BAB II TINJAUAN LITERATUR DAN METODE PENELITIAN
2.1. Tinjauan Literatur 2.1.1. Pajak Pertambahan Nilai 2.1.1.1. Pengertian PPN Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah suatu jenis pajak yang dikenakan atas nilai tambah (added value) dari suatu barang ataupun jasa yang ditransaksikan. Terdapat beberapa pengertian yang bersifat lebih teknis dari para ahli mengenai nilai tambah ini. Menurut Tait (1972 : 2) : Nilai tambah adalah nilai yang dihasilkan (oleh manufaktur, distributor, agen periklanan, pemotong rambut, pelatihan pacuan kuda atau pemilik sirkus) yang ditambahkan pada bahan baku atau pembelian lain (juga tenaga kerja) sebelum dijual atau berupa jasa. Menurut Aaron (1965, 181) : Value Added is the difference between the value of the firm’s sales and the value of the purchased materials inputs used in producing goods sold. Value Added is also equal to the sum of wages and salaries, interest payments and profits before tax earned by a firm. Sedangkan menurut Veseth, (1994 : 288) “Nilai tambah adalah ukuran dari hasil kegiatan ekonomi dan penghasilan. Ini digambarkan oleh perbedaan antara nilai pembeli dengan penjual”. Dengan demikian, nilai tambah berkaitan dengan kegiatan yang dilakukan pelaku ekonomi terutama pihak pengusaha yang bergerak di bidang agraris, ekstraktif, industri, perdagangan, maupun jasa.
2.1.1.2. Metode Pengenaan PPN
Pengaruh peraturan..., Yulmanizar, FISIP UI, 2008.
Dikaitkan dengan besarnya tarif pajak (t) yang berlaku, maka terdapat 4 (empat) variasi formula dasar untuk menghitung besarnya PPN, yakni (Tait, 1998 : 4) : 1. PPN = t (upah + keuntungan), disebut sebagai the additive-direct / accounts method. 2. PPN = t (upah) + t (keuntungan) ; disebut sebagai the additive-indirect method. 3. PPN = t (output - input) ; disebut sebagai the substractive-direct method. 4. PPN = t (output) – ( input) ; disebut sebagai the substractive-indirect method.
Sumber : Tait (1998 : 4)
Dari formula 1, additive-direct / accounts method, dapat dilihat bahwa pajak (t) dikalikan langsung terhadap jumlah seluruh nilai tambah yang diperoleh dari upah tambah keuntungan. Sedangkan dengan formula 2, additive-direct method, masingmasing tarif pajak dikaitkan dengan unsur nilai tambah yaitu atas upah dan keuntungan. Pada dasarnya hasil semua rumus tersebut sama, namun masing-masing rumus memberi sifat tersendiri dalam pengenaannya yakni secara langsung (direct) terhadap jumlah nilai tambah, dan tidak langsung (indirect) terhadap jumlah nilai tambah melainkan melalui unsurnya. Sama dengan pola formula 1 dan 2, dengan formula 3, substractive- direct method, tarif pajak langsung (direct) dikalikan terhadap hasil bersih dari output dikurangi input. Hasilnya juga akan sama dengan formula 4, substractive-indirect method, dengan perkalian tarif pajak terhadap masing-masing komponen yakni atas output dan input. Berdasarkan formula di atas, terdapat 2 (dua) cara untuk menghitung nilai tambah yaitu dengan addition dan substraction. Dengan adanya pengenaan pajak yang didasarkan atas nilai tambah, baik itu berdasarkan addition dan substraction, melalui model nilai tambah ini juga bermanfaat untuk menghilangkan pengenaan pajak ganda yang mungkin ada dalam PPN, yakni pengenaan PPN atas PPN yang ada dalam harga jual (cascading effects). Karena dalam praktek bukan tidak mungkin terjadi pengenaan PPN atas PPN yang ada dalam harga jual dari suatu barang atau jasa, sehingga di samping merugikan juga prinsip pengenaan PPN atas nilai tambah tidak diterapkan secara benar.
Pengaruh peraturan..., Yulmanizar, FISIP UI, 2008.
Di Indonesia, metode yang digunakan adalah substractive indirect method atau disebut juga invoice method
atau credit method.
Dikatakan sebagai substractive
indirect method karena pengenaan pajak dihitung dari selisih pajak nilai jual terhadap pajak nilai beli dan penghitungannya tidak lagi berdasarkan pembukuan atau catatan melainkan berdasarkan faktur, sehingga disebut juga invoice method. Jadi istilah “indirect” digunakan karena menjelaskan penghitungan pertambahan nilai terjadi secara tidak langsung, yaitu dengan mengurangkan nilai faktur pembelian terhadap nilai faktur penjualan secara berkesinambungan dari suatu periode ke periode berikutnya. Sementara istilah credit method digunakan karena di dalamnya terdapat mekanisme pengkreditan pajak. Adapun keunggulan sistem yang substractive indirect method / invoice method / credit method dibandingkan sistem lainnya, adalah sebagai berikut (Tait, 1998 : 5) : a. Faktur
pajak
mengkaitkan
pajak
terutang
dengan
transaksi
yang
menyebabkan timbulnya hutang pajak. Hal ini menjadikan metode ini paling unggul dibandingkan dengan yang lain, baik dari sudut yuridis maupun teknis pemungutan. Kedudukan faktur pajak menjadi sangat penting karena selain sebagai bukti adanya suatu transaksi, juga sebagai bukti adanya pembayaran pajak yang terhutang. b. Menciptakan audit trail atau jejak lacak. Faktur pajak menciptakan suatu audit trail atau “jejak lacak” yang baik bagi fiskus. Hal ini memudahkan untuk melakukan pemeriksaan, karena adanya invoice yang dapat menjadi jejak (audit trail) adanya transaksi pembelian dan penjualan. Sehingga memaksa tidak saja penjual melainkan juga pembeli untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan baik dan mendorong mereka untuk melakukan pembukuan dengan tertib, baik dan benar. Bila hal ini tidak dilakukan, maka Pengusaha Kena Pajak akan mengalami berbagai kendala sehubungan dengan pegkreditan Pajak Masukan atau Pajak Keluaran, sebab Faktur Pajak Masukan merupakan bukti sah atas pajak yang telah dibayar pada negara. c. Memberikan informasi besarnya pajak pada mata rantai sebelumnya. Dalam sistem yang lain, yaitu additive method dan substractive direct method secara teknis tidak mampu memberikan informasi besarnya pajak pada mata
Pengaruh peraturan..., Yulmanizar, FISIP UI, 2008.
rantai produksi dan distribusi sebelumnya, dan apakah pajak tersebut sudah dibayar. d. Tidak perlu menghitung keuntungan terlebih dahulu Untuk menghitung pajak, tidak perlu menghitung keuntungan terlebih dahulu, karena penghitungan pajak dilakukan dengan mengurangkan nilai pajak hasil penjualan penjualan terhadap pajak hasil pembelian. Sedangkan bila menggunakan additive direct method (atau account method) dan additive direct method, pengusaha harus menghitung dulu jumlah keuntungan. Dalam prakteknya, hal ini tidaklah mudah, karena pengusaha didalam pembukuannya harus memilah–milah kategori produk sesuai dengan tarif PPN-nya, serta input-nya sesuai jumlah pajak yang terhutang. e. Dalam substractive direct method dihitung dulu pertambahan nilai yang terjadi Dalam substractive direct method atau business transfer tax, terlebih dahulu harus dihitung pertambahan nilai yang terjadi. Hal ini dilakukan dengan cara menghitungkan
input
terhadap
output-nya.
Dalam
prakteknya,
para
pengusaha akan kurang menyukai cara ini bila dilakukan setiap bulan. Karena pembelian, penjualan maupun persediaan dalam sebulan dapat berfluktuasi
dengan
signifikan.
Penggunaan
metode
ini
idealnya
menggunakan periode tahunan. Di samping itu, tarif pajak yang sebaiknya digunakan adalah tarif tunggal. f.
Periode penghitungan besarnya pajak lebih fleksibel Periode penghitungan besarnya pajak yang terhutang tidak saja dapat dihitung setahun sekali, melainkan triwulanan, bulanan, bahkan kalau dikehendaki seminggu sekali.
g. Dapat menggunakan multi tarif Lebih fleksibel bila tarifnya berbeda–beda, karena bertumpu pada invoice. Untuk additive method hanya dapat dipakai untuk tarif tunggal, sedangkan untuk substractive direct method akan sulit bila tarifnya berbeda–beda, karena mensyaratkan adanya pemisahan pembukuan atau catatan untuk komoditi yang tarif pajaknya berbeda.
Pengaruh peraturan..., Yulmanizar, FISIP UI, 2008.
2.1.1.3. Tingkat Pengenaan PPN Berdasarkan tingkat pengenaannya, Pajak Pertambahan Nilai dapat dibedakan dalam dua tingkat pengenaan (Ben, 1988 dalam Sukardji 1999 : 5-9) : a. Single stage tax, yaitu PPN yang pengenaannya dilakukan hanya pada salah satu mata rantai jalur produksi atau jalur distribusi. Berdasarkan mekanisme produksi dan distribusi barang, maka single stage tax dapat dibagi dalam tiga tingkat pengenaan, yaitu : i.
a single stage tax at the manufacturer’s level (a manufacturer’s tax) : pajak yang dikenakan hanya pada tingkat pabrikan.
ii. a single stage tax at the wholesale level (a wholesale tax) : pajak yang dikenakan hanya pada tingkat pedagang besar. iii. a single stage tax at the retail level (a retail sales tax) : pajak yang dikenakan atas penyerahan yang dilakukan oleh setiap pengusaha yang menyerahkan barang langsung kepada konsumen. Dalam single stage tax ini, pengenaan PPN sesuai dengan kebijakan pemerintah, dilakukan hanya di satu mata rantai produksi / distribusi saja. b. Multi stage tax, yaitu PPN yang pengenaannya dilakukan beberapa kali sepanjang mata rantai jalur produksi atau jalur distribusi (pabrik, pedagang besar, pedagang eceran, konsumen). Pengenaan PPN dalam beberapa tahap ini, mengakibatkan terjadinya nilai tambah sebagai dasar pengenaan pajak di setiap tahap distribusi. Sesuai dengan mekanisme yang berlaku, setiap pembelian atau perolehan barang yang
digunakan untuk
kegiatan perusahaan,
PPN yang
dikenakan
merupakan Pajak Masukan (input tax). Sedangkan atas barang yang dijual, PPN yang dikenakan merupakan Pajak Keluaran (output tax). Untuk menghindari cascade effects dalam menghitung PPN yang bersumber dari nilai tambah, Pajak Keluaran akan dikurangi dengan Pajak Masukan. Sebagai ilustrasi dapat dilihat pada Tabel berikut ini.
Pengaruh peraturan..., Yulmanizar, FISIP UI, 2008.
Tabel 2.1 Ilustrasi Pengenaan PPN Berdasarkan Multi-Stage Level (asumsi tarif PPN 10%) Mata Rantai Produksi
Harga Jual
Pajak Keluaran
Pajak Masukan
PPN Disetor
Pabrikan
500
50
-
50
Pedagang besar
800
80
50
30
Pedagang eceran
900
90
80
10
Jumlah PPN yang disetor ke Kas Negara
90
Sumber : Ben,1988 dalam Sukardji (1999 : 5-9)
2.1.2. Restitusi Pajak Pertambahan Nilai
Undang-undang PPN Indonesia menganut indirect subtraction method, maka
sangat dimungkinkan apabila pada suatu masa terjadi kelebihan pembayaran Pajak
Pertambahan Nilai. Jumlah Pajak Masukan yang dibayar lebih besar daripada jumlah
Pajak Keluaran yang dipungut dalam suatu masa pajak yang disebabkan oleh:
a. Pembelian barang modal dan bahan baku atau bahan pembantu yang
dilakukan sebelum usaha dimulai atau pada awal usaha dimulai.
b. Pengusaha Kena Pajak Melakukan kegiatan ekspor BKP.
c. Pengusaha Kena Pajak menyerahkan BKP dan/atau JKP kepada Pemungut
Pajak Pertambahan Nilai.
Pengaruh peraturan..., Yulmanizar, FISIP UI, 2008.
d. Pengusaha Kena Pajak menyerahkan Barang Kena Pajak dan atau Jasa
Kena Pajak sehubungan dengan proyek milik Pemerintah yang dananya
berasal dari hibah atau pinjaman dari luar negeri.
e. Pengusaha Kena Pajak melakukan penyerahan BKP untuk diolah lebih lanjut
kepada EPTE.
Sebelum suatu usaha dimulai, Pengusaha Kena Pajak melakukan pembelian
barang modal seperti mesin, kendaraan, bangunan kantor, bangunan pabrik atau masih
banyak lainnya. Hal tersebut dilakukan untuk mernpersiapkan perangkat pendukung
untuk lancarnya usaha. Pembelian barang modal yang merupakan Barang Kena Pajak
dengan demikian terutang Pajak Pertambahan Nilai. Pengusaha Kena Pajak selaku
pembeli akan mendapatkan Faktur Pajak Masukan dan atas Pajak Masukan tersebut
dapat dikreditkan sepanjang mempunyai hubungan langsung dengan usaha. Pembelian
barang modal tersebut menyebabkan jumlah Pajak Masukan lebih besar daripada Pajak
Keluaran, hal tersebut menyebabkan kelebihan bayar Pajak Pertambahan Nilai.
Penjualan ekspor dapat menyebabkan kelebihan bayar Pajak Pertambahan Nilai,
karena penjualan ekspor dikenakan tarif 0%. Hal ini sesuai dengan Pasal 7 ayat 2
Undang-Undang No. 8 tahun 1983 sebagaimana terakhir telah diubah dengan Undang-
Undang No. 18 tahun 2000 dimana "Tarif Pajak Pertambahan Nilai atas ekspor Barang
Kena Pajak adalah 0%". Dengan pengenaan tarif tersebut atas penjualan ekspor, maka
akan menyebabkan jumlah Pajak Masukan yang dibayar akan lebih besar daripada
Pajak Keluaran yang dipungut. Hal tersebut menyebabkan kelebihan bayar Pajak
Pertambahan Nilai.
Pada dasarnya penyerahan BKP dan atau JKP kepada Pemungut Pajak
Pertambahan Nilai, tidak jauh berbeda dengan penyerahan kepada bukan pemungut.
Perbedaannya Pajak Keluaran yang seharusnya dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak
penjual tetapi Pajak Keluaran tersebut dipungut oleh badan pemungut.
Pengusaha Kena Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak dan atau Jasa
Kena Pajak sehubungan dengan proyek milik Pemerintah. yang dananya berasal dari
hibah atau pinjaman dari luar negeri, maka Pajak Keluaran atas transaksi tersebut
dipungut oleh pemerintah sebagai pemilik proyek tersebut.
Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan BKP untuk diolah lebih
lanjut kepada EPTE. Perusahaan EPTE adalah perusahaan yang semata-mata orientasi
Pengaruh peraturan..., Yulmanizar, FISIP UI, 2008.
produksinya untuk tujuan ekspor, maka untuk mempermudah perusahaan tersebut agar
tidak perlu lagi melakukan restitusi kelebihan bayar Pajak Pertambahan Nilainya,
pemerintah memberikan kebijaksanaan penyerahaan kepada EPTE dipersamakan
dengan penyerahaan ekspor.
Sesuai dengan Pasal 9 ayat 4 Undang-Undang No. 8 tahun 1983 sebagaimana
terakhir telah diubah dengan Undang-Undang No. 18 tahun 2000 "Apabila dalam suatu
masa pajak, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar dari pada Pajak
Keluaran, maka selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dapat dimintakan kembali
atau dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya". Pajak Masukan yang dimaksud
adalah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan. Atas kelebihan tersebut sebelum
dikembalikan harus melalui prosedur pemeriksaan terlebih dahulu.
Prosedur penyampaian permohonan restitusi Pajak Pertambahan Nilai ada dua
cara dan hal ini diatur Pasal 2 ayat 1
Keputusan Direktur Jenderal Pajak No.
160/PJ./2001 tanggal 19 Pebruari 2001 adalah sebagai berikut:
a. Mengisi
kolom
yang
tersedia
dalam
Surat
Pemberitahuan
Masa
Pajak Pertambahan Nilai.
b. Surat permohonan tersendiri.
Permohonan tersebut harus dilengkapi dengan bukti-bukti dan atau dokumen
berupa:
a. Faktur Pajak Masukan dan Faktur Pajak Keluaran yang terkait dengan
kelebihan
pembayaran
Pajak
Pertambahan
Nilai
yang
dimintakan
pengembalian.
b. Pemberitahuan Impor Barang
c. SSP atau bukti pungutan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
d. Pemberitahuan Ekspor Barang yang telah difiat muat oleh Direktorat Jenderal
Bea dan Cukai.
e. Bill of lading atau Airway Bill.
f.
Kontrak Surat Perintah Kerja.
g. Surat Setoran Pajak.
Pengaruh peraturan..., Yulmanizar, FISIP UI, 2008.
Setelah permohonan tersebut dilengkapi oleh Pengusaha Kena Pajak maka
permohonan tersebut diajukan kepada Kantor Pelayanan Pajak dimana Pengusaha
Kena Pajak dikukuhkan. Permohanan tersebut diajukan untuk satu masa pajak.
Pengembalian kelebihan bayar Pajak Pertambahan Nilai harus melalui
pemeriksaan, hal ini bertujuan untuk membuktkian kebenaran dari SPT Masa Pajak
Pertambahan Nilai yang mengajukan restitusi atas kelebihan bayar Pajak Pertambahan
Nilai. Direktorat Jenderal Pajak dalam memberikan kelebihan bayar Pajak Pertambahan
Nilai tersebut menentukan langkah-langkah yang harus dilalui oleh fiskus dalam
pemeriksaan yang diatur dengan SE-53/PJ.52/2002 tanggal 21 Oktober 2002, yaitu :
a. Melaksanakan konfirmasi
Faktur
Pajak
melalui
SIP (Pajak Keluaran-
Pajak Masukan)
b. Melakukan konfirmasi Surat Setoran Pajak (SSP) dengan system Monitoring
Pelaporan Pembayaran Pajak (MP3) atau kepada unit atau instansi yang
terkait.
c. Melakukan konfirmasi atas Dokumen PIB dan PEB kepada unit atau instansi
terkait. Bagi Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Pemeriksaan dan Penyidik
Pajak yang sudah dapat melaksanakan Program Pajak Keluaran-Pajak
Masukan melaui intranet agar memanfaatakan data PIB dan PEB pada
intranet Direktorat Jenderal Pajak.
d. Melakukan analisa perbaridingan terhadap SPT PPh Badan Wajib Pajak
yang bersangkutan untuk 2 tahun terakhir.
e. Melakukan analisa terhadap SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai untuk masa
6 bulan terakhir
f.
Mewaspadai Pengusaha Kena Pajak yang non efektif, Pengusaha Kena
Pajak yang melaporkan SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai nihil, yang
kemudian melakukan pembetulan SPT Masa dan rnenunjukkan jumlah
peredaran usahanya yang meningkat cepat dan cukup besar.
Selain dalam rangka memberikan pelayanan yang terbaik kepada Pengusaha
Kena Pajak yang mengajukan restitusi Pajak Pertambahan Nilai, Direktorat Jenderal
Pajak juga mempunyai tugas mengamankan penerimaan Pajak Pertambahan Nilai,
untuk itulah langkah-langkah tersebut di atas harus dilalui oleh fiskus.
Pengaruh peraturan..., Yulmanizar, FISIP UI, 2008.
Mulai
1
Januari
2001
Direktorat
Jenderal
konfirmasi menggunakan Sistem Informasi Perpajakan
Pajak
dalam melakukan
(SIP) dan hal itu diatur
Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. KEP-754/PJ./2001 tanggal 26 Desember 2001.
Adapun ketentuan pokok yang diatur dalam keputusan ini dapat dikemukakan sebagai
berikut :
a. Tujuan konfirmasi Faktur Pajak adalah untuk mendapatkan keyakinan
bahwa:
i.
Faktur Pajak tersebut diterbitkan oleh pengusaha yang telah dikukuhkan
sebagai Pengusaha Kena Pajak
ii. Faktur
pajak
tersebut
diterbitkan
oleh
Pengusaha
Kena
Pajak
sehubungan dengan adanya penyerahaan Barang Kena Pajak dan atau
Jasa Kena Pajak yang terutang Pajak Pertambahan Nilai
iii. Faktur pajak tersebut telah dilaporkan Pengusaha Kena Pajak penerbit
sebagai Pajak Keluaran pada SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai.
b. Hasil konfirmasi dengan aplikasi SIP dapat berupa :
i.
Faktur Pajak Masukan yang dilaporkan oleh Pengusaha Kena Pajak
pembeli sesuai dengan Pajak Keluaran yang dilaporkan oleh Pengusaha
Kena Pajak penjual.
ii. Faktur Pajak Masukan yang dilaporkan oleh Pengusaha Kena Pajak
pembeli sesuai dengan Pajak Keluaran yang dilaporkan oleh Pengusaha
Kena Pajak penjual. Ketidaksesuaian terjadi disebabkan antara lain
karena kode seri dan nomor faktur pajak, tanggal faktur pajak, dan atau
jumlah yang dipungut pada rekaman data faktur pajak Pengusaha Kena
Pajak pembeli berbeda dengan yang dilaporkan Pengusaha Kena Pajak
penjual.
iii. Tidak ada data pembanding yang kemungkinan disebabkan Pengusaha
Kena Pajak penjual belum/tidak melaporkan Pajak Keluaran, atau KPP
tempat Pengusaha
Kena
Pajak
penjual
diadministrasikan,
melakukan perekaman.
Pengaruh peraturan..., Yulmanizar, FISIP UI, 2008.
belum
iv. Pengusaha Kena Pajak pembeli belum melaporkan sebagai Pajak
Masukan tetapi Pengusaha Kena Pajak penjual telah melaporkan Pajak
Keluaran.
c. Hasil konfirmasi tersebut di atas, melalui program Pajak Masukan-Pajak
Keluaran dibuatkan print out sebagai berikut:
i.
Daftar Pajak Keluaran-Pajak Masukan yang sudah sesuai.
ii. Daftar Pajak Keluaran-Pajak Masukan yang tidak sesuai yang diakibatkan
Pengusaha Kena Pajak pembeli belum melaporkan Faktur pajak sebagai
Pajak Masukan.
iii. Daftar Pajak Keluaran-Pajak Masukan yang mengandung elemen data
yang tidak sesuai dan atau tidak ada data pembanding dengan nilai Pajak
Pertambahan Nilai pada Faktur Pajak Masukan yang dikreditkan oleh
Pengusaha Kena Pajak pembeli Rp. 500.000,- atau lebih.
iv. Daftar Pajak Keluaran-Pajak Masukan yang mengandung elemen data
yang tidak sesuai dan atau tidak ada data pembanding dengan nilai
Pajak Pertambahan Nilai pada Faktur Pajak Masukan yang dikreditkan
oleh Pengusaha Kena Pajak pembeli kurang dari Rp. 500.000,-
Sistem pemungutan PPN mengacu pada karakteristik pajak penjualan yaitu Multi Stage Levy. Artinya PPN atas suatu barang atau jasa dikenakan pada beberapa tingkat dari produksi dan distribusi (Rosdiana dan Tarigan, 2005 : 21). Beban pajak yang ditanggung oleh seorang pengusaha dapat diteruskan (forward shifting atau backward shifting) pada mata rantai produksi atau mata rantai distribusi berikutnya, demikian seterusnya hingga pada akhirnya PPN akan ditanggung oleh konsumen akhir dimana tidak ada nilai tambah yang diberikan pada produk barang atau jasa. Secara garis besar dapat dikatakan bahwa kelebihan pembayaran PPN terjadi apabila pajak masukan yang telah dibayar pada saat perolehan barang atau jasa lebih besar dari pajak keluaran yang dipungut pada saat penyerahan barang atau jasa. Ebril et al (2001 : 155) menyatakan bahwa: “It is a key feature of the invoice-credit form of VAT that some bussiness will pay more tax on their input than is due on their output, and so ought in principle to receive refunds.”
Pengaruh peraturan..., Yulmanizar, FISIP UI, 2008.
selanjutnya dijelaskan pula bahwa : “Excess credit can also arise even with positive value added if the rate of tax on inputs is sufficiently in excess og that on outputs. More precisely, excess credits arise whenever the proportionate excess of the average rate of tax on inputs exceeds that on output by more than the ratio of value added to input cost.”
Seorang pelaku usaha melakukan kegiatan usaha baik produksi maupun distribusi dengan harapan mendapat nilai tambah atas produk (barang atau jasa) yang dikonsumsi pihak lain. Nilai tambah ini merupakan profit yang diharapkan akan terjadi. Logikanya apabila suatu kegiatan usaha mendapatkan keuntungan karena penyerahan hasil produksi sama atau lebih besar dari konsumsi maka tidak mungkin terjadi restitusi PPN. Akan tetapi dalam penerapan PPN terdapat beberapa distorsi yang sengaja ditimbulkan otoritas perpajakan/pemerintah dengan beberapa alasan, misalnya untuk menggerakkan roda perekonomian, untuk meningkatkan pendapatan devisa dari transaksi ekspor dan lain sebagainya. Industri yang seluruh pemasaran hasil produksinya dilakukan melalui transaksi ekspor (dimana tarif PPN atas penyerahan barangnya ditetapkan sebesar 0%) atau pengusaha yang baru saja melakukan kegiatan usaha dimana jumlah investasi atas persediaan barang lebih besar dari jumlah barang yang dijual, kemungkinan besar akan mengajukan pengembalian kelebihan pembayaran PPN karena jumlah Pajak Masukan yang telah dibayar lebih besar dari jumlah Pajak Keluaran yang dipungut. Pada
prinsipnya,
pengembalian
kelebihan
pembayaran
PPN
harus
diselenggarakan sesegera mungkin pada saat kelebihan tersebut pertama kali terjadi. Menurut Ebrill et al (2001 : 156) pembayaran atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran PPN di beberapa negara berkembang diselesaikan antara tiga sampai empat minggu. Hal ini sejalan dengan kebutuhan dunia usaha dimana membutuhkan cash flow turn over yang tinggi. Akan tetapi menurut mereka, tanpa adanya kebijakan yang efektif terhadap kasus kelebihan pembayaran PPN akan memberikan peluang terjadinya penggelapan dan perilaku korupsi Ebrill et al (2001 : 157). “A critical aspect of the treatment of refunds is the overall VAT Audit Strategy, including the systems adopted to verify refund claims. A poor refund system can do significant harm. Failure fully to refund excess credit undermines the core principle of the VAT : intermediate transaction between firms should bear no final VAT burden. Such failure creates distortions that imply a real waste of resources
Pengaruh peraturan..., Yulmanizar, FISIP UI, 2008.
: producers will substitute away from taxed inputs, and relative price between sectors will be affected. The competitiveness of the export sector may be harmed, and the competitive edge tilted against new firms.”
2.1.3. Kepuasan Penerima Layanan Organisasi didirikan untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut salah satu kegiatan yang dilakukan oleh organisasi adalah menghasilkan produk. Secara garis besar produk terbagi menjadi dua pengertian yaitu produk dalam bentuk barang dan jasa. Produk dalam bentuk barang bersifat tangible (terlihat), yang secara fisik dapat terlihat dan dapat dirasakan dimensinya. Sedangkan produk dalam bentuk jasa bersifat intagible (tidak terlihat) namun dapat dirasakan akibat atau hasil perbuatannya. Pengertian jasa menurut Kotler (1995:27) “adalah setiap tindakan atau kegiatan yang dapat ditawarkan oleh satu pihak yang pada dasarnya tidak berwujud dan tidak mengakibatkan kepemilikan apapun”. Menurut Lovelock (2005:5) jasa adalah tindakan atau kinerja yang ditawarkan suatu pihak kepada pihak lainnya. Walaupun prosesnya mungkin terkait dengan produk fisik, kinerjanya pada dasarnya tidak nyata dan biasanya tidak menghasilkan kepemilikan atas faktor-faktor produksi. Definisi lainnya mengenai jasa oleh Lovelock (1996:224): “Service is performance rather than a thing. But service, being intangible and ephemeral are experienced rather than owned. Customer may have to participate actively in the process of service creation, delivery and consumption.”
Stanton (1981:529) mengungkapkan definisi jasa adalah sesuatu yang dapat didefinisikan secara terpisah, tidak berwujud, dan ditawarkan untuk memenuhi kebutuhan di mana jasa dapat dihasilkan dengan menggunakan benda-benda berwujud atau tidak. Dari batasan tersebut di atas dapat dikatakan bahwa jasa pelayanan adalah usaha atau kegiatan yang dilakukan untuk menghasilkan sesuatu yang tidak berwujud, namun dapat dinikmati. Keluaran dari usaha ini tidak dapat dilihat dan diraba. Berbagai riset dan literatur manajemen dan pemasaran jasa mengungkap bahwa jasa memiliki empat karakteristik unik yang membedakannya dari barang. Perbedaan tersebut
berdampak
pada
strategi
mengelola
dan
memasarkannya.
Pengaruh peraturan..., Yulmanizar, FISIP UI, 2008.
Keempat
karakteristik utama tersebut dinamakan paradigma IHIP : Intangibility, Heterogeneity, Inseparability, dan perishability (Tjiptono, 2005:49) yang dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Intangibility (tidak berwujud), artinya adalah bahwa suatu jasa mempunyai sifat tidak berwujud, tidak dapat dirasakan, tidak dapat dilihat, didengar atau dicium sebelum membelinya. 2. Heterogeneity (bervariasi), artinya bahwa barang jasa yang sesungguhnya sangat mudah berubah-ubah, karena jasa tergantung pada siapa yang menyajikan dan dimana disajikan. 3. Inseparability (tidak dapat dipisahkan), artinya adalah bahwa pada umumnya jasa dikonsumsikan (dihasilkan) dan dirasakan pada waktu bersamaan dan apabila dikehendaki oleh seseorang untuk diserahkan kepada pihak lainnya, dia akan tetap merupakan bagian dari jasa tersebut. 4. Perishability (tidak tahan lama) jasa merupakan komoditas yang tidak tahan lama, tidak dapat disimpan untuk pemakaian ulang di waktu datang, dijual kembali, atau dikembalikan.
Kotler (1997: 42) memberikan empat karakteristik batasan-batasan untuk jenisjenis pelayanan jasa sebagai berikut : 1. Jasa berbeda berdasarkan basis peralatan (equipment based) atau basis orang (people based) di mana jasa berbasis orang berbeda dari segi penyediaannya, yaitu pekerja tidak terlatih, terlatih, atau profesional; 2. Beberapa jenis jasa adalah yang memerlukan kehadiran dari klien (client’s presence); 3. Jasa juga dibedakan dalam memenuhi kebutuhan perorangan (personal need) atau kebutuhan bisnis (business need); dan 4. Jasa yang dibedakan atas tujuannya, yaitu laba atau nirlaba (profit or non profit) dan kepemilikannya swasta atau publik (private or public). Apabila diperhatikan batasan dan karakteristik di atas, penanganan restitusi PPN oleh Direktorat Jenderal Pajak kepada Wajib Pajak termasuk di dalamnya. Dengan
Pengaruh peraturan..., Yulmanizar, FISIP UI, 2008.
demikian, Direktorat Jenderal Pajak dapat dikategorikan sebagai lembaga pemberi jasa kepada para konsumen, dalam hal ini Wajib Pajak. Kualitas jasa atau kualitas layanan (service quality) berkontribusi signifikan bagi penciptaan diferensiasi, positioning, dan strategi bersaing setiap organisasi. Namun, minat dan perhatian pada pengukuran kualitas jasa dapat dikatakan baru berkembang sejak dekade 1980-an. Berkaitan dengan kualitas, diyakini bahwa harapan pelanggan mempunyai peranan yang besar dalam menentukan kualitas barang dan jasa, karena pada dasarnya ada hubungan yang erat antara penentuan kualitas dan kepuasan pelanggan. Karena pelanggan adalah orang yang merasakan suatu pelayanan yang diberikan maka hanya pelangganlah yang dapat menentukan kualitasnya seperti apa dan apakah pelayanan yang diberikan dirasakan telah memenuhi kebutuhan mereka atau belum. Harapan pelanggan tersebut umumnya meliputi kebutuhan pribadi, pengalaman masa lampau, rekomendasi dari mulut
ke mulut, dan iklan. Zeithaml (1993:5)
melakukan penelitian khusus dalam sektor jasa dan mengemukakan bahwa harapan pelanggan terhadap kualitas suatu jasa atau pelayanan terbentuk oleh beberapa faktor: 1. Enduring Service Intensifiers : faktor ini merupakan faktor yang bersifat stabil mendorong pelanggan untuk meningkatkan sensitivitasnya terhadap jasa. 2. Personal Need : kebutuhan yang dirasakan seseorang mendasar bagi kesejahteraan juga sangat menentukan harapannya. 3. Transitory Service Intensifiers : faktor ini merupakan faktor individual yang bersifat
sementara
(jangka
pendek)
yang
meningkatkan
sensitivitas
pelanggan terhadap jasa. 4. Perceived Service Alternatives : merupakan persepsi pelanggan terhadap tingkat atau derajat pelayanan perusahaan lain yang sejenis. 5. Self-Perceived Role : faktor ini adalah persepsi pelanggan tentang tingkat atau derajat keterlibatan dalam mempengaruhi jasa yang diterimanya. 6. Situational Factor : faktor situasional terdiri atas segala kemungkinan yang bisa mempengaruhi kinerja jasa, yang berada di luar kendali penyedia jasa. 7. Explicit Service Promises : faktor ini merupakan pernyataan (secara personal atau nonpersonal) oleh organisasi tentang jasanya kepada pelanggan.
Pengaruh peraturan..., Yulmanizar, FISIP UI, 2008.
8. Implicit Services Promises : faktor ini menyangkut petunjuk yang berkaitan dengan jasa yang memberikan kesimpulan bagi pelanggan tentang jasa yang bagaimana yang seharusnya dan yang akan diberikan. 9. Word of Mouth (Rekomendasi/ saran dari orang lain) : word of mouth merupakan
pernyataan
(secara
personal
atau
non
personal)
disampaikan oleh orang lain selain organisasi (service provider)
yang
kepada
pelanggan. 10.Past Experience : pengalaman masa lampau meliputi hal-hal yang telah dipelajari atau diketahui pelanggan dari yang pernah diterima di masa lalu. Faktor-faktor di atas menunjukkan bahwa harapan pelanggan menjadi latar belakang penilaian kualitas. Dalam konteks kepuasan pelanggan, harapan merupakan perkiraan atau keyakinan pelanggan
tentang apa yang harus diterima (Zeithaml,
1993:122). Pengertian ini didasarkan pada pandangan bahwa harapan merupakan standar prediksi, selain menjadi standar ideal. Perspektif pengukuran kualitas bisa dikelompokkan menjadi dua jenis: internal dan eksternal. Kualitas berdasarkan perspektif internal diartikan sebagai zero defect atau kesesuaian dengan persyaratan. Sedangkan perspektif eksternal memahami kualitas berdasarkan persepsi pelanggan, ekspektasi pelanggan, kepuasan pelanggan, sikap pelanggan, dan customer delight (Sachdev & Verma, 2004, Tjiptono, 2005:109). Kualitas jasa adalah persepsi pengguna jasa mengenai superioritas jasa yang merupakan akumulasi kepuasan bagi banyak pengguna jasa atas banyak pengalaman jasa. Kualitas suatu jasa adalah perbedaan antara jasa yang disediakan dan yang diharapkan oleh pelanggan. Dalam hal ini penilaian tentang kualitas jasa ditentukan oleh pengguna jasa. Parasuraman (1998:17), seperti ditulis dalam jurnalnya, menyebutkan bahwa mutu yang dirasakan adalah penilai (judgment) konsumen tentang keunggulan atau superioritas suatu kesatuan (entity) pengertian mutu disini adalah bahwa mutu merupakan suatu bentuk sikap, dan berkaitan tetapi tidak sama dengan kepuasan, yang juga dihasilkan oleh suatu perbandingan. Parasuraman et al. mengembangkan instrumen SERVQUAL untuk mengukur kualitas pelayanan (jasa) yang diterima pelanggan berdasarkan model kualitas pelayanan/jasa (gap model). Parasuraman et. al mengemukakan bahwa gap yang
Pengaruh peraturan..., Yulmanizar, FISIP UI, 2008.
terjadi akibat ketidaksesuaian kinerja pelayanan dengan harapan pelanggan itulah yang menjadi dasar dalam pengukuran kualitas pelayanan (jasa). SERVQUAL bertujuan untuk mengukur lima dimensi kualitas jasa yang dikembangkan oleh Parasuraman et al. Kelima dimensi ini dikenal dengan kriteria “RATER”, yaitu (Parasuraman, Zheithaml, Berry, 1998 : 17) : a. Reliability (keandalan), yaitu kemampuan untuk memberikan pelayanan yang telah dijanjikan secara handal dan akurat. b. Assurance (jaminan), meliputi pengetahuan dan kesopanan karyawan dalam melayani pelanggan serta kemampuan mereka untuk menjaga kepercayaan pelanggan. c. Tangibles (bukti fisik), meliputi penampilan fasilitas fisik, peralatan, tenaga kerja dan alat komunikasi. d. Empathy (empati), yaitu kepedulian, perhatian individual yang disediakan oleh perusahaan kepada pelanggan. e. Responsiveness (daya tanggap), yaitu kemauan untuk membantu pelanggan dan menyediakan layanan dengan segera. Mengukur kualitas jasa berarti mengevaluasi dan membandingkan kinerja penyajian jasa dengan seperangkat standar yang telah ditetapkan terlebih dahulu. SERVQUAL merupakan skala multi-item yang terdiri dari dua bagian utama dengan maksud mengukur harapan dan persepsi pelanggan, serta kesenjangan (gap) yang ada di dalam model kualitas jasa. Kepuasan Wajib Pajak sebagai penerima layanan merupakan perbandingan antara layanan yang diterima (perceived service) dengan layanan yang diharapkan (expected service). Untuk mengatasi kesenjangan antara layanan yang diterima dengan layanan yang diharapkan, dilakukan manajemen kesenjangan. Apabila jasa yang diterima atau dirasakan (perceived service) sesuai dengan yang diharapkan, maka mutu jasa dipersepsikan sebagai mutu yang baik. Sebaliknya jika jasa yang diterima lebih rendah dari yang diharapkan, maka mutu jasa dipersepsikan buruk. Dengan demikian baik tidaknya mutu jasa tergantung kemampuan penyedia jasa dalam memenuhi harapan pelanggan secara konsisten, seperti terlihat pada Gambar 2.1.
Pengaruh peraturan..., Yulmanizar, FISIP UI, 2008.
Gambar 2.1 Perceived Service Quality
Word of mouth
Dimensions of Service Quality Reliability Responsiveness Assurance Empathy Tangibles
Past Experience
Personal Needs
Expected Service
Perceived Service
Perceived Service Quality 1. Expectations exceeded ES < PS (Quality surprise) 2. Expectations met ES = PS (Satisfactory quality) 3. Expectations not met ES > PS (Unacceptable quality)
Sumber : Parasuraman, Zheithaml and Berry, SERVQUAL : A Multiple-item Scale for Measuring Consumer Perceptions of Service Quality, New Jersey : Journal of Retailing, 1992: hal.16
Keputusan-keputusan konsumen untuk mengkonsumsi atau tidak mengkonsumsi suatu barang jasa dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain adalah persepsinya terhadap kualitas pelayanan. Apabila persepsi pelanggan terhadap kualitas pelayanan barang/jasa semakin baik, maka kemungkinan besar akan semakin banyak pula pelanggan yang berminat. Dan sebaliknya apabila persepsi pelanggan terhadap kualitas pelayanan barang/ jasa semakin tidak baik, maka kemungkinan besar organisasi akan semakin ditinggalkan oleh pelanggan. Hal ini menunjukkan adanya interaksi yang kuat antara kepuasan konsumen dengan kualitas pelayanan. Dari Gambar 2.1 dapat dilihat bahwa harapan konsumen terhadap kualitas pelayanan sangat dipengaruhi informasi yang diperoleh dari mulut ke mulut, kebutuhan konsumen, pengalaman eksternal melalui iklan dan sebagainya. Penyataan di atas menunjukkan bahwa harapan pelanggan menjadi latar belakang penilaian kualitas. Dalam konteks kepuasan pelanggan, harapan merupakan perkiraan atau keyakinan pelanggan
tentang apa yang harus diterima (Zeithaml,
Pengaruh peraturan..., Yulmanizar, FISIP UI, 2008.
1993:16). Pengertian ini didasarkan pada pandangan bahwa harapan merupakan standar prediksi, selain itu harapan menjadi standar ideal. Selanjutnya dikemukakan oleh Dwiyanto (1995:10) bahwa salah satu cara yang dapat digunakan untuk mencari data mengenai kualitas layanan adalah dengan mengukur tingkat kepuasan mereka terhadap kualitas layanan organisasinya. Sementara itu, kualitas jasa dan pemasaran jasa telah menjadi topik yang semakin menarik bagi para peneliti, karena transisi akhir-akhir ini adalah kepada ekonomi jasa oleh banyak negara. Hal ini didorong oleh kompetisi global dan kecenderungan-kecenderungan yang berubah dalam cara hidup masyarakat. Kualitas jasa lebih sering dikenal sebagi strategi pemasaran yang kemungkinan dapat digunakan oleh perusahaan dalam mencapai diferensiasi jasa, nilai pelanggan, dan kepuasan pelanggan. Lovelock (1994: 98) mengidentifikasi dan mengambarkan sudut pandang mengenai kualitas, sebagai berikut : a.
Transcedence Approach, yaitu pendekatan yang memandang kualitas sebagai innate excellence, dimana kualitas dapat dirasakan atau diketahui , tetapi sulit untuk didefinisikan atau dioperasionalkan.
b.
The Product-Based Approach, yaitu pendekatan yang menyatakan bahwa kualitas merupakan karakteristik atau atribute yang dapat dikuantitatifkan dan dapat diukur. Perbedaan kualitas suatu produk diukur dari perbedaan sejumlah unsur atau atribut yang dimiliki produk.
c.
User based definitions, yaitu pendekatan didasarkan pada pemikiran bahwa kualitas suatu produk tergantung pada orang yang memakainya. Produk yang berkualitas tinggi bagi seseorang adalah produk yang paling memuaskan persepsinya. Dengan demikian perspektif ini merupakan perspektif yang subyektif dan demand based, karena tiap orang memiliki kebutuhan dan keinginan yang berbeda-beda.
d.
The manufaturing-based approach, yaitu pendekatan yang bersifat supplybased, dimana kualitas didefinisikan sebagai suatu kesesuaian dengan persyaratan (conformance to requirements), oleh karena itu pendekatan ini lebih bersifat operation-driven dan cenderung berfokus pada penyesuaian spesifikasi dan didorong oleh tujuan peningkatan efisiensi dan produktivitas, penentuan
Pengaruh peraturan..., Yulmanizar, FISIP UI, 2008.
kualitas adalah standar-standar yang telah ditetapkan oleh perusahaan, bukan oleh konsumen. e.
Value-based definitions, yaitu pendekatan yang memandang kualitas dari segi nilai
dan
harga,
maksudnya
kualitas
suatu
mempertimbangkan perbandingan antara
produk
diukur
dengan
kinerja produk dan harganya,
sehingga kualitas juga didefinisikan sebagai affordable-excellence, pendekatan ini memberikan arti bahwa kualitas bersifat relatif, sehingga produk yang memiliki kualitas paling tinggi belum tentu merupakan produk yang paling bernilai yang merupakan produk yang paling tepat untuk dibeli. Lovelock (1994 : 79), menggambarkan suplemen pelayanan bagaikan sebuah “Kelopak Bunga” dengan titik-titik rawan yang ada disekitar inti (core) suatu produk yang menjadi penilaian pelanggan. Walaupun antara organisasi yang satu dan yang lain memiliki jenis produk yang berbeda-beda, akan tetapi pada dasarnya suplemen pelayanan mereka memiliki kesamaan. Suplemen pelayanan yang dimaksud terdiri dari: information, consultation, ordertaking, hospitality, caretaking, exceptions, billing, dan payment.
Gambar 2.2 Suplemen Pelayanan
8
1
2 Core
7
3
4
6 5
Pengaruh peraturan..., Yulmanizar, FISIP UI, 2008.
Sumber : Lovelock, 1994: 179, The Flower of Service Keterangan : 1 : information 5 : caretaking 2 : consultation 6 : exceptions 3 : order taking 7 : billing 4 : hospitality 8 : payment
Suplemen pelayanan yang pertama adalah information, yang merupakan proses pelayanan yang berkualitas dimulai dari suplemen informasi dari produk dan jasa yang diperoleh oleh customer. Consultation merupakan suplemen pelayanan kedua, dimana customer setelah memperoleh informasi yang diinginkan, biasanya akan membuat suatu keputusan, yaitu membeli atau tidak membeli. Di dalam proses memutuskan ini acapkali diperlukan pihak-pihak yang dapat diajak untuk berkonsultasi baik menyangkut masalah teknis, administrasi, harga, hingga pada kualitas barang dan manfaatnya. Suplemen yang ketiga adalah ordertaking, yaitu keyakinan yang diperoleh customer melalui konsultasi, yang akan menggiring pada tindakan untuk memesan produk yang diinginkan, penilaian pembeli pada titik ini adalah ditekankan pada kualitas pelayanan yang mengacu pada kemudahan pengisian. Dari pengertian ordertaking tersebut dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kualitas pelayanan mengacu pada kemudahan pengisian adalah suatu aplikasi maupun administrasi pemesanan barang yang tidak berbelit-belit, fleksibel, biaya murah dan syarat-syarat ringan. Suplemen keempat adalah hospitality, yaitu customer yang berurusan secara langsung ke tempat-tempat transaksi akan memberikan penilaian terhadap sikap ramah dan sopan dari para karyawan, ruang tunggu yang nyaman, kafe untuk makanan dan minuman, hingga tersedianya wc/toilet yang bersih. Suplemen kelima adalah caretaking, yaitu variasi background customer yang berbeda-beda akan menuntut pelayanan yang berbeda-beda pula. Suplemen pelayanan keenam adalah exceptions, dimana beberapa customer kadang-kadang menginginkan, misalnya bagaimana dan dengan cara apa organisasi melayani klaim-klaim pelanggan yang datang secara tiba-tiba. Billing adalah titik rawan ketujuh yang berada pada administrasi pembayaran. Niat baik pembeli untuk menuntaskan transaksi sering digagalkan pada titik ini. Payment, merupakan ujung pelayanan dimana harus disediakan fasilitas pembayaran
Pengaruh peraturan..., Yulmanizar, FISIP UI, 2008.
sesuai keinginan pelanggan. Dapat dengan menggunakan self-service payment seperti penggunaan koin/uang receh pada telepon umum, kemudian melalui LLG/transfer bank, melalui credit card, debet langsung pada rekening pelanggan di bank, hingga tagihan ke rumah dan sebagainya.
2.1.4. Kualitas Pelayanan Pada Organisasi Pemerintah Apabila dikaji secara mendalam baik organisasi private maupun pemerintah (public sector) sebenarnya memiliki konsep yang sama berkaitan dengan kualitas pelayanan. Konsep seperti kualitas produk, harga produk, prinsip how to deliver to consumen (pemasaran), yang pada akhirnya adalah dalam rangka mencapai target customer satisfaction (kepuasan pelanggan / pengguna jasa). Yang membedakan diantara keduanya adalah karena masing-masing memiliki karakteristik dan culture masing-masing yang sangat berbeda. Salah satu karakter yang menonjol adalah bahwa pada organisasi pemerintah tidak semata-mata hanya untuk profit oriented seperti yang dilakukan pihak private, namun lebih dari itu yang utama adalah melaksanakan fungsi dan peran kepemerintahan. Penelitian tentang kualitas pelayanan selama ini sebagian besar dilakukan terhadap sektor swasta yang mempunyai tujuan profit oriented. Hal ini dikarenakan pengukuran outcome akan lebih mudah dilakukan pada sektor private dari pada sektor pemerintah. Selain itu kesadaran untuk memberikan kualitas pelayanan yang unggul selama ini lebih terlihat pada sektor swasta. Tingkat persaingan yang tinggi, mempertahankan brand image, dan daya tarik kepada pelanggan, yang pada akhirnya adalah dalam rangka kelangsungan hidup perusahaan adalah alasan-alasan mengapa sektor swasta begitu giat untuk terus meningkatkan kualitas pelayanannya dibanding pemerintah. Sifat organisasi pemerintahan yang lebih bersifat monopolistik dibanding swasta yang oligopolistik telah menciptakan karakter dan culture tersendiri pada organisasi pemerintah. Salah satu contoh culture yang melingkupi adalah adanya keyakinan pada para pelaku (sumber daya manusia) di public sector bahwa organisasi pemerintah tidak akan
mungkin
dilikuidasi
atau
dibangkrutkan
hanya
karena
penyelenggaraa
pelayanannya yang buruk. Namun seiring perkembangan jaman serta perkembangan pola pikir masyarakat serta tatanan kenegaraan yang semakin terpola dengan baik, hal
Pengaruh peraturan..., Yulmanizar, FISIP UI, 2008.
yang tidak mungkin menjadi mungkin. Pada saat ini, pelayanan publik yang buruk akan mendapat desakan/kritikan dari berbagai komponen masyarakat, parlemen, dan berbagai pihak. Dalam tiga dekade terakhir ini telah menjadi suatu era apa yang disebut sebagai “new public sector“ (Hood,1991 dalam Micheli; 2005:24), yaitu suatu era reformasi untuk menyediakan kualitas pelayanan publik yang lebih baik. Konsep-konsep yang berlaku di sektor private mulai diadopsi oleh sektor pemerintah seperti: prinsip economy, efficiency, effectiveness, transparency, accountability, value for money. Kesadaran kualitas pelayanan yang unggul di sektor pemerintah muncul pada periode beberapa tahun terakhir di tahun 1990–an. Reformasi di bidang pelayanan publik ditandai dengan munculnya konsep-konsep seperti “Good Corporate Governance”, “Total Quality Manajemen (TQM)”, serta “New Public Management (NPM)”. KPMG (1997:9) sebagaimana dikutip oleh Brysland and Curry (2001:33) mengidentifikasi empat faktor yang mendorong perubahan di publik sektor seperti teknologi,
harapan pelanggan, faktor
ekonomi dan tekanan-tekanan terhadap
organisasi. Hogget (1996:21) dan Hood (1991:22) dalam Brysland and Curry (2001:33) telah menyarankan bahwa respon atas permintaan perubahan di sektor publik telah mendorong muculnya new administrative philosophy yang disebut dengan New Public Management. Sementara itu di lain pihak tuntutan dari pelanggan / pengguna jasa akan kualitas pelayanan dan resposiveness sektor publik kepada mereka sangat diharapkan daripada sekedar terfokus kepada prinsip-prinsip ekonomi dan eficiency (Pollitt,1993, dalam Brysland and Curry, 2001:34-35). NPM menawarkan suatu mekanisme yang efektif untuk meningkatkan performance kepemerintahan, yang lebih recommended dan diinginkan oleh masyarakat luas (Kelly, 1998 dalam Brysland and Curry, 2001:33-35). Tak lama setelah NPM, istilah “reinventing government “ dipopularkan oleh Gaebler and Osborne pada tahun 1993 yang kemudian menyarankan kepada pemerintah untuk mengadopsi gaya manajemen entrepreneurial
dan pendekatan lebih peka kepada
pelanggan dalam menyampaikan pelayanan. Kemudian sukses penerapan konsep TQM di berbagai sektor mendorong ketertarikan penerapan untuk sektor publik. Literatur penelitian dan kajian tentang TQM berkembang, public sector initiatives (Carr and Littman,1990:67), sebagian besar pihakpihak dalam berbagai literatur yang berbicara tentang kualitas pelayanan menyatakan
Pengaruh peraturan..., Yulmanizar, FISIP UI, 2008.
bahwa TQM akan gagal apabila tidak mempertajam fokus kepada kepentingan pelanggan (Ciampa, 1992 dalam Orwig et.al. 1997:210). Pelayanan publik oleh pemerintah juga dituntut untuk menerapkan prinsip Good Governance, (Tangkilisan 2005:11) mengemukakan bahwa orientasi pembangunan sektor publik adalah untuk menciptakan good governance, kepemerintahan yang baik. Prinsip
ini
berupaya
untuk
menciptakan
suatu
penyelenggaraan
manajemen
pemerintahan yang solid dan bertanggung jawab sejalan dengan prinsip demokrasi, efisiensi, pencegahan korupsi, baik secara politik maupun administratif. Pelayanan umum yang diselenggarakan oleh organisasi pelayanan publik mempunyai ciri public accountability, yakni setiap warga negara mempunyai hak untuk mengevaluasi kualitas pelayanan yang mereka terima. Sangat sulit untuk menilai kualitas suatu pelayanan tanpa mempertimbangkan peran masyarakat sebagai penerima pelayanan. Evaluasi yang berasal dari pengguna jasa merupakan elemen pertama dalam analisis kualitas pelayanan publik. Elemen kedua dalam analisis adalah kemudahan suatu pelayanan untuk dikenali baik sebelum, dalam proses, atau setelah pelayanan itu diberikan. Penilaian kinerja birokrasi pelayanan publik merupakan suatu kegiatan yang sangat penting karena dapat digunakan sebagai ukuran keberhasilan suatu organisasi dalam mencapai misinya. Untuk organisasi pelayanan publik, informasi mengenai kinerja tentu sangat berguna untuk menilai seberapa jauh pelayanan yang diberikan oleh organisasi itu memenuhi harapan dan memuaskan pengguna jasa layanannya. Penilaian kinerja birokrasi publik tidak cukup hanya dilakukan dengan menggunakan indikator-indikator yang melekat pada birokrasi itu sendiri seperti efisiensi dan efektivitas, tetapi harus dilihat juga dari indikator-indikator yang melekat pada pengguna jasa, seperti kepuasan pengguna jasa, accountabilitas, responsiviness, transparency, dan fairness. Penilaian kinerja dari sisi pengguna jasa menjadi sangat penting karena birokrasi publik memiliki kewenangan monopolis sehingga para pengguna jasa tidak memiliki alternatif sumber pelayanan, selain yang diberikan organisasi publik tersebut. Dalam pelayanan yang diselenggarakan oleh swasta, pengguna jasa memiliki pilihan sumber pelayanan, penggunaan pelayanan bisa mencerminkan kepuasan terhadap pemberi layanan. Dalam pelayanan oleh birokrasi publik, penggunaan
Pengaruh peraturan..., Yulmanizar, FISIP UI, 2008.
pelayanan oleh publik sering tidak ada hubungannya sama sekali dengan kepuasannya terhadap pelayanan. Kesulitan menilai kinerja birokrasi publik muncul karena tujuan dan misi birokrasi publik seringkali bukan hanya sangat kabur, tetapi juga bersifat multidimensional. Kenyataan bahwa birokrasi publik memiliki stakeholder yang banyak dan memiliki kepentingan yang sering berbenturan satu dengan yang lainnya membuat birokrasi publik mengalami kesulitan untuk merumuskan misi yang jelas. Akibatnya ukuran kinerja organisasi publik di mata stakeholdernya juga berbeda-beda. Namun demikian terdapat beberapa indikator yang dapat dipergunakan untuk mengukur kinerja birokrasi publik. Dwiyanto (2002: 48-49) menyatakannya sebagai berikut: 1. Produktivitas Konsep produktivitas tidak hanya mengukur tingkat efisiensi, tetapi juga efektivitas pelayanan. Produktivitas pada umumnya dipahami sebagai rasio antara input dengan output General Accounting (GAO). 2. Kualitas Layanan Isu mengenai kualitas layanan cenderung menjadi semakin penting dalam menjelaskan kinerja organisasi pelayanan publik. Banyak pandangan negatif yang terbentuk mengenai organisasi publik muncul karena ketidakpuasan masyarakat terhadap kualitas layanan yang diterima dari organisasi publik. 3. Responsivitas Responsivitas adalah kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan, dan mengembangkan program-program
pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi
masyarakat.
4. Responsibilitas Responsibilitas menjelaskan apakah pelaksanaan kegiatan organisasi publik itu dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi yang benar atau sesuai dengan kebijakan organisasi, baik yang eksplisit maupun implisit.
Pengaruh peraturan..., Yulmanizar, FISIP UI, 2008.
5. Akuntabilitas Suatu kegiatan organisasi publik memiliki akuntabilitas yang tinggi kalau kegiatan itu dianggap benar dan sesuai dengan nilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek yang melingkupi pelayanan oleh public sector lebih complicated dari pada pelayanan oleh pihak private. Pelayanan oleh swasta memiliki visi dan misi yang jelas intinya adalah profit oriented, sedangkan pelayanan yang dilakukan pemerintah harus memperhatikan berbagai
aspek
seperti
program
pemerintah,
pengawasan
parlemen,
aspirasi
masyarakat, konsep kepuasan pelanggan, accountabilitas, transparency, fairness, efisiensi, efectiveness dan lain sebagainya.
2.1.5. Pengukuran Kualitas Pelayanan Perspektif pengukuran kualitas bisa dikelompokkan menjadi dua jenis : internal dan eksternal. Kualitas berdasarkan perspektif internal diartikan sebagai zero defect (“doing it right the first time atau kesesuaian dengan persyaratan) sedangkan perspektif eksternal memahami kualitas berdasarkan persepsi pelanggan, ekspektasi pelanggan, kepuasan pelanggan, sikap pelanggan, dan customer delight (Sachdev & Verma, 2004, Tjiptono, 2005:109). Kualitas jasa adalah persepsi pengguna jasa mengenai superioritas jasa yang merupakan akumulasi kepuasan bagi banyak pengguna jasa atas banyak pengalaman jasa. Kualitas suatu jasa adalah perbedaan antara jasa yang disediakan dan yang diharapkan oleh pelanggan. Dalam hal ini penilaian tentang kualitas jasa ditentukan oleh pengguna jasa. Parasuraman (1988:14), menyebutkan bahwa mutu yang dirasakan adalah penilai (judgment) konsumen tentang keunggulan atau superioritas suatu kesatuan (entity) pengertian mutu disini adalah bahwa mutu merupakan suatu bentuk sikap, dan berkaitan tetapi tidak sama dengan kepuasan, yang juga dihasilkan oleh suatu perbandingan.
Pengaruh peraturan..., Yulmanizar, FISIP UI, 2008.
Dalam banyak hal, definisi yang berbasis jasa menyamakan kualitas dengan kepuasan pelanggan, sebagaimana didefinisikan oleh Lovelock (2005:92) dengan rumus : Kepuasan = Jasa yang dipahami
Jasa yang diharapkan
Bahwa kualitas jasa adalah sejauhmana jasa memenuhi atau melampaui harapan pelanggan. Jika pelanggan memahami penyerahan jasa yang sesungguhnya lebih baik dari pada yang diharapkan, mereka akan senang; jika penyerahan jasa tersebut dibawah harapannya, mereka akan marah, dan mereka akan menilai kualitas menurut tingkat kepuasan yang mereka pahami terhadap jasa. Kemudian Lovelock (2005:93) menyebutkan yang dimaksud dengan harapan adalah standar internal yang digunakan pelanggan untuk menilai kualitas suatu pengalaman jasa. Berapa besar suatu organisasi/ perusahaan telah memberikan suatu pelayanan yang memenuhi harapan pelanggan atau telah memuaskan pelanggan perlu dilakukan pengukuran. Pengukuran kualitas jasa dengan metode biasa sangat sulit dilakukan mengingat sifatnya intangible dan tidak ada parameter yang jelas dalam mengontrolnya. Jadi mengapa kualitas pelayanan perlu diukur?
Pengukuran sangat berguna untuk
membandingkan sebelum dan sesudah adanya perubahan, untuk mengetahui posisi kaitannya dengan permasalahan kualitas yang sedang dihadapi dan dalam rangka untuk membangun standar yang jelas dalam rangka penyampaian pelayanan (Brysland and Curry, 2001:46), Galileo Galilei mengatakan:
What can be measured can be imporoved.... Count what is countable, measure what is measurable and what is not measurable make measurable. Ukuran kualitas dapat bersifat objektif ataupun subjektif. Akhir-akhir ini banyak orang yang menggunakan ukuran yang lebih subjektif
yang lebih berorientasi pada
persepsi dan sikap daripada kriteria yang lebih objektif dan kongkret, alasannya indeks yang objektif tidak dapat diterapkan untuk menilai kualitas jasa. Salah satu tolok ukur dalam mengetahui kualitas jasa yang diberikan oleh service provider adalah dengan mengadopsi model-model yang dikembangkan oleh beberapa pakar jasa. Sejumlah model pengukuran kualitas jasa mengalami perkembangan yang cukup signifikan
Pengaruh peraturan..., Yulmanizar, FISIP UI, 2008.
selama beberapa tahun terakhir. Berdasarkan literatur yang ada, menurut Tjiptono dan Chandra dapat diidentifikasi beberapa model pengkuran kualitas jasa meliputi : 1. Total Perceived Quality Model (Gronroos,1984,1990, 2000) 2. Synthesized Model of Perceived Service Quality (Brogowicz, Delene & Lyth, 1990) 3. Gummesson 4Q Model of Effering Quality (Gummesson,1993) 4. Model
SERVQUAL
Parasuraman,
Zeithamel
&
Berry,
1985,
1988,
1990,1991,1993,1994) 5. Perceived Service Quality (Brady & Cronin,2001) 6. Model INTQUAL (Caruana & Pitt, 1997), Retail Service Quality Model (Dabholkar et al., 1996) . 7. Retail Service Quality Model (Dabholkar,et al.1996) 8. Relationship Quality Model (Liljander & Strandvik, 1995)
Dalam penelitian ini digunakan Model SERVQUAL karena model ini menegaskan bahwa bila kinerja pada suatu atribut (attribute performance) meningkat lebih besar dari pada harapan (expectation) atas atribut bersangkutan, maka persepsi terhadap kualitas jasa akan positif dan sebaliknya. Menurut model ini kualitas pelayanan diartikan sebagai gap antara harapan pengguna jasa (E) dengan persepsi mereka atas performance pelayanan yang diberikan oleh provider (P), dengan demikian skor kualitas pelayanan (Q) dapat diukur dengan cara mengurangi antara skor persepsi pengguna jasa atas harapan pengguna jasa.
2.1.5.1. Total Perceived Quality Model Salah satu model kualitas jasa yang pertama kali dikembangkan adalah Total Perceived Quality Model (Gronroos, 1984, 1990, 2000). Berdasarkan model ini, kualitas suatu jasa yang dipersepsikan pelanggan terdiri dari dua dimensi utama (lihat Gambar 2.3). Dimensi pertama, technical quality (outcome dimension) berkaitan dengan kualitas output jasa yang dipersepsikan pelanggan. Komponen ini dapat dijabarkan lagi menjadi tiga tipe (Zeithaml, Parasuraman, Berry, 1990:122) : 1. Search quality, yaitu komponen kualitas yang dapat diinspeksi atau dievaluasi pelanggan sebelum dibeli dan digunakan, misalnya harga dan usia kendaraan bermotor (lewat STNK dan BPKB).
Pengaruh peraturan..., Yulmanizar, FISIP UI, 2008.
2. Experience quality, yaitu komponen kualitas yang hanya bisa dievaluasi pelanggan setelah dibeli atau dikonsumsi, contoh ketepatan waktu, kecepatan layanan, kelezatan masakan. 3. Credence quality, yaitu komponen kualitas yang sukar dievaluasi pelanggan sekalipun jasa telah dikonsumsi, misalnya kualitas operasi bedah syaraf. Dimensi kedua, functional quality (process-related dimension) berkaitan dengan kualitas cara penyampaian jasa atau menyangkut proses transfer kualitas teknis, output atau hasil akhir jasa dari penyedia jasa kepada pelanggan.
Gambar 2.3 menunjukkan keterkaitan antara pengalaman kualitas dengan aktivitas pemasaran tradisional yang menghasilkan perceived service quality (Total Perceived Quality). Persepsi kualitas positif diperoleh apabila kualitas yang dialami (experienced quality) sesuai dengan atau memenuhi harapan pelanggan (expected quality). Bila harapan pelanggan tidak realistis, maka persepsi kualitas total (total perceived quality) akan rendah, bahkan sekalipun kualitas yang dialami secara objektif benar-benar baik.
Gambar 2.3. Total Perceived Quality Model
CITRA
Kualitas yang Diharapkan
Total Perceived Quality
Komunikasi pemasaran Penjualan Citra Komunikasi Gethok Tular Public Relations Kebutuhan dan Nilai-nilai Pelanggan
Kualitas yang Dialami
C i tra
Kualitas Teknis Hasil:
Kualitas Fungsional Proses:
APA
BAGAIMANA
Sumber : Gronroos :2000, Zeithaml, Parasuraman, Berry, 1990:122
Pengaruh peraturan..., Yulmanizar, FISIP UI, 2008.
Apabila program kualitas yang ditopang dengan aspek kualitas teknis dan kualitas fungsional diterapkan, bisa saja Total Perceived Quality tetap rendah atau bahkan malah menurun kalau pada saat bersamaan perusahaan menurunkan kampanye iklan yang menjanjikan kinerja secara berlebihan (over promise). Tingkat persepsi kualitas total tidak hanya ditentukan oleh tingkat kualitas teknis dan fungsional, namun justru tergantung pada gap antara expected quality dan experienced quality. Beberapa kritik yang ditujukan terhadap model Total Perceived Quality, sama halnya seperti pada model SERVQUAL, yaitu ditujukan pada pengukuran kualitas layanan dengan mengikutsertakan komponen ekspektasi, dimana kualitas layanan diukur berdasarkan selisih antara harapan pelanggan dengan kualitas layanan yang dialami.
2.1.5.2. Synthesized Model of Perceived Service Quality Berdasarkan sintesis terhadap Total Perceived Quality Model dan riset kualitas jasa di Amerika Utara, Brogowicz, Delene & lyth (1990:56-58) menyusun model yang dinamakan Synthesized Model of Perceived Service Quality. Menurut model ini (lihat Gambar 2.4), persepsi terhadap kualitas jasa dibedakan menjadi gap kualitas teknis dan gap kualitas fungsional, yang kemudian menyatu menjadi gap kualitas total. Pengalaman pelanggan yang mempengaruhi gap-gap tersebut dibagi menjadi pengalaman terhadap paket jasa teknis dan pengalaman paket jasa fungsional, yang kemudian juga menyatu menjadi paket jasa total. Dasar pemikiran pemisahan paket jasa teknis dan paket jasa fungsional adalah memudahkan penyedia jasa memahami apa yang ditawarkan dan bagaimana proses jasa berfungsi. Tanpa pemisahan seperti ini biasanya ada kecenderungan terlalu menekankan dimensi jasa teknis, sehingga dimensi jasa fungsional bisa terabaikan. Model ini juga merinci sumber daya manusia dan sumber daya fisik yang mempengaruhi masing-masing tipe paket jasa. Di samping itu citra, faktor eksternal dan aktivitas pemasaran tradisional yang berpengaruh terhadap ekspektasi pelanggan juga dicakup oleh model ini. Sebagai model sintesis, model yang dikemukakan oleh Brogowicz dan kawan-kawan ini tergolong komprehensif dan integratif. Gambar 2.4 Synthesized Model of Perceived Service Quality
Pengaruh peraturan..., Yulmanizar, FISIP UI, 2008.
AKTIVITAS PEMASARAN TRADISIONAL Periklanan Public Relations Personal Selling Promosi Penjualan Penetapan harga/ distribusi
FAKTOR EKSTERNAL
Struktur budaya/ sosial Kebutuhan pribadi Pengalaman masa lalu Komunikasi GathokTular Eksposur media Kompetisi
CITRA PERUSAHAAN
EKSPEKTASI KUALITAS JASA FUNGSIONAL
EKSPEKTASI KUALITAS JASA TEKNIS
EKSPEKTASI KUALITAS JASA TOTAL
Gap Kualitas Jasa Teknis
Gap Kualitas Jasa Total
Gap Kualitas Jasa Fungsional
PERSEPSI TERHADAP KUALITAS JASA TEKNIS YANG DITAWARKAN ATAU DIALAMI
PERSEPSI TERHADAP KUALITAS JASA TOTAL YANG DITAWARKAN ATAU DIALAMI
PERSEPSI TERHADAP KUALITAS JASA FUNGSIONAL YANG DITAWARKAN ATAU DIALAMI
JASA TEKNIS YANG DITAWARKAN
JASA TOTAL YANG DITAWARKAN
JASA FUNGSIONAL YANG DITAWARKAN
SUMBER DAYA MANUSIA Pengetahuan dan kemampuan teknis
SUMBER DAYA MANUSIA Service mindedness Ketersediaan Relasi internal
SUMBER DAYA FISIK Mesin Material Fasilitas Teknologi
SUMBER DAYA FISIK Penampilan Aksesabilitas
SPESIFIKASI KINERJA OPERASI
SPESIFIKASI KINERJA SISTEM
MERENCANAKAN, MENGIMPLEMENTASIKAN DAN MENGENDALIKAN STRATEGI PEMASARAN
MENETAPKAN MISI DAN TUJUAN PERUSAHAAN
Sumber : Brogowicz, Delene & Lyth (1990:58)
2.1.5.3. Gummesson 4Q Model of Effering Quality Model Gummesson dikembangkan dengan mengkombinasikan Total Perceived Quality
Model
dan
karateristik
kualitas
pada
sektor
manufaktur.
Model
ini
mengasumsikan bahwa jasa/layanan dan barang fisik merupakan bagian integral dari jasa yang ditawarkan. Oleh sebab itu, model ini mengintegrasikan elemen barang dan jasa, serta dimaksudkan untuk membantu pengembangan dan pengelolaan kualitas, terlepas dari penawaran intinya (barang fisik atau jasa). Model Gummesson mencakup
Pengaruh peraturan..., Yulmanizar, FISIP UI, 2008.
tiga variabel utama yaitu ekspektasi, pengalaman dan citra (perusahaan dan merk) seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 2.5. di bawah ini :
Gambar 2.5 Gummesson 4Q Model of Offering Quality
Citra Perusahaan dan Citra Merek
Pengalaman
Ekspektasi
Kualitas Desain
Kualitas Produksi dan Penyampaian
PERSEPSI PELANGGAN TERHADAP KUALITAS: Jangka pendek Jangka panjang
Kualitas Relasional
Kualitas Teknis
Sumber : Gummeson (1993:15)
Menurut model ini, persepsi pelanggan terhadap kualitas total mempengaruhi citra perusahaan dan citra merk dalam benak pelanggan. Sementara itu, model ini juga mengidentifikasi empat konsep kualitas : kualitas desain, kualitas produksi dan penyampaian produk, kualitas relasional, dan kualitas teknis. Dua konsep kualitas pertama merupakan sumber kualitas, sedangkan dua konsep kualitas berikutnya mencerminkan hasil dari produksi dan penyampaian barang, serta proses jasa. Kualitas desain mengacu pada seberapa baik proses pengembangan dan perancangan kombinasi antara elemen jasa dan barang pada paket produk. Kesalahan kualitas desain bisa menyebabkan kinerja yang buruk dan pengalaman negatif pelanggan. Kualitas produksi dan penyampaian produk menunjukan seberapa bagus paket produk dan elemen-elemennya diproduksi dan disampaikan kepada pelanggan, dibandingkan dengan desainnya. Apabila ada masalah dalam produksi elemen barang atau dalam proses jasa, atau jika penyampaian barang tidak memenuhi harapan, maka akan timbul masalah dalam kualitas.
Pengaruh peraturan..., Yulmanizar, FISIP UI, 2008.
Kualitas relasional berkenaan dengan persepsi pelanggan terhadap kualitas selama proses jasa. Kualitas relasional berkaitan erat dengan dimensi kualitas fungsional pada Total Perceived Quality Model. Dalam konteks jasa, kualitas relasional bisa diwujudkan melalui karyawan jasa yang empatik, penuh perhatian, dan customer oriented, serta mampu mendemonstrasikan kompetensi dan ketrampilan dalam melayani pelanggan. Dalam konteks manufaktur, kualitas relasional bisa diciptakan melalui customization produk fisik. Sementara itu, kualitas teknis mengacu pada manfaat jangka pendek dan manfaat jangka panjang paket jasa. Model Gummesson merinci dimensi-dimensi penting dari kualitas. Model ini menekankan bahwa kualitas bisa dilacak hingga ke pabrik atau back office (kualitas produksi) dan bahkan dapat dilacak ke departemen riset dan pengembangan (kualitas desain). Model ini juga mencakup karakteristik spesifik elemen jasa dalam penawaran produksi (kualitas penyampaian dan relasional) serta hasil jangka panjangnya, dimana aspek ini tidak tercakup secara eksplisit dalam Total Perceived Quality Model.
2.1.5.4. Model SERVQUAL Model kualitas jasa yang paling populer dan hingga kini banyak dipergunakan dalam riset pemasaran jasa adalah Model SERVQUAL yang berisi skala terstandarisasi tentang 22 butir yang mengukur harapan dan persepsi tentang dimensi-dimensi kualitas yang paling penting terdiri dari 5 dimensi yaitu – Reliability, responsivenees, assurance, empathy
and
tangibles.
SERVQUAL
diciptakan
dan
dikembangkan
oleh
A.
Parasuraman, Valerie A. Zeithaml dan Leonard Berry (1985, 1988, 1990, 1991, 1993, 1994) dalam serangkaian penelitian mereka terhadap enam sektor jasa: reparasi peralatan rumah tangga, kartu kredit, asuransi, sambungan telepon interlokal, perbankan ritel dan pialang sekuritas. SERVQUAL (service quality) merupakan tool measurement untuk mengukur persepsi pengguna jasa terhadap pelayanan suatu perusahaan atau organisasi penghasil jasa. Model yang dikenal pula dengan istilah Gap Analysis Model ini berkaitan erat dengan model kepuasan pelanggan yang didasarkan pada ancangan diskonfirmasi (Oliver,1977 dalam Tjiptono, 2005 :145).
Pengaruh peraturan..., Yulmanizar, FISIP UI, 2008.
Konsep ini menegaskan bahwa bila kinerja pada suatu atribut (attribute performance) meningkat lebih besar dari pada harapan (expectation) atas atribut bersangkutan, maka persepsi terhadap kualitas jasa akan positif dan sebaliknya. Menurut model ini kualitas pelayanan diartikan sebagai gap antara harapan pengguna jasa (E) dengan persepsi mereka atas performance pelayanan yang diberikan oleh provider (P), dengan demikian skor kualitas pelayanan (Q) dapat diukur dengan cara mengurangi antara skor persepsi pengguna jasa atas harapan pengguna jasa, sehingga dapat dirumuskan sebagai berikut :
Q=P-E
Pengukuran kualitas jasa sangat penting dilakukan untuk mengetahui “posisi” institusi tersebut yang sebenarnya. Dalam pengukuran tingkat kualitas jasa menurut model ini adalah dengan cara mengukur gap yang terjadi antara tingkat harapan (ekspektasi) dan tingkat persepsi pelanggan terhadap pelayanan yang diterima, selain dari itu juga dapat ditentukan tingkat kepuasan pelanggan. Model ini mengidentifikasi lima kesenjangan (gap) yang dapat menyebabkan timbulnya hambatan dalam penyampaian jasa sehingga bisa menurunkan kualitas jasa. Kualitas pelayanan menurut Zeithaml-Parasuraman-Berry terkait dengan dua sektor penting, yaitu dilihat dari sektor Customer (pelanggan) dan sektor Provider (penyedia), pada kedua sektor tersebut dapat saja terjadi Gap (kesenjangan) antara harapan dan kenyataan yang diterima oleh pelanggan. Secara keseluruhan gap atau kesenjangan kualitas pelayanan dapat digambarkan dalam Gambar 2.6. Gambar 2.6 Conceptual Model of Service Quality Word of Mouth
Communication
Personal
Past
Needs
Experience
Experience
Service Gap 5
Perceived
Customer
Service
Pengaruh peraturan..., Yulmanizar, FISIP UI, 2008.
Provider
Service Delivery
Gap 4
External Communication to Customer
Gap 3
Service Quality
Gap 1
Gap 2
Management Perceptions of Customer Expectations (Sumber : Zeithaml – Parasuraman – Berry, 1990, dalam Amy Y.S. Rahayu 1997;16)
Berbagai kesenjangan yang terdapat pada Gambar 2.6, dapat dijabarkan sebagai berikut : 1. Kesenjangan Pelanggan (Customer Gaps) Kesenjangan pelanggan (Gap 5) adalah perbedaan antara persepsi pelanggan dan harapan pelanggan (antara customer perceptions dan customer expectation) customer perceptions adalah penilaian subyektif oleh pelanggan atas pengalaman mengkonsumsi barang / jasa, sedangkan customer expectation adalah keadaan yang dipercaya oleh pelanggan yang akan dan harus terjadi. Customer expectation dipengaruhi oleh faktor-faktor yang dapat dikontrol oleh penyedia seperti faktor harga, iklan dan janji, tetapi factor yang tidak dapat dikontrol oleh penyaji juga ikut mempengaruhi customer expectation seperti faktor personal needs, word of mouth communication dan competitive offering. Customer perceptions dan customer expectation serupa tapi tak sama, karena dalam praktek sering terjadi adanya suatu kesenjangan yang cukup besar, bila hal ini terjadi adalah sudah menjadi tanggung jawab penyedia untuk membangun jembatan antara keduanya dengan melakukan usaha dan strategi untuk mempersempit bahkan menghilangkan kesenjangan tersebut. 2. Kesenjangan Penyedia (Provider Gaps)
Pengaruh peraturan..., Yulmanizar, FISIP UI, 2008.
Kesenjangan penyedia adalah kesenjangan yang terjadi dalam organisasi penyedia jasa layanan (service provider) sehingga mengakibatkan terjadinya hal yang tersebut di bawah ini (Zeithaml, 1990:38) : a. Provider Gap 1 (tidak tahu apa yang diharapkan oleh pelanggan) Perbedaan antara apa yang diharapkan oleh pelanggan dengan persepsi manajemen atas harapan pelanggan. Banyak alasan hal ini sampai terjadi. Di antaranya tidak ada interaksi manajemen secara langsung dengan pelanggan, atau tidak mau bertanya tentang keinginan pelanggan, misalnya service provider telah mengeluarkan biaya banyak untuk membuat interior dan exterior kantor yang sangat dekoratif, tapi pelanggan lebih mementingkan kenyamanan dan fungsi peralatan yang ada dalam kantor tersebut. b. Provider Gap 2 (tidak dapat memilih design dan standard yang tepat) Perbedaan antara pemahaman atau persepsi service provider tentang harapan pelanggan dan terjemahannya menjadi spesifikasi atau standar kualitas pelayanan. Dalam perusahaan jasa layanan yang menjadi pokok adalah kesulitan para executive, manajer dan penentu kebijakan dalam menterjemahkan persepsi manajemen tentang harapan pelanggan menjadi standar kualitas pelayanan. c Provider Gap 3 (tidak dapat menyajikan jasa sesuai yang ditetapkan) Perbedaan antara standar yang telah ditetapkan dengan jasa aktual yang disajikan oleh para karyawan penyaji jasa layanan, walaupun prosedur dan arahan telah ditetapkan untuk melayani para pelanggan dengan baik, kualitas jasa layanan tidak bisa dipastikan bahwa hasilnya sesuai dengan standar, standar jasa harus didukung oleh sarana yang memadai, baik sumber daya manusia, sistem maupun teknologi, agar efektif, kinerja karyawan harus diukur dan diberi kompensasi berdasarkan prestasi kinerjanya. d. Provider Gap 4 (menyajikan jasa tidak sesuai dengan kinerja yang telah dijanjikan)
Pengaruh peraturan..., Yulmanizar, FISIP UI, 2008.
Perbedaan antara jasa yang disampaikan kepada pelanggan dengan apa yang
dikomunikasikan
oleh
service
provider
melalui
external
communication, atau perbedaann antara janji dan kenyataan, hal ini terjadi karena beberapa alasan, di antaranya: over promising dalam iklan atau personel selling, tidak adanya koordinasi antara bagian operasional dengan bagian pemasaran dan perbedaan kebijakan dan prosedur pada bagian yang berbeda. Kepuasan pelanggan dalam kualitas pelayanan dapat ditingkatkan dengan beberapa pendekatan sebagai berikut: 1. Memperkecil kesenjangan-kesenjangan yang terkait antara pihak menajemen dan pelanggan. Riset konsumen menyerap persepsi pelanggan mengenai kualitas pelayanan dapat dilakukan dengan metode customer focus group, mengedarkan
kuesioner
pelayanan
setiap
periode
tertentu,
atau
menggunakan pegawai front-office untuk mengamati adanya perbedaan persepsi mengenai kualitas jasa. Sedangkan penelitian mengenai perilaku pegawai dilakukan dengan mengamati pelaksanaan pelayanan. 2. Perusahaan
harus
mampu
membangun
komitmen
bersama
untuk
menciptakan visi dalam perbaikan proses pelayanan. Komitmen bersama dalam hal ini adalah memperbaiki cara berpikir, perilaku, kemampuan dan pengetahuan dari semua sumber daya manusia yang ada, baik dari tingkat top management, middle management sampai pada staf petugas pelayanan. Sarana penunjang untuk mempertahankan komitmen dengan pelanggan internal adalah dengan metode brainstorming, nominal group technique, quality circle, kotak saran, dan management by walking around. 3. Memberi kesempatan kepada pelanggan untuk menyampaikan keluhan. Perusahaan dapat meyediakan complaint and suggestion system, misalnya dengan mengadakan hot line bebas pulsa. Kepuasan pelanggan perlu disurvei melalui telepon dan kuesioner untuk
mengetahui rata-rata
pelanggan yang puas, dan yang kurang puas. Perusahaan dapat juga menerapkan ghost shopping yaitu perusahaan mencari informasi mengenai catatan baik buruknya pembeli yang potensial di dalam membeli produk perusahaan dan pesaing. Selain itu, lost customer analysis dilakukan dengan menghubungi pelanggan yang tidak pernah lagi menggunakan barang/jasa
Pengaruh peraturan..., Yulmanizar, FISIP UI, 2008.
perusahaan, dan menanyakan alasan pindah pada perusahaan lain melalui wawancara. 4. Mengembangkan dan menerapkan accountable, proactive, dan partnership marketing
sesuai
dengan
situasi
pemasaran.
Perusahaan
dapat
menghubungi pelanggan dalam waktu yang tidak terlalu lama setelah memberikan jasa untuk mengetahui kepuasan dan harapan pelanggan (accountable marketing). Pendekatan proactive marketing berarti bahwa perusahaan
menghubungi
pelanggan
dari
waktu
untuk
mengetahui
perkembangan pelayanan kepada pelanggannya. Sedangkan partnership marketing berarti perusahaan membangun kedekatan dengan pelanggan yang bermanfaat untuk meningkatkan citra dan posisi perusahaan di pasar.
2.1.6. Model Analisis Berdasarkan permasalahan penelitian dan literatur yang digunakan, model analisis untuk penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Menganalisa tingkat kepuasan Wajib Pajak di KPP PMA LIMA terhadap Pelayanan restitusi PPN setelah berlakunya Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-122/PJ/2006.
Wajib Pajak lebih Strategibaik keuangan lebih baik
Itikad Baik DJP
Peraturan yang jelas Biaya
menurun
Kepuasan Wajib Pajak dalam Restitusi PPN
Dokumen lengkap
Batasan waktu
Kepastian Hukum dan Prosedur
Pengaruh peraturan..., Yulmanizar, FISIP UI, 2008.
2. Menganalisa perbedaan antara persepsi dan harapan Wajib Pajak di KPP PMA LIMA dalam melakukan restitusi PPN setelah berlakunya Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-122/PJ/2006.
Persepsi PKP
Kesesuaian atau Kesenjangan
Harapan PKP \
3. Menganalisa perbedaan waktu penyelesaian restitusi PPN di KPP PMA LIMA antara sebelum berlakunya dan setelah berlakunya Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER122/PJ/2006.
Waktu Penyelesaian sebelum PER122/PJ/2006
Kesesuaian atau Kesenjangan
Waktu Penyelesaian setelah PER122/PJ/2006
2.1.7. Hipotesis Hipotesis penelitian yang hendak diuji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Pengaruh peraturan..., Yulmanizar, FISIP UI, 2008.
1. H01 :
Tidak terdapat kepuasan Wajib Pajak terhadap pelayanan restitusi PPN setelah berlakunya Peraturan Dirjen Pajak Per122/PJ/2006.
Ha1 :
Terdapat kepuasan Wajib Pajak terhadap Pelayanan restitusi PPN setelah berlakunya Peraturan Dirjen Pajak Per122/PJ/2006.
2. H01 :
Tidak terdapat perbedaan antara persepsi dan harapan dalam restitusi PPN setelah belakunya PER-122/PJ/2006.
Ha1 :
Terdapat perbedaan antara persepsi dan harapan dalam restitusi PPN setelah belakunya PER-122/PJ/2006.
3. H02 :
Tidak terdapat perbedaan waktu penyelesaian restitusi PPN antara sebelum penerapan dan sesudah penerapan PER-122/PJ/2006.
Ha2 :
Terdapat perbedaan waktu penyelesaian restitusi PPN antara sebelum penerapan dan sesudah penerapan PER-122/PJ/2006.
2.1.8. Operasionalisasi Konsep Variabel-variabel penelitian yang telah dijabarkan dalam Bab II perlu dioperasionalisasikan
sebelum
dijadikan
pernyataan
dalam
kuesioner.
Secara
konseptual, variabel-variabel dalam penelitian ini dioperasionalisasikan sebagai berikut.
Tabel 2.2 Operasionalisasi Konsep No.
Variabel
Indikator
1.
Reliability (keandalan)
- Memberikan solusi bila timbul masalah - Menepati janji - Pelayanan dengan prosedur segera - Keandalan dalam memberikan informasi
2.
Assurance
- Sikap dan perilaku individu yang
Pengukuran (Skoring) 1 : sangat tidak setuju 2 : tidak setuju 3 : netral 4 : setuju 5 : sangat setuju
1 : sangat tidak setuju
Pengaruh peraturan..., Yulmanizar, FISIP UI, 2008.
(Keyakinan)
3.
Tangible (tampilan fisik)
4.
Empathy (empati)
5.
Responsiveness (cepat tanggap)
6.
Kepuasan Wajib Pajak
meyakinkan - Keramahan dan kesopanan - Jaminan tersedia informasi yang dibutuhkan - Keefektifan berkomunikasi - Fasilitas fisik yang memadai - Ruang yang nyaman dan memadai - Memiliki perlengkapan yang memadai - Lokasi mudah dijangkau - Penampilan penyedia layanan yang menarik - Memperlakukan sebagai individu apa adanya - Mengenal identitas pribadi Wajib Pajak - Menghargai Wajib Pajak - Membantu Wajib Pajak dalam kesulitan yang dihadapi - Pelayanan cepat - Memberikan informasi sesuai kebutuhan - Penanganan keluhan dengan cepat - Kesanggupan menyelesaikan masalah - Layanan yang diperoleh sesuai dengan harapan - Kualitas yang diperoleh sesuai dengan upaya yang dilakukan
2 : tidak setuju 3 : netral 4 : setuju 5 : sangat setuju
1 : sangat tidak setuju 2 : tidak setuju 3 : netral 4 : setuju 5 : sangat setuju
1 : sangat tidak setuju 2 : tidak setuju 3 : netral 4 : setuju 5 : sangat setuju
1 : sangat tidak setuju 2 : tidak setuju 3 : netral 4 : setuju 5 : sangat setuju
1 : sangat tidak setuju 2 : tidak setuju 3 : netral 4 : setuju 5 : sangat setuju
Sumber : Lembar Kuisioner
2.2. Metode Penelitian 2.2.1. Jenis Penelitian Penulisan tesis ini dilakukan dengan meneliti pengaruh Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-122/PJ/2006 terhadap Tingkat Kepuasan Wajib Pajak dalam Restitusi PPN. Untuk itu Wajib Pajak disurvei persepsi dan harapannya dengan desain alternatif jawaban yang tersedia. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif yang dilakukan dengan penyebaran kuesioner pada responden yang relevan serta studi kasus lama penyelesaian restitusi PPN di Kantor Pelayanan Pajak PMA Lima. Pendekatan kuantitatif digunakan karena metode penelitian yang berladaskan pada filsafat
Pengaruh peraturan..., Yulmanizar, FISIP UI, 2008.
positivisme, digunakan untuk meneliti pada populasi atau sampel tertentu, pengumpulan data menggunakan instrumen penelitian, analisis data bersifat kuantitatif/statistik , dengan tujuan menguji hipotesis yang telah ditetapkan. Jenis penelitian adalah Explanatory Reseach dengan prosedur pengujian hipotesis (hypothesis testing) untuk menjawab pertanyaan dan tujuan penelitian. Penelitian explanatory dilaksanakan pada saat informasi yang tersedia terbatas serta belum ada penelitian sebelumnya. Jenis penelitian ini biasanya melihat fenomena yang terjadi dan dari fenomena tersebut dikembangkan model untuk melengkapi penelitian yang dilakukan (Sekaran, 1992 dalam Kuncoro, 2003). Dalam penelitian untuk tesis ini yang menjadi obyek penelitian adalah Kantor Pelayanan Pajak Penanaman Modal Asing Lima.
2.2.2. Teknik Pengumpulan Data Prosedur pengumpulan data adalah teknik atau cara-cara yang digunakan oleh peneliti untuk mengumpulkan data. Teknik atau cara ini merujuk pada kata yang abstrak dan tidak diwujudkan dalam benda, namun dapat dilihat penggunaannya melalui kuesioner, wawancara, pengamatan dan lain sebagainya (Riduwan, 2003 : 24). Untuk melakukan pengumpulan data digunakan instrumen pengumpulan data. Instrumen pengumpulan data adalah alat bantu yang dipilih dan digunakan oleh peneliti dalam kegiatannya mengumpulkan agar kegiatan tersebut menjadi sistematis dan mudah (Riduwan, 2003 : 24).
2.2.2.1. Metode Kuesioner Dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan penyebaran kuesioner yang meliputi operasionalisasi variabel–variabel penerapan Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-122/PJ/2006 dan variabel Kepuasan Wajib Pajak dalam Restitusi PPN. Masing-masing
aspek
tersebut
diturunkan
dalam
sejumlah
pertanyaan
yang
menunjukkan penjabaran dari setiap variabel. Masing-masing pertanyaan diberikan alternatif jawaban dengan mengacu kepada model skala Likert. Skala Likert digunakan untuk mengukur
sikap
pendapat
dan persepsi
seseorang atau sekelompok orang tentang kejadian atau gejala sosial. Dalam
Pengaruh peraturan..., Yulmanizar, FISIP UI, 2008.
penelitian, fenomena sosial ini telah ditetapkan secara spesifik oleh peneliti yang selanjutnya disebut sebagai variabel penelitian. Dengan skala Likert, maka variabel yang akan diukur dijabarkan menjadi subvariabel. Kemudian subvariabel dijabarkan menjadi komponen-komponen yang dapat terukur. Komponen-komponen yang terukur ini kemudian dijadikan sebagai titik tolak untuk menyusun instrumen yang dapat berupa pertanyaan atau pernyataan yang kemudian dijawab oleh responden. Kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini bersifat tertutup, dengan tujuan untuk mendapatkan informasi yang luas dari subyek penelitian dengan memperhatikan ruang lingkup dari penelitian. Kuesioner yang bersifat tertutup, artinya setiap pernyataan disediakan pilihan jawaban sesuai dengan penilaian responden. Hal ini dimaksudkan agar jawaban dari responden tidak keluar dari pokok permasalahan. Kuesioner dipilih karena tujuannya adalah :
1. Memperoleh informasi yang relevan dengan tujuan survei 2. Memperoleh informasi dengan realibilitas dan validitas setinggi mungkin. Hasil kuesioner akan berupa angka, tabel, analisa statistik dan uraian serta kesimpulan hasil penelitian. Analisa data kuantitatif dilandaskan pada hasil kuesioner tersebut. Untuk memastikan apakah jawaban yang diberikan responden telah sesuai dengan kerangka pemikiran dan relevan dengan tujuan penelitian, maka jenis pertanyaan yang digunakan dalam kuesioner penelitian itu adalah pernyataan tertutup, yaitu kemungkinan jawabannya sudah ditentukan terlebih dahulu dan responden tidak diberi kesempatan memberikan jawaban lain (Singarimbun dan Effendi, 1995 : 25). Keuntungan penggunaan kuesioner tertutup ini adalah kemudahan bagi peneliti untuk melakukan coding dan memberi nilai. Sementara bagi responden, kuesioner tertutup ini memudahkan pengisian, karena tidak membutuhkan waktu yang lama untuk menulis atau merangkai kata. Kelemahannya adalah tidak adanya kesempatan untuk memberikan jawaban di luar pilihan jawaban yang telah diberikan peneliti (Ridwan, 2003 : 2-3). Untuk itu peneliti perlu mengatasi kelemahan tersebut dengan memberikan pilihan yang jawaban yang
Pengaruh peraturan..., Yulmanizar, FISIP UI, 2008.
seoptimal mungkin, agar dapat memperoleh gambaran yang utuh akan permasalahan yang diteliti.
2.2.2.2. Metode Dokumenter Dalam metode ini data diambil dari catatan di Kantor Penanaman Modal Asing Lima tentang laporan pelaksanaaan restitusi sebelum dan sesudah Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-122/PJ/2006. Metode dokumenter adalah suatu metode pengumpulan data yang digunakan untuk menelusuri data historis. Sebagian besar data yang tersedia adalah berbentuk surat-surat, catatan harian, kenang-kenangan, laporan, dan sebagainya. Sifat utama dari data ini tak terbatas pada ruang dan waktu sehingga memberi peluang kepada peneliti untuk hal-hal yang telah silam.
2.2.3. Populasi, Sampel dan Teknik Sampling Dalam penelitian ini data diambil dari sejumlah sampel yang ada dalam populasi. Populasi adalah kelompok elemen yang lengkap, umumnya berupa orang, obyek, transaksi atau kejadian dimana penelitian ini hendak mempelajari atau menjadikannya obyek penelitian. Sementara sample adalah suatu himpunan bagian (subset) dari unit populasi (Kuncoro, 2003 : 103). Dalam penelitian ini data diambil dari sejumlah sampel yang ada dalam populasi. Yang dimaksud sebagai populasi dalam penelitian ini adalah Wajib Pajak yang mendapatkan pelayanan restitusi pajak di Kantor Pelayanan Pajak Penanaman Modal Asing Lima. Metode pengambilan sample yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampling. Sampling adalah sample acak sederhana dimana setiap sampling unit terdiri dari kumpulan atau kelompok elemen, misalnya kelurahan yang terdiri dari rumah-rumah tangga, blok di pertokoan yang terdiri dari toko-toko dan sebagainya (Supranto, 2000 : 226). Sampling merupakan desain sampling yang efektif dengan beban biaya yang relatif rendah, terutama bila dalam penelitian tidak tersedia daftar elemen atau biayanya sangat mahal untuk membuat daftar tersebut atau bila biaya untuk melakukan penelitian
Pengaruh peraturan..., Yulmanizar, FISIP UI, 2008.
sampling unit meningkat sejalan dengan jauhnya jarak antara elemen (obyek) yang satu dengan yang lain (Supranto, 2000 : 226-228). Kumpulan atau kelompok elemen yang menjadi Sampling dalam penelitian ini adalah Wajib Pajak yang mendapat pelayanan restitusi pajak di Kantor Pelayanan Pajak PMA Lima. Untuk menentukan besarnya sample dari seluruh jumlah populasi (N), Suparmoko (1999 : 54) memberikan pedoman praktis menentukan jumlah sample sebagai berikut : a. Bila populasi N besar, maka prosentase yang kecil saja sudah dapat memenuhi syarat. b. Besarnya sample hendaknya tidak kurang dari 30. c. Sample sebaiknya sebesar mungkin selama dana dan waktu masih dapat dijangkau. Berdasarkan uraian di atas, maka jumlah sample atau responden yang diperlukan adalah minimal 30 responden. Dalam penelitian ini, untuk meningkatkan validitas hasil penelitian, yang disebarkan adalah sedikitnya 100 kuesioner.
2.2.4. Pengujian Validitas dan Reliabilitas Instrumen Hal penting dalam penyusunan instrumen penelitian adalah pemilihan jenis skala. Pemilihan skala amat tergantung dari ciri–ciri yang mendasari konsep dan antisipasi terhadap penggunaan variabel yang digunakan dalam tahap analisis data. Untuk menentukan pilihan atas skala pengukuran, yang perlu diperhatikan adalah validitas dan reliabilitas (Kuncoro, 2003 : 151). Validitas menunjukkan sejauh mana suatu alat ukur mampu mengukur apa yang ingin diukur. Sedangkan reliabilitas menunjukkan sejauh mana suatu hasil pengukuran relatif konsisten apabila diulangi dua kali atau lebih (Singarimbun dan Effendi, 1995 : 122-123).
2.2.4.1. Uji Validitas Alat Ukur Sebuah alat ukur disebut valid bila dapat melakukan apa yang seharusnya dilakukan dan mengukur apa yang seharusnya diukur. Bila skala pengukuran tidak valid maka ia tidak bermanfaat bagi peneliti, karena tidak mengukur atau melakukan apa yang seharusnya dilakukan (Kuncoro, 2003 : 151).
Pengaruh peraturan..., Yulmanizar, FISIP UI, 2008.
Validitas berhubungan dengan kesesuaian antara suatu konstruk dengan indikator yang digunakan untuk mengukurnya. Validitas merupakan kesesuaian antara definisi operasional dengan definisi konseptual. Semakin dekat definisi operasional itu dengan definisi konseptual, maka validitas perangkat ukur tersebut semakin tinggi. Untuk menguji validitas kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini mengunakan metode Analisis Faktor. Metode ini berfungsi melayani tujuan keiritan upaya ilmiah. Analisis Faktor mengurangi kelipatagandaan tes dan pengukuran hingga menjadi jauh lebih sederhana. Walhasil, analisis faktor memberitahu kita tes-tes dan ukuran-ukuran yang saling dapat serasi atau sama tujuannya, dan sejauh manakah kesamaan itu. Dengan demikian ia mengurangi banyaknya variabel yang harus ditangani oleh ilmuwan. Ia juga membantu menemukan dan mengidentifikasi keutuhankeutuhan atau sifat-sifat fundamental yang melandasi tes dan pengukuran. Dalam perhitungan analisi faktor ini menggunakan Program SPSS. Dari hasil pengolahan data, dapat dilihat pada kolom Extraction Sums of Squared Loadings– Cumulative%. Apabila pada kolom tersebut menunjukkan angka 50%, artinya pertanyaan–pertanyaan yang digunakan untuk mengukur dimensi variabel tersebut mampu menerangkan di atas 50% dari dimensi/variabel tersebut. Artinya pertanyaan– pertanyaan tersebut valid digunakan mengukur variabel tersebut (Santoso dan Tjiptono, 2002 : 123).
2.2.4.2. Uji Reliabilitas Alat Ukur Reliabilitas menunjukkan konsistensi dan stabilitas dari suatu skor (skala pengukuran). Reliabilitas berbeda dengan validitas, karena yang pertama memusatkan perhatian pada masalah konsistensi, sedang yang kedua lebih memperhatikan masalah ketepatan (Sekaran dalam Kuncoro, 2003 : 154). Untuk menguji reliabilitas kuesioner dalam penelitian ini metode yang dipakai adalah analisa reliability dengan menggunakan Program SPSS. Dari hasil pengolahan data, apabila alpha cronbach pada masing–masing variabel/dimensi memiliki nilai lebih dari 0,6, berarti pertanyaan–pertanyaan yang digunakan, reliable untuk mengukur dimensi/ variabel tersebut (Santoso dan Tjiptono, 2002 : 123). Untuk menguji reliabilitas kuesioner dalam penelitian ini metode yang dipakai adalah analisa reliability dengan menggunakan Program SPSS. Dari hasil pengolahan
Pengaruh peraturan..., Yulmanizar, FISIP UI, 2008.
data, apabila alpha cronbach pada masing–masing variabel/dimensi memiliki nilai lebih dari 0,6, berarti pertanyaan–pertanyaan yang digunakan, reliable untuk mengukur dimensi/ variabel tersebut (Santoso dan Tjiptono, 2002 : 123).
2.2.5. Teknik Analisis Data Untuk penelitian pendekatan kuantitatif, maka tehnik analisis data ini berkenaan perhitungan untuk menjawab rumusan masalah dan pengujian hipotesis yang diajukan. Bentuk hipotesis mana yang diajukan, akan menentukan teknik statistik mana yang digunakan. Jadi sejak membuat rancangan, maka teknik analisis data telah ditentukan. Bila peneliti tidak membuat hipotesis, maka rumusan masalah peneliti itulah yang perlu dijawab. Tetapi kalau hanya rumusan masalah itu dijawab, maka sulit membuat generalisasi, sehingga kesimpulan yang dihasilkan hanya dapat berlaku untuk sampel yang digunakan, tidak dapat berlaku untuk populasi. Untuk penelitian ini digunakan statistik deskriptif dan statistik non parametrik.
2.2.5.1. Analisis Deskriptif Statistik deskriftif adalah proses pengumpulan, penyajian dan meringkas berbagai karakteristik dari data dalam upaya untuk mengambarkan data tersebut secara memadai. Selain ditampilkan dalam bentuk distribusi angka-angka, data juga bisa ditampilkan dalam bentuk grafik. Tampilan berupa grafik pada prinsipnya bertujuan agar data secara sekilas mudah dipahami, selain bisa disajikan dalam format yang lebih menarik. Penyajian dalam bentuk grafik sebaiknya dilihat pula tipe datanya. Jika data bersifat kategorikal, seperti data nominal atau ordinal, maka grafik yang sesuai adalah Bar Chart atau grafik batang. Untuk analisis ini digambarkan dalam grafik batang adalah tingkat kepuasan Wajib Pajak terhadap pelayanan restitusi PPN setelah berlakunya Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-122/PJ/2006, yang digambarkan dalam berbagai pertanyaan yang mewakili peraturan tersebut.
Pengaruh peraturan..., Yulmanizar, FISIP UI, 2008.