85 BAB III METODE PENELITIAN
A. Definisi Operasional 1. Peranan Peranan dalam kamus besar bahasa Indonesia (Depdikbud, 1999: 751) berasal dari kata peran yang mengandung dua arti; 1) bagian yang dimainkan seorang pemain (dalam film, sandiwara); 2) tindakan yang dilakukan seseorang dalam suatu peristiwa. Dalam konteks penelitian ini, maka makna kedua yang diambil, yakni tindakan yang dilakukan kyai di Pondok Pesantren Miftahul Huda Al Musri’ Ciranjang Cianjur dalam membina nilai-nilai disiplin santri. 2. Keteladanan Dalam kamus bahasa Indonesia (Depdikbud, 1999:1025) disebutkan bahwa keteladanan berasal dari kata teladan yang mengandung arti perbuatan, barang dan sebagainya, yang patut ditiru. Dalam konteks penelitian ini adalah hal-hal yang tampak dari sosok seorang kyai dan patut dicontoh oleh para santri di Pondok Pesantren Miftahul Huda Al Musri’ Ciranjang Cianjur. 3. Kyai Ensiklopedia Islam (Dasuki, 1994:61) menyebutkan bahwa secara kebiasaan, kyai berarti seorang yang dipandang ‘alim (pandai) dalam bidang agama Islam, guru ilmu ghaib, pejabat kepala distrik 9 di Kalimantan Selatan, benda-benda bertuah dan sebutan untuk harimau. Kyai dalam masyarakat Jawa adalah orang yang dianggap menguasai ilmu agama Islam dan biasanya mengelola dan mengasuh pondok pesantren. Sebutan kyai diberikan kepada orang-orang yang dipandang menguasai
86 ilmu agama, mempunyai kharisma, dan berpengaruh baik dalam lingkungan regional maupun nasional. Dalam konteks penelitian ini, kyai yang menjadi tokoh panutan di Pondok Pesantren Miftahul Huda Al Musri’ Ciranjang Cianjur. 4. Pembinaan Pembinaan adalah proses bimbingan yang meliputi transfer of knowledge dan transfer of value suatu konsep nilai secara terencana dan berkelanjutan sehingga nilai tersebut diterima, dipahami dan diintegrasikan ke dalam kepribadian seseorang. Dalam konteks penelitian ini, pembinaan nilai disiplin yang dilakukan di lingkungan Pondok Pesantren Miftahul Huda Al Musri’ Ciranjang Cianjur terhadap para santrinya. 5. Nilai Nilai adalah patokan normatif yang menjadi pertimbangan seseorang dalam menentukan pilihan hidupnya. Dalam kontek penelitian ini nilai-nilai yang dianggap relevan dengan budaya Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Musri’ Ciranjang Cianjur dan terformulasikan dalam tatakrama dan tatatertib pesantren yang dibakukan. 6. Disiplin Disiplin adalah kepatuhan seseorang dalam mengikuti peraturan dan tata tertib karena didorong oleh adanya kesadaran dan keikhlasan yang ada dalam hatinya. Dalam konteks penelitian ini, disiplin santri dalam beribadah, belajar dan disiplin waktu. 7. Pondok Pesantren Pondok Pesantren adalah lembaga pendidikan non formal yang didirikan dan dikembangkan oleh masyarakat, dalam kontek penelitian ini Pesantren Pesantren Miftahul Huda Al-Musri’ Ciranjang Cianjur.
87 8. Santri Santri adalah orang yang mendalami din al islam, dengan dibimbing oleh kyai sebagai pembina, serta mengikuti aturan-aturan yang ditetapkan oleh pondok pesantren. Dalam konteks penelitian ini, santri yang terdapat di lingkungan Pondok Pesantren Miftahul Huda Al Musri’ Ciranjang Cianjur. Khususnya santri yang sudah lama tinggal di pesantren, sehingga lebih dapat mencerminkan efek pembinaan nilai yang dilakukan oleh kyai sebelum penelitian.
B. Pendekatan Penelitian 1. Metode Penelitian Penulis menggunakan metode deskriptif analitik dengan tipe studi kasus. Metode deskriptif analitik merupakan metode penelitian yang menekankan kepada usaha untuk memperoleh informasi mengenai status atau gejala pada saat penelitian, memberikan gambaran terhadap fenomena-fenomena, dan lebih jauh menerangkan hubungan, serta menarik makna dari suatu masalah yang diinginkan. Oleh karena metode yang digunakannya metode deskriptif, maka dalam penelitian ini tidak menggunakan hipotesis yang dirumuskan sejak awal, melainkan hipotesis kerja mencuat, terumuskan dan mengembang seiring dengan proses penelitian, hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Arikunto (1998:245) bahwa pada umumnya penelitian deskriptif merupakan penelitian non hipotesis.
88 Sementara
studi kasus
umumnya
menghasilkan
gambaran
yang
longitudinal yakni hasil pengumpulan dan analisa kasus dalam satu jangka waktu. Kasus dapat terbatas pada satu orang, satu lembaga, satu peristiwa ataupun satu kelompok manusia dan kelompok objek lain-lain yang cukup terbatas, yang dipandang sebagai satu kesatuan. Sesuai dengan kekhasannya, bahwa pendekatan studi kasus dilakukan pada objek yang terbatas. Maka persoalan pemilihan sampel yang menggunakan pendekatan tersebut tidak sama dengan persoalan yang dihadapi oleh penelitian kuantitatif. Sebagai implikasinya, penelitian yang menggunakan pendekatan studi kasus hasilnya tidak dapat digeneralisasikan, dengan kata lain hanya berlaku pada kasus itu saja. Adapun pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif, pendekatan ini dipilih karena penulis menganggap sangat cocok dengan karakteristik masalah yang menjadi fokus penelitian. Selain itu, pendekatan ini juga memiliki karakteristik yang menjadi kelebihannya tersendiri. Guba dan Lincoln dalam Al wasilah (2006:104-107) mengungkapkan terdapat 14 karakteristik pendekatan kualitatif sebagai berikut: 1) Latar alamiah; secara ontologis suatu objek harus dilihat dalam konteksnya yang alamiah, dan pemisahan anasir-anasirnya akan mengurangi derajat keutuhan dan makna kesatuan objek itu, sebab makna objek itu tidak identik dengan jumlah keseluruhan bagian-bagian tadi. Pengamatan juga akan mempengaruhi apa yang diamati, karena itu untuk mendapatkan pemahaman yang maksimal keseluruhan objek itu harus diamati.
89 2) Manusia
sebagai
instrumen;
Peneliti
pengumpul data utama. Benda-benda lain
menggunakan dirinya
sebagai
sebagai manusia tidak dapat
menjadi instrumen karena tidak akan mampu memahami dan meyesuaikan diri dengan realitas yang sesungguhnya. Hanya manusialah yang mampu melakukan interaksi dengan instrumen atau subjek penelitian tersebut dan memahami kaitan kenyataan-kenyataan itu. 3) Pemanfaatan
pengetahuan
non-proporsional:
Peneliti
naturalistis
melegitimasi penggunaan intuisi, perasaan, firasat dan pengetahuan lain yang tak
terbahaskan
(tacit
knowledge)
selain
pengetahuan
proporsional
(propostional knowledge) karena pengetahuan jenis pertama itu banyak dipergunakan dalam proses interaksi antara peneliti dan responden. Pengetahuan itu juga banyak diperoleh dari responden terutama sewaktu peneliti mengintip nilai-nilai, kepercayaan dan sikap yang tersembunyi pada responden. 4) Metode-metode kualitatif; Peneliti kualitatif memilih metode-metode kualitatif karena metode-metode inilah yang lebih mudah diadaptasikan dengan realitas yang beragam dan saling berinteraksi 5) Sampel purposif; Pemilihan sampel secara purposif atau teoretis disebabkan peneliti ingin meningkatkan cakupan dan jarak data yang dicari demi mendapatkan realitas yang berbagai-bagai, sehingga segala temuan akan terlandaskan secara lebih mantap karena prosesnya melibatkan kondisi dan nilai lokal yang semuanya saling mempengaruhi.
90 6) Analisis data secara induktif; Metode induktif dipilih ketimbang metode deduktif karena metode ini lebih memungkinkan peneliti mengidentifikasi realitas yang berbagai-bagai dilapangan, membuat inteaksi antara peneliti dan responden
lebih
eksplisit,
nampak,
dan
mudah
dilakukan,
serta
memungkinkan identifikasi aspek-aspek yang saling mempengaruhi. 7) Teori dilandaskan pada data di lapangan; Para peneliti naturalistis mencari teori yang muncul dari data. Mereka tidak berangkat dari teori a priori karena teori ini tidak akan mampu menjelaskan berbagai temuan (realitas dan nilai) yang akan dihadapi di lapangan. 8) Desain penelitian mencuat secara alamiah; Para peneliti memilih desain penelitian muncul, mencuat, mengalir secara bertahap, bukan dibangun di awal penelitian. Desain yang muncul merupakan akibat dari fungsi interaksi antara peneliti dan responden. 9) Hasil penelitian berdasarkan negosiasi; Para peneliti naturalistik ingin melakukan negosiasi dengan responden untuk memahami makna dan interpretasi mereka ihwal data yang memang di peroleh dari mereka. 10) Cara pelaporan kasus; Gaya pelaporan ini lebih cocok ketimbang cara pelaporan saintifik yang lazim pada penelitian kuantitatif, sebab pelaporan kasus lebih mudah diadaptasikan terhadap deskripsi realitas di lapangan yang dihadapi para peneliti. Juga mudah diadaptasi untuk menjelaskan hubungan antara peneliti dengan responden.
91 11) Interpretasi idiografik; Data yang terkumpul termasuk kesimpulannya akan diberi tafsir secara idiografik, yaitu secara kasus, khusus, dan kontekstual, tidak secara nomotetis, yakni berdasarkan hukum-hukum generalisasi. 12) Aplikasi tentatif; Peneliti kualitatif kurang berminat (ragu-ragu) untuk membuat klaim-klaim aplikasi besar dari temuannya karena realitas yang dihadapinya bermacam-macam. Setiap temuan adalah hasil interaksi peneliti dengan responden dengan memperhatikan nilai-nilai dan kekhususan lokal, yang mungkin sulit direplikasi dan diduplikasi, jadi memang sulit untuk ditarik generaslisasinya. 13) Batas penelitian ditentukan fokus; Ranah teritorial penelitian kualitatif sangat ditentukan oleh fokus penelitian yang memang mencuat ke permukaan. Fokus demikian memungkinkan interaksi lebih mantap antara peneliti dan responden pada konteks tertentu. Batas penelitian ini akan sulit ditegakan tanpa pengetahuan kontekstual dari fokus penelitian. 14) Keterpercayaan dengan kriteria khusus; Istilah-istilah seperti internal validity, external validity, reliability dan objectivity kedengaran asing bagi para peneliti naturalistik,
karena
memang
bertentangan
dengan
aksioma-aksioma
naturalistik. Keempat istilah tersebut dalam panelitian naturalistik diganti dengan credibility, transferability, dependability, dan confirmability.
2. Sumber dan Jenis Data Dalam penelitian ini, sumber data utamanya adalah kata-kata dan tindakan yang dilakukan oleh Kyai dan santri Pesantren Miftahul Huda Al-Musri’ Ciranjang Cianjur yang menjadi subjek penelitian. Selain itu, dimanfaatkan pula
92 berbagai dokumen resmi yang mendukung seperti kitab-kitab yang menjadi rujukan kyai serta kitab-kitab dan buku-buku yang menjadi rujukan para santri, data base santri dan profile pesantren. Hal tersebut merujuk kepada ungkapan Lofland dan Lofland dalam Moleong (2007:157-158) bahwa sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan. Selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen, sumber data tertulis lainnya, foto, dan statistik. Pencatatan sumber data utama melalui wawancara dan pengamatan berperanserta (observasi) merupakan hasil usaha gabungan dari kegiatan melihat, mendengar, dan bertanya peneliti terhadap subyek penelitian. Hal tersebut dilakukan secara sadar dan terarah karena memang direncanakan oleh peneliti. Terarah karena memang dari berbagai macam informasi yang tersedia tidak seluruhnya akan digali oleh peneliti. Senantiasa bertujuan karena peneliti memiliki seperangkat tujuan penelitian yang diharapkan dicapai untuk memecahkan sejumlah masalah penelitian.
3. Instrumen Penelitian Instrumen penelitian dimaksudkan sebagai alat pengumpul data seperti tes pada penelitian kuantitatif, adapun instrumen dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri, maksudnya bahwa peneliti langsung menjadi pengamat dan pembaca situasi pendidikan di Pesantren Miftahul Huda Al-Musri’ Ciranjang Cianjur. Yang dimaksud dengan peneliti sebagai pengamat adalah peneliti tidak sekedar melihat berbagai peristiwa dalam situasi pendidikan, melainkan memberikan interpretasi terhadap situasi tersebut. Sebagai pengamat, peneliti berperanserta dalam kehidupan sehari-hari subjeknya pada setiap situasi yang diinginkannya untuk
93 dapat dipahaminya. Sedangkan yang dimaksud peneliti sebagai pembaca situasi adalah peneliti melakukan analisa terhadap berbagai peristiwa yang terjadi dalam situasi tersebut, selanjutnya menyimpulkan sehingga dapat digali maknanya. Moleong (2007:169-172) mengungkapkan bahwa ciri-ciri manusia sebagai instrumen mencakup hal-hal sebagai berikut: a. Responsif. Manusia sebagai instrumen responsif terhadap lingkungan dan terhadap pribadi-pribadi yang menciptakan lingkungan. Sebagai manusia ia bersifat interaktif terhadap orang dan lingkungannya. Ia tidak hanya responsif terhadap tanda-tanda, tetapi ia juga menyediakan tanda-tanda kepada orangorang. Tanda-tanda yang diberikannya biasanya dimaksudkan untuk secara sadar berinteraksi dengan konteks yang ia berusaha memahaminya. Ia responsif karena ia berusaha memahaminya. Ia responsif karena menyadari perlunya merasakan dimensi-dimensi konteks dan berusaha agar dimensidimensi itu menjadi ekplisit. b. Dapat menyesuaikan diri. Manusia sebagai instrumen hampir tidak terbatas dapat menyesuaikan diri pada keadaan dan situasi pengumpulan data. Manusia sebagai peneliti dapat melakukan tugas pengumpulan data sekaligus. c. Menekankan kebutuhan. Manusia sebagai instrumen memanfaatkan imajinasi dan kreativitasnya dan memandang dunia ini sebagai suatu keutuhan, jadi sebagai konteks yang berkesinambungan dimana mereka memandang dirinya sendiri dan kehidupannya sebagai sesuatu yang riel, benar dan mempunyai arti. Pandangan yang menekankan keutuhan ini memberikan kesempatan kepada peneliti untuk memandang konteksnya dimana ada dunia nyata bagi
94 subjek dan responden dan juga memberikan suasana, keadaan dan perasaan tertentu. Peneliti berkepentingan dengan konteks dalam keadaan utuh untuk setiap kesempatan. d. Mendasarkan diri atas perluasan pengetahuan. Pengetahuan yang dimiliki oleh peneliti sebelum melakukan penelitian menjadi dasar-dasar yang membimbingnya dalam melakukan penelitian. Dalam prakteknya, peneliti memperluas dan meningkatkan pengetahuannya berdasarkan pengalamanpengalaman praktisnya. Kemampuan memperluas pengetahuannya juga diperoleh melalui praktek pengalaman lapangan dengan jalan memperluas kesadaran terhadap situasi sampai pada dirinya terwujud keinginan-keinginan tak sadar melebihi pengetahuan yang ada dalam dirinya, sehingga pengumpulan data dalam proses penelitian menjadi lebih dalam dan lebih kaya. e. Memproses data secepatnya. Kemampuan lain yang ada pada diri manusia sebagai instrumen adalah memproses data secepatnya seteleh diperolehnya, menyusunnya kembali, mengubah arah inkuiri atas dasar penemuannya, merumuskan hipotesis kerja sewaktu berada di lapangan, dan mengetes hipotesis kerja itu pada respondennya. Hal demikian akan membawa peneliti untuk mengadakan pengamatan dan wawancara yang lebih mendalam lagi dalam proses pengumpulan data itu. f. Memanfaatkan kesempatan untuk mengklarifikasikan dan mengikhtisarkan. Manusia sebagai instrumen memiliki kemampuan lainnya, yaitu kemampuan untuk menjelaskan sesuatu yang kurang dipahami oleh subjek atau responden.
95 Sering hal ini terjadi apabila informasi yang diberikan oleh subjek sudah berubah, secepatnya peneliti akan mengetahuinya, kemudian ia berusaha menggali lebih dalam lagi apa yang melatarbelakangi perubahan itu. Kemampuan
lainnya
yang
ada
pada
peneliti
adalah
kemampuan
mengikhtisarkan informasi yang begitu banyak diceritakan oleh responden dalam wawancara. Kemampuan mengikhtisarkan itu digunakannya ketika suatu wawancara berlanngsung. g. Memanfaatkan kesempatan untuk mencari respons yang tidak lazim dan idiosinkratik. Manusia sebagai instrumen memiliki pula kemampuan untuk menggali informasi yang lain dari yang lain, yang tidak direncanakan semula, yang tidak diduga terlebih dahulu, atau yang tidak lazim terjadi. Kemampuan peneliti bukan menghindari melainkan justru mencari dan berusaha menggalinya lebih dalam. Kemampuan demikian tidak ada tandingannya dalam penelitian mana pun dan sangat bermanfaat bagi penemuan ilmu pengetahuan baru.
4. Sampling dan Satuan Kajian Dalam paradigma alamiah, menurut Guba dan Lincoln dalam Moleong (2007:223) peneliti memulai dengan asumsi bahwa konteks itu kritis sehingga masing-masing konteks itu ditangani dari segi konteksnya sendiri. Selain itu, dalam penelitian kualitatif sangat erat kaitannya dengan faktor-faktor kontekstual. Jadi, maksud sampling dalam hal ini adalah untuk menjaring sebanyak mungkin informasi dari berbagai macam sumber dan bangunannya (constructions).
96 Dengan demikian, tujuannya bukanlah memusatkan diri pada adanya perbedaanperbedaan yang nantinya dikembangkan ke dalam generalisasi. Tujuannya adalah untuk merinci kekhususan yang ada dalam ramuan konteks yang unik. Maksud kedua dari sampling adalah menggali informasi yang akan menjadi dasar dari rancangan dan teori yang muncul. Oleh sebab itu, pada penelitian kualitatif tidak ada sampel acak, tetapi sampel bertujuan (purposive sample). Menurut Moleong (2007:224-225) sampel bertujuan dapat diketahui dari ciri-cirinya sebagai berikut: 1. Rancangan sampel yang muncul, yaitu sampel tidak dapat ditentukan atau ditarik terlebih dahulu. 2. Pemilihan sampel secara berurutan. Tujuan memperoleh variasi sebanyak-banyaknya hanya dapat dicapai apabila pemilihan satuan sampel dilakukan jika satuannya sebelumnya sudah dijaring dan dianalisis. Setiap sampel berikutnya dapat dipilih untuk memperluas informasi yang telah diperoleh terlebih dahulu sehingga dapat dipertentangkan atau diisi adanya kesenjangan informasi yang ditemui. Dari mana dan dari siapa ia mulai tidak menjadi persoalan, tetapi bila hal itu sudah berjalan, pemilihan berikutnya bergantung pada apa keperluan peneliti. Teknik sampling bola salju bermanfaat dalam hal ini, yaitu mulai dari satu makin lama makin banyak. 3. Penyesuaian berkelanjutan dari sampel. Pada mulanya, setiap sampel dapat sama kegunaannya. Namun, sesudah makin banyak informasi yang masuk dan makin mengembangkan hipotesis kerja maka sampel akan dipilih atas dasar fokus penelitian. 4. Pemilihan berakhir jika sudah terjadi pengulangan. Pada sampel bertujuan seperti ini, jumlah sampel ditentukan atas dasar pertimbangan-pertimbangan informasi yang diperlukan. Jika maksudnya memperluas informasi yang dapat dijaring, penarikan
97 sampel pun sudah dapat diakhiri. Jadi, kuncinya disini adalah jika sudah terjadi pengulangan informasi, penarikan sampel sudah harus dihentikan. Dalam kontek penelitian ini, sampel semula ditentukan hanya kyai, ustadz dan perwakilan santri, dalam perjalannnya mengalami pengembangan seiring dengan makin banyaknya informasi yang masuk dan makin mengembangkan hipotesis kerja, hal ini sesuai dengan kekhasan dari penelitian kualitatif yang memberlakukan teori bola salju dalam pemilihan sampel, serta grounded theory yang mengembangkan teori berdasarkan data lapangan dan diuji terus menerus sepajang penelitian. Pemilihan sampel berakhir pada saat terjadi pengulangan informasi yang diperoleh dari sampel yang dipilih, dalam hal ini kyai dan Santri. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Moleong di atas bahwa dalam pemilihan sampel kuncinya adalah jika sudah terjadi pengulangan informasi, maka penarikan sampel sudah harus dihentikan. Selain masalah sampel, satuan kajian biasanya ditetapkan juga dalam rancangan penelitian. Keputusan tentang penentuan sampel, besarnya, dan strategi sampling pada dasarnya bergantung pada penetapan satuan kajian. Kadang-kadang satuan kajian itu bersifat perseorangan, seperti santri, klien, atau pasien yang menjadi satuan kajian. Bila perseorangan itu sudah ditentukan sebagai satuan kajian maka pengumpulan data dipusatkan disekitarnya. Hal yang dikumpulkan adalah apa yang terjadi dalam kegiatannya, apa yang mempengaruhinya, bagaimana sikapnya, dan seterusnya. Dalam kontek penelitian ini, satuan kajiannya adalah Kyai, para ustadz, dan Santri yang ada di Pesantren Miftahul Huda Al-Musri’ Ciranjang Cianjur, sedangkan sampelnya kyai pimpinan pesantren dan santri yang sudah lama tinggal di pesantren.
98 C. Teknik Pengumpulan Data Dalam melakukan pengumpulan data, peneliti menggunakan empat teknik yakni observasi/pengamatan berperanserta, wawancara, dokumentasi dan studi pustaka. 1. Teknik Observasi Observasi merupakan kegiatan pengamatan sistematis dan terencana yang diniati untuk memperoleh data yang dikontrol validitas dan reliabilitasnya. Dalam penelitian ini, observasi yang dilakukan adalah observasi sambil partisipasi atau disebut juga pengamatan berperanserta, maksudnya peneliti mengamati sekaligus ikut serta dalam kegiatan yang dilakukan responden. Peneliti berpartisipasi dalam kegiatan responden, dalam hal ini Kyai dan Santri, tidak sepenuhnya artinya dalam batas tertentu. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan antara kedudukan peneliti sebagai orang luar (pengamat) dan sebagai orang yang ikut berpartisipasi dalam lingkungan pendidikan responden. Dalam kesempatan tertentu, selain bertindak sebagai pengamat pada saat Kyai mengajar, peneliti juga mencoba untuk mengambil alih peran sebagai pengajar di kelas responden, hal ini dilakukan untuk menguji konsistensi temuan yang mencuat pada saat peneliti berperan sebagai pengamat. Selain sambil partisipasi, observasipun dilakukan secara terbuka, artinya diketahui oleh responden karena sebelumnya telah mengadakan survey terhadap responden dan kehadiran peneliti ditengah-tengah responden atas ijin responden. Seperti dalam melakukan observasi kelas, peneliti meminta ijin dan membuat janji waktu yang tepat dengan Kyai dan Santri, sehingga proses pengamatan atas sepengetahuan Kyai bersangkutan.
99 Apa yang dilakukan peneliti di atas relevan dengan ungkapan Moleong (2007:163) bahwa ciri khas penelitian kualitatif tidak bisa dipisahkan dari pengamatan berperanserta, namun peran penelitilah yang menentukan keseluruhan skenarionya. Bogdan dalam Moleong (2007:164) mendefiniskan pengamatan berperan serta sebagai penelitian yang bercirikan interaksi sosial yang memakan waktu cukup lama antara peneliti dengan subjek dalam lingkungan subjek, dan selama itu data dalam bentuk catatan lapangan dikumpulkan secara sistematik dan berlaku tanpa gangguan. Agar hasil observasi dapat membantu menjawab tujuan penelitian yang sudah digariskan, maka peneliti dalam penelitain ini memperhatikan apa yang diungkapkan oleh Merriam dalam Alwasilah (2006:215-216) yang menyebutkan bahwa dalam observasi harus ada lima unsur penting sebagai berikut: 1. Latar (setting) 2. Pelibat (participant) 3. Kegiatan dan interaksi (activity and interaction) 4. Frekuensi dan durasi (frequency and duration) 5. Faktor substil (subtle factors) Terdapat beberapa alasan mengapa dalam penelitian ini pengamatan dimanfaatkan sebesar-besarnya, Guba dan Lincoln dalam Moleong (2007: 174-175) memberikan bantuan alasan sebagai berikut: 1. Teknik pengamatan ini didasarkan atas pengalaman secara langsung. Pengalaman langsung merupakan alat yang ampuh untuk mengetes suatu kebenaran. Jika suatu data yang diperoleh kurang meyakinkan, biasanya peneliti ingin menanyakannya kepada subjek, tetapi karena ia hendak memperoleh keyakinan tentang keabsahan
100 data tersebut, jalan yang ditempuhnya adalah mengamati sendiri yang berarti mengalami langsung peristiwanya. 2. Teknik pengamatan juga memungkinkan melihat dan mengamati sendiri, kemudian mencatat perilaku dan kejadian sebagaimana yang terjadi pada keadaan sebenarnya. 3. Pengamatan memungkinkan peneliti mencatat peristiwa dalam situasi yang berkaitan dengan pengetahuan proporsional maupun pengetahuan yang langsung diperoleh dari data. 4. Sering terjadi ada keraguan pada peneliti, jangan-jangan pada data yang dijaringnya ada yang keliru atau bias. Kemungkinan keliru itu terjadi karena kurang dapat mengingat peristiwa atau hasil wawancara, adanya jarak antara peneliti dan yang diwawancarai, ataupun karena reaksi peneliti yang emosional pada suatu saat. Jalan yang terbaik untuk mengecek kepercayaan data tersebut ialah dengan jalan memanfaatkan pengamatan. 5. Teknik pengamatan memungkinkan peneliti mampu memahami situasi-situasi yang rumit. Situasi yang rumit mungkin terjadi jika peneliti ingin memperhatikan beberapa tingkah laku sekaligus. Jadi, pengamatan dapat menjadi alat yang ampuh untuk situasi-situasi yang rumit dan untuk perilaku yang kompleks. 6. Dalam kasus-kasus tertentu dimana teknik komunikasi lainnya tidak dimungkinkan, pengamatan dapat menjadi alat yang sangat bermanfaat. Selama melakukan pengamatan, peneliti mencatat setiap fenomena yang ditemukan dan sesampainya di rumah (pada malam hari) catatan yang dibuat pada saat di lapangan, langsung ditranskif ke dalam Catatan Lapangan yang dibagi menjadi dua bagian, yakni catatan deskriptif dan catatan reflektif.
Selanjutnya, dalam rangka
101 mengkonfirmasi dan menindaklanjuti temuan-temuan pada saat observasi yang sudah dituangkan ke dalam catatan lapangan, maka peneliti selanjutnya melakukan proses wawancara terhadap kyai bersangkutan dan tiga orang santri, kegiatan wawancara akan diuraikan dalam bagian selanjutnya.
2. Teknik Wawancara Wawancara merupakan percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan ini dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (intervewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Maksud mengadakan wawancara, seperti ditegaskan oleh Lincoln dan Guba dalam Moleong (2007:186) antara lain mengkontruksi mengenai orang, kejadian, organisasi, perasaan, motivasi, tuntutan, kepedulian dan kebulatan; merekonstruksi kebulatan-kebulatan demikian sebagai yang dialami masa lalu; memproyeksikan kebulatan-kebulatan sebagai yang diharapkan untuk dialami pada masa yang akan datang; memverifikasi, mengubah, dan memperluas informasi yang diperoleh dari orang lain, baik manusia maupun bukan manusia (triangulasi); dan memverifikasi, mengubah, dan memperluas konstruksi yang dikembangkan oleh peneliti sebagai pengecekan anggota. Menurut Lincoln dan Guba dalam Alwasilah (2006:195) terdapat lima langkah penting dalam melakukan interviu, yakni: 1. Menentukan siapa yang akan diinterviu 2. Menyiapkan bahan-bahan interviu 3. Langkah-langkah pendahuluan 4. Mengatur kecepatan menginterviu dan mengupayakan agar tetap produktif.
102 5. Mengakhiri interviu Berdasarkan langkah-langkah yang diungkapkan oleh Lincoln dan Guba di atas, maka langkah awal yang dilakukan oleh peneliti adalah menentukan siapa yang akan di interviu, hal ini dilakukan setelah dilakukan observasi pendahuluan di kelas dan minta masukan nama santri kepada kyai bersangkutan. kyai dan sepuluh orang santri dari masing-masing tingkatan yang diobservasi ditetapkan sebagai responden interviu. Setelah orang yang akan diinterviu jelas, selanjutnya peneliti menyusun pedoman wawancara sebagai kompas dalam praktek wawancara agar senantiasa terarah kepada fokus penelitian, dalam prakteknya pertanyaan terlontar secara sistematis sesuai dengan pedoman, namun tidak jarang ditambahkan beberapa pertanyaan tambahan atas fenomena baru yang mencuat. Pedoman wawancara isinya mengacu kepada rumusan masalah, hasil observasi dan hasil wawancara sebelumnya, ruang lingkup pedoman wawancara berbeda setiap sasaran responden yang diwawancarai (lihat lampiran). Waktu dan tempat interviu ditetapkan berdasarkan kesepakatan dengan terwawancara. Diakhir kegiatan wawancara, peneliti tidak langsung menutup kegiatan wawancara, melainkan berpesan agar kiranya terwawancara bersedia kembali untuk diwawancarai pada kesempatan lain apabila terdapat fenomena-fenomena yang memerlukan penjelasan lebih lanjut. Dalam penelitian ini, teknik wawancara dilakukan untuk melengkapi data-data hasil observasi, wawancara dilakukan terhadap subyek penelitian yang dalam hal ini Kyai dan sepuluh santri. Teknik wawancara yang dilaksanakan dalam penelitian ini adalah wawancara terstruktur, yakni wawancara yang dilakukan untuk menanyakan permasalahan-
103 permasalahan seputar pertanyaan penelitian dalam rangka memperjelas data atau informasi yang tidak jelas pada saat observasi/pengamatan berperanserta.
3. Teknik Dokumentasi Guba dan Lincoln dalam Moleong (2006:216) mendefinisikan dokumen sebagai setiap bahan tertulis ataupun film. Dokumen sudah lama digunakan dalam penelitian sebagai sumber data karena dalam banyak hal dokumen sebagai sumber data dimanfaatkan untuk menguji, menafsirkan, bahkan untuk meramalkan. Dalam penelitian ini, teknik dokumentasi dilakukan untuk mengetahui dokumen tentang bagaimana kurikulum dan proses pembelajaran ekonomi yang berlangsung di Pesantren Miftahul Huda Al-Musri’ Ciranjang Cianjur sebelum penelitian. Dokumen diperoleh dari kyai dan petugas pesantren. Data demografi santri dari petugas pesantren, buku-buku rujukan dari petugas perpustakaan, serta profile dan struktur kurikulum Pesantren Miftahul Huda Al-Musri’ Ciranjang Cianjur.
4. Teknik Studi Pustaka Studi pustaka dilaksanakan untuk mengumpulkan data ilmiah dari berbagai literatur yang berhubungan dengan pendidikan umum, pendidikan nilai, nilai-nilai tauhid, strategi belajar mengajar, metode penelitian pendidikan dan studi ekonomi Islam. Dalam memperoleh data-data ilmiah ini, penulis mengkaji referensi-referensi kepustakaan dari perpustakaan UPI, perpustakaan Program Studi Pendidikan Umum SPS UPI, perpustakaan Pesantren Miftahul Huda Al-Musri’ Ciranjang Cianjur, majalah, koran, perpustakaan pribadi penulis, internet, dan sumber lainnya.
104 D. Tahapan-Tahapan Penelitian Upaya pengumpulan data dalam penelitian ini melalui beberapa tahapan sebagai berikut: 1. Tahap Orientasi Pada tahap orientasi, awalnya peneliti mengadakan survei terhadap lembaga, terutama melalui acara dialog dengan pimpinan pesantren, para ustadz dan beberapa santri. Selanjutnya mengadakan wawancara sederhana tentang proses pendidikan yang dilaksanakan di Pesantren. Dari hasil pendekatan ini peneliti menentukan dua unsur responden yakni kyai dan santri. Setelah ditentukan responden penelitian, peneliti mengadakan observasi permulaan untuk memperoleh data tentang proses kegiatan belajar mengajar di Pesantren. Pada tahap ini peneliti juga tidak lupa mengurus surat izin penelitian dalam rangka menjaga keamanan dan stabilitas sosial di lokasi penelitian. 2. Tahap Eksplorasi Pada tahap ini, peneliti mulai melakukan kunjungan pada Pesantren dan responden, mulai mengenal dekat dengan responden. Mengadakan pengamatan permulaan terhadap proses pembelajaran di lingkungan Pesantren, selanjutnya meningkat tidak hanya mengamati, melainkan berpartisipasi bersama responden dan mengadakan wawancara kyai yang menjadi responden serta beberapa santri untuk mendukung kelengkapan data. Proses pengamatan dilakukan dengan membuat janji terlebih dahulu dengan kyai bersangkutan sehingga proses pengamatan diketahui oleh Kyai tersebut, adapun
105 dalam menentukan santri yang akan diwawancara juga atas masukan dari Kyai bersangkutan, selain didasari oleh hasil pengamatan di ruang belajar. 3. Tahap Pencatatan Data Catatan merupakan rekaman hasil observasi dan wawancara, dilakukan pada saat di lapangan berupa catatan singkat atau catatan kunci (key words) maupun setelah selesai dari lapangan. Pencatatan data setelah dari lapangan segera dilakukan pada saat ingatan masih segar. Pada waktu berada di lapangan, peneliti membuat catatan kemudian setelah pulang ke rumah barulah membuat catatan lapangan. Catatan yang dibuat di lapangan sangat berbeda dengan catatan lapangan. Catatan itu berupa coretan seperlunya yang sangat dipersingkat, berisi kata-kata kunci, pokok-pokok isi pembicaraan atau pengamatan, gambar, sketsa, sosiogram, diagram, dan lain-lain. Catatan itu berguna hanya sebagai alat perantara yaitu antara apa yang dilihat, didengar, dirasakan, dicium, dan diraba dengan catatan sebenarnya dalam bentuk catatan lapangan. Catatan itu baru dirubah ke dalam catatan yang lengkap dan dinamakan catatan lapangan setelah peneliti tiba di rumah. Proses itu dilakukan setiap kali selesai mengadakan pengamatan atau wawancara, tidak dilalaikan karena akan tercampur dengan informasi lain dan ingatan seseorang itu sifatnya terbatas. Catatan lapangan menurut Bogdan dan Biklen dalam Moleong (2007:208-209) adalah catatan tertulis tentang apa yang didengar, dilihat, dialami, dan dipikirkan dalam rangka pengumpulan data dan refleksi terhadap data dalam penelitian kualitatif. Penemuan pengetahuan atau teori harus didukung oleh data konkret dan bukan ditopang oleh yang berasal dari ingatan. Pengajuan hipotesis kerja, penentuan derajat
106 kepercayaan dalam rangka keabsahan data, semuanya harus didasarkan atas data yang terdapat dalam catatan lapangan. Di sinilah letak pentingnya catatan lapangan itu. Jadi dapat dikatakan bahwa dalam penelitian kualitatif ”jantungnya” adalah catatan lapangan. Menurut Bogdan dan Biklen dalam Moleong (2007:211-212), pada dasarnya catatan lapangan berisi dua bagian. Pertama, bagian deskriptif yang berisi gambaran tentang latar pengamatan, orang, tindakan, dan pembicaraan. Kedua, bagian reflektif yang berisi kerangka berfikir dan pendapat peneliti, gagasan, dan kepeduliannya. Bagian deskriptif adalah bagian terpanjang yang berisi semua peristiwa dan pengalaman yang didengar dan yang dilihat serta dicatat selengkap dan seobjektif mungkin. Dengan sendirinya, uraian dalam bagian ini sangat rinci. Adapun Bagian reflektif disediakan tempat khusus untuk menggambarkan sesuatu yang berkaitan dengan pengamat itu sendiri. Bagian ini berisi spekulasi, perasaan, masalah, ide, sesuatu yang mengarahkan, kesan, dan prasangka. Catatan ini berisi pula sesuatu yang diusulkan untuk dilakukan dalam penelitian yang akan datang, dan juga berarti pembetulan atas kesalahan dalam catatan lapangan. Dengan demikian, peneliti sebagai pengamat dapat ”memuntahkan” segala sesuatu yang berkenaan dengan pengakuan kesalahan yang diperbuat, ketidakcukupan sesuatu yang dilakukan, prasangka, yang disukai maupun yang tidak. Moleong (2006: 216-217) mengungkapkan langkah-langkah penulisan catatan lapangan adalah sebagai berikut: a. Pencatatan awal. Pencatatan ini dilakukan sewaktu berada di latar penelitian dengan jalan menuliskan hanya kata-kata kunci pada buku-nota.
107 b. Pembuatan catatan lapangan lengkap setelah kembali ke tempat tinggal. Pembuatan catatan ini dilakukan dalam suasana yang tenang dan tidak ada gangguan. Hasilnya sudah berupa catatan lapangan lengkap. c. Apabila sewaktu ke lapangan penelitian kemudian teringat bahwa masih ada yang belum dicatat dan dimasukkan dalam catatan lapangan, dan hal itu dimasukkan. 4. Tahap Analisa Data Bogdan & Biklen dalam Moleong (2007:248) mengungkapkan bahwa analisis data kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensistesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain. Adapun Seiddel
dalam Moleong (2007:248) mengungkapkan bahwa proses
berjalannya analisis data kualitatif adalah sebagai berikut: a. Mencatat yang menghasilkan catatan lapangan, dengan hal itu diberi kode agar sumber datanya tetap dapat ditelusuri. b. Mengumpulkan,
memilah-milah,
mengklasifikasikan,
mensitesiskan,
membuat
ikhtisar, dan membuat indeksnya. c. Berfikir dengan jalan membuat agar kategori data itu mempunyai makna, mencari dan menemukan pola dan hubungan-hunbungan, serta membuat temuan-temuan umum.
108 Berdasarkan hasil wawancara dan observasi yang telah dituangkan kedalam catatan lapangan, selanjutnya data diolah dan dianalisa. Pengolahan dan penganalisaan data merupakan upaya menata data secara sistematis. Maksudnya untuk meningkatkan pemahaman peneliti terhadap masalah yang sedang diteliti dan upaya memahami maknanya. Langkah pertama dalam pengolahan data yang sudah dituangkan dalam catatan lapangan adalah membuat koding atas fenomena yang ditemukan, selanjutnya membuat kategorisasi dan pengembangan teori. Alur analisis data dalam penelitian ini dapat dilihat dalam bagan di bawah ini:
Gambar 3.1 Alur Analisis Data Penelitian Wawancara Observasi Studi dokumentasi Studi kepustakaan
Catatan Lapangan
Koding
Kategorisasi
Kategorisasi Properti Hipotesis
Pengembangan Teori
Teori Produk Penelitian
Display (Diagram Terpadu) General Strategy Analytic Induction Constant Comparation
109 5. Tahap Pelaporan Data yang sudah dianalisa kemudian dipadukan dengan teori-teori yang relevan dan konsepsi penulis tentang permasalahan yang menjadi fokus penelitian. Proses pemaduan konsepsi penelitian dituangkan dalam laporan penelitian dengan sistematika mengacu kepada pedoman penulisan karya tulis ilmiah dari Universitas Pendidikan Indonesia edisi 2007. Selain itu, dalam rangka menyempurnakan laporan penelitian dilakukan proses bimbingan secara berkelanjutan dengan dosen pembimbing, baik pembimbing I maupun pembimbing II.
E. Validitas dan Reliabilitas Penelitian Agar nilai kebenaran secara ilmiahnya dapat teruji serta memiliki nilai keajegan, maka dalam penelitian ini dilakukan uji validitas dan reliabilitas atas data yang ditemukan dari lapangan. 1. Validitas Menurut Alwasilah (2006:169) validitas adalah kebenaran dan kejujuran sebuah deskpripsi, kesimpulan, penjelasan, tafsiran dan segala jenis laporan. Ancaman terhadap validitas hanya dapat ditangkis dengan bukti, bukan dengan metode, karena metode hanyalah alat untuk mendapatkan bukti. Dalam menguji validitas ini dapat dilakukan dengan beberapa teknik, peneliti dalam penelitian ini menggunakan teknik-teknik yang disarankan oleh Alwasilah (2006:175-184) bahwa terdapat 14 teknik dalam menguji validitas penelitian sebagai berikut: 1) Pendekatan Modus Operandi (MO); 1) Mencari bukti yang menyimpang dan kasus negatif; 3) Triangulasi; 4) Masukan, asupan atau
110 feedback; 5) Mengecek ulang atau member ckecks. 6) ”Rich” data atau data yang melimpah. 7) Quasi-statistics; 8) Perbandingan; 9) Audit; 10) Obervasi jangka panjang (long-term observation); 11) Metode partisipatori (participatory mode of research); 12) Bias penelitian; 13) Jurnal reflektif (Reflective Journal); 14) Catatan pengambilan keputusan. Dalam
penelitian ini, penulis menggunakan lima teknik saja yakni triangulasi,
member ckeck, metode partisipatori, jurnal reflektif dan catatan pengambilan keputusan. 2. Reliabilitas
Reliabilitas mengandung makna sejauhmana temuan-temuan penelitian dapat
direplikasi, jika penelitian tersebut dilakukan ulang, maka hasilnya akan tetap. Guba dan
Lincoln dalam Alwasilah (2006:187) mengungkapkan bahwa tidak perlu untuk
mengekplisitkan persyaratan reliabilitas, mereka menyarankan penggunaan istilah
dependedability atau consistenscy, yakni keterhandalan atau keistiqomahan. Untuk
meningkatkan tingkat reliabilitas dari penelitian ini, penulis menggunakan serangkaian
uji yang digunakan dalam uji validitas, yakni triangulasi, member checks, metode
partisipatori, jurnal reflektif dan catatan pengambilan keputusan.