari Budaya, sanggar Bakermas, sanggar Amboyo, sanggar Bengkawan, Hengkung Kayaan, sanggar Terabai, sanggar Persada Khaturistiwa dan sanggar Flamboyan. Adapun kesimpulan dari pertemuan kedua ini yaitu dituangkan dalam pernyataan bersama yang isinya sebagai berikut : 1. Sanggar-sanggar
yang
ada
telah
bertekat
bulat
untuk
lebih
meningkatkan aktivitas dalam menggali, membina dan mengembangkan Kesenian-kesenian Dayak yang ada diseluruh Kalimantan Barat. 2. Untuk lebih memantapkan kesatuan gerak dari pada sanggar-sanggar kesenian, disepakati dibentuknya sebuah wadah konsultatif dan komunikatif diantara sanggar-sanggar kesenian yang ada, dalam upaya meningkatkan kesatuan dan persatuan kearah pembinaan kesenian. 3. Bentuk dan nama wadah kerja sama tersebut ditetapkan “ Sekretariat Bersama Kesenian Dayak Kalimantan Barat di Pontianak”.
76
4. Sekretariat Bersama ini dipimpin oleh seorang sekretaris dan dibantu oleh beberapa assisten sekretaris yang terdiri dari sanggar-sanggar yang ada. 5. Untuk Ketua harian akan dilakukan atau dijabat secara periodik atau secara bergantian oleh sanggar-sanggar yang ada. 6. Masa kerja ketua dan sekretaris ini ditetapkan selama satu tahun, terhitung sejak pembentukan badan ini. 7. Untuk memimpin atau mengkoordinir Sekretariat Bersama Kesenian Dayak Kalimantan periode pertama, telah ditunjuk atau ditetapkan Bung Joseph O. Oendoen selaku Sekretaris dan sanggar Sari Budaya sebagai Ketua Periodik. Urutan Ketua Periodik selanjutnya adalah sanggar Bakermas, Terabai, Amboyo, Bengkawan, Hengkung Kayaan, Persada Khaturistiwa, dan Flamboyan. 8. Badan pengurus Sekretariat Bersama yang telah dibentuk ini, diharapkan dalam waktu dekat ini sudah harus mengajukan permohonan untuk mendapatkan fasilitas kepada Pemerintah daerah Kalimantan Barat atau kantor Depdikbud Kalimantan Barat bidang Kesenian atau Kebudayaan agar dapat memberikan ijin dalam penggunaan Rumah Adat sebagai tempat Sekretariat Bersama dan tempat penyelenggaraan Kebudayaan Dayak di Pontianak Kalimantan Barat. Sumber : Arsip SEKBERKESDA. Adapun sanggar-sanggar yang tergabung pertama kali diSEKBERKESDA dan ikut menandatangani kesepakatan berdirinya SEKBERKESDA adalah :
77
1. Sanggar Sari Budaya
Pimpinan : Drs. SM Kaphat
2. Sanggar Bakermas
Pimpinan : Moses Nyawath E, SH
3. Sanggar Amboyo
Pimpinan : Kalam
4. Sanggar Persada Khaturistiwa
Pimpinan : Yoseph O. Oendoen
5. Sanggar Gunung Bengkawan
Pimpinan : Letkol P. Djuman
6. Sanggar Flamboyan
Pimpinan : T. Benyamin
7. Sanggar Terabai
Pimpinan : AB. Rayon
8. Sanggar Hengkung Kayaan
Pimpinan : Y. Telajan
9. Sanggar STEMKA
Pimpinan : Yoseph O. Oendoen
Sesuai dengan Arsip SEKBERKESDA, kepengurusan hingga saat ini sudah berganti sebanyak 6 (enam) kali yaitu, 1. Tahun 1986-1989
2. Tahun 1989-1992
3. Tahun 1992-1996
4. Tahun 1996-1998
5. Tahun 1999-2001
6. Tahun 2001-2008
Ketua
: Drs. F. Sintan Panggilingan
Sekretaris
: Yoseph O. Oendoen, S. Sn
Ketua
: Tobias Ranggie, SH
Sekretaris
: Thomas Soeka
Ketua
: Tobias Ranggie, SH
Sekretaris
: Thomas Soeka
Ketua
: Drs. Albert Rufinus, MA
Sekretaris
: Yohanes E. PalaunSoeka
Ketua
: Drs. Albert Rufinus, MA
Sekretaris
: Yohanes E. PalaunSoeka
Ketua
: Drs. Yohanes Bambang
Sekretaris
: Frederick Kuyah, SE
78
Sumber : Arsip SEKBERKESDA. Setelah SEKBERKESDA terbentuk, maka dibuatlah Pergelaran Seni Budaya Dayak yang diadakan di Gedung Arena Remaja pada tanggal 20 Mei 1986, dengan Judul “ Semalam di Pedalaman”. Inilah pertama kali Upacara Gawai Dayak di Kota Pontianak Kalimantan Barat. Pelaksanaan kegiatan hanya satu hari saja sampai tahun 1992. mulai tahun 1993 sampai sekarang upacara Adat Gawai Dayak diadakan selama 4 (empat) hari atau lebih, sehingga lebih dikenal dengan nama “Pekan Gawai Dayak”. Pengambilan tanggal 20 Mei selain bertepatan dengan hari Kebangkitan Nasional, juga berdasarkan surat keputusan (SK) Gubernur Soejiman pada 1986, tentang Pengaturan Gawai (Pesta Padi) masyarakat Dayak di Kalimantan Barat. Dalam pelaksanaan upacara Gawai Dayak, ada beberapa tahun yang tidak bertepatan dengan tanggal 20 Mei, hal ini dikarenakan situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan pelaksanan upacara Adat Gawai Dayak, sehingga pelaksanaannya ditunda beberapa bulan. Di bawah ini disampaikan nama-nama yang pernah menjadi Ketua Panitia Pelaksanaan Upacara Gawai Dayak adalah sebagai berikut : 1. Tahun 1986
Ketua :Drs. F. Sintan Panggilingan (Sanggar Sari Budaya) Sekretaris : Tempat
: Gedung Arena Remaja
2. Tahun 1987
Ketua: Yoseph Odollo Oendoen, S.Sn (Sanggar STEMKA)
3. Tahun 1988
Ketua
: P. Kasimin (Sanggar Amboyo)
Sekretaris : -
79
4. Tahun 1989
Tempat
: Gedung Arena Remaja
Ketua
: Dr. Regina (Sanggar Andesta)
Sekretaris : Makarius Sintong, SH, MH
5. Tahun 1990
Tempat
: Gedung Arena Remaja
Ketua
: Drs. Simplisuis (Sanggar Benkawan)
Sekretaris : Ringkai Yupiter
6. Tahun 1991
Tempat
: Gedung Arena Remaja
Ketua
: Nicodemus R. Toun (Sanggar Polakak Bulou)
Sekretaris : -
7. Tahun 1992
Tempat
: Gedung Arena Remaja
Ketua
: Frederick Kuyah (Sanggar Kenyalang Gayu)
Sekretaris : -
8. Tahun 1993
Tempat
: Rumah Betang, Auditorium UNTAN
Ketua
: Yoseph Odillo Oendoen, S. Sn
Sekretaris : Drs. Simplisius Tempat 9. Tahun 1994
Ketua
: Rumah Betang, Auditorium UNTAN :Silvanus Sungkalang, SH (Sanggar Sari Budaya)
Sekretaris : Drs. Herman Ivo, M.Pd
10. Tahun 1995
Tempat
: Rumah Betang, Auditorium UNTAN
Ketua
: Drs. Herman Ivo, M.Pd (Sanggar Mayang)
Sekretaris : Drs. Yohanes Bambang
11. Tahun 1996
Tempat
: Rumah Betang
Ketua
: Drs. Henry Lizar (Sanggar Putih Singaria)
80
Sekretaris : Tempat 12. Tahun 1997
:Rumah Betang, Arena Remaja, GOR Pangsuma
Ketua : Dr. Aloysius Mering (Sanggar Hengkung Kayaan) Sekretaris : Drs. Eusabius Bunau
13. Tahun 1998
Tempat
: Rumah Betang
Ketua
: Drs. Alkani Amin
Sekretaris : Alexius, S. Sos
14. Tahun 1999
Tempat
: Rumah Betang
Ketua
: Yoseph Odillo Oendoen, S.Sn
Sekretaris : Drs. Yohanes Bambang
15. Tahun 2000
Tempat
: Rumah Betang
Ketua
: Yohanes E. Palaunsoeka (Sanggar Flamboyan)
Sekretaris : Drs. Yohanes Bambang
16. Tahun 2001
Tempat
: Rumah Betang
Ketua
: Drs. Yohanes Bambang (Sanggar Uyan)
Sekretaris : Tomo
17. Tahun 2002
Tempat
: Rumah Betang
Ketua
: Emanuel, S.Pd (Sanggar Terabai)
Sekretaris : Marselina Maryani, S. Hut Tempat 18. Tahun 2003
Ketua
: Rumah Betang :Frederick Kuyah, SE (Sanggar Kenyalang Gayu)
Sekretaris : Tomo Tempat
: Rumah Betang
81
19. Tahun 2004
Ketua
: Sanusi Ringo (Sanggar Bangkule Rajang)
Sekretaris : Leo, SP Tempat 20. Tahun 2005
Ketua
: Rumah Betang :Tarsisius Ifan Sabandap, SH (Sanggar Patamuan)
Sekretaris : Sabinus Melano, SP Tempat 21. Tahun 2006
Ketua
: Rumah Betang :David Dino, S. Sn (Sanggar Sanggalang Burong)
Sekretaris : Drs. Sudarman 22. Tahun 2007
Ketua
:Fredirick Kuyah, SE (Sanggar Kenyalang Gayu)
Sekretaris : Martinus Sudarno, SH
23. Tahun 2008
Tempat
: Rumah Betang
Ketua
: Drs. Paulus (Sanggar Tumenggung Buntor)
Sekretaris : Alexander, SP
24. Tahun 2009
Tempat
: Rumah Betang, GOR Pangsuma
Ketua
: Marselina Maryani, S. Hut
Sekretaris : Sekundus, S.Sos, MM Tempat
: Rumah Betang
4.2.3 Dukungan Masyarakat Budaya Upacara Adat Gawai Dayak sampai saat ini masih bertahan tidak terlepas dari kekuatan atau faktor-faktor luar seperti pendanaan dari pemerintah daerah, kepentingan pengembangan Pariwisata, atau bahkan kepentingan-kepentingan lain. Namun, upacara Adat Gawai Dayak sebagian besar mendapat dukungan
82
masyarakat budaya dalam arti, masyarakat Dayak dengan orientasi kepentingan budaya. Pada saat ini, SEKBERKESDA didukung oleh lebih kurang 23 sanggar yang dapat dilihat sebagai representasi berbagai kelompok sub-Suku Dayak yang ada di Pontianak. Dukungan ini menjadi faktor kekuatan yang luar biasa, yang masih menjadi persoalan bagi SEKBERKESDA adalah bagaimana memanfaatkan kekuatan itu, bagaimana mengembangkan SEKBERKESDA menjadi lembaga yang dapat berbuat optimal dalam mengembangkan dan mendayagunakan potensi yang ada., termasuk mengangkat Upacara Adat Gawai Dayak menjadi peristiwa budaya bertaraf nasional, bahkan internasional. Keberadaan Gawai Dayak tidak lepas dari semangat masyarakat urban asal Dayak. Sampai tahun 1980-an jumlah orang Dayak di kota Pontianak masih sangat sedikit. Meski demikian, beberapa figur telah ada yang aktif di partai, antara lain, PC Palaoen Soeka, Masardi Kaphat, Moses Nyawath, Rahmat Sahudin, dll. Kiprah kelompok politisi yang senantiasa berurusan dengan konsep kelompok dan massa, telah mendorong upaya untuk membangkitkan kebersamaan di antara sesama Suku bangsa Dayak. Seni dan budaya yang hidup dan berkembang di masyarakat Dayak merupakan sumber daya tarik wisata. Salah satu unsur kehidupan masyarakat, seni dan budaya tersebut umumnya belum digali secara maksimal, sehingga penampilannya masih kurang dikenal oleh masyarakat luar bahkan masyarakat Kalimantan (wawancara dengan Bapak Christ Agusta selaku Ketua Sanggar Borneo pada tanggal 20 Mei 2009). Setelah
terbentuknya
Sekretariat
Bersama
Kesenian
Dayak
(SEKBERKESDA), yang merupakan wadah perkumpulan sanggar-sanggar
83
Kesenian
Dayak
Kalimantan
Barat.
Salah
satu
tugasnya
adalah
mengorganisasikan pelaksanaan pergelaran seni budaya Dayak, yang selanjutnya berubah menjadi Gawai Dayak. Keinginan untuk saling memperkuat dan memperkenalkan tradisi Dayak mendorong kehadiran simbol yang dapat menjadi perekat sesama orang Dayak. Gawai Dayak menjadi simbol yang menyadarkan bahwa setiap masyarakat Dayak berasal dari leluhur dan budaya yang sama. Simbol ini telah menjadi media untuk menyegarkan kesadaran akan tradisi masa lalu diantara sesama masyarakat selama kurang lebih dari dua dasa warsa. Jika dihitung dari dilaksanakannya malam Pergelaran Kesenian Dayak pertama kalinya, 30 Juni 1986, upacara Adat Gawai Dayak telah bertahan lebih dari 20 tahun. Perlu diinformasikan juga bahwa sejak 1992, nama Gawai Dayak berubah menjadi pekan Gawai Dayak, yang artinya Gawai Dayak dicanangkan untuk dilaksanakan selama sepekan. Namun, pelaksanaan Gawai Dayak tidak selalu berjalan lancar. Gejolak konflik bernuansa etnis yang terjadi berulang kali di Pontianak berdampak pelaksanaan tidak sesuai dengan jadwal, bahkan sampai ditiadakan. Kemampuannya bertahan lebih dari dua puluh tahun menunjukkan bahwa Gawai sudah menjadi tradisi bagi masyarakat Dayak di Pontianak. Upacara Adat Gawai Dayak telah menjadi media yang dibutuhkan untuk meningkatkan semangat solidaritas sesama masyarakat Dayak dalam lingkaran rutinitas kehidupan Kota sekaligus melestarikan nilai-nilai budaya Dayak (wawancara dengan Bapak Stepanus selaku Panitia Pelaksana pada tanggal 19 Mei 2009).
84
4.2.4 Persatuan Dayak Persatuan dayak merupakan organisasi pertama bagi orang Dayak yang sangat mendarah daging di dalam masyarakat Dayak dan berjasa dalam memajukan dan persatuan Masyarakat Dayak. Selain itu juga sepaya generasi muda mengetahui apa itu Persatuan Dayak (PD) dan juga sebagai bahan dalam pemilihan Bujang-Dara Gawai yang nantinya pemenang akan menjadi Duta masyarakat Dayak, sehingga mereka dapat menjelaskan kepada masyarakat dalam dan luar masyarakat Dayak jika ada yang ingin mengetahui tentang Persatuan Dayak. Persatuan Dayak pertama kali didirikan di Putusibau, Kabupaten Kapuas Hulu oleh (Alm) Frans Connrad Palaunsoeka pada tanggal 5 Oktober 1945 dengan nama Dayak In Action. Ketuanya adalah (Alm) FC. Palaunsoeka sedangkan Sekretaris adalah (Alm) Rafael Sarang. Gagasan didirikannya Persatuan Dayak ini berdasarkan pertemuan guru-guru agama Khatolik seKalimantan Barat di Sanggau tahun 1942. Tujuan didirikannya Dayak In Action ini yaitu, 1. Untuk mempersatukan masyarakat Dayak yang terdiri dari berbagai macam sub Suku 2.Untuk memperjuangkan hak-hak dan martabat masyarakat Dayak dari penjajahan dan pendatang agar bisa sederajat. 3.Menurut keadilan sosial dalam masyarakat. Pada tahun 1946 beberapa daerah (Kabupaten) meminta untuk memindahkan kedudukan Dayak In Action ke Pontianak sebagai ibukota Propinsi Kalimantan Bara. Pada tanggal 1 Januari 1947 pemindahan Dayak In Action dan
85
penggantian nama menjadi Persatuan Dayak diumumkan secara serentak keseluruh Kalimantan Barat. Adapun tujuan dari Persatuan Dayak ini yaitu, 1. Mempertahankan kedaulatan Bangsa dan Negara Indonesia 2. Mewujudkan suatu susunan pemerintahan, baik dipusat maupun di daerah-daerah
yang
dibentuk
berdasarkan
kehendak
rakyat
(demokrasi) 3. Melaksanakan keadilan sosial dalam masyarakat. 4. Mewujudkan perbaikan nasib suku Bangsa Indonesia Dayak yaitu dengan mengangkat derajat penghidupan, mempertinggi pegetahuan, menghapuskan kesengsaraan dan penderitaan. Usaha untuk mencapai maksud : 1. Memperkuat semangat persaudaraan 2. Memperkuat
keinsyafan
dan
keyakinan
atas
tenaga
sendiri,
berpegangan kepada semboyan atas tenaga, dan tergantung nasib 3. Memperkuat keinsyafan dan keyakinan akan artinya dan faedahnya bekerja bergotong royong dan bantu membantu. 4. Menganjurkan cara bekerja yang sistematis dan organisatoris 5. Menjalankan ikhtiar-ikhtiar yang tidak bertentangan dengan Undangundang Peraturan Pemerintah, maupun hukum Adat yang masih berlaku.
86
4.3. Perkembangan Upacara Adat Gawai Dayak Di dalam sub bab ini penulis akan menjelaskan tentang perkembangan upacara Adat Gawai Dayak di Pontianak Kalimantan Barat. 4.3.1 Fungsi Upacara Adat Gawai Dayak Pada dasarnya upacara Adat mempunyai dua fungsi, yaitu sebagai fungsi spiritual dan fungsi sosial. Fungsi spiritual dalam upacara adat adalah fungsi yang mengatur hubungan antar manusia dengan Tuhan dan para leluhurnya., sedangkan fungsi sosial dalam upacara adat adalah mengatur hubungan antara manusia dengan manusia (Rostiyanti,1995: 105). Pelaksanaan upacara Adat Gawai Dayak secara spiritual berkenaan dengan kehidupan masyarakat Dayak yang merupakan masyarakat yang hidup dalam sektor agraris. Upacara Adat Gawai Dayak, sebagai bentuk aktivitas ritual yang berfungsi sebagai nilai keagamaan, perlindungan spiritual, identitas diri, atau sebagai sarana interaksi sosial. Menurut pengamatan penulis, fungsi nilai keagamaan dan perlindungan spiritual terlihat pada saat upacara Adat Gawai Dayak ini berlangsung. Emosi keagamaan yang menyelimuti para pendukung upacara sangat terlihat pada waktu pelaksanaan upacara dimulai. Upacara Adat Gawai Dayak ini dijadikan perlindungan spiritual oleh warga, karena setelah melaksanakan upacara Adat Gawai Dayak para pendukung terbebas dari rasa bersalah, terhutang dan kecemasan. Salah seorang narasumber Ellysius pada tanggal 16 Mei 2009 mengatakan bahwa, “ Ada suatu keresahan dalam masyarakat Dayak bila belum melaksanakan upacara Adat Gawai Dayak, namun setelah melaksanakannya walupun telah melaksanakan dana yang besar tetapi masyarakat tetap tenang.”
87
Selain mempunyai fungsi spiritual, upacara Adat Gawai Dayak juga mempunyai fungsi sosial. Dalam hal ini, upacara Adat Gawai Dayak dijadikan sebagai sarana komunikasi sesama masyarakat Dayak maupun masyarakat di luar Dayak, sehingga terjalin suatu hubungan sosial sesama masyarakat. Pelaksanaan upacara Adat Gawai Dayak dapat dijadikan sebagai pemersatu atau berfungsi sebagai media pergaulan sesama masyarakat. Hal tersebut dapat dilihat pada saat upacara Adat Gawai Dayak hampir seluruh masyarakat Dayak bersatu dan saling bergotong royong, sehingga terjalin suatu bentuk komunikasi dan interaksi dari proses tersebut baik sebelum maupun selama proses pelaksanaan upacara adat berlangsung. Upacara Adat Gawai Dayak pada saat sekarang juga mempunyai fungsi lebih, sehingga dapat menunjang pariwisata. Adapun fungsi sebagai pariwisata disini bertujuan untuk menarik wisatawan yang merupakan salah satu aset berharga untuk menarik devisa atau pendapatan bagi daerah. Upacara Adat Gawai Dayak termasuk kepada aset pariwisata kebudayaan, yakni wisata berbagai macam kesenian, upacara adat, tentu hasil kebudayaan suatu daerah (Rostiyanti, 1995: 127). Upacara Adat Gawai Dayak mempunyai beberapa keunikan yang bisa memiliki daya tarik wisata. Dapat dilihat dari penampilan-penampilan kebudayaan Dayak, misalnya permainan musik, tarian-tarian Dayak yang selalu dimainkan selama pelaksanaan upacara, adanya tradisi tato, tradisi menyumpit dan lain sebagainya. Keunikan lainnya adalah Gawai Dayak ini merupakan tradisi yang tidak terdapat di daerah lain di luar Kalimantan Barat, sehingga
88
menimpulkan rasa penasaran pada wisatawan untuk menyaksikan upacara Adat Gawai secara langsung. Bersamaan dengan fungsinya sebagai ajang wisata, upacara Adat Gawai juga berfungsi untuk mempromosikan daerah Kota Pontianak kepada daerahdaerah lain di luar Kalimantan Barat. Dengan banyaknya wisatawan yang datang, maka wisatawan tersebut dapat melihat dan mengetahi secara langsung potensi yang dimiliki oleh daerah Pontianak Kalimantan Barat dan diharapkan wisatawan tersebut dengan membawa sebagian informasi ke daerah asalnya dan menginformasikan kepada orang-orang lain terhadap potensi daerah Pontianak Kalimantan Barat di daerah asal wisatawan tersebut (wawancara dengan Agatta Maria bagian Humas (Dinas Pariwisata) pada tanggal 18 Mei 2009).
4.3.2. Maksud dan Tujuan Upacara Adat Gawai Dayak Ada beberapa anggapan bahwa suatu kegiatan ritual itu mempuyai suatu sistem nilai tertentu yang bersifat sosial, moral, estetika, dan ekonomik. Untuk memahami nilai-nilai yang terkandung dari pelaksanaan upacara Adat Gawai Dayak memerlukan pengamatan yang cukup intensif dan panjang untuk sampai pada kesimpulan mengapa suatu ritual dilaksanakan dalam suatu komunitas tertentu. Pada hakekatnya kandungan nilai sosial dari suatu ritual tidak dapat diingkari, karena ritual itu dilaksanakan dalam suatu sistem sosial. Suatu upacara adat menjadi magis apabila mempunyai tujuan praktis tertentu yang didasari, dapat dipelajari dan diamalkan oleh masyarakat pendukungnya.
89
Melalui upacara Adat Gawai Dayak, setiap warga masyarakat Dayak yang mengikutinya berharap dapat mendapatkan keselamatan dan kesejahteraan dari Tuhan dan untuk menjaga kemurnian nilai-nilai kearifan budaya Dayak dari pengaruh budaya asing sebagai akibat konsekuensi logis dari arus globalisasi dan modernisasi. Melaksanakan upacara Adat Gawai Dayak, menurut seorang narasumber merupakan suatu kewajiban. Menurutnya orang-orang akan selalu bertanya kepada tokoh masyarakat kapan akan melaksanakan upacara Gawai. Hal ini dikarenakan padi di sawah mereka sudah mulai dipanen. Menurut warga setelah panen padi harus segera dilaksanakan upacara Adat. Maka dilaksanakanlah upacara Adat Gawai Dayak, yang diikuti seluruh masyarakat Dayak dengan maksud untuk mengucapkan rasa syukur kepada Tuhan atau Jubata, sebagai permohonan agar hasil panen berikutnya semangkin baik, masyarakat desa dilindungi dan dihindari dari segala penyakit dan diberikan kesejahteraan lahir dan batin, memperkuat sendi-sendi kehidupan budaya daerah dalam memperkaya budaya nasional, ikut mensukseskan program pemerintah dalam bidang kebudayaan seni dan budaya daerah dan mengaktualisasikan, melestarikan dan mengembangkan seni dan budaya Dayak agar dapat dinikmati oleh semua pihak.
90
4.3.3. Waktu dan Tempat Penyelenggaraan Upacara Adat Gawai Dayak Gambar 1 Rumah Adat Masyarakat Dayak (Rumah Betang)
(Sumber : Dokumentasi Pribadi Januari 2009) Karena dana yang dikeluarkan cukup besar, sehingga penyelenggaraan upacara Adat Gawai Dayak hanya dilaksanakan satu kali dalam setahun. Sejak tahun 1986 upacara Adat Gawai Dayak dilaksanakan pada bulan Mei, karena bertepatan dengan hari Kebangkitan Nasional. Upacara Adat Gawai Dayak biasanya waktu pelaksanaannya yang dipilih ialah sesudah panen, terutama panen yang berhasil. Pada waktu hasil panen, warga masyarakat juga dalam keadaan lapang sehingga akan dengan sepenuh hati membantu pelaksanaan upacara Adat Gawai Dayak yang akan diselenggarakan. Pada waktu sehabis panen, para petani sedang tidak dalam keadaan sibuk mengerjakan ladangnya sehingga seluruh waktunya dapat digunakan untuk membantu penyelenggarakan Gawai. Dahulu upacara Adat Gawai Dayak hanya diselenggarakan sehari saja dalam setahun, namun sejak tahun 1986 Upacara Adat Gawai Dayak selalu
91
mengalami perkembangan, Sejak tahun 1992 upacara Adat Gawai Dayak diselenggarakan selama beberapa hari yaitu empat sampai tujuh hari, sehingga sejak tahun 1992 pelaksanaan upacara Adat Gawai Dayak lebih dikenal dengan Pekan Gawai. Jika dihitung dari persiapannya, kegiatan Gawai itu hampir memakan waktu sampai satu bulan. Upacara intinya dilakukan siang malam hampir tidak mengenal waktu. Pada waktu siang dapat dilakukan dari pagi sampai sore dan malam harinya, upacara pokok berlangsung selama tiga hari tiga malam (wawancara dengan Eka Fransiska selaku Panitia Pelaksana pada tanggal 21 Mei 2009). Tempat penyelenggaraan upacara Adat Gawai Dayak adalah di rumah Adat Dayak atau rumah Betang. Rumah Adat ditambah tarup yang cukup besar agar dapat menampung para undangan dari berbagai daerah. Kemudian dihiasi dengan daun tuak muda (janur enau). Tarup yang dibuat ini dapat beratap tarpal atau beratap daun nipah, sesuai dengan tersedianya bahan-bahan itu. Di samping itu rumah warga masyarakat sekampung juga akan terlibat dalam upacara Adat Gawai. Rumah-rumah warga juga dipergunakan sebagai tempat menampung para tamu. Para tamu yang datang mungkin mempunyai hubungan sanak famili dengan warga kampung dan ada kemungkinan mereka akan datang ke rumah-rumah sanak familinya. Dipintu gerbang akan dipasang Umpang, yaitu sebatang bambu basah yang dipasang melintang sehingga menutup jalan. Umpang ini akan dipotong oleh Ketua Adat sebagai tanda pembukaan upacara Adat Gawai Dayak. Di tempat itu
92
juga disediakan parang yang tajam dan minuman tuak yang dijaga oleh panitia laki-laki dan perempuan.
4.3.4. Proses Pelaksanaan Upacara Adat Gawai Dayak Ritual menunjukan “formalisasi perilaku ketika beradapan dengan objek suci”. Upacara adalah urutan tingkah laku yang mempergunakan simbol atau perlambang yang dimaksudkan untuk memperingati suatu peristiwa, orang, barang tertentu. Tugasnya adalah untuk memperkuat nilai-nilai hidup tertentu yang diutamakan dalam kebudayaan, sedangkan upacara Peribadatan adalah suatu rangkaian gerak dan perkataan-perkataan tertentu yang dilakukan oleh orangorang tertentu pula dengan cara yang mempunyai arti simbolis, biasanya dipakai untuk menambah kekhikmatan sesuatu yang dianggap cukup penting untuk diperlakukan dengan penuh kesugguhan dan kehormatan (Wiriatmaja, 1982: 39). Upacara Adat Gawai Dayak merupakan suatu sistem religi yang ada di Pontianak Kalimantan Barat. Upacara ini adalah ritual yang dilaksanakan oleh masyarakat Dayak yang tujuannya adalah untuk kesejahteraan dan keselamatan untuk seluruh masyarakat di Kalimantan Barat pada umumnya. Berdasarkan pada pendapat Koentjaraningrat, bahwa sistem religi terbagi menjadi dua komponen, maka upacara Adat Gawai Dayak pun dalam Pelaksanaannya juga demikian.
93
4.3.4.1. Persiapan Pelaksanaan Upacara Adat Gawai Dayak Upacara Adat Gawai merupakan karya besar yang melibatkan banyak pihak dengan dana yang cukup besar, sehingga untuk suksesnya pelaksanaan upacara Adat Gawai Dayak pihak-pihak yang terlibat dalam pelaksanaan upacara harus bekerja sama dalam mempersiapkan segala keperluan dalam pelaksanaan upacara tersebut. Dalam melaksanakan upacara Adat Gawai Dayak terdiri dari dua tahapan, yaitu tahap persiapan dan tahap pelaksanaan. Tahap persiapan adalah suatu tahap yang berguna untuk merumuskan dan mengumpulkan alat serta bahan yang akan digunakan dalam pelaksanaan upacara Adat Gawai Dayak. Tahap pertama dalam mempersiapkan upacara Adat Gawai Dayak adalah musyawarah diantara masyarakat Suku Dayak. Langkah-langkah persiapan ini disebut kombong yang meliputi beberapa langkah. Musyawarah yang dilakukan dalam persiapan ini masih bersifat rahasia, karena itu belum disebut suatu langkah. Dalam musyawarah ini setiap Kepala Adat dimintai pendapat dan saran-saran terutama yang berhubungan dengan waktu dan tempat. Pada umumnya masyarakat Dayak lainnya setuju dan medukung terhadap hasil musyarawarah tersebut. Karena itu langkah-langkah atau persiapan-persiapan resmi segera dilaksanakan, yaitu sebagai berikut : 1. Kombong I, yaitu musyawarah besar-besaran yang dihadiri seluruh warga masyarakat Dayak. Dalam kombong ini dijelaskan maksud akan diselenggarakannya upacara Adat Gawai serta waktu dan tempat penyelenggaraannya
94
2.Kombong II, merupakan langkah kedua dari pada persiapan pelaksanaan upacara Adat Gawai ini yang dilakukan lebih kurang 25 hari sebelum pelaksanaan upacara Adat Gawai, dengan kegiatan menumbuk padi (mantuk ase) yang terdiri dari padi biasa dan padi pulut. Waktu yang digunakan cukup lama yaitu, bisa sampai tiga hari atau lebih dengan mengerahkan banyak orang. Semua orang yang ikut menumbuk padi diberi makan dan minum sepuas-puasnya dan diakhir menumbuk semua orang yang bekerja mendapat oleh-oleh berupa beras dan gula merah. Oleh-oleh ini disebut Dung. Pada saat sekarang ini kegiatan menumbuk padi sering diganti dengan penggilingan. 3. Kombong III, merupakan langkah ketiga yang disebut dengan Majejenang Bun, yaitu mengantar Bun ke kampung-kampung lain sebagai undangan. Bun ini adalah sejenis Takro yaitu gundu kecil terbuat dari dautan rotan yang dipuntal-puntal. Tiap butir Bun menggambarkan hari, biasanya Bun yang diantar di kampung-kampung berjumlah sekitar 15-20 buah, yang artinya 15-20 hari lagi. Setiap Kepala Kampung agar menyebarkan beritanya kepada seluruh penduduk kampung. Oleh Kepala Kampung yang menerima Bun itu, setiap hari Bun dibuka satu persatu. Dengan habisnya Bun itu berarti sampailah hari yang dinantinantikan itu. 4. Kombong IV, membuat Pandung di tempat penyelenggaraan upacara Adat Gawai Dayak. Pekerjaan ini dilakukan orang-orang tua yang telah berumur 50 tahun. Pandung dibuat dengan sejenis kayu tertentu yang
95
diambil dari dalam hutan. Setelah selesai Pandung itu dipapasi dan dimantera-manterai agar mahluk yang dikorbankan dapat memberi pahala dan rejeki bagi masyarakat di sekitarnya. 5. Kombong V, disebut Bunbulan, yaitu jamuan-jamuan malam untuk mengangkat kembali sejarah atau cerita Gawai secara puitis, yang dilakukan pada hari kelima sebelum pelaksanaan upacara Adat Gawai dimulai. Bunbulan ini diselenggarakan tiga malam berturut-turut dan dihadiri oleh masyarakat Dayak baik laki-laki maupun perempuan. Penceritanya adalah para pramuwicara yang mahir dan menjiwai isi upacara Adat Gawai Dayak itu. Dalam Bunbulan ini para peserta diberi hidangan-hidangan
yang
memuaskan.
Bersamaan
dengan
penyelenggaraan Bunbunan dilakukan kegiatan Manutung pulut yaitu, memasak lemang dalam ruas-ruas bambu untuk dihidangkan dalam Pelaksanaan upacara Adat Gawai Dayak dan dibagikan kepada seluruh masyarakat yang menghadiri upacara tersebut.
4.3.4.2. Jalannya Upacara Adat Gawai Dayak Setelah melakukan persiapan-persiapan yang memakan waktu yang cukup lama, akhirnya upacara Adat Gawai Dayak pada umumnya dapat dilaksanakan pada waktu yang telah dimusyawarahkan sebelumnya. Adapun jalannya upacara Adat Gawai Dayak menurut tahapan-tahapannya, yaitu sebagai berikut : 1. Bapipis Mantak, dalam prosesi ini semua peralatan upacara telah disiapkan dan disusun sesuai dengan tempatnya masing-masing. Kemudian Ketua
96
Adat membaca doa atau mantera dengan menggunakan bahasa Dayak dengan memegang beras Banyu atau beras yang sudah diberi minyak goreng. Setelah itu Ketua Adat berdiri dengan memegang satu ekor ayam jantan dan dilanjutkan dengan membaca mantera. 2. Nyangahatn Masak, Dalam rangakaian upacara ini, ayam dipotong kemudian dibersihkan
dan direbus yang nantinya disajikan kembali
sebagai persembahan kepada Pantak dan Panyugu. Pada upacara Nyangahatn masak ini, Ketua Adat mengawali dengan membaca doa atau mantera. Setelah itu Ketua Adat menyisir buluh atau bambu menjadi potongan kecil yang nantinya untuk membuat lape atau ancak. Lape merupakan tanda bukti
untuk melindungi kita dalam
melakukan upacara. Isi dalam lape adalah tumpi atau cucur, telur, lemang, Sigah atau daging babi yang sudah dicincang, ayam yang diambil kulitnya dan dipotong kecil-kecil disebut dengan Kobet, tumpi putih. Semua peralatan itu dikumpulkan menjadi satu dan dimasukkan dalam lape atau ancak. Kemudian ancak diikat menggunakan tali yang telah diberi sepasang bulu ayam, sirih kapur dan diikat menjadi satu kemudian digantungkan di atas para (loteng) atau kayangan (sebutan mereka). 3. Bapinta Bapadah Ka Pantak dan Panyugu, Bapadah maksudnya adalah untuk memberitahu kepada Jubata bahwa kita sedang melakukan Gawai atau pesta. Tujuannya adalah untuk meminta keselamatan agar supaya dalam pelaksanaan pesta tersebut berjalan dengan lancar dan diberikan keselamatan dan tidak diganggu oleh roh-roh halus.
97
Setelah kita selesai melakukan upacara Nyangahatn masak kemudian dilakukan upacara persembahan kepada Pantak atau arwah leluhur. Dalam upacara persembahan kepada Pantak dilakukan persembahan dengan sesajian yang diperoleh dari hasil pertanian dan peternakan, seperti sirih, rokok daun, tumpi, tongkat yang berisi pulut, ayam yang sudah masak serta daging babi yang masih mentah dan sudah masak. Upacara persembahan kepada Pantak diawali dengan pembacaan doa atau mantera yang dipimpin oleh Ketua Adat sebagai ucapan rasa syukur dan meminta adanya keseimbangan alam. Setelah itu Ketua Adat menaburkan beras Banyu segala penjuru yang bermakna bahwa manusia mendapatkan bagian yang sama. Setelah itu Ketua Adat membunyikan beliung yang diiringi dengan doa atau mantera. Setelah selesai dilakukan upacara persembahan di Pantak kemudian dilanjutkan dengan upacara persembahan kepada Panyugu. Panyugu merupakan tempat untuk melakukan prosesi Adat, fungsinya adalah sebagai tempat persembahan untuk meminta berkat keselamatan kepada Jubata. Dalam upacara ini diawali dengan membaca doa yang dipimpin oleh Ketua Adat sambil memegang beras Banyu atau beras yang sudah diberi minyak goreng, kemudian beras tersebut ditaburkan ke segala penjuru. 4. Nyapak Umpang, pada hari jadi upacara Adat Gawai Dayak, tamu-tamu yang hadir dari kampung-kampung lain yang telah diundang akan datang. Pada pagi harinya rombongan wanita datang ke tempat upacara untuk mengantar nasi sebagai tanda mendukung kegiatan upacara, rombongan
98
datang dengan menggunakan pakaian Adat warna-warni dan disambut oleh panitia yang telah ditunjuk Sementara di depan pintu gerbang telah dipasang Umpang, melintang menutup pintu gerbang. Di tempat itu disediakan minuman tuak beberapa tempayan, dan disediakan pula mandau tajam untuk Menyapak (memotong) Umpang. Kepala Kampung dan didampingi Ketua Adat menyambut kedatangan tamu. Tamu-tamu yang datang dari daerah lain didampingi Kepala Kampung dan Ketua Adat masing-masing. Pakaian yang para tamu gunakan adalah pakaian Adat warna-warni dominan berwarna merah. Pakaian itu bagi laki-laki adalah kemeja, celana panjang, atau setengah lutut, kalung manik-manik dan tengkulas (ikat kepala) dengan bulu burung enggang atau tidak. Para tamu yang tidak mempunyai pakaian Adat dapat menggunakan kemeja dan celana panjang dengan memakai tengkulas atau tidak. Di pintu gerbang para tamu disambut dengan upacara Nyapak Umpang. Kepala Kampung dan Ketua Adat menyampaikan kata-kata sambutan, dan rombongan para tamu dipersilahkan Menyapak Umpang dengan jalan menyerahkan mandau (parang). Setelah dipapasi, ditaburi beras kuning dan mantera oleh Ketua Adat. Didahului dengan membaca mantera oleh Ketua Adat dan para rombongan tamu melaksanakan tugas Nyapak Umpang dengan segala kesungguhan untuk memperoleh potongan yang paling baik, yaitu potongan pancung tanpa berulang.
99
Bentuk potongan ini, menurut kepercayaan menggambarkan sifat pribadi pemotongnya. Potongan yang sampai memecahkan Umpang menunjukan pribadi yang kurang baik bagi pemotongnya. Pemotongan Umpang ini merupakan
penghormatan bagi rombongan tamu, sehingga
dengan terpotongnya Umpang berarti terbukalah jalan masuk ke tempat penyelenggaraan upacara. Sebelum melanjutkan perjalanan dari pintu gerbang ke tempat upacara Ketua Kampung dan Ketua Adat dari rombangan tamu disuguhi tuak sebagai penghormatan. Pada hari pertama itu tidak ada acara lain selain menyambut tamu-tamu oleh para panitia pelaksana upacara Adat Gawai Dayak yang telah di tunjuk. 5.Timang-timang, yaitu bersyair bersahut-sahutan dalam bahasa setempat yaitu dalam bahasa Dayak, yang diselenggarakan pada malam hari pertama. upacara ini didahului dengan minum bersama dan Pasiap. Pasiap ini dilakukan oleh para wanita-wanita dan gadis-gadis Dayak. Selesai Pasiap dilanjutkan dengan makan bersama, barulah diikuti dengan Timang-timang. Tata upacara malam itu sudah sangat formal. Tamu-tamu diatur tempat duduknya berdasarkan pelapisan sosial. Ketua Adat, Kepala Kampung dan tamu-tamu terhormat duduk di atas gong yang dialasi kain. Sedangkan tamu-tamu yang lain duduk di atas tikar. Setelah pengaturan tempat duduk selesai dimulailah acara Timang-timang saling bersahutsahutan mengadu keahlian bicara. Setelah itu dimulailah acara minumminum, para pemuda mengedarkan minuman tuak dari arah belakang
100
mengelilingi tamu-tamu yang duduk berderatan itu, dimulai dari tamu-tamu yang terhormat. Menurut kepercayaan cara minum-minum demikian ini menurut sistem pesta-pesta yang dilakukan para arwah yang baik-baik. Setelah acara minum-minum dilanjutkan acara makan-makan yang telah dipersiapkan. Setelah itu para wanita-wanita atau gadis-gadis dengan menggunakan pakaian Adat warna-warni telah siap melakukan Pasiap. Para gadis membawa bakul yang berisi kue-kue (jajan) berkeliling mengelilingi tamutamu dari arah belakang. Setelah acara Pasiap selesai, upacara dilanjutkan dengan acara Timang-timang kembali sampai semalaman. Pada hari kedua tamu-tamu wanita turun melihat binatang yang akan dipandung. Pandung itu dikelilingi tiga kali oleh tamu-tamu wanita sambil membaca mantera dan menari-nari mengikuti irama bunyi-bunyian. Setelah dipandang cukup, semua tamutamu wanita dan anak-anak dipersilahkan naik ke rumah Adat dan meninggalkan Pandung karena para tamu pria akan segera melakukan penombakan binatang korban. 6. Memandung, di dalam Pandung binatang korban berdiri tegak karena terbatasnya
ruang
Pandung
sehingga
tidak
memungkinkan
untuk
mendekam. Merubah posisi juga tidak mungkin, sehingga binatang itu menghadap kesatu arah saja. Didampingi Dukun dan Ketua Adat, Tu Yang Ijului siap melaksanakan tugasnya disaksikan oleh seluruh tamu pria. Dengan pembacaan mantera-mantera baik oleh Tu Yang Ijului maupun oleh
101
para Dukun dan Ketua Adat. Tu Yang Ijului mengarahkan ujung tombak pada posisi tanjung binatang korban yang telah diberi tanda lingkaran dan kearah tanda itulah ujung tombak diarahkan. Tombak melancar dan bertumpu pada salah satu kayu dinding Pandung yang tepat dengan posisi jantung korban. Menurut keterangan melancarnya tombak tidak semata-mata atas kekuatan tenaga Tu Yang Ijului tetapi kekuatan mantera-mantera para Dukun dan Ketua Adat. Setelah hewan korban mati dan darahnya mengering, maka daging korban dijadikan untuk tambahan lauk dan kepalanya untuk Dung Tapan, sehingga selesailah tugas Tu Yang Ijului. 7. Nyapak Pandung, upacara selanjutnya adalah Nyapak Pandung yaitu sejenis demonstrasi memotong kayu Pandung yang dilakukan oleh pihak Tu Yang Ijului (orang-orang yang ditunjuk). Syarat yang harus dipenuhi oleh pelaku demonstrasi ini ialah keberanian, kekayaan, kecakapan, ketangkasan dan pengalaman. Semua kelebihan itu diekspresikan dengan kata-kata yang diakhirnya dengan Menyapak Pandung dengan parang. Menurut informasi, jika apa yang diucapkan itu tidak benar maka kayu Pandung yang akan dipotong akan pecah-pecah, sehingga malulah mereka. Sebaliknya jika kayu Pandung yang dipotongnya tidak pecah-pecah terbuktilah apa-apa yang dikatakannya itu. Setelah Nyapak Pandung, acara dilanjutkan dengan pemberian penghormatan kepada tamu-tamu yang berhak yaitu kepada Tu Yang Iului, dan Ketua Adat. Acara ini disebut Mamasi dengan menyerahkan Dung Tapan yaitu Tapan (nyiru) yang berisi
102
Dung (oleh-oleh). Dung itu berupa kepala sapi atau kerbau yang dipandung, daging, satu stel pakaian Adat, manik-manik, kain, handuk, sapu tangan, gelas, mangkuk, dan bermacam-macam kue. Dung Tapan dibungkus dengan kain putih. Hari ketiga upacara Gawai masih berlangsung sampai sore, pada sore harinya tamu-tamu pulang dengan membawa beras 0,5 kg, ketan 0,5, dan ikan. Setelah berakhirnya Gawai diadakan penutupan dengan mengadakan pesta. Penutupan yang dilakukan merupakan pesta yang disebut Ium Babari. Maksudnya untuk menghabisi makanan dan minuman yang tersisa. Maksud lain adalah untuk membubarkan panitia dan sebagai ucapan terima kasih kepada masyarakat yang turut berperan dalam upacara Adat Gawai Dayak. 4.3.4.3 Peralatan Yang di Gunakan dalam Upacara Gambar 2 Peralatan yang disediakan dalam Upacara
(Sumber : Dokumentasi Pribadi 2009)
103
Peralatan yang digunakan dalam pelaksanaan upacara Adat Gawai Dayak ini banyak sekali, sehingga penulis hanya menuliskan peralatan intinya saja. Peralatan inti adalah peralatan yang harus selalu ada dalam setiap pelaksanaan upacara Adat Gawai Dayak. Secara garis besar peralatan yang digunakan dalam upacara Adat Gawai Dayak terbagi dalam empat kategori yaitu, peralatan umum atau peralatan yang paling mendasar dalam pelaksanaan upacara Adat Gawai Dayak. Pertama yang akan penulis bahas adalah peralatan atau bahan yang mendasar dan harus selalu ada dalam setiap pelaksanaan upacara Adat Gawai Dayak. Peralatan atau bahan yang mendasar ini tidak dapat diganti oleh peralatan lain. Peralatan atau bahan yang mendasar dalam pelaksanaan upacara Adat Gawai Dayak tersebut adalah : 1. Padi hasil panen, padi merupakan bahan utama yang harus ada dalam upacara Adat Gawai Dayak. Inti dari tujuan upacara Gawai adalah untuk memuliakan padi, karena padi merupakan sumber makanan utama, sehingga padi dapat dikatakan sumber kehidupan manusia. Upacara Adat Gawai Dayak bertujuan untuk meminta pertolongan kepada Tuhan agar tetap mendapatkan hasil yang melimpah setiap panen padi. 2. Ayam hitam, ayam tersebut akan dipotong pada saat upacara ritual akan dilaksanakan dan darah ayam tersebut disirami disekeliling tempat pelaksanaan upacara. 3. Babi, hewan yang akan dipotong disaat upacara dimulai, sebagai tanda penghomatan kepada Jubata.
104
4. Dung Tapan yaitu sesajian untuk diserahkan kepada arwah nenek moyang yang dipercaya akan membantu dalam pelaksanaan upacara Adat Gawai yang akan dilaksanakan. Dung Tapan berisi, Kepala sapi, daging sapi, satu stel pakaian Adat, manik-manik, handuk, sapu tangan, gelas, mangkuk, dan kue-kue. Dung Tapan ini disusun dalam sebuah nyiru (tapan) dan terbungkus dengan kain putih. 5. Pandung, pandung merupakan kandang ternak yang akan dikorbankan. 6. Tuak, merupakan minuman keras yang terbuat dari nira enau. 7. Bulok, adalah alat minum secara Adat yang terbuat dari bambu atau tanduk kerbau atau sapi. 8. Indulu amas-amas, yaitu sejenis mahkota terbuat dari janur enau dan bulu burung enggang. 9. Umpang, yaitu batang bambu kecil yang melintangi gerbang. 10. Seperangkat minuman terdiri jenis air yaitu tuak, beram, arak, air garam, air cabe, lemak babi, minyak kelapa dan air gula. Namun secara lengkap peralatan yang digunakan dalam pelaksanaan Upacara Adat Gawai Dayak terdiri dari: 1. 1 Buah tempayan 2. 1 Buah pahar sebagai tempat sesajian yang terbuat dari tembaga 3. 1 Buah ceper bulat besar 4. 1 Buah tempurung kelapa sebagai tempat sirih, pinang, kapur dan sebagainya atau sekapur sirih.
105
5. 1 Ekor Jalu atau babi yang sudah dipotong dan dibersihkan kemudian disajikan dalam upacara. 6. 5 Ekor ayam hitam jantan dan betina untuk Nyangahatn di Pantak dan Panyugu. 7. 5 kg beras pulut untuk membuat lemang dan tongkat yang sudah diisi dengan pulut. 8. 10 kg beras biasa atau beras putih yang dibuat untuk keperluan peraga Adat dan untuk perjamuan atau silaturahim. Menurut mereka beras berasal dari padi
yang diberikan oleh Nek Baruang Kulub sebagai
penguasa atau pemberi padi. 9. 3 kg minyak goreng 10. 3 Buah kelapa tua yang sudah dihilangkan batok kelapanya 11. 2 kg gula merah untuk tumpi atau cucur 12. 4 Piring putih 13. 1 Mangkok putih untuk menaruh darah ayam yang sudah didoakan. Darah ayam merupakan persembahan kepada
roh halus karena
menurut keyakinan mereka roh halus ini hanya bisa memakan makanan mentah yang dilambangkan dengan darah 14. 1 Bilah parang 15. Sirih, pinang, kapur, gambir yang telah ditaruh mata uang logam 16. 3 Ikat rokok daun 17. 2 Tembakau tepek atau tembakau jawa 18. 3 kg tepung beras
106
19. 1 Rumpun padi pulut 20. 1 Rumpun padi biasa 21. 10 Ruas tongkat 22. 10 Ruas lemang untuk makan para tamu 23. 40 Keping tampi atau cucur putih 24. 40 Bontokng Sunguh yaitu beras yang dibungkus dengan daun 25. 50 Keping cucur atau tampi merah 26. Pabirisan atau lape yaitu perlengkapan sakral Upacara Adat Gawai Dayak Tujuan dari upacara Adat Gawai adalah sebagai ucapan rasa syukur masyarakat terhadap hasil yang diperoleh sehingga menurut keyakinan mereka apabila upacara ini dilakukan maka tiap tahun akan terjadi peningkatan terhadap hasil panen,
baik dalam pertanian maupun peternakan. Apabila dalam
penyelenggaraan upacara ini terdapat kesalahan dalam arti bahwa peralatan yang digunakan tidak sesuai dengan yang telah diisyaratkan maka akan terjadi musibah maupun terkena penyakit.
4.3.4.4.Pantangan-Pantangan dalam Pelaksanaan Upacara Adat Gawai Dayak Dalam upacara Adat Gawai Dayak hampir tidak ada pantangannya, namun ada beberapa hal yang harus dijaga bersama-sama agar tidak terjadi ketegangan antara berbagai pihak yang terlibat dalam upacara. Hal-hal yang harus dihindari antara lain :
107
1.Tidak boleh marah-marah atau sampai berkelahi. Dalam upacara Adat Gawai Dayak itu, para peserta yang cukup banyak akan mempunyai sifat yang bermacam-macam, yang kasar, yang emosional, yang garang, yang penakut dan lain-lain. Para peserta yang terlibat juga cukup lelah dan letih karena upacara berlangsung relatif lama, sehingga perselisihan mudah terjadi. 2. Pada waktu diselenggarakan Pasiap, tamu tidak boleh menolak makanan yang ditawarkan oleh wanita Pasiap. Penolakan berarti kurang menghargai. Jika terjadi penolakan, wanita yang melakukan Pasiap berhak untuk memaksa para tamu agar makanan yang dibawanya dapat dimakan para tamu. 3.Tidak boleh tidur pada malam Timang-timang, jika tidur pada malam hari itu berarti tidak kesatria, tidak ada harga sama sekali. Dalam acara ini tempatnya saling mengadu kebolehan dengan berbalas syair antara tamu satu dengan tamu yang lain, yang tidur berarti melarikan diri dari gelanggang tidak berani bertanding (wawancara dengan Bapak Enseng selaku Ketua Adat Suku Dayak pada tanggal 21 Januari 2009).
4.3.5 Dampak Pelaksanaan Upacara Adat Gawai Dayak Terhadap Masyarakat di Pontianak Upacara Adat Gawai Dayak berdampak dalam kehidupan sosial masyarakat di Pontianak Kalimantan Barat. Upacara Adat Gawai Dayak ini berguna sebagai ajang bersilahturahmi antar warga masyarakat Dayak, karena
108
pada waktu melaksanakan upacara Adat ini semua warga masyarakat berkumpul dan bertemu. Bertemunya semua warga masyarakat pada pelaksanaan upacara Adat Gawai Dayak, sehingga akan terjalin interaksi dan komunikasi yang dapat mempererat tali persaudaraan diantara warga masyarakat Dayak pada khususnya. Pada saat pelaksanaan upacara Adat Gawai semua masyarakat Dayak di Pontianak Kalimantan Barat dituntut untuk dapat bekerja sama dan saling membantu, sehingga hal ini berdampak pada sikap kegotong-royongan masyarakat. Dalam pelaksanaan upacara Adat Gawai Dayak terdapat simbol-simbol yang mempunyai makna yang berguna sebagai pedoman hidup masyarakat Dayak. Simbol-simbol tersebut berwujud benda, gambar, tindakan dan lain-lain yang menggambarkan buah pikiran tertentu dan berfungsi sebagai penyampaian pesan atau nasehat dari generasi ke generasi berikutnya. Simbol-simbol yang terdapat dalam upacara Adat Gawai Dayak yaitu berupa, peralatan maupun bahan yang digunakan pada pelaksanaan upacara Adat tersebut. Isi makna yang tersirat dalam simbol-simbol pada pelaksanaan upacara Adat Gawai Dayak lebih banyak berisi tentang nasehat-nasehat dalam menjalani kehidupan sebagai warga masyarakat. Untuk lebih jelas penulis akan memaparkan makna-makna yang terkandung dalam simbol-simbol pada pelaksanaan upacara Adat Gawai Dayak sebagai berikut, 1. Ayam, mengandung makna berupa nasehat bagi umat manusia yaitu, semua orang harus menyerahkan diri kepada Tuhan atau Jubata agar diberi keselamatan dan kesejahteraan, sehingga semua orang harus tulus untuk melakukan segala hal.
109
2. Kelapa, simbol bahwa setiap masyarakat itu harus berguna dan bermanfaat, baik bagi dirinya sendiri, keluarga, masyarakat, agama, maupun bangsa. Manusia haruslah bermanfaat layaknya buah kelapa, dimana semua bagian bisa dimanfaatkan oleh manusia, mulai dari sabut, batok, hingga isi dan airnya. 3. Kemenyan, mempunyai wangi yang khas yang dihasilkan dari pembakarannya. Kemenyan dianggap sebagai media penyampaian pesan, dalam hal ini manusia mencoba untuk mengundang arwah atau roh para leluhur untuk dapat menghadiri upacara yang akan mereka laksanakan. Hal tersebut mempunyai tujuan untuk menghormati para leluhur dengan cara mengundangnya untuk turut serta, karena dengan jasa dari para leluhurlah masyarakat Dayak mendapatkan kehidupan yang lebih baik. 4. Air, sebagai simbol dari kebersihan dan kehidupan serta berguna untuk membersihkan diri, sehingga dapat mendekatkan diri dari Sang Pencipta. Keberadaan air pun sangat dihargai sebagai salah satu penyangga kehidupan, dimana mnusia takkan hidup tanpa air dan air berguna untuk mengairi lahan pertanian mereka. 5. Garam, mempunyai arti bahwa manusia harus bisa merasakan lahir dan batin, dengan kata lain bahwa manusia itu harus bisa menempatkan diri dan merasakan penderitaan orang lain. Maka manusia diharapkan untuk bisa saling membantu dan saling menolong. 6. Dung Tapan, melambangkan suatu persembahan untuk menghormati orang yang jasanya akan sangat diperlukan, juga melambangkan suatu ikatan dalam
110
penyelesaian tugas mulia atau pernyataan niat secara eksplisit dan masyarakat menuntut pelaksanaannya. 7. Mandung, melambangkan pengorbanan binatang dengan jalan menombak tepat pada jantungnya dan darah yang keluar dari tombak itu melambangkan sampainya pengorbanan ini pada leluhur yang mereka maksud. 8. Mapas Pandung, berdoa agar binatang yang akan dipandung dapat memberi keberkatan dan rejeki bagi masyarakat. Doa disampaikan kepada para dewa dan para leluhur yang menyaksikan dan diharapkan doa dibalas sesuai dengan apa yang diinginkan. Setiap makna yang terkandung dalam simbol-simbol pada upacara Adat Gawai Dayak bertujuan mengajarkan manusia untuk hidup berdampingan dalam masyarakat tanpa adanya masalah yang timbul dalam masyarakat. Dengan mendalami dan mengetahui setiap makna yang terkandung di dalam simbolsimbol yang ada dalam upacara Adat Gawai Dayak, maka setiap masyarakat Dayak akan mempunyai rasa sosial yang tinggi. Itulah dampak sosial dari pelaksanaan upacara Adat Gawai Dayak di Pontianak Kalimantan Barat. Sebelum upacara Adat Gawai Dayak ini dimasukkan dalam agenda rutin Pariwisata Kota Pontianak upacara Adat Gawai Dayak ini hanya dilakukan disetiap daerah di Kalimantan Barat yang bersifat sangat sakral dan hanya dihadiri oleh masyarakat Dayak saja, namun setelah upacara Adat Gawai Dayak ini masuk dalam agenda Pariwisata pelaksanaan upacara Adat ini dipusatkan di Kota Pontianak yang merupakan Propinsi Kalimantan Barat dan boleh disaksikan siapa saja di luar masyarakat Dayak. Masuknya upacara Adat Gawai Dayak ini dalam
111
agenda rutin Pariwisata Kota Pontianak, maka upacara Adat Dayak ini berdampak pula dalam kehidupan ekonomi masyarakat setempat. Dalam pelaksanaan upacara Adat Dayak ini yang sekarang dilakukan selama sepekan, masyarakat setempat banyak yang berjualan barang-barang yang berciri khas Dayak misalnya, baju Adat Dayak, mandau dan prisai yang merupakan senjata tajam masyarakat Dayak, dan pernak-pernik yang terbuat dari manik-manik yang biasa digunakan masyarakat Dayak dalam kehidupan sehari-hari. Mereka berjualan dikawasan tempat pelaksanaan upacara Adat, sehingga siapa saja yang tertarik terhadap barang dagangan mereka dapat dengan mudah langsung membelinya (wawancara kepada Stepanus selaku Panitia upacara Adat tangal 19 Mei 2009).
4.4. Upacara Adat Gawai Dayak Berperan sebagai suatu Pelestarian Nilainilai Budaya Dayak Sejak upacara Adat Gawai Dayak menjadi agenda tetap Dinas Pariwisata Kota Pontianak Kalimantan Barat, upacara ini menjadi kegiatan rutin yang dilakukan masyarakat Dayak di Kalimantan Barat, sehingga upacara adat ini dijadikan suatu wadah pelestarian nilai-nilai Budaya masyarakat Dayak. Keberadaan upacara Adat Gawai Dayak harus dipertahankan karena menjadi sarana pendidikan dan pewarisan nilai-nilai budaya bagi generasi muda Dayak dan media berkomunikasi dengan pihak lainnya. Dalam masyarakat yang pluralistik, pemberdayaan dan pelestarian setiap unsur budaya menjadi hal penting mengingat setiap budaya atau tradisi memberikan pegangan bagi pemilik budaya dalam menata kehidupannya, baik dalam berhubungan dengan sesama,
112
lingkungan dan Sang Pencipta, serta memberikan identitas jelas agar dapat berkomunikasi (dialog) secara sejajar dengan pihak lainnya Hilangnya
identitas
dapat
menyebabkan
hilangnya
pengakuan,
kepincangan komunikasi, kebijakan yang diskriminatif, dan berbagai bentuk kecemburuan sosial yang dapat menyebabkan keretakan, bahkan konflik dalam pluralitas. Dalam perspektif ini penegasan identitas penting bagi memupuk kesadaran akan kemajemukan, sedangkan bagi pemilik budaya, penegasan identitas penting sebab sebagaimana diungkap Kusni (1994:50), apabila keadaan tanpa kreativitas berlangsung terus, kebudayaan Dayak akan didominasi sehingga yang tertinggal hanyalah darah yang mengalir secara alami. Namun, secara kebudayaan hal itu sudah menjadi tidak jelas sehingga pengingkaran diri sebagai orang Dayak gampang terjadi.
4.4.1. Pandangan Masyarakat terhadap Upacara Adat Gawai Dayak Bagi masyarakat Dayak Upacara Adat Gawai Dayak adalah peristiwa yang mempunyai makna tersendiri, khususnya bagi mereka yang mendukung terhadap pelaksanaan upacara adat ini. Hal ini karena upacara Adat Gawai Dayak merupakan suatu kegiatan ritual yang bersifat rohani karena berhubungan dengan alam supranatural. Dalam batas tertentu upacara Adat Gawai Dayak merupakan suatu kegiatan yang bersifat kerohanian yang menjadi tradisi masyarakat yang diwujudkan dalam bentuk aktivitas upacara Adat Gawai Dayak yang dibarengi tarian ritual.
113
Upacara Adat Gawai Dayak bagi masyarakat Dayak di Kalimantan Barat adalah wujud dari keyakinan tentang adanya hubungan antar hubungan dunia, yaitu tempat dimana mereka hidup (mikrokosmos) dengan alam kehidupan yang lebih luas lagi yang di dalamnya ada suatu yang “paling tinggi” yang menjadi penyebab dari segala kehidupan yang ada yaitu Tuhan dan di samping itu juga adanya mahluk-mahluk halus yang menempati alam gaib dan alam itu ada di sekitar tempat manusia hidup. Bagi masyarakat Dayak, upacara Adat Gawai Dayak adalah tradisi warisan leluhur mereka yang lebih dahulu melaksanakan dan mereka merasa berkewajiban untuk ikut menjalankannya sampai sekarang. Upacara Gawai Dayak pada dasarnya dilaksanakan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan yang telah menciptakan dan memberikan kehidupan kepada manusia. Menurut narasumber Mariyus Anyan pada tanggal 20 Mei 2009 selaku masyarakat setempat, dia mengatakan upacara Adat Gawai Dayak harus terus dilaksanakan dan dia sangat setuju terhadap pelaksanaan upacara Adat Gawai Dayak ini. Menurut narasumber bahwa, “ Sangat setuju dengan pelaksanaan upacara Adat Gawai Dayak, karena banyak berkah dan manfaat yang dirasakan. Selain hasil panen padi yang meningkat dan dapat pula dijadikan sebagai wadah pelestarian nilai-nilai budaya kepada generasi muda”. Tetapi dari pendapat Mariyus tersebut, terdapat pihak lain atau narasumber lain yang tidak mendukung atau bersikap ragu-ragu terhadap pelaksanaan upacara Adat tersebut. Seperti yang dikemukakan Marcelina pada tanggal 20 Mei 2009 selaku masyarakat setempat bahwa,
114
“ Saya kurang setuju terhadap pelaksanaan upacara Adat Gawai Dayak, karena menurut saya dalam pelaksanaan upacara Adat Gawai Dayak tersebut banyak terdapat masyarakat khususnya para pumuda yang mabuk dan upacara Adat Gawai Dayak merupakan pemborosan karena memerlukan biaya yang besar”. Berdasarkan dari pendapat kedua narasumber tersebut, dapat disimpulkan bahwa setiap individu-individu yang lain mempunyai pandangan yang berbeda terhadap upacara Adat Gawai Dayak. Menurut analisa penulis upacara Adat Gawai Dayak ini masih merupakan suatu hal yang sangat penting, karena dalam pandangan masyarakat Dayak upacara Adat Gawai Dayak dapat berfungsi sebagai suatu sarana untuk berinteraksi, sehingga setiap masyarakat mendapat perlindungan dari Tuhan. Seperti dalam perspektif fungsional yang dipahami bahwa berbagai unsur kebudayaan berfungsi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat pendukungnya. Karena itu secara konseptual setiap unsur kebudayaan berintegrasi satu sama lainnya dan setiap unsur memberi kontribusi bagi keserasian dan keberlangsungan kerja secara keseluruhan. Sebagaimana yang dikembangkan dalam konsep fungsional bahwa keterikatan
yang sangat erat diantara unsur kebudayaan akan mempunyai
konsekuensi logis, sehingga jika adanya suatu perubahan pada suatu unsur akan menyebabkan suatu perubahan pada unsur lainnya. Upaya untuk selalu mempertahankan
adanya
keseimbangan
para
fungsionalis
mempunyai
kecenderungan menggunakan nilai-nilai yang diyakini bersama dan dasar kebutuhan bersama sebagai konsep tersendiri. Fungsi upacara Adat Gawai Dayak itu sendiri bagi yang mendukung, dianggap masih mempunyai fungsi yang sangat penting yaitu, sebagai sarana
115
interaksi sosial, antara lain sebagai sarana untuk memohon keselamatan dan kesejahteraan bersama dan memohon agar hasil panen padi berikutnya semangkin baik. Berbeda dengan yang mendukung, bagi mereka yang tidak mendukung upacara Adat Gawai Dayak fungsi dari upacara Adat itu tidak ada sama sekali hanya sebagai sarana untuk hiburan atau hura-hura saja, sehingga tidak ada manfaat yang diambil dari upacara Adat Gawai Dayak tersebut. Adanya perbedaan pendapat diantara mereka, menurut pendapat penulis tidak akan membuat ikatan solidaritas diantara mereka menjadi terpecah. Hal ini dapat dilihat pada saat pelaksanaan upacara Adat Gawai Dayak berlangsung, mereka yang tidak mendukung tetap menghargai pelaksanaan upacara tersebut. Bahkan ada yag turut hadir dan menyaksikan upacara itu berlangsung. Untuk sebagian masyarakat upacara ini perlu dilestarikan, tetapi sebagian dari yang lain merasa bahwa itu sudah ketinggalan jaman dan tidak pelu diadakan lagi. Dengan adanya perbedaan pendapat tersebut SEKBERKESDA mengubah sedikit pelaksanaan upacara Adat Gawai Dayak itu dengan cara yaitu, Pertama, Pelaksanaan upacara Adat Gawai Dayak dilaksanakan selama empat sampai tujuh hari, sehingga sekarang lebih dikenal pekan Gawai Dayak. Dalam pembukaan upacara dilakukan oleh pemerintah setempat misalnya Gubernur, yang dahulu pembukaan dilakukan oleh Ketua Adat Masyarakat Dayak setempat. Kedua, dalam pelaksanaan upacara boleh dihadiri masyarakat di luar Suku Dayak karena sekarang pelaksanaan Gawai Dayak merupakan agenda rutin pariwisata Kota Pontianak. Ketiga, dalam pelaksanaan upacara Gawai dibarengi
116
dengan pertunjukan-pertunjukan seni dan budaya Dayak, sehingga sekarang upacara Adat Gawai Dayak lebih dikenal sebagai pesta Adat. Dilihat dari aspek kebudayaan, agama yang di dalamnya menyangkut kepercayaan merupakan culture universal artinya agama yang terdapat disetiap daerah kebudayaan dimana saja, masyarakat dan kebudayaan itu akan berinteraksi. Salah satu prinsip teori fungsional antara lain menyatakan bahwa segala sesuatu yang tidak berfungsi akan lenyap dengan sendirinya dan pola sosial yang tidak berfungsi akan hilang. Adanya perubahan dalam waktu pelaksanaan upacara Adat Gawai Dayak, menurut pengamatan penulis walaupun upacara Adat Gawai mengalami perubahan atau perkembangan, perubahan ini merupakan hasil kesepakatan dari seluruh warga masyarakat Dayak yang pendapatnaya diwakili oleh Ketua Adat mereka masing-masing dan pemerintah setempat. Adanya perubahan dalam pelaksanaan upacara Adat Gawai Dayak ini diharapkan kesatuan sosial diantara mereka dapat lebih baik dan dapat mengurangi konflik yang telah ada. Karena dalam satu kesatuan sosial itu terdiri dari individu-individu yang mempunyai kepentingan dan kepribadian yang berbeda-beda untuk terciptanya hubungan yang lebih baik, sehingga mereka harus mengesampingkan perbedaan-perbedaan itu.
117
4.4.2. Keterlibatan Masyarakat Dalam Upacara Adat Gawai Dayak Pengalaman agama dan ide tentang hal-hal yang suci adalah produk kehidupan kolektif. Kepercayaan dan rutinitas agama dapat memperkuat ikatan sosial dimana kehidupan kolektif itu bersandar. Dengan kata lain, hubungan antara agama dan masyarakat memperlihatkan saling ketergantungan yang sangat erat. Setiap lingkungan memiliki ciri-ciri yang berbeda, demikian pula dengan kehidupan di dalamnya. Penyesuaian dalam kehidupan pun akan sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya. Kita sering mendengar bahwa manusia dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya, seperti kemampuannya beradaptasi sosial yang biasanya dikaitkan dengan standar nilai yang dimiliki oleh seseorang untuk menyesuaikan dirinya dengan lingkungan yang diinginkannya. Hal ini dikarenakan manusia tidak hidup sendiri di dunia, karena dikelilingi oleh komunitasnya, masyarakatnya dan alam semesta sekitarnya. Upacara Adat Gawai Dayak adalah suatu sarana untuk penyesuaian diri dengan lingkungan sekitar mereka, baik itu lingkungan sosial maupun lingkungan alam tempat mereka hidup. Dalam upacara Adat Gawai Dayak semua warga masyarakat yang mengikuti berkumpul dan melakukan interaksi, hal itu tentu berguna untuk mengakrapkan kembali hubungan antara warga yang bertempat tinggalnya jauh dan jarang bertemu. Selain itu emosi keagamaan yang melingkupi suasana saat pelaksanaan upacara Adat Gawai Dayak akan membuat mereka merasa ada dalam satu ikatan yang sakral.
118
Keterlibatan masyarakat dalam pelaksanaan upacara Adat Gawai Dayak sangat menentukan sukses tidaknya upacara ini. Karena dengan adanya keterlibatan masyarakat dalam pelaksanaan upacara Adat Gawai Dayak memberikan satu bukti bahwa upacara ini masih dipandang sangat penting dalam kehidupan religi mereka dan sebagai bukti bahwa masyarakat Dayak yang bertempat tinggal di Kalimantan Barat masih menghormati dan melaksanakan warisan leluhur nenek moyang mereka. Di dalam segala aspek kehidupannya manusia pada hakekatnya tergantung pada sesamannya. Oleh karena itu mereka harus berusaha untuk sedapat mungkin memelihara hubungan baik dengan sesamanya terdorong oleh Jiwa sama rata sama rasa. Para pemeluk suatu religi atau agama memang menjalankan kewajibannya untuk melakukan upacara Adat dengan sungguh-sungguh, tetapi tidak sedikit dari mereka yang melakukan setengah-setengah saja. Motivasi mereka tidak terutama berbakti kepada Jubata atau Tuhannya, atau untuk mengalami
kepuasan
keagamaan
secara pribadi,
tetapi
karena
mereka
menganggap bahwa melakukan upacara adat adalah suatu kewajiban sosial. Suasana dalam pelaksanaan upacara Adat Gawai Dayak antara dahulu dan sekarang ada perbedaan tetapi pada dasarnya dalam struktur dasar yang mendasarinya tetap sama, dan selalu dihadiri oleh masyarakat, ada hidangan yang lengkap sebagai sesajen dan kata sambutan sebelum upacara dimulai dan ada pula pembacaan mantra oleh Ketua Adat dalam bahasa Dayak. Struktur upacara semuanya dilaksanakan dengan meriah dan sebenarnya ada sesuatu yang penting sedang terjadi. Sesuatu itu adalah makna budaya yang terkandung dalam upacara
119
Adat Gawai Dayak oleh masyarakat Dayak di Kalimantan masih dianut dan dipercaya. Nilai dan makna yang melatar belakangi adanya upacara Adat Gawai Dayak adalah upaya masyarakat Dayak untuk tetap menjaga hubungan baik antara mereka dengan lingkungannya, alam maupun lingkungan sosialnya. Upaya ini dilakukan dengan rutin setiap tahun sekali dan ini diharapkan mampu melestarikan nilai-nilai budaya masyarakat Dayak di Pontianak Kalimantan Barat. Upacara Adat dengan struktur yang demikian dapat disebut dengan religi, karena dalam kehidupan religi mereka menyadarkan diri mereka kepada kekuatan-kekuatan yang ada di luar jangkauan panca indera mereka. Menurut Frazer dalam Koentjraningrat (1980: 54), religi timbul karena manusia tidak mempercayai mahluk gaib yang tidak dapat memenuhi tantangan terhadap alam manusia dan kebutuhan manusia, maka lambat laun mulailah mereka percaya pada alam yang dikuasai oleh mahluk-mahluk halus yang dirasakan lebih berkuasa dari mahluk itu. Kepercayaan terhadap adanya mahluk-mahluk gaib itu menyebabkan masyarakat Dayak harus menjaga keselarasan antara diri mereka dengan alam yang lebih luas. Untuk menjaga keselarasan hubungan itu maka dalam masyarakat Dayak mengadakan upacara Adat Gawai Dayak. Upacara Adat Gawai Dayak ini merupakan unsur religi yang ada di dalam kehidupan masayarakat Dayak dan merupakan salah satu unsur-unsur universal yang ada dalam kebudayaan dan merupakan unsur yang pasti bisa ditemukan disemua kebudayaan di dunia. Koentjaraningrat mengatakan agar hubungan sosial tetap terjaga dengan baik harus selalu berusaha untuk sedapat mungkin bersifat konform dan berbuat sama dengan sesamanya dalam komunitas sehingga berdiri
120
sama tinggi duduk sama rendah. Oleh karena itu perubahan yang dilakukan pada pelaksanaan upacara Gawai Dayak merupakan suatu konform agar terjadi suatu keseimbangan dalam masyarakat. Bila dikaitkan dengan sistem religi, tradisi upacara Adat Gawai Dayak ini merupakan acara ritual yang masih berfungsi bagi masyarakat
pendukungnya,
oleh
karena
itu
masyarakat
Dayak
masih
mempertahankan dan melestarikannya sebagai suatu kebudayaan.
4.4.3. Upacara Adat Gawai Dayak sebagai Sarana Hubungan Antar Warga Masyarakat Menurut Durkheim emosi keagamaan merupakan unsur elementer yang didasarkan oleh rasa sentimen masyarakat. Begitu juga dengan pelaksanaan upacara Adat Gawai Dayak, rasa sentimen masyarakat sangat diperlukan berupa kesadaran akan kepercayaan yang mereka anut, kebudayaan yang mereka miliki, dan akan ada rasa kebersamaannya. Karena untuk terlaksananya upacara Adat Gawai Dayak ini diperlukan dukungan dari masyarakat yang memiliki kesadaran serta tanggung jawab untuk melestarikan kebudayaan dan kepercayaan yang mereka miliki. Upacara Adat Gawai Dayak ini tidak akan terwujud tanpa adanya dukungan dari masyarakat. Hal ini dikarenakan upacara Adat Gawai Dayak ini memerlukan biaya yang besar dan membutuhkan banyak orang dalam persiapannya. Upacara adat ini merupakan salah satu cara untuk dapat menimbulkan adanya rasa kebersamaan dalam masyarakat yaitu, untuk dapat mempererat kesatuan sosial, yang mana unsur emosi keagamaan dan rasa sentimen
121
kemasyarakatan itu diperlukan. Hal ini dikarenakan emosi keagamaan sebagai unsur elementer dalam kehidupan keagamaan manusia bersumber pada kesadaran kolektif para warga masyarakat, yang dapat ditingkatkan lagi oleh emosi keagamaan yang ditimbulkan dalam pelaksanaan upacara tersebut. Pelaksanaan upacara Adat Gawai Dayak ini dapat menumbuhkan rasa kebersamaan diantara mereka yang ikut terlibat dalam pelaksanaan upacara adat tersebut. Sentiment disini, yaitu adanya perasaan yang sama akan kepercayaan, dan tujuan dari leluhur mereka, sehingga persaudaraan diantara mereka tetap terjaga. Bila dikaitkan dengan sistem religi, tradisi upacara Adat Gawai ini merupakan acara ritual yang berfungsi bagi masyarakat pendukungnya untuk memenuhi keinginan supaya terlindung dari malapetaka dan medapatkan keselamatan. Upacara Adat Gawai Dayak ini merupakan rangkaian berbagai aktivitas yang terdiri dari unsur-unsur upacara yaitu, berdoa, sesajen, menari, dan berkorban. Unsur-unsur ini akan selalu ada dalam berbagai kegiatan upacara adat. Unsur upacara adat yang pertama adalah berdoa, yang dilakukan oleh Ketua Adat dari awal upacara sampai upacara selesai dilaksanakan. Tokoh masyarakat bertugas mendampingi Ketua Adat dalam melaksanakan tugasnya dalam berdoa tersebut. Ketua Adat mewakili seluruh masyarakat meminta keselamatan dan kesejahteraan lahir dan batin, juga mendoakan para arwah leluhur mereka yang turut menyaksikan dan mengikuti upacara itu. Sesajen adalah unsur kedua dalam upacara ini, sesajen dilakukan pada saat akan melakukan pemotongan hewan yang dikorbankan dan pada saat upacara ritual akan dilaksanakan. Simbol-simbol yang terkandung dalam makanan untuk sesajen itu
122
bermakna untuk hidup lebih baik. Baik bagi hubungan sesama manusia maupun baik dengan Sang Pencipta. Unsur yang ketiga adalah menari, yang dilakukan oleh pemuda dan pemudi yang tergabung dalam sanggar kesenian Dayak. Dalam pelaksanaan upacara Adat Gawai ini biasanya menari dilakukan disaat upacara akan segera dimulai dan disaat upacara penutupan. Tarian-tarian yang mereka bawakan adalah tarian-tarian adat dan tarian-tarian yang dibawakan para pemuda dan pemudi itu bertujuan sebagai ungkapan rasa syukur atas kenikmatan dan keselamatan yang telah diberikan kepada mereka. Unsur yang terakhir adalah berkorban, hewan yang dikorbankan kepalanya ditanam diempat penjuru mata angin sebagai simbol sebagai penolak bala. Penolak bala ini antara lain untuk menolak bala pada tanaman yang mereka tanam, kesehatan warga dan hal lainnya yang dianggap akan menyengsarakan warga masyarakat. Dalam upacara terdapat simbol-simbol yang berisi norma-norma atau aturan-aturan yang telah diwariskan secara turuntemurun dan harus dijalankan oleh setiap anggota masyarakat, karena akan bermanfaat bagi kehidupan manusia untuk hidup bermasyarakat.
4.4.4 Upaya Pelestarian Upacara Adat Gawai Dayak Upacara Adat Gawai Dayak, adalah suatu tradisi masyarakat Dayak sebagai ungkapan rasa syukur terhadap hasil panen dan keselamatan yang telah diberikan. Upacara Adat Gawai Dayak ini telah dilakukan masyarakat Dayak secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dalam pelaksanaan upacara Adat Gawai Dayak, banyak sekali nilai-nilai yang berguna
123
sebagai wadah untuk sosialisasi antar masyarakat. Karena dalam upacara adat tersebut rasa keterlibatan bersama dari setiap anggota masyarakat pendukungnya mendorong mereka untuk berperan serta hingga mempertebal rasa solidaritas yang tinggi. Upacara Adat juga termasuk ke dalam kebudayaan daerah, sedangkan kebudayaan daerah merupakan cikal bakal dari kebudayaan bangsa. Untuk itu, perlu ada upaya pelestarian untuk menjaga keberadaan suatu kebudayaan daerah termasuk di dalamnya upacara adat. Upacara Adat Gawai Dayak di Pontianak Kalimantan Barat merupakan suatu kebudayaan daerah, yang mencerminkan pola kehidupan dan norma-norma masyarakat Dayak. Upaya untuk melestarikan upacara Adat Gawai Dayak sudah dilakukan oleh masyarakat Dayak sendiri maupun pemerintah. Pelestarian tersebut dilakukan dengan cara memperkenalkan upacara Adat Gawai Dayak ke daerah lain dan dengan memperkenalkan kepada anak-anak mereka sejak kecil. Menurut narasumer yang bernama Stepanus pada tanggal 19 Mei 2009, selaku Panitia Pelaksanaan upacara Adat Gawai Dayak, upaya untuk memperkenalkan upacara Adat ini ke daerah lain, pertama kali dilakukan pada tahun 1986 yaitu dengan dikeluarkannya surat keterangan (SK) Gubernur yang berisi tentang upacara Adat Gawai Dayak di Pontianak Kalimantan Barat. Sejak tahun 1986 pelaksanaan upacara adat ini terus mengalami perkembangan sampai akhirnya upacara Adat Gawai ini dikenal masyarakat di luar masyarakat Dayak. Selain dengan menggunakan cara tersebut, dalam pelaksanaan upacara Adat Gawai Dayak ini dibarengi dengan pertunjukan-pertunjukan kesenian Dayak dan
124
pameran-pameran kerajian khas Dayak. Sehingga dalam pelaksanaan upacara adat ini semakin menarik perhatian para pengunjung. Sedangkan upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk melestarikan upacara Adat Gawai Dayak, adalah dengan cara memasukan pelaksanaan upacara Adat Gawai Dayak ini ke dalam agenda rutin Dinas Pariwisata Kota Pontianak Kalimantan Barat. Selain itu pemerintah juga ikut membantu dalam bentuk materi pada saat pelaksanaan upacara Adat Gawai Dayak dan memberikan fasilitas dalam pelaksanaannya yang bertujuan untuk memperkenalkannya kepada masyarakat di luar suku Dayak dan sampai ke daerah lain. Setiap tahun upaya untuk melestarikan upacara Adat Gawai Dayak ini terus dilakukan dan ditingkatkan. Misalnya dahulu upacara Adat Gawai Dayak ini hanya dilakukan dalam waktu sehari dalam setahun, namun sejak tahun 1986 sampai Mei 2009 upacara Adat Gawai Dayak ini terus mengalami perkembangan, misalnya sejak tahun 1992 Pelaksanaannya dilakukan selama empat sampai tujuh hari sehingga upacara ini lebih dikenal dengan sebutan pekan Gawai Dayak. Selain itu pelaksanaan upacara Gawai Dayak ini juga boleh dihadiri oleh seluruh masyarakat yang berkeinginan untuk menyaksikan langsung upacara Adat tersebut, sehingga banyak orang yang dapat menyaksikan pelaksanaan upacara Adat Gawai Dayak ini di luar masyarakat Dayak, dan mereka dapat mengenal upacara Adat Gawai Dayak ini sebagai salah satu kebudayaan Dayak yang sampai saat ini masih dilakukan dan dilestarikan masyarakat Dayak yang bertujuan untuk pelestarian nilai-nilai budaya Dayak (hasil wawancara dengan Bapak Mariyus Anyan pada tanggal 20 Mei 2009).