10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Identity Formation 1. Pengertian Identity Formation Marcia (1993) menyatakan bahwa identity formation atau pembentukan identitas diri merupakan: “ Identity formation involves a synthesis of childhood skills, beliefs, and identification into a more or less coherent, unique whole that provides the young adult with both a sense of continuity with the past and a direction for the future” (Marcia, 1993) Marcia menyatakan bahwa pembentukan identitas diri dapat digambarkan melalui status identitas berdasarkan ada tidaknya eksplorasi (krisis) dan komitmen. Erickson 1989
(dalam
Santrock, 2003)
juga
menyebutkan, bahwa
pembentukan identitas diri juga memerlukan dua elemen penting, yaitu eksplorasi (krisis) dan komitmen. Istilah “eksplorasi” menunjuk pada suatu masa dimana seseorang berusa menjelajahi berbagai alternatif tertentu dan memberikan perhatian yang besar terhadap keyakinan dan nilai-nilai yang diperlukan dalam pemilihan alternatif tersebut. Sedangkan “komitmen” menunjuk pada usaha membuat keputusan mengenai pekerjaan atau ideologi, serta menentukan berbagai strategi untuk merealisasikan keputusan tersebut.
10
11
Berdasarkan definisi diatas maka definisi operasional identity formation merupakan suatu proses pengkombinasian pengalaman, kepercayaan, dan identifikasi yang dimiliki pada masa kanak-kanak kepada kesatuan yang unik dan akan semakin lebih atau tidak koheren, yang akan memberikan para dewasa awal baik perasaan keterkaitan dengan masa lalu maupun arah bagi masa yang akan datang. Hal ini berarti bahwa dalam pembentukan identitas diri terdapat aspek-aspek masa kanakkanak seperti pengalaman, kepercayaan dan identifikasi yang menjadi dasar terbentuknya identitas pada masa dewasa awal yang akan memberikan arah untuk masa depan dan menjadi sebuah benang pengait dengan masa lalu.
2. Dimensi Identity Formation a. Eksplorasi Eksplorasi yang juga dikenal dengan istilah krisis adalah suatu periode dimana adanya keinginan untuk berusaha mencari tahu, menyelidiki berbagai pilihan yang ada dan aktif bertanya secara serius, untuk mencapai sebuah keputusan tentang tujuan-tujuan yang akan dicapai, nilai-nilai, dan keyakinankeyakinan. Dimensi eksplorasi (krisis) ialah (Marcia, 1993):
1) Sudah melalui eksplorasi (past crisis) Seseorang dikatakan berada pada tahap eksplorasi di masa lalu (past crisis) ketika periode dimana pemikiran aktif terhadap sejumlah variasi dari aspek-aspek identitas yang potensial sudah berlalu sekarang. Individu mampu menyelesaikan krisis dan memiliki pandangan yang pasti tentang
12
masa depan atau tugas tersebut ditunda tanpa mencapai adanya sebuah kesimpulan yang bermakna. 2) Sedang dalam eksplorasi (in crisis) Seseorang dikatakan sedang berada pada tahap eksplorasi ketika seseorang sedang berusaha untuk mencari tahu dan menjajagi pertanyaanpertanyaan mengenai identitas dan sedang berjuang untuk membuat keputusan hidup yang penting. 3) Tidak adanya eksplorasi (absence of crisis) Seseorang dikatakan tidak mengalami eksplorasi ketika seseorang tidak pernah merasa penting untuk melakukan eksplorasi pada berbagai alternatif identitas tentang tujuan yang ingin dicapai, nilai ataupun kepercayaan seseorang. b. Komitmen Komitmen adalah suatu periode dimana adanya pembuatan pilihan yang relatif tetap mengenai aspek-aspek identitas seseorang dan terlibat dalam aktivitas yang secara signifikan mengarahkan kepada perwujudan pilihan yang sudah diambil. Dimensi komitmen ialah (Marcia, 1993): 1) Seseorang dikatakan memiliki komitmen ketika aspek identitas yang dimiliki individu berguna untuk mengarahkan perilaku di masa depan dan tidak adanya perubahan yang besar pada aspek tersebut.
13
2) Tidak adanya komitmen ditunjukkan dengan keragu-raguan yang dialami seseorang, tindakan yang terus berubah-ubah, tidak terarah, dan membentuk komitmen personal pada saat ini bukanlah suatu hal yang penting.
3. Tipe Status Identitas Marcia menemkan empat tipe status identitas yaitu (Papalia, D.E., Olda, S.W., Feldman, R.D., 2004): 1. Identity Achievement ( Krisis Yang Mengarah Kepada Komitmen) Seseorang yang berada dalam status identity achievement telah mengalami sebuah moratorium psikologis, telah menyelesaikan krisis identitas mereka dengan secara berhati-hati mengevaluasi sejumlah alternatif dan pilihan, dan telah menyimpulkan dan memutuskan sendiri setiap pilihan yang akan dilakukan. 2. Foreclosure ( Komitmen Tanpa Krisis) Seseorang yang berada dalam status identity foreclosure tidak mengalami periode eksplorasi (krisis) tapi mereka telah membuat sejumlah komitmen pada aspek-aspek identitas seperti pekerjaan dan ideologi yang bukan berasal dari pencarian mereka sendiri tapi sudah disiapkan oleh orang disekitar mereka, khususnya orang tua. Mereka menjadi seseorang yang diinginkan oleh orang lain, tanpa benar-benar memutuskan untuk diri mereka sendiri. 3. Moratorium ( Krisis Tanpa Komitmen) Seseorang yang berada dalam status identity moratorium sudah ataupun sedang mengalami masa eksplorasi (krisis) terhadap alternatif-alternatif pilihan namun belum membuat komitmen pada aspek identitas. Beberapa orang yang
14
berada dalam status moratorium mengalami krisis yang berkelanjutan, sehingga mereka mengalami kebingungan, tidak stabil, dan tidak puas. Individu dengan status moratorium juga menghindari berhadapan dengan masalah, dan mereka memiliki kecenderungan untuk menunda sampai situasi memaksa sebuah tindakan harus dilakukan. 4. Identity Diffuction ( Tidak Ada Komitmen, Tidak Ada Krisis) Seseorang yang berada dalam status identity diffused tidak mengalami sebuah periode eksplorasi (krisis), dan mereka juga tidak membuat komitmen pada aspek pekerjaan, agama, filosofi politik, peran gender, ataupun memiliki standar personal dalam berperilaku. Mereka tidak mengalami sebuah krisis identitas dalam salah satu atau semua aspek yang telah disebutkan diatas, dan mereka juga tidak melewati proses mengevaluasi, mencari, ataupun mempertimbangkan alternatif-alternatif.
Tabel 1. Status Identitas Marcia Achievement Eksplorasi (krisis) Komitmen
Moratorium
Foreclosure
Ada
Dalam proses
Tidak ada
Ada
Ada tapi tidak Ada jelas
Diffusion Ada atau tidak ada Tidak ada
4. Faktor-Faktor Identity Formation. Fuhrmann (1990), mengemukakan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi proses pembentukan identitas diri:
15
a. Pola asuh Pola asuh orang tua mempunyai pengaruh penting dalam pembentukan identitas diri remaja b. Homogenitas lingkungan Seseorang cenderung memperoleh identitas yang foreclosure pada lingkungan yang homogen karena tidak mengalami krisis dan memperoleh komitmen dari nilai-nilai orang tua dengan mudah. Sebaliknya, pada lingkungan yang heterogen, individu diharapkan pada banyak pilihan sehingga sering mengalami krisis dan dipaksa untuk menentukan suatu pilihan tertentu. c. Model untuk identifikasi Anak mengadakan identifikasi dengan orang-orang yang dikagumi dengan harapan kelak akan menjadi seperti orang tersebut. Remaja menjadikan idola dan model dalam hidupnya. Orang yang berperan dewasa sebagai model bagi remaja dapat mempengaruhi pembentukan identitas diri. d. Pengalaman masa kanak-kanak Individu yang mampu menyelesaikan konflik-konflik pada masa kanakkanak akan menngalami kemudahan dalam menyelesaikan krisis identitas pada masa remaja. Menurut Erikson (dalam Santrock, 2002), identitas berkembang dari rangkaian identifikasi pada masa kanak-kanak. e. Perkembangan kognisi
16
Individu yang memiliki kemampuan berpikir operasional formal akan mempunyai komitmen yang kuat dan konsisten sehingga dapat menyelesaikan krisis identitas dengan baik. f. Sifat individu Rasa ingin tahu dan keinginan yang kuat untuk mengadakan eksplorasi membantu tercapainya identity achievement. g. Pengalaman kerja Individu yang telah memiliki pengalaman kerja atau telah memasuki dunia kerja akan menstimulasi identitas diri. h. Identitas etnik Etnis dan harapan dari lingkungan etnis tempat individu tinggal akan mempengaruhi pencapaian identitas 5. Identity Formation Pada Gay Pada tahun 1979, Vivienne C. Cass menjadi psikolog pertama yang menawarkan teori mengenai identitas homseksual, yang kemudian dikenal dengan Cass Model Of Gay & Lesbian Identity Formation. Model ini memiliki enam tahapan dalam menjelaskan pembentukan identitas pada individu homoseksual. Tahapan-tahapan tersebut terdiri dari identity confusion, identity comparasion, identity tolerance, identity acceptance, identity pride, dan identity synthesis (Abes, 2003).
17
Menyusul kemudian pada tahun 1994, Anthony R. Augelli mengajukan sebuah konsep perkembangan identits gay, lesbian dan biseksual. Konsep perkembangan identitas augelli ini berangkat dari konsep Erik Erikson, yaitu Erikson Theory of identity development (dalam Abes, 2003). Teori Augelli ini dikenal dengan D’Augelli
social construction st theory of gay, lesbian and
bisexsual identity development. Teori ini terdiri dari enam proses tahapan pembentukan identitas homoseksual. Enam proses pembentukan identitas itu terdiri dari exiting heterosexsual identity, developing a personal lesbian-gaybisexsual identity, status developing a lesbian-gay-bisexual social identity, becoming a lesbian-gay-bisexual offspring, developing a lesbian-gay-bisexual intimacy status, dan entering a lesbian-gay-bisexual community (Abes, 2003). Selain itu pada tahun 1996 Ruth Fassinger (Fassinger, 1998) menawarkan teori yang dikenal dengan Fassinger’s inclusive model of lesbian/gay identity formation. Menurut Fassinger (1998) individu homoseksual mempunyai dua tugas dalam prosespengembangan identitas homoseksualnya. Tugas tersebut yaitu mengembangkan identitas homoseksualnya secara pribadi dan mengembangkan identitas sosialnya sebagai homoseksual yang merupakan kelompok minoritas dalam masyarakat. Baik perkembangan identitas homoseksual secara pribadi maupun sosial sebagai homoseksual mempunyai empat fase yang sama Empat fase itu tediri dari awareness, exploration, deepening/ commitment dan interbalization/ synthesis. Menurut Fassinger (1998) menyatakan bahwa individu
18
homoseksual dapat mencapai perkembangan identitas seksualnya tanpa perlu terintegrasi kedalam komunitas sosial homoseksual. Jadi menurut teori Fassinger’s inclusive model of lesbian/gay identity formation tidak masalah bagi individu homoseksual untuk tidak melakukan coming out secara sosial. (Lynch, 2005). B. Gay 1. Pengertian Gay Sebutan gay seringkali digunakan untuk menyebut pria yang memiliki kecendrungan mencintai sesama jenis. efinisi gay yakni lelaki yang mempunyai orientasi seksual terhadap sesama lelaki (duffy & Atwater, 2005). Michael dkk (dalam Kendal 1998), mengidentifikasikan tiga kriteria dalam menentukan seseorang itu homoseksual, yakni sebagai berikut: 1. Ketertarikan seksual terhadap orang yang memiliki kesamaan gender dirinya. 2. Keterlibatan seksual dengan satu atau lebih yang memiliki kesamaan gender dengan dirinya. 3. Mengidentifikasi diri sebagai gay atau lesbian. 2. Faktor-Faktor Menjadi Gay a. Teori Biologis : Perbedaan adalah sesuatu yang dibawa lahir Banyak gay yang menyatakan bahwa orientasi seksual yang dimiliki adalah hasil yang muncul dari faktor biologis, sehingga mereka tidak
19
memiliki kendali ataupun pilihan terhadap orientasi seksualnya. Menurut pandangan biologis penyebab seorang pria menjadi gay adalah: 1)
Faktor Genetik Kallman (dalam
Maters, 1992), melaporkan bahwa kondisi
homoseksualitas adalah kondisi genetik. Kesimpulan ini diambil dari penelitian yang dilakukan terhadap kembar yang identik dan kembar fraternal. Penelitian menemukan jika salah satu saudara kembar adalah seorang gay, kemungkinan saudara kembarnya juga adalah seorang gay. Penelitian lainnya menemukan bahwa gay dapat diturunkan, jika dalam sebuah keluarga ada seorang gay, gay tersebut juga memiliki cenderung memiliki saudara laki-laki, paman atau sepupu yang juga gay. 2) Faktor Hormonal Menurut teori ini, hormon seks berperan dalam menentukan orientasi seksual seseorang (Cohen & Savin-Williams 1996). Hormon testosteron ditemukan lebih rendah dan hormon estrogen lebih tinggi pada seorang gay (Meyer et al, dalam Santrock, 2002). Hasil penelitian lain menemukan gay memiliki tingkat androgen yang lebih rendah dibandingkan pria straight. 3) Urutan Kelahiran Berdasarkan
penelitian
hubungan
urutan
kelahiran
dengan
kecenderungan pria menjadi gay ditemukan seorang gay cenderung lahir
20
pada urutan terakhir dengan memiliki saudara laki-laki tetapi tidak memiliki saudara perempuan (Caroll, 2005). b. Teori Perkembangan 1) Pandangan Freud Freud yakin bahwa homoseksualitas merupakan hasil dari kelanjutan predisposisi mengenai manusia yang terlahir dengan keadaan biseksual. Dibawah lingkungan biasa, psikoseksual berkembang pada masa kanakkanak yang berhadapan dengan kehidupan heteroseksual, tetapi pada kondisi lingkungan tertentu, perkembangan yang normal mengalami gangguan
dalam
tahap
“ketidakmatangan”,
dan
menghasilkan
homoseksualitas dalam masa dewasa (Masters, 1992). Freud yakin ada satu tahap dalam perkembangan manusia yang tertarik kepada jenis kelamin yang sama, dan kebanyakan kaum homoseksual melewati masa tersebut beberapa tahun sebelum masuk ke dalam masa pubertas (Cohen & Savin-Williams, 1996). Pada homoseksual, perkembangan tersebut dialami lebih lambat bila dibandingkan dengan orang normal pada umumnya, dan mengalami fixasi dalam tahap ketertarikan kepada jenis kelamin yang sama. Fixasi tersebut terjadi karena keadaan ibu yang terlalu dominan, juga karena ayah yang terlalu dominan. Homoseksualitas juga dapat disebabkan trauma pada masa kanak-kanak, dimana selama masa kanak-kanak awal
21
mendapatkan penyiksaan dari saudara kandung, teman bermain ataupun orang dewasa (Cameron dalam Savin-Williams, 1996, dalam Santrock 2006). 2) Bieber’s Model Bene (dalam Masters, 1996) menyatakan seorang gay memiliki hubungan yang kurang dengan ayahnya dibandingkan dengan pria straight. Greenbal (dalam Masters, 1992) menemukan ayah dari seorang gay bersifat dominan, tidak protektif, sementara ibu seorang gay memberikan perlindungan dan dominansi yang berlebih-lebihan). Pendapat Marmor (dalam Masters,1992) mengenai gay, gay bisa juga muncul dari keluarga dengan kondisi jauh dari ibu, atau ibu yang pemarah, terlalu dekat dengan ayah, tidak memiliki ayah atau ibu yang ideal, dan ketidakberadaan figur ayah atau ibu. c. Teori Behavioral Teori behavioral menekankan pada homoseksualitas yang muncul karena proses belajar (McGuire et al dalam Masters, 1992). Homoseksual muncul karena adanya penguatan positif atau reward terhadap pengalaman homoseksualitas dan hukuman atau penguatan negatif terhadap pengalaman heteroseksualitas. Masters (1992) menyatakan teori behavioral juga menduga pada masa dewasa dini seorang heteroseksual bisa berubah menjadi homoseksual. Menurut Feldmen dan MacCulloch
22
(dalam
Masters,
heteroseksual
1992),
yang
tidak
jika
seseorang
menyenangkan
mengalami
pengalaman
kemudian
mendapatkan
penguatan dalam pengalaman homoseksualitas, ada kemungkinan heteroseksual tersebut akan menjadi homoseksual. C. Kerangka Berpikir Gay adalah seseorang homoseksual dimana pria yang menyukai sesama pria (Fransiska, 2009). Sejauh ini telah banyak penelitian mengenai penyebab mengapa seseorang mengalami homoseksual. Ada yang menyatakan berasal dari faktor biologis, lingkungan, bahkan psikologis. Namun sampai sekarang belum ada satu pendapat tentang penyebab seseorang mengalami homoseksual. Permasalah-permasalahan yang dialami oleh gay begitu banyak baik yang menyangkut dirinya atau orang lain di sekitarnya yang menggangap mereka tidak normal. Mulai dari masalah ketika mereka menyadari bahwa mereka adalah seorang gay dan tidak menerima dirinya sebagai seorang gay. Seperti masalah tekanan sosial, stigma dan internalisasi homophobia yang secara otomatis mempengaruhi pembentukan identitas pada gay. Gay cenderung menutupi dirinya karena dalam masyarakat dominan kaum heteroseksual sehingga gay sulit mengambil keputusan terhadap identitas seksualnya. karena terpakasa mengikuti orang lain dalam menentukan tujuan hidupnya. sebagian masyarakat menentang bahkan tidak segan untuk bertindak anarkis terhadap kaum Gay karena di Indonesia menjadi gay merupakan hal yang sakit dan menyimpang hal
23
ini menyebabkan korban penganiayaan tersebut terpaksa menutupi jati dirinya. Padahal, penerimaan diri kaum gay termasuk pada tahapan pembentukan identitas diri kaum gay. Permasalahan yang akan penulis angkat dalam penelitian ini yaitu bagaimana proses pembentukan identitas diri gay yang terjadi dari masa kanak-kanak hingga individu memutuskan menjadi seorang gay. Masalah apa yang terjadi pada proses perkembangan individu yang menjadikan mereka sebagai seorang gay pada masa dewasa atau remaja. Pengalaman-pengalaman yang dihadapi kaum gay akankah memberi pengaruh serta lingkungan berupa komunitas gay pada keputusan mereka untuk menjadi seorang gay. Adanya komunitas gay membantu kaum gay untuk menemukan identitas dirinya dari persamaan identitas sosial yang ada di komunitas tersebut. Keterlibatan komunitas dalam menemukan identitas diri kaum gay yaitu memberikan informasi serta dukungan individu seebagai seorang gay. Dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi kaum gay. Kesimpulan kerangka berpikir dalam penelitian ini yaitu bagaimana proses awal pembentukan identitas gay hingga akhir.