BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM HUKUM ISLAM A. Kemampuan Bertanggung Jawab Pertanggungjawaban dalam syariat islam adalah pembebanan seseorang dengan akibat perbuatan atau tidak adanya perbuatan yang di kerjakanya dengan kemauan sendiri, di mana orang tersebut mengetahui maksud akibat dari perbuatanya itu. 99 Dalam syariat islam pertanggungjawaban itu di dasarkan kepada tiga hal : 1. Adanya perbuatan yang di larang 2. Perbuatan itu di kerjakan dengan kemauan sendiri 3. Pelaku mengetahui akibat perbuatanya itu Apabila terdapat tiga hal tersebut maka terdapat pula pertanggungjawaban. Apabila tidak terdapat maka tidak terdapat pula pertanggungjawaban. Dalam sebuah hadis di rawiyatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Daud di sebutkan : Aritnya : Dari Aisyah ra. Ia berkata : telah bersabda Rasulullah saw: Di hapuskan ketentuan dari tiga hal,dari orang tidur sampai ia bangun, dari orang gila sampai ia sembuh dari anak kecil sampai ia dewasa. 100 Dengan demikian orang gila, anak di bawah
umur,
orang
yang
di
paksa
dan
terpaksa
tidak
di
bebani
pertanggungjawaban , karena dasar pertanggungjawaban pada mereka ini tidak ada.
99
A.Hanafi , Ibid, hlm. 1967 Jalaluddin As Sayuhuti, Al Jami’ Ash ShagirJuz II, Dar Al Fikr, Beirut, t.t, hlm. 24
100
68
Dalam
hal
pertangggungjawaban
pidana,
hukum
islam
hanya
membebankan hukuman pada orang yang masih hidup dan mukallaf, hukum islam juga mengampuni anak-anak dari hukuman yang semestinya di jatuhkan bagi orang dewasa kecuali ia ialah baliqh. Hal ini di dasarkan pada dalil alquran
yaitu : Artinya : dan apabila anak-anakmu telah sampai umur dewasa , maka hendaklah mereka ( juga) meminta izin, seperti orang-orang yang lebih dewasa meminta izin ,surat An-Nur, ayat 59. 101 Hukum islam tidak juga menjatuhkan hukuman terhadap pelaku yang di paksa dan orang yang hilang kesadarannya. Atas dasar ini seseorang hanya mempertanggungjawabkan perbuatanya terhadap apa yang telah di lakukanya dan tidak dapat di jatuhi hukuman atas tindakan pidana orang lain. Prinsip dasar yang di tetapkan dalam hukum pidana islam adalah segala sesuatu yang tidak di haramkan berarti di bolehkan , akan tetapi jika suatu perbuatan di haramkan , hukumanya di jatuhi sejak pengaharamanya di ketahui. Adapun perbuatan yang terjadi sebelum pengaharaman maka ia termasuk kategori pemaafan. Dapatkah suatu badan hukum mempertanggungjawabkan diri secara tiadanya dalam islam ? Ahmad Hanafi menjawabnya secara negative dengan alasan tiadanya unsur pengetahuan perbuatan dan pilihan dari badan-badan hukum
101
Ibid, (QS. An-nur 59)
69
itu. Namun orang-orang yang bertindak atas nama badan hukum tersebut dapat di mintai pertanggungjawaban pidana apabila terjadi perbuatan yang di larang. 102 Faktor yang menyebabkan terjadinya pertanggungjawaban pidana adalah di karenakan perbuatan maksiat( pelanggaran-pelanggaran) yaitu meninggalkan yang di suruh/di wajibkan oleh syara’ dan mengerjakan yang di larang oleh syara’. Pembebasan pertanggungjawaban itu merupakan ketetapan agama yang telah di gariskan dalam al-Qura’n dan Hadists Nabi. Satu riwayat menyebutkan ketika Ali bin Abi Thalib berkata kepada Umar bin Khathab : “ tahukah engkau terhadap siapa kebaikan dan kejahatan itu di catat dan mereka tidak bertanggungjawab terhadap apa yang di lakukanya, yaitu orang gila sampai ia waras, anak-anak sampai dia baliqh (puber) dan orang tidur sampai dia bangun. 103kemampuan bertanggung jawab di sini menujukkan pada mampu atau tidak secara psikis bukan secara fisik. Syariat islam menolak sintetik atau pengujian untuk menentukan masalah abnormalitas dan kriminalitas. Menurut teori ini tak ada tindakan yang dapat di sebut criminal bila pada saat tindakan itu di laksanakan pelaku mengalami kekacauan mental atau adanya dorongan yang benar-benar tidak terkendali sehinggga menyebabkan hilangnya keseluruhan mental ataupun emosi. 104
102
Topo Santoso, Menggagas hukum pidana islam,;penerapan Syariat Islam dalam konteks Modernitas,Cet . Kedua, (Bandung : Asy Syaamil Press &Grafika,2001),hlm. 16 103 Arahman I.Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-hukum Allah ( syariah ), Cet. I, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada), hlm 286. 104 Shetna Jehangir M.J, Mental Abnormaly and Crime is Constribution to syntehetic Jurispudence, dalam A. Rahman I. Doi, Penjelasan Lengkap hukum Allah ( syariath) ibid hlm 286
70
Hukum islam memberikan alternative bagi seorang mukallaf dalam melaksankan hukuman , berbeda dengan hukum positif di masa-masa revolusi perancis, karena pertanggungjawaban pidana mempunyai pengertian sendiri. Setiap orang bagaimanapun keadaanya bisa di bebani pertanggungjawaban pidana. Apakah orang itu mempunyai kemauan sendiri atau tidak, dewasa atau belum dewaa bukan hewan ataupun benda yang bisa menimbulkan kerugian kepada pihak lain dapat di bebani pertanggungjawaban. B. Unsur-unsur Pertanggungjawaban Pidana Hukum
islam
mensyaratkan
keadaan
si
pelaku
harus
memiliki
pengetahuan dan pilihan, karenanya sangat alamiyah manakala seseorang memang menjadi objek dari pertanggungjawaban pidana, karena pada seseorang memiliki kedua hal tersebut. Ini adalah salah satu prinsip dasar dalam hukum islam, bahwa pertanggungjawaban pidana itu bersifat personal artinya seseorang tidak mempertanggungjawabkan selain apa yang di lakukanya. Oleh karenanya ada suatu faktor yang semestinya menjadi alasan untuk dapat di pertanggungjawabkan suatu tindak pidana. Faktor atau sebab, merupakan seseuatu yang di jadikan oleh syari’ sebagai tanda atas musabab
( hasil/efek)
di mana keberadaan musabab di pertautkan dengan adanya sebab. 105 Adapun unsur yang mengakibatkan terjadinya pertanggungjawaban pidana antara lain : 1.
Adanya unsur melawan hukum
105
Syekh Abdul Wahhab Khallaf ,Ilmu Usulil Fiqh, hlm.91
71
Asas pertanggungjawaban hukum adalah adanya perbuatan melawan hukum atau perbuatan maksiat yaitu melakukan hal-hal yang dilarang atau meninggalkan
hal-hal
yang
di
perintahkan
oleh
hukum
islam.
Pertanggungjawaban tindak pidana itu berbeda-beda sesuai dengan tingkat pelanggaran atau perbuatan maksiatnya. Pelaku yang memang mempunyai niat bermaksud untuk melawan hukum maka sanksinya ( hukumanya ) di perberat. Namun jika sebalikknya maka hukumanya di peringan, dalam hal ini faktor yang utama di sini adalah melawan hukum. Dimaksudkan melawan hukum adalah melakukan perbuatan syari’ setelah di ketahui syar’i melarang atau mewajibkan perbuatan tersebut. Perbuatan melawan hukum merupakan unsur pokok yang harus terdapat pada setiap tindak pidana, baik tindak pidana ringan atau tindak pidana berat, yang disengaja atau tidak di sengaja. Adapun pengertian syarat( syari’) adalah sesuatu yang menjadikan
hukum
islam
tergantung pada
keberadaanya mengharuskan
ketidakberadaan suau hukum islam. 106 Dalam kaitan pertanggungjawaban karena melawan hukum dapat di bedakan dalam memahaminya antara melawan hukum dan maksud melawan hukum. Melawan hukum berarti melakukan perbuatan yang di larang atau meninggalkan keawajiban tanpa ada maskusd dari si pelaku itu sendiri namun menimbulkan kerugian terhadap orang lain. Adapun maksud melawan hukum adalah kecenderungan niat si pelaku untuk melakukan atau meniggalkan
106
Op.cit, Syekh Abdul Wahhab Khallaf, hlm. 93
72
perbuatan yang di ketahui bahwa hal itu di larang atau memperbuat kemaksiatan dengan maksud melawan hukum. 107 Apabila suatu perbuatan terdapat faktor pertanggungjawaban pidana yaitu melakukan kemaksiatan (melawan hukum) dengan adanya dua unsur mengetahui dan memiliki, maka pertanggungjawaban pidana pertama-tama merupakan keadaan yang ada pada diri pembuat ketika melakukan tindak pidana, kemudian pertanggungjawaban pidana juga berarti menghubungkan antara keadaan pembuat tersebut
dengan
perbuatan
dan
sanksi
yang
sepatutnya
di
jatuhkan.
Pertanggungjawaban pidana karenanya harus dapat berfungsi sebagai preventif , sehingga terbuka kemungkinan untuk sedini mungkin menyadari akan konsekuensi tindak pidana dari perbuatan yang di lakukanya dengan penuh resiko ancaman hukumanya. 2. Adanya kesalahan Faktor yang menyebabkan adanya pertanggungjawaban pidana adalah perbuatan maksiat, yaitu mengerjakan perbuatan yang di larang oleh syara’. Di maksudkan di sini adalah keesalahan seseorang terhadap perbuatan yang telah ditentukan tidak boleh di lakukan .hal ini menyangkut seseorang itu telah meninggalkan kewajiban atau perintah , sehingga kepadanya dapat di mintakan pertanggungjawaban. Ada suatu perbedaan dalam memahami kesalahan sebagai faktor pertanggungjawaban perbedaan ini berkaitan dengan pengertian antara tindak 107
Ali yafie, Ahmad Sukarja, Muhammad Amin Suma,dkk. Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, Edisi Indonesia, (Jakarta : Kharisma Ilmu, 2008), Hlm .81
73
pidana dengan kesalahan itu sendiri, di mana menurut beberapa ahli hukum bahwa pengertian tindak pidana tidak di temukan dalam undang- undang hanya saja tindak pidana merupakan kereasi teoritis yang di kemukakan oleh para ahli hukum. Hal ini akan membawa beberapa konsekuensi dalam memahami tindak pidana. Karena menurut para ahli hukum kesalahan harus di pisahkan dari pengertian tindak pidana dan kesalahan itu sendiri adalah faktor penentu dari pertanggungjawaban. Pengertian tindak pidana hanya berisi tentang karakeristik perbuatan yang di larang dan di ancam dengan hukuman. Pemahaman ini penting bukan saja secara akedemis tetapi juga sebagai suatu kesadaran dalam membangun masyarakat yang sadar akan hukum. Sebuah adegium sebagaimana yang telah penulis yang kemudian menjadi isyarat bahwa tidak dapat di pidana adanya kesalahan. Kesalahan yang di maksudkan di sini adalah kesalahan yang objektif artinya tentang kesalahan dalam keterangannya tentang schuldbegrip yang membagikan kepada tiga bagian; 108 a. Kesalahan selain kesengajaan atau kealpaan ( opzeto of schuld) b. Kesalahan juga meliputi sifat melawan hukum ( de wederrechtelijk heid) c. Kesalahan
dengan
kemampuan
bertanggungjawab(de
toerekenbaaheid) Kesalahan bukan hanya menentukan dapat di pertanggungjawabkannya si pelaku akan tetapi dapat di pidanya si pelaku. Karena kesalahan merupakan asas 108
Teguh Prasetyao dan Adul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana, kajian kebijakan kriminalisasi dan deskriminalisasi, Cet. I, (Yogyakarta :Pustaka Pelajar, 2005), hlm .56
74
fundamental dalam hukum pidana, kesalahan yang menentukan dapat di pertanggungjawabkanya si pelaku adalah hal mana cara melihat bagaimana melakukanya, sedangkan kesalahan yang menetukan dapat di pidanya si pelaku dengan memberikan sanksi hal demikian adalah cara melihat bagaimana dapat di pertanggungjawabkan perbuatan tersebut kepadanya. Pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan biasanya di bedakan dari pertanggungjawaban mutlak. Bila tatanan hukum menetapkan di lakukanya suatu tindakan atau tidak di lakukanya suatu tindakan yang dapat menimbulkan kejadian yang tidak maka dapat di bedakan antara kasus yang kejadianya itu di sengajakan atau dapat di antisipasi oleh individu yang perilakunya di pertimbangkan dan kasus di mana kejadinya berlangsung tanpa di sengaja atau tanpa di antisipasi atau dapat di sebut kecelakaan atau kesengajaan . pada kasus yang pertama adalah pertanggungjawaban yang berdasarkan kepada kesalahan sedangkan pada kasus yang kedua jika di masksudkan apakah maksud dari si pelaku bersifat jahat secara subjektif dengan tujuan menimbulkan luka atau kerugian atau sebaliknya berisifat baik. Pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan biasanya mencakup persolan kelalaian. Kelalaian terjadi biasanya adalah karena tidak terjadi pencegah suatu perbuatan yang menurut hukum itu di larang. Kendatipun kelalaian itu tidak di kehendaki atau tidak di sengaja oleh orang yang melakukan perbuatan tersebut. C. Hapusnya Pertanggung Jawaban Pidana
75
Dasar penghapusnya pidana atau yang di sebut dengan alasan-alasan menghilangkan tindak pidana termuat dalam buku I KUHP, di samping itu ada juga alasan penghapus tindak pidana di luar KUHP atau yang ada dalam masyarakat, misalnya suatu perbuatan oleh suatu masyarakat tidak di anggap tindak pidana karena mempunyai alasan-alasan tersendiri yang secara hukum materil juga tidak di anggap terlarang. Juga karena alasan pendidikan seorang orang tua menutut anaknya untuk mengajarkan suatu kebaikan, bisa saja orang tua tidak punyai kesalahan sama sekali karena keliru dalam fakta . Dalam kedaan tertentu terkadang suatu perbuatan yang di lakukan oleh seseorang dapat berujung pada terjadinya tindak pidana, walaupun orang tersebut tidak menghendaki terjadinya tindak pidana .dengan kata lain tindak pidana dapat saja terjadi adakalanya seseorang tidak dapat menghindari karena sesuatu yang berasal dari luar dirinya. Faktor luar tersebut membuat seseorang itu tidak dapat berbuat lain sehingga mengakibatkan kesalahanya itu terhehapus, artinya pada diri si pelaku terdapat alasan penghapus kesalahan. Sekalipun kepada pelaku dapat di cela tapi dalam hal-hal tertentu celaan tersebut menjadi hilang atau tidak dapat di teruskan. 109 Berbeda halnya apabila kesalahan di pahami dalam pengertian psikologi si pelaku, sekalipun terdapat faktor eksternal yang di pandang telah mengilangkan kesalahan tetapi mengingat kesalahan selalu di pandang sebagai kondisi psikologis si pelaku ketika melakukan tindak pidana maka alasan pengahapusan kesalahan merupakan alasan menghilangkan kesengajaan atau kealpaan. 109
Chairul Huda, Dari tiada pidana tanapa kesalahan menuju kepada tiada pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan, Cet. I, Jakarta : (Prenada Media, 2006), hlm.119
76
Dalam
masalah
penghapusan
pidana
terdapat
dua
alasan/dasar
penghapusan pidana itu dasar pembenar ( permissibility) dan dasar pemaaf ( legal excuse). 110Suatu perbuatan pidana di dalamnya terdapat alasan pembenar sebagai penghapus pidana maka suatu perbuatan tersebut menjadi kehilangan sifat melawan hukum sehingga menjadi legal atau secara agama terdapat kebolehan melakukannya sehingga pelaku tidak di kenai hukuman. Adanya alasan pembenar berujung pada “pembenar” atas tindakan yang sepintas lalu melawan hukum, sedangkan adanya alasan pemaaf berdampak pada “pemaafan” pembuatanya sekalipun telah melakukan tindak pidana yang melawan hukum. Yang termasuk dalam alasan pembenar di antaranya bela paksa, keadaan darurrat , pelaksaaan peraturan perundang-undangan dan perintah jabatan, seseorang yang karena membela badan/jiawa , kesusilaan atau membela harta miliknya dari sifat melawan hukum orang lain maka kepadanya tidak dapat di mintakan pertanggungjawaban jika perbuatan melawan hukum terjadi padanya . Pertanggungjawaban pidana dapat di nyatakan hapus karena ada kaitanya dengan perbuatan yang terjadi atau kaitanya dengan hal-hal yang terjadi menurut keadaan bagi si pelaku. Dalam keadaan yang pertama ini adalah perbuatan yang di lakukan tersebut merupakan perbuatan mubah ( dalam agama tidak ada pelarangan karena hukum asal ) , sedangkan keadaan yang kedua adalah perbuatan yang di lakukan itu merupakan perbuatan yang terlarang namun si pelaku tidak dapat di beri hukuman karena ada suatu keadaan pada si pelaku yang dapat terhindar dari hukuman. Kedua keadaan ini ( perbuatan dan pelaku) dalam
110
Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam, Op.Cit,hlm 169
77
kaedah agama di sebut asab al ibahdah dan asbab naïf al uqubah. Asbab alibahah atau sebab di bolehkanya perbuatan yang di larang pada umumnya berkaitan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban. 111 1. Disebabkan perbuatan Mubah ( asbab al ibahah) Pada dasarnya perbutan-perbuatan yang di larang oleh hukum islam itu merupakan perlarangan secara umum bagi semua orang . Meski demikian hukum islam melihat adanya pengecualian atas dasar pembolehan bagi sebagian orang yang memiliki karekter –karekter khusus di sebabkan oleh keadaan tuntutan dari masyarakat tertentu. 112Contohnya adalah pembunuhan. Perbuatan ini di haramkan dalam islam bagi setiap orang. Hukuman bagi pembunuh adalah qisas yaitu berupa hukuman mati dan islam memberikan hak bagi si wali korban, sebagimana di sebutkan dalam Qur’an , S.17:33
“… dan barang siapa di bunuh secara dhalim maka sesungguhnya kami telah memberi kekuasaan kepada walinya, tetapi janganlah wali itu melampaui batas dalam pembunuhan..” Contoh lain dalam hal melukai , perbuatan melukai adalah tidak di benarkan dalam islam. Akan tetapi meluaki dengan maksud melakukan operasi merupakan perbuatan yang di bolehkan karena suatu kebolehan yang di kehendaki
111
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah,Cet. I ,(Jakarta : Sinar Grafika, 2004) , hlm.85 112 Ali Yafie , Ahmad Sukarja, Muhammad Amin Suma, dkk, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, Edisi Indonesia, Op.cit, hlm. 135
78
oleh keadaan. Juga dalam memukul , perbuatan tersebut adalah di larang dalam islam, akan tetapi memukul dengan maksud memberikan pendidikan/pelajaran adalah sesuau yang dapat di bolehkan sejauh pemukulan itu tidak bermaksud melukai. Di samping itu hukum islam memperkenankan para pendidik tersebut memukul anak didiknya dalam rangka memberi pendidikan dan mengajari mereka sebagai bentuk perwujudan atas kewajiban yang di bebankan kepada para pendidik. Perwujudan atas kewajiban yang di bebankan kepada paran pendidik. Perwujudan dari kewajiban itu merupakan menjalankan kemaslahatan individu dan masyarakat serta mewujudkan tujuan dari syari’ itu sendiri. Jika suatu perbutan yang di larang namun di bolehkan secara logika hanya untuk mewujudkan suatu kemaslahatan tertentu, akan tetapi suatu perbuatan yang di larang namun di kerjakan di luar maksud dari kemaslahatan itu maka tetap di anggap suatu tindak pidana. Melaksanakan kewajiban dan hak mempunyai perbedaan
tabiat
satu
sama
lain
mempunyai
hal
penting.
Tidak
melaksanakan/menggunakan hak tidak berdosa dan tidak di hukum sedangkan orang yang di bebani kewajiban akan berdosa dan dapat di hukum ketika tidak melaksanakanya , hal ini di sepakati oleh para fukaha. Hak mempunyai keterikatan dengan syarat keselamatan, artinya orang yang mengggunakan haknya senantiasa mempunyai tanggungjawab terhadap keselamatan objek dari hak tersebut karena yang menggunakan hak tersebut mempunyai pilihan antara mengerjakan dan tidak mengerjakan. Sedangkan kewajiban tidak mempunyai tanggungjawab terhadap objek dari sebuah kewajiban itu.
79
Ahmad Wardhi Mulich mengutib Abdul Qadir ‘Audah mengemukakan bahwa sebab di bolehkannya perbuatan yang di larang itu ada enam macam, yaitu: 113 1. Pembelaan yang sah ( Difa’ asy-Syari’) Dalam hukum islam di kenal pembelaan atas dua macam a. Pembelaan khusus (Difa’ asy-Syari’ al-khass ) Pembelaan
khusus di maksudkan adalah seseorang itu mempunyai
kewajiban dalam mempertahankan/ melindungi dirinya, haknya dan harta bendanya dengan cara-cara yang di benarkan dari perampasan orang lain. 114 Apabila seseorang melakukan suatu pembelaan atas suatu serangan maka harus ada kesinambungan antara kepentingan yang melindungi dengan kepentingan yang menyerang. Maksudnya adalah seseorang tidak di bolehkan melanjutkan penyerangan manakala serangan lawan sudah di hentikan. Pembelaan khusus baik yang bersifat wajib atau mempertahankan haknya di maksudkan bukan sebagai serangan hukuman terhadap penyerang. Menurut Islam seseorang berhak mempertahankan jiwa, harta, kehormatan dirinya dan orang lain dari serangan orang lain dengan kekuatan yang lazim dari setiap pelanggaran dan penyerangan yang tidak sah. Jadi jika seseorang di serang orang lain untuk di bunuh , dan tidak ada jalan lain untuk membela diri kecuali membunuh pula maka ia tidak dapat di pidana, Dalam hal ini ada syarat yang terjadi yaitu adanya keseimbangan dan tidak ada jalan lain. Hal ini akan menghapuskan atau menghilangkan sifat tindak
113
Ahmad Wardi Muslich, ibid, hlm.85 Abdul Khadir Audah ,Al-tasri di terjemahkan oleh tim salsilah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam II, ( Jakarta : Penerbit, PT. Kharisma , Tahun 2007), hlm. 138 114
80
pidana
karena
alasan
pembelaan
diri
dengan
dasar
pembenar
dari
pertanggungjawaban pidana. b. Pembelaan bersifat umum ( Difa’ asy-syari’ al-‘am) Diistilahkan pembelaan bersifat umum dalam Islam adalah amar ma’ruf nahi munkar , yaitu membela atas kepentingan orang banyak/kepentingan umum. Para fukaha menyepakati bahwa membela kepentingan umum dalam rangka amar ma’ruf nahi munkar merupakan kewajiban yang tidak boleh di tinggalkan. Pembelaan bersifat umum ini bertujuan agar di dalama masyrakat akan tumbuh sifat-sifat keutamaan dan dapat berdiri di atas kebijakan individu sehingga penyelewangan dan jarimah akan berkurang. Ma’ruf adalah semua perkataan atau perbuatan yang perlu di ucapakan atau di lakukan sesuai dengan nash, dasar umum ( aturan pokok) dan jiwa hukum Islam, sedangkan mungkar adalah setiap maksiat yang di haramkan oleh hukum Islam baik di kerjakan oleh orang mukallaf ( orang yang di bebani hukum ) atau non mukallaf. 115setiap mulsim wajib melakukan amar ma’ruf nahi mungkar sesuai dengan kesanggupanya meskipun ada orang lain yang lebih mampu diri darinya untuk melakukanya. 2. Pendidikan dan pengajaran Di maksudkan mendidik dalam hal ini adalah untuk mencegah terjadinya maksiat pada masa yang akan datang. Pendidikan di mulai dengan cara yang paling ringan. Dalam Islam pendidikan yang paling baik di mulai dari lingkungan keluarga. Berdasarkan pendapat yang kuat dari kalangan mazhab syaf’i dan 115
Ali Yafie , Ahmad Suakrja, Muhammad Amin Suma,dkk, Ensiklopedi Hukum Pidanan Islam, Edisi Indonesia, Op.cit, hlm. 156-157
81
hambali, menyatakan bahwa seorang suami yang memukul isterinya karena melakukan maksiat, baik di lakukan dengan cara berulang-ulang atau tidak, baik sudah di peringatkan atau belum maka suami tidak dapat di jatuhi hukuman karena suami menggunakanya haknya dalam batas-batas yang di tetapkan. Juga seorang ayah memukul anaknya untuk memberi pelajaran dengan batas-batas tertentu. 3. Pengobatan Pengobatan sangat terkait dengan bidang kedokteran. Kedokteran menjadi suatu kewajiban yang umum dalam agama, artinya mempelajari ilmu kedokteran adalah fardhu kifiyah akan berubah hukumanya menjadi fardhu ‘ain jika tidak ada orang yang mau mempelajari ilmu kedokteran tersebut. Mempelajari ilmu kedokteran di anggap suatu kewajiban karena kebutuhan masyarakat untuk berobat. Jika tujuan merupakan ilmu kedokteran untuk mengobati masyarakat yang membutuhkan pengobatan maka hukumnya wajib. Karena hukumnya wajib maka seorang dokter tidak bisa menghindari dari kewajiban mengobati orang yang membutuhkanya. Pengobatan di anggap fardhu kifayah jika dalam suatu daerah atau tempat lebih banyak terdapat dokternya namun jika tidak ada dokternya menjadi fardhu ain. Akibat
logis
atas
wajibnya
pengobatan
adalah
dokter
tidak
bertanggungjawab atas pekerjaaan dan lapangan pengobatan karena ada kaedah yang menetapkan bahwa kewajiban tidak terikat dengan keselamatan , karena cara
82
menunaikan kewajiban tersebut di serahkan kepada dan ijtihad ilmiah dari dokter itu sendiri. 116 Menurut imam Abu Hanifah, pertanggungjawaban tersebut hapus karena dua sebab , yaitu (1) kebutuhan masyarakt, pengobatan merupakan kebutuhan dan di perlukan oleh masyarakat karenanya melaksanakan tugas kedokteran mengharuskan adanya adanya jaminan kebebasan dalam profesinya sehingga tidak ada kekhawatiran dalam menjalankan tugasnya dan (2) adanya izin/persetujuan
dari
pasien
dan
pihak
keluarga. 117pembebasan
dari
pertanggungjawaban tersebut tentu saja di dasarkan atas adanya niat yang baik dari seorang dokter dan usaha-usaha sungguh-sungguh untuk kebaikan dan kesembuhan seorang pasien. 4. Permainan olahraga Islam menjunjung tinggi dan membolehkan untuk menguatkan badan, menyegarkan pikiran dan membangkitkan keberanian serta sifat kepahlawananya melalui kegiatan olahraga. Hukum Islam juga mengajurkan permainan kesatriaan , karena dengan itu dapat menyegarkan tubuh serta pikiran. Hukum islam membolehkan segala jenis permainan kekesatrian yang mencari keunggulan kekuatan dan keahlian serta bermanfaat bagi masyarakat. Di kalangan fuqaha kegiatan olahraga yang di kenal dengan istilah al’ab al furusiah. Hukum Islam
116
Ali yafie , Ahmad Sukarja , Muhammad Amin Suma , dkk, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, Edisi Indonesia, Ibid, hlm . 183 117 Ahmad Wardi Musich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah , Op.Cit, hlm. 109
83
memiliki keistimewaan karena memberi pernyataan yang jelas tentang perintah dan anjuran bermain kesatrian. 118 Permainan olahraga atau kesatrian terkadang menimbulkan cedera atau luka-luka , baik yang menimpa pemain maupun orang lain, jika dalam permainan olahraga tersebut kecelakaan yang berakibat luka-luka maka hukum islam akan berlaku umum. Kalau luka tersebut terjadi akibat menggunakan kekerasan dengan kesengajaan, akan tetapi permainan olahraga atau kekesatrian yang sifatnya menggunakan kekuatan badan dalam menghadapi lawan seperti gulat , tinjau dan sejenisnya maka tidak dikenai hukuman asal tidak melampui batas-batas tertentu yang telah di tetapkan . Hapusnya pertanggungjawaban pidana dalam kegiatan permainan olahraga atau kekesatrian menurut sebagian sarjana hukum karena dalam permainan yang sah secara undang-undang . 5. Hapusnya jaminan keselamatan Di maksudkan dengan hapusnya jaminan adalah boleh di ambil tindakan terhadap jiwa atau anggota badan seseorang utuk di lukai atau di bunuh bahkan terhadap hartanya sekalipun , dalam istilah agama hapusnya jaminan keselamatan di sebut dengan ismah. 119 Jaminan keselematan dapat di peroleh dengan dua cara , yaitu (1) karena iman atau islamnya seseorang dan (2) karena perjanjian baik sementara atau selamanya . seseorang yang telah beriman atau telah memeluk agama islam 118
Qura’an S;8;60 , artinya dan persiapkanlah dengan segala kemampuan untuk menghadapi mereka dengan kekuatan yang kamu miliki dari pasukan berkuda,….” 119 Ali Yafie , Ahmad Sukarja , Muhammad Amin Suma, dkk. Ensiklopedi Hukum Piadana Islam, Edisi Indonesia , Ibid.hlm.191, lihat juga Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas HUkum Pidana Islam Fikih Jinayah, hlm .112
84
kemudian keluar dari keimananya atau murtad , maka dalam hukum islam halal darahnya artinya seseorang itu hilang jaminan keselamayantannya, juga dengan orang yang kafir kemudian mematuhi aturan dalam wilayah islam maka akan ada perjanjian jaminan keselamatan selama mereka mematuhi dan menanti ketentuan yang ada dalam wilayah islam. Islam telah menjamin keselamatan jiwa dan hartanya orang-orang non muslim manakala jika mereka mematuhi dan taat kepada aturan yang ada dalam islam , sebagaimana dalil al-Qura’an s:9;6
“ dan jika di antara kaum musyrikin ada yang meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah agar dia dapat menedengar firman Allah, kemudian antarkanlah dia ketempat yang aman baginya ….” Satu-satunya sebab adanya ihdar ( kebolehan melakukan tindakan terhadap jiwa atau anggota badan ) di karenakan hilangnya ismah ( jaminan keselamatan dan terpilihnya jiwa dan harta ). Ismah akan hilang karena hilangnya sebab-sebab. Suatu kaedah umum yang ada dalam hukum islam , bahwa daerah dan harta itu terpelihara , dasaranya adalah iman ( islam ) dan jaminan keamanan . Ismah akan hilang pada diri seseorang yang melakukan tindak pidana ihdar
( pidana yang
menghalalkan darah pelakunya ). Sebagaimana ismah akan hilang karena murtad , habisnya jaminan keamanan, melanggar perjanjian sebagainya. Tindak pidana yang termasuk dalam kaedah ihsdar wajib memiliki syarat yaitu; harus
85
mempunyai hukuman yang tertentu ukuran hukuman tersebut dapat merusak jiwa dan anggota badan. Ketika kedua syarat tersebut tidak dapat terpenuhi dalam suatu tindak pidana maka tidak di anggap tindak pidana, contohnya seorang ayah mencuri harta anaknya , peristiwa ini hanya di hukum diyat. 6. Menggunakan wewenang dan kewajiban bagi pihak yang berwajib. Dalam hukum islam ada suatu kewajiban yang harus di pikul dan di laksanakan oleh penguasa atau pemimpin untuk mewujudkan suatu kemaslahatan bagi masyarakat pada umumnya . orang-orang yang melaksanakan kewajiban tersebut merupakan orang-orang yang memang bertugas sebagai pelayan publik/masyarakat
pada
umumnya.
Islam
meletakkan
dasar
terhadap
tanggungjawab bagi pemimpin atau penguasa. Kaedah hukum islam menetapkan bahwa petugas pemerintah tidak dapat di kenai pertanggungjawaban pidana apabila
menunaikan
tugasnya/kewajibannya
sesuai
denagan
batas-batas
kewenanganya. Apabila terjadi pelanggaran dalam menunaikan kewajibanya tersebut maka bertanggungjawab secara pidana jika dia tahu bahwa itu adalah bukan hanya atau itu adalah pelanggaran. Salah satu penerapan kaedah ini adalah dalam melaksanakan hukuman hudud. Semua ulama sepakat bahwa melaksanakan hukuman hudud adalah wajib, jika terjadi kerusakan dalam melaksanakan hukuman hudud adalah wajib, jika terjadi kerusakan dalam melaksanakan hukuman tersebut pelaksanaanya tidak dapat di mintai pertanggungjawaban pidana. 2. Di sebabkan hapusnya hukuman ( Asbab rafi’ al uqubah )
86
Sebab hapusnya hukuman tidak mengakibatkan perbuatan yang di lakukan itu di bolehkan , melainkan tetap pada asalnya yaitu di larang. Hanya saja oleh karena keadaan si pelaku tidak mungkin di laksanaknya hukuman maka ia di bebaskan dari hukuman di dalam islam ada 4 macam sebab yang dapat menghapuskan hukuman. 120 a. Karena paksaan Paksaan adalah istilah hukum di sebut dengan overmacht yang selama berabad-abad telah menarik perhatian para yuris maupun filosuf. Salah seorang filosof jerman, Immanuel kant, menyatakan bahwa ada alasan seseorang tidak dapat di pidana karena mempunyai daya paksa terhadap perbuatan yang terjadi, dia menekanya bahwa tiadanya efek pidana sebagai dasar peniadaan pidana. Dalam pandangan hukum alam perbuatan yang di lakukan dalam keadaan overmacht di anggap keadaan daruart tidak mengenal larangan ( necessitas non habet legem) , di katakan fichte bahwa perbuatan overmacht di kecualikan dari tertib hukum. 121 sejarah perundang-undangan menyatakan bahwa overmacht merupakan alasan atau sebab eksternal yang tidak dapat di mintai pertanggungjawaban pidana dan menggambarkanya bahwa setiap daya, dorongan, paksaan yang membuat seseorang paksaaan merupakan sebuah perbuatan yang di perbuat
120
Ali Yafie , Ahmad Sukarja ,Muhammad Amin Sua, dkk, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, Edisi Indonesia ,Ibid, hlm. 220 , lihat juga Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas HUkum Pidana Islam Fikih Jinayah,hlm. 116. 121
Jam Rmmelink, Hukum Pidana komentar atas pasal-pasal Terpenting dari kitab Undang-undang Hukum Belanda dan Padananya dalam kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia , di terjemah oleh : Tristam Pascal Moeliono, Marjanne Termorshuizen-Arts dan Widati Wulandari, (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama), hlm. 225
87
karena pengaruh orang lain untuk melakukanya suatu perbutan yang di perbuat karena pengaruh orang lain untuk melakukannya suatu perbuatan karena hilangnya kerelaan dan merusak pilahanya. Para fukaha berpendapat bahwa dalam paksaan harus ada perbuatan materil yang di timpakan kepada orang yang di paksa yang membuatnya melakukan perbuatan yang dapat di paksa kepadanya. Karenanya paksaan itu harus bersifat materil dan di dahului oleh perbuatan penyiksaan yang di timpakan kepada orang yang di paksa. b. mabuk mabuk dalam islam sangat di larang baik mabuk karena minuman atau karena makanan yang sifat pekerjaan nya di sengaja. Mabuk termasuk dalam salah satu kelompok jarimah, yaitu meminum minuman keras. Secara umum yang di maksudkan dengan mabuk adalah hilangnya akal sehat sebagai akibat minum minuman keras , khamar atau yang sejenis dengan itu. Semua para fukaha sependapat bahwa mabuk bisa mneghilangkan akal sehatnya dan akan selalu mengigau dalam setiap pembicaraanya. Menurut pendapat yang kuat (rajah) dari ulam mazhab yang empat , bahwa tidak ada pertanggungjawaban pidana bagi orang yang mabuk manakala mabuknya itu di paksakan oleh orang lain, mabuk karena tidak mengetahui terhadap minuman yang di minum atau makanan yang di makan, maka ketika melakukan perbuatan atau tindak dalam keadaan mabuk di hukum sama dengan orang gila. c. Gila
88
Pertanggungjawaban pidana di bebankan pada seseorang yang mukallaf, yaitu yang memiliki kemampuan berpikir dan pilihan dalam berbuat. Jika kedua faktor tersebut tidak di miliki oleh seorang maka tidak dapat di mintai pertanggungjawaban .kemampuan berpikir seseorang itu bisa atau dapat hilang karena suatu bawan sejak lahir atau karena suatu sebab adanya gangguan dari luar. Manusia ketika mencapai kedewasaan sudah dapat dengan matang menggunakan kekuatan berpikirnya , akan tetapi karena adanya suatu gangguan atau karena serangan penyakit baik itu sebagian atau seluruh alam berpikirnya hilang bisa kapan dan di mana saja tanpa ada waktu tertentu. Hilangnya kemampuan berpikir ( akal sehat) dalam kehidupan sehari-hari dapat dinamakan dengan gila.abdul Qadir ‘Audah memberikan suatu definisi , sebagai berikut; 122 “artinya : gila adalah hilangnya akal, rusak atau lemah” Hilangnya kekuatan berpikir secara sempurna terkadang terus menerus maka itu di namakan dengan gila terus menerus, artinya hilangnya kekuatan berpikir hanya beberapa saat ( gila kambuhan/berselang). Dari segi hukum jika terjadi tindak pidana, keadaan si pelaku dalam keadaan gila maka tidak ada hukuman baginya ( di bebaskan dari hukuman). Gila bukan berarti member kebolehan tetapi dengan keadaan gila menghapuskan hukumanya dari si pelaku. Baik hukum nasional ( hukum Positif) maupun hukum islam tidak ada perbedaan dalam masalah tindak pidana orang gila. Secara pidana perbuatan orang gila tidak dapat dalam masalah tindak pidana orang gila. Secara pidana perbuatan pidana tidak dapat di hukum namun 122
Abdul Qadir ‘Audah, Al-Tasyri’ al jian’iy al- islamy, muqaranan bil-Qammil Wadhi’iy, Juz Awal ,(Beirut : Muasasah Riasalah , 1996), hlm.127
89
secara perdata perbuatan orang gila di pertanggungjawabkan oleh keluarga selama hak-hak tersebut berada di bawah perwalian keluarga, maka akan ada pertangggungjawaban perdata dalam bentuk ganti rugi. d. Di bawah umur Konsep pertanggungjawaban anak kecil ( anak di bawah umur) merupakan konsep yang paling baik dan tepat dalam hukum islam. Di samping itu hukum romawi yang merupakan hukum positip pertama di dunia membuat pemisahan pertanggungjawaban anak-anak di bawah umur dengan orang dewasa dalam batasan usia tujuh tahun. Hukum ini menjadikan anak berusia di atas tujuh tahun memiliki tanggungjawab pidana, dalam keadaan seperti si anak yang belum mencapi umur dewasa menurut hukum islam telah mendapatkan tanggungjawab pidana atas perbuatan yang di lakukanya. Hukum islam di pandang sebagai hukum pertama di dunia yang membedakan secara sempurna antara anak kecil dengan orang dewasa dari segi tanggungjawab pidana. Dalam hukum islam tanggungjawab pidana terdiri dari dua unsur yaitu mempunyai berpikir dan mempunyai pilihan. Menurut para fukaha, dasar dalam menentukan usia dewasa adalah sabda rasullah SAW, yang artinya ; “di angkat pembebanan hukum dari tiga jenis orang;anak-anak sampai ia baliq, orang tidur sampai ia bangun dan orang gila sampai ia sembuh/sadar.” Dari makna hadits di atas “ di angkat pembebanan “ menunjukkan bahwa ada syarat atau sebab sehingga adanya tautan syara’. Anak-anak sampai ia baliq
90
menunjukkan bahwa syarat/sebab yang harus ada adalah bermimpi basah. Ini merupakan hukum asal yang telah di tetapkan dalam hukum islam. Apabila seseorang anak belum juga mengalami mimpi basah pada usia mencapai baliq, hal mana di anggap telah terjadi suatu kerusakan/kelainan pada orang tersebut, karena itu wajib di anggap orang tersebut telah baliq yang mewajibkan padanya pembebanan hukum. Alasan pandangan ini memberikan batasan usia delapan belas atau Sembilan belas tahun. Didalam
hukum
pidana
Indonesia
(KUHP)
ketentuan
mengenai
tanggungjawab pidana anak di bawah umur di sebutkan pada pasal 45, menyebutkan bahwa jika seorang anak masih berusia kurang dari enam belas tahun melakukan perbuatan tindak pidana, maka hakim dapat menentukan pilihan putusanya yaitu ; a. Anak tersebut dikembalikan pada orang tua atau walinya tanpa penjatuhan hukuman. b. Anak tersebut di serahkan/di titipkan kepada pemerintah untuk mendapatkan pendidikan, juga tanpa ada hukuman baginya c. Anak tersebut di jatuhi hukuman, hukuman tersebut merupakan hukuman pokok maksimal yang di kurangi sepertiganya.
91
BAB IV PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA YANG DI LAKUKAN OLEH ANAK-ANAK DALAM PERPSEKTIF HUKUM PIDANA POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM. A. Persepektif Hukum Pidana Positif Perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana adalah dua hal yang bersifat korelatif. Sebuah perbuatan pidana menuntut pertanggungjawaban pidana sebagai konsekuensi atas perbuatan yang di lakukan. maka, benar yang di katakana oleh fathi Bahassi, responsibility ulitaritalty means the assumption of the consequences for one’s act. 123( pada akhirnya pertanggungjawaban berarti penerimaan akibat atas tindakan yang di lakukan seseorang) Dalam ketentuan hukum pidana positif di Indonesia, prinsip umum mengenal bahwa perbuatan pidana yang di lakukan oleh siapapun mutlak di pertanggungjawabkan, sebab perbuatan pidana dengan nyata telah merugikan pihak lain, maka konsekuensinya menuntut pembalasan berupa sanksi hukuman dan sebagainya. prinsip-prinsip khusus juga di kenal dalam hukum pidana postif Indonesia yakni, berupa pengeculaian, pengurangan dan penambahan hukuman. Ketentuan Bab III Pasal 44 menyatakan sebagai berikut : 1. Barangsiapa mengerakan sesuatu perbuatan, yang tidak dapat di pertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna tidak dapat di pertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya atau karena sakit akal tidak boleh di hukum.
123
Bahnassi, Ahmad Fathi, “Criminal Responsibilty in Islamic Law”, dalam M.Cherif Bassiouni (ed)… The Islamic Criminal Justice System ( New York : Oceana Publication, 1982), hlm.176
92
2.
Jika nyata perbuatan itu tidak dapat di pertanggungkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya atau karena sakit berubah akal maka hakim boleh memerintahkan menempatkan dia di rumah sakit gila selama-lamnya satu tahun di periksa
3. Yang di tentukan dalam ayat yang di atas ini hanya berlaku bagi mahkamah Agung, pengadilan Tinggi dang Pengadilan Negeri Pasal 4 di atas menjelaskan tentang seseorang yang tidak dapat di hukum di karenakan perbutanya tidak dapat di Pertanggungjawabkan kepadanya karena : 124 (1) Kurang sempurna akalnya. Yang di maksud dengan perkataan akal di sini belandanya mengatkan “verstadelijk vermogens” Teks KUHP negeri Belanda memakai kata “geest vermogens” yang berarti kekuatan atau daya jiwa. Siapakah yang di anggap sebgai kurang sempurna akalnya itu misalnya idiot, buta-tuli dan bisu sejak lahir. Orang-orang semacam itu sebenarnya tidak sakit, akan tetapi karena cacat-cacatnya mulai lahir, sehingga pikiranya tetap sebagai kanak-kanak. (2) Sakit
berubah
akalnya,“ziekelijke
storing
der
verstandelijke
vermogens” yang masuk dalam kategori ini adalah, sakit gila, histeri, epilepsy dan bermacam-macam penyakit jiwa lainnya. Penting juga di tegaskan bahwa mereka yang terganggu pikiranya karena mabuk minuman keras pada umumnya tidak di pandang masuk kategori di atas,
124
Soesilo, R.., Kitab Undang-undang Hukum Pidana ( KUHP) serta komentarkomentarnya lengkap demi pasal ( Bogor: Politeia, 1991), hlm .60-1
93
kecuali dapat di buktikan, bahwa mabuknya itu sedemikian rupa sehingga ingatanya hilang sama sekali. Mengenai pertanggungjawaban perbuatan pidana atas tindak pidana yang di lakukan oleh kanak-kanak, semula di tegaskan dalam pasal 45 KUHP yang menyatakan sebagai berikut : Jika seseorang yang belum dewasa di tuntut karena perbutan yang di kerjakanya ketika umurnya belum enam belas tahun, hakim boleh memerintahkan, supaya si tersalah di kembalikan kepada
orang tuanya ; walinya atau
pemeliharanya, dengan tidak di kenakan sesuatu hukuman, yakni jika perbuatan itu masuk bagian dalam pasal 489, 490, 496, 503-505, 519, 526, 531, 532, 536 dan 540 dan perbuatan itu di lakuknya sebelum lalu dua tahun sesudah keputusan dahulu yang menyalahkan dia melakukan salah satu pelangaran ini atau sesuatu kejahatan ; atau menghukum anak yang bersalah itu. 125 Dalam konteks ini kelihatan bahwa yang di maksud dengan batas usia kanak-kanak adalah belum mencapai 16 ( enam belas) tahun. Diakui bahwa Indonesia belum memiliki sebuah peraturan perundang-undangan seputar pengadilan anak sampai dengan keluarnya UU No.3 Tahun 1997 tentang pengadilan anak. Kelahiran UU ini di rasakan penting sebab untuk melaksanakan pembinaan dan memberikan perlindungan terhadap anak, di perlukan dukungan, baik yang menyangkut kelembagaan maupun perangkat hukum yang lebih mantap 125
Ibid
94
dan memadai, oleh karena itu ketentuan mengenai penyelenggaraan pengadilan anak perlu di lakukan secara khusus. Bab I ketentuan umum pasal 1 UU No.3 Tahun 1997 menegaskan bahwa anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8
(
delapan ) tahun tetapi belum mencapai umur 18 ( delapan belas) tahun dan belum pernah kawain. Selanjutnya yang di maksud dengan anak nakal (a) anak yang melakukan tindak pidana ; (b) anak yang melakukan perbuatan yang di nyatakan terlarang bagi anak, menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Berdasarkan ketentuan ini, maka anak yang melakukan perbuatan pidana di kategorikan sebagai anak nakal. Penamaan ini berbeda dengan kelaziman bagi siap saja ( baca : orang dewasa) yang melakukan perbuatan pidana. Pembedaan sekaligus pengkhususan ini menujukkan bahwa teradapat karakteristik pelaku pidana dalam kategori pelakunya kanak-kanak. 126 Pembedaan perlakuan dan ancaman yang di atur dalam UU No.3 Tahun 1997 di maksudkan untuk lebih melindungi dan mengayomi anak tersebut agar dapat meyonsong untuk lebih melindungi yang masih panjang. Selain itu, pembedaan tersebut di maksudkan untuk memberi kesempatan kepada anak melalui pembinaan akan di peroleh jati dirinya untuk menjadi manusia yang 126
Logis kiranya ketentuan yang termuat dalam UU No. 3 Tahun 1997 tentang pengadilan Anak, selain bersifat khusus, juga menetapkan ketentuan yang relative baru dari apa yang telah di tegaskan dalam pasal 45 KUHAP. Maka , berdasarkan Bab VIII ketentuan Penutup pasal 67 dinyatakan, “ pada saat berlakunya undang-undang ini, maka Pasal 45, Pasal 46 , dan Pasal 47 kitab Undang-undang Hukum Pidana di nyatakan tidak berlaku lagi.”
95
mandiri, bertanggungjawab, dan berguna bagi diri, masyarkat, bangsa, dan Negara. 127 UU No. 3 Tahun 1997 juga menyebutkan bahwa terhadap kasus-kasus Anak Nakal di sidangkan dalam sidang Anak, yang bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara anak yang kemudian di sebut dengan pengadilan anak, yakni pelaksana kekuasaan kehakiman yang berada di lingkungan perdilan Umum. 128 Terkait dengan batas umur pertanggungjawaban pidana yang di lakukan kanak-kanak, pasal 4 UU No. 3 Tahun 1997 menyatakan sebagai berikut : 1. Batas umur Anak Nakal yang dapat diajukan ke sidang Anak adalah sekurang-kurangnya 8 ( delapan ) tahun tetapi belum mencapai umur 18 ( delapan belas) tahun dan belum pernah kawin ; 2. Dalam hal anak melakukan tindak pidana pada batas umur sebagaimana anak yang bersangkutan melampaui batas umur tersebut, tetapi belum mencapai umur 21 ( dua puluh satu ) tahun, tetap di ajukan ke sidang anak. Penjelasan Pasal 4 ayat (1) menegaskan bahwa sesuai dengan asas praduga tak bersalah, maka seorang Anak Nakal yang sedang dalam Proses peradilan tetap di anggap sebagai tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. batas umur 8 ( delapan ) tahun bagi Anak Nakal untuk dapat di ajukan sidang Anak di dasarkan pada pertimbangan 127 128
Lihat ketentuan Umum UU No. 3 Tahun 1997 Lihat Pasal 2 dan Pasal 3 UU No.3 Tahun 1997
96
sosiologis, psikologis dan pedagogis, bahwa anak yang belum mencapai umur 8 (delapan) tahun di anggap belum dapat mempertanggungjawabkan perbuatanya. Begitupun ketentuan pasal 5 ayat (1) UU No. 3 Tahun 1997 menyatakan, kalau pelaku pidana masih tergolong di bawah umur 8 ( delapan ) tahun, terhadap anak tersebut dapat di lakukan pemeriksaan oleh penyidik, pemeriksaan ini bertujuan unuk mengetahui apakah anak melakukan tindak pidana seorang diri atau ada unsur pengikutsertaan ( delnemig) dengan anak yang berumur di atas 8 ( delapan) tahun atau dengan orang dewasa. 129 Tetapi bilamana dalam pemeriksaan penyidik ternyata ada keganjilan, maka di tempuh cara dua cara, sebagaimana di tegaskan dalam pasal 5 ayat (2) dan ayat (3 ) UU No. 3 Tahun 197 sebagai berikut ; apabila menurut hasil pemeriksaan , penyidik oleh orang tua, wali,atau orang tua asuhnya, penyidik menyerahkan kembali anak tersebut kepada orang tua, wali orang tua asuhnya. Apabila menurut hasil pemeriksaan, penyidik berpendapat bahwa anak sebagaimana di maksud dalam ayat (1) tidak dapat di bina lagi oleh orang tua, wali, atau orang tua asuhnya, penyidik menyerahkan anak tersebut kepada departemen
sosial
setelah
mendengar
pertimbangan
dari
pembimbing
Kemasyarakatan. Perbuatan anak nakal, menurut pasal 23 UU No. 3 Tahun 1997 dapat di pidana dengan pidana pokok pidana tambahan . pidana pokok dapat di jatuhkan kepada anak nakal (1) pidana penjara; (2) pidana kurungan; (3)pidana denda; (4)
129
Lihat lebih penjelasan Pasal 5 ayat (1) UU No.3 Tahun 1997
97
pidana pengawasan. Selain pidana pokok, anak juga dapat di jatuhkan dengan pidana tambahan, berupa perampasan barang-barang dan atau pembayaran ganti rugi. Pembayaran ganti rugi sebagaimana di tegaskan pada penjelasan pasal 23 ayat (3) adalah pembayaran ganti rugi yang di jatuhkan sebagai pidana tambahan merupakan tanggungjawab dari orang tua atau dari orang lain yang menjalankan kekuasaan orang tua. Selanjutnya Pasal 24 ayat (1) dan (2) UU No. 3 Tahun 1997 menegaskan bahwa ada beberapa tindakan yang dapat di jatuhkan kepada anak nakal meliputi (1) mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh; (2) menyerahkan kepada Negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja;atau (3) menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi sosial kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja. Penjelasan pasal menyatakan bahwa meskipun anak di kembalikan kepada orang tua, wali atau orang tua asuh, anak tersebut tetap di bawah pengawasan dan pembimbing kemasyarakatan, antara lain mengikuti kegiatan kepramukaan dan lain-lain. Apabila hakim berpendapat bahwa orang tua, wali, atau orang tua asuh tidak memberikan pendidikan dan pembinaan yang lebih baik, maka Hakim dapat menetapkan anak tersebut di tetapkan di Lembaga Kemasyarakatan Anak untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja. Latihan kerja dimaksudkan untuk memberikan bekal keterampilan kepada anak, misalnya dengan memberikan keterampilan mengenai pertukangan,
98
pertanian, perbengkelan, tata rias, dan sebagainya sehingga setelah selesai menjalani tindakan dapat hidup mandiri. Selain itu pada prinsipnya pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja di selenggarakan oleh pemerintah di Lembaga Pemasyarakatn Anak atau Departemen Sosial, tetapi dalam hal kepentingan anak menghendaki Hakim dapat menetapkan anak yang bersangkutan di serahkan kepada organisasi sosial kemasyarakatan, seperti pesanteren, panti sosial, dan lembaga sosial lainya dengan memperhatikan agama anak yang bersangkutan. Khusus bagi megenai pidana penjara bagi kasus anak nakal di tegaskan secara rinci pada pasal 26 ayat (1) UU No. 3 Tahun 1997 yang menyatakan, pidana penjara yang dapat di jatuhkan kepada anak nakal paling lama ½ dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa. Adapun bagi perbuatan anak nakal yang di ancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, pasal 26 ayat (2) menyatakan bahwa pidana penjara yang dapat di jatuhkan kepada anak tersebut paling lama sepuluh tahun. Untuk anak nakal yang belum usia 12 tahun yang melakukan tindak pidana yang di ancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka pasal 26 ayat (3) menyatakan, anak tersebut hanya dapat di jatuhkan pidana dengan cara menyerahkan kepada Negara unutk mengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan kerja. Adapaun anak nakal yang belum mencapi usia 12 tahun yang melakukan tindak pidana yang tidak di ancam dengan pidana mati atau tidak di ancam pidana penjara seumur hidup, maka pasal 26 ayat (4) menyatakan, anak tersebut di
99
kembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh atau di serahkan kepada Negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan pelatihan kerja atau di serahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan dan latihan kerja. Sebagaimana di yakini bahwa UU No.3 Thuan 1997 merupakan bentuk nyata dari upaya perlindungan anak Indonesia, sekalipun dalam konteks sebagai pelaku pidana, maka sebenarnya kesemua itu kembali kepada kesadaran yang tinggi atas hak-hak anak. anak nakal, seperti di tegaskan dalam UU No. 3 Tahun 1997, baik dalam ancama hukuman maupun dalam proses peradilanya, di bedakan dengan kaum dewasa, pada hakikatnya mengacu kepada keterjaminan hak asasi anak. Pasal 1 angka (12) UU No. 23 Tahun 2992 tentang Perlindungan anak menyatakan, hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib di jamin, di lindungi, dan di penuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan Negara. pasal 18 UU No. 23 Tahun 2002 juga mengaskan bahwa setiap anak yang mejadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainya. Yang di maksud dengan bantuan lainya adalah bantuan medik, sosial, rehabilitasi, dan pendidikan. Berdasarkan penjelasan ini dapat di pahami bahwa ketentuan perundangundangan menyatakan bahwa pertanggungjawaban pidana atas perbuatan pidana yang di lakukan anak-anak mendapatkan perhatian yang serius. Melalui pembatasan umur di atas 8 tahun sampai umur 18 (delapan belas ) tahun dan
100
belum pernah kawin merupakan standarisasi seorang anak pelaku tindak pidana memeprtanggungjwabkan perbuatanya. Sekalipun UU memberikan “kelonggaran” bagi komunitas anak dalam upaya mempertanggungjawabkan perbuatan pidanya, namun tetap saja terdapat pengecualian tersendiri sebagai bukti jaminan dan perlindungan terhadap kepentingan kaum anak pengeculaian di maksudkan sebagai wujud pengakuan atas realitas kehidupan komunitas anak yang selain perlindungan tentang nasib kehidupan mereka. Harus di pahami bahwa hak asasi anak ( HAN) adalah juga sebagai bagian dari hak asasi manusia ( HAM ). Pernyataan memberikan konsekuensi penting bahwa komunitas anak wajib di lindungi upaya untuk mewujudkan hak-hak mereka merupakan sikap proporsional dalam memposisikan HAM secara luas. Maka, perlindungan anak adalah bagian yang tak terpisahkan dengan perlindungan dan penegakan HAM. Pasal 66 UU. No. 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia menyatakan dengan tegas sebagai berikut : 1. Setiap anak berhak untuk tidak di jadikan sasaran penganiyaan, penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi. 2. Hukuman mati atau hukuman seumur hidup tidak dapat di jatuhkan untuk pelaku tindak pidana yang masih anak. 3. Setiap anak berhak untuk tidak di rampas kebebasanya secara melawan hukum.
101
4. Penangkapan, penahanan atau pidana penjara anak hanya boleh di lakukan sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat di laksanakan sebagai upaya akhir. 5. Setiap anak yang di rampas kebebasanya berhak mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan dengan memperhatikan kebutuhan pengembangan pribadi sesuai dengan memperhatikan kebutuhan pengembangan pribadi sesuai dengan usianya dan harus di pisahkan dari orang dewasa , kecuali demi kepentinganya. 6. Setaipa anak yang di rampas kebebasanya berhak memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku. 7. Setiap anak yang di rampas kebebasannya berhak untuk membela diri dan memperoleh keadilan di depan Pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak sidang yang tertutup untuk umum. Khusus mengenai saksi terhadap anak dalam UU No. 3 Tahun 1997 di tentukan berdasarkan perbedaan umur anak, yaitu bagi anak yang masih berumur 8 ( delapan ) samapai 12 (dua belas) tahun hanya di kenakan tindakan, seperti di kembalikan kepada orang tuanya, di tempatkan pada oragnisasi sosial, atau di serahkan kepada Negara. Anak yang telah berumur 12 ( dua belas) tahun sampai 18( delapan belas) tahun di jatuhkan pidana. Pembedaan perlakuan tersebut di dasarkan atas pertumbuhan dan perkembangan pisik, mental, dan sosial anak. Bagaimanapun, mengingat ciri dan sifat yang khas pada anak dan demi perlindungan terhadap anak, maka perkara anak nakal, wajib di sidangkan pada 102
pengadilan anak yang berada di lingkungan peradilan umum. Dengan demikian proses peradilan perkara anak nakal sejak di tangkap, di tahan, di adili, dan di bina selanjutnya, wajib di lakukan oleh pejabat khusus yang benar-benar memahami masalah anak. 130 Dengan demikian dapat di pahami bahwa pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana yang di lakukan anak-anak tidaklah semat-,mata sebagai persoalan yuridis, tetapai juga persoalan psikologis, sosiologis dan pedagogis. Kaum anak dalam batasan umur yang di sebutkan di atas, wajib mendapatkan perindungan hukum, sekalipun mereka harus mempertanggungjawabkan tindak pidana yang di lakukan. Dengan kata lain, pertanggungjwaban pidana kanak-kanak berada secara diameteral dengan pertanggungjawaban pidana yang di lakukan kaum dewasa. Dari mulai proses penyidikaan, tuntutan, bahkan penghukuman, tetap mengacu kepada upaya-upaya perlindungan terhadap nasib dan masa depan kaum anak. Syamsudin meliala menegaskan bahwa kompleksitas kejahatan yang di lakukan anak-anak harus di pahami sebagai kesatuan kontruk berpikir bahwa komunitas anak sebagai pelaku kejahatn tidaklah muncul begitu aja. Faktor psikologi, misalnya, memberikan pengaruh yang signifikan bagi lahirnya perbuatan pidana selengkapnya ia mengatakan sebagi berikut : Secara psikologis masalah kejahatan anak bukan saja jadi masalah hakim, orang tuam masyarkat , ataupun pemerintah , tetapi ruang lingkup 130
Tentang pengadilan anak , lebih lanjut baca prist, Darwan, Hukum Anak Indonesia Bandung : Citra Aditya, 1997)
103
(
lebih luas lagi, yaitu menyeluruh, karena menyangkut kelanjutan masa depan Negara…hasil perbauatan dan tindakan-tindakan anak boleh di samakan dengan perbuatan orang-orang dewasa, namun cara atau pola perbuatanya itu sendiri tetap tidak di samakan, karena apa, karena pandangan ankan terhadap sesuatu itu berlainan dengan pnadangan orang dewasa. Tingkah laku orang dewasa adalah tingkah laku yang sempurna, sedangkan perangai si anak apabila di selidiki merupakan suatu masalah krisis nilai saja , karena dalam pertumbuhan kemasa remaja sedang dalam proses mencarai identitas diri. 131 B. Persepektif Hukum Pidana Islam Dalam perspektif hukum pidana islam ( Fiqih al-jinayah al-islamya), pertanggungjawaban pidana disebut dengan istilah al-mas’ulyyah al-jinaiyah. Menurut A.Hanafi, pertanggungjawaban pidana dalam syariat Islam adalah pembebanan seseorang akibat perbuatanya ( atau tidak berbuat dalam delik omisi) yang di kerjakanya dengan kemauan sendiri di mana ia mengetahui maksudmaksud dan akibat-akibat dari perbuatnya itu. 132 Berdasarkan pengertian ini, maka sebuah pertangungjawaban pidana dalam syaria’at Islam di tegakkan atas tiga hal, yaitu : (1) adanya perbutan yang di larang; (2) di kerjakan dengan kemauan sendiri; dan (3) perbuatanya mengetahui akibat perbuatanya tersebut. Kalau ketiga hal itu ada, maka berlakulah
131
Meliala, A. Qirom Syamsuddin dan E. Sumaryono, kejahatan Anak suatu tinjauan dari Psikologi dan Hukum, ( Yogyakarta Liberty, 1985), hlm. 22-23 132 Hanafi , A. Asas-asas Hukum Pidana Islam ( Jakarta: Bulan bintang, 1976) ,hlm . 173
104
pertanggungjawaban pidanan. sebaliknya jika tidak ada, maka tidak ada pertanggungjawaban pidana. Dengan demikian ketiga hal tersebut merupakan unsur –unsur dari pertanggungjawaban pidana. 133 Hukuman yang merupakan cara pembebanan pertanggungjwaban pidana di maksudkan untuk memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat, atau dengan kata lain sebagai alat menegakkan kepentingan masyarakat. Oleh karena itu, besarnya hukuman, harus di sesuaikan dengan kebutuhan masyarakat, yakni tidak boleh melebihi apa yang di perlukan untuk melindungi kepentingan masyarakat atau kurang dari yang di perlukan untuk menjatuhkan akibat-akibat buruk dari perbuatan jarimah. Sesuatu hukuman dapat dia anggap mewujudkan kepentingan masyarakat, manakala memenuhi syarat-sayarat berikut ini : 1. Hukuman memiliki daya kerja yang cukup, sehingga bisa menahan untuk tidak mengulangi perbuatanya. 2. Hukuman memilik daya kerja bagi orang lain, sehingga ia memikirkan akan melakukan jarimah maka terpikir pula olehnya bahwa hukuman yang akan menimpanya lebih besar dari pada keuntungan yang akan di perolehnya. 3. Ada persesuaian antara hukuman dengan jarimah yang di perbuat.
133
Ibid,. hlm . 174
105
4. ketentuan hukuman berisifat umum, artinya berlaku untuk setiap orang yang melakukan jarimah tanpa memandang jabatan, keturunan, atau pertimbangan-pertimbangan lain. 134 Hubungan hukuman dengan pertanggungjawaban pidana di tentukan oleh sifat “ keseorangan hukuman” yang merupakan salah satu dalam syariat islam, di mana seseorang tidak bertanggungjawab kecuali terhadap jarimah yang telah di perbuatnya sendiri, dan bagaimanapun juga tidak bertanggungjawab atas jarimah orang lain sedekat apapun tali kekurangan atau tali persahabantanya anatara keduanya. Prinsip tersebut berkali-kali di tandaskan dalam Alquran surat an-nisa ayat 123, 135 al-Anam ayat 164, 136Fathir ayat 18, 137an-Najm ayata 39, 138dan
134
Ibid Artinya, “( pahala dari allah) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak pula menurut angan-anagn ahli kitab. Barang siapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan di beri pembalasan dengan kejahatan itu adan ia tidak mendapat pelindung dan tidak ( pula) penolong baginya selain dari allah.” 136 Artinya, “ katankanlah : Apakah aku akan mencari tuhan selain Allah, padahal di adalah tuhan bagi segal sesuatu. Dan tidaklah seseorang membuat dosa melainkan kemudaratnnya kembali akan dirinya sendiri ; dan seorang yang berdosa tidka kembali, dan akn di beritakanya kepadamu apa yang kamu persilishkan.” 137 Artinya , dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan jika seseorang yang berat dosanya memanggil ( orang lain ) untuk memikul dosanya itu tiadaalah akan di pikikulkan untuknnya sedikitpun meskipun ( yang di panggilnya itu ) kaum kerabtanya. Sesungguhnya yang dapat kamu beri perindagatan hanya orang-orang yang takut kepada azab tuhanya ( sekalipun )mereka tidak melihatnya dan mereka mendirikan shalat. Dan barang siapa yang mensucikan dirinya, sesungguhnya ia mensucikan diri untuk kebaikan dirinya sendiri, dan kepada Allalah kembali mu.” 138 Artinya,” dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah di usahakan.” 135
106
fuslihat ayat 46, 139dan juga hadis Nabi SAW yang berbunya : seseorang tidak di hukum karena perbuatan ayahnya atau perbuatan saudaranya. 140 Khusus dalam konteks pertanggungjawaban pidana, hukum islam mensyaratkan kebalighan (dewasa). 141 Maka, anak-anak tidak di kenakan kewajiban mempertanggungjawabkan perbuatan pidana. Menurut syariat islam, pertanggungjawaban pidana di dasarakn atas dua perkara, yakni pertama kekuatan berpikir dan kedua pilihan ( iradah dan ikhtiar). ketentuan ini berdasarkan pada hadis Nabi Muhammad SAW yang berbunyi ; diangkat dalam tiga hal ; orang yang di atur sampai terbangun, anak-anak sampai dewasa, dan orang gila sampai ia terkala atau sembuh. 142 Mengenai kedewasaan (baligh) sebagai pembebanan kewajiban agama (takif) ada beberapa pendapat ulama. Ada yang mengatakan, apabila telah berumur dua belas tahun, dan menurut pendapat Hadawiyah yang di kutip oleh kahlani, seorang perempuan di anggap telah cukup apabila telah mencapai usia lima
belas
tahun,
dan
telah
menampakkan
pertumbuhan
biologis
kedewasaanya. 143sedangkan kedewasaan laki-laki, secara ijmak ( consensus di
139
Artinya , “”barangsiapa yang emnegrjakan amala yang saleh maka ( pahalanya) untuk dirinya sendir dan barang siapa yang berbuat jahat maka dosanya atas dirinya sendiri; dan sekalikali tidaklah tuhan mu menganiaya hamba-hambanya.” 140 Ibid 141 Kata baligh terambil dari akar kata balgha yang atrinya menerima, tiba (sampai), mencapai pubertas dan tahap usia dewasa. Usia baligh adalah usia yang di pandang tepat sebagi batas di mulainya kewajiban-kewajiban agama. Liha wehr, hans, A dictionary of modern Written Arabic ( otto Harrassowitz: Wiesbaden , 1979), hlm . 73 142 Menurut Ibn Hajar al-Asqalani, hadis ini di rawayatkan oleh imam yang empat kecuali Tirmizi, hadis ini di rawayakan oleh imam yang empat kecuali Tirmizi, dan di sahkan oleh Hakim, dan di keluarkan oleh Ibn Hibban. Lihat al-asqalani, ibn Hajar, bulugh al-Marram min Adillat alAhkam (singapura:Silaiman Mar’I,tt), hlm.136 143 Al-kahlani,Muhammad Ibn Ismail , subul as-Salam; Syarh Bulugh al-Maram, juz III (Mesir :Mustafa al-Babi al-Halabi, 1960), hal 180-181
107
kalangan ulama mujtahid), menurut yang di utarakan oleh kahlani, adalah apabila dia telah bermimpi ( bercampur dengan perempuan telah mengeluarkan sperma). 144 Sebelum batas kedewasaan tersebut di capai seseorang, maka belum dapat di katakan mukllaf ( orang yang mendapatkan kewajiban agama), dan karenanya, berdasarkan ketentuan hadis di atas, maka kepada orang itu tidak dapat di pertanggungjawabkan tindak pidana yang di perbuatanya, dan karenanya ia tidak dapat di hukum atas perbuatan tersebut. Sebagaimana di tegaskan di atas bahwa menurut syariat islam, pertangungjawaban pidana di dasarkan atas dua perkara, yaitu ketentuan berpikir dan pilihan ( iradah dan ikhtiyar), oleh karena itu kedudukan anak kecil berbedabeda menurut perbedaan masa hidupnya. Setidaknya fukaha memberikan batasan masa kanak-kanak sebagai berikut : 145 1. masa tidak adanya kemampuan berpikir masa ini di mulai sejak di lahirkan dan berakhir pada usia tujuh tahun. Pada masa tersebut seorang anak di anggap tidak mempunyai kemampuan berpikir, atau biasa disebut dengan anak belum mumayiz. Sebenarnya kemampuan berpikir ( bisa membedakan, tamyiz) tidak terbatas pada usia tertentu, sebab kemampuan berpikir kadang-kadang bisa timbul sebelum usia tujuh tahun dianggap paling lazim dan memadai bagi seorang anak bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. 144 145
Ibid Hanafi , A. Op.cit , hlm 398
108
jika pada usia tersebut mereka melakukan perbuatan pidana, maka tidak di jatuhi hukuman, baik sebagai hukum pidana, atau sebagai pengajaran. Akan tetapi, anak tersebut di kenakan pertanggungjawaban perdata, yang di bebankan kepada orang tua, yaitu memberikan ganti kerugian terhadap kerugian yang di derita oleh diri dan harta milik orang lain. 146walaupun demikian, kewajiban mengganti rugi tetap tidak terlepas dari padanya, sebagaimana telah di tegaskan oleh amidi. 147mengenai tidak berlakunya hukum qisas bagi anak-anak oleh karena ketiadaan taktif, di tegaskan juga oleh syurbaini Khatib 148 dan imam ar- Ramli. 149 2. Masa kemampuan berpikir lemah Masa ini di mulai sejak usia 7 ( tujuh ) tahun sampai mencapai kedewasaan ( balig ), dan kebanyakan fukaha membatasinya dengan usia ( lima belas) tahun. Kalau seorang anak telah mencapai usia tersebut maka ia di anggap dewasa, meskipun boleh jadi ia belum dewasa dalam arti yang sebenarnya. Menurut A. Hanafi, pada masa tersebut seorang anak tidak di kenankan pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana yang di lakukanya, melainkan anak tersebut mendapat hukuman dalam bentuk pengawasan, bukan hukuman pidana. Kalau pun anak dalam usia tersebut melakukan tindak pidana secara berulang-ulang, hal itu tidak di kategorikan sebagai pengulang kejahatan
146
(
Ibid, hlm .399 Al – amidi , saifuddin Abul Hasan Ali Ibn Muhammad, al- ihkam fi Usul al-Ahkam , juz I ( Mesir : Musthafa al-Babi ,al-Halaby, tt), hlm 78 148 Khatib, Muhammad Syarbani, Mughi al-Muhtaj Ila –Ma’rifat , Ma’ani Alfadz Minhaj ‘ala Matan Minhaj an-Nawawi, juz II ( kairo : Dar al- Fikr, 1958), hlm . 279 149 Ar-Ramli , Muhammad Syihabuddin , nihayat al-Muhtaj Ila Syarh al –minaj, juz V ( Mesir : Musthafa al-Babi Al-Halaby, tt) hlm.246 147
109
recidivist ). hukuman pengajaran itu, tidak berarti melepaskan dirinya dari hukuman ganti rugi sebgai bentuk pertanggungjawaban perdata. 150 3. Masa kemampuan berpikir penuh Masa ini di mulai sejak seseorang mencapai usia kecerdikan
(
sin Ar-rasyd), atau dengan kata lain, setelah mencapai usia lima belas tahun atau delapan belas tahun. Jika pada usia tersebut melakukan perbutan pidana, maka berlaku pertanggungjawaban pidana atasnya dari seluruh jenis jarimah yang di lakukanya tanpa terkecuali. 151 Berdasarkan penjelasan ini dapat di pahami bahwa pertanggungjawaban pidana atas delik pidana yang di lakukan kanak-kanak mendapatkan tempat pembahasan khusus dalam lingkup hukum pidana Islam. Dalam konteks ini maka dapat di katakan bahwa komunitas usia anak mendapatkan perhatian tersendiri dalam hukum Islam. Sebagaimana di tegaskan, dalam pandangan Islam, komunitas usia anak belum di pandang sebagai mukallaf, maka dalam konteks perbuatan hukamanya pun di pandang belum sempurna, usia anak-anak, baik dalam ibadah maupun di luar ibadah islam tidak di kategorikan sebagai perintah wajib. Dengan kata lain, perbuatan anak-anak, tepatnya, masih dalam kategori anjuran, ajakan dan pembinaan. Dengan demikian, kondisi sebagai kanak-kanak di akui sebagai alasan pembenar untuk menghapuskan dan mengurangi hukuman sebagaimana di kenakan pada komunitas dewasa. 150 151
Ibid. Ibid hlm. 400
110
C. Persamaan dan Perbedaan Pertanggungjawaban pidana ( criminal responsibility ) dalam perspektif hukum pidana Indonesia konsekuensi logis dan yuridis dari perbuatan pidana yang di lakukan. Sebagaimana lazimnya di tegaskan bahwa sebuah perbuatan pidana mensyaratkan pertanggungjawaban pidana. Begitu pula hanya dalam perspektif hukum pidana islam ( al-mas’uliyah al-jinayiayah). Perbedaan secara kentara terjadi pada pembagian kejahatan atau delik pidana yang di lakukan. Dalam persepektif hukum pidana positif, kejahatan atau delik pidana meliputi kejahatan ( mal in se) dan pelanggaran ( mala prohabita) . dalam dua lingkup pembagian delik pidana, kelihatan bahwa cakupan delik jauh lebih kecil di bandingkan dengan apa yang di tegaskan dalam hukum pidana islam. Sebagaimana di maklumi, jenis kejahatan atau di sebut jarimah, di kenal tiga macam, yaitu hudud untuk kasus-kasus tertentu yang hukumanya telah di gariskan dalam syariat islam, alquran dan Hadis Nabi Muhammad saw. Jenis kejahatan
kategori
hudud
juga
terbatas,
yakni
perizinan,
pencurian,
perampokan,dan murtad. Selain out, jenis kejahatan orang lain, termasuk pembunuhan
sengaja
(al
–qatl
al-amdu),
pembunuhan
serupa
sengaja
( al-qatl al-‘amdi), pembunuhan karena tersalah (al-qatl, al-al khata’), pelukaan sengaja (al-jarh al-‘amdu), dan pelukaan karena tersalah (al-jarh al-kahtha’). Dan ta’zir, melingkupi jenis-jenis, kejahaan selain dari yang di atur dalam kedua jarimah di atas.
111
Berdasarkan hal, tersebut maka kondisi kanak-kanak sebagai alasan pengecualian hukuman di akui berlaku dalam dua persepektif hukum tersebut, baik di lingkungan hukum pidana positif, maupun di lingkungan hukum pidana islam, selain itu, kondisi kanak-kanak mendapat perlakuan tersendiri yang di perlakukan berbeda dengan komunitas orang dewasa. Hal ini tidak lain sebagai wujud perlindungan hak-hak anak. Penyamaan intensitas perbuatan antara orang dewasa dengan anak-anak jelas tidak dapat di terima sebab kematangan pola pikir mempengaruhi intentensitas sebuah perbuatan pidana. Kedua persepektif hukum, baik hukum pidana Indonesia maupun hukum pidana islam dengan tegas memasukkan kategori anak-anak sebagai alasan pengecualian hukum, maka, pertanggungjawaban hukum atas perbuatan pidana sekalipun yang mereka lakukan di kategorikan tidak sempurna sekaligus di pandang sebagai tidak mutlak, berbeda dengan kategori usia dewasa, kedua persepektif hukum ini memandangnya sebagai termasuk pelaku pidana yang terkait langsung dengan bentuk-bentuk pertanggungjawaban pidana yang di lakukanya. Adapun perbedaan-perbedaan dari kedua persepektif hukum ini dapat di lihat dari aspek-aspek sebagai berikut : 1. Kekuasaan kehakiman Dalam lingkup hukum pidana Indonesia, khususnya setelah berlakunya UU No. 3 Tahun 1997 tentang peradilan Anak, penanganan kasus anak nakal menunjukkan bahwa hakim berperan penting dalam menyelesaikan kasus anak
112
nakal , yakni anak yang dalam kategori sebagai pelaku pidana. Pembatasan umur juga menjadi hal penting yang harus di perhatikan dalam menjatuhkan hukuman kepada anak nakal. Dalam persepektif ini, batas umum adalah 8 ( delapan) sampai dengan ( delapan belas) tahun. Sedangkan dalam hukum pidana Islam, tidak di kenal istilah anak nakal, dalam perspektif Islam, pelaku pidana yang tergolong usia ank-anak berada sepenuhya dalam kewenangan dan pertimbangan hakim. Akibatnya, batas usia tidak di tetapkan secara defenitif, melainkan di lihat dari aspek kematangan pola pikir dan mental anak. Di sinilah batas usia muncul setelah proses pematangan anak terlihat secara penuh. Bagaimanapun kekuasaan hakim berlaku sepenuhnya pada tindak pidana qisa-diyat dan takzir. Keleluasaan hakim dalam tindak pidana qisas dan diyat sebenarnya sangat terkait dengan system peradilan Islam di mana hakim berperan dalam upaya penemuan dan penafsiran hukum. Temuan dan tafsiran hukum oleh hakim memeberikan pengaruh tersendiri yang melalui pertimbangan hakim akan dasar penjatuhan hukuman. Maka, dalam konteks ini, hakim dalam peradilan islam bisa saja melihat sisi-sisi lain yang tidak formal berdasarkan batas usia semata, terutama dalam kategori balig. Sebab, ukuran balig dalam pandangan islam tidak semata-mata di capai melalui batas usia, tetapi di lihat dari intensitas perbuatan dan kencenderungan pola pikir anak.
113
Hal ini sangat berdasarkan karena tujuan pemidanaan dalam hukum pidana islam setidaknya untuk mencapai tiga hal sebagai berikut : 1. Menjamin keamanan dari kebutuhan – kebutuahn hidup yang mendasar (dahruriyyat). di sinilah lahir lima kategori pencapian syariat yang di kenal dengan istilah maqashid as-syariah, yakni (1) hifz ad-din ( pemeliharaan agama); (2) hifz an-nafs ( pemeliharaan jiwa) ; (3) hifz al-maal ( pemeliharaan hara); (4) hifz an-nasl
( pemeliharaan
keturunan); dan (5) hifzh al-‘aql ( pemeliharaan akal). 2. Menjamin terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan hidup sekunder
(
hajiyat). Ini mencakup hal-hal yang penting ketentuan itu dari berbagai fasilitas utnuk penduduk dan memudakan kerap keras dan beban tanggungjawab mereka. 3. Membuat perbaikan-perbaikan, yaitu menjadikan hal-hal yang dapat menghiasi kehidupan sosial dan menjadikan manusia berbuat dan urusan-urusan hidup secara lebih baik yang di sebut dengan tahnsiniyyat. 152 2. Jenis hukuman Sebagaimana di tegaskan dalam pasal 23 UU No. 3 ahun 1997 tentang pengadilan anak, disebutkan sebagai berikut : 1. Pidana yang dapat di jatuhkan kepada anak nakal ialah pidana pokok dan pidana tambahan. 2. Pidana pokok yang dapat di jatuhkan kepada anak nakal ialah : 152
Topo Santoso, Menggagas hukum pidana islam ( Bandung Asy Syaamil, 2001), hlm.130-131
114
a. Pidana penjara b. Pidana kurungan c. Pidana denda;atau d. Pidana pengawasan 3. Selain pidana pokok sebagaimana di maksud dalam ayat (2) terhadap anak nakal dapat juga di jatuhkan pidana tambahan
berupa
perampasan barang-barang tertentu dan atau pembayaran ganti rugi. 4. Ketentuan mengenai bentuk dan tata cara pembayaran ganti rugi di atur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Dalam persepektif hukum pidana islam, jenis hukuman yang di jatuhkan kepada anak yang melakukan tindak pidana, sebagaimana di tegaskan dalam pembahasan sebelumnya, sangat tergantung kepada kemampuanya untuk mempertanggungjawabkan perbuatanya. Adapun jenis hukuman yang di berikan adalah hukuman pokok dalam tindak pidana qisas-diayat, yakni hukuman qisas dan hukuman pengganti, yakni membayar diyat ( denda). Penting ditegaskan bahwa hukuman qisas dan diyat sangat terkait dengan jenis perbuatan pidana. Sebagaimana dimaklumi bahwa kategori usia anak-anak (as-shobiyyun) tidaklah sama dengan kategori dewasa (mukallafun). Kategori anak-anak dalam hukum Islam tidak termasuk kategori yang diwajibkan hukum padanya (laysa lahu khilabun). Maka, kalaupun mereka melakukan tindak pidana, hal itu tidak disebut sebagai perbuatan pidana sempurna. Maksudnya, terdapat pengecualian hukuman
115
bagi mereka. Hukuman bagi kategori shobiyyun adalah wujud ad-dham’an fi malihi (kewajiban membayar ganti rugi dari hartanya). Begitupun hakim memiliki kekuasaan untuk melihat secara jernih dan proporsional tingkat intensitas perbuatan dan kematangan pola pikir anak. Hakim dapat saja berpandangan lain, manakala terdapat indikator kuat bahwa kematangan pola pikir anak tercermin dari perbuatan pidana yang dilakukannya. Di sinilah hukuman takzir dapat dikenakan kepada mereka. Sedangkan untuk kategori tindak pidana takzir, hakim memiliki kewenangan penuh untuk menjatuhkan hukuman termasuk jenis hukuman kepada anak sebagai pelaku tindak pidana. Ketentuan dalam hukum Islam hanya menyebutkan bahwa melalui pertimbangan hakim tersebut, maka batasan hukuman tidak tertentu, dari hukuman yang terendah sampai hukuman yang tertinggi. Jika kedua sistem hukum, pidana positif dan pidana Islam, dilekatkan untuk melihat kasus persidangan Raju yang beberapa waktu lalu terjadi. Maka, setidaknya dapat dikatakan bahwa apa yang menimpa Raju seharusnya tidak boleh terjadi. Seorang anak yang masih dalam kategori bocah (istilah Indonesia untuk menyebutkan masih kanak-kanak) harus disidangkan dipengadilan. Muhammad Azwar yang akrab disapa Raju, bocah berusia sekitar 8 tahun asal Pangkalan Brandan, Sumatera Utara akhirnya mengalami trauma psikologis. Pasalnya, bocah malang ini disidangkan dan ditahan atas perbuatannya berkelahi
116
dengan teman sebayanya, Ermansyah usia 14 tahun. Raju untuk beberapa lama harus mendekam dalam sel tahanan bersama dengan komunitas dewasa. Madja El Muhtaj dalam artikelnya, Anak Juga Manusia mengatakan kekerasan terhadap anak tidaklah semata-mata bermakna kekerasan fisik, tetapi juga kekerasan dalam pengertian luas yang mengakibatkan terabaikannya hak-hak anak secara mendasar. Apa yang diperankan oleh Pengadilan Negeri (PN) Stabat di Pangkalan Brandan terhadap kasus Raju dapat diindikasikan sebagai bentuk nyata dari kekerasan terhadap anak. PN Stabat hanya bertengger pada normativitas hukum secara kaku, tanpa melihat sisi lain yang objektif terhadap realitas perkembangan psikologis Raju. 153 Pada bagian lain artikelnya, Majda El Mustaj juga menegaskan bahwa mekanisme hukum terhadap kasus Raju bertentangan secara asasi dengan nilainilai dan martabat seorang anak. Memang, masih menjadi perdebatan tentang usia Raju. Oleh karena itu, harus dilakukan penyelidikan secara menyeluruh tentang inti permasalahan kasus Raju. Selain persoalan batas umur Raju, yang layak dipertanyakan adalah, sejauhmana tugas profesional yang dapat diperankan aparatur hukum yang menangani kasus Raju, khususnya dalam memberikan perlindungan hukum bagi Raju sebagaimana juga telah digariskan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Harus disadari bahwa tindakan yang bertentangan dengan asas tidak
153
Lihat El Mustaj, Majda, “Anak Juga Manusia,” dalam Harian Analisa,( Medan 1 Maret 2006)
117
akan pernah mencapai tujuan yang hakiki, actus repugnus non potest in esse produci. 154 Kasus Raju, kalau hanya dilihat dari sudut normativitas hukum sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 UU No 3 tahun 1997 yang menegaskan bahwa anak adalah orang yang dalam perkara Anak nakal telah mencapai usia 8 (delapan) dan belum mencapai usia 18 (delapan belas) tahun serta belum pernah kawin, terlalu simplisitik. Memang, penetapan usia Raju yang menurut aparatur hukum telah mencapai usia 8 (delapan) tahun masih menjadi perdebatan, sepanjang kasus tersebut muncul. Akan tetapi jika dikaji lebih dalam, batas usia 8 (delapan) tahun masih sulit dikategorisasi layak bertanggungjawab secara pidana. Sebab usia 8 (delapan) jika ditilik perkembangan psikologis Raju terbilang tidak tepat dijadikan sebagai status anak nakal yang oleh UU No 3 Tahun 1997 dikategorikan sebagai anak yang melakukan tindak pidana. Jika diamati dalam perspektif hukum pidana Islam, Raju masih belum dikategorikan anak pada usia balig yang serta merta bertanggungjawab secara pidana. Usia Raju dalam pandangan hukum Islam sepatutnya mendapatkan pengecualian dari hukuman. Raju hanya mendapatkan pendidikan dan pengajaran yang dalam istilah hukum Islam disebut ta’dib. Maka, hemat penulis, seyogianya untuk kasus Raju, pihak aparatur hukum tidak terjebak secara kaku menerapkan normativitas batas usia sebagaimana digariskan dalam UU No 3 Tahun 1997,
154
Ibid.
118
melainkan
dengan
kemampuan
dan
pertimbangannya,
hakim
dapat
mempertimbangkan hal lain diluar batas usia tersebut. Hal ini senada dengan apa yang disampaikan oleh Adrianus Meliala, kriminolog UI, yang mengatakan jelas dibutuhkan pertimbangan yang matang dalam menjatuhkan hukuman kepada anak. Apalagi, semakin tinggi proses hukumnya, harusnya semakin banyak hal yang harus dipertimbangkan. Usia 8 (delapan) tahun sebagai batas minimal disebut anak nakal dalam UU No 3 Tahun 1997, dalam perkembangan psikologis anak, jelas sulit membedakannya dengan anak berusia 8 (delapan) tahun yang lewat satu atau dua hari. 155 Atas dasar itulah, hemat penulis dalam konteks Islam, penyelesaian kejahatan anak meniscayakan pertimbangan psikologis dengan tanda-tanda biologis. Apabila tanda-tanda itu tidak diketemukan, maka batas usia bisa diterapkan dengan menggunakan batasan usia yang lazim diketemukan pada anakanak. Hal ini, tidak lain adalah untuk menjamin kepastian hukum bagi komunitas anak yang berdasarkan pertimbangan keadilan dan kepatutan.
155
“Hak anak belum diperhatikan,” dalam Harian Kompas,( Jakarta, edisi 7 Juli 2006)
119
BAB V PENUTUP Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka akhir dari penulisan skripsi ini dapat di tarik kesimpulan dan saran sebagi berikut A. Kesimpulan : 1. Pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana yang di lakukan anakanak dalam persepktif hukum pidana positif di kenal dengan kriminal responsibility berlaku sebagaimana lazimnya pada orang dewasa. Hanya saja tindak pidana tersebut di golongkan kepada perilaku anak nakal, sehingga anak sebagai pelaku pidana teresebut sebagai anak nakal. UU No.3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak mengatur tentang mekanisme peradilan anak, baik dalam konteks hukum materil maupun hukum formil. 2. Pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana yang di lakukan anakanak dalam perspektif hukum pidana Islam di kenal dengan istlah almas’uliyyah al-jinayyiah berlaku sebagaimana lazimnya pada orang dewasa. Hanya saja terdapat pembatasan keberlakuanya yang di sesuaikan dengan umur anak dan kematangan pola pikir anak. Dua kategori penting yang harus di perhatikan adalah adanya unsur iradah ( keinginan/maksud) dan ikhtiyar ( kompetensi). 3. Persamaan antara hukum pidana positip dengan hukum pidana Islam adalah bahwa kondisi masa kanak-kanak merupakan alasan pembenar untuk mengurangi dan menghapuskan hukuman. Kedua system hukum juga sama dalam memandang adanya batasan tetentang usia yang
120
termasuk kategori kanak-kanak. Akan tetapi di temukan perbedaan antara hukum pidana positif dan hukum pidana islam bahwa hukum dalam hukum pidana positip, khususnya dalam UU No, 3 tahun 1997 tentang pengadilan anak telah menggariskan batas usia seoarang dalam kategori anak nakal, yakni minimal 8 ( delapan ) tahun maksimal 18 (delapan belas) tahun. perubahan positif semakin kelihatan pada RUU KUHPidana yang secara tegas mencantumkan pertimbangan psikologi anak, termasuk kematangan emosional, intelektual, dan mental. Pertimbangan-pertimbangan ini patut di berikan dalam menyelesaikan perbuatan pidana yang di lakukan oleh anak-anak. Hal yang lebih menarik adalah pencantuman batas usia pertanggungjawaban anak yang telah mencapai usia 12 (dua belas) tahun sampai usia 18 ( delapan belas ) tahun. Batas usia ini muncul sebagai konsekuensi pembatasan usia dengan melihat kencenderungan perkembangan psikologis anak. Dan menurut persepektif hukum pidana Islam bahwa hukum pidana Islam memandang batas usia tidak serta merta menjadi alasan penjatuhan hukuman, selain usia hal kematangan pola pikir dan mental rohani turut menjadi faktor penting dalam mengkualifikasi status sebagai anak.
121
B. Saran 1. Pertanggungjawaban pidana merupakan elemen penting dalam upaya penegakan dan kepastian hukum. Maka dalam konteks pelaku pidana dalam kategori usia anak-anak di butuhkan sebuah kepastian hukum dalam rangka penegakan hukum yang adil dan beradab. Maka, di harapkan
kepada
penegak
hukum
agar
menerapkan
prinsip
kemaslahatan terbesar bagi anak sekalipun dalam upaya penegakan hukum yang bersaskan equality before the law. 2. Bagi aparatur hukum di harapkan memiliki penegtahuan psikologi hukum yang dapat menopang ketajaman dan pertimbangan hukum sehingga kasus-kasus pidana yang di lakukan anak-anak, tidak saja memenuhi unsur formalitas yuridis, tetapi juga dapat memenuhi rasa keadilan dan kepastian hukum di tengah-tenagh masyarakat. 3. Dalam kerangka penguatan system hukum pidana nasional, maka penelitian terhadap khazanah system hukum pidana islam harus terus di lakukan. Telah menjadi keyakinan dan konsensus nasional terpenting bersama dengan system hukum nasional. Maka kepada para sarjana hukum dan sarjana hukum silam agar dapat menjadikan kedua system hukum pidana ini sebagai kajian akademik unuk melahirkan kedua system hukum pidana ini sebagai kajian akademik untuk melahirkan seperangkat system hukum pidana nasional yang kuat dan tangguh.
122