BAB IV METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian kausal komparatif (causal-comparative research), yaitu menyelidiki kemungkinan hubungan sebabakibat berdasarkan atas pengamatan terhadap akibat yang ada dengan mencari kembali faktor yang mungkin menjadi penyebab dimasa lalu melalui data tertentu (Suryabrata, 2006). Penelitian kausal-komparatif bersifat ex post facto, artinya data dikumpulkan setelah semua kejadian yang dipersoalkan bersangsung. Penelitian dilakukan dengan mengambil satu atau lebih akibat sebagai dependent variable dan menguji data itu dengan menelusuri kembali ke masa lampau untuk mencari sebab-sebab, saling hubungan dan maknanya. Penelitian yang berjudul "Efektivitas Kemitraan Usaha Ternak Sapi Potong terhadap Pendapatan Petani-peternak", variabel dependent atau terikatnya adalah efektivitas kemitraan (Y1) dan pendapatan petani-peternak (Y2). Variabel Y1 dan Y2 merupakan akibat yang terjadi saat ini yang dipengaruhi oleh sejumlah faktor lain yang menjadi penyebabnya. Dalam penelitian ini, hal yang diduga menjadi faktor-faktor yang mempengaruhi Y1 dan Y2 adalah karakteristik petani-peternak (X1), pendampingan YMTM (X2) dan teknik sapta usaha peternakan sapi potong (X3) sebagai variabel bebasnya. Hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat ditelusuri kembali ke masa lalu dengan mewawancarai responden yang terlibat dalam kemitraan usaha ternak sapi potong di Kabupaten TTU.
1
2
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2.1 Lokasi penelitian Penelitian ini dilakukan di lokasi program YMTM di Kabupaten TTU, Provinsi NTT. Lokasi ini dipilih secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan, yaitu: (1) merupakan satu-satunya kemitraan usaha ternak sapi potong di wilayah Nusa Tenggara yang dikelola oleh LSM; (2) jumlah petani yang mengikuti penjualan ternak sapi potong melalui skema collective marketing semakin meningkat; (3) kesepakatan kerjasama antara petani-peternak dan YMTM dibuat secara partisipatif; (4) belum pernah dilakukan penelitian pengaruh efektivitas kemitraan usaha ternak sapi potong terhadap pendapatan petani-peternak.
4.2.2 Waktu penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Maret sampai Mei 2014. Periode waktu pengambilan data penelitian ini adalah selama 5 tahun terakhir (tahun 2009-2013). Setelah selesai pengumpulan data penelitian dilanjutkan dengan pengolahan dan analisis data, pembahasan, penulisan tesis dan bimbingan sampai ujian akhir.
4.3 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini mengambil studi kasus program pemberdayaan ekonomi masyarakat yang dilaksanakan oleh YMTM yang membangun kemitraan dengan petani. Program ini mengintervensi petani dengan bibit ternak sapi potong dengan skema sistem gaduh, pelatihan dan penyuluhan teknik usahatani dan pemeliharaan ternak sapi, pendampingan teknis dan pengawasan usaha ternak sapi serta mengorganisir pemasaran ternak sapi potong dengan skema collective marketing.
3
Penelitian ini menguji hubungan prediktif antar konstruk/variabel dengan melihat hubungan atau pengaruh antara variabel eksogen terhadap variabel endogen. Variabel eksogen yang diteliti adalah karakteristik petani-peternak, pendampingan YMTM dan teknik sapta usaha peternakan sapi potong. Sedangkan variabel endogennya adalah efektivitas kemitraan dan pendapatan petani-peternak. Penelitian ini menguji pengaruh variabel eksogen terhadap efektivitas kemitraan, dan pengaruhnya terhadap pendapatan petani-peternak.
4.4 Populasi dan Sampel Penelitian 4.4.1 Populasi Populasi penelitian ini adalah para petani yang mendapat bantuan bibit ternak sapi potong dari YMTM. Kemitraan usaha ternak sapi potong ini tersebar di 11 kecamatan (dari total 24 kecamatan) yang dilaksanakan di 37 desa (dari total 174 desa/kelurahan) di Kabupaten TTU. Dari 37 desa tersebut, ada 4 desa (Manamas, Birunatun, Manumean dan Naikake A) yang tidak lagi mendapat bantuan bibit ternak sapi karena terkena sangsi dari YMTM, sehingga hanya 33 desa yang memenuhi syarat sebagai lokasi populasi. Jumlah petani yang mendapat bantuan bibit ternak sapi selama periode tahun 2009-2013 dan yang menjual ternak sapi potongnya pada tahun 2013 adalah sebanyak 519 orang petani-peternak, sebagai populasi penelitian. Dari total jumlah populasi itu, ada 444 orang yang telah menjual ternak sapi potongnya sebanyak 1 kali, 66 orang yang telah menjual ternak sapi potongnya sebanyak 2 kali dan sisanya, 9 orang telah menjual ternak sapi potongnya sebanyak ≥ 3 kali. Sampel penelitian diambil dari 33 desa yang tersebar di 11 kecamatan agar hasil penelitian
4
dapat mewakili perkembangan kemitraan usaha ternak sapi potong secara keseluruhan di Kabupaten TTU.
4.4.2
Sampel penelitian Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah
proportional stratified random sampling, yaitu teknik pengambilan sampel dari populasi yang berstrata secara proporsional. Strata populasi terdiri atas tiga kategori yaitu: a. Strata-1 yaitu petani-peternak yang sudah menjual ternak sapi potongnya sebanyak 1 kali. b. Strata-2 yaitu petani-peternak yang sudah menjual ternak sapi potongnya sebanyak 2 kali. c. Strata-3 yaitu petani-peternak yang sudah menjual ternak sapi potongnya sebanyak ≥ 3 kali. Semakin banyak populasi pada strata tersebut maka semakin banyak sampelnya dan sebaliknya, semakin kecil populasinya maka semakin kecil jumlah sampelnya.
4.4.3 Besaran sampel Besaran sampel yang menjadi responden sebesar 30% dari jumlah populasi (519 orang) sehingga jumlah sampelnya 156 orang petani-peternak yang tersebar secara proporsional pada setiap strata di masing-masing desa. Jumlah sampel ini telah melampaui jumlah sampel yang direkomendasikan berkisar 30-100 dalam penelitian dengan menggunakan metode analisis statistik PLS (Ghozali, 2011). Hasil perhitungan besaran sampel ditunjukkan pada Tabel 4.1.
5
Tabel 4.1 Sebaran Jumlah Sampel di Setiap Strata dan Desa Sasaran Kemitraan Usaha Ternak Sapi Potong di Kabupaten TTU Desa Humusu S
Jumlah populasi yang jual sapi 2013 Jual Jual Jual sapi Total sapi 1x sapi 2x ≥ 3x populasi 39 2 1 42
Jumlah sampel yang jual sapi 2013 Jual Jual Jual sapi Total sapi 1x sapi 2x ≥ 3x sampel 12 1 0 13
Fatumtasa
12
1
0
13
4
0
0
4
Fafinesu A
8
0
0
8
2
0
0
2
Fafinesu B
23
3
0
26
7
1
0
8
Fafinesu C
11
2
0
13
3
1
0
4
Fafinesu
10
0
0
10
3
0
0
3
Banuan
12
1
1
14
4
0
0
4
Oenain
10
3
0
13
3
1
0
4
Benus
27
0
0
27
8
0
0
8
Sunsea
5
0
0
5
2
0
0
2
Sone
11
0
0
11
3
0
0
3
Faenake
6
0
0
6
2
0
0
2
Haumeni
7
0
0
7
2
0
0
2
Fatusene
9
7
1
17
3
2
1
6
Tunnoe
15
2
1
18
5
0
0
5
Tuntun
4
0
0
4
1
0
0
1
Bokon
4
2
0
6
1
1
0
2
Kaenbaun
14
5
0
19
4
2
0
6
Femnasi
10
7
0
17
3
2
0
5
Jak
28
9
0
37
8
3
0
11
Naku
3
0
0
3
1
0
0
1
Makun
30
1
2
33
9
0
1
10
Kuluan
4
0
0
4
1
0
0
1
Saenam
21
6
0
27
6
2
0
8
Manusasi
19
4
2
25
6
1
1
8
Noepesu
11
8
0
19
3
2
0
5
Fatuneno
4
0
0
4
1
0
0
1
Nilulat
18
0
0
18
5
0
0
5
Tubu
25
0
0
25
8
0
0
8
Bisafe
0
1
0
1
0
0
0
0
Oeolo
13
0
0
13
4
0
0
4
Oetulu
7
0
0
7
2
0
0
2
Tasinefu
24
2
1
27
7
1
0
8
Total
444
66
9
519
133
20
3
156
Sumber: data diolah dari data YMTM, 2014
6
4.5 Jenis dan Sumber Data 4.5.1 Jenis data Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data kualitatif dan kuantitatif, sebagai berikut. 1) Data kualitatif adalah data yang berbentuk kata, kalimat, skema dan gambar (Antara, 2012). Data kualitatif dalam penelitian ini adalah data mengenai gambaran umum lokasi penelitian, persepsi staf YMTM, persepsi kader dan pengurus kelompok tani, persepsi pengusaha dan Dinas Peternakan Kabupaten TTU terhadap efektivitas kemitraan usaha ternak sapi potong.
2) Data kuantitatif adalah data yang berbentuk angka atau data kualitatif yang dikuantifikasi melalui nilai skor (Antara, 2012). Data kuantitatif yang berbentuk angka dalam penelitian ini adalah jumlah bibit ternak sapi, jumlah ternak sapi yang dijual, berat dan harga jual ternak sapi potong, harga beli bibit ternak sapi, analisa pendapatan usaha ternak sapi potong dan usahatani non ternak sapi potong. Data kuantitatif dari hasil kuantifikasi data kualitatif dalam penelitian ini adalah pendampingan YMTM, teknik sapta usaha peternakan sapi potong, dan efektifitas kemitraan usaha ternak sapi potong, yang dinilai dengan skor. Sedangkan, karakteristik petani-peternak adalah data kuantitatif.
4.5.2 Sumber data Data yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan sumbernya adalah data primer dan data sekunder. 1) Data primer adalah data yang didapat langsung dari responden melalui prosedur dan teknik pengambilan data yang dapat dipertanggungjawabkan
7
(Antara, 2012). Data primer bersumber dari petani-peternak yang menerima bibit ternak sapi potong, yang ditetapkan sebagai responden. Data primer pendukung untuk melengkapi data primer dari responden didapatkan dari pengurus kelompok tani dan kader, YMTM, pengusaha dan Dinas Peternakan. 2) Data sekunder adalah data primer yang telah diolah dan disajikan oleh pihakpihak lain. Data sekunder diperoleh dari sumber tidak langsung yang berupa dokumentasi, laporan dan arsip-arsip resmi (Antara, 2012). Data sekunder ini didapatkan dari dokumen, buku-buku dan internet.
4.6 Variabel Penelitian 4.6.1 Pengukuran variabel penelitian Pengukuran variabel penelitian dilakukan berdasarkan indikator dan parameter. Pengukuran adalah pemberian nilai dalam bentuk angka pada obyek berdasarkan kaidah-kaidah tertentu (Cohen dan Nagel, 1984). Mengukur obyek dilakukan melalui pengukuran indikasi obyek pengamatan, berdasarkan hal-hal yang diduga merupakan indikasi sifat-sifat obyek yang diamati (Kerlinger, 2000). Variabel yang digunakan dalam penelitian diklasifikasikan menjadi variabel independen (variabel bebas) dan variabel dependen (variabel terikat). a) Variabel bebas Variabel bebas adalah variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi penyebab perubahan variabel terikat, baik yang pengaruhnya positif maupun yang negatif (Sugiyono, 2012).
Dalam penelitian ini, variabel bebas terdiri atas
karakteristik petani-peternak (X1), pendampingan YMTM (X2) dan teknik sapta usaha peternakan sapi potong (X3), dengan uraian masing-masing sebagai berikut.
8
1) Karakteristik petani-peternak (X1) Variabel karakteristik petani-peternak diukur berdasarkan indikator dan parameter yang ditunjukkan pada Tabel 4.2. Berdasarkan telaah pustaka terdapat lima indikator dan lima parameter. Tabel 4.2 Variabel Bebas, Indikator, dan Parameter Karakteristik Petani-Peternak Variabel Bebas
Indikator
Karakteristik Petani-Peternak (X1)
Umur petani-peternak (X1.1) Pendidikan formal petani-peternak (X1.2)
Jumlah anggota rumah tangga (X1.3) Pendidikan non formal (X1.4) Pengalaman beternak sapi potong (X1.5)
Parameter Umur (tahun) petani-peternak pada saat penelitian Jenjang pendidikan formal yang dimiliki oleh petanipeternak dengan kriteria yaitu: (1) Tidak sekolah dan tidak tamat SD (2) Tamat SD (3) Tamat SLTP (4) Tamat SLTA (5) > SLTA Jumlah (orang) tanggungan anggota rumah tangga Jumlah (frekuensi) mengikuti pelatihan beternak sapi potong yang difasilitasi oleh YMTM Jumlah waktu (tahun) pengalaman memelihara ternak sapi
2) Pendampingan YMTM (X2) Variabel pendampingan YMTM diukur berdasarkan indikator dan parameter yang ditunjukkan pada Tabel 4.3. Berdasarkan telaah pustaka terdapat tujuh indikator dan 26 parameter.
9
Tabel 4.3 Variabel Bebas, Indikator, dan Parameter Pendampingan YMTM Variabel Bebas Pendampingan YMTM (X2)
Indikator Pengadaan bibit ternak sapi potong (X2.1) Pengadaan benih/bibit hijauan makanan ternak sapi potong (X2.2)
Pelatihan teknis dan manajemen usaha ternak sapi potong (X2.3)
Parameter (1) (2) (3) (1) (2) (3) (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
Pengendalian penyakit dan pengobatan ternak sapi potong (X2.4)
(1) (2) (3)
Pengawasan ternak sapi potong (X2.5)
(1) (2) (3)
(4) Pengolahan kotoran ternak sapi potong (X2.6) Sistem pemasaran ternak sapi potong (X2.7)
(1) (2) (1) (2) (3) (4)
Ciri-ciri fisik bibit ternak sapi Umur bibit ternak sapi Bobot bibit ternak sapi Jenis benih/bibit tanaman pakan ternak yang dibantu YMTM Pertumbuhan tanaman jenis rumputrumputan Pertumbuhan tanaman jenis leguminosa Pengetahuan pembuatan kandang sapi Pengetahuan pengaturan pola pakan ternak Pengetahuan ciri-ciri fisik bibit ternak sapi Pengetahuan penyakit dan pengobatan ternak sapi Pengetahuan pengolahan kotoran/limbah ternak sapi Pengetahuan manajemen pemeliharaan ternak sapi potong Pengetahuan manajemen pemasaran ternak sapi potong Pemberian vitamin dan obat-obatan kepada ternak sapi potong Pemberian vaksin dan anti parasit kepada ternak sapi potong Frekuensi YMTM melakukan pemeriksaan kesehatan ternak sapi Frekuensi YMTM monitoring ternak sapi ke kandang Ketegasan penerapan sangsi bagi petani yang tidak mengandangkan ternak sapi Ketegasan penerapkan sangsi bagi petani yang menjual ternak sapi tanpa sepengetahuan YMTM Ketegasan penerapan sangsi bagi petani yang tidak merawat/kurang pakan ternak Penilaian terhadap latihan dan praktek pengolahan kotoran ternak sapi Penggunaan pupuk kompos untuk tanaman Pengorganisasian petani-peternak dalam pemasaran ternak sapi potong Keterbukaan informasi harga jual ternak sapi potong Ciri-ciri/sifat pengusaha yang dipilihYMTM untuk membeli ternak sapi potong Kepuasan harga jual ternak sapi potong yang disepakati YMTM dengan pengusaha
10
3) Teknik sapta usaha peternakan sapi potong (X3) Variabel teknik sapta usaha peternakan sapi potong diukur berdasarkan indikator dan parameter yang ditunjukkan pada Tabel 4.4. Berdasarkan telaah pustaka terdapat tujuh indikator dan 30 parameter. Tabel 4.4 Variabel Bebas, Indikator, dan Parameter Teknik Sapta Usaha Peternakan Sapi Potong Variabel Bebas
Indikator
Parameter
Teknik Sapta Usaha Peternakan Sapi Potong (X3)
Bibit ternak sapi potong (X3.1) Penyediaan kadang ternak sapi potong (X3.2)
(1) Ciri-ciri fisik bibit ternak sapi potong (2) Umur bibit ternak sapi yang dibeli sendiri (1) Jenis material yang digunakan untuk membuat kandang ternak sapi (2) Kondisi bangunan kandang saat ini (3) Perlengkapan yang tersedia di kandang (4) Jarak kandang ternak sapi dengan rumah (1) Jenis tanaman pakan ternak yang tersedia di kebun (2) Jumlah dan komposisi pakan yang diberikan kepada ternak sapi (3) Ketersediaan berbagai jenis hijauan makanan ternak sepanjang tahun (4) Intensitas pemberian pakan dedak/jagung/ ubi-ubian/konsentrat (1) Melakukan vaksin dan pemberian obat parasit kepada ternak sapi (2) Memberikan vitamin kepada ternak sapi (3) Memeriksa kesehatan ternak sapi (4) Tindakan dalam pengobatan ternak sapi sakit (1) Frekuensi perencanaan usaha ternak sapi (2) Frekuensi membersihkan kandang ternak (3) Pengaturan waktu pemberian pakan dan minum kepada ternak sapi (4) Frekuensi memandikan ternak sapi (5) Pengolahan limbah pertanian menjadi pakan ternak bergizi (1) Persiapan pengolahan kotoran ternak sapi (2) Proses pengolahan kotoran ternak sapi menjadi kompos (3) Volume kotoran ternak sapi yang diolah menjadi kompos (4) Volume kompos/pupuk kandang yang digunakan untuk memupuk tanaman (5) Jenis tanaman yang dipupuk dengan kompos/pupuk kandang
Pemberian pakan ternak sapi potong (X3.3)
Pengendalian penyakit dan pengobatan ternak sapi potong (X3.4)
Manajemen pemeliharaan ternak sapi potong (X3.5)
Pengolahan kotoran ternak sapi potong (X3.6)
11
Tabel 4.4 Lanjutan Variabel Bebas
Indikator Pemasaran ternak sapi potong (X3.7)
Parameter (1) Sistem pemasaran kolektif ternak sapi potong yang dilakukan selama ini (2) Pengorganisasian pemasaran dan jaringan pasar (3) Bobot badan ternak sapi potong yang dijual (4) Harga jual ternak sapi potong per kg yang didapatkan petani (5) Keterampilan petani melakukan penimbangan ternak sapi potong (6) Kemampuan posisi tawar petani berhadapan dengan pembeli ternak sapi potong
b) Variabel terikat Variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat karena adanya variabel bebas (Sugiyono, 2012). Variabel terikat yang menjadi pusat dalam penelitian ini adalah efektivitas kemitraan usaha ternak sapi potong, dan pendapatan petani-peternak. 1) Efektivitas kemitraan (Y1) Variabel efektivitas kemitraan diukur berdasarkan indikator dan parameter yang ditunjukkan pada Tabel 4.5. Berdasarkan telaah pustaka, terdapat dua indikator dengan delapan parameter. Tabel 4.5 Variabel Terikat, Indikator, dan Parameter Efektivitas Kemitraan Variabel Terikat Efektivitas Kemitraan Usaha Ternak Sapi Potong (Y1)
Indikator Pencapaian tujuan usaha ternak sapi potong (Y1.1)
Efisiensi usaha ternak sapi potong (Y1.2)
Parameter (1) Peningkatan pendapatan petani peternak (2) Peningkatan posisi tawar petani-peternak (3) Jumlah bibit ternak sapi yang bisa dibeli oleh petani-peternak (4) Persentase ketersediaan kompos/pupuk kandang untuk memenuhi pupuk tananam (5) Peningkatan bobot badan ternak sapi potong (6) Peningkatan harga jual ternak sapi potong (1) Penambahan berat badan ternak sapi potong per hari (2) R/C ratio kemitraan usaha ternak sapi potong
12
2) Pendapatan petani peternak (Y2) Variabel pendapatan petani-peternak diukur berdasarkan indikator dan parameter yang ditunjukkan pada Tabel 4.6. Berdasarkan telaah pustaka, terdapat satu indikator dengan lima parameter. Tabel 4.6 Variabel Terikat, Indikator, dan Parameter Pendapatan Petani-Peternak Variabel Terikat
Indikator
Pendapatan petanipeternak (Y2)
Persentase kontribusi pendapatan usaha ternak sapi potong terhadap pendapatan usahatani secara keseluruhan (Y2.1)
Parameter (1) (2) (3) (4) (5)
≤ 20% > 20% - 40% > 40% - 60% > 60% - 80% > 80% - 100%
4.6.2 Batasan operasional variabel Definisi operasional variabel dengan indikatornya merupakan penjelasan variabel yang dapat dioperasionalkan langsung sesuai dengan maksud penelitian agar dapat diamati dan diukur, dengan penjelasan sebagai berikut. 1) Karakteristik petani-peternak adalah ciri-ciri yang dimiliki atau melekat pada diri internal petani-peternak secara individu sehingga mampu menerapkan usaha ternak sapi potong, misalnya pendidikan formal dan informal (tahun), umur (tahun), pengalaman (tahun), dan anggota rumah tangga (orang). 2) Petani-peternak adalah orang yang sumber mata pencaharian utamanya adalah usahatani dan mempunyai sumber mata pencaharian baru dari usaha ternak sapi dalam skala usaha yang terbatas. 3) Umur adalah jumlah lamanya waktu dari sejak kelahiran petani-peternak sampai dengan saat penelitian (tahun).
13
4) Pendidikan formal adalah tingkat pendidikan yang dicapai petani-peternak pada bangku sekolah atau lembaga pendidikan formal (tahun). 5) Jumlah anggota rumah tangga yaitu jumlah orang yang menjadi tanggungan dari petani-peternak dalam segala hal biaya kehidupan mereka (orang). 6) Pendidikan non formal adalah pendidikan yang didapatkan oleh petanipeternak melalui pelatihan tentang teknis dan manajemen usaha ternak sapi potong (frekuensi latihan). 7) Pengalaman beternak sapi yaitu lamanya waktu yang telah dilalui oleh petanipeternak dalam memelihara ternak sapi (tahun). 8) Pendampingan YMTM adalah peran dan komitmen yang dicurahkan YMTM untuk membina petani-peternak dalam pengembangan usahatani dan ternak sapi potong dengan cara menempatkan seorang staf tinggal di desa (tahun). 9) Pengadaan bibit ternak sapi yaitu YMTM mengadakan bibit ternak sapi yang sesuai dengan ciri-ciri fisik bibit ternak sapi potong yang telah ditetapkan bersama untuk diberikan kepada petani-peternak yang memenuhi syarat (ekor). 10) Pengadaan hijauan makanan ternak yaitu YMTM memberikan bantuan benih/ bibit tanaman pakan ternak (rumput setaria, raja, kaliandra, gamal, lamtoro, dan lain-lainnya) kepada petani-peternak. Benih/bibit tanaman ini ditanam di kebun sebelum mendapatkan ternak sapi bakalan (jenis). 11) Pelatihan yaitu YMTM memberikan pelatihan kepada petani-peternak tentang berbagai hal yang terkait dengan teknik pemeliharaan dan manajemen usaha ternak sapi potong (frekuensi latihan).
14
12) Pengendalian penyakit dan pengobatan yaitu YMTM memberikan vitamin, anti parasit (obat cacing) dan obat-obatan ringan lainnya untuk kesehatan ternak sapi, serta memeriksa kesehatan ternak sapi. 13) Pengawasan ternak yaitu YMTM melakukan monitoring dan pengawasan secara rutin terhadap keberadaan ternak sapi di kandang, kesehatan dan pertumbuhannya sampai dengan penjualan ternak sapi potong (frekuensi). 14) Pengolahan kotoran ternak yaitu YMTM memberikan pengetahuan dan keterampilan serta memotivasi petani-peternak untuk mengolah kotoran/ limbah ternak menjadi kompos sampai penggunaan kompos untuk tanaman. 15) Pengorganisasian pemasaran yaitu YMTM dibantu oleh kader dan pengurus kelompok melakukan pendataan ternak sapi potong yang siap dijual, mengorganisir petani-peternak untuk pemasaran ternak sapi potongnya dan membuat kesepakatan harga jual ternak sapi potong dengan pengusaha. 16) Teknik sapta usaha peternakan sapi potong adalah praktek-praktek yang dilakukan oleh petani-peternak dalam menerapkan teknik sapta usaha peternakan sapi potong yang difasilitasi oleh YMTM. 17) Umur/bobot awal bibit ternak sapi yaitu jumlah tahun atau jumlah berat awal ternak sapi bakalan yang diterima oleh petani-peternak (tahun dan kg). 18) Kandang yaitu tempat tinggal ternak sapi yang sesuai dengan persyaratan kandang sapi penggemukan yang dibuat dengan menggunakan bahan/alat-alat yang disediakan oleh petani peternak.
15
19) Pemberian pakan yaitu kegiatan yang dilakukan petani-peternak mulai dari menyediakan pakan ternak sampai dengan pemberian pakan setiap hari kepada ternak sapi untuk tujuan penggemukan (frekuensi). 20) Pengendalian penyakit/pengobatan yaitu segala cara yang dilakukan oleh petani-peternak untuk mencegah ternak sapi dari serangan penyakit, memeriksa kesehatan/penyakit dan mengobati penyakit ternak sapi baik dilakukan sendiri maupun dengan bantuan dari YMTM dan mantri/dokter hewan. 21) Manajemen pemeliharaan yaitu teknik dan inovasi pemeliharaan ternak sapi yang dilakukan oleh petani-peternak agar sapinya cepat tumbuh dengan berat badan yang tinggi, dan menerapkan manajemen bisnis yang menguntungkan. 22) Pengolahan kotoran/limbah ternak yaitu kegiatan yang dilakukan petanipeternak mulai dari mengumpulkan kotoran ternak, membuat lubang kotoran, sampai teknik pengolahan kotoran ternak menjadi pupuk kompos. 23) Pemasaran ternak sapi yaitu kegiatan mulai dari survei pasar, negosiasi harga dengan pengusaha, pengorganisasian petani-peternak yang siap menjual ternak sapinya, penimbangan sampai pembagian hasil penjualan ternak sapi potong. 24) Efektivitas kemitraan usaha ternak sapi potong adalah suatu keadaan yang menunjukkan tingkat pencapaian keberhasilan usaha ternak sapi potong yang diperoleh petani-peternak selama kurun waktu penggemukan. 25) Pencapaian tujuan usaha ternak sapi potong yaitu suatu tingkat pencapaian keberhasilan usaha ternak sapi potong yang ditetapkan pada awal kemitraan. 26) Pendapatan petani-peternak dari usaha ternak sapi potong yaitu jumlah rupiah yang diperoleh petani-peternak dari hasil penjualan ternak sapi potong setelah
16
dikurangi dengan biaya tunai (bibit ternak sapi, obat, vitamin dan retribusi) sesuai dengan persentase pembagian pendapatan yang telah disepakati (rupiah). 27) Kepemilikan ternak sapi yaitu jumlah ternak sapi yang dimiliki sendiri petanipeternak yang dibeli dari uang pembagian usaha ternak sapi potong (ekor). 28) Peningkatan posisi tawar petani-peternak yaitu petani-peternak semakin mampu dan berani berhadapan dengan pengusaha dalam hal penentuan harga, penimbangan, dan pemasaran ternak sapi potong (%). 29) Peningkatan ketersediaan pupuk organik yaitu pupuk organik dari kotoran ternak sapi semakin banyak yang tersedia dan digunakan semaksimal mungkin untuk memupuk tanaman (%). 30) Peningkatan bobot badan ternak sapi potong yaitu pencapaian bobot jual ternak sapi potong yang diperoleh dalam kurun waktu pelihara yang lebih singkat (%). 31) Efisiensi usaha ternak sapi potong yaitu suatu ukuran yang menunjukkan seberapa besar terjadi penambahan berat badan ternak sapi potong per hari (gram/hr) dan peningkatan nilai R/C ratio kemitraan usaha ternak sapi potong. 32) Nilai R/C ratio kemitraan usaha ternak sapi potong yaitu perbandingan penerimaan hasil penjualan ternak sapi potong dengan biaya tunai (riil) yang dikeluarkan oleh YMTM (sapi bakalan, obat, vitamin, retribusi desa). Biaya lainnya (kandang, pakan ternak, tenaga kerja, perlengkapan dan lain-lainnya) tidak dihitung sebagai komponen biaya usaha ternak sapi potong. 33) Pendapatan petani peternak yaitu jumlah capaian pendapatan yang diperoleh petani-peternak dari usahatani secara keseluruhan yang meningkat dengan adanya kontribusi pendapatan dari kemitraan usaha ternak sapi potong (rupiah).
17
4.7 Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data penelitian dilakukan dengan metode wawancara, observasi dan dokumentasi, sebagai berikut. 1) Wawancara (interview) yaitu metode pengumpulan data primer dengan cara mewawancarai responden secara langsung, mendalam (in-depth interview) dan terstruktur dengan mempergunakan kuesioner dan daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan (Singarimbun dan Effendi, 2006). a) Wawancara kepada petani-peternak yang menjadi sampel dalam penelitian ini dilakukan secara langsung dan mendalam dengan menggunakan kuesioner terstruktur. Wawancara dilakukan dengan cara mendatangi langsung responden petani-peternak. Daftar pertanyaan dalam kuesioner bersifat terbuka dan tertutup. b) Wawancara kepada pengurus kelompok tani dan kader pemasaran, staf YMTM, pengusaha dan staf Dinas Peternakan Kabupaten TTU dilakukan untuk melengkapi data dan informasi yang diperoleh dari responden petanipeternak. Informan dipilih dari mereka yang memahami teknik usaha ternak sapi potong dan berpengalaman dalam kemitraan usaha ternak sapi. Wawancara ini dilakukan secara langsung, mendalam dan semi-terstruktur kepada informan dengan menggunakan pedoman wawancara. 2) Observasi yaitu metode pengumpulan data primer dengan cara pengamatan secara langsung ke lokasi penelitian untuk mengetahui keadaan petani-peternak dan ternak sapinya. Hal-hal yang diamati secara langsung yaitu kondisi ternak
18
sapi dan kandangnya, tanaman hijauan makanan ternak, pengolahan kotoran ternak, penimbangan ternak sapi dan pembayaran hasil penjualannya. 3) Dokumentasi adalah pengumpulan data-data sekunder dengan cara meneliti dokumen yang tersedia dari berbagai sumber data. Dokumen milik YMTM yang diteliti yaitu laporan perkembangan usaha ternak sapi potong, data penerima ternak sapi bakalan dan data penjualan ternak sapi potong, laporan keuangan usaha ternak sapi potong. Dokumen lainnya bersumber dari Dinas Peternakan Kabupaten TTU dan Provinsi NTT, Badan Pusat Statistik Kabupaten TTU dan Provinsi NTT serta publikasi hasil penelitian sebelumnya.
4.8 Instrumen Penelitian Instrumen merupakan hal yang sangat penting dalam pelaksanaan penelitian, karena hanya dengan alat ukur yang memenuhi syarat akan memperoleh data dan informasi yang sesuai dengan tujuan penelitian. Maka dari itu, instrumen yang dipakai dalam penelitian harus memiliki validitas dan reliabilitas yang tinggi. Instrumen yang digunakan sebagai alat wawancara untuk mendapatkan jawaban dari responden adalah kuesioner terstruktur dan tertutup serta dilengkapi dengan pertanyaan terbuka. Pertanyaan terbuka digunakan untuk mengetahui identitas responden, dan pertanyaan tertutup untuk meminta responden memilih salah satu jawaban yang tersedia dari setiap pertanyaan. Daftar pertanyaan mencakupi parameter yang terkait dengan indikator dan variabel dalam penelitian. Instrumen untuk informan pendukung (staf YMTM, kader, pengurus kelompok, staf Dinas Peternakan-TTU dan pengusaha) berupa pedoman wawancara yang berisi pertanyaan yang terbuka. Pertanyaan terbuka ini untuk
19
mendapatkan informasi tambahan yang bersifat kualitatif dan mendalam untuk melengkapi data dan informasi dari kuesioner yang berkaitan dengan masalah penelitian. Pertanyaan baru dikembangkan lagi selama proses wawancara untuk memperdalam data dan informasi. Instrumen lainnya yang juga digunakan dalam penelitian ini adalah format analisis usaha ternak sapi potong dan format analisis pendapatan petani-peternak. Format analisis usaha ternak sapi potong digunakan untuk mendapatkan data tentang biaya tunai (riil) yang digunakan dalam usaha ternak sapi potong, hasil penjualan ternak sapi potong, dan pendapatan. Format analisis pendapatan petanipeternak digunakan untuk mendapatkan data tentang sumber dan besarnya pendapatan dari usahatani (tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, kayu, perikanan dan peternakan tanpa ternak sapi potong) dan biaya riil yang digunakan untuk usahatani secara keseluruhan.
4.9 Pengujian Instrumen Kuesioner terlebih dahulu diujicobakan kepada petani-peternak yang mengikuti kemitraan usaha ternak sapi potong di lokasi penelitian, namun bukan merupakan sampel dari penelitian ini. Jumlah responden untuk ujicoba kuesioner ini sebanyak 30 petani-peternak sesuai dengan syarat minimal analisis statistik yaitu data berdistribusi normal. Hasil ujicoba kuesioner tersebut diuji validitas dan reliabilitasnya dengan menggunakan program SPSS (Statistical Product and Service Solutions) (Singarimbun dan Effendi, 2006). Uji validitas dan reliabilitas dalam penelitian ini menggunakan software SPSS version 20.0, dengan metode Alpha Cronbach.
20
4.9.1 Uji validitas Validitas dalam penelitian merupakan suatu derajat ketepatan alat ukur penelitian tentang inti atau arti sebenarnya yang diukur (Umar, 2004). Valid berarti instrumen tersebut dapat digunakan untuk mengukur apa yang seharusnya diukur. Tinggi rendahnya validitas menunjukkan sejauhmana data yang terkumpul tidak menyimpang dari gambaran tentang variabel yang dimaksud.
Validitas dapat
dilakukan dengan mengkorelasikan antar skor item instrumen dengan skor total seluruh item pertanyaan. Instrumen penelitian dikatakan valid jika memiliki koefisien korelasi item total (corrected item-total correlation) dengan nilai rhitung > 0,30 (r-tabel). Dengan kata lain, item-item pertanyaan atau pernyataan dalam penelitian memiliki koefisien korelasi lebih dari 0,30. Hal ini berarti, responden memberikan jawaban yang selaras antara item pertanyaan yang satu dengan yang lainnya. Jika koefisien korelasinya kurang dari 0,30 maka item pertanyaan dalam instrumen tersebut dinyatakan tidak valid. Item pertanyaan yang tidak valid itu dieliminasi atau diperbaiki lagi kuesionernya agar selaras dengan item pertanyaan lainnya dalam satu kelompok variabel. Dari hasil uji validitas yang disajikan pada Lampiran 1 didapatkan bahwa ada 8 item pertanyaan yang memiliki nilai koefisien korelasi < 0,30 sehingga tidak valid sebagai alat pengukur dari total 64 item pertanyaan. Item pertanyaan yang tidak valid itu dikeluarkan sebagai pengukur instrumen penelitian yaitu: umur bibit ternak sapi potong; berat awal bibit ternak sapi potong; frekwensi YMTM melakukan pemeriksaan kesehatan ternak sapi potong; umur bibit ternak sapi potong yang dibeli oleh petani sendiri; intensitas pemberian pakan dedak/jagung/
21
ubi-ubian/konsentrat; tindakan dalam pengobatan pada saat ternak sapi sakit; pengolahan limbah pertanian menjadi pakan ternak sapi yang bergizi; dan jenis tanaman yang dipupuk dengan kompos/pupuk kandang.
4.9.2 Uji reliabilitas Uji reliabilitas adalah derajat ketepatan, ketelitian atau keakuratan yang ditunjukkan oleh instrumen pengukuran. Pengujian reliabilitas dapat dilakukan secara internal yaitu pengujian dengan menganalisis konsistensi butir-butir pertanyaan dalam mengukur gejala yang sama bila dilakukan pengukuran ulang atau bila digunakan lebih dari satu kali pada tempat yang berbeda (Umar, 2004). Dengan kata lain, instrumen yang reliabel adalah instrumen yang bila digunakan beberapa kali untuk mengukur objek yang sama, akan menghasilkan data yang sama. Uji reliabilitas dilakukan agar memperoleh instrumen dengan keterandalan yang tinggi dalam pengukuran variabel penelitian. Menurut Nunnaly (Ghozali, 2006) instrumen dikatakan reliabel jika memberikan nilai Cronbach Alpha (r hitung) > 0,60 (r tabel). Ini berarti semua responden memberikan jawaban yang relatif sama (konsisten) pada item pertanyaan yang sama. Pengujian reliabitas pada penelitian ini dilakukan sekali saja. Dari hasil pengujian didapatkan bahwa semua item pertanyaan yang digunakan dalam penelitian ini mempunyai nilai cronbach’s alpha > 0,60 (r-tabel) sehingga instrumen ini adalah reliable sebagai pengukur variabel penelitian. Setelah melakukan uji validitas dan reliabilitas, kuesioner diperbaiki lagi dengan mengeluarkan delapan item pertanyaan yang tidak valid tersebut.
22
Kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner yang telah diperbaiki yang ditunjukkan pada Lampiran 1.
4.10 Metode Analisis Data Data yang diperoleh dari penelitian dianalisis secara kuantitatif dan kualitatif. Data kualitatif dari hasil kuesioner ditransformasikan menjadi angka (skor) sehingga bisa dianalisis dengan cara kuantitatif. Data yang telah dikuantifikasi itu dianalisis dengan metode statistika deskriptif dan statistika inferensia. Sedangkan data kuantitatif dari format usaha ternak sapi potong dan usaha pertanian dianalisis dengan analisis pendapatan petani-peternak.
4.10.1 Analisis statistik deskriptif Statistika
deskriptif
merupakan
metode
yang
digunakan
untuk
mengumpulkan dan menyajikan data-data yang sistematis, ringkas dan rapi sehingga memberikan informasi inti yang berguna. Metode analisis deskriptif berfungsi untuk mendeskripsikan variabel-variabel yang diteliti dan memberikan interpretasi sesuai tujuan penelitian. Variabel dalam penelitian ini yang dianalisis secara deskriptif adalah karakteristik petani-peternak, pendampingan YMTM, teknik usaha peternakan sapi potong, dan efektivitas kemitraan. Semua indikator dan parameter dari variabel karakteristik petani-peternak (X1), pendampingan YMTM (X2), teknik sapta usaha peternakan sapi potong (X3), dan efektivitas kemitraan (Y1) diukur dengan menggunakan skala ordinal dengan rentang nilai 1 sampai 5. Skor 5 berarti sangat baik, skor 4 berarti baik, skor 3
23
berarti cukup baik, skor 2 berarti kurang baik, dan skor 1 berarti tidak baik (Singarimbun dan Effendi, 2006). Data yang telah diperoleh tersebut dikonversikan ke dalam kategori berbeda-beda. Penentuan kategori variabel dan indikator dilakukan berdasarkan skor yang dicapai responden dengan menggunakan rumus interval class, yaitu membagi selisih nilai tertinggi dan terendah dengan banyaknya kategori (Dajan, 1986) sehingga dapat diketahui nilai kategori setiap variabel dan indikator. Rumus interval kelas adalah sebagai berikut: IK =
Jarak Jumlah kelas
Keterangan: IK Jarak Jumlah kelas
: interval kelas : nilai data tertinggi dikurangi nilai data terendah (skor maksimum - skor minimum) : jumlah kategori yang ditentukan
Dengan jumlah kategori sebanyak 5, maka I K = 5 - 1 = 0,8. 5 Atau persentase pencapaian skor untuk I K = (100% - 20%) = 16 % 5 Hasil akhir dari setiap variabel yaitu karakteristik petani-peternak (X1), pendampingan YMTM (X2), teknik sapta usaha peternakan sapi potong (X3), dan efektivitas kemitraan (Y1), diklasifikasikan menjadi lima kategori seperti yang ditunjukkan pada Tabel 4.7. Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan dalam pembahasan hasil penelitian.
24
Tabel 4.7 Kategori Pencapaian Skor Variabel Terkait Penelitian No 1
Pencapaian skor Angka Persentase >4,2-5 >80-100
2 3
>3,4-4,2 >2,6-3,4
>68-84 >52-68
4
>1,8-2,6
>36-52
5
1 - 1,8
20 - 36
Kategori Variabel Terkait Penelitian X1 X2 X3 Y1 Sangat Sangat Sangat Sangat efektif efektif efektif efektif Efektif Efektif Efektif Efektif Cukup Cukup Cukup Cukup efektif efektif efektif efektif Kurang Kurang Kurang Kurang efektif efektif efektif efektif Tidak Tidak Tidak Tidak efektif efektif efektif efektif
Pengukuran efektivitas kemitraan dilakukan dengan melihat tujuan yang ingin dicapai dari pelaksanaan kemitraan usaha ternak sapi potong. Adapun indikator tujuan (keberhasilan) kemitraan usaha ternak sapi potong adalah: (1) meningkatkan pendapatan petani-peternak dari hasil usaha ternak sapi potong; (2) meningkatkan posisi tawar petani-peternak berhadapan dengan pengusaha dalam pemasaran ternak sapi; (3) meningkatkan jumlah ternak sapi bakalan yang bisa dibeli oleh petani dari pembagian hasil kemitraan usaha ternak sapi potong; (4) meningkatan ketersediaan kompos/pupuk kandang untuk memupuk tanaman; (5) meningkatkan bobot jual ternak sapi potong; dan (6) meningkatkan harga jual ternak sapi potong. Setiap indikator tujuan dinilai oleh responden dengan cara memberikan skor antara 1 sampai 5. Hasil penilaian skor pada semua indikator dijumlahkan dan kemudian dirata-ratakan sehingga mendapatkan hasil akhir berupa rata-rata skor dari tujuan kemitraan ternak sapi potong. Hasil akhir rata-rata skor ini dimasukkan ke dalam matrik dengan memilih salah satu kategori pencapaian skor yang ditunjukkan pada Tabel 4.8.
25
Tabel 4.8 Kategori Pencapaian Skor Variabel Efektivitas Kemitraan Usaha Ternak Sapi Potong No 1 2 3 4 5
Pencapaian skor > 4,2 - 5 > 3,4 - 4,2 > 2,6 - 3,4 > 1,8 - 2,6 1 - 1,8
Kategori variabel Pencapaian tujuan Efisiensi usaha usaha ternak sapi ternak sapi potong potong Sangat berhasil Sangat efisien Berhasil Efisien Cukup berhasil Cukup efisien Kurang berhasil Kurang efisien Tidak berhasil Tidak efisien
Efektivitas kemitraan usaha ternak sapi potong Sangat efektif Efektif Cukup efektif Kurang efektif Tidak efektif
Dalam analisis efektivitas kemitraan usaha ternak sapi potong juga mengukur pencapaian efisiensi kemitraan usaha ternak sapi potong.
Efisiensi
diukur dengan dua indikator yaitu: (1) penambahan berat badan (gram) per hari (membandingkan antara selisih berat jual dan berat bibit ternak sapi potong dengan lamanya waktu penggemukan); (2) nilai R/C ratio (membandingkan antara hasil penjualan usaha ternak sapi potong dengan total biaya selama proses produksi). Dalam perhitungan revenue (penerimaan) yang dihitung adalah pendapatan kotor dari hasil penjualan ternak sapi potong. Sedangkan cost (biaya) yang dihitung adalah pengeluaran riil atau tunai (bibit ternak sapi, obat, vitamin dan retribusi desa) selama masa penggemukan ternak sapi potong. Pendekatan analisis efisiensi kemitraan usaha ternak ini didasarkan atas pendapat Soekartawi (2003) yang menyatakan bahwa pengukuran efisiensi dapat dilakukan dengan membandingkan antara keluaran (output) dan masukan (input) atau upaya untuk penggunaan input sekecil-kecilnya untuk mendapatkan produksi yang sebesar-besarnya. Setiap indikator efisiensi dinilai oleh responden dengan cara memberikan skor antara 1 sampai 5. Langkah selanjutnya adalah sama caranya dengan
26
perhitungan rata-rata skor pencapaian tujuan usaha ternak sapi potong, sehingga mendapatkan hasil akhir rata-rata skor efisiensi usaha ternak sapi potong, dengan kategori yang ditunjukkan pada Tabel 4.8. Skor analisis efektivitas kemitraan usaha ternak sapi potong didapat dengan menjumlahkan skor rata-rata dari pencapaian tujuan usaha ternak sapi potong dan skor rata-rata dari pencapaian efisiensi usaha ternak sapi potong, kemudian dibagi dua. Kategori pencapaian skor untuk efektivitas kemitraan usaha ternak sapi potong ditunjukkan pada Tabel 4.8.
4.10.2 Analisis statistik inferensia dengan PLS Analisis statistika inferensia adalah metode yang digunakan untuk menguji kebenaran hipotesis dari suatu penelitian untuk mencapai tujuan penelitian (Mubyarto dan Suratno, 1981). Statistika inferensia merupakan metode yang menganalisis data dari sampel untuk membuat peramalan atau kesimpulan mengenai keseluruhan data (populasi). Metode ini disebut juga statistika induktif, karena kesimpulan yang ditarik didasarkan pada informasi dari sebagian data saja. Data kuantitatif dari hasil penelitian ini dianalisis dengan metode statistika inferensia dengan menggunakan analisis Component Based SEM (Structural Equation Modeling) dengan software SmartPLS (Partial Least Square) versi 2.0 M3. Analisis ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh karakteristik petanipeternak, pendampingan YMTM, dan teknik sapta usaha peternakan sapi potong terhadap efektivitas kemiraan usaha ternak sapi potong. Begitu juga halnya, pengaruh efektivitas kemitraan usaha ternak sapi potong terhadap pendapatan petani-peternak.
27
Analisis PLS dinilai tepat sebagai teknik analisis data dari hasil penelitian ini, dengan alasan sebagai berikut. 1) PLS digunakan karena seluruh variabel yang digunakan dalam penelitian ini merupakan variabel laten yang tidak bisa diukur secara langsung. PLS merupakan metode umum untuk mengestimasi path model yang menggunakan variabel laten dengan multiple indikator. 2) PLS dapat menganalisis sekaligus konstruk yang dibentuk dengan indikator reflektif dan formatif. Hal ini tidak mungkin dijalankan dalam Covariance Based SEM karena akan terjadi unidentified model, bahkan konstruk dengan indikator tunggal (Ghozali, 2011). Dalam penelitian ini, model struktural yang dianalisis memenuhi model rekursif dan semua indikator dari variabel penelitian yakni: karakteristik petani-peternak, pendampingan YMTM, teknik sapta usaha peternakan sapi potong, efektifitas kemitraan, dan pendapatan petani-peternak menggunakan indikator reflektif. 3) PLS mempunyai keunggulan yaitu data tidak harus berdistribusi normal multivariate (indikator dengan skala kategori, ordinal, interval sampai rasio dapat digunakan pada model yang sama). Besaran sampel direkomendasikan berkisar antara 30 sampai 100 kasus (Ghozali, 2011). Walaupun PLS digunakan untuk mengkonfirmasi teori, tetapi juga dapat digunakan untuk menjelaskan ada atau tidaknya hubungan antara variabel laten. 4) PLS merupakan metode analisis untuk causal-predictive analysis dalam situasi kompleksitas yang tinggi dan dukungan teori yang rendah. Pada PLS,
28
perancangan model bisa berbasis teori, hasil penelitian empiris, analogi, normatif dan rasional (Ghozali, 2011). Berdasarkan kerangka konseptual penelitian yang dibangun atas dasar teori, maka model empirik pengaruh efektivitas kemitraan usaha ternak sapi potong terhadap pendapatan petani-peternak dapat digambarkan seperti pada Gambar 4.1. Variabel Y1 (efektivitas kemitraan) diukur dengan indikator Y1.1 (pencapaian tujuan usaha ternak sapi potong) dan Y1.2 (efisiensi usaha ternak sapi potong).
X2.1 X1.1 X2.2 X1.2 X1.3
X2.3
X1
X2
X2.4
X1.4 X2.5 X1.5 X2.6 X2.7 X3.1 Y1.1
X3.2 X3.3
X3
Y1 Y1.2
X3.4 X3.5 X3.6
Y2
X3.7 Y2.1
Gambar 4.1 Model Empirik Pengaruh Efektivitas Kemitraan Usaha Ternak Sapi Potong terhadap Pendapatan Petani-Peternak
29
Sedangkan variabel Y2 (pendapatan petani-peternak diukur) dengan indikator Y2.1 (persentase kontribusi pendapatan usaha ternak sapi potong terhadap pendapatan usahatani secara keseluruhan). Variabel Y1 (efektivitas kemitraan) dipengaruhi oleh variabel X1 (karakteristik petani-peternak), X2 (pendampingan YMTM) dan X3 (teknik sapta usaha peternakan sapi potong). Variabel X1 (karakteristik petani-peternak) diukur dengan indikator X1.1 (umur petani-peternak), X1.2 (pendidikan formal), X1.3 (jumlah anggota rumah tangga), X1.4 (pendidikan non formal) dan X1.5 (pengalaman beternak sapi potong). Variabel X2 (pendampingan YMTM) diukur dengan indikator X2.1 (pengadaan bibit ternak sapi potong), X2.2 (pengadaan benih/ bibit hijauan makanan ternak sapi potong), X2.3 (pelatihan teknis dan manajemen usaha ternak sapi potong), X2.4 (pengendalian penyakit dan pengobatan ternak sapi potong), X2.5 (pengawasan ternak sapi potong), X2.6 (pengolahan kotoran ternak sapi potong) dan X2.7 (sistem pemasaran ternak sapi potong). Variabel X3 (teknik sapta usaha peternakan sapi potong) diukur dengan indikator X3.1 (bibit ternak sapi), X3.2 (penyediaan kandang), X3.3 (pemberian pakan), X3.4 (pengendalian penyakit dan pengobatan), X3.5 (manajemen pemeliharaan ternak sapi potong), X3.6 (pengolahan kotoran ternak sapi) dan X3.7 (pemasaran ternak sapi potong). Model empirik dalam penelitian ini dibagi menjadi dua model yaitu: (1) model pengukuran (outer model) menspesifikasikan hubungan blok indikator/item pertanyaan dengan variabel latennya; dan (2) model struktural (inner model) yang menspesifikasikan hubungan antar variabel laten.
30
1) Evaluasi model pengukuran (outler model) Evaluasi outler model disebut pula dengan evaluasi model pengukuran yang dilakukan untuk menilai validitas dan reliabilitas model. Outler model dengan indikator yang bersifat reflektif dievaluasi melalui uji convergent validity dan discriminat validity untuk indikator pembentuk konstruk laten, dan melalui composite reliability dan cronbach alpha untuk blok indikatornya (Chin, 1998 dalam Ghozali, 2011). Dalam penelitian ini, semua variabel merupakan variabel laten dengan indikator reflektif, sehingga evaluasi model pengukuran dilakukan melalui uji convergent dan discriminat validity, serta uji composite reliability dan cronbach alpha. Apabila hasil pengujian pada model pengukuran signifikan, berarti indikator dapat digunakan sebagai alat pengukur variabel laten.
a) Convergent validity Convergent validity berhubungan dengan prinsip bahwa pengukur dari suatu konstruk seharusnya berkorelasi tinggi. Convergent validity dari pengukuran model dengan indikator reflektif dapat dilihat dari korelasi antara indikator dengan variabelnya. Indikator dinilai valid jika memiliki nilai loading factor > 0,70 untuk penelitian yang bersifat confirmatory dan nilai loading factor 0,60-0,70 untuk penelitian yang bersifat exploratory masih dapat diterima, serta nilai average variance extracted (AVE) harus > dari 0,50. Namun, untuk penelitian tahap awal dari pengembangan skala pengukuran dan atau dengan jumlah indikator dari variabel laten berkisar tiga sampai tujuh, nilai loading factor antara 0,50 sampai 0,60 masih dianggap cukup (Chin 1998 dalam Ghozali 2011). Ringkasan Rule of thumb uji validitas convergent dapat dilihat pada Tabel 4.9.
31
Tabel 4.9 Ringkasan Rule of Thumb Uji Validitas Convergent Validitas
Parameter
Validitas Loading factor Convergent
Communality AVE (Average Variance Extracted)
Rule of Thumb a. > 0,70 untuk confirmatory research b. > 0,60 untuk exploratory research > 0,50 untuk confirmatory dan exploratory research > 0,50 untuk confirmatory dan exploratory research
b) Discriminant validity Discriminant validity berhubungan dengan prinsip bahwa pengukurpengukur (manifest variabel) konstruk yang berbeda seharusnya tidak berkorelasi dengan tinggi. Cara untuk menguji validitas discriminant dengan indikator refleksif yaitu dengan melihat nilai cross loading untuk setiap variabel harus > 0,70. Cara lain yang dapat digunakan untuk menguji validitas discriminant adalah dengan membandingkan akar kuadrat dari AVE untuk setiap konstruk dengan nilai korelasi antara konstruk dengan konstruk lainnya dalam model. Validitas discriminant yang baik ditunjukkan dari akar kuadrat AVE untuk setiap konstruk yang dituju lebih besar dari nilai loading dengan konstruk lainnya (Ghozali, 2011). Rule of thumb uji validitas discriminant dapat dilihat pada Tabel 4.10. Tabel 4.10 Ringkasan Rule of Thumb Uji Validitas Discriminant Validitas
Parameter
Validitas Cross loading discriminant Akar kuadrat AVE dan korelasi antar konstruk laten
Rule of Thumb > 0,70 untuk setiap variabel Akar kuadrat AVE > korelasi antar konstruk laten
32
c) Composite reliability (reliabilitas gabungan) Pengujian terakhir pada model pengukuran adalah menguji reliabilitas gabungan, yaitu menguji nilai reliabilitas antar blok indikator dari konstruk yang membentuknya. Uji reliabilitas dilakukan untuk membuktikan akurasi, konsistensi dan ketepatan instrumen dalam mengukur konstruk. Uji reliabilitas suatu konstruk dengan indikator refleksif dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu composite reliability dan cronbach’s alpha. Penggunaan cronbach’s alpha untuk menguji reliabilitas konstruk akan memberikan nilai yang lebih rendah (under estimate) sehingga lebih disarankan untuk menggunakan composite reliability dalam menguji reliabilitas suatu konstruk. Rule of thumb uji reliabilitas konstruk dengan indikator refleksif dapat dilihat pada Tabel 4.11. Tabel 4.11 Rule of Thumb Uji Reliabilitas Konstruk Parameter Composite reliability
a. b.
Cronbach’s Alpha
a. b.
Rule of Thumb > 0,70 untuk confirmatory research 0,60 – 0,70 masih dapat diterima untuk exploratory research > 0,70 untuk confirmatory research > 0,60 masih dapat diterima untuk exploratory research
2) Evaluasi model struktural (Inner model) Dalam menilai model struktural dapat dilihat dari nilai koefisien determinasi (R2) untuk setiap variabel laten endogen sebagai kekuatan prediksi dari model struktural. Nilai R2 merupakan uji goodness fit model. Perubahan nilai R2 digunakan untuk menjelaskan pengaruh variabel laten eksogen tertentu terhadap variabel laten endogen, apakah mempunyai pengaruh substantive.
33
Nilai R2 (R-square) 0,67; 0,33 dan 0,19 untuk variabel laten endogen dalam model struktural yang berturut-turut menunjukkan model kuat, moderat, dan lemah (Chin, 1998 dalam Ghozali, 2011). Hasil R2 mempresentasikan jumlah variance dari konstruk yang dijelaskan oleh model. Selanjutnya evaluasi model dilakukan dengan melihat nilai signifikansi untuk mengetahui pengaruh antar variabel melalui prosedur bootstrapping atau jeckknifing. Pendekatan bootstrap merepresentasi non parametric untuk precision dari estimasi PLS. Prosedur bootstrap menggunakan seluruh sampel asli untuk melakukan resampling kembali. Nilai signifikansi yang digunakan yaitu: t-value 1,65 (signifikan level 10%); 1,96 (signifikan level 5%); dan 2,58 (signifikan level 1%). Ringkasan Rule of Thumb model struktural dapat dilihat pada Tabel 4.12. Tabel 4.12 Ringkasan Rule of Thumb Evaluasi Model Struktural Kriteria 2
R (R-square) Effect size ƒ2 Q2 predictive relevance Q2 predictive relevance Signifikansi (two-tailed)
Rule of Thumb 0,67; 0,33 dan 0,19 menunjukkan model kuat, moderat dan lemah (Chin, 1998 dalam Ghozali, 2011) 0,02; 0,15 dan 0,35 menunjukkan pengaruh kecil, menengah dan besar. Q2 > 0 menunjukkan model mempunyai predictive relevance dan jika Q2 < 0 menunjukkan bahwa model kurang memiliki predictive relevance. 0,02; 0,15 dan 0,35 (lemah, moderat dan kuat) - t-value 1,65 (signifikansi level 10%) - t-value 1,96 (signifikansi level 5%) - t-value 2,58 (signifikansi level 1%)
Evaluasi model struktural berguna untuk mengetahui hubungan antar konstruk atau variabel laten. Bilamana hasil pengujian signifikan pada model struktural, maka dapat diartikan terdapat pengaruh yang bermakna dari variabel laten satu terhadap variabel laten lainnya.Pengujian terhadap model struktural
34
dilakukan melalui uji goodness-fit model dengan melihat nilai koefisien determinasi (R2), dan uji estimate for path coefficient (koefisien parameter jalur.
4.10.3 Analisis pendapatan petani-peternak Pendapatan petani-peternak yang dihitung adalah pendapatan dari kemitraan usaha ternak sapi potong dan usahatani tanpa ternak sapi potong. Kedua jenis pendapatan itu dalam penelitian ini merupakan pendapatan kotor (gross income) yaitu penerimaan yang hanya dikurangi dengan biaya tunai (riil) saja. Kedua jenis pendapatan ini dihitung dengan menggunakan rumus analisis pendapatan usaha ekonomi, yaitu: I = R–C Keterangan: I R C
: Gross income (pendapatan kotor) : Revenue (penerimaan tunai) : Cost (biaya tunai)
Dengan bantuan rumus tersebut, maka pendapatan petani-peternak dari kemitraan usaha ternak sapi potong dan usahatani tanpa ternak sapi potong dapat dijelaskan sebagai berikut. 1) Pendapatan dari kemitraan usaha ternak sapi potong Penghitungan pendapatan kotor dari usaha ternak sapi potong dilakukan dengan cara mengurangi penerimaan tunai dari penjualan ternak sapi potong, dengan total biaya tunai yang dikeluarkan selama proses produksi ternak sapi potong. Biaya tunai usaha ternak sapi potong dikeluarkan oleh YMTM yang meliputi pembelian bibit ternak sapi, obat-obatan, vitamin dan retribusi desa.
35
Penghitungan biaya usaha ternak sapi potong tidak mencakupi biaya kandang dan peralatan, pakan ternak dan tenaga kerja. 2) Pendapatan dari usahatani tanpa ternak sapi potong Penghitungan pendapatan usahatani dilakukan dengan cara mengurangi total penerimaan dari usahatani tanpa ternak sapi potong dengan total biaya tunai yang dikeluarkan selama proses produksi usahatani selama satu tahun. Penerimaan dari usahatani dalam bentuk tunai dan tidak tunai yang bersumber dari tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, kayu, perikanan dan ternak tanpa ternak sapi potong. Biaya tunai usahatani tanpa ternak sapi potong meliputi biaya pembelian peralatan dan perlengkapan, pajak tanah, sarana produksi (benih/bibit, pupuk, obatobatan), tenaga kerja buruh tani dan kelompok dan transportasi. Penghitungan biaya usahatani tanpa ternak sapi potong tidak mencakupi biaya tenaga kerja rumah tangga dan pupuk kompos/kandang yang digunakannya. Penghitungan konstribusi pendapatan usaha ternak sapi potong terhadap pendapatan petani-peternak dari usahatani secara keseluruhan dilakukan dengan cara membandingkan pendapatan kotor dari usaha ternak sapi potong dengan pendapatan kotor dari usahatani secara keseluruhan, dengan rumus sebagai berikut.
KPTS
PTS = ________ x 100 % PUTK
Keterangan : KPTS PTS PUTK
= kontribusi pendapatan usaha ternak sapi potong = pendapatan kotor usaha ternak sapi potong = pendapatan kotor usahatani secara keseluruhan (pendapatan usaha ternak sapi potong + pendapatan usahatani tanpa ternak sapi potong)
36