BAB II TINJAUAN PUSTAKA TENTANG TELEKOMUNIKASI DAN LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT
A. Pengaturan Telekomunikasi Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi Telekomunikasi memungkinkan terjadinya perhubungan antara suatu pihak dengan pihak lain, dan dengan terjadinya hubungan ini akan terjadi pula persentuhan-persentuhan di berbagai bidang kehidupan. Persentuhan terjadi antar individu, antar kelompok (institusi, badan, lembaga, perusahaan dan lainnya) dan juga antar negara, maka hukum sangat diperlukan dalam mengatur dan menata persentuhan tersebut.15 1. Ruang Lingkup Telekomunikasi Pengertian telekomunikasi berdasarkan Undang-Undang No. 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 yang menyatakan bahwa : “Telekomunikasi adalah setiap pemancaran, pengiriman, dan atau penerimaan dari setiap informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara dan bunyi melalui sistem kawat, optik, radio, atau sistem elektromagnetik lainnya.”
15
Asril Sitompul, Hukum Telekomunikasi Indonesia, Books Terrace & Library, Bandung, 2005, hlm. 21.
24
25
Telekomunikasi memiliki karakteristik yang sangat penting sekaligus unik berupa peran ganda, yaitu :16 1. Sebagai means of transport,dan 2. Sebagai means of business Sebagai means of transport, telekomunikasi merupakan jaringan perangkat yang menyalurkan informasi dan berbagai content lainnya sebagai substitusi pergerakan fisik yang sangat dibutuhkan dalam aspek kehidupan dan bisnis sehari-hari. Sedangkan sebagai means of business, telekomunikasi merupakan salah satu industri yang termasuk kategori tingkat tinggi. 2. Asas dan Tujuan dari Undang-Undang No. 36 Tahun 1999 Tujuan dari Undang-Undang No. 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi tersebut terdapat pada Pasal 3, menyatakan bahwa : “Telekomunikasi diselenggarakan dengan tujuan untuk mendukung persatuan dan kesatuan bangsa, meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata, mendukung kehidupan ekonomi dan kegiatan pemerintahan, serta meningkatkan hubungan antar bangsa.” Di dalam tujuan untuk mendukung persatuan dan kesatuan tercermin tujuan ideal yang hendak dicapai yang pendekatannya bukan perhitungan ekonomis. Tujuan ini tampak bahwa fungsi sosial pelayanan telekomunikasi cukup tinggi dan hal tersebut merupakan tujuan yang harus dicapai oleh pemerintah melalui penyelenggaraan telekomunikasi nasional.
16
1999.
Mulia P. Tambunan, Perspektif Bisnis Sektor Telekomunikasi Pasca UU No. 36 Tahun
26
Demikian
pula
mengenai
tujuan
untuk
meningkatkan
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata, fungsi pelayanan telekomunikasi disini bukan semata-mata mengejar kepentingan ekonomis, tetapi sarat dengan fungsi-fungsi sosial. Sedangkan di dalam tujuan untuk mendukung kegiatan ekonomi dan kegiatan pemerintah, terkandung tujuan ekonomis dan politis, demikian pula di dalam fungsi meningkatkan hubungan antara bangsa. 3. Pelayanan Telekomunikasi Dalam pelayanan jasa dan jaringan telekomunikasi terdapat beberapa masalah, yaitu Bundling Services dan Unbundling Services. Dengan semakin optimalnya penggunaan kemajuan teknologi komunikasi yang mengalami konvergensi dengan teknologi komputer semakin memudahkan
penyelenggaraan
telekomunikasi
penggabungan
bermacam-macam
jasa
untuk
menjadi
satu
melakukan paket
jasa
telekomunikasi. Penggabungan jasa tersebut lazim dinamakan bundling services. 17 Apabila ditinjau sekilas, bundling services ini kelihatannya semata-mata murni suatu tindakan atau strategi penjualan dan pemasaran. Dalam praktek, bundling services ini dapat menyebabkan terjadinya diskriminasi
sehingga
dapat
melanggar
prinsip
pelayanan
jasa
telekomunikasi yang fair. Sebagai lawan dari bundling sevices adalah unbundling services, dimana tiap-tiap jasa telekomunikasi yang ditawarkan
17
Asril Sitompul, Op.cit, hlm. 35.
27
bersifat tunggal dan tidak terkait dengan jasa lainnya. Dari perspektif kompetisi, unbundling services merupakan suatu upaya pendekatan yang optimal dalam kompetisi di bidang pelayanan dan karena itu membawa manfaat kepada upaya mendorong kompetisi antar penyelenggara, serta akan dapat menciptakan layanan jasa yang lebih baik dan lebih murah kepada mayoritas pengguna jasa telekomunikasi. Unbundling services juga dapat membawa manfaat kepada incumbent operator dalam meningkatkan penggunaan jaringan yang dioperasikannya.18 Jika suatu penyelenggara memakai pendekatan unbundling services, maka masalah-masalah yang akan timbul adalah berhubungan dengan penetapan harga, termasuk dalam menentukan basis perhitungan interkoneksi. 4. Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi Berdasarkan
Undang-Undang
No.
36
Tahun
1999,
penyelenggaraan telekomunikasi pada hakekatnya terdiri dari 3 (tiga), yaitu: a. Penyelenggara Jasa Telekomunikasi Penyelenggara jasa tekomunikasi adalah penyelenggaraan telekomunikasi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Badan penyelenggara untuk jasa telekomunikasi dalam negeri (domestik) adalah PT. Telkom Tbk dan Badan Penyelenggara untuk jasa telekomunikasi luar negeri (internasional) adalah PT. Indosat. Badan
18
Asril Sitompul, ibid, hlm 36
28
usaha milik negara tersebut diberi wewenang untuk menyelenggarakan jasa telekomunikasi, seperti telepon, telex, faksimili dan sebagainya, maupun jasa telekomunikasi berupa jasa-jasa nilai tambah VAS (Value Added Service). Badan lain di luar badan penyelenggara, baik dalam bentuk Badan Usaha Milik Swasta (BUMS) , Badan Usaha Milik Daerah
(BUMD)
maupun
Koperasi
juga
berhak
untuk
menyelenggarakan jasa telekomunikasi nondasar. Sedangkan untuk menyelenggarakan jasa telekomunikasi dasar, badan lain dapat bekerjasama dengan PT. Telkom dan atau PT. Indosat. Bentuk kerjasama antara badan penyelnggara dan badan lain ini telah diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1993, yaiut dapat berbentuk Kerjasama Operasi (KSO), usaha patungan dan kontrak manajemen. b. Penyelenggaraan Telekomunikasi untuk Keperluan Khusus Penyelenggaraan telekomunikasi untuk keperluan khusus adalah penyelenggaraan telekomunikasi yang dilakukan oleh instansi pemerintah tertentu, perorangan atau Badan Hukum untuk keperluan khusus atau untuk keperluan sendiri. Telekomunikasi khusus dapat dilakukan oleh instansi pemerintah tertentu atau badan hukum (perseroan terbatas atau koperasi) yang ditentukan berdasarkan hukum. Telekomunikasi khusus diselenggarakan berdasarkan izin yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pos dan Telekomunikasi. Izin penyelenggaraan telekomunikasi khusus hanya diberikan Badan Hukum apabila wilayah tersebut belum tersedia atau belum
29
terjangkau fasilitas telekomunikasi yang dapat disediakan oleh Badan Penyelenggara atau badan lain. Telekomunikasi untuk keperluan khusus
hanyadapat
diselenggarakan
dengan
mempertimbangkan
kerahasiaan dan jangkauan atau pengoperasiannya perlu bentuk sendiri. Penyelenggara telekomunikasi untuk keperluan khusus adalah: 1) Instansi pemerintah tertentu untuk pelaksanaan tugas khusus; 2) Perseorangan; 3) Badan hukum. Ciri-ciri dari telekomunikasi untuk keperluan khusus adalah : 1) Penyelenggaraan telekomunikasi untuk keperluan Pertahanan Keamanan Negara diselenggarakan oleh Departemen Pertahanan dan Keamanan Negara dan /atau ABRI; 2) Penyelenggaraan
diperuntukkan
bagi
Pertahanan
Keamanan
Negara; 3) Bukan penyelenggaraan jasa telekomunikasi. c. Penyelenggaraan Telekomunikasi untuk Keperluan Pertahanan dan Keamanan Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi untuk Keperluan Pertahanan dan Keamanan Negara diatur bahwa : 1) Penyelenggaraan telekomunikasi untuk keperluan Pertahanan dan Keamanan Negara diselenggarakan oleh Departemen Pertahanan dan Keamanan Negara dan /atau ABRI;
30
2) Penyelenggaraan
diperuntukkan
bagi
Pertahanan
Keamanan
Negara; 3) Bukan merupakan penyelenggaraan jasa telekomunikasi. Adanya
perubahan
lingkungan
global
dan
perkembangan
teknologi yang berlangsung sangat cepat telah mendorong terjadinya perubahan mendasar, melahirkan lingkungan telekomunikasi yang baru dan perubahan cara pandang dalam penyelenggaraan telekomunikasi termasuk hasil konvergensi dengan teknologi informasi dan penyiaran, sehingga dipandang perlu mengadakan penataan kembali penyelenggaraan telekomunikasi nasional. Penyesuaian dalam penyelenggaraan telekomunikasi di tingkat nasional adalah merupakan kebutuhan nyata, mengingat kemampuan sektor swasta dalam penyelenggaraan telekomunikasi, penguasaan teknologi telekomunikasi dan keunggulan kompetitif dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat. Sejalan
dengan
hal
di
atas,
perkembangan
teknologi
telekomunikasi di tingkat internasional yang diikuti dengan peningkatan penggunaannya sebagai salah satu komoditas perdagangan yang memiliki nilai komersil tinggi, telah pula mendorong terjadinya berbagai kesepakatan multilateral. Sebagai negara yang aktif dalam membina hubungan antar negara atas dasar kepentingan nasioanl, keikutsertaan Indonesia dalam berbagai kesepakatan multilateral menimbulkan berbagai konsekuensi yang harus dihadapi dan diikuti dan sejak penandatanganan
31
General Agreement on Trade and Services (GATS) di Marrakesh, Maroko pada tanggal 15 April 1994 yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 1997, penyelenggaraan telekomunikasi nasional menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sistem perdagangan global.19 Sesuai dengan prinsip perdagangan global, yang menitikberatkan pada asas perdagangan bebas dan tidak diskriminatif, Indonesia harus menyiapkan diri untuk menyesuaikan penyelenggaraan telekomunikasinya. Dengan memperhatikan hal-hal tersebut, maka peran pemerintah dititikberatkan pada pembinaan yang melliputi penentuan kebijakan, pengaturan, pengawasan dan pengendalian dengan mengikutsertakan peran masyarakat. Peningkatan
peran
masyarakat
dalam
penyelenggaraan
telekomunikasi tidak berarti mengurangi prinsip dasar yang terkandung dalam Undang-Undang Dasar 1945 amandemen IV Pasal 33 ayat (3) dinyatakan bahwa : “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunkaan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Atas dasar itu, hal-hal yang menyangkut pemanfaatan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit yang merupakan sumber daya alam yang terbatas tetap dikuasai oleh negara. Sementara itu, sifat telekomunikasi adalah inheren dengan jangkauan jarak jauh sehingga mempunyai implikasi global. Sebaliknya wujud dan bentuk lingkungan telekomunikasi 19
Hadi Setia Tunggal, Penjelasan Undnag-Undang No. 36 Tahun 1999, Telekomunikasi Secara Umum, Harvarindo, 2000, hlm.26-27.
32
dalam kebijaksanaan nasional tidak terlepas dari perubahan-perubahan yang berdimensi global, diantaranya dengan munculnya kemajuan teknologi telekomunikasi dan informatika sehingga mengakibatkan adanya reformasi dalam kebijaksanaan bidang telekomunikasi. Dengan tetap berpijak pada kebijaksanaan pembangunan nasional, terutama di bidang teknologi telekomunikasi, pemerintah merasa perlu mengeluarkan
ketentuan
baru
untuk
mengatur
pembinaan
dan
penyelenggaraan telekomunikasi. Atas dasar hal itulah, pamerintah mengeluarkan
Undang-Undang
No.
36
Tahun
1999
tentang
Telekomunikasi. Undang –Undang No. 36 Tahun 1999 harus mewakili profil telekomunikasi Indonesia masa depan yang mengandung unsur kompetisi ang sehat, efisien dan berkelanjutan dalam penyelenggaraan jaringan dan jasa telekomunikasi, serta harus pula mempunyai karakteristik yang anti monopoli dan melindungi konsumen. Telekomunikasi diselenggarakan berdasarkan asas manfaat, adil dan merata. Kepastian hukum, keamanan, kemitraan, etika dan kepercayaan pada diri sendiri (Pasal 2 Undang-Undang No. 36 Tahun 1999). Asas manfaat berarti pembangunan telekomunikasi khususnya penyelenggaraan telekomunikasi akan lebih berdaya guna dan berhasil baik secara infrastruktur pembangunan, sarana penyelenggaraan pemerintahan, sarana pendidikan, sarana perhubungan maupun sebagai komoditas ekonomi yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Asas adil
33
dan merata adalah bahwa penyelenggaraan telekomunikasi memberikan kesempatan yang sama kepada semua pihak. Asas kepastian hukum mengandung arti bahwa telekomunikasi khususnya penyelenggaraan telekomunikasi memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada investor, penyelenggara dan pengguna telekomunikasi. Selain itu, penyelenggaraan tekomunikasi harus mengembangkan ilim yang harmonis, timbal balik dan sinergi dalam penyelenggaraaan telekomunikasi.20 Asas kepercayaan pada diri sendiri, dilaksanakan dengan memanfaatkan secaa maksimal potensi sumber daya nasional secara efisien serta penguasaan teknologi telekomunikasi sehingga dapat meingkatkan kemandirian dan mengurangi ketergantungan sebagai suatu bangsa dalam menghadapi persaingan global. Asas kemitraan mengandung makna, bahwa penyelenggaraan telekomunikasi harus dapat mengembangkan iklim yang harmonis, timbal balik dan sinergi dalam penyelenggaaraan telekomunikasi. Asas keamanan dimaksudkan agar penyelenggaraan telekomunikasi
selalu
memperhatikan
faktor
keamanan
dalam
perencanaan, pembangunan dan pengoperasiannya. Terakhir adalah asas etika dimaksudkan agar dalam penyelenggaraan telekomunikasi senantiasa dilandasi oleh semangat profesionalisme.21 Telekomunikasi diselenggarakan dengan tujuan untuk mendukung persatuan dan kesatuan bangsa, meningkatkan kesejahteraan dan 20
Penjelasan Undang-Undang No. 36 Tahun 1999. Judhariksawan, Pengantar Hukum Telekomunikasi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm. 178. 21
34
kemakmuran rakyat secara adil dan merata, mendukung kehidupan ekonomi dan kegiatan pemerintah serta meningkatkan hubungan antar bangsa (Pasal 3 Undang-Undang No. 36 Tahun 1999). Tujuan penyelenggaraan telekomunikasi ini dapat dicapai antara lain, melalui reformasi telekomunikasi untuk meningkatkan kinerja penyelenggaraan telekomunikasi dalam rangka mengahdapi globalisasi, mempersiapkan sektor telekomunikasi memasuki persaingan usaha yang sehat dan profesional dengan regulasi yang transparan.22 Reformasi telekomunikasi dimaksudkan sebagai semua perubahan dan pembaharuan untuk perbaikan yang meliputi segala aspek, baik hukum, kebijakan, pengaturan, partisipasi, meupun penyelenggaraan. 23 Sesuai dengan asas-asas di atas, dalam penyelenggaraan telekomunikasi dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat diantara penyelenggara telekomunikasi. Larangan tersebut sesuai dengan UndangUndang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang No. 36 Tahun 1999 dinyatakan bahwa penyelenggaraan telekomunikasi harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut : a. Melindungi kepentingan dan keamanan negara; b. Mengantisipasi perkembangan teknologi dan tuntutan global; 22
Ibid. Departemen Perhubungan, Cetak Biru Kebijakan Pemerintah Tentang Telekomunikasi, Tahun 1999 23
35
c. Dilakukan secara profesional dan dapat dipertanggungjawabkan; d. Peran serta masyarakat. Selain dari pasal di atas, di dalam Pasal 8 ayat (1) UndangUndang No. 36 Tahun 1999 dinyatakan bahwa penyelenggaraan jaringan telekomunikasi
dan
atau
penyelenggara
jasa
telekomunikasi
sebagaimanaan dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a dan huruf b dapat dilakukan oleh badan hukum yang didirikan untuk maksud tersebut berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu : a. Badan Usaha Milik Negara (BUMN); b. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD); c. Badan usaha swasta; d. Koperasi. Dari kedua pasal tersebut, dapat dilihat bahwa Undang-Undang No. 36 Tahun 1999 membuka lebar-lebar penyelenggaraan telekomunikasi, tidak lagi terbatas hanya kepada Badan Penyelenggaara versi UndangUndang No. 3 Tahun 1989 Tentang Telekomunikasi, melainkan semua kalangan baik pemerintah, swasta maupun perorangan. Menurut undangundang itu penyelenggara telekomunikasi adalah perseorangan, koperasi, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Badan Usaha Milik Negara (BUMN), badan usaha swasta, instansi pemerintah dan instansi pertahanan keamanan negara. Dalam Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang No. 36 Tahun 1999 dinyatakan bahwa penyelenggara jasa telekomunikasi sebagaimana
36
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dalam menyelenggarakan jasa telekomunikasinya,
menggunakan
dan
atau
menyewa
jaringan
telekomunikasi milik penyelenggara jaringan telekomunikasi. dengan demikian penyelenggara jaringan telekomunikasi yang memerlukan jaringan telekomunikasi dapat menggunakan jaringan yang dimilikinya dan atau menyewa dari penyelenggara jaringan telekomunikasi lain. Jaringan telekomunikasi yang disewa pada dasarnya digunakan untuk keperluan sendiri, namun apabila disewakan kembali kepada pihak lain, maka yang menyewakan kembali tersebut harus memperoleh izin sebagai penyelengara jaringan telekomunikasi, izin tersebut diperoleh dari menteri yang dalam hal ini adalah Menteri Pariwisata dan Telekomunikasi. Agar
terjadi
kompetisi
yang
sehat
antar
penyelenggara
telekomunikasi dalam melakukan kegiatannya, maka dalam UndangUndang No. 36 Tahun 1999 Pasal 10 dicantumkan tentang larangan praktek monopoli yang menentukan bahwa dalam penyelenggaraan telekomunikasi dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat di antara penyelenggara telekomunikasi. Hal ini tentu saja membuka peluang bagi semua pihak untuk terjun dalam bisnis telekomunikasi. Berkaitan dengan masalah perizinan, masalah perizinan setiap penyelenggara jasa telekomunikasi diwajibkan untuk memperoleh izin terlebih dahulu sesuai dengan ketentuan dalam prosedur izi yang berlaku, terutama untuk jasa telekomunikasi yang dikomersialkan. Hal ini
37
tercantum dalam Pasal 11 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang No. 36 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa : “(1) Penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dapat diselenggarakan setelah mendapat izin dari menteri; (2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan memperhatikan : a. Tata cara yang sederhana; b. Proses yang transparan, adil dan tidak diskriminatif; (3) Ketentuan mengenai perizinan penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.” Pasal 11 Undang-Undang No. 36 Tahun 1999 dimaksudkan sebagai upaya pemerintah dalam rangka pembinaan guna mendorong pertumbuhan penyelenggaraan telekomunikasi yang sehat. Pemerintah berkewajiban untuk mempublikasikan secara berkala atas daerah atau wilayah yang terbuka untuk penyelenggaraan jaingan dan atau jasa telekomunikasi. Sebagai
konsekuensi
dari
izin
yang
diberikan,
setiap
penyelenggara jasa telekomunikasi wajib memberikan kontribusi dalam pelayanan universal, seperti tercantum dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 1999 Pasal 16 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) dinyatakan bahwa kewajiban pelayanan universal atau USO (Universal Service Obligation) merupakan kewajiban penyediaan jaringan telekomunikasi agar kebutuhan masyarakat terutama di daerah terpencil dan /atau belum berkembang untuk mendapatkan akses telepon dapat dipenuhi. Dalam penetapan kewajiban pelayanan universal, pemerintah memperhatikan prinsip
38
ketersediaan pelayanan jasa telekomunikasi yang menjangkau daerah berpenduduk dengan mutu yang baik dan tarif yang layak. Kewajiban pelayanan universal terutama diperuntukkan untuk wilayah yang secara geografis terpencil dan yang secara ekonomis belum berkembang serta membutuhkan biaya pembangunan tinggi termasuk di daerah perintisan, pedalaman, pinggiran, terpencil dan /atau daerah yang secara ekonomis kurang menguntungkan. Kewajiban membangun fasilitas telekomunikasi
untuk
pelayanan
universal
dibebankan
kepada
penyelenggara jaringan telekomunikasi tetap yang telah mendapatkan izin dari pemerintah berupa jasa Sambungan Langsung Jarak Jauh (SLJJ) dan atau jasa sambungan jenis jasa di atas tetap diwajibkan memberikan kontribusi. Kompensasi lain sebagaimana dimaksud dalam kewajiban pelayanan universal adalah kontribusi biaya untuk pembangunan yang dibebankan melalui biaya interkoneksi. Penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan /atau penyelenggara jasa telekomunikasi harus mengikuti aturan yang ditentukan dalam Pasal 26 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 36 Tahun 1999 dinyatakan : 1) Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi wajib membayar biaya hak penyelenggaraan telekomunikasi yang diambil dari persentasi pendapatan; 2) Ketentuan mengenai biaya hak penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
39
Biaya hak penyelenggaraan telekomunikasi adalah kewajiban yang
dikenakan
kepada
penyelenggara
jaringan
dan
atau
jasa
telekomunikasi sebagai kompensasi atas perizinan yang diperolehnya dalam penyelenggaraan jaringan dan atau jasa telekomunikasi yang besarnya
ditetapkan berdasarkan persentase dari
pendapatan dan
merupakan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNPB) yang disetor ke kas negara. Seluruh ketentuan pelaksanaan dari Undang-Undang No. 36 Tahun 1999 diatur lebih lanjut di dalam Peraturan Pemerintah No. 52 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi.
B. Penyelenggaraan Telekomunikasi Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 52 Tahun 2000 Di dalam Peraturan Pemerintah No. 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi dikemukakan beberapa pengertian dari penyelenggara telekomunikasi yaitu : a. Penyelenggara telekomunikasi adalah perseorangan, koperasi, badan usaha milik negara, badan usaha
swasta, instansi pemerintah, dan instansi
pertahanan keamanan negara. b. Penyelenggaraan telekomunikasi adalah kegiatan penyediaan dan atau pelayanan telekomunikasi sehingga memungkinkakn terselenggaranya telekomunikasi.
40
c. Penyelenggara jaringan teleomunikasi adalah penyediaan dan atau pelayanan jaringan telekomunikasi yang memungkinkanterselenggaranya telekomunikasi. d. Penyelenggaraan jasa telekomunikasi adalah kegiatan penyediaan dan atau pelayanan jasa telekomunikasi yang memungkinkan terselenggaranya telekomunikasi. e. Penyelenggara
telekomunikasi
khusus
adalah
penyelenggaraan
telekomunikasi yang sifat, peruntuk dan pengoprasiannya khusus. Lebih lanjut dalam pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 52 Tahun 2000 dinyatakan bahwa penyelenggara telekomunikasi meliputi : a. Penyelenggara jaringan komunikasi ; b. Penyelenggaraan jasa telekomunikasi ; c. Penyelenggaraan telekomunikasi khusus. Penyelenggaraan telekomunikasi ini tidak hanya pemerintah yang dapat menyelenggarakan telekomunikasi, tetapi usaha swasta pun dapat menjadi penyelengaraan telekomunikasi (termasuk BUMN yang telah diswastakan) dan koperasi dengan catatan kepemilikan swasta dan koperasi nasional lebih besar dari kepemilikan swasta asing. Dalam hal penyelenggaraan telekomunikasi terdapat perbedaan antara penyelenggara telekomunikasi.
jaringan
telekomunikasi
Perbedaan
tersebut
dan
terletak
penyelenggaraan pada
pemberian
jasa izin
penyelenggaraannya yang didasarkan hanya pada kelayakan usaha calon penyelenggara
untuk
menyelenggarakan
jenis
telekomunikasi
yang
41
bersangkutan. Dalam Peraturan Pemerintah No. 52 Tahun 2000 Pasal 8 dinyatakan bahwa: 1) Penyelenggara jaringan telekomunikasi dapat menyelenggarakan jasa telekomunikasi melalui jaringan yang dimiliki dan disediakannnya; 2) Penyelenggaraan jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus merupakan kegiatan usaha yang terpisah dari penyelenggara jaringan yang sudah ada; 3) Untuk menyelenggarakan jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) penyelenggara
jaringan
telekomunikasi
wajib
mendapatkan
izin
penyelenggaraan jasa telekomunikasi dari menteri. Sesuai
dengan
hal
tersebut,
maka
penyelenggara
jaringan
telekomunikasi dapat menyelenggarakan jasa telekomunikasi melalui jaringan yang disediakan tetapi penyelenggara jasa telekomunikasi dalam kegiatan usahanya harus terpisah dari penyelenggara jaringan yang sudah ada. Perlu diketahui bahwa kategori penyelenggaraan jasa telekomunikasi di dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 1999 tidak lagi membedakan antara jasa telekomunikasi dasar dan nondasar, seperti yang sekarang berlaku dalam penyelenggaraan telekomunikasi. Mengenai penyelenggaraan jasa telekomunikasi dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 52 Tahun 2000 dinyatakan bahwa dalam penyelenggaraan jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b, penyelenggaraan jasa telekomunikasi menggunakan jaringan telekomunikasi milik penyelenggara jaringan telekomunikasi. Kemudian
42
dalam Pasal 14 Peraturan Pemerintah No. 52 Tahun 2000, dinyatakan tetang siapa yang menjadi penyelenggara jasa telekomunikasi antara lain: a. Penyelenggara jasa telepon dasar adalah penyelenggara jasa telepon, telegraf, teleks dan faksimili; b. Penyelenggara jasa nilai tambah telepon adalah penyelenggara jasa yang menawarkan layanan nilai tambah untuk telepon dasar antara lain jasa telepon melalui jaringan pintar, kartu panggil (calling card), jasa-jasa dengan teknologi interaktif voice response dan radio panggil untuk umum. c. Penyelenggara jasa multimedia adalah penyelenggara jasa telekomunikasi yang menawarkan layanan berbasis teknologi informasi termasuk di dalamnya antara lain penyelenggara jasa internet telepon, jasa akses internet dan jasa aplikasi multimedia pita besar. Pada Pasal 15 Peraturan Pemerintah No. 52 Tahun 2000 dinyatakan bahwa penyelenggara jasa telekomunikasi wajib menyediakan fasilitas telekomunikasi untuk menjamin kualitas pelayanan jasa telekomunikasi yang baik dan wajib memberikan pelayanan yang sama kepada pengguna jasa telekomunikasi dalam menyediakan fasilitas telekomunikasi penyelenggara jasa telekomunikasi wajib mengikuti ketentuan teknis dalam Rencana Dasar Teknis yang mana diatur dalam Keputusan Menteri. Penyelenggara jasa telekomunikasi dikenakan biaya interkoneksi seperti yang tertera dalam Pasal 23 Peraturan Pemerintah No. 52 Tahun 2000 dinyatakan bahwa:
43
1. Dalam menyelenggarakan jasa telekomunikasi melalui dua penyelenggara jaringan atau lebih, dikenakan biaya interkoneksi; 2. Biaya interkoneksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan berdasarkan perhitungan yang transparan, disepakati bersama dan adil; 3. Biaya
interkoneksi
dikenakan
kepada
penyelenggara
jaringan
telekomunikasi asal; 4. Apabila terjadi perbedaan besarnya biaya penggunaan interkoneksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), para penyelenggara jaringan telekomunikasi dapat melakukan penyelesaian upaya hukum melalui pengadilan atau di luar pengadilan. Ketersambungan perangkat milik penyelenggara jasa telekomunikasi dengan jaringan telekomunikasi dilaksanakan secara transparan dan tidak diskriminatif. Sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 16 Undang-Undang No. 36 Tahun 1999 tentang kontribusi dalam pelayanan universal, maka kontribusi pelayanan universal tersebut lebih lanjut diatur dalam Pasal 26 ayat (2) dan Pasal 27 Peraturan Pemerintah No. 52 Tahun 2000. Pasal 26 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 52 Tahun 2000 menyatakan bahwa kontribusi kewajiban pelayanan universal berupa : a. Penyediaan jaringan dan atau jasa telekomunikasi; b. Kontribusi dalam bentuk komponen biaya interkoneksi atau c. Kontribusi lainnya.
44
Kemudian dalam Pasal 27 Peraturan Pemerintah No. 52 Tahun 2000 disebutkan antara lain bahwa untuk pelaksanaan kewajiban pelayanan universal menteri menetapkan : a. Wilayah tertentu sebagai wilayah pelayanan universal; b. Jumlah kapasitas jaringan di setiap wilayah pelayanan universal; c. Jenis jasa telekomunikasi yang harus disediakan oleh penyelenggara jasa telekomunikasi di setiap wilayah pelayanan universal; d. Penyelenggara jaringan telekomunikasi yang ditunjuk untuk menyediakan jaringan telekomunikasi di wilayah pelayanan universal. Dalam hal penyelenggara jaringan dan jasa telekomunikasi di masa depan, telekomunikasi Indonesai mempunyai karakteristik multi operator, berdasarkan persaingan dan pro-konsumen. Penyelenggara jaringan dan jasa telekomunikasi ini, selain dipegang oleh PT. Telkom Tbk dan PT. Indosat Tbk sebagai penyelenggara, juga terdapat operator lain yaitu usaha swasta dan koperasi
yang
mempunyai
kelayakan
usaha
dan
mendapat
izin
penyelenggara.24 Di dalam Peraturan Pemerintah No. 52 Tahun 2000 dikemukakan bahwa dalam penyelenggaraan telekomunikasi tidak ada keharusan lagi untuk bekerja
sama
antar
penyelenggara
untuk
dapat
menyelenggarakan
telekomunikasi. Pada saat ini, badan lain atau usaha swasta tanpa harus bekerja sama dengan badan penyelenggara dapat menyelenggarakan jasa telekomunikasi
24
www.postel.go.id, diunduh tanggal 31 September 2010.
45
mendasar, yang meliputi antara lain jasa akses internet, premium call, telepon umum dan wartel karena modal yang diperlukan relatif tidak besar, usaha kecil dan menegah kebanyakan aktif dalam penyelenggara jasa ini yang diselenggarakan secara kompetitif. Di masa depan meskipun tidak lagi dinamakan jasa telekomunikasi nondasar, jenis jasa-jasa tersebut terus meningkat, sehingga peluang bagi usaha kecil dan menengah untuk berusaha akan jauh lebih besar. Dalam hal tarif jasa telekomunikasi, pada saat ini diatur oleh pemerintah sedangkan untuk masa yang akan datang jasa telekomunikasi yang penguasaan pasar penyelenggaraannya dominan sekali tarif ditentukan olah regulator dengan berorientasi pada biaya. Untuk jasa telekomunikasi yang para penyelenggaraannya kurang lebih mempunyai penguasaan pasar yang setara, tarif ditentukan oleh mekanisme pasar. Di dalam ketentuan pertelekomunikasian Indonesia yang baru yaitu Udang-Undang No. 36 Tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah No. 52 Tahun 2000 dinyatakan bahwa semua penyelenggara jaringan telekomunikasi dan penyelenggaran jasa telekomunikasi harus mempuntyai izin dengan status dan wewenang yang sama untuk jenis penyelenggaraan telekomunikasi yang sama. Penyelenggara
jaringan
telekomunikasi
tidak
lagi
telekomunikasi diwajibkan
dan
penyelenggara
mengadakan
kerjasama
jasa untuk
menyelenggarakan telekomunikasi, seperti dalam Undnag-Undang No. 3 Tahun 1989 yang mengharuskan badan lain (usaha swasta) bekerjasama dengan badan penyelenggara untuk menyelenggarakan jasa telekomunikasi dasar.
46
C. Prinsip-prinsip Penyelenggaraan Telekomunikasi Dalam penyelenggaraan dari pelayanan telekomunikasi, dikenal beberapa prinsip yang harus dipatuhi oleh para peyelenggara, baik yang mempunyai posisi dominan, operator incumbent, maupun pendatang baru. Prinsip-prinsip
ini
diperlukan
untuk
menjaga
agar
penyelenggaraan
telekomunikasi dapat dilakukan secara efisien dan dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat dan menjangkau seluruh wilayah Indonesia termasuk wilayah terpencil. Tanpa kepatuhan terhadap prinsip-prinsip tersebut akan terjadi hambatan diantaranya adalah terjadinya kecenderungan peyelenggara untuk mendominasi pasar yang akan berakibat terjadinya monopoli, kemudian dengan terjadinya monopoli maka akan sulit dicapai penyediaan layanan jasa dengan harga yang kompetitif. Beberapa
prinsip
yang
penting
dalam
penyelenggaraan
telekomunikasi, yaitu : a) Non entry-barrier Pengertian dari prinsip ini adalah bahwa operator tidak boleh saling menghambat untuk masuk ke pasar. Secara umum, Undang-Undang No. 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi melarang semua tindakan yang bersifat menghambat operator telekomunikasi memasuki pasar. Hal ini tercermin dalam Pasal 10 yang menyatakan bahwa dalam penyelenggaraan telekomunikasi dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan
47
terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat di antara penyelenggara telekomunikasi. b) Non-diskriminasi Penyelenggara telekomunikasi diwajibkan memberikan pelayanan yang sama kepada para pelanggan dan pengguna telekomunikasi tanpa diskriminasi. Hal ini tercermin dari Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000 Tentang Penyelenggara Telekomunikasi yang menyatakan bahwa : “Penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib memenuhi setiap permohonan dari calon pelanggan jaringan telekomunikasi yang telah memenuhi syarat-syarat berlangganan jaringan telekomunikasi sepanjang jaringan telekomunikasi tersedia.” Hal itu sejalan dengan Pasal 14 Undang-Undang No. 36 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa : “Setiap pengguna telekomunikasi mempunyai hak yang sama untuk menggunakan jaringan telekomunikasi dan jasa telekomunikasi dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Prinsip non-diskriminasi ini bukan hanya diberlakukan terhadap pelanggan ataupun pengguna akhir jasa telekomunikasi, namun juga diberlakukan terhadap pengguna jasa atau jaringan telekomunikasi yang berupa operator lain yang menggunakan jaringan atau jasa dengan skim interkoneksi. Hal ini dapat kita lihat pada Pasal 21 Undang-Undang No. 36 Tahun
1999
tentang
Telekomunikasi
yang
menyatakan
bahwa
“Penyelenggara jaringan telekomunikasi dilarang melakukan diskriminasi
48
dalam penyediaan interkoneksi.” Demikian pula pada Pasal 24 yang menyatakan bahwa “Ketersambungan perangkat milik penyelenggara jasa telekomunikasi dengan jaringan telekomunikasi dilaksanakan secara transparan dan tidak diskriminatif.” c) Larangan subsidi silang Subsidi silang dilakukan diantara : 1) Bisnis versus Residensial Dalam hal ini, pelanggan bisnis dikenakan tarif lebih tinggi daripada pelanggan residensial untuk jasa yang sama. Apabila hal ini terjadi untuk suatu wilayah pelayanan, seorang pelanggan yang membuka usaha di sebuah toko dan yang lainnya adalah pelanggan rumah tangga biasa, biaya yang dikeluarkan untuk pengadaan jasa untuk kedua pelanggan tersebut adalah sama besarnya, maka terjadi subsidi silang yaitu pelanggan bisnis memberi subsidi kepada pelanggan residensial. 2) Urban versus Rural Biaya untuk penyelengaraan telepon per pelanggan di daerah perkotaan lebih rendah dari biaya penyelenggaraan di daerah pedesaan, karena lebih banyak pelanggan yang dapat dilayani oleh satu sentral telepon di perkotaan daripada satu sentral telepon di pedesaan dengan kapasitas yang sama. Apabila tarif yang dikenakan sama, maka terjadi
49
subsidi silang dalam bentuk pengenaan tarif yang sama untuk pelayanan yang memerlukan biaya yang berbeda. 3) SLJJ versus Lokal Dalam upaya menambah pelanggan lokal, penyelenggara menurunkan biaya pemasangan telepon baru dan tarif yang dikenakan untuk pembicaraan lokal, namun di balik itu penyelenggara menaikkan tarif yang dikenakan untuk pembicaraan interlokal. Dalam hal ini terjadi subsidi silang dari pengguna SLJJ ke pengguna lokal. 4) Rute Padat versus Rute Tidak Padat Biaya untuk panggilan SLJJ cenderung lebih tinggi apabila semakin jauh rute lintasan panggilan dan semakin lama pembicaraan dilakukan dan tarif dikenakan berdasarkan kedua unsur tersebut, akan tetapi apabila ada waktu dan jarak relatif sama, maka frekuensi percakapan
mempengaruhi
biaya,
semakin
banyak
percakapan
dilakukan, maka akan semakin rendah biaya. Hal itu akan menyebabkan terjadinya subsidi silang antara percakapan di rute yang padat ke percakapan di rute yang sepi. Di pasar telekomunikasi selalu terdapat kekuatiran terhadap kemungkinan operator telekomunikasi incumbent yang dominan akan melakukan penyalahgunaan posisi dominan yang dimilikinya dengan melakukan tindakan subsidi silang yang ditujukan untuk menghambat pesaingnya yang sama.
50
Salah satu cara menghapuskan subsidi silang adalah dengan menerapkan rebalancing tariff, yaitu dengan melakukan penyesuaian tarif-tarif pada jasa-jasa yang berbeda sehingga lebih mendekati biayabiaya (costs) yang menjadi beban penyelenggara. Rebalancing ini hampir sama pengertiannya dengan efficient pricing yang dilakukan di pasar yang kompetitif.
D. Pengaturan Persaingan Usaha Dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Pada hakikatnya orang menjalankan kegiatan usaha adalah untuk memperoleh keuntungan dan penghasilan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup. Atas dasar untuk memenuhi kebutuhan hidup itulah yang mendorong banyak orang menjalankan kegiatan usaha, baik kegiatan usaha yang sejenis maupun kegiatan usaha yang berbeda. Keadaan yang demikian itulah sesungguhnya yang menimbulkan atau melahirkan persaingan usaha di antara para pelaku usaha. Oleh karena itulah, persaingan dalam dunia usaha merupakan hal yang biasa terjadi. Bahkan dapat dikatakan persaingan dalam dunia usaha itu merupakan conditio sine qua non atau persyaratan mutlak bagi terselenggaranya ekonomi pasar.25 Persaingan usaha merupakan prasyarat ekonomi pasar bebas yang memberikan empat keuntungan dalam pembangunan ekonomi Indonesia, yaitu terciptanya harga yang kompetitif, peningkatan kualitas hidup oleh karena 25
Hermansyah, Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008, hlm. 9.
51
inovasi yang terus-menerus, mendorong dan meningkatkan mobilitas masyarakat, serta adanya efisiensi baik efisiensi produktif maupun alokatif. Namun demikian, keuntungan tersebut dapat kita nikmati hanya jika terdapat faktor-faktor penentu, yaitu: stabilitas dan prediktabilitas hukum, keadilan, pendidikan, dan kemampuan aparat penegak hukum.26 Persaingan dalam dunia usaha antara pelaku usaha akan mendorong pelaku usaha berkonsentrasi pada rangkaian proses atau kegiatan penciptaan produk dan jasa terkait dengan kompetensi usahanya. Dengan adanya konsentrasi pada kompetensi usahanya, pelaku usaha sebagai produsen akan dapat menghasilkan sejumlah produk dan jasa yang memiliki kualitas yang memiliki daya saing di pasaran dalam negeri maupun luar negeri.27 1. Persaingan Usaha Secara Umum Berkaitan dengan hal persaingan usaha, maka keberadaan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentigan umum tersebut mempunyai peranan yang sangat penting dan strategis dalam mewujudkan iklim persaingan usaha yang sehat di Indonesia. Kelahiran undang-undang ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan yang sama kepada setiap pelaku usaha dalam berusaha, dengan cara mencegah timbulnya praktek-
26
http://cenuksayekti.wordpress.com/2009/11/21/hukum-persaingan-usaha-danpembangunan-ekonomi-di-indonesia/, diunduh tanggal 31 Agustus 2010. 27 Hermansyah, Op.cit , hlm. 10.
52
praktek monopoli atau persaingan usaha yang tidak sehat lainnya dengan harapan dapat menciptakan iklim usaha yang kondusif, dimana setiap pelaku usaha dapat bersaing secara wajar dan sehat.28 Di dalam UU Antimonopoli tidak ditetapkan definisi persaingan usaha, karena persaingan usaha itu mempunyai fenomena yang beragam dan mencakup berbagai macam pengertian dalam perekonomian modern sehingga tidak terdapat kesamaan pendapat mengenai definisi dari persaingan usaha. Oleh karena itu untuk menetapkan suatu persaingan usaha yang sehat, ditetapkanlah ketentuan-ketentuan normatif di dalam UU Antimonopoli tersebut, baik itu mengenai perjanjian yang dilarang (pasal 4 sampai pasal 16), kegiatan yang dilarang (pasal 17 sampai pasal 24), maupun mengenai posisi dominan, jabatan rangkap dan mengenai merger dan akuisisi (pasal 25 sampai pasal 29). Jika ketentuan-ketentuan tersebut tidak dilanggar oleh pelaku usaha, maka dapat dikatakan, bahwa pada suatu pasar tertentu tercipta suatu persaingan usaha yang sehat.29 Dapat disimpulkan bahwa suatu persaingan usaha tidak sehat terjadi pada suatu pasar tertentu, apabila ketentuan-ketentuan UU Antimonopoli tersebut dilanggar oleh pelaku usaha. Dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat menyatakan bahwa : “Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau 28 29
2010.
Rachmadi Usman,Op.cit, hlm. 8. http://www.sinarharapan.co.id/berita/0303/19/eko08.html, diunduh tanggal 1 September
53
pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.” 2. Ruang Lingkup Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Jika kita telusuri ketentuan dalam Undang-Undang No. 5 tahun 1999 Tentang larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, maka tindakan–tindakan yang berhubungan dengan pasar yang perlu diatur oleh hukum anti monopoli yang sekaligus merupakan ruang lingkup dari hukum anti monopoli tersebut adalah sebagai berikut: a) Perjanjian yang dilarang; b) Kegiatan yang dilarang; c) Penyalahgunaan posisi dominan; d) Komisi Pengawas Persaingan Usaha; e) Tata cara penanganan perkara; f) Sanksi-sanksi; g) Perkecualian-perkecualian. 3. Asas dan Tujuan dari Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat terdapat asas dan tujuan dalam menjalankan kegiatan usaha bagi para pelaku usaha. Menurut Pasal 2 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa: “Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.”
54
Berkaitan dengan tujuan, hal ini diatur dalam Pasal 3 UndangUndang No. 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa : “ Tujuan pembentukan undang-undang ini adalah : a. Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat; b. Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah dan pelaku usaha kecil; c. Mencegah praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha; d. Terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.” Dengan menyimak tujuan di atas, kita dapat mengatakan bahwa pada dasarnya tujuan dari Undang-Undang Antimonopoli adalah untuk menciptakan efisiensi pada ekonomi pasar dengan mencegah monopoli, mengatur persaingan yang sehat dan bebas dan memberikan sanksi terhadap para pelanggarnya. Dengan kata lain, eksistensi Undang-Undang Antimonopoli adalah untuk memastikan bahwa sistem ekonomi yang berdasarkan persaingan usaha, dapat memotivasi para pelaku usaha untuk menghasilkan produk barang dan/ atau jasa yang berkualitas dan harga yang terjangkau oleh konsumen dengan memanfaatkan sumber produksi yang seminimal mungkin. 4. Pendekatan Dalam Hukum Persaingan Usaha Dalam hukum persaingan usaha dikenal beberapa pendekatan dalam penerapannya, yaitu :30 30
Hermansyah,Op.cit, hlm. 74.
55
a. Pendekatan Perse Illegal Menurut Dr. Sutrisno Iwantono, MA dalam tulisannya yang berjudul “Perse Illegal dan Rule of Reason dalam Hukum Persaingan Usaha” yang dimaksud dengan perse illegal adalah suatu perbuatan yang secara inheren bersifat dilarang atau ilegal. Terhadap suatu perbuatan atau tindakan atau praktek yang bersifat dilarang atau ilegal tanpa perlu pembuktian terhadap dampak dari perbuatan tersebut.31 Mengenai apa yang dimaksud dengan perse illegal itu dapat juga diartikan sebagai suatu terminologi yang menyatakan bahwa suatu tindakan dinyatakan melanggar hukum dan dilarang secara mutlak, serta tidak diperlukan pembuktian apakah tindakan tersebut memiliki dampak negatif terhadap persaingan usaha. b. Pendekatan Rule of Reason Pendekatan Rule of Reason yaitu penerapan hukum dengan mempertimbangkan alasan-alasan dilakukannya suatu tindakan atau suatu perbuatan oleh pelaku usaha. Dengan perkataan lain, melalui pendekatan rule of reason, apabila suatu perbuatan dituduh melanggar hukum persaingan, maka pencari fakta harus mempertimbangkan dan menentukan apakah perbuatan tersebut menghambat persaingan dengan menunjukkan akibatnya terhadap proses persaingan dan apakah perbuatan tu tidak adil atau mempunyai pertimbangan lainnya. Pertimbangan atau argumentasi yang perlu dipertimbangkan antara lain
31
http://www.google.co.id/search?hl=id&q=perse+illegal+dan+rule+of+reason+dalam+hukum +pesaingan+usaha&aq=o&aqi=&aql=&oq=&gs_rfai=, di unduh tanggal 18 desember 2010.
56
adalah aspek ekonomi, keadilan, efisiensi, perlindungan terhadap golongan ekonomi tertentu dan fairness. c. Pendekatan lain Terdapat dua pendekatan lain, yaitu pendekatan de minimis rule yang merupakan pengecualian melakukan kartel bagi pelaku usaha sepanjang tidak mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat (unfair competition). Pendekatan lain adalah pendekatan teori teleologisch, yaitu teori yang menerapkan ketentuan Undang-Undang Antimonopoli sesuai dengan tujuan undang-undang yang bersangkutan.