BAB III PENERAPAN KONSEP HAK RESTITUSI ATAS KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA
A. Penerapan Restitusi Terhadap Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang Dalam Putusan Pengadilan. Uraian pada bab terdahulu telah disampaikan bahwa di Indonesia masih lemah dalam pelaksanaan hak restitusi khususnya bagi korban TPPO. Meskipun sudah ada landasan hukum yang kuat bahwa restitusi wajib diberikan oleh pelaku terhadap korban maupun ahli warisnya sebagaimana yang diatur dalam UU No 21 tahun 2007 tentang TPPO. Polisi dalam hal ini juru periksa tidak memasukan restitusi dalam Berita Acara Pemeriksaan, Jaksa Penuntut Umum tidak memasukannya dalam dakwaan dan tuntutan, Hakim juga tidak memutus pemberian hak restitusi karena tidak ada dimohonkan oleh pihak kejaksaan. Putusan Hakim seharusnya merupakan mahkota dan puncak dari suatu perkara yang sedang diperiksa dan diadili oleh hakim. Oleh karena itu tentunya hakim dalam membuat putusan harus memperhatikan segala aspek didalamnya, mulai dari perlunya kehati-hatian, dihindari sedikit mungkin ketidakcermatan, baik yang bersifat formal maupun matriil sampai dengan adanya kecakapan teknik membuatnya.
Universitas Sumatera Utara
Diharapkan dalam diri hakim hendaknya lahir, tumbuh, dan berkembang adanya sikap atau sifat kepuasan moral jika kemudian putusan yang dibuatnya itu dapat menjadi tolak ukur untuk perkara yang sama, atau dapat menjadi bahan referensi bagi kalangan teoritisi maupun praktis hukum serta kepuasan nurani tersendiri jika putusannya dikuatkan dan tidak dibatalkan pengadilan yang lebih tinggi. 125 Putusan hakim dalam hal memberikan restitusi terhadap korban maupun keluarga oleh pelaku TPPO secara faktual masih sedikit dihasilkan oleh para hakim. Penulis dalam hal ini mengambil contoh kasus dari Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Lampung yang sudah berkekuatan hukum yang tetap yaitu putusan pengadilan nomor : 1633/Pid/2008/PN TK. Pengadilan Negeri Tanjung Karang dalam memutus kasus tersebut menunjukan perkembangan baru berkaitan dengan mekanisme pemenuhan hak-hak korban ditandai dengan adanya mekanisme yang dapat ditempuh korban untuk mengajukan tuntutan ganti kerugian berupa restitusi. Korban dapat mengajukan restitusi secara langsung ke pengadilan ataupun melalui Jaksa Penuntut Umum, dan kemudian tuntutan tersebut dilampirkan dalam surat tuntutan pidana. Korban juga mengajukan tuntutannya diwakili oleh pendampingnya dari Lembaga Perlindungan Anak di Lampung untuk selanjutnya disampaikan kepada Jaksa Penuntut Umum. 126 Prosudur yang digunakan ini telah diterima oleh pengadilan sehingga apa yang 125
Lilik Mulyadi, sebagaimana terdapat dalam Makalah H. Muchsin, Peranan Putusan Hakim pada Kekeradan dalam Rumah Tangga, Majalah Hukum Varia Peradilan Edisi No 260 Bulan Juli 2006, Ikahi, Jakarta, 2007, hal 25. 126 Hasil wawancara penulis dengan Direktur Damar Lampung dan LADA (Lembaga Advokasi Anak dan Perempuan) Lampung , Dedi Suhendri ,Pada tanggal 6 Juni 2012, pukul 17.27 WIB.
Universitas Sumatera Utara
dilakukan ini merupakan suatu terobosan baru dalam pelaksanaan hak restitusi bagi korban TPPO di Indonesia. 1. Kronologis Kasus Pengadilan Negeri Tanjung Karang yang memeriksa dan mengadili perkara pidana biasa pada tingkat pertama telah menjatuhkan putusan sebagai berikut dalam perkara terdakwa Fitriyani Binti Muradi , tempat kelahiran Tulung Agung , lahir pada tanggal 10 Oktober 1960, tempat tinggal di kampung rawa laut gang I. RT 16. LK I Kelurahan Panjang Selatan Kecamatan Panjang Bandar Lampung. Agama Islam, pekerjaan pedagang dan pendidikan akhir SD. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Fitriyani Binti Muradi dengan penjara selama 12 tahun dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan sementara dengan perintah agar terdakwa tetap ditahan dan Pidana denda sebesar Rp. 120.000.000,subsidair 3 bulan kurungan dan menetapkan terdakwa membayar Restitusi kepada saksi korban Mi Diani Binti Raja Sulaiman alias Asnawi sebesar Rp. 10.000.000,subsidair 2 bulan kurungan. Berdasarkan kronologis sebagai berikut: Bahwa pada tanggal 13 September 2008 sekitar jam 01.00 Wib atau setidak- tidaknya pada suatu waktu dalam tahun 2008 bertempat di Kampung Rawa laut gang I Kel Panjang Bandar Lampung atau setidak-tidaknya pada suatu tempat yang masuk termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Tanjung Karang di Bandar Lampung Fitriyani Binti Muradi bersama-sama dengan saksi Fuji Astuti Binti Sastro Suparno dan Marwan telah melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pemindahan atau penerimaan
Universitas Sumatera Utara
seseorang yaitu saksi korban Mai Diani Binti Raja Sulaiman alias Asnawi dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan penyalahgunaan kekuasan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut diwilayah Republik Indonesia. Perbuatan tersebut dilakukan terdakwa pada hari Minggu tanggal 31 Agustus 2008 sekira jam 07.00 WIB ketika saksi korban Mai Diana Binti Raja Sulaiman als. Asnawi sedang menunggu kendaraan umum untuk pulang ke Way Kanan, kemudian datang Marwan mencium dan memeluk saksi korban dengan paksa selanjutnya sekitar jam 08.00 WIB Marwan berbincang- bincang dengan terdakwa kemudian menanyakan asal usul saksi korban dan menawarkan pekerjaan kepada saksi korban dengan berkata “Mau kerja disini ngak” pekerjaan disini enak ngak capek dan saksi korban menjawab tidak mau dan menjawab mau pulang, namun Marwan tetap membawa korban kedalam kamar dan memaksa korban untuk melakukan hubungan seksual, setelah itu Marwan meninggalkan saksi korban, dan saksi Fuji Astuti Binti Sastro Suparno menyuruh saksi korban untuk bekerja melayani tamu yang datang ke kafe tersebut. Selama berada di Kafe tersebut saksi korban dipaksa oleh Saksi Fuji melayani tamu sebanyak 2 kali dan selama tinggal ditempat tersebut saksi korban sudah 3 kali menyerahkan uang kepada terdakwa, sampai akhirnya pada tanggal 13 September 2008 sekira pukul 01.00 WIB pihak kepolisian melakukan razia ditempat tersebut dan mendapatkan saksi korban baru saja selesai melayani tamu, sehingga
Universitas Sumatera Utara
akhirnya terdakwa bersama saksi Fuji Astuti Binti Sastro Suparno diserahkan ke Poltabes Bandar Lampung untuk proses lebih lanjut sesuai dengan Visum Et Repertum No. 357/6670/ 5.3/XI/ 2008 tanggal 10 Nopember 2008. 2. Putusan Hakim 1. Menyatakan terdakwa Fitriyani Binti Muradi telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana” Melakukan permufakatan jahat untuk melakukan atau penerimaan seseorang dengan penipuan, penyalahgunaan
kekuasaan
atau
posisi
rentan
untuk
tujuan
mengeksploitasi orang tersebut diwilayah RI yaitu melanggar pasal 2 Ayat (1) Jo. Pasal 11 Jo pasal 48 UU No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang unsur-unsurnya sebagai berikut: 1. Unsur setiap orang; 2. Unsur yang melakukan permufakatan jahat untuk melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang; 3. Unsur dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerassan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain. 2. Menjatuhkan pidana oleh karena itu terhadap terdakwa Fitriyani Binti Muradi dengan Pidana penjara selama 8 (delapan) tahun, dan atau denda
Universitas Sumatera Utara
sebesar Rp. 120.000.000,- dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar harus diganti dengan kurungan selama 1 ( satu) bulan. 3. Menetapkan agar terdakwa membayar restitusi kepada saksi korban Mai Diana Binti Raja Sulaiman Als Asnawti sebesar Rp.10.000.000,- apabila restitusi tidak dibayar harus diganti dengan kurungan selama 1 (satu) bulan. 4. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan. 5. Memerintahkan agar terdakwa tetap berada dalam tahanan. 6. Memerintahkan barang bukti berupa 1 buah celana panjang jeans warna biru tua, 1 buah celana pendek jeans warna biru tua, 1 buah celana pendek warna orange, 1 buah baju kaos warna merah dan kuning, 2 stel baju tidur warna merah dan merah muda, 2 buah celana dalam warna merah muda dan biru muda, 1 buah BH garis-garis warna merah dikembalikan kepada saksi korban Mai Diana Binti Raja Sulaiman Als, Asnawi. 7. Membebankan biaya perkara sebesar Rp. 2.000,- (dua ribu rupiah).
3.
Analisis putusan. Putusan yang dijatuhkan hakim sudah merupakan putusan hakim yang sesuai
dengan apa yang diatur dalam pasal 48 sampai 50 UU PTPPO yakni:
Universitas Sumatera Utara
1.
Korban Mai Diana Binti Raja Sulaiman als. Asnawi memperoleh restitusi sebagaimana yang dimaksud berupa ganti kerugian sebesar Rp.10.000.000,(sepuluh juta rupiah) atas: a. Kehilangan kekayaan dan penghasilan dimana korban ditipu mengenai kondisi kerja yang harus dihadapinya, dipaksa bekerja sebagai pekerja seks, dibebani oleh utang yang sebenarnya tidak ada atau jumlahnya lebih besar dari apa yang sebenarnya , penghasilan yang diperoleh oleh korban diambil oleh tersangka. korban masih berumur 15 tahun yang secara hukum belum dewasa. b. Penderitaan oleh karena rusaknya organ reproduksi korban yang dalam melakukan pekerjaan tidak ada waktu istirahat, korban mengalami kekerasan baik kekerasan fisik, psikologis dan seksual, jam kerja yang panjang.
2.
Mekanisme pengajuan restitusi dilaksanakan sejak korban melaporkan kasus yang dialaminya dan masuk dalam Berita Acara Pemeriksaan di Poltabes Bandar Lampung, dalam kasus ini pendamping bersama-sama dengan pihak kepolisian atas masukan psikologi melakukan rincian bersama atas kerugian materil dan immaterial yang dialami korban dan hasil konseling diserahkan kepada pihak kepolisian sebagai dasar pertimbangan atas kerugian immaterial dilihat dari psikologis yang dialami korban.
3.
Penuntut umum dalam hal ini memberitahukan kepada korban tentang haknya untuk mengajukan restitusi, jumlah kerugian telah dihitung saat di kepolisian
Universitas Sumatera Utara
dan masuk dalam BAP dan selanjutnya penuntut umum melakukan kordinasi ke kepolisian dan memasukannya dalam tuntutan. 4.
Restitusi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam amar putusan pengadilan tepatnya pada hari selasa tanggal 17 Maret 2009 oleh Majelis Hakim Pengadilan Tanjung Karang.
5.
Pemberian restitusi dilaksanakan sejak dijatuhkannya putusan pengadilan tingkat pertama dan sebelumnya restitusi sebesar Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta) terlebih dahulu di titipkan di pengadilan Negeri Tanjung Karang, Bandar Lampung. Jumlah restitusi yang diputus seperti apa yang dimuat dalam tuntutan oleh jaksa penuntut umum yang merupakan pembayaran riil (factual) dari jumlah restitusi yang diputus yang sebelumnya dititipkan pada pengadilan tingkat pertama.
6.
Aparat penegak hukum dari kepolisian, kejaksaan sampai pengadilan secara formal mengimplementasikan pelaksanaan pemberian hak restitisi bagi korban TPPO yang menyatakan perbuatan terdakwa telah melanggar pasal 2 ayat (1) ,jo pasal 11, jo 48 UU Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 tentang PTPPO.
B. Pelaksanaan Hak Restitusi Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia Disadari atau tidak sampai saat ini di Pengadilan Negeri Tanjung Karang Bandar Lampunglah yang baru pertama di Indonesia memutuskan pemberian restitusi kepada korban TPPO. Hal tersebut terjadi karena ketidakjelasan definisi, jenis serta
Universitas Sumatera Utara
proses penghitungan kerugian dan mekanisme pengajuan restitusi serta ketidakjelasan pihak yang memiliki kewenangan dalam tata pelaksanaan penghitungan kerugian juga ketidakpahaman aparat penegak hukum terkait dengan restitusi tersebut. 127 Rujukan lainnya adalah dengan mendasarkan pada aturan lama yang berlaku, yaitu ketentuan KUHAP. Dalam KUHAP terdapat mekanisme tentang ganti kerugian dan rehabilitasi. Ganti kerugian bisa dimintakan oleh tersangka atau terdakwa dalam kaitannya dengan proses pemeriksaan dan pengadilan yang tidak sah kepada aparat penegak hukum dan juga oleh korban atas kerugian yang dideritanya kepada pelaku. Mekanisme yang ditawarkan oleh KUHAP untuk hak-hak korban adalah mekanisme untuk ganti rugi kepada korban oleh pelaku. Mekanisme pengajuan ganti kerugian dalam KUHAP ini dapat dilakukan dengan dua cara yaitu : a. mengajukan gugatan perdata setelah perkara pidananya diputus; atau b. menggabungkan antara pengajuan ganti kerugian dengan pokok perkaranya. Mekanisme pertama tidak dapat dilakukan secara cepat dalam kasus TPPO karena harus ada putusan dari pengadilan terlebih dahulu, padahal penderitaan korban telah berlangsung sejak tindak kejahatan terjadi. Mekanisme panggabungan perkara pidana dengan tuntutan ganti rugi diatur dalam Pasal 98 ayat (1) KUHAP yang menyatakan, “jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian bagi
127
Hasil wawancara yang dilakukan dengan Ana Sakreti, Staff IOM di Jakarta, pada tanggal 26 Juni 2012, pukul 15.40 WIB.
Universitas Sumatera Utara
orang lain, maka hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara ganti kerugian kepada perkara pidana itu.” Sedangkan cara untuk pemulihan kerugian korban dapat digabungkan dalam perkara pidana adalah dengan permintaan perhatian Penuntut Umum agar Hakim dapat mencantumkan dalam diktum putusan pidana. Kesalahan umum mengenai konsep ini biasanya menyangkut bentuk pemulihannya. Orang awam sering menyamakan atau menyederhanakan pemulihan hak atas korban sebagai proses ganti rugi yang berbentuk finansial atau uang. Hal ini wajar karena kebanyakan bentuk pemulihan hak atas korban baik itu dalam Undang Undang Pengadilan HAM, UU Perlindungan Saksi dan Korban dan UU PTPPO Orang selalu dikonversi dalam bentuk uang atau ganti rugi finansial lainnya meskipun bentuk pemulihan tidak hanya berupa ganti rugi uang atau finansial. Korban TPPO Rini Mayasari ( 16 tahun) tentang apa itu restitusi.
128
menyatakan tidak mengetahui
Hal senada juga diucapkan oleh Nuraini yang kasusnya
disidangkan setelah lahirnya UU PTPPO. 129
128
Wawancara dilakukan pada tanggal 6 Juni 2012 , pukul 13.35 WIB dirumah korban. Kasus yang dialami Rini Mayasari terjadi sebelum lahirnya Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang. Meskipun UU No 21 tahun 2007 lahir kasus ini dapat dilakukan sekaligus dalam penggabungan perkara pidana dan perdata, namun lagi-lagi ganti kerugian atas kerugian yang dialami korban tidak diberikan terhadap korban. Walaupun dalam KUHAP tidak memberikan penggantian immaterial namun seyogianya ganti kerugian Materiil dapat diterima oleh korban. 129 Wawancara dilakukan dirumah korban pada tanggal 7 Juni 2012. Pukul 11.12 WIB Kasus Nuraini ini telah disidangkan di Pengadilan Negeri Binjai dengan No perkara 277/Pid.B/2011/PN-BJ tanggal 24 Oktober 2012, dimana pelaku Erlina alias Erlin diputus 3 tahun penjara namun Jaksa Penuntut Umum Banding di Pengadilan Tinggi Medan No : 702/PID/2011/PT-MDN pada tanggal 08 Desember 2011 putusan terhadap Erlina menjadi lebih tinggi dari sebelumnya 3 tahun menjadi 5 tahun. Sementara terhadap tersangka Poniseh alias Membot di putus di Pengadilan Negeri Binjai dengan nomor perkara 276/Pid.B/2011/PN-BJ tanggal 24 Oktober 2012, Jaksa Banding dan diputus pada tanggal 02 Desember 2011 hukuman terhadap poniseh alias Membot tidak berubah tetap 3
Universitas Sumatera Utara
Kasubdit IV Renakta Ditreskrimum Polda Sumatera Utara, AKPBP Juliana Situmorang, SH, CN menyatakan bahwa berkaitan dengan penjelasan pasal 48 ayat 1 UU PTPPO orang bahwa mekanisme pengajuan restitusi dilaksanakan sejak korban melaporkan kasus yang dialaminya kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia setempat dan ditangani oleh penyidik bersamaan dengan penanganan tindak pidana yang dilakukan. Dalam hal ini pihak kepolisian di Polda Sumatera Utara belum pernah menyampaikan hak tersebut kepada korban pada saat di BAP, hal ini disebabkan karena menurut polisi hal ini menjadi kewenangan sepenuhnya oleh korban untuk meminta ganti kerugian, dan pihak kejaksaan selama ini juga tidak pernah meminta dimasukan dalam BAP, sehingga permohonan ganti kerugian tersebut dapat diperoleh saat di pengadilan saja. Pihak kepolisian juga tidak semuanya paham adanya restitusi yang dapat diperoleh korban TPPO. Tugas Polisi adalah menangkap pelaku dan memeriksa pihak-pihak yang terkait dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Program kedepan yang akan dilakukan kepolisian Polda Sumut akan mensosialisasikan tentang pemberian restitusi terhadap korban TPPO ditingkat Polresta dan Polsek di Sumatera Utara agar pihak kepolisian memasukan restitusi sejak proses BAP di kepolisian. 130 Kanit I bidang” Perempuan dan Anak” di Kepolisian Daerah Sumatera Utara Kompol Fransisca Munthe juga mengungkapkan bahwa banyak orang yang tidak
tahun.Terhadap korban tetap tidak diberikan hak restitusi sebagaimana yang diatur dalam UU No 21 tahun 2007. 130 Wawancara dilakukan pada pertemuan rapat kordinasi gugus tugas TPPO, tanggal 2 Juli 2012 di kantor Gubernur Sumatera Utara.
Universitas Sumatera Utara
terfikir khususnya aparat penegak hukum untuk memasukan restitusi karena korban maupun pendamping tidak mengingatkannya kepada penyidik. Selain itu penyidik juga memiliki rasa kekhawatiran bila apa yang diusulkan dalam BAP ternyata tidak disetujui oleh jaksa maupun hakim sehingga korban sudah tahu akan menerima ganti kerugian akan menyebabkan korban menjadi makin tidak percaya dengan instansi kepolisian. Tidak dipungkiri masih banyak juga polisi yang tidak tahu bunyi pasal ini sehingga disarankan antara polisi, jaksa, hakim dan pendamping korban dapat samasama bekerjasama dan saling mengingatkan. 131 Pelaksanaan restitusi yang telah diputus di Lampung menurut Direktur LAdA Dedi Suhendri dan Diah bahwa inisiatif untuk diberikannya hak restitusi di inisiasi oleh lembaga pendamping bersama pihak kepolisian sehingga restitusi sudah dimasukan dalam BAP di kepolisian, dan pihak kejaksaan memasukan restitusi pada proses penuntutan dilakukan, penghitungan biaya kerugian yang diterima oleh korban dilakukan pendamping bersama pihak kepolisian saat proses penyidikan di kepolisian. 132 AKP Haruniati, menyatakan bahwa pihak kepolisian Polda Lampung tetap memantau jalannya proses persidangan kasus TPPO sampai ke pengadilan, sebelum kasus dilimpahkan ke kejaksaan pihak kepolisian sudah melakukan kordinasi dengan pihak kejaksaan dan pengadilan. Uang restitusi dititipkan di pengadilan pada saat 131
Wawancara dilakukan di ruang Kanit 1 Perlindungan Perempuan dan Anak yang dulunya disebut PPA dan sekarang sudah berubah menjadi Renakta (Remaja Anak dan Wanita) di Polda Sumut, pada tanggal 12 Juni 2012, pukul 11.10 WIB. 132 Wawancara dilakukan melalui komunikasi telepon pada tanggal 5 Mei 2012 , pukul 16.10 WIB.
Universitas Sumatera Utara
kasusnya akan disidangkan di pengadilan . Unit PPA Polda Lampung pada tahun 2008 telah mencoba untuk memohonkan restitusi dalam BAP namun hanya satu kasus yang disetujui restitusinya oleh majelis hakim pada saat itu yaitu kasus putusan No :1633/Pid/B/2008/PN.TK. 133 Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia sampai saat ini masih belum memanfaatkan UU No 21 Tahun 2007 tentang PTPPO pasal 1 ayat 13 dan pasal 48 sampai 50, berkenaan dengan tuntutan restitusi berupa ganti kerugian baik atas kehilangan kekayaan atau penghasilan, penderitaan, biaya untuk tindakan perawatan medis, dan/atau psikologis dan atau kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat perdagangan orang. Sebelum lahirnya UU PTPPO maka pasal yang digunakan untuk menuntut pelaku TPPO adalah KUHP dan bila korban anak menggunakan UU No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak namun belum pernah sekalipun terjadi penggabungan perkara menurut pasal 98 KUHAP untuk memberikan ganti kerugian terhadap korban, padahal kasus yang memiliki hukuman tertinggi di Indonesia sebelum lahirnya UU PTPPO adalah di Sumatera Utara dimana pelaku dituntut 13 tahun penjara dan di putus tetap 13 tahun penjara oleh majelis hakim di Pengadilan Negeri Tebing Tinggi. Rosihan Juhriah. Rangkuti,SH,MH, seorang hakim yang memutus kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang tertinggi sebelum lahirnya UU PTPPO di Tebing 133
Wawancara dilakukan melalui komunikasi telepon pada tanggal 17 Juli 2012, pukul 13.07 WIB. AKP.Haruniati pada saat menangani kasus yang mendapatkan restitusi di Lampung menjabat sebagai Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak ( Kanit PPA) di Polda Lampung.
Universitas Sumatera Utara
Tinggi Sumatera Utara menyatakan bahwa tidak ada permintaan pendamping dari korban juga Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan restitusi menjadi hambatan mengapa restitusi tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Selain itu pasal yang ada dalam UU PTPPO mandul pelaksanaannya karena susahnya menghitung biaya kerugian immateril terhadap korban seharusnya rincian kerugian immateril tersebut sudah harus dirinci oleh psikolog saat melakukan konseling terhadap korban dan dimuat dalam BAP. Restitusi merupakan hak bagi korban menurut beliau bahwa hak itu bisa dilaksanakan bisa tidak baiknya dalam redaksi UU PTPPO dinyatakan hak tersebut adalah wajib diberikan. Sebenarnya hakim bisa saja memutus dan mewajibkan tersangka memberikan restitusi karena hakim tidak terikat pada tuntutan namun hakim terikat pada dakwaan jaksa, karena jaksa merupakan mewakili kepentingan negara diusulkan tidak diusulkan harusnya penggabungan gugatan pidana atas ganti kerugian secara perdata juga secara otomatis dalam hukum acara diperkenankan. Disarankan mekanisme permohonan restitusi itu dimohonkan kepada majelis hakim baik itu oleh pendamping korban maupun jaksa saat pengadilan agar hakim dapat memutus dan mewajibkan tersangka memberikan restitusi terhadap korban. 134 Fitri Sumarni, SH,M.Hum Jaksa di Kejari Medan lebih lanjut mengatakan bahwa alasan mengapa Penuntut Umum tidak melakukan penggabungan perkara Pidana dan tuntutan restitusi tersebut disebabkan karena dalam UU PTPPO tidak dijelaskan sejauhmana peran Jaksa dan bagaimana hubungan antara Jaksa dengan 134
Wawancara dilakukan lewat telepon pada tanggal 17 Juni 2012, pada pukul 10.05 WIB.
Universitas Sumatera Utara
korban dan tidak ada ketegasan kewenangan Jaksa dalam hal mengajukan upaya hukum. Selain itu kewenangan Jaksa sebagai eksekutor putusan restitusi juga tidak diatur secara tegas, karena dalam Pasal 50 ayat (3) hanya memberi kewenangan Jaksa untuk menyita harta kekayaan pelaku setelah ada perintah dari Ketua Pengadilan bila restitusi tidak dibayar oleh pelaku. Umumnya pelaku yang ditangkap bukan pelaku utama , namun pihak kedua atau ketiga sehingga harta milik pelaku yang ditangkap umumnya sulit untuk diketahui kepemilikannya. 135 Sita harta kekayaan terpidana umumnya sulit dilakukan karena pelaku TPPO sudah tidak memiliki uang maupun harta lagi bisa saja harta yang dimiliki sudah dipindahtangankan kenama orang lain ataupun dihambur-hamburkan sebelum harta milik pelaku di eksekusi. Barang bergerak yang akan disita misalnya kendaraan roda dua atau roda empat bila dieksekusi dan diletakan pada tempat yang kurang baik dan tidak digunakan maka nilai kendaraan tersebut saat dilelang akan berkurang nilainya. 136 Teguh Suhendro dari Kejaksaan Agung pada rapat Koordinasi Nasional Gugus Tugas PTPPO menyatakan bahwa Hak restitusi untuk korban TPPO sangat sulit dilaksanakan. Hal ini disebabkan pemenuhan hak bagi saksi dan/atau korban pada tahap penyidikan, tahap penuntutan, dan tahap pelaksanaan putusan.” Pada tahap penyidikan, kendala yang dihadapi adalah korban enggan mengikuti proses
135
Wawancara dilakukan lewat telepon pada tanggal 2 Juli 2012, Pada pukul 17.20 WIB. Hal tersebut diungkapkan oleh hakim di Banda Aceh Ainal Mardiah dalam kegiatan LOKAKARYA UNTUK KEPOLISIAN, KEJAKSAAN DAN LSM ,Menyatukan Pemerintah dan Masyarakat Sipil utuk Melindungi Indonesia dari Perbudakan Modern, September 2012. 136
Universitas Sumatera Utara
persidangan yang panjang (minimum 3 bulan). Masih adanya perbedaan pendapat antara polisi dan jaksa terhadap laporan saksi dan/atau korban dalam proses penyidikan. Kendala lain yang dihadapi oleh Jaksa yaitu tidak adanya barang-barang bergerak/tidak bergerak yang disita untuk jaminan pemenuhan/pembayaran restitusi. Saksi dan/atau korban yang melaporkan menjadi tersangka dalam perkara tindak pidana lain. 137 Jaksa dalam melakukan penuntutan, banyak mengalami kesulitan untuk menghadirkan saksi, permintaan restitusi tidak di dukung dengan bukti-bukti pengeluaran dalam hal ini seringkali pelaku tidak membayar dan memilih untuk tambahan kurungan, sementara tambahan kurungan sebagai pengganti restitusi ini sangat ringat (maksimum 1 tahun kurungan). Kesulitan yang dihadapi Jaksa adalah dalam menentukan berapa besaran restitusi yang menjadi hak saksi korban dan menghadirkan ahli. Tahap pelaksanaan pada putusan pengadilan, para Jaksa menghadapi kendala dalam mengeksekusi putusan restitusi untuk saksi dan/atau korban, karena aplikasi penyitaan barang bergerak maupun tidak bergerak milik terpidana belum ada dasar hukum untuk penyitaan, lebih dari itu terpidana TPPO seringkali tidak mampu membayar restitusi dan memilih tambahan penjara kurungan, dimana menurut UU PTPPO pengalihan hukuman denda restitusi dengan maksimum 1 tahun penjara 137
Disampaikan Teguh Suhendro dari Kejaksaan Agung pada kegiatan Rapat Koordinasi Nasional Gugus Tugas Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang di adakan di Hotel Aston, Bogor pada tanggal 7 Juni 2012, sebagaimana diberitakan dalam http://www.gugustugastrafficking.org. diakses pada tanggal 23 Juni 2012, pukul 13.52 WIB.
Universitas Sumatera Utara
kurungan. Hal ini terjadi karena terpidana umumnya adalah pelaku lapangan dan bukan pelaku utama atau korporasi. Mengatasi kendala dalam memenuhi hak bagi saksi dan/atau korban, menurut Teguh Suhendro, “Perlu menggunakan pendekatan sistemik dalam penegakan hukum, yaitu melalui pembenahan struktur hukum, substansi hukum, dan budaya hukum.” Pemberian restitusi dan menggabungkan gugatan perkara pidana dan perdata seharusnya tergantung dari kebijakan pemimpin sidang dalam hal ini hakim bila jaksa tidak mengajukan pada saat penuntutan maka hakim dapat berinisiatif untuk melakukannya.
C. Asas-Asas Yang Terdapat Dalam Pelaksanaan Hak Restitusi. Konteks pemulihan terhadap korban dalam bentuk restitusi terkandung pula beberapa asas asas hukum sebagai berikut: 138 1. Asas Manfaat Artinya, perlindungan korban kejahatan tidak hanya ditujukan bagi tercapainya kemanfaatan (baik materiil maupun spiritual) bagi korban kejahatan, tetapi juga kemanfaatan bagi masyarakat luas, khususnya dalam upaya mengurangi jumlah tindak pidana serta menciptakan ketertiban masyarakat. 2. Asas Keadilan 138
Dikdik M. Arief Mansur-Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban KejahatanAntara Norma dan Realita, (Jakarta: PT. RadjaGrafindo Persada, 2007) hal 164.
Universitas Sumatera Utara
Artinya, penerapan asas keadilan dalam upaya melindungi korban kejahatan tidak bersifat mutlak karena hal ini dibatasi pula oleh rasa keadilan yang harus juga diberikan pada pelaku kejahatan. 3. Asas Keseimbangan Tujuan hukum disamping memberikan kepastian dan perlindungan terhadap kepentingan manusia, juga untuk memulihkan keseimbangan tatanan masyarakat yang terganggu menuju pada kekayaan yang semula (restitution in integrum), asas keseimbangan memperoleh tempat yang penting dalam upaya pemulihan hak-hak korban.
4. Asas Kepastian Hukum Asas ini dapat memberikan dasar pijakan hukum yang kuat bagi aparat penegak hukum pada saat melaksanakan tugasnya dalam upaya memberikan perlindungan hukum pada korban kejahatan. UU No 21 tahun 2007 tentang PTPPO pasal 28 menyatakan bahwa penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara TPPO, dilakukan berdasarkan Hukum Acara Pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini. Sehingga dalam proses pemberian restitusi juga menganut asas-asas hukum acara pidana yang antara lain: 139 1. Asas “Equality Before The Law” 139
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Asas ini merupakan salah satu manifestasi dari negara hukum (rechstaat) sehingga harus ada perlakuan yang sama bagi setiap orang dihadapan hukum (gelijkheid van iedeer voor de wet). Dengan demikian, elemen yang melekat mengandung makna perlindungan yang sama di depan hukum (equal protection on the law) dan mendapatkan keadilan yang sama di depan hukum (equal justice under the law). Tegasnya hukum acara pidana tidak mengenal adanya perlakuan yang berbeda terhadap orang-orang yang terkait dengan peradilan (forum prevelegiatum) baik sebagai saksi, tersangka maupun korban, sebagaimana ditentukan Pasal 5 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan penjelasan umum Pasal 3 KUHAP, dan karena itu pulalah untuk menjaga kewibawaan pengadilan, maka segala intervensi terhadap peradilan dilarang kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. 2. Asas Ganti Rugi dan Rehabilitasi Asas ganti kerugian dan rehabilitasi mulanya diperuntukkan bagi tersangka atau terdakwa yang diadili tidak sebagaimana mestinya. 140 Dalam perkembanganya asas ini dapat diterapkan terhadap saksi dan korban yang dirugikan terhadap suatu tindak pidana. 141 Asas ini pada pokoknya menghendaki adanya suatu bentuk pemberian berupa material maupun imaterial kepada orang yang dirugikan di dalam suatu perkara pidana baik menyangkut kejadian tindak pidana itu sendiri maupun masalah prosedural pemeriksaan perkara pidana. Ganti rugi dan rehabilitasi ini sangat 140
Pasal 9 UU Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan Pasal 95, 96, 97
KUHAP. 141
Pasal 35 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, jo PP No. 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat, jo pasal 6, 7 UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Terhadap Saksi dan Korban.
Universitas Sumatera Utara
dibutuhkan bagi saksi dan korban untuk memulihkan atau mengembalikannya kepada keadaan yang tepat. 3. Asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan Asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan terdapat dalam Pasal 4 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman dan penjelasan umum angka 3 huruf e KUHAP. Secara konkrit, apabila dijabarkan bahwa peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan dimaksudkan supaya orang-orang yang terkait di dalam peradilan tidak diperlakukan dan diperiksa sampai berlarut-larut, kemudian memperoleh kepastian prosedural hukum serta proses administrasi yang ringan serta tidak memboroskan sumber daya yang ada pada proses pemeriksaan. Kaitannya dengan keberadaan saksi dan korban adalah agar saksi dan korban diperiksa secara cepat dan sederhana sehingga tidak membuat mereka menjadi tidak nyaman dan terbebani pada saat memberikan keterangannya. 4. Asas Bantuan Hukum Asas bantuan hukum ditegaskan dalam penjelasan umum angka 3 huruf f KUHAP yang pada intinya mewajibkan pemberian bantuan hukum terhadap setiap orang yang tersangkut perkara pidana untuk kepentingan pembelaannya, sedangkan asas bantuan hukum dalam Bab VII Pasal 37 Undang-undang Kekuasaan Kehakiman menyatakan : “ setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum.” Selain dasar hukum tentang bantuan hukum seperti di atas, juga terdapat di dalam Pasal 56, 69 s.d 74 KUHAP dan pasal 37 Undang-undang Kekuasaan Kehakiman yang bersifat imperatif, serta yurisprudensi Mahkamah Agung RI seperti Putusan No. 510
Universitas Sumatera Utara
k/Pid/1988/ tanggal 28 April 1988 dan Putusan No. 1565 K/Pid/1991 tanggal 16 September 1993. Asas bantuan hukum ini wajib diberikan kepada saksi dan korban, agar mereka menjadi terang akan hak-hak dan kewajibannya. 5. Asas Pemeriksaan Hakim yang Langsung dan Lisan Praktik pemeriksaan perkara pidana di depan persidangan dilakukan hakim secara langsung kepada terdakwa dan saksi-saksi serta dilaksanakan dengan cara lisan dan bahasa Indonesia. Pemberlakuan asas ini lebih luas, seperti dapat diperiksanya seseorang secara in absentia atau tanpa hadirnya terdakwa di dalam persidangan. Kaitannya terhadap saksi dan korban Pelanggaran HAM yang berat adalah kemungkinannya dalam pemeriksaan tanpa hadir secara langsung di pengadilan yaitu dapat melalui sarana elektronik, maupun secara tertulis. Pelaksanaan hak restitusi bagi korban TPPO harus mewujudkan pengamalan pancasila yang merupakan jiwa, kepribadian dan pandangan hidup bangsa dan dasar negara Indonesia yang dapat dihayati dengan segenap jiwa raga oleh seluruh pihak yang terkait khususnya dalam pelaksanaan pelayanan dan pemenuhan hak atas korban. Semua pihak yang terkait dalam memberikan pelayanan terhadap korban harus memegang nilai-nilai yang ada dalam Pancasila. 142 Ide dasar Pancasila hendaknya dipahami sebagai nilai-nilai yang tercermin dari sila-sila dari pancasila seperti mengenai ide-ide paradigma ketuhanan (moral religius), paradigma kemanusiaan (humanistik), paradigma kebangsaan (persatuan/ nasionalistik), 142
paradigma
kerakyatan/demokrasi,
paradigma
keadilan
sosial.
Arif Gosita, Op.Cit, hal 77-79.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan ide tersebut, menurut Barda Nawawi Arief dapat dikelompokkan dalam tiga nilai keseimbangan berupa: 143 1. Nilai keseimbangan nilai ketuhanan (moral-religius), 2. Nilai kemanusiaan (humanistik) dan 3. Nilai kemasyarakatan: nasionalistik, demokratik, keadilan sosial.
D. Hambatan Yuridis Dalam Pelaksanaan Hak Restitusi Salah satu dasar pertimbangan diundangkannya UU No 21 Tahun 2007 tentang PTPPO adalah adanya perlindungan yang diberikan terhadap korban atas penderitaan dan kerugian baik materil dan atau immaterial sebagai akibat TPPO yang dilakukan pelaku, selama ini peraturan yang berkaitan dengan perdagangan orang belum memberikan landasan hukum yang menyeluruh dan terpadu bagi PTPPO. Penanganan perkara TPPO berlandaskan pada Pasal-pasal dalam UU No 21 Tahun 2007 memberikan perlindungan kepada korban, selain diwujudkan dalam bentuk dipidananya pelaku, juga diwujudkan dalam bentuk pemenuhan hak atas korban salah satu hak korban TPPO ialah hak untuk memperoleh restitusi, hak ini diberikan kepada korban oleh pelaku sebagai bentuk ganti rugi atas penderitaan yang dialami korban akibat terjadinya TPPO.
143
Barda Nawawi Arief, Pokok-pokok Pikiran (Ide Dasar) Asas-asas Hukum Pidana Nasional, yang telah di sadur penulis dari tulisan Sapto Budoyo Semarang, 2006.
Universitas Sumatera Utara
Mengacu pada ketentuan Pasal 48-50 UU No 21 Tahun 2007 tentang PTPPO yang mengatur tentang hak korban TPPO berupa restitusi (ganti rugi), memiliki kelemahan secara yuridis diantaranya: 144 1. UU No 21 Tahun 2007 tentang PTPPO tidak diatur secara limitatif mengenai kewenangan Jaksa dalam melakukan upaya hukum baik dalam tingkat banding maupun kasasi terhadap putusan pengadilan dalam perkara TPPO tetapi pasal 28 UU PTPPO menyatakan bahwa “Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara TPPO, dilakukan berdasarkan Hukum Acara Pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini”. Sehingga KUHAP juga menjadi hukum acara dalam pelaksanaan UU PTPPO Pasal ini akan merugikan korban dalam memenuhi haknya dalam memperoleh hak restitusi misalnya dalam hal penggabungan perkara pidana sebagaimana yang diatur dalam pasal 98-101 KUHAP. Dalam hal tidak diajukan permintaan banding maka permintaan banding atas putusan ganti kerugian tidak diperkenankan, dalam hal ini korban akan dirugikan karena korban harus menerima putusan karena bila terdakwa menyatakan banding maka secara otomatis perkara perdatanya mengikuti pemeriksaan banding. Bila tidak maka korban tidak diperkenakan untuk mengajukan banding atas gugatan ganti kerugian atau restitusi atas putusan yang dianggap
144
Disadur dari tulisan terkait penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang berkaitan dengan perlindungan hak-hak korban, http://www.kejaksaan.go.id , diakses pada tanggal 2 Juli 2012, pada pukul 12.40 WIB.
Universitas Sumatera Utara
tidak sesuai dengan beban kerugian yang dialami korban baik materil maupun immaterial. 2. Penjelasan pasal 48 Ayat (1) menyatakan mekanisme pengajuan restitusi dilaksanakan sejak korban melaporkan kasus yang dialaminya kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia setempat dan ditangani oleh penyidik bersamaan dengan penanganan tindak pidana yang dilakukan. Penuntut umum memberitahukan kepada korban tentang haknya untuk mengajukan restitusi, selanjutnya penuntut umum menyampaikan jumlah kerugian yang diderita korban akibat TPPO bersamaan dengan tuntutan. Mekanisme ini tidak menghilangkan hak korban untuk mengajukan sendiri gugatan atas kerugiannya. Meskipun Penuntut Umum berwenang mengajukan restitusi, tetapi mekanisme pelaksanaannya belum diatur dengan jelas oleh peraturan perundang-undangan: seperti bagaimana menentukan besar kecilnya jumlah uang restitusi yang diajukan, apakah diperkenankan kalau sudah diajukan penuntut umum korban dapat mengajukan restitusi sendiri. Ketentuan pasal yang mengatur tentang mekanisme restitusi ini tidak terletak dalam substansi pasal hanya dicantumkan dalam pasal penjelasan. Harusnya pasal ini dimasukan dalam substansi pasal bukan penjelasan, akibatnya Polisi, Jaksa maupun hakim dapat langsung memahami dan mengintegrasikan ketentuan pasal ini. 3. Pasal 48 ayat 5 UU PTPPO menyatakan bahwa restitusi dapat dititipkan terlebih dahulu di pengadilan tempat perkara diputus artinya bahwa dalam UU
Universitas Sumatera Utara
No 21 Tahun 2007 terdapat peraturan yang kurang mendukung semangat undang-undang tersebut untuk memberikan perlindungan kepada korban yaitu ketentuan mengenai penitipan restitusi yang sifatnya sukarela . Sementara penjelasan pasal tersebut menyatakan bahwa penitipan restitusi dalam bentuk uang di pengadilan dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundangundangan. Ketentuan ini disamakan dengan proses penanganan perkara perdata dalam konsinyasi., tentang waktu penitipan uang restitusi, dilakukan sejak tahap penyidikan. Kalimat pasal dapat tersebut menimbulkan arti bahwa tidak ada kata “wajib” agar restitusi dititipkan di pengadilan terlebih dahulu. Sebaiknya kata dapat di ubah menjadi wajib. Wajib mengandung makna ketegasan bahwa perintah undang-undang harus diikuti oleh siapapun tanpa kecuali, atau dengan kata lain pelaku TPPO wajib menitipkan uang restitusi pada Pengadilan Negeri setempat. Kata wajib menitipkan uang kalau tidak diikuti dengan upaya paksa, maka ketentuan itu akan sia-sia saja. Sebab bila pelaku tetap tidak mau menitipkan uang restitusi ke pengadilan juga tidak ada sanksi yang akan diberikan pada pelaku. Ini berarti salah satu unsur sistem hukum yaitu dapat diaplikasinya peraturan tidak dapat terwujud. Tidak berfungsinya salah satu unsur maka sistem hukum tidak akan berjalan dengan efektif. 4. Pasal 50 ayat (4) UU No 21 Tahun 2007 dikatakan jika pelaku tidak mampu membayar restitusi, maka pelaku dikenai pidana kurungan pengganti paling lama 1 (satu) tahun. Hukuman pidana pengganti sudah tepat tetapi dengan
Universitas Sumatera Utara
maksimal 1 (satu) tahun pidana kurungan pengganti dianggap terlalu ringan. Ketentuan ini seharusnya diubah disesuaikan dengan jumlah kerugian yang diderita korban. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari kecenderunga pihak pelaku untuk menjalani pidana kurungan dari pada harus membayar uang restitusi, karena pidana kurungannya tidak lama. Mungkin saja nilai restitusinya sangat besar dan untuk menghindari itu maka pihak terpidana akan memilih menjalankan pidana kurungan selama 1 (satu) tahun dan kewajiban untuk membayar restitusi secara otomatis menjadi gugur. Restitusi seyogianya tidak dapat diganti dengan pidana kurungan karena bertentangan dengan semangat UU No 21 Tahun 2007 itu sendiri yang ingin memberi perlindungan kepada korban dalam bentuk ganti rugi secara finansial. Apabila pidana pengganti diterapkan, maka korban tidak mendapatkan ganti rugi atau kompensasi secara materiil dan atau immaterial atas penderitaannya. 5. UU No 21 Tahun 2007 tidak menjelaskan sejauhmana peran Jaksa dan bagaimana hubungan antara Jaksa dengan korban. Selain itu kewenangan Jaksa sebagai eksekutor putusan restitusi juga tidak diatur secara tegas, karena dalam Pasal 50 ayat (3) hanya memberi kewenangan Jaksa untuk menyita harta kekayaan pelaku setelah ada perintah dari Ketua Pengadilan bila restitusi tidak dibayar oleh pelaku. 6. UU No 21 Tahun 2007 tidak menetapkan mengenai jangka waktu pengajuan restitusi dapat dilakukan apakah sesaat setelah terjadinya TPPO sampai berapa tahun batas waktunya . Ini berbeda dengan beberapa negara yang memiliki
Universitas Sumatera Utara
program restitusi dimana negara-negara tersebut menentukan jangka waktu pengajuan restitusi. Belanda misalnya menentukan jangka waktu pengajuan restitusi di kepolisian 3 tahun sejak terjadinya tindak pidana sementara pengajuan permohonannya tidak ada pembatasan. Lain halnya di Inggris laporan di kepolisian secepat mungkin sejak terjadinya tindak pidana dan pengajuan permohonan sejak terjadinya tindak
pidana. Kolombia
ketentuannya 1 tahun sejak terjadinya tindak pidana dan dapat diajukan permohonan 1 sampai 2 tahun sejak terjadinya tindak pidana. Philipina harus melapor terlebih dahulu di kepolisian sama halnya dengan Australia namun di Philipina pengajuannya 6 bulan sejak korban menderita kerugian ataupun terluka sementara Australia 2 sampai 3 tahun setelah tindak pidana terjadi. 145
145
The Asia Foundation, Directori International Victim Compensation Programs 2004-2005 dalam Naskah Akademis dan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pemberian kompensasi dan restitusi serta bantuan Saksi dan Korban, ( Jakarta: Indonesia Coruption Watch, 2007), hal 23.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
A.
Kesimpulan Berdasarkan hasil pembahasan sebagaimana telah dikemukakan di atas, maka penulis menarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Pengaturan konsep hak restitusi terhadap korban TPPO diatur dalam pasal 1 ayat 13 dan pasal 48 sampai 50 , UU No 21 Tahun 2007 tentang PTPPO . Restitusi yang dimaksud adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan
kepada
pelaku
berdasarkan
putusan
pengadilan
yang
berkekuatan hukum yang tetap atas kerugian materiil dan immaterial yang diderita korban atau ahli warisnya. Restitusi juga diatur dalam UU No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dan UU No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Ganti kerugian juga diatur dalam peraturan nasional lainnya namun yang dapat dituntut hanya kerugian materiil saja yaitu pengaturan yang diatur dalam KUHAP pasal 98 sampai 101 tentang penggabungan perkara pidana dan perdata. KUH Perdata yaitu pasal 1365 sampai 1380 sebagai ganti kerugian akibat dari wanprestasi dalam sebuah perikatan.
Universitas Sumatera Utara
2.
Penerapan konsep hak restitusi atas korban TPPO dalam sistem peradilan pidana di Indonesia belum dilaksanakan sesuai dengan aturan yang ada dalam UU TPPO hal ini disebabkan beberapa kendala : a. Pada tahap penyidikan Polisi tidak memasukan restitusi dalam Berita Acara Pemeriksaan karena tidak semua polisi paham tentang restitusi sebagaimana yang diatur dalam pasal 48 sampai 50 UU TPPO. Sulitnya mengumpulkan bukti bukti untuk mengajukan restitusi atas kerugian material dan immaterial b. Pada tahap Penuntutan, Jaksa tidak memohonkan restitusi dalam tuntutannya karena tidak ada mekanisme/ tatacara pengajuan restitusi pada saat pengajuan tuntutan maupun petunjuk teknisnya serta sulitnya menghitung kerugian immaterial bagi korban TPPO,selain itu UU PTPPO tidak menyebutkan atau menentukan jumlah atau besaran restitusi yang dapat diajukan atau dimintakan korban ke pengadilan , selain itu sulitnya mengukur kerugian immaterial bagi korban TPPO. c. Pada tahap putusan pengadilan hakim sulit memutuskan pelaku harus memberikan restitusi kepada korban TPPO karena karena harta yang dimiliki pelaku baik itu barang bergerak/tidak bergerak tidak ada, sementera UU TPPO membuka peluang pilihan hukuman bila restitusi tidak dapat diberikan pelaku terhadap korban sehingga pelaku lebih memilih penambahan hukuman 1 tahun penjara daripada memberikan restitusi dalam bentuk uang.
Universitas Sumatera Utara
B. SARAN 1. Agar restitusi ini dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan pemerintah harus segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Mekanisme dan Tata Cara Pengajuan Restitusi Bagi Korban TPPO. Sepanjang belum ada ketentuan yang mengatur tata cara menghitung nilai kerugian yang akan diajukan ke pengadilan , maka penghitungan biaya kerugian dilakukan oleh korban dibantu oleh psikologi untuk mengetahui sampai sejauhmana trauma psikologis yang dialami korban, sebagai tolok ukur/standar penilaian atas kerugian khususnya kerugian immaterial maka dapat dilakukan melalui formulasi penghitungan kerugian dengan harga emas yang berlaku pada saat proses hukum peradilan berjalan. 2. Agar penerapan konsep hak restitusi atas korban TPPO dapat berjalan sebagaimana mestinya maka: a. Perlu disusun petunjuk pelaksana (Juklak) dan petunjuk teknis (Juknis) bagi para Polisi dan Jaksa agar ada keseragaman sikap dari para polisi dan jaksa di daerah dalam menangani perkara TPPO hal ini disarankan kepada Mabes Polri dan Mahkamah Agung untuk dapat mengeluarkan Juklak dan Juknis agar para Polisi dan Jaksa diseluruh Indonesia sebagai pihak yang memperjuangkan hak korban dapat mewujudkan hak korban untuk memperoleh restitusi atas penderitaan yang dialami korban akibat terjadinya TPPO.
Universitas Sumatera Utara
b. Pelatihan bagi Aparat penegak hukum perlu dilakukan dalam upaya pemahaman yang sama baik itu Polisi, Jaksa, Hakim, Pengacara dan LSM tentang restitusi sebagai bentuk perbaikan atas kerugian yang diakibatkan oleh Tindak Pidana Perdagangan Orang yang dilakukan oleh pelaku dan harus dibayarkan kepada korban atau keluarga korban. c. Bagi hakim agar restitusi dapat diberikan terhadap korban maka alangkah baiknya penghitungan restitusi dapat dilakukan terlebih dahulu atas kerugian material dan bila jaksa tidak memasukan restitusi dalam tuntutan
maka hakim memberi peluang kepada korban agar dapat
mengajukan restitusi atau melalui pendamping korban, bila tersangka banding maka restitusi diharapkan dapat dititipkan terlebih dahulu di pengadilan agar tersangka tidak dapat memindahtangankan harta yang dimilikinya.
Universitas Sumatera Utara