BAB III PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG WATHA’ SEBAGAI SYARAT SAHNYA RUJUK BAGI TALAK YANG JATUH AKIBAT SUMPAH ILA’ A. Biografi Imam Malik 1. Tempat dan Tahun Kelahiran Imam Malik Imam Malik adalah Imam kedua dari imam-imam empat serangkai dalam islam dari segi umur. Beliau dilahirkan dikota Madinah suatu daerah dinegeri Hijaz, pada tahun 93 Hijriyah/712M. Beliau adalah seorang dari keturunan bangsa arab dari Dusun Dzu Ashbah, sebuah dusun dikota Himyar dari jajahan negeri Yaman.1 Nama beliau dari kecil adalah Malik bin Anas bin Malik bin Amir Al Ashbahy, dan ibunya bernama Siti Al-‘Aliyah binti Syuraik bin Abdurrahman bin Syuraik Al-Azadiyah. Dan menurut beberapa riwayat yang termaktub dalam kira-kitab tarikh: “Bahwa Imam Malik ketika dalam kandungan rahim ibunya adalah dalam tempo kurang lebih dua tahun”.2 Ketika masih dalam usianya yang masih kanak-kanak beliau mulai sudah belajar membaca al-Qur'an dengan lancar diluar kepala.3 Perlu dijelaskan, bahwa nama Anas bin Malik (ayah beliau) itu bukannya Anas bin Malik yang pernah menjadi sahabat dan khadam Nabi kita Muhammad SAW yang terkenal itu , karena Anas bin Malik ini
1
H. Moenawar Chalil, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab¸ Bulan Bintang, Jakarta, 1985, hlm. 84 2 Ibid 3 Ibid, hlm. 85
27
adalah bin Nadhar bin Dhamdham bin Zaid Al Anshary Al Khazrajy. Adapun Anas bin Malik (ayah bagi Imam Malik) itu adalah bin Abi Amir bin Amr bin Al Harits bin Sa’ad bin ‘Auf bin Ady bin Malik bin Yazid. Ia (Anas) termasuk seorang tabi’in (seorang Islam yang hidup dimasa kemudian para sahabat Nabi), dan yang termasuk daripada sahabat Nabi ialah Abu Amir (ayah bagi datuk beliau). Abu Amir sendiri berasal dari kota Yaman, pindah ke Madinah pada masa Nabi kita SAW. Dengan tujuan berhijrah dari negerinya, karena hendak mengikuti seruan (dakwah) Islam di Madinah yang sedang berkembang. Abu Amir pada waktu mengikuti (menjadi sahabat) Nabi SAW adalah termasuk seorang sahabat yang setia, dan sewaktu-waktu ia ikut serta menjadi tentara untuk bertempur melawan musuh, kecuali di kala terjadi peperangan di Badar yang besar. Dan sahabat Abu Amir di Madinah menurunkan beberapa orang anak, salah satu diantaranya adalah Malik (datuk bagi Imam Malik), dan Malik lalu menurunkan beberapa orang anak yang diantaranya ialah Anas (ayah Imam Malik).4 Yang mulia Imam Malik terdidik di kota Madinah dalam suasana yang meliputi diantaranya para sahabat, para tabi’in para anshar, para cerdik-pandai dan para ahli hukum agama. Beliau terdidik ditengah-tengah mereka itu sebagai seorang anak yang cerdas pikiran, cepat menerima pelajaran, kuat dalam berfikir dan menerima pengajaran, setia dan teliti.
4
Ibid., hlm. 85
28
Ketika masih dalam usianya yang masih kanak-kanak beliau mulai sudah belajar membaca al-Qur'an dengan lancar diluar kepala.5 Imam Malik juga seorang yang berbudi mulia, dengan pikiran yang cerdas, pemberani dan teguh mempertahankan kebenaran yang diyakininya. Beliau seorang yang mempunyai sopan santun dan lemah lembut, suka menengok orang sakit, mengasihani orang miskin dan suka memberi bantuan kepada orang yang membutuhkannya. Beliau juga seorang yang sangat pendiam, kalau berbicara dipilihnya mana perlu dan berguna serta menjauhkan diri dari segala macam perbuatan yang tidak bermanfaat. Disamping itu beliau juga seorang yang suka bergaul dengan handai taulan, orang-orang yang mengerti agama terutama para gurunya, bahkan bergaul dengan para pejabat pemerintah atau wakil-wakil pemerintahan serta kepala negara. Beliau tidak pernah melanggar batasan agama.6 Dan perlu diterangkan, bahwa Malik, datuk beliau adalah seorang yang termasuk pembesar tabi’in dan ulama mereka yang terkemuka. Dari semenjak kecil beliau seorang fakir, tidak pernah mempunyai uang, karena memang bukan keturunan orang mampu. Sekalipun dalam keadaan yang demikian, namun beliau tetap sebagai seorang yang setia dalam menuntut ilmu pengetahuan. Oleh sebab itu, maka setelah beliau menjadi seorang alim besar di kota Madinah, banyak hadiah yang datang pada beliau. 5
Ibid., hlm. 85 Dr. Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1997, hlm. 103 6
29
2. Guru dan Murid Imam Malik Imam Malik, oleh karena dari sejak kecil beliau adalah putra seorang tabi’in yang terkenal dan cucu seorang alim besar golongan tabi’in yang tertua, maka sudah tentu beliau terdidik suka kepada ilmu pengetahuan, terutama pengetahuan agama. Lebih-lebih memang sejak beliau dilahirkan sudah membawa sifat-sifat dan tanda-tanda yang menunjukkan, bahwa beliau seorang yang akan menjadi pemimpin besar dalam lingkungan umat Islam. Imam Malik setelah mempelajari berbagai ilmu pengetahuan yang bertalian dengan urusan keagamaan, beliau lalu mempelajari ilmu riwayat, ilmu hadits yang diriwayatkan oleh orang-orang perawi dari junjungan Nabi Muhammad Saw. Setelah itu, maka jika beliau hendak belajar atau berguru kepada seorang guru, lebih dahulu menyelidiki keadaan kelakuan guru itu dengan seksama, baik dalam urusan ibadahnya maupun akhlaknya. Adapun sifat-sifat ulama yang dipilih oleh beliau untuk didengar dan diambil ilmunya menurut kata beliau sendiri adalah demikian: “janganlah ilmu pengetahuan itu diambil dari empat macam orang, dan harus diambil dari orang-orang yang lain dari empat macam tadi: 1. Jangan diambil dari orang yang berperangai jelek/jahat, 2. Jangan diambil dari orang yang ahli hawa dan ahli bid’ah, yang mereka itu mengajak orang lain kepada hawa dan bid’ahnya, 3. Jangan diambil dari orang yang suka berdusta dalam urusan hadits, dan 4. Jangan diambil dari guru-guru
30
yang suka kepada kebaikan keutamaan dalam ibadah manakala yang mereka kerjakan itu tidak dengan pengetahuan”. Adapun guru beliau yang pertama adalah Abdur Rahman bin Hurmuz, seorang alim besar di kota madinah pada masa itu. Imam Malik berguru pada Abdur Rahman selama beberapa tahun dan Imam Malik tinggal di rumah beliau, sehingga tidak ada guru Imam Malik yang bergaul erat selain dari Imam Abdur Rahman bin Harmaz.7 Imam Malik belajar ilmu fiqih dari salah seorang ulama besar kota Madinah, yang bernama Rabi’ah al-Ra’yi, kemudian beliau juga belajar ilmu hadits dari Imam Nafi’ Maula Ibnu Umar dan Imam Ibnu Syihab alZuhry.8 Para guru beliau selain dari yang sudah dijelaskan diatas, ada berpuluh-puluh orang yang telah menjadi guru dari Imam Malik diantaranya adalah sebagai berikut: Imam Ibrahim bin Abi Ablah AlUqaily, wafat pada tahun 152 H, Imam Ja’far bin Muahammad bin Ali, wafat pada tahun 148 H, Imam Isma’il bin Abi Hakim Al Madani, wafat pada tahun 130 H, Imam Tsaur bin Zaid Ad Daily, wafat pada tahun 135 H, Imam Humaid bin Abi Humaid At Ta’wil,wafat pada tahun 143 H, Imam Daud bin Hashi Al- Amawy, wafat pada tahun 135 H, Imam Hamid bin Qais Al A’raj, wafat pada tahun 139 H, Imam Zaid bin Abi Anisah, wafat pada tahun 135 H, Imam Salim bin Abi Umayyah Al Qurasy, wafat pada tahun 129 H. 7 8
H. Moenawar Chalil, op. cit., hlm. 86 Dr. Huzaemah Tahido Yanggo, op. cit., hlm. 104
31
Inilah dari antara para guru Imam Malik, yang dari antara mereka itu hingga kini masih tercatat dalam kitab-kitab hadits sebagai perawi (penceritera) hadits. Dan sepanjang riwayat, jumlah guru beliau yang utama itu tidak kurang dari 700 orang, dan diantara yang sekian banyak itu ada 300 orang yang tergolong ulama tabi’in. Setelah mencapai tingkat tinggi dalam bidang Ilmu Hadits, Imam Malik mulai mengajar, karena beliau merasa memiliki kewajiban untuk membagi pengetahuannya kepada orang lain yang membutuhkannya.9 Diantara murid beliau yang terkenal adalah: Imam Muhammad bin al-Hasan Asy-Syaibani Al-Hanafi, Imam Syafi’i yang kemudian mempunyai mazhab sendiri yang paling masyhur itu, dan ulama-ulama yang menjadi pengikutnya antara lain adalah ulama-ulama perawi kitab Al-Muwatta seperti Yahya al-Laitsi al-Andalusi, Asad bin al-Furat atTumisi, ‘Abdu-Salam At-Tanukhi yang terkenal dengan nama Sahnun Qairuwan.10 3. Tersebarnya Mazhab Maliki Mazhab Imam Malik timbul dan berkembang di Madinah, tempat kediaman beliau, kemudian tersiar disekitar negeri Hijaz. Orang yang mula-mula mengembangkan fiqih Imam Malik ke negeri Mesir, yaitu Usman bin Al Hakam Al Judzamy, seorang dari sahabat Imam Malik dari bangsa Mesir, dan Abdurrahim bin Khalid bin Yazid bin Yahya, dan
9
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, Bagian Pertama, Jakarta, Penerbit Lentera, 1996, hlm. 25 10 Sohbi Mahmassani, Filsafat Hukum Dalam Islam, Terjemah: Ahmad Sudjono, Bandung, PT. Al-Ma’arif, t.th., hlm. 49
32
mereka berdua adalah seorang ahli fiqih, yang pernah diambil riwayatnya (diisap pengetahuannya) oleh Al-Laits bin Saad, Ibnu Wahbin dan Rasyid bin Saad, dan ia wafat pada tahun 163 H. Adapun sebagian besar penduduk di Mesir mengikuti aliran madzhab Imam Malik karena dari kerajinan dan kesempurnaan para sahabat Imam Malik di sana, dan demikianlah selanjutnya sehingga datanglah Imam asy-Syafi’i di Mesir, yang lalu mengembangkan madzhabnya di sana, dan bersaingan dengan madzhab Imam Malik. Sedangkan penduduk di Andulusia pada umumnya mengikuti mazhab Imam Al-Auza’iy, yang mazhab ini dibawa dan dikembangkan disana oleh Sha’sha’ah bin Salam. Tetapi setelah madzhab Imam Malik masuk dan berkembang-biak disana, yang permulaannya dibawa dan disiarkan oleh Ziyad bin Abdurrahman Al Qurthuby, yang terkenal dengan Syabthun, maka terdesaklah mazhab Imam Al Auza’iy, dan umumnya para penduduk disana mengikut madzhab Imam Malik. Peristiwa itu terjadi di zaman pemerintahan di Andalusia di tangan Hisyam bin Abdurrahman, pada tahun 171-180 H. Di Timur pun madzhab Imam Malik mendapat sambutan baik dari segenap penduduknya, misalnya di Baghdad, tetapi kemudian terdesak oleh madzhab Imam Hanafi. Dan di Bashrah pun dapat berkembang dan tersiar sampai pada abad V Hijriyah. Pula untuk sementara waktu madzhab dapat berkembang dan tersiar di Palestina,Yaman, Kuwait, dan Bahrain. Kemudian tersebar ke Afrikadalusia, Siqliyah dan daerah Magribi hingga ke negara-negara
33
muslim lainnya sampai sekarang, dan pada masa sekarang ini mazhab Maliki sepanjang riwayat masih tersiar dan diikut oleh sebagian besar kaum Muslimin Di Maroko, Algers, Tunisia, Tripoli, dan Mesir. Dan masih juga tersiar di Irak, Palestina, Hijaz dan lain-lainnya disekitar Jazirah Arabia tetapi tidak begitu banyak orang yang mengikutinya.11 4. Karya-Karya Imam Malik Diantara karya-karya Imam Malik adalah kitab al-Muwatta’. Sedangkan arti dari kitab Muwatta’ sendiri ialah suatu kitab yang berisi hadits-hadits dari Nabi SAW, yang di himpun dan disusun oleh Imam Malik. Hadits-hadits yang dihimpun dalam kitab itu sebagian besar telah diakui shahih dan kebagusannya oleh para ulama Islam yang ahli di segenap penjuru sejak dahulu hingga sekarang.
Kitab tersebut ditulis
tahun 144H atas anjuran khalifah Ja’far al-Manshur. Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Abu Bakar al-Abhary, atsar Rasulullah Saw, sahabat dan tabi’in yang tercantum dalam kitab al-Muwatta’ sejumlah 1.720 buah.12 Kitab yang merupakan sumber pokok ilmu bagi para pengikut Imam Malik dewasa ini adalah Kitab al-Mudawwanatul Kubra sebuah kitab himpunan yang disusun oleh Asad bin al-Furat yang kemudian ditulis oleh Sahnun dengan susunan yang baru.13
11
H. Moenawar Chalil, loc. cit., hlm. 145-148 Dr. Huzaemah Tahido Yanggo, loc. cit., hlm. 117 13 Sohbi Mahi Hasssani, ,op.cit., hlm. 50 12
34
Mazhab ini lahir di Madinah dan tersiar di Hijaz, kemudian dianut oleh ulama-ulama dan penduduk Magribi dan Andalus. Perkembangannya di daerah ini menurut Ibnu Khaldun disebabkan karena perlawatanperlawatan yang dilakukan para ulama fiqih mengikuti madzhab yang tujuan akhir dari perlawatan itu adalah negara Hijaz, sedang Madinah ketika itu merupakan kota ilmu, tidak ada diantara mereka yang mengadakan perlawatan melalui Irak pusat dari Mazhab Hanafi. Oleh sebab itu mereka sudah merasa sudah cukup dengan apa yang mereka pelajari dari ulama-ulama Madinah saja. Adapun isinya meliputi: hadits-hadits Nabi Saw, asas-asas dari para sahabat dan tabi’in yang berjumlah sekitar seribu tujuh ratus dua puluh hadits, dari sekian banyak menurut penelitian ulama dapat di rinci sebagai berikut: a. Yang termasuk hadits Musnad sebanyak enam ratus buah, b. Yang termasuk hadits Mursal sebanyak dua ratus dua puluh dua buah. c. Yang termasuk hadits Mauquf sebanyak enam ratus tiga puluh satu buah. d. Yang termasuk perkataan tabi’in sebanyak dua ratus delapan puluh lima buah.14 Dan hingga sekarang mazhab ini masih tetap menjadi mazhab yang umum bagi penduduk Magribi, al-Jazairi, Tunisia, Tarablis Barat. Demikian juga di daerah dataran tinggi di Mesir, Sudan, Bahrain, dan
14
H. Moenawar Chalil, loc. cit., hlm. 126
35
Kuwait. Selain di negeri-negeri tersebut masih banyak juga pengikutpengikutnya dan di negeri-negeri Islam lainnya. Seluruh kira-kira mendekati empat/lima juta pengikut.15 5. Akhir Riwayat Hidup Imam Malik Setelah kurang lebih selama enam puluh tahun Imam Malik menjabat sebagai mufti besar di Madinah dan menjabat sebagai guru besar di kota itu adalah urusan agama dengan mengorbankan segenap tenaga dan menguras pikirannya, Imam Malik lalu dipanggil oleh Allah Swt. Imam Malik wafat dalam usia 87 tahun, yaitu di kota Madinah pada hari ahad tanggal 10 bulan Rabi’ul awal tahun 179 H dan beliau di makamkan Bagi’(tempat kubur di kala itu yang terkenal hingga sekarang) di luar kota Madinah, semoga Allah Swt meridoinya.16 Adapun sepanjang riwayat: di kala beliau merasa hampir wafat, lalu beliau berpesan supaya dikafani dengan sebagian kain putih yang biasa dipakainya, dan disembahyangkan jenazah. Kemudian jenazah beliau dimakamkan di Baqi di luar kota Madinah, ialah sebuah tempat kubur di kala itu yang terkenal hingga sekarang. Tidak sedikit jumlah orang yang memakamkan jenazah beliau. Beliau wafat, selain meninggalkan kitab karangannya yang terkenal “Al-Muwatha”, yang hingga kini masih tetap menjadi sebuah kitab yang bermutu tinggi di dalam lingkungan masyarakat umat Islam,
15 16
Sohbi Mahi Hassani, op. cit., hlm. 50 H. Moenawar Chalil, op. cit., hlm. 133
36
beliau juga meninggalkan beberapa ratus patah kata yang mengandung tuntunan luhur bagi umat Islam. Disamping itu beliau meninggalkan beberapa orang anak buah pimpinan beliau, yang akhirnya menjadi ulama dan zu’ama muslimin yang terkemuka di dunia Islam pada masa yang akan datang. Dan berita kewafatan beliau di kala itu telah tersiar di seluruh dunia Islam, terutama di kota Iraq (Pusat Pemerintahan Islam dimasa itu), goncanglah umat islam di mana-mana di kala itu, terutama umat Islam di Iraq, dan pada umumnya merasa bersedih. Beliau wafat meninggalkan tiga orang putera dan seorang puteri, yang nama-namanya ialah: Yahya, Muhammad, Hamdah, dan Ummu Abiha, dan harta yang ditinggalkan ialah uang emas sebanyak lebih dari 3.300 dinar. B. Metode Istimbath Hukum Imam Malik Imam Malik adalah seorang mujtahid dan ahli ibadah sebagaimana halnya Imam Abu Hanifah. Karena ketekunan dan kecerdasannya, Imam Malik tumbuh sebagai ulama yang terkemuka, terutama dalam bidang ilmu hadits dan fiqih. Sebagai bukti atas hal ini, adalah ucapan al-Dahlawy, “Malik adalah orang paling ahli dalam bidang hadits di Madinah, yang paling mengetahui keputusan Umar, yang paling mengetahui tentang pendapat-pendapat Abdullah Ibnu Umar, Aisyah r.a dan sahabat-sahabat lainnya. Atas dasar itulah dia memberi fatwa.
37
Apabila diajukan kepadanya suatu masalah, dia menjelaskan dan memberi fatwa”.17 Setelah mencapai tingkat tinggi dalam bidang ilmu, beliau mulai mengajar dan menulis kitab Muwatta’ yang sangat populer, karena beliau merasa memiliki kewajiban untuk membagi pengetahuannya kepada orang lain yang membutuhkannya.18 Banyak dari Muhaddisin besar yang mempelajari hadits dari beliau dan menjadi rujukan para ahli fiqih. Imam Malik adalah seorang ulama yang berani dan teguh dalam pendiriannya dalam mengemukakan pendapatnya tidak takut pada siapapun. Dalam menyiarkan madzhabnya tidak ada janji dan ancaman yang dapat mempengaruhinya. Ia tetap bersih keras dan tahan uji ketika diancam dengan siksaan. Hal ini dapat dilihat ketika terjadi mihnah pada Abbasiyah, dimana sebagian meriwayatkan sebab mihnah tersebut adalah Imam Malik yang tetap mengatakan hadits Nabi: “tak ada talak bagi orang yang dipaksakan”, sedangkan al-Mansur tidak menghendaki hadits itu.19 Imam Malik adalah seorang tokoh yang dikenal para ulama sebagai alim besar dalam ilmu hadist. Hal ini terlihat dari pernyataan para ulama, diantaranya Imam Syafi’i yang mengatakan, “Apabila datang kepadamu hadist dari Imam Malik, maka pegang teguhlah olehmu, karena dia menjadi hujjah bagimu.20
17
Dr. Huzaemah Tahido Yanggo,op. cit., hlm. 104 Ibid., hlm. 105 19 Ibid, hlm. 563 20 Dr. Huzaemah Tahido Yanggo, op. Cit., hlm. 105 18
38
Dalam menetapkan hukum dan ketika memberi fatwa, beliau sangat berhati-hati, sebagaimana diriwayatkan, bahwa beliau pernah berkata, “saya tidak pernah memberikan fatwa dan meriwayatkan suatu hadist, sehingga 70 ulama membenarkan dan mengakuinya”.21 Adapun metode istimbath hukum yang digunakan Imam Malik dalam menetapkan hukum itu didasarkan pada sepuluh dasar, yaitu sebagai berikut:22 1. Al-Qur'an Dalam memegang al-Quran ini meliputi pengambilan hukum berdasarkan atas dhahir nash al-Quran atau keumumannya, meliputi mafhum al-Mukhalafah dan mafhum al-aula dengan memperhatikan ‘illatnya. 2. Sunnah Dalam berpegang kepada sunnah sebagai dasar hukum, Imam Malik mengikuti cara yang dilakukannya dalam berpegang kepada alQuran. Apabila dalil syar’i menghendaki adanya penta’wilan, maka yang dijadikan pegangan adalah arti ta’wil tersebut. Dan apabila terdapat pertentangan antara ma’na dhahir Al-Quran dengan makna yang terkandung dalam Sunnah sekalipun jelas maka yang dipegang adalah makna dhahir al-Quran. Tetapi apabila makna yang di kandung oleh Al-Sunnah tersebut dikuatkan oleh ijma’ ahli al-Madinah, maka ia lebih mengutamakan makna yang terkandung dalam sunnah
21
Ibid Dr. Huzaemah Tahido Yanggo, op. cit., hlm. 106
22
39
daripada dhahir al-Quran (Sunnah yang dimaksud disini adalah sunnah AlMuthawatirah atau Al-Masyhurah) 3. Ijma’ Ahli-Madinah Ijma ahl al-Madinah ini ada dua macam, yaitu ijma’ ahl AlMadinah yang asalnya dari al-Naql, hasil dari mencontoh Rasulullah Saw, bukan dari hasil ijtihad ahl al-Madinah, seperti tentang ukuran mud, sha’, dan penentuan suatu tempat, seperti tempat mimbar Nabi SAW, atau tempat dilakukannya amalan-amalan rutin seperti adzan di tempat yang tinggi dan lain-lain. Ijma’ semacam ini dijadikan hujjah oleh Imam Malik. Menurut Ibnu Taimiyah, yang dimaksud dengan ijma’ ahl alMadinah tersebut adalah ijma’ ahl al-Madinah pada masa lampau yang menyaksikan amalan-amalan yang berasal dari Nabi SAW. Sedangkan kesepakatan ahl al-Madinah yang hidup kemudian, sama sekali bukan merupakan hujjah. Ijma’ ahl al-Madinah yang asalnya dari al-Naql, sudah merupakan seluruh kaum muslimin sebagai hujjah. Dikalangan
mazhab
Maliki,
ijma’
ahl
al-Madinah
lebih
diutamakan dari pada khabar ahad, sebab ijma’ ahl al-Madinah merupakan pemberitaan oleh jama’ah, sedangkan khabar ahad hanya merupakan pemberitaan perorangan. Ijma’ ahl al-Madinah ini ada beberapa tingkatan, yaitu: a. Kesepakatan ahl al-Madinah yang asalnya al-Naql. b. Amalan ahl al-Madinah sebelum terbunuhnya Ustman bin Affan.
40
c. Amalan ahl al-Madinah itu dijadikan pendukung atau pentarjih atas dua dalil yang saling bertentangan. d. Amalan ahl al-Madinah sesudah masa keutamaan yang menyaksikan amalan Nabi SAW 4. Fatwa Sahabat. Yang dimaksud dengan sahabat disini adalah sahabat besar, yang pengetahuan mereka terhadap suatu masalah itu didasarkan pada al-Naql. Ini berarti yang dimaksud dengan fatwa sahabat adalah berwujud haditshadits yang wajib diamalkan. Menurut Imam Malik, para sahabat besar tersebut tidak akan memberi fatwa, kecuali atas dasar apa yang dipahami dari Rasulullah Saw. Namun demikian, beliau mensyaratkan fatwa sahabat tersebut, tidak boleh bertentangan dengan hadits marfu’ yang dapat diamalkan dan fatwa sahabat yang demikian ini lebih didahulukan dari pada qiyas. Imam Malik juga menggunakan fatwa tabi’in besar sebagai pegangan dalam menentukan hukum. 5. Khabar Ahad dan Qiyas. Imam Malik tidak mengakui khabar ahad sebagai sesuatu yang datang dari Rasulullah, jika khabar ahad itu bertentangan dengan sesuatu yang sudah dikenal oleh masyarakat Madinah, sekalipun hanya dari hasil istimbath, kecuali khabar ahad tersebut dikuatkan oleh dalil-dalil lain yang qath’i.
41
Dalam menggunakan khabar ahad ini, Imam Malik tidak selalu konsisten. Kadang ia mendahulukan qiyas dari pada khabar ahad. Kalau khabar ahad itu dikenal atau tidak popular di kalangan masyarakat Madinah, maka hal ini dianggap sebagai petunjuk, bahwa khabar ahad tersebut tidak benar berasal dari Rasulullah SAW. Dengan demikian, maka khabar ahad tersebut tidak digunakan sebagai dasar hukum, tetapi ia menggunakan qiyas dan mashlahah. 6. Al-Istihsan. Imam Malik mengartikan istihsan yaitu menurut hukum dengan mengambil masalah yang merupakan bagian dalam dalil yang bersifat kully (menyeluruh) dengan maksud mengutamakan al-Istidlal al-Mursal dari pada qiyas, sebab menggunakan Istihsan itu bukan berarti hanya mendasarkan
pada
pertimbangan
perasaan
semata,
melainkan
mendasarkan pertimbangannya pada maksud pembuat syara’ secara keseluruhan. Ibnu Al-‘Araby salah seorang diantara ulama Malikiyah memberi komentar, bahwa istihsan menurut madzhab Malik, bukan berarti meninggalkan dalil dan bukan berarti menetapkan hukum atas dasar ra’yu semata, melainkan berpindah dari satu dalil yang ditinggalkan tersebut. Dalil yang kedua itu dapat berwujud ijma’ atau ‘urf atau mashlahah mursalah, atau kaidah :Raf’u al-Haraj wa al-Mashaqah (menghindarkan kesempitan dan kesulitan yang telah diakui syari’at akan kebenarannya).
42
Sedangkan Imam Syafi’i hanya menolak istihsan yang tidak punya sandaran sama sekali, selain keinginan mujtahid yang bersangkutan. Hal ini dapat dipahami dari ucapan beliau, bahwa barang siapa yang membolehkan menetapkan hukum atau berfatwa dengan tanpa berdasarkan khabar yang sudah lazim atau qiyas, maka hukum atau fatwanya tidak dapat dijadikan hujjah. Dari kata-kata Imam Syafi’i, jelas bahwa hukum atau fatwa yang tidak didasarkan pada khabar lazim atau qiyas terhadap khabar lazim tersebut, maka hukum atau fatwanya tidak dapat dijadikan dasar hukum. 7. Al-Maslahah al-Mursalah. Al-Maslahah al-Mursalah adalah maslahah yang tidak ada ketentuannya, baik secara tersurat atau sama sekali tidak disinggung oleh nash, dengan demikian al-Maslahah al-Mursalah itu kembali kepada memelihara tujuan syari’at diturunkan. Tujuan syari’at diturunkan dapat diketahui melalui al-Quran atau Sunnah, atau ijma’. Pendapat ini termasuk pendapat Imam al-Ghazali. Para ulama yang berpegang kepada mashlahah mursalah sebagai dasar hukum, menetapkan beberapa syarat untuk dipenuhi sebagai berikut: a. Mashlahah itu harus benar-benar merupakan mashlahah menurut penelitian yang seksama, bukan sekedar diperkirakan secara sepintas saja. b. Mashlahah itu harus benar-benar merupakan mashlahah yang bersifat umum, bukan sekedar mashlahah yang hanya berlaku untuk orang-
43
orang tertentu. Artinya mashlahhah tersebut harus merupakan mashlahah bagi kebanyakan orang. c. Mashlahah itu harus benar-benar merupakan mashlahah yang bersifat umum dan tidak bertentangan dengan nash atau ijma’. Imam Syafi’i dan pengikutnya, antara lain Imam al-Ghazali menolak adanya maslahah mursalah sebagai dasar hukum. Menurutnya menggunakan mashlahah mursalah sebagai dasar hukum, berarti menetapkan hukum berdasarkan pertimbangan akal atau perasaan. 8. Sadd al-Zara’i. Imam Malik menggunakan sadd al-Zara’I sebagai landasan dalam menetapkan hukum. Menurutnya, semua jalan yang menuju kepada yang haram, maka hukumnya haram. Dan semua jalan yang menuju kepada yang halal, maka halal pula hukumnya. 9. Istishab. Imam Malik menjadikan Istishab sebagai landasan dalam menetapkan hukum. Adapun Istishab adalah tetapnya suatu ketentuan hukum untuk masa sekarang atau yang akan datang, berdasarkan atas ketentuan hukum yang sudah ada di masa lampau. Jadi sesuatu yang telah diyakini adanya, kemudian datang keraguan atas hilangnya sesuatu yang diyakini adanya tersebut, hukumnya tetap seperti hukumnya pertama. Yaitu tetap ada, begitu pula sebaliknya, misalnya: seorang yang telah yakin sudah berwudlu dan dikuatkan lagi, bahwa ia baru saja menyelesaikan shalat subuh, kemudian datang
44
keraguan pada orang tersebut tentang sudah batal atau belum wudlunya, maka hukum yang dimiliki orang tersebut adalah bahwa belum batal wudlunya. Sebaliknya apabila ada seorang yang belum berwudlu dan dikuatkan pula, bahwa ia belum melakukan suatu shalat apapun, bahwa ia baru hendak mengerjakan shalat, datang keraguan tentang sudah berwudlu atau belum? Maka hukum yang dimiliki orang tersebut adalah bahwa ia belum berwudlu. Inilah yang disebut istishab. 10. Syar’u Man Qablana Syar’un Lana. Menurut Qadhy abd. Wahab al-Maliky, bahwa Imam Malik menggunakan aqidah Syar’u Man Qablana Syar’un Lana, sebagai dasar hukum. Tentang pendapatnya tentang masalah rujuk yang jatuh akibat sumpah ila’ rupanya Imam Malik berpegang pada: a. Amal Ahli Madinah, dasar ini digunakan beliau terhadap adanya pengambilan sikap yang harus dilakukan oleh suami ketika habis masa empat bulan apakah ia akan mentalak istrinya. b. Qiyas, sebagaimana telah kita ketahui bahwa Imam Malik menjadikan qiyas ini sebagai dasar istimbath hukum yang didasarkan pada analogi yakni menyamakan sesuatu hukum terhadap masalah yang tak ada nashnya dengan masalah yang ada nashnya dengan adanya kesamaan ‘illat hukum. Dalam masalah ini beliau mengemukakan bahwa setiap rujuk dari talak tak lain dimaksudkan untuk menghilangkan dasar oleh karena itu keabsahan suatu rujuk didasarkan pada penghilangan darar. Sebagaimana talak yang
45
dijatuhkan akibat kesulitan suami dalam memberikan nafkah kepada istrinya yang kemudian hendak rujuk maka keabsahan rujuknya didasarkan pada keadaan suami yang telah berubah baik dan keadaan tak mampu menjadi suami yang layak mampu memberi nafkah istri.23 C. Pendapat Imam Malik Tentang Watha’ Sebagai Syarat Sahnya Rujuk Bagi Talak Yang Jatuh Akibat Sumpah Ila’. Talak yang merupakan penyebab terjadinya rujuk beragam bentuk yang mengakibatkan bermacam-macam pula hukumnya. Dalam hal ini penulis akan menyoroti salah satu dari rujuk tersebut yang ada kaitannya dengan skripsi ini yakni sumpah ila’. Adapun pada persoalan sumpah ila’, sebelum talak dijatuhkan baik oleh suami langsung maupun oleh perintah hakim, terlebih dahulu dimintakan sikap oleh suami apabila benar-benar telah melewati masa empat bulan setelah ikrar sumpah dilakukan, sebagaimana yang telah diceritakan oleh al-Bukhari:
ﺣﺪﺛﻨﻰ ﻣﺎﻟﻚ ﻋﻦ ﻧﺎﻓﻊ ﻋﻦ اﺑﻦ ﻋﻤﺮ اذا ﻣﻀﺖ ارﺑﻌﺔ اﺷﻬﺮ ﻳﻮﻓﻖ ﺣﺘﻰ ﻳﻄﻠﻖ وﻻ ﻳﻘﻊ ﻋﻠﻴﻬﺎ اﻟﻄﻼ ق ﺣﺘﻰ ﻳﻄﻠﻖ وﻳﺬآﺮ ذﻟﻚ ﻋﻦ ﻋﺜﻤﺎن وﻋﻠﻰ واﻟﻰ اﻟﺪرداء وﻋﺎﺋﺸﺔ واﻧﺜﻰ ﻋﺸﺮ رﺟﻼ ) رواﻩ 24
(اﻟﺒﺨﺎري
Artinya: “Telah diceritakan dari Malik dari Nafi’ dari Ibnu Umar jika lewat empat bulan maka diambilkan sikap sehingga suami mentalak dan tidak terjadi talak kecuali setelah suami mentalak, hal yang demikian ini disebut pula oleh Usman, Ali, Abi Darda,Aisyah dan dua belas sahabat Nabi Saw”. (HR. al-Bukhari)
23
Ibnu Rusyd, Terjemahan Bidayatul Mujtahid, Jilid II, Terjemahan: A. Hanafi. MA, Semarang, Asy-Syifa’, 1990, hlm. 565 24 Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shohih al-Bukhari, Juz V, Indonesia, Dar: Ahya’ al-Kitab al-‘Arabiyah, t.th., hlm. 174
46
Dan jika ternyata dalam pengembalian sikap ini suami memilih untuk kembali kepada istrinya maka ia wajib membayar kafarat atau sumpah dengan menyebut nama Allah Swt.25 Adapun jika ia tidak mau memilih baik kembali maupun mentalak istrinya maka hakimlah yang mentalaknya.26 Adapun jenis talak yang diakibatkan sumpah ila’ ini adalah raj’i sehingga memungkinkan suami untuk melakukan rujuk. Imam Malik menceritakan sebagai berikut:
, ان ﺳﻌﻴﺪ ﺑﻦ اﻟﻤﺴﻴﺐ واﺑﺎ ﺑﻜﺮ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ اﻟﺮﺣﻤﻦ:ﻋﻦ اﺑﻦ ﺷﻬﺎب اﻧﻬﺎ اذا ﻣﻀﺖ اﻻرﺑﻌﺔ:آﺎﻧﺎ ﻳﻘﻮﻻن ﻓﻰ اﻟﺮﺟﻞ ﻳﻮﻟﻰ ﻣﻦ اﻣﺮاﺕﻪ 27 وﻟﺰوﺟﻬﺎ ﻋﻠﻴﻬﺎ اﻟﺮﺟﻌﺔ ﻣﺎآﺎﻧﺖ ﻓﻰ اﻟﻌﺪة,اﺷﻬﺮ ﻓﻬﻰ ﺕﻄﻠﻴﻘﺔ Artinya: “Dari Malik dari Ibnu Syihab sesungguhnya Sa’id bin Musyyad dan Abu Bakar bin Abdul Rahmad pernah mengatakan tentang seseorang laki-laki yang telah berila’ terhadap istrinya, maka apabila telah lewat masa empat bulan sejak di ikrarkan maka sang istri berstatus telah dicerai. Dan bagi suami berhak merujuknya sepanjang sang istri masih ada dalam masa iddah”. Dan dalam masa iddah tersebut apabila suami berkehendak memperbaiki kembali hubungan suami istri yakni dengan rujuk maka dalam hal ini dikalangan para ulama terjadi perbedaan pendapat. Kebanyakan para ulama memperbolehkan dengan syarat yang lazim pada rujuk, akan tetapi Imam Malik mengatakan bahwa tidak akan sah rujuk oleh suami yang telah mentalak istrinya akibat sumpah ila’ tanpa dengan watha’. Lebih lanjut beliau mengatakan:
25
Al-sya’roni, al-Mizan al-Kubra, Juz I, Dar: al-Fikr, Cet. Ke-2, 1978, hlm. 124 Muhammad Ali as-Shabuni, Tafsir Ayat al-Ahkam Mina al-Qur’an, Juz I, Bairut: Dar: al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th., hlm. 221 27 Imam Malik R.A, Terjemahan al-Muwatta’, Jilid II, Tarjamah: KH. Adib Bisri Musthofa dkk, Semarang, CV. Asy-Syifa’, 1989, hlm. 62 26
47
ﻓﻴﻄﻠﻖ ﻋﻨﺪ اﻧﻘﻀﺎء, ﻓﻴﻮﻓﻖ,ﻗﺎل ﻣﺎﻟﻚ ﻓﻰ اﻟﺮﺟﻞ ﻳﻮﻟﻰ ﻣﻦ اﻣﺮاﺕﻪ اﻧﻪ ﻟﻢ ﻳﺼﺒﻬﺎ ﺣﺘﻰ ﺕﻨﻘﻀﻰ ﻋﺪ: ﺛﻢ ﻳﺮاﺟﻊ اﻣﺮاﺕﻪ.اﻻرﺑﻌﺔ اﺷﻬﺮ , اﻻ ان ﻳﻜﻮن ﻟﻪ ﻋﺬر. وﻻ رﺟﻌﺔ ﻟﻪ ﻋﻠﻴﻬﺎ. ﻓﻼ ﺳﺒﻴﻞ ﻟﻪ اﻟﻴﻬﺎ,ﺕﻬﺎ ﻓﺎن ارﺕﺠﺎ ﻋﻪ. اوﻣﺎ اﺷﺒﻪ ذﻟﻚ ﻣﻦ اﻟﻌﺬر, او ﺳﺠﻦ,ﻣﻦ ﻣﺮض 28 اﻳﺎهﺎ ﺛﺎﺑﺖ ﻋﻠﻴﻬﺎ Artinya: “Imam Malik berkata tentang seorang yang telah berila’ terhadap istrinya yang kemudian diambilkan sikap dan suami mentalaknya ketika habis masa empat bulan. Dan jika suami bermaksud kembali maka harus menjimak terlebih dahulu dalam masa iddah. Dan jika tidak maka rujuknya tidak sah karena jimak merupakan keabsahannya kecuali suami dalam keadaan uzur seperti: sakit, dalam penjara dan yang sejenisnya dan apabila ada uzur-uzur seperti itu, maka rujuknya dianggap sah. Demikian pendapat Imam Malik tentang wathsa’ atau jimak yang dijadikan syarat rujuk yang dilakukan setelah terjadi talak akibat adanya sumpah ila’.
28
Imam Malik bin Anas, al-Muwatta’, Bairut, Dar: Ahya al-‘Ulum, t.th., hlm.
418
48