BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Definisi Bank Menurut Undang-Undang No.14 tahun 1967 Pasal 1 tentang pokok-pokok
perbankan adalah, “ lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran dan peredaran uang”. Dengan kata lain perbankan sebagai sebuah institusi yang bergerak di bidang keuangan yang aktifitasnya adalah menarik uang dan menyalurkan kembali kepada masyarakat. Melalui Undang-Undang No. 10 Tahun 1998, bank didefinisikan sebagai badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk pinjaman dan atau bentukbentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Bank merupakan suatu badan usaha yang kegiatan utamanya menerima simpanan dan kemudian mengalokasikannya kembali untuk memperoleh keuntungan serta menyediakan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran. Mishkin (2008) mendefinisikan bank sebagai lembaga keuangan yang menerima simpanan dan membuat pinjaman. Bank merupakan lembaga perrantara keuangan dimana rata-rata orang sering berinteraksi. Kasmir (2008) mendefinisikan bank sebagai lembaga keuangan yang kegiatan utamanya menerima simpanan giro, tabungan dan deposito. Kemudian bank juga dikenal sebagai tempat untuk meminjam uang (kredit) bagi masyarakat yang membutuhkannya.
2.2
Resiko Perbankan Menurut Irsyad (2010), resiko-resiko yang dihadapi usaha perbankan dapat
diklasifikasikan sebagai berikut: 1. Resiko Kredit Dana yang berhasil dihimpun pihak perbankan akan disalurkan kembali dalam bentuk pinjaman atau kredit masyarakat unit defisit yang disertai dengan beban bunga. Penyaluran kredit atau pinjaman harus memenuhi beberapa syarat sehingga pengembalian pokok pinjaman dan bunganya diharapkan lancar. Dalam hal ini pihak perbankan menghadapi resiko dimana nasabah tidak dapat mengembalikan pinjaman sehingga dapat mengganggu kinerja bahkan mempengaruhi tingkat kesehatan bank yang bersangkutan. 2. Resiko Pasar Perbankan menghadapi resiko pasar yang dapat menimbulkan kerugian besar. Resiko atau kerugian ini timbul disebabkan terjadinya pergerakan variabel pasar yang merugikan seperti suku bunga dan nilai tukar yang akan berpengaruh kepada sejumlah portofolio yang dimiliki bank yang bersangkutan. Namun demikian pergerakan variabel-variabel tersebut bisa juga menguntungkan pihak bank 3. Resiko Likuiditas Pihak bank harus dapat memenuhi semua kewajibannya yang telah jatuh tempo, dengan cara memastikan tingkat likuiditasnya cukup dan terjamin. Resiko likuiditas dapat terjadi sekiranya nasabah bank menarik dana
dalam jumlah yang besar diluar perkiraan pihak bank sehingga bank tersebut mengalami masalah. Penarikan dana besar dapat saja dilakukan oleh nasabah utama atau bank tersebut mengalami rush karena kekhawatiran para nasabah. Tingkat likuiditas yang tidak memenuhi ketentuan perbankan dapat menyebabkan tingkat kesehatan bank bersangkutan jatuh atau berubah ke peringkat yang lebih rendah sehingga mengurangi kepercayaan masyarakat. 4. Resiko Operasional Resiko operasional dapat terjadi disebabkan oleh banyak faktor seperti kesalahan pegawai atau karyawan yang menangani suatu tugas, kegagalan sistem dalam bank sehingga proses internal dalam bank juga dapat menimbulkan kerugian. Lebih jauh dari itu kadang-kadang terjadi juga masalah eksternal yang mengganggu kesalahan operasional perbankan secara keseluruhan. 2.3
Fungsi Bank Secara umum, fungsi utama bank adalah menghimpun dana dari masyarakat
dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat untuk berbagai tujuan atau sebagai financial intermediary. Secara lebih spesifik. Menurut Sigit Triandaru dan Totok Budiantoso (2008) bank dapat berfungsi sebagai agent of trust, agent of development dan agent of services. 2.3.1 Agent of Trust Dasar utama kegiatan perbankan adalah kepercayaan (trust), baik dalam hal penghimpunan dana maupun penyaluran dana. Masyarakat akan mau
menitipkan dana nyadi bank apabila dilandasi dengan unsur kepercayaan. Masyarakat percaya bahwa uangnya tidak akan disalahgunakan oleh bank, uangnya akan dikelola dengan baik, bahwa bank tidak akan bangkrut dan pada saat yang telah dijanjikan simpanan tersebut dapat ditarik kembali dari bank. Pihak bank sendiri akan mau menempatkan atau menyalurkan dananya pada debitur atau masyarakat apabila dilandasi dengan unsur kepercayaan. Pihak bank percaya bahwa debitur tidak akan menyalahgunakan pinjamannya, debitur juga akan mengelola dana pinjaman dengan baik, debitur akan mempunyai kemampuan untuk membayar pada saat jatuh tempo, dan debitur mempunyai niat baik untuk mengembalikan pinjaman beserta kewajiban lainnya pada saat jatuh tempo. 2.3.2
Agent of Development Kegiatan perkonomian masyarakat di sektor moneter dan di sektor riil
tidak dapat dipisahkan. Kedua sektor tersebut selalu berinteraksi dan saling mempengaruhi. Sektor riil tidak akan dapat berkinerja dengan baik apabila sektor moneter tidak bekerja dengan baik. Kegiatan bank berupa penghimpunan dan penyaluran dana sangat diperlukan bagi lancarnya kegiatan perkonomian di sektor riil. Kegiatan bank tersebut memungkinkan masyarakat melakukan kegiatan investasi, kegiatan distribusi serta kegiatan konsumsi barang dan jasa, mengingat bahwa kegiatan investasi-distribusi-konsumsi tidak dapat dilepaskan dar adanya penggunaan uang. Kelancaran kegiatan tersebut tidak lain adalah kegiatan pembangunan perekonomian suatu masyarakat.
2.3.3
Agent of Services Disamping melakukan kegiatan penghimpunan dan penyaluran dana, bank
juga memberikan penawaran jasa perbankan yang lain kepada masyarakat. Jasa yang ditawarkan bank ini erat kaitannya dengan kegiatan perekonomian masyarakat secara umum. Jasa ini antara lain dapat berupa jasa pengiriman uang, penitipan barang berharga, pemberian jaminan bank dan penyelesaian tagihan. 2.4
Sistem Pembayaran Pada awalnya pola pembayaran yang paling lazim digunakan masyarakat
kuno adalah pola barter dimana tukar menukar komoditas menjadi cara untuk saling memenuhi kebutuhan satu sama lain. Pada masa tersebut belum ada satuan nilai yang dijadikan sebagai acuan alat ukur tetap, maka pada masa itu masyarakat mengukur nilai suatu barang terhadap barang lainnya. Namun sistem barter ini kemudian menjadi sangat tidak efisien, beberapa hal yang menjadi kendala adalah perbedaan nilai antar satu barang dengan barang lain yang belum tentu sesuai, hhal lain yang menjadi kendala adalah karena sulit untuk menemukan orang atau pihak-pihak yang ingin menukarkan barangnya dengan barang yang ditawarkan. Lambat laun perkembangan sistem pembayaran semakin pesat, dengan segala kekurangan yang ada pada sistem barter terutama masalah kesetaraan nilai standar baru pun muncul yaitu commodity money berupa perak atau emas yang berbentuk koin. Kemudian muncul pula fiat money (uang kepercayaan) yaitu uang yang diumumkan oleh pemerintah sebagai
alat transaksi (Mishkin 2001).
Kelebihannya adalah uang ini lebih praktis dan lebih ringan daripada commodity money yakni emas dan perak.
Listfield dan Montes-Negret (1994) mengelompokkan commodity money dan fiat money menjadi sistem pembayaran tunai. Sistem pembayaran ini merupakan sistem pembayaran yang paling sederhana dan paling banyak digunakan untuk sebagian besar transaksi dalam perekonomian, terutama di negara-negara berkembang. Hal ini dikarenakan sistem pembayaran tunai dapat dengan mudah ditransferkan secara instan tanpa ada biaya lain seperti waktu, transaksi dan sebagainya. Berbagai kendala dalam penggunaan uang tunai membuat munculnya terobosan-terobosan baru dalam penciptaan alat pembayaran yang bersifat nontunai (cashless). Instrumen pembayaran yang dapat juga diartikan sebagai alat pembayaran merupakan intermediasi yang digunakan dalam pembayaran. Alat pembayaran saat ini dapat dibedakan atas tunai dan non-tunai. Instrumen pembayaran tunai adalah uang kartal yang terdiri dari uang kertas dan uang logam yang sudah kita kenal selama ini. Di satu sisi instrumen pembayaran non-tunai dapat dibagi lagi atas alat pembayaran non-tunai dengan media kertas atau yang lazim disebut paper-based instrument seperti cek, bilyet giro, wesel dan lain-lain serta alat pembayaran non-tunai dengan media kartu atau yang lazim disebut card-based instrument, seperti kartu debit, kartu kredit dan kartu ATM dan lain-lain. Dengan semakin berkembangnya teknologi, saat ini mulai dikembangkan pula berbagai alat pembayaran dengan teknologi microchip atau yang dewasa ini lebih dikenal dengan electronic money dimana penggunaanya memiliki dampak
yang berbeda-beda dari berbagai aspek. Berikiut adalah klasifikasi bentuk transaksi dan instrumen pembayaran secara tunai maupun non-tunai: 2.4.1 Tunai (Cash) Penggunaan transaksi tunai dalam perkonomian sangat banyak dipilih karena alasan kemudahannya. Dengan menggunakan uang tunai maka jika seseorang melakukan jual beri barang dan atau jasa, maka pada saat dia menerima barang dan atau jasa yang dibeli, penjual juga menerima uang sebagai pembayarannya. Maka jika semua pembelian barang dan jasa dilakukan dengan cara tunai, semua pelaku ekonomi harus menyimpan persediaan uang tunai dalam jumlah relatif besar dalam rangka memenuhi semua kewajiban pembayarannya. Agar lebih efisien dan lebih aman, maka digunakan alat pembayaran non-tunai yang pemakaiannya melibatkan lembaga perantara yaitu bank. 2.4.2 Non-Tunai (Cashless) Pembayaran Non-Tunai melibatkan jasa perbankan dalam penerapannnya. Bank sebagaimana dalam fungsi normatifnya yaitu menghimpun dana masyarakat tentunya memberikan dan menyediakan jasa dalam lalu lintas pembayaran bagi nasabahnya. Jasa dalam lalu lintas pembayaran tersebut antara lain melalui penerbitan cek/bilyet giro untuk penarikan simpanan giro, transfer dana dari satu rekening simpanan ke rekening simpanan lainnya pada bank yang sama atau pada bank yang berbeda, penerbitan kartu kredit, penerbitan kartu debit dan lainlainnya.
1.
Cek Pengertian cek secara umum adalah surat yang berisi perintah tidak
bersyarat oleh penerbit kepada bank yang memelihara rekening giro penerbit untuk membayarkan suatu jumlah uang tertentu kepada pemegang atau pembawa. Beberapa pihak yang terkait sehubungan dengan penggunaan cek adalah sebagai berikut ; a. Penerbit (drawer) Penerbit adalah orang yang mengeluarkan cek b. Pemegang (Holder) yaitu orang yang diberi hak untuk memperoleh pembayaran, yang namanya tercantum dalam surat cek. c. Tersangkut yaitu bank yang diberi perintah tanpa syarat untuk membayar sejumlah uang tertentu. d. Pembawa (bearer) yaitu orang yang ditunjuk untuk menerima pembayaran, tanpa menyebutkan namanya dalam surat cek. (Adanya pembawa ini sebagai akibat dari klausula atas unjuk yang berlaku bagi surat cek). e. Pengganti yaitu orang yang menggantikan kedudukan pemegang surat cek. Dalam hal ini surat cek diterbitkan dengan klausula atas pengganti dengan mencantumkan nama pengganti dalam surat cek. 2.
Bilyet Giro
Bilyet Giro merupakan surat perintah dari nasabah kepada bank yang memelihara rekening giro nasabah (bank tertarik) untuk memindahbukukan sejumlah uang dari rekening bersangkutan kepada pihak penerima yang disebutkan namanya pada bank yang sama atau lain. 3.
Kartu Kredit (Credit Card) Kartu kredit adalah alat pembayaran yang pembayarannya dilakukan
kemudian. Dalam hal ini bank penerbit kartu memberikan kredit kepada nasabah pemegang kartu kredit dengan batas waktu dan tambahan bunga yang telah disepakati antara bank dan nasabah. Dalam penyelenggaraan kartu kredit ini terdapat beberapa pihak yang terlibat yaitu : a. Penerbit (Issuer) , yaitu pihak yang menerbitkan kartu kredit. Dalam hal ini, issuer merupakan pihak yang mengadakan perjanjian dengan dan yang memberikan fasilitas kredit kepada pemegang kartu. b. Pengelola (acquirer), yaitu pihak yang mengadakan hubungan atau kerjasama dengan pedangang. c. Prinsipal, adalah pihak pemilik hak tunggal atas merk dalam penyelenggaraan kartu kredit seperti Visa, MasterCard, Dinners dan lainnya. 4.
Kartu Debet (debit card) Transaksi pembayaran dengan kartu debet secara langsung akan mengurangi
rekening pemegang kartu yang ada di bank penerbit. Jadi dalam hal ini tidak ada semacam fasilitas khusus kredit yang diberikan pihak perbankan kepada nasabahnya atau si pemegang kartu. Sebagaimana halnya kartu kredit, transaksi menggunakan kartu debet pun membutuhkan semacam otorisasi.
5.
Electronic Money (e-money) Perkembagan teknologi di bidang informasi dan komunikasi telah memberi
dampak terhadap berkembangnya dan bermunculannya berbagai bentuk inovasiinovasi baru dalam pembayaran elektronik (electronic payment). Beberapa contoh pembayaran elektronik yang sudah cukup dikenal di Indonesia saat ini adalah internet banking, pembayaran dengan kartu kredit serta kartu debit/ATM. 6.
Mobile Banking Konsep mobile banking atau M-banking merupakan langkah awal dalam
proses transformasi bank menjadi Financial Service Provider (FSP), dimana masyarakat tidak lagi harus menunggu dan mengantri di bank atau ATM, dikarenakan transaksi dapat dengan mudah diakses dimanapun kita berada dan kapan pun kebutuhannya melalui handphone. Hampir semua bank di Indonesia sudah memiliki layanan tersebut contohnya adalah transfer dana antar rekening dan lain-lain. 7.
Internet Banking Internet membawa pembaruan dalam evolusi atau pola perkembangan
transaksi perekonomian. Nasabah perbankan dapat dengan mudah mengakses transaksi dengan memanfaatkan jaringan internet. 2.4.3
Peran Bank Sentral dalam Sistem Pembayaran Sistem pembayaran dapat diibaratkan seperti saluran darah dalam tubuh
manusia. Untuk bertahan hidup manusis membutuhkan darah dan kelancaran saluran darah, begitu juga dengan perekonomian. Maka dari itu baik atau tidaknya perekonomian di suatu negara juga ditentukan oleh kelancaran sistem
pembayarannya. Perpindahan dana yang semakin cepat dan efisien serta aman dapat membantu perkembangan perekonomian. Namun disisi lain resiko-resiko yang muncul seperti resiko likuiditas, resiko operasional, resiko kredit dan resiko lainnya harus dapat dikelola dengan baik sehingga akan tercipta kestabilan untuk menghindari dampak-dampak yang berpengaruh tehadap perekonomian secara nasional. Sistem pembayaran adalah salah satu pokok atau tugas utama bank sentral untuk mencapai kestabilan moneter. Undang-undang no.23 tahun 1999 menyatakan dengan tegas bahwa salah satu tugas Bank Indonesia dalam rangka mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah adalah mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, disamping dua tugas pokok lainnya yaitu menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter serta mengatur dan mengawasi bank. Dimana untuk tugas terakhir yaitu mengawasi bank telah secara resmi dialihkan kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Ketiga tugas pokok Bank Sentral pada dasarnya memiliki keterkaitan dan saling mendukung dalam rangka mencapai kestabilan moneter untuk mengawal pertumbuhan ekonomi yang berbasis kesejahteraan masyarakat. Tugas BI adalah mendukung terlaksananya sistem pembayaran yang efektif, efisien dan aman. Hal ini pun harus didukung oleh iklim perbankan yang sehat dan terhidar dari resiko sistemik (systemic risk). 2.5
Perkembagan Transaksi Sistem Pembayaran Bank
Indonesia
(2014)
menjelaskan
Indonesia
terus
mengalami
peningkatan dalam hal perkembangan transaksi pembayaran non-tunai, meskipun
belum secara signifikan mengurangi dominasi pembayaran secara tunai. Hal ini di masih dipengaruhi oleh beberapa faktor mendasar seperti masih rendahnya pemahaman masyarakat terhadap instrumen non-tunai dan masih terbatasnya ketersediaan infrastruktur untuk mendukung akses transaksi non-tunai tersebut. Manfaat-manfaat yang diperoleh dari insturmen ini antara lain manfaat efisiensi, kemudahan akses serta mendukung perekonomian melalui velocity of money. Seiring dengan perkembangan dan pertumbuhan perekonomian di masyarakat, nilai dan volume transaksi melalui APMK, yang terdiri atas kartu ATM dan/atau Kartu Debet mengalami peningkatan seperti yang terlihat pada Tabel 2.1: Tabel 2.1 : Volume dan Nilai Transaksi Pembayaran Non-Tunai S1 2013 (Triliun Rp)
Nilai S1 2014 (Triliun Rp)
%
1) ATM & 1.800,72 2.115,34 17,47 ATM/DEBET 106,67 120,5 12,97 2) Kartu Kredit 3) Uang 1,27 1,58 24,41 Elektronik Sumber: Bank Indonesia/KSK 23 September 2014
S1 2013 (jt Transaksi)
Nilai S1 2014 (Jt Transaksi)
1.650.71
1.943,72
17,75
116,23
123, 40
6,17
64,99
82,17
26,43
%
Di sisi lain instrumen pembayaran yang relatif baru yaitu uang elektronik, terlihat bahwa masyarakat mulai menunjukkan preferensi yang cukup bagus dimana seperti yang terlihat dalam tabel bahwa baik volume maupun nilai secara rata-rata mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan periode yang sama setahun sebelumnya. Penggunaan instrumen pembayaran non-tunai masih akan terus berkembang seiring dengan perkembangan perekonomian nasional dan
perkembangan teknologi dimana akan semakin mendesak kebutuhan masyarakat untuk bertransaksi. 2.6
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penggunaan Transaksi Non-Tunai Dalam penelitiannya Loix, et al. (2005) beberapa kategori yang dapat
digunakan sebagai alat untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku masyarakat dalam menggunakan instrumen-instrumen pembayaran nontunai yaitu: 1. Sosial Demografi, yang pada dasarnya terdiri dari jenis kelamin, umur, pendidikan dasar, besar keluarga dan pekerjaan 2. Finansial, yaitu menggunakan variabel penghasilan per bulan responden setelah dikurangi pajak. 3. Teknologi, yakni penggunaan frekuensi telepon bergerak, komputer pribadi, internet, PDA, dan penggunaan pelayanan Bank melalui telepon bergerak. 4. Sisi Penawaran, termasuk didalamnya daerah tempat tinggal, daerah tempat bekerja, jumlah terminal POS (Point Off Sale) dan sejumlah ATM baik di daerah tempat tinggal maupun tempat kerja, kepadatan penduduk di daerah tempat tinggal maupun tempak kerja, dan nilai tengah pendapatan perkapita di daerah tempat tinggal maupun tempat kerja. Berdasarkan poin diatas dapat dilihat bahwa instrumen-instrumen pembayaran non-tunai
memiliki dampak yang variatif, beberapa penelitian
memperlihatkan adanya pengaruh usia, jenis kelamin, ketersediaan teknologi bahkan lokasi seperti wilayah perkotaan dan pedesaan dalam mempengaruhi penggunaan transaksi non-tunai.
2.7
Pengalaman Negara Lain Penelitian-penelitian yang berkenaan penggunaan transaksi non-tunai
bermula pada era 1980-an. Secara umum dan dalam pengertian luas faktor-faktor seperti penawaran, teknologi, finansial dan sosial-demografi menjadi aspek penting dalam menentukan perilaku suatu masyarakat yang menggunakan instrumen non tunai tersebut. Kennickell dan Kwast (1997) yang menggunakan data Survey of Consumer Finances (SCF) tahun 1995, menghasilkan faktor umur yang mempengaruhi secara signifikan penggunaan instrumen non-tunai debit card oleh kalangan rumah tangga di Amerika Serikat.Dengan data yang sama Stavins (2001) menemukan bahwa pengaruh pendapatan tidak secara signifikan mempengaruhi penggunaan kartu debit, di sisi lain variabel teknologi ternyata lebih berpengaruh positif. Viren (1994), dalam penelitiannya tentang prilaku penggunaan isntrumen kartu debit dan kartu kredit di Finlandia, hanya menghasilkan variabel jenis kelamin (perempuan lebih sedikit) yang berpengaruh negatif. Sementara Jonker (2005) melakukan penelitian untuk kasus Belanda, menyimpulkan bahwa variabel jenis kelamin (perempuan lebih banyak) yang berpengaruh signifikan dan positif terhadap kartu debit, tetapi berpengaruh negatif terhadap kartu kredit. 2.8
Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Hipmi merupakan salah satu organisasi independen non-politik atau non-
afiliasi di Indonesia yang secara khusus bergerak di bidang perekonomian dengan fokus kewirausahaan. Berdiri pada tanggal 10 Juni 1972, tujuannya pertama kali
adalah untuk menggerakkan wirausaa muda di Indonesia karena pada saat itu belum banyak anak muda yang bercita-cita menjadi pengusaha. Stigma yang berkembang mengingatkan bahwa pengusaha merupakan profesi yang penuh ketidakpastian, sehingga anggapan sebagian besar masyarakat ketika itu adalah lebih baik menjadi seorang birokrat atau aparat dan lain sebagainya. Hipmi didirikan juga oleh tokoh-tokoh muda kala itu yang pada dasarnya juga dari kalangan pengusaha seperti Drs. Abdul Latief, Ir. Siswono Yudo Husodo, Teuku Sjahrul, Datuk Hakim Tantawi, Badar Tando, Irawan Djajaatmaja, SH , Hari Sjamsudin Mangaan, Pontjo Sutowo dan Ir. Mahdi Diah. Sejalan dengan perkembangannya hipmi telah berhasil memunculkan tokoh-tokoh serta kader-kader pengusaha baru Indonesia. Stigma yang selama ini berkembang mengenai strata sosial kaum pengusaha juga telah secara signifikan berubah, dan menjadikan posisi pengusaha atau profesi pengusaha sebagai profesi yang berwibawa dan ini pada saat ini telah cukup berhasil merubah pola pandangan masyarakat. Kader-kader hipmi saat ini tidak hanya bergerak di level nasional namun sebagian mampu menembus level internasional. Fokus hipmi di era ini adalah mengembangkan Usaha Kecil – Menengah agar menjadi bantalan kuat ekonomi Indonesia secara nasional. Tantangan ekonomi yang semakin tinggi ditengah persaingan global membuat pengusaha Indonesia harus dapat bersaing dan tahan banting. Merupakan salah satu tujuan hipmi, yakni menjadikan pengkaderan pengusaha-pengusaha muda yang bergerak di sektor miko, kecil dan menengah menjadi bagian penting dalam ketahanan ekonomi nasional.
Hipmi secara struktural dan organisasi memiliki tingkatan mulai dari tingkat atau level pusat atau Badan Pengurus Pusat yang berkedudukan di Ibukota Jakarta. Badan Pengurus Daerah yang berpusat di Ibukota Provinsi, serta pengurus cabang yang berposisi di Ibukota Kabupaten/Kota. Hipmi sampai saat ini telah hadir di hampir seluruh Indonesia yakni di 33 Provinsi dan sementara memiliki 511 cabang menyesuaikan dengan perkembangan otonomi daerah dan pemekaran di berbagai wilayah Indonesia. Para anggota hipmi memiliki jenis usaha yang variatif, mulai dari usaha perkebunan, kehutanan dan pertanian, usaha pertambangan, industri kimia, furniture dan pariwisata serta jasa-jasa di berbagai bidang. Hipmi terus berkembang sampai saat ini dengan inovasi-inovasi baru dan menyesuaikan dengan kondisi perkonomian saat ini. Hipmi merupakan organisasi potensial yang terdiri dari para penggerak ekonomi yang memiliki dampak luas secara nasional. Para pengusaha selalu mengharapkan adanya kebaruan dan inovasi yang dapat menyesuaikan dengan kebutuhan usaha mereka. Hal ini tentunya dapat mendukung efisiensi dan efektifitas mereka dalam menjalankan usaha dan bertransaksi untuk kebutuhan usaha. Maka dari itu dirasa penting untuk menjadikan anggota Hipmi yang telah secara struktural merupakan asosiasi pengusaha sebagai bagian percontohan dan role model untuk menciptakan perekonomian yang berbasis kemandirian. Pengusaha tentunya juga diharapkan agar menjadi pelopor dalam mewujudkan masyarakat non-tunai di Indonesia.
2.9
Penelitian Terdahulu Sridawati (2006) dalam penelitiannya mengenai preferensi masyarakat
dalam menggunakan kartu pembayaran elektronik mengungkapkan bahwa ada delapan variabel yang secara jelas mempengaruhi preferensi masyarakat dalam menggunakan kartu pembayaran elektronik antara lain: umur, jenis kelamin, pendapatan rata-rata, pendidikan, motivasi, teknologi dan lokasi. Penelitian ini juga menganalisis peluang antara variabel yang mempengaruhi kartu pembayaran elektronik. Berdasarkan hasil dari penelitian dapat disimpulkan bahwa masyarakat yang menggunakan kartu pembayaran elektronik tidak lebih banyak dengan masyarakat yang tidak menggunakan kartu pembayaran elektronik. Bila dibandingkan dengan penelitian-penelitian di negara-negara lain secara umum, maka faktor-faktor yang mempengaruhi pembayaran elektronik di Indonesia juga tidak jauh berbeda dengan prilaku masyarakat di negara lain seperti Belgia dan Amerika Serikat. Zinman (2005) dalam penelitiannya menulis tentang analisisnya mengenai perbandingan penggunaan atara kartu debet dan kartu kredit. Hasil dalam penelitian ini mengungkapkan bahwa berdasarkan kemudahan
dan efisiensi
penggunaan, masyarakat di seluruh dunia dewasa ini lebih cenderung berminat menggunakan kartu debet. Penelitian lain yang dilakukan oleh Scheft (2005), membahas mengapa dan bagaimana konsumen memilih metode pembayarannya sendiri. Dengan menggunakan data Point Off Sale (POS) dalam penelitian ini faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan penggunaan metode pembayaran antara lain: biaya
transaksi, lama transaksi, resiko, nilai dari pembelian dan ketersediaan (mudah ditemukan) alat pembayaran tersebut.
2.10
Kerangka Konseptual Penelitian ini menjelaskan dan menganalisis tentang penggunaan transaksi
non-tunai di kalangan pengusaha. Sistem Pembayaran merupakan bagian besar dan penting dalam suatu perekonomian. Seiring waktu, pola instrumen pembayaran juga mengalami perubahan dan inovasi baru, setidaknya terbagi atas pembayaran tunai dan non-tunai. Tujuan utama pembayaran non-tunai atau yang dikenal dengan electronic payment system adalah pertimbangan efisiensi, keamanan serta waktu. Perbankan merupakan motor promosi Less Cash Society, sementara pengusaha adalah bagian penting dalam perekonomian. Kalangan pengusaha memiliki frekuensi transaksi yang lebih tinggi dibandingkan dengan kalangan masyarakat lainnya. Pengusaha relatif lebih berkepentingan untuk memiliki akses ke perbankan, sehingga perlu dilihat bagaimana penggunaan instrumen pembayaran non-tunai di kalangan pengusaha khususnya pengusaha yang tergabung dalam keanggotaan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) di Kota Medan.
Sistem Pembayaran
Transaksi Pembayaran NonTunai (Cashless)
Penggunaan Transaksi Non-Tunai
Kartu ATM
Kartu Debet/Kredit
Faktor Pendukung
Giro/Cek
Elecronic Money
Faktor Penghambat
Gambar 2.1 : Kerangka Konseptual
Mobile Banking, Phone dan Internet Banking