BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Oksida Nitrogen (NOx) Molekul nitrogen terdapat 80% di alam diantaranya membentuk oksida nitrogen, menghasilkan beberapa senyawa yaitu N2O, NO, N2O3, NO2, N2O5 tergantung dari kondisi reaksinya. Oksida nitrogen di udara banyak terdapat dalam bentuk Nitrogen monoksida (NO) dan nitrogen dioksida (NO2) memiliki peranan besar dalam pencemaran udara. NO merupakan gas yang tidak berbau dan tidak berwarna, sedangkan NO2 merupakan gas berwarna coklat kemerahan dan memiliki bau yang khas, total konsentrasi NO dan NO2 di udara biasa disebut dengan NOx. Gas NOx berasal dari hasil pembakaran bahan bakar fosil yang digunakan dalam transportasi dan industri. Gas NOx juga dihasilkan secara alami di udara, reaksi temal gas nitrogen di udara yang membentuk ikatan antara molekul N dan O dibantu oleh kilat dan halilintar pada temperatur 1200°C-1765°C membentuk reaksi (2.1) dan (2.2). N2 (g) + O2(g) → 2NO (g)
...reaksi (2.1)
2NO (g) + O2 (g) → 2NO2 (g)
...reaksi (2.2)
Komposisi dan konsentrasi gas NOx di udara bervariasi, tergantung pada tempat, waktu dan kondisi cuaca di lingkungan. Sebagai contoh jumlah NO2 pada daerah perkotaan cenderung meningkat, karena banyaknya sumber pembakaran yang mengahasilkan gas NOx (Ono et al., 2000).
5
Masalah utama yang diakibatkan dari pencemaran gas NOx diantaranya adalah hujan asam dan kabut fotokimia. Hujan asam terjadi karena bereaksinya gas NO dengan oksigen dan uap air di atmosfer sehingga menghasilkan asam nitrat, mengakibatkan air hujan yang turun akan memiliki pH yang rendah (reaksi 2.3). 4 NO (g) + O2 (g) + 2 H2O (l) → 4 HNO2 (aq)
...reaksi (2.3)
Hujan asam dapat menyebabkan kerusakan pada benda-benda yang terbuat dari logam, kendaraan, bangunan-bangunan bersejarah, jaringan luar pada tumbuhtumbuhan, dan biota laut. Kabut fotokimia terjadi karena adanya interaksi gas NOx dengan hidrokarbon hasil emisi yang dibantu sinar ultraviolet. Kabut fotokimia berbahaya bagi manusia karena dapat menyebabkan iritasi pada mata, kulit, dan paru-paru. Selain itu kabut fotokimia juga dapat menyebabkan kerusakan pada tumbuhan. Gas NOx pada konsentrasi 40–100 µg/m³ dapat menimbulkan efek yang sangat berbahaya bagi manusia sampai menyebabkan kematian (wikipedia, 2008). Untuk menentukan konsentrasi gas NOx di udara telah di lakukan dengan menggunakan
peralatan
spektroskopi
analitik
yang bekerja berdasarkan
luminesensi kimia atau serapan inframerah, spektroskopi resonansi ion, kromatografi gas spektroskopi massa. Spektroskopi analitik yang bekerja berdasarkan luminesensi kimia atau serapan inframerah peralatan tersebut sangat mahal, tidak dapat digunakan langsung di lapangan, dan diperlukan waktu yang lama untuk mengetahui konsentrasi gas NOx (Miura et al., 1994). Spektroskopi resonansi ion telah digunakan namun tidak akurat dalam analisis kuantitatif,
7
kromatografi gas spektroskopi massa juga digunakan untuk mendeteksi gas NOx di udara namun hanya dapat digunakan pada temperatur yang rendah (Szabo et al., 2003). Metode lain yang dapat digunakan untuk mendeteksi NOx di udara adalah dengan metode elektroanalisis dengan mengembangkan sensor elektrokimia yang merupakan alternatif metode yang efektif dan efisien.
2.2 Sensor Elektrokimia. Sensor adalah alat yang mengubah suatu besaran fisis ke suatu besaran terukur sehingga dapat dianalisis dengan rangkaian listrik tertentu. Di bawah ini terdapat Tabel 2.1 yang memperlihatkan jenis sensor, prinsip kerjanya serta besaran yang terukurnya. Tabel 2.1. Jenis-jenis sensor (Romer, 2001) Jenis Sensor
Prinsip
Nilai Terukur
Potensiometrik
EMF
Tegangan
Semikonduktor
Pergerakan ion
Hambatan
Voltametrik
Difusi arus terbatas
Arus
sebagai fungsi voltase Amperometik
Difusi arus terbatas pada
Arus
voltase yang digunakan
Sensor kimia merupakan peralatan deteksi yang bekerja berdasarkan reaksi antara komponen sensor dengan analit yang dapat berupa gas atau ion, menghasilkan signal elektrik yang setara dengan konsentrasi analit. Berdasarkan prinsip kerjanya sensor kimia dibagi menjadi sensor elektrokimia, sensor optik, sensor piezo-elektrik, dan sensor termal. Sensor kimia banyak digunakan pada
proses-proses kimia, memonitoring gas-gas berbahaya, mendeteksi penyakit pada tubuh manusia. Sensor elektrokimia merupakan sensor kimia yang bekerja berdasarkan reaksi elektrokimia. Reaksi redoks spontan terjadi pada sel elektrokimia menghasilkan arus elektron. Arus ini akan di deteksi oleh detektor dan dirubah menjadi signal analitis. Sensor elektrokimia yang dikembangkan untuk sensor gas adalah sensor amperometrik dan potensiometrik. Sensor amperometrik bekerja berdasarkan pengukuran arus yang dihasilkan dari reaksi elektrokimia yang melibatkan analit. Arus yang dihasilkan nilainya akan sebanding dengan konsentrasi analit. Sedangkan untuk sensor potensiometrik bekerja berdasarkan pengukuran potensial tanpa pengukuran arus yang diukur adalah voltase dari sel. Besarnya potensial yang terukur digunakan untuk menentukan konsentrasi beberapa komponen dari suatu gas atau larutan analit secara analitik. Sensor potensiometrik dapat mendeteksi gas dengan material yang beraneka ragam, namun sensitifitas sensor potensiometrik lebih rendah dibandingkan dengan sensor amperometrik. Hal ini terjadi karena arus respon pada sensor amperometrik sebanding dengan konsentrasi analitnya, sehingga perubahan konsentrasi sekecil apapun dapat terdeteksi (Do et al., 2007). Sensor gas amperometrik memilki struktur yang sederhana, dapat diandalkan, mudah digunakan serta murah (Miura et al., 1994). Pada sensor elektrokimia untuk mendeteksi gas umumnya terdiri atas elektroda kerja (sensing electrode), counter electrode dan elektroda pembanding
9
(refrence elctrode). Elektroda kerja berfungsi untuk berinteraksi dengan gas yang akan diukur, pada bagian ini akan terjadi reaksi oksidasi dan reduksi sehingga dihasilkan elektron pada elektroda kerja berpindah. Elektroda lainnya (counter electrode dan reference electrode) berfungsi untuk mengatur kesetimbangan muatan dan mengontrol kinerja sensor yang ditunjukan pada gambar 2.1. Perbedaan muatan antara elektroda kerja dan elektroda pembentu digunakan untuk menghasilkan aliran elektrik yang merupakan sinyal keluaran pada sensor. Keterangan Gambar : 1. Elektroda kerja 2. Elektroda pembanding 3. Counter electrode Gambar 2.1 Jenis-jenis elektroda pada sensor elektrokimia Komponen penting pada sensor gas amperometrik lainnya adalah elektrolit padat atau Solid Ionic conductor (SIC) (Gellings dan Bouwmester, 1997). Konduktor ionik padat merupakan komponen yang penting pada sensor gas amperometri, komponen ini berfungsi menghantarkan arus yang timbul pada elektroda kerja. Salah satu konduktor ionik yang sering digunakan pada sensor gas adalah NASICON (Natrium Super Ionic Conductor) merupakan konduktor super ionik berbasis natrium. Sensor amperometrik gas NOx dengan konduktor ionik padat NASICON dan fasa pendukung NaNO2 memiliki susunan seperti pada Gambar 2.2.
Gambar 2.2. Skema sensor amperometrik gas NOx (Ono et al., 2001)
2.3 Konduktor Ionik Konduktor ionik adalah konduktor yang daya hantarnya dihantarkan oleh ion yang bergerak. Struktur dan sifat elektrolit padat merupakan keadaan intermediet dari padatan kristal normal yang memiliki struktur tiga dimensi dan ion yang immobile (tidak bergerak bebas) dengan larutan elektrolit yang memiliki ion-ion yang mobile (bergerak bebas). Konduktor ionik memiliki sifat diantara kristalin padat dan elektrolit cair. Berdasarkan jenis muatan yang dihantarkan, konduktor ionik dibagi menjadi konduktor kation dan anion. Konduktor kation berbasis ion adalah Li+ (LiCoO2, LiNiO2), Ag+ (AgI & RbAg4I5), Na+ (NASICON), sedangkan konduktor anion berbasis ion adalah F- (PbF2) dan O2- (δ-Bi2O3). Daya hantar dari elektrolit padat berasal dari pergerakan ion-ionnya. Dalam batas tertentu, migrasi ion tidak dapat terjadi dalam kebanyakan padatan yang memiliki ikatan ionik dan ikatan kovalen. Atom-atom cenderung pada
11
kisinya dan hanya dapat berpindah melalui cacat kristal.
Ion-ion ini dapat
bergerak dengan mudah karena adanya ketidakteraturan atau cacat dalam struktur kristal bahan tersebut. Ketidakteraturan posisi atom atau adanya cacat dalam struktur menyebabkan tersedianya posisi kosong pada tempat-tempat tertentu dalam kristal. Posisi yang kosong ini dapat diisi oleh atom lain di sekitarnya dan meninggalkan posisi kosong yang baru, demikian seterusnya sehingga ion dalam kristal tersebut dapat berpindah-pindah, Inilah yang berperan dalam tingginya konduktifitas ionik elektrolit padat. Padatan konduktor ionik memiliki nilai konduktifitas 10
-3
S/cm < δ < 10 S/cm konduktor ionik yang memiliki nilai
konduktifitas lebih besar dari 10-4 S/cm – 10-5 S/cm pada suhu ruangan disebut fast ion atau superionic conductor yang memiliki ion yang dapat bergerak dengan mudah. Fast ion conductors dapat diperoleh dari bahan organik maupun anorganik. Fast ion conductors dari bahan organik adalah gel poliakrilmida, ionomer seperti nafion, dan litium perklorat dalam polietilen oksida. Sedangkan fast ion conductors yang berasal dari bahan anorganik diantaranya adalah natrium klorida, perak sulfida, perak iodida, dan keramik konduktor seperti NASICON.
2.4 Natrium Super Ionic Conductor (NASICON) NASICON atau Natrium Super Ionic Conductor pertama kali ditemukan oleh Hong dan Goodenough pada tahun 1976. NASICON terbentuk dari campuran Na2CO3, SiO2, ZrO2 dan NH4HPO4 pada suhu 1125°C membentuk Na3Zr2Si2PO12., memiliki kerangka tiga dimensi kaku yang dibangun oleh struktur tetrahedral PO4 dan SiO4 yang berikatan dengan oktahedral ZrO6, masing-masing
tetrahedral PO4 dan SiO4 berikatan dengan empat oktahedral ZrO6. Sudut tetrahedral PO4 dan SiO4, gugus O, dan sudut oktahedral ZrO6 membentuk ruang intertisi yang terhubung dalam bentuk tiga dimensi, seperti yang terlihat pada gambar 2.3.
Gambar 2.3 Struktur NASICON (Goodenough et al., 1976) Area penampang lintang terkecil interstisi membentuk “bottleneck” dengan diameter terkecilnya lebih besar daripada dua kali jumlah jari-jari anion dan ion alkali. Bottleneck ini berbentuk heksagon seperti terlihat pada Gambar 2.4. Diameter terkecil dari bottleneck adalah 4,9 Ǻ yang melebihi dua kali jumlah jari-jari Na+ dan O2- (Hong, 1976). Pada gambar 2.5 menunjukan bentuk geometri bottleneck pergerakan Na+ yang menyebabkan NASICON memilki sifat konduktor ionik ionik.
Gambar 2.4. Bottleneck pada struktur NASICON (Hong, 1976)
13
Gambar 2.5 Bottleneck pergerakan ion Na+ pada NASICON (Kumar, 2006) NASICON dapat disintesis melalui metode padat-padat atau metode solgel. Pada metode padat-padat, penelitian yang pernah dilakukan menggunakan campuran Na2CO3, SiO2, ZrO2, dan NH4HPO4 (Goodenough dan Hong (1976)). Campuran Na2CO3, ZrSiO4, Na2HPO4, dan H3PO4 ((Lee et al (2003), Kale et al (2003), Banga et al (2004), dan Sadaoka eta al (2007)). Campuran sederhana antara ZrSiO4 dan Na3PO4 ((Ono et al (2000), Kida et al (2001), dan Min et al (2003)) digunakan dalam sintesis NASICON sebagai komponen sensor gas CO2, NO2 dan SO2. Sedangkan pada metode sol-gel dilakukan dengan beberapa peraksi yang berbeda diantaranya Zr(OC3H7)4, Na2O-3H2O dan NH4H2PO4 (Yang, Y dan Liu, C.C., 2000); asam hidroksi dengan ZrO(NO3)2 8H2O, (NH4)2HPO4 dan Na2SiO3.9H2O (Youchi Shimizu dan Takashi Usijima., 2000); ZrO(NO3)2, NaNO3, Si(C2H5O)4 dan (NH4)2PO4 (Fabin Qui et al., 2003). Untuk menguji keberhasilan sintesis, NASICON yang dihasilkan biasanya dikarakterisasi menggunakan difraksi sinar-X
dan spektroskopi infra merah.
Difraksi sinar–X merupakan cara yang banyak digunakan untuk menentukan
struktur suatu kristal. Pola difraksi sinar-X untuk satiap kristal sangat khas. Gambar 2.6 menunjukan pola difraksi sinar-X pada NASICON. Puncak-puncak yang menunjukan NASICON berada pada 2θ = 14, 19, 20, 22, 27.5, 32, 41,46, dan 53. Sedangkan ZrO2 berada pada 2θ = 35, 35.5, 50, 60 (Mouzer et al, 2003).
Gambar 2.6 Pola XRD NASICON menggunakan metode sol-gel (Mouzer et al, 2003) ZrO2 merupakan salah satu hasil sampingan pada pembentukan NASICON. Keberadaan ZrO2 dapat mempengaruhi konduktifitas NASICON pada suhu rendah. Spektroskopi infra merah digunakan untuk mengetahui gugus fungsi pada NASICON. Gugus fungsi berasal dari sekelompok atom yang memiliki energi vibrasi yang khas. Vibrasi-vibrasi atom akan menyerap sinar infra merah pada bilangan gelombang tertentu. NASICON memberikan spektra serapan yang khas disekitar bilangan gelombang 400-1600 cm-1. Puncak serapan pada bilangan
15
gelombang 800-1091 cm-1 menunjukan adanya vibrasi ulur (streching) dari ZrO6, PO43-, SiO44- dan bilangan gelombang 420-750 cm-1 menunjukan adanya vibrasi tekuk (bending) dari ZrO6, PO43-, SiO44- (Zhang et al., 2003). Gambar 2.7 menunjukan pola serapan infra merah NASICON dengan metode sol-gel.
Gambar 2.7 Spektra inframerah NASICON (Qiu et al., 2003) Mikrostruktur pada permukaan
NASICON dikarekterisasi dengan
menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM) dan konduktifitas ionik dari NASICON
menggunakan
Impendance
Spectroscopy
(IS).
Gambar
menunjukan mikrographi dari NASICON.
Gambar 2.8. Mikrographi dari NASICON (Han Byel Shim et al, 2006)
2.8
Nilai konduktifitas ionik memiliki peranan yang penting dalam fungsi NASICON sebagai elektrolit padat. Nilai konduktifitas ionik sangat dipengaruhi oleh kerapatan material yang diuji. Semakin tinggi kerapatan material, maka semakin tinggi nilai koduktivitasnya (Ignaszak et al., 2005). Beberapa nilai konduktifitas ionik NASICON yang telah ditunjukan, nilai konduktifitas ionik NASICON dengan metode sol-gel dari beberapa penelitian lebih besar daripada padat-padat. Tabel 2.2 memperlihatkan nilai konduktifitas ionik NASICON yang dipreparasi dengan metode sol-gel dan padat-padat Tabel 2.2 Daftar nilai konduktifitas ionik NASICON No 1 2 3 4
Nilai Konduktifitas (S cm-1) 5,2 10-3 7.6 10-4 10-3 10-3
5 6 7 8 9
9.8 10-3 4.05 10-3 2.7 10-3 2.1605 10-3 1.0612 10-4
Metode Sol-gel Sol-gel Sol-gel Sol-gel Sol-gel Sol-gel Padat-padat Padat-padat Padat-padat
Peneliti (Tahun Penelitian) Bohnke et al. (1999) Shimizu et al.(2000) Yang et al. (2000) Nakamura et al. (1996) Zhang et al. (2003) Zhang et al. (2004) Fuentes at al. (2001) Le at al. (2003) Ignaszak et al. (2005)
2.5 Metode Sol-Gel Metode sol-gel merupakan salah satu metode yang digunakan dalm pembuatan NASICON. Secara umum, metode sol-gel meliputi transisi sistem dari cairan (sol), menjadi fase padatan (gel). Sol merupakan sistem koloid padatan dengan ukuran 0.1-1 µm yang terdispersi dalam cairan. Sol terbuat dari partikel padatan yang memiliki diameter beberapa ratus nm. Padatan ini pada umumnya
17
merupakan senyawa garam logam anorganik yang tersuspensi menjadi fasa cair. Sedangkan gel adalah sistem koloid dimana baik cairan maupun padatan saling terdispersi. Pada proses sol gel jarak difusi dapat memperkecil jarak difusi dengan menigkatkan pencampuran kation-kationnya. Sehingga suhu sintesis yang diperlukan akan turun dan fasa intermedit yang menghasilkan pengotor dapat diperkecil. Produk yang dihasilkan oleh metode sol gel dapat berukuran kecil sehingga luas permukaannya lebih besar, dengan sendirinya luas area kontak antar pereaksi juga meningkat. Pada umumnya material yang digunakan untuk preparasi sol adalah garam logam anorganik. Prekursor pada proses sol gel dijadikan sasaran reaksi hidrolisis dan polimerisasi untuk membentuk suspensi koloid atau sol, kemudian fasa cair yang terbentuk mengalami kondensasi membentuk gel yang memiliki padatan berukuran makromolekul. Reaksi yang terjadi adalah : M-O-R + H2O → M-OH + R-OH …………………………(hidrolisis) M-OH + HO-M → M-O-M + H2O ……………………(kondensasi air) M-O-R + HO-M → M-O-M + R-OH …………….(kondensasi alkohol) (dengan M = Si, Zr, Ti) Tahapan-tahapan proses sol-gel meliputi pencampuran larutan logam oksida menjadi sol, pembentukan gel basah, pemanasan gel basah (suhu 25100°C) menjadi gel kering atau xerogel, pembentukan material dan terakhir adalah pengeringan.