BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Latihan Fisik 2.1.1. Definisi Menurut Caspersen,C.J. (1985) istilah " latihan fisik" telah digunakan secara bergantian dengan "aktivitas fisik" dan pada kenyataannya memiliki sejumlah elemen umum. Sebagai contoh, aktivitas fisik dan latihan fisik keduanya melibatkan gerakan tubuh yang dihasilkan oleh otot rangka yang mengeluarkan energi, yang diukur oleh kilokalori secara terus-menerus mulai dari rendah ke tinggi, dan berkorelasi positif dengan kebugaran fisik seperti intensitas, durasi, dan frekuensi gerakan meningkat. Latihan fisik, bagaimanapun tidak identik dengan aktivitas fisik, karena latihan fisik subkategori dari aktivitas fisik. Latihan fisik adalah aktivitas fisik yang direncanakan, terstruktur, berulang, dan bermanfaat dalam arti untuk perbaikan atau pemeliharaan dari satu atau lebih komponen kebugaran fisik pada seseorang.
2.1.2. Respon fisiologis terhadap latihan fisik Atlit yang melakukan latihan fisik pada tingkat yang lebih tinggi akan mencapai suatu titik transport oksigen menuju otot tidak lagi meningkat dan seluruh konsumsi oksigen tubuh maksimal (VO2max) tidak bisa lagi meningkat. Setelah masa tersebut akan terjadi kelelahan (Casaburi, 1992).
Universitas Sumatera Utara
Latihan fisik aerobik dapat meningkatkan VO2max. Peningkatan VO2max ini disebabkan oleh bertambahnya kandungan O2 di dalam arteri dan vena, serta meningkatnya
cardiac
output
maksimal.
Meningkatnya
VO2max
akan
meningkatkan toleransi terhadap latihan fisik. Hal ini berhubungan dengan fakta bahwa dengan meningkatkan kapasitas aerobik akan menurunkan terjadinya matebolisme anaerob (ambang batas anaerob menjadi lebih tinggi). Sisa metabolisme anaerob berupa asam laktat, mempunyai efek yang tidak menguntungkan bagi tubuh. Kebutuhan oksigen meningkat sejalan dengan peningkatan level kerja, sehingga produksi CO2 akan meningkat. Peningkatan produksi CO2 ini terjadi karena proses buffer oleh natrium bikarbonat terhadap asam laktat dan menghasilkan CO2. Ventilasi akan terangsang
untuk
membersihkan kelebihan CO2 dan asidosis metabolik secara langsung merangsang badan karotis (Casaburi, 1992). Apabila melakukan latihan fisik maksimal secara teratur, maka produksi asam laktat menjadi lebih sedikit pada saat melakukan latihan fisik maksimal. Selain itu, respon fisiologis tubuh juga mengalami perubahan saat melakukan latihan fisik maksimal, perubahan tersebut antara lain komsumsi oksigen dan produksi CO2 menjadi lebih sedikit, ventilasi secara dramatis menurun. Walaupun ventilasi menurun, PCO2 dan pH arteri tetap normal (Casaburi, 1992).
2.1.3. Intensitas latihan fisik Intensitas latihan fisik memiliki dua prinsip utama. Pertama, intensitas latihan fisik mempunyai ambang batas, artinya latihan fisik tidak akan mempunyai efek
Universitas Sumatera Utara
latihan lagi walaupun frekuensi dan durasi latihan fisik itu ditingkatkan. Kedua, bila intensitas latihan fisik dilakukan melebihi ambang batas, jumlah total kerja per sesi merupakan determinan yang penting bagi respon latihan fisik. Artinya, latihan fisik intensitas tinggi dalam waktu singkat sama efektifnya dengan latihan fisik intensitas sedang dalam waktu yang lebih lama (Casaburi, 1992). Terdapat tiga variabel fisiologis yang dapat digunakan untuk menentukan intensitas latihan fisik, yaitu frekuensi denyut jantung, konsumsi oksigen, dan level laktat darah. Menggunakan frekuensi denyut jantung untuk mengukur intensitas latihan fisik merupakan hal yang mudah dilakukan. Akan tetapi, karena frekuensi denyut jantung mempunyai hubungan yang jauh terhadap kondisi otot yang melakukan latihan, maka teori dasar yang menggunakan frekuensi denyut jantung untuk menentukan intensitas latihan fisik dianggap masih lemah. Hal yang paling banyak dipakai untuk menentukan intensitas latihan fisik adalah konsumsi oksigen tubuh maksimal (VO2max). Penggunaan level laktat untuk menentukan intensitas latihan fisik dianjurkan juga oleh beberapa peneliti (Casaburi, 1992).
2.1.4. Durasi sesi latihan fisik Hasil latihan fisik intensitas sedang selama 30–60 menit lebih efektif dibandingkan dengan selama 10–15 menit. Latihan fisik intensitas tinggi dapat menyebabkan injuri otot, sehingga tidak dianjurkan untuk melakukan latihan fisik intensitas tinggi jangka waktu singkat. Durasi latihan fisik yang dianjurkan paling
Universitas Sumatera Utara
sedikit selama 20 menit, dan akan lebih efektif bila dilakukan selama 30–60 menit (Casaburi, 1992).
2.1.5. Frekuensi sesi latihan fisik Ada konsensus yang menganjurkan latihan fisik dilakukan dengan frekuensi 3–5 kali seminggu. Walaupun frekuensi 2 kali seminggu dapat meningkatkan kebugaran aerobik, tapi keuntungan yang diperoleh lebih sedikit. Hanya sedikit bukti yang menunjukkan bahwa latihan fisik 5–7 kali seminggu memberikan keuntungan bagi kebugaran, dan latihan fisik setiap hari jarang bisa dilakukan (Casaburi, 1992).
2.1.6. Durasi program latihan fisik Durasi program latihan fisik dapat dilakukan selama 3–4 minggu, karena setelah waktu tersebut tidak akan ada lagi peningkatan VO2max, atau penurunan frekuensi denyut jantung, asam laktat, dan epinefrin. Akan tetapi kebanyakan peneliti menganjurkan program latihan fisik pada rentang 5–10 minggu, karena pada rentang waktu tersebut sudah tercapi efek latihan fisik yang substansial secara fisiologis. Meningkatkan VO2max dapat dicapai dengan cara meningkatkan intensitas latihan fisik (Casaburi, 1992).
2.1.7. Produksi radikal bebas akibat latihan fisik Radikal bebas dapat terbentuk selama dan setelah latihan oleh otot yang berkontraksi serta jaringan yang mengalami iskemik-reperfusi (Chevion et al.,
Universitas Sumatera Utara
2003). Pembentukan radikal bebas terutama dihasilkan oleh otot rangka yang berkontraksi (Jackson, 2005). Selama melakukan latihan fisik maksimal, konsumsi oksigen tubuh meningkat dengan cepat. Penggunaan oksigen oleh otot selama latihan fisik maksimal dapat meningkat sekitar 100–200 kali dibandingkan saat istirahat (Chevion et al., 2003). Saat fosforilasi oksidatif di dalam mitokondria, oksigen direduksi oleh sistem transport elektron mitokondria untuk membentuk adenosin trifosfat (ATP) dan air. Selama proses fosforilasi oksidatif ini sekitar 2% molekul oksigen dapat berikatan dengan elektron tunggal yang bocor dari karier elektron pada rantai pernafasan, sehingga membentuk radikal superoksida (O2.). Radikal superoksida yang terbentuk ini akan membentuk hidrogen peroksida (H2O2) dan hiroksil reaktif (OH.) dengan cara berinteraksi dengan logam transisi reaktif seperti tembaga dan besi (Singh, 1992). Secara lengkap proses reduksi oksigen diperlihatkan pada persamaan berikut ini (Clarkson dan Thompson, 2000): O2 + e- O2-. superoxide radical O2-. + H2O H2O. + OH- hydroperoxyl radical H2O. + e- + H H2O2
hydrogen peroxyde
H2O2 + e- .OH + OH- hydroxyl radical.
4.1. Radikal Bebas 2.2.1. Kimia radikal bebas Radikal bebas adalah atom atau molekul yang mempunyai elektron yang tidak berpasangan pada orbital terluarnya dan dapat berdiri sendiri (Clarkson and
Universitas Sumatera Utara
Thompson, 2000, Slater, 1984). Kebanyakan radikal bebas bereaksi secara cepat dengan atom lain untuk mengisi orbital yang tidak berpasangan, sehingga radikal bebas normalnya berdiri sendiri hanya dalam periode waktu yang singkat sebelum menyatu dengan atom lain. Simbol untuk radikal bebas adalah sebuah titik (R·), yang berada di dekat simbol atom. Radikal bebas mempunyai peran dalam fungsi normal dan abnormal tubuh. Radikal bebas yang penting secara biologis antara lain anion superoksida (O2·-), radikal hidroksil (OH·), dan nitric oxide (NO·) (Vander et al., 2001). Bentuk radikal bebas yang lain adalah hydroperoxyl (HO2·), peroxyl (RO2·), alkoxyl (RO·), carbonate (CO3·-), carbon dioxide (CO2·-), atomic chlorine (Cl·), nitrogen dioxide (NO2·) (Halliwell and Whiteman, 2004). Radikal bebas bisa bermuatan negatif, bermuatan positif, dan juga bermuatan netral (Slater, 1984, Vander et al., 2001).
2.2.2. Kerusakan sel akibat reaksi radikal bebas Penelitian yang ekstensif dengan menggunakan sitem model dan dengan material biologis in vitro, secara jelas menunjukkan bahwa radikal bebas dapat menimbulkan perubahan kimia dan kerusakan terhadap protein, lemak, karbohidrat, dan nukleotida. Bila radikal bebas diproduksi in vivo, atau in vitro di dalam sel melebihi mekanisme pertahanan normal, maka akan terjadi berbagai gangguan metabolik dan seluler. Jika posisi radikal bebas yang terbentuk dekat dengan DNA, maka bisa menyebabkan perubahan struktur DNA sehingga bisa terjadi mutasi atau sitotoksisitas. Radikal bebas juga bisa bereaksi dengan nukleotida sehingga menyebabkan perubahan yang signifikan pada komponen
Universitas Sumatera Utara
biologi sel. Bila radikal bebas merusak grup thiol maka akan terjadi perubahan aktivitas enzim. Radikal bebas dapat merusak sel dengan cara merusak membran sel tersebut. Kerusakan pada membran sel ini dapat terjadi dengan cara: (a) radikal bebas berikatan secara kovalen dengan enzim dan/atau reseptor yang berada di membran sel, sehingga merubah aktivitas komponen-komponen yang terdapat pada membran sel tersebut; (b) radikal bebas berikatan secara kovalen dengan komponen membran sel, sehingga merubah struktur membran dan mengakibatkan perubahan fungsi membran dan/atau mengubah karakter membran menjadi seperti antigen; (c) radikal bebas mengganggu sistem transport membran sel melalui ikatan kovalen, mengoksidasi kelompok thiol, atau dengan merubah asam lemak polyaunsaturated; (d) radikal bebas menginisiasi peroksidasi lipid secara langsung terhadap asam lemak polyaunsaturated dinding sel. Peroksidasi ini akan mempengaruhi fluiditas membran, cross-linking membran, serta struktur dan fungsi membran (Slater, 1984). Tubuh mempunyai sistem pertahanan terhadap radikal bebas agar radikal bebas tidak menyebabkan efek yang merusak. Sistem pertahan ini antara lain enzim superoxide dismutase yang terdapat di mitokondria dan sitosol, enzim catalase, dan enzim glutahtion peroxidase (Jackson, 2005, Singh, 1992). Sebagai tambahan bagi sistem pertahanan yang berbentuk enzim, sel juga dapat meningkatkan produksi stress proteins atau disebut juga heat shock proteins (HSPs) untuk melindungi sel dari stres oksidatif dan bentuk stres yang lain (Khassaf et al., 2003). Selain itu terdapat juga sistem pertahanan yang secara
Universitas Sumatera Utara
langsung dapat merubah radikal bebas menjadi senyawa yang kurang reaktif seperti vitamin C (Jackson, 2005, Singh, 1992).
2.3. Vitamin E 2.3.1. Kimiawi dan metabolisme vitamin E Vitamin ini diisolasi oleh Evans dan kawan-kawan (1936) dari wheat-germ oil. Delapan senyawa tokoferol yang terbentuk di alam yang memiliki aktivitas vitamin E kini telah diketahui. Bentuk yang paling aktif secara biologi adalah RRR-α-tokoferol (Gambar 2), yang merupakan kira-kira 90% tokoferol dalam jaringan hewan dan menunjukkan aktivitas biologis tertinggi dalam sebagian besar sistem bioasai. Salah satu sifat kimia tokoferol yang penting adalah bahwa senyawa-senyawa ini merupakan senyawa redoks yang bekerja sebagai antioksidan dalam beberapa kondisi tertentu, dalam hal ini tampaknya merupakan dasar untuk sebagian besar, tetapi mungkin tidak semua, efek vitamin E. Senyawa tokoferol rusak secara perlahan jika terpajan udara atau sinar ultraviolet (Marcus, R., and Coulston, A.M., 2007).
Gambar 2. RRR-α-Tokoferol (dari Goodman & Gilman : Dasar Farmakologi Terapi, edisi 10, Jakarta: EGC, 2007)
Universitas Sumatera Utara
2.3.2.Fungsi vitamin E Sifat-sifat antioksidan vitamin E memperbaiki kerusakan membran biologis akibat radikal bebas. Vitamin E melindungi asam-asam lemak tak jenuh ganda (polyunsaturated fatty acid, PUFA) dalam membran fosfolipid dan dalam lipoprotein bersikulasi (Burton et al., 1983). Radikal-radikal peroksil (ROO •) bereaksi 1000 kali lebih cepat dengan vitamin E dibandingkan dengan PUFA, membentuk hydrogen peroksida organik yang sesuai dan radikal tokoferoksil (vitamin E-O •). Selanjutnya radikal tokoferoksil berinteraksi dengan antioksidan lain seperti vitamin C, yang akan membentuk kembali tokoferol (Marcus, R., and Coulston, A.M., 2007). Vitamin E penting untuk melindungi membran sel darah merah yang kaya akan asam lemak tidak jenuh ganda dari kerusakan akibat oksidasi. Selain itu vitamin E melindungi lipoprotein dalam sirkulasi LDL teroksidasi yang ternyata memegang peranan penting dalam menyebabkan aterosklerosis. Vitamin E dosis besar (1600 mg/hari) melindungi LDL dari oksidasi. Meskipun masih kontradiktif, beberapa hasil penelitian epidemiologik mengatakan bahwa vitamin E dapat memproteksi penyakit kardiovaskuler, namun mekanisme kerjanya tidak jelas. Vitamin E mengatur proliferasi sel otot polos pembuluh darah, menyebabkan vasodilatasi dan menghambat baik aktivasi trombosit maupun adhesi lekosit. Vitamin E juga melindungi β-karoten dari oksidasi (Dewoto, H.R., 2007). Semakin tinggi asupan vitamin E, semakin tinggi kadar tokoferol dalam tubuh seseorang. Namun demikian, kadar tokoferol dalam tubuh sangat dipengaruhi oleh
Universitas Sumatera Utara
aktivitas tubuh. Selama aktivitas olah raga, vitamin E menunjukkan respon yang bervariasi (Winarsi,H., 2007). Pada penelitian Rokitzki, et al (1994) memberikan 300 mg α-tokoferol/hari selama 5 bulan pada subjek yang melakukan olah raga berat. Dari penelitian ini ternyata kadar MDA dan keratin kinase meningkat, meski hanya sedikit. Diduga integritas membran kompromi dengan stress oksidatif, yang menunjukkan melalui pengukuran keratin kinase dalam serum. Kreatin kinase merupakan protein intramuskuler yang bocor setelahkerusakan membran, kemudian memasuki serum (Clarkson, et al., 1988). Temuan ini juga membuktikan bahwa vitamin E memberikan efek proteksi terhadap stress oksidatif yang menyebabkan kerusakan otot karena olah raga. Pada penelitian Cohen, M.C dan Meyer, D.M (1993) efek dari suplementasi terhadap kerusakan tulang (jarak dari cementum enamel junction ke alveolar crest diukur pada garis tengah di bagian lingual dari masing-masing akar molar mandibula) yang diteliti pada tikus yang tidak distreskan atau distreskan pada perangkat rotasi selama 90 hari. Pada penelitian pertama, baik kondisi yang diberi vitamin E maupun stres secara statistik memberi efek yang signifikan tapi ada substansial dan variabilitas kerusakan tulang pada semua kelompok. Sebelum dimulainya penelitian kedua, untuk mengurangi perbedaan kerusakan tulang yang dinyatakan mungkin ada, sebelum pengenalan perlakuan, tikus menerima antibiotik dalam air minum mereka. Selain itu diperkenalkan stress rotasi lebih tiba-tiba dari
penelitian pertama untuk mengurangi kemungkinan adaptasi.
Kerusakan tulang dan variabilitasnya secara substansial berkurang pada penelitian
Universitas Sumatera Utara
kedua. Analisis data menunjukkan bahwa suplemen vitamin E memiliki efek protektif yang signifikan secara statistik, yang paling menonjol di lokasi yang paling rentan terhadap kerusakan. Pada subjek yang stress cenderung terjadi kerusakan tulang alveolar lebih banyak, tetapi efek ini tidak signifikan. Penemuaan
ini menunjukkan peran vitamin E dalam menjaga kesehatan
periodontal, tetapi juga kepekaan terhadap efek terhadap status periodontal awal.
2.4.Estrogen 2.4.1.Kimiawi Estrogen Aktivitas estrogenik dimiliki oleh banyak senyawa steroid dan nonsteroid. Estrogen alami dalam tubuh manusia yang paling kuat adalah 17β-estradiol, diikuti dengan estron dan estriol (Gambar 3). Tiap molekul ini merupakan suatu steroid dengan 18 atom karbon yang mengandung satu cincin A fenolik (cincin aromatik dengan gugus hidroksil pada karbon 3) dan gugus β-hidroksil atau keton di posisi 17 cincin D. Cincin A merupakan struktur dasar yang bertanggung jawab terhadap ikatannya yang selektif dan berafinitas tinggi dengan reseptor estrogen. Sebagian besar substitusi alkil pada cincin A fenolik merusak ikatan tersebut, tetapi substitusi pada cincin C atau D masih dapat ditoleransi (Loose, D.S.,Mitchell and Stancel,G.M, 2007)
Universitas Sumatera Utara
Gambar 3.Alur biosintetis estrogen (dari Goodman & Gilman: Dasar Farmakologi Terapi, edisi 10, Jakarta: EGC, 2007)
2.4.2.Peranan estrogen dalam pertumbuhan tulang Estrogen menghambat aktivitas osteoklas dan dengan sendirinya mengambat resorpsi tulang dan secara bersamaan estrogen mengaktifkan osteoblas, sehingga laju pergantian tulang menjadi normal. Estrogen bekerja baik secara langsung melalui reseptor yang berada di tulang maupun secara tidak langsung dengan bantuan sitokin dan faktor pertumbuhan. Pada proses pemugaran tulang juga berperan faktor-faktor lain yang juga berada di bawah pengaruh estrogen (Baziad Ali, 2003).
2.4.3. Menopauase Menopause merupakan proses fisiologis pada wanita yang biasa terjadi pada usia 47-55 tahun, ditandai dengan berhentinya menstruasi sebagai akibat berhentinya produksi hormon estrogen oleh ovarium (Joenes H, dkk. 2007). Pada saat menopause, sering kali terjadinya perubahan fisiologis yang bermakna pada fungsi tubuh, temasuk rasa panas (hot flushes) dengan kemerahan
Universitas Sumatera Utara
kulit yang ekstrem, sensasi psikis dispnea, gelisah, letih, ansietas dan kadangkadang keadaan psikotik yang bermacam-macam, serta penurunan kekuatan dan kalsifikasi tulang di seluruh tubuh. Kira-kira pada 15 persen wanita, gejala-gejala ini cukup berat sehingga membutuhkan perawatan (Guyton,A.C., and Hall,J.E., 2007). Defisiensi estrogen dan osteoporosis dibuktikan oleh Payne, J.B, dkk (1997) sebagai faktor resiko berkurangnya kepadatan tulang alveolar.
2.5. Tulang Tulang adalah jaringan ikat khusus yang terdiri atas materi intersel yang mengapur, yaitu matriks tulang, dan 3 jenis sel : osteosit yang terdapat dalam rongga (lakuna) di dalam matriks; osteoblas yang membentuk komponen organik dari matriks; dan osteoklas yang merupakan sel raksasa berinti banyak yang berperan pada resorpsi dan pembentukan kembali jaringan tulang (Junqueira, L.C, 1997).
2.6. Tulang alveolar Tulang alveolar (alveolar process) adalah bagian dari maksila dan mandibula yang membentuk dan mendukung soket gigi (alveoli). Tulang ini terbentuk sewaktu gigi erupsi untuk memberikan tempat perlekatan bagi ligament periodontal yang akan terbentuk, namun akan hilang secara bertahap apabila gigi dicabut.
Universitas Sumatera Utara
Tulang alveolar terdiri atas: 1.Plat eksternal dari tulang kortikal (cortical bone) yang dibentuk oleh tulang haversian dan lamella tulang kompak. 2.Dinding soket sebelah dalam yang berupa tulang kompak (compact bone) yang tipis, yang dinamakan tulang alveolar utama (alveolar bone proper). Pada gambar foto ronsen bagian tulang ini sebagai lamina dura. Secara histologis bagian tulang ini mengandung lubang-lubang seperti tapis (cribriform plate) melalui bundelbundel neurovascular menghubungkan ligament periodontal dengan tulang kanselous (cancellous bone) yang merupakan bagian tengah tulang alveolar. 3.Trabekula kanselous, yang berada diantara kedua lapisan tulang kompak tersebut di atas, yang berperan sebagai tulang alveolar pendukung (supporting alveolar bone). Septum interdental terdiri atas tulang kanselous pendukung yang dikelilingi oleh tulang kompak. Selain bagian-bagian tersebut di atas, tulang rahang juga mencakup tulang basal (basal bone), yaitu bagian tulang rahang yang berada dibagian apikal tetapi tidak berhubungan dengan gigi (Gambar 4). Meskipun atas dasar anatomis tulang alveolar dapat dibedakan atas beberapa bagian, namun kesemuanya secara bersama-sama berfungsi sebagai suatu kesatuan dalam mendukung gigi (Fiorellini JP, Kirn DM and Ishikawa SO, 2006).
Universitas Sumatera Utara
Tulang alveolar utama Plat tulang vestibular
Septum interdental Tulang alveolar pendukung
Tulang spongy
Mandibular canal Tulang basal
Gambar 4. Bagian rahang manusia dengan gigi di dalamnya, garis putus-putus menunjukkan pemisahan antara tulang basal dan tulang alveolar (dari Ten Cate AR : Oral histology : development, structure, and function, ed 4, St.Louis, 1994, Mosby)
2.7. Osteoporosis Osteoporosis adalah suatu kondisi massa tulang yang rendah dan kerusakan mikrostruktur yang dengan sedikit saja trauma dapat mengakibatkan fraktur. Lokasi khas fraktur mencakup badan vertebral, radius distal, dan femur proksimal, tetapi pasien osteoporosis umumnya mengalami kerapuhan kerangka tulang. Fraktur di lokasi lain seperti tulang iga dan tulang panjang, juga umum terjadi. Osteoporosis umumnya terdiri dari dua golongan; osteoporosis primer dan sekunder. Osteoporosis primer menggambarkan dua keadaan yang secara mendasar saling berbeda :
Universitas Sumatera Utara
Osteoporosis
tipe
I,
adalah
hilangnya
tulang
trabekula
akibat
kekurangan estrogen saat menopause.
Osteoporosis tipe II, adalah hilangnya tulang korteks dan trabekula pada pria dan wanita akibat tidak efisiennya remodeling pada jangka panjang, gizi tidak mencukupi, dan aktivasi sumbu paratiroid seiring usia.
Osteoporosis sekunder adalah akibat penyakit sistemik atau dari obat-obatan seperti glukokortikoid atau fenitoin (Loose, D.S., Mitchell and Stancel,G.M, 2007). Lee, B.D.,dan. White, S.C (2005) meneliti pada 37 perempuan dan 29 laki-laki terhadap densitas mineral tulang (BMD), tulang belakang lumbal dan proksimal femur diukur dengan dual-energy x-ray absorptiometri. variabel klinis termasuk usia, tinggi dan berat subjek. Kepadatan optik dan morfologi wajah subjek diukur dari posterior rahang atas dan rahang bawah. Ditemukan adanya hubungan yang signifikan pada rahang atas dan rahang bawah dengan BMD lumbal femoralis. Osteoporosis akan mengakibatkan ketidakseimbangan antara proses resorbsi tulang dan proses pembentukan tulang. Osteoporosis terjadi karena berkurangnya hormon estrogen sehingga akan berpengaruhi pada berkurangnya massa dan kepadatan mineral tulang alveolar. Wanita kehilangan 1-5% massa tulang selama tahun pertama di awal menopause, kemudian massa tulang hilang secara perlahan. (Barunawati,S.B, 2006).
Universitas Sumatera Utara