BAB II STUDI PUSTAKA
BAB II STUDI PUSTAKA
2.1
UMUM Perkerasan dibagi menjadi dua kategori yaitu perkerasan lentur (flexible pavement) dan perkerasan kaku (rigid pavement), gambar 2.1. Perkerasan lentur terdiri dari permukaan lapisan tipis yang dibangun diatas lapisan pondasi (base course) dan lapisan pondasi bawah (subbase course). Ketiga lapisan ini berada di atas lapisan tanah dasar yang dipadatkan (compacted subgrade). Sebaliknya, perkerasan kaku terbuat dari campuran semen Portland dan pada perkerasan kaku bisa saja terdapat lapisan pondasi atau bisa juga tidak terdapat lapisan pondasi di antara lapisan perkerasan dengan tanah dasarnya.
Gambar 2. 1 (a) Flexible Pavement, (b) Rigid Pavement
Perbedaan antara dua lapisan perkerasan tersebut adalah pendistribusian beban pada setiap lapisannya. Perkerasan kaku memiliki tingkat kekakuan dan modulus elastis yang tinggi sehingga pendistribusian bebannya luas. Kapasitas struktur perkerasan kaku dalam menahan beban lebih banyak berasal dari struktur perkerasan kaku itu Anindita Prasasya 15003024 Tofan Ferdian 15003109
II-1
BAB II STUDI PUSTAKA
sendiri. Oleh karena itu, faktor utama yang menentukan kualitas suatu perkerasan kaku adalah kekuatan stuktur dari campuran semen. Lapisan tanah dasar hanya memberikan sedikit pengaruh pada kapasitas struktur perkerasan. Perkerasan lentur adalah perkerasan yang umumnya menggunakan bahan campuran beraspal sebagai lapis permukaan serta bahan berbutir sebagai lapisan di bawahnya. Perkerasan lentur terdiri dari beberapa lapisan. Lapisan teratasnya memiliki kualitas material yang sangat baik karena lapisan ini mengalami kontak langsung dengan beban lalu lintas. Pada perkerasan lentur, beban didistribusikan hingga lapisan tanah dasar. Pendistribusian beban ini merupakan salah satu faktor yang mendukung terbentuknya kekuatan pada perkerasan lentur. Selain itu, nilai ketebalan lapisan pun cukup berpengaruh pada kekuatan perkerasan lentur. Perencanaan tebal perkerasan merupakan dasar dalam menentukan tebal perkerasan lentur yang dibutuhkan untuk suatu jalan raya. Interpretasi, evaluasi, dan kesimpulan hasil perencanaan harus memperhitungkan penerapannya secara ekonomis, sesuai kondisi setempat, tingkat keperluan, kemampuan pelaksanaan, dan syarat teknis lainnya, sehingga konstruksi jalan yang direncanakan optimal. Faktor-faktor yang mempengaruhi struktur perkerasan lentur adalah: • Jalur Rencana adalah salah satu jalur lalu lintas dari suatu sistem jalan raya yang menampung lalu lintas terbesar. Umumnya jalur rencana merupakan salah satu jalur dari jalan raya dua jalur tepi luar dari jalan raya berlajur banyak. Koefisien distribusi kendaraan (C) untuk kendaraan ringan dan berat yang lewat pada jalur rencana ditentukan menurut tabel 2.1 Tabel 2. 1 Jalur Rencana Jumlah Lajur (n) 1 lajur 2 lajur 3 lajur 4 lajur 5 lajur 6 lajur
Kend. Ringan *) 1 arah 2 arah 1.000 1.000 0.600 0.500 0.400 0.400 0.300 0.250 0.200
Kend. Berat **) 1 arah 2 arah 1.000 1.000 0.700 0.500 0.500 0.475 0.450 0.425 0.400
*) berat total < 5 ton, misal: mobil penumpang, pick up, mobil hantaran **) berat total ≥ 5 ton, misal: bus, truk, traktor, semi trailer, trailer •
Umur Rencana (UR) adalah jumlah waktu dalam tahun dihitung sejak jalan tersebut mulai dibuka sampai saat diperlukan perbaikan berat atau dianggap perlu untuk diberi lapis permukaan yang baru.
Anindita Prasasya 15003024 Tofan Ferdian 15003109
II-2
BAB II STUDI PUSTAKA
•
Indeks Permukaan (IP) adalah suatu angka yang dipergunakan untuk menyatakan kerataan/kehalusan serta kekokohan permukaan jalan yang berkaitan dengan tingkat pelayanan. Adapun beberapa nilai IP beserta artinya adalah sebagai berikut : IP = 1.0 menyatakan permukaan jalan dalam keadaan rusak berat sehingga sangat mengganggu lalu lintas kendaraan. IP = 1.5 adalah tingkat pelayanan terendah yang masih mungkin (jalan tidak terputus) IP = 2.0 adalah tingkat pelayanan terendah bagi jalan yang masih mantap IP = 2.5 menyatakan permukaan jalan masih cukup stabil dan baik.
•
Tanah Dasar adalah permukaan tanah semula atau permukaan galian atau permukaan tanah timbunan, yang dipadatkan dan merupakan permukaan dasar yang berfungsi sebagai perletakan bagian-bagian perkerasan lainnya. Kekuatan dan keawetan konstruksi perkerasan jalan sangat tergantung dari sifat– sifat dan daya dukung tanah dasar. Dari bermacam–macam cara pemeriksaan untuk menentukan kekuatan tanah dasar, yang umum dipakai adalah cara CBR. Dalam hal ini digunakan nomogram penetapan tebal perkerasan, maka harga CBR tersebut dapat dikorelasikan terhadap Daya Dukung Tanah dasar (DDT), gambar 2.2.
Anindita Prasasya 15003024 Tofan Ferdian 15003109
II-3
BAB II STUDI PUSTAKA
Gambar 2. 2 Korelasi DDT dan CBR
Anindita Prasasya 15003024 Tofan Ferdian 15003109
II-4
BAB II STUDI PUSTAKA
•
Lapis Pondasi Bawah adalah bagian perkerasan yang terletak antara lapis pondasi dan tanah dasar. Fungsi dari lapis pondasi bawah antara lain : 1. Sebagai bagian dari konstruksi perkerasan untuk mendukung dan menyebarkan beban roda 2. Mencapai efisiensi penggunaan material yang relatif murah agar lapisan– lapisan selebihnya dapat dikurangi tebalnya (penghematan biaya konstruksi) 3. Untuk mencegah tanah dasar masuk ke dalam lapisan pondasi 4. Sebagai lapis pertama agar pelaksanaan dapat berjalan lancar. Hal ini sehubungan dengan terlalu lemahnya daya dukung tanah dasar terhadap roda alat–alat besar atau karena kondisi lapangan yang memaksa harus segera menutup tanah dasar dari pengaruh cuaca. Bermacam–macam tipe tanah setempat (CBR ≥ 20%, PI ≤ 10%) yang relatif lebih baik dari tanah dasar dapat digunakan sebagai bahan pondasi bawah. Campuran– campuran tanah setempat dengan kapur atau semen Portland dalam beberapa hal sangat dianjurkan, agar didapat bantuan yang efektif terhadap kestabilan konstruksi perkerasan.
•
Lapis Pondasi adalah bagian perkerasan yang terletak antara lapis permukaan dengan lapis pondasi bawah (atau dengan tanah dasar bila tidak menggunakan lapis pondasi bawah). Fungsi lapis pondasi antara lain : 1. Sebagai bagian perkerasan yang menahan beban roda 2. Sebagai perletakan terhadap lapis permukaan Bahan–bahan untuk lapis pondasi umumnya harus cukup kuat dan awet sehingga dapat menahan beban–beban roda. Sebelum menentukan suatu bahan untuk digunakan sebagai bahan pondasi, hendaknya dilakukan penyelidikan dan pertimbangan sebaik–baiknya sehubungan dengan persyaratan teknik. Bermacam– macam bahan alam/bahan setempat (CBR ≥ 50%, PI ≤ 4%) dapat digunakan sebagai bahan lapis pondasi, antara lain: batu pecah, kerikil pecah, stabilisasi tanah dengan semen atau kapur.
•
Lapis Permukaan adalah bagian perkerasan yang paling atas. Fungsi lapis permukaan antara lain : 1. Sebagai bagian perkerasan untuk menahan beban roda 2. Sebagai lapisan rapat air untuk melindungi badan jalan dari kerusakan akibat cuaca 3. Sebagai lapisan aus (wearing course)
Anindita Prasasya 15003024 Tofan Ferdian 15003109
II-5
BAB II STUDI PUSTAKA
Bahan untuk lapis permukaan umumnya adalah sama dengan bahan untuk lapis pondasi, dengan persyaratan yang lebih tinggi. Penggunaan bahan aspal diperlukan agar lapisan dapat bersifat kedap air, disamping itu bahan aspal sendiri memberikan bantuan tegangan tarik, yang berarti mempertinggi daya dukung lapisan terhadap beban roda lalu lintas. Pemilihan bahan untuk lapis permukaan perlu dipertimbangkan kegunaannya, umur rencana serta pentahapan konstruksi, agar dicapai manfaat yang sebesar-besarnya dari biaya yang dikeluarkan. •
Daya Dukung Tanah Dasar (DDT) adalah suatu skala yang dipakai dalam nomogram penetapan tebal perkerasan untuk menyatakan kekuatan tanah dasar. DDT ditetapkan berdasarkan grafik korelasi DDT dan CBR, gambar 2.2, atau dapat juga ditentukan dari persamaan berikut : DDT = 4.3 log CBR + 1.7
(2.1)
Yang dimaksud dengan harga CBR disini adalah harga CBR lapangan atau CBR Laboratorium. Jika digunakan CBR lapangan maka pengambilan contoh tanah dasar dilakukan dengan tabung (undisturb), kemudian direndam dan diperiksa harga CBR-nya. Dapat juga mengukur langsung di lapangan (musim hujan/direndam). CBR lapangan biasanya dipakai untuk perencanaan lapis tambahan (overlay). CBR laboratorium biasanya digunakan untuk perencanaan pembangunan baru. Dalam menentunkan harga rata–rata nilai CBR dari sejumlah harga CBR yang dilaporkan, maka harga CBR rata–rata ditentukan dengan cara: 1. Tentukan harga CBR terendah 2. Tentukan berapa banyak harga CBR yang sama dan lebih besar dari masing– masing nilai CBR 3. Angka jumlah terbanyak dinyatakan sebagai 100%. Jumlah lainnya merupakan persentase dari 100% 4. Dibuat grafik hubungan antara harga CBR dan pesentase jumlah tadi 5. Nilai CBR rata–rata adalah yang didapat dari angka persentase 90% Untuk mendapatkan CBR rata–rata yang tidak terlalu merugikan, maka disarankan agar merencanakan perkerasan suatu ruas jalan, perlu dibuat segmen–segmen dimana beda atau variasi CBR dri satu segmen tidak besar. •
Faktor Regional (FR) adalah faktor koreksi sehubungan dengan perbedaan kondisi kondisi lapangan dan kondisi percobaan. Kondisi–kondisi yang dimaksud antara lain menyangkut keadaan lapangan dan iklim, yang dapat mempengaruhi keadaan pembebanan, daya dukung tanah dasar dan perkerasan. Keadaan
Anindita Prasasya 15003024 Tofan Ferdian 15003109
II-6
BAB II STUDI PUSTAKA
lapangan mencakup bentuk alinyemen serta persentase kendaraan dengan berat 13 ton, dan kendaraan yang berhenti, sedangkan keadaan iklim mencakup curah hujan rata–rata pertahun, tabel 2.2. Tabel 2. 2 Faktor Regional (FR)
Iklim I < 900 mm/th Iklim II > 900 mm/th
•
Kelandaian I
Kelandaian II
Kelandaian III
( < 6% )
( 6 - 10% )
( > 10% )
% kendaraan berat
% kendaraan berat
% kendaraan berat
≤ 30%
> 30%
≤ 30%
> 30%
≤ 30%
> 30%
0.5
1,0 - 1,5
1
1,5 - 2,0
1.5
2,0 - 2,5
1.5
2,0 - 2,5
2
2,5 - 3,0
2.5
3,0 - 3,5
Indek Tebal Perkerasan (ITP) adalah suatu angka yang berhubungan dengan penentuan tebal perkerasan. Dinyatakan dalam rumus : ITP = a1D1 + a2 D2 + a3 D3
(2.2)
a1, a2, a3 = Koefisien kekuatan relatif bahan – bahan perkerasan D1, D2, D3 = Tebal masing – masing lapisan perkerasan Angka 1,2,3 masing-masing berarti lapis permukaan, lapis pondasi, lapis pondasi bawah.
2.2
LAPIS TAMBAHAN (OVERLAY) Suatu lapisan perkerasan memiliki umur layan. Jika umur layan telah terlampaui, maka perlu ada perlakuan khusus untuk perkerasan tersebut. Membangun suatu lapisan tambahan (overlay) merupakan salah satu cara untuk meremajakan struktur perkerasan. Overlay merupakan lapis tambahan pada suatu struktur perkerasan yang memiliki kontak langsung dengan beban lalu lintas. Overlay digunakan jika umur rencana struktur perkerasan sudah tercapai sebagai pemeliharaan jalan atau jika kondisi struktur perkerasan sudah menurun, yaitu tegangan yang terjadi pada struktur perkerasan sudah melebihi tegangan izinnya sehingga perlu dibuat lapisan baru yang dapat mendukung kerja struktur perkerasan tersebut.
Anindita Prasasya 15003024 Tofan Ferdian 15003109
II-7
BAB II STUDI PUSTAKA
Berdasarkan pada jenis overlay dan perkerasan sebelumnya, ada empat desain overlay yang dapat digunakan, yaitu overlay HMA pada perkerasan aspal, overlay HMA pada perkerasan PCC (Portland Cement Concrete), overlay PCC pada perkerasan aspal, dan overlay PCC pada perkerasan PCC. Dalam tugas akhir ini, jenis overlay yang digunakan yaitu overlay HMA pada perkerasan aspal. Jenis overlay ini sangat dominan digunakan dalam suatu perencanaan overlay. Overlay untuk suatu perkerasan lentur dapat ditentukan dari nilai lendutan (deflection) hasil pengukuran di lapangan. Dalam hal ini, nilai lendutan menjadi suatu dasar yang telah digunakan secara luas dalam perencanaan suatu overlay. Metoda perencanaan overlay yang berdasarkan pada nilai pengukuran lendutan ini telah dikembangan oleh AI (Asphalt Institute). Metoda ini digunakan untuk mendesain overlay: menentukan pendekatan ketebalan efektifnya, pendekatan defleksinya, dan pendekatan mekanistikempiris-nya. 2.2.1
Pendekatan Ketebalan efektif Konsep dasar dari metoda ini yaitu ketebalan overlay yang dibutuhkan merupakan hasil pengurangan antara ketebalan desain perkerasan lentur yang baru dengan ketebalan efektif perkerasan lentur eksisting. hOL = hn − he
(2.3)
hOL adalah ketebalan overlay yang dibutuhkan, hn adalah ketebalan desain perkerasan lentur yang baru, dan he adalah ketebalan efektif perkerasan lentur eksisting. 2.2.2
Pendekatan Defleksi Konsep dasar dari metoda ini yaitu semakin besar nilai defleksi mengindikasikan bahwa struktur tersebut semakin lemah, sehingga struktur tersebut membutuhkan overlay. Ketebalan overlay harus mampu menahan beban lalu lintas sehingga nilai defleksi yang dihasilkan lebih kecil dari defleksi ijin. Pada umumnya, nilai defleksi yang digunakan adalah nilai defleksi maksimum.
2.2.3
Pendekatan Mekanistik-Empiris Dalam metoda ini dilakukan penentuan tegangan kritis (critical stress), regangan kritis (strain critical), dan lendutan (deflection) berdasarkan metoda mekanik dan perkiraan hasil kerusakannya berdasarkan metoda empiris.
Anindita Prasasya 15003024 Tofan Ferdian 15003109
II-8
BAB II STUDI PUSTAKA
Kondisi dan umur sisa dari perkerasan eksisting harus dievaluasi terlebih dahulu. Berdasarkan kondisi dan umur sisa perkerasan ini, tebal overlay dapat ditentukan sehingga tingkat kerusakan yang terjadi baik pada perkerasan eksisting maupun overlay masih dalam batas yang diijinkan. 2.2.4
Metoda Asphalt Institute Metoda ini digunakan untuk overlay HMA pada perkerasan aspal. Ada dua metoda yang digunakan dalam desain overlay ini, yaitu metoda ketebalan efektif (effective thickness method) dan metoda defleksi (deflection method). Effective Thickness Method – Digunakan untuk menentukan ketebalan efektif dari perkerasan eksisitng, harus ada beberapa faktor konversi. Jika perkerasan eksistingnya full depth, metoda 1, berdasarkan Present Serviceability Index (PSI) dari perkersaan eksisting, dapat digunakan untuk menentukan faktor konversinya. Metoda 2, berdasarkan pada kondisi masing–masing lapisan, digunakan untuk menentukan faktor konversi masing–masing lapisan. Metoda 1 – Faktor konversi (C) dapat ditentukan berdasarkan gambar 2.3 (untuk perkerasan aspal full depth) berdasarkan pada PSI dari perkerasan eksisting. Dua kurva pada gambar 2.3 menunjukkan tampilan yang berbeda. Kurva atas, line A, menggambarkan perkerasan dengan pengurangan nilai PSI, yang dibandingkan dengan nilai PSI sebelum overlay. Kurva bawah, line B, menggambarkan perkerasan dengan nilai PSI yang sama dengan nilai PSI sebelum overlay. Pemilihan kurva ini berdasarkan dari pengetahuan dan pengalaman . Faktor konversi yang ditunjukkan pada gambar 2.3 hanya untuk HMA. Jika campuran aspal emulsi digunakan maka nilai faktor konversinya seperti yang ditunjukkan pada tabel 2.3. Ketebalan efekif dari masing–masing lapisan eksisting dihitung dengan cara mengkalikan ketebalan aktual pada setiap lapisan dengan faktor konversi dan faktor ekivalen. Ketebalan total efektif didapat dengan cara menjumlahkan ketebalan efektif masing–masing lapisan, n
he = ∑ hi C i E i
(2.4)
i =1
hi , Ci , dan Ei adalah ketebalan, faktor konversi, dan faktor ekivalen dari lapisan i dan n adalah jumlah total lapisan.
Anindita Prasasya 15003024 Tofan Ferdian 15003109
II-9
BAB II STUDI PUSTAKA
Gambar 2. 3Faktor Konversi untuk Perkerasan Full Depth
Tabel 2. 3 Faktor Ekivalen dari Aspal Emulsi Material type Hot mix asphalt Type I emulsified asphalt base Type II emulsified asphalt base Type III emulsified asphalt base
Equivalency factor (E) 1.00 0.95 0.83 0.57
Metoda 2 – Dalam metoda ini, kondisi setiap lapisannya dievaluasi, dan nilai faktor konversi C didapat dari tabel 2.4. Ketebalan efektif untuk metoda ini dihitung berdasarkan rumus berikut, n
he = ∑ hi C i
(2.5)
i =1
Anindita Prasasya 15003024 Tofan Ferdian 15003109
II-10
BAB II STUDI PUSTAKA
Tabel 2. 4 Faktor Konversi untuk Menentukan Ketebalan Efektif
Anindita Prasasya 15003024 Tofan Ferdian 15003109
II-11
BAB II STUDI PUSTAKA
Deflection Method – Defleksi suatu perkerasan diukur dengan Benkelman beam berdasarkan prosedur tes lendutan balik (rebound deflection). Data survey kondisi perkerasan dan defleksi digunakan untuk membuat analisis. Sedikitnya harus ada 10 pengukuran defleksi untuk setiap analisis, atau minimal ada 20 pengukuran defleksi per mil (13 pengukuran per km). Temperatur perkerasan diukur pada saat dilakukan pengukuran defleksi sehingga defleksi dapat diatur pada temperatur standar. Pengukuran defleksi dilakukan pada beberapa titik yang berbeda–beda. Penentuan titik pengukuran ini dilakukan secara acak. Jika analisis dari tes defleksi telah selesai, maka hasil dari pengukuran lendutan balik digunakan untuk menentukan Representative Rebound Deflection (RRD):
δ rrd = (δ + 2s) Fc
(2.6)
δ rrd adalah nilai lendutan balik yang mewakili, δ adalah rata–rata nilai defleksi, s adalah standar deviasi, F adalah faktor pengaturan temperatur, dan c faktor pengaturan periode kritis. Pada umumnya 97% hasil pengukuran nilainya lebih kecil dari δ rrd . Di beberapa lokasi pengukuran mungkin terdapat nilai defleksi yang melebihi δ rrd . Kondisi ini menunjukkan bahwa pada lokasi tersebut kekuatan materialnya sudah melemah. Pada daerah ini harus ada perlakuan khusus yaitu dilakukan penggantian material perkerasan eksisting dengan material yang baru. Setelah itu proses pembuatan struktur overlay dapat dilakukan. Gambar 2.4 menunjukkan faktor pengaturan temperatur untuk ketebalan lapis pondasi yang bervariasi. Ketebalan 0 in. menunjukkan bahwa lapisan tersebut full depth. Temperatur berpengaruh besar pada lapisan full depth, pengaruhnya berkurang sebanding dengan bertambahnya lapis pondasi. Periode kritis merupakan interval selama perkerasan mengalami kerusakan akibat beban yang sangat berat dengan frekuensi yang tinggi. Jika pengukuran defleksi dilakukan selama perioda kritis, faktor pengaturan c bernilai 1. Jika pengukuran defleksi dilakukan bukan pada saat periode kritis, nilai c lebih besar dari 1 dan dapat ditentukan dari data pengukuran defleksi yang berkelanjutan untuk perkerasan yang sejenis. Namun, pada umumnya pengukuran defleksi dilakukan pada periode kritis.
Anindita Prasasya 15003024 Tofan Ferdian 15003109
II-12
BAB II STUDI PUSTAKA
Gambar 2. 4 Faktor Pengaturan Temperatur untuk Ketebalan yang Bervariasi
Sistem struktur perkerasan yang akan dilapisi overlay diasumsikan sebagai sistem 2 lapisan (two layer system) dengan overlay HMA pada lapisan pertama dan perkerasan eksisiting pada lapisan kedua. Representative rebound deflection δ rrd digunakan untuk menentukan modulus pada lapisan kedua, E2 =
1.5qa
δ rrd
(2.7)
q adalah tekanan kontak (contact pressure), diasumsikan nilainya 70 psi (483 kPa), dan a adalah jari–jari beban kontak untuk menggambarkan beban pada roda ganda, nilainya diasumsikan 6.4 in. (163 mm). Defleksi yang terjadi setelah overlay disebut design rebound deflection δ d dan dapat ditentukan dari persamaan berikut :
Anindita Prasasya 15003024 Tofan Ferdian 15003109
II-13
BAB II STUDI PUSTAKA
⎛⎧ ⎧ 2 − 0.5 ⎫ 1.5qa ⎜ ⎪ ⎡ ⎛ h1 ⎞ ⎤ ⎪ E 2 ⎪ ⎡ h1 ⎛ E1 + ⎨1 + ⎢0.8 ⎜⎜ δd = ⎜ ⎨1 − ⎢1 + 0.8⎜ ⎟ ⎥ ⎬ E 2 ⎜ ⎪ ⎢⎣ a ⎝ E2 ⎝ a ⎠ ⎥⎦ ⎪ E1 ⎪ ⎢⎣ ⎭ ⎩ ⎩ ⎝
⎞ ⎟⎟ ⎠
1/ 3
⎤ ⎥ ⎥⎦
2
⎫ ⎪ ⎬ ⎪⎭
−0.5
⎞ ⎟ ⎟ (2.8) ⎟ ⎠
h1 adalah ketebalan overlay dan E1 adalah modulus overlay, diasumsikan nilainya 500000 psi (3.5 GPa). Dalam desain ketebalan overlay terdapat suatu hubungan antara design rebound deflection dalam satuan inci dan beban lalu lintas ESAL, seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.5 dan direpresentasikan oleh persamaan berikut :
δ d = 1.0363( ESAL ) −0.2438
(2.9)
Jika nilai ESAL diketahui, maka nilai δ d dapat ditentukan dari persamaan 2.9. Jika nilai δ rrd diketahui maka nilai E2 dapat ditentukan dari persamaan 2.7 Dengan diketahuinya nilai δ d dan E2 serta nilai q,a dan E1 diasumsikan, maka ketebalan overlay h1 dapat ditentukan dari persamaan 2.8. Gambar 2.6 menunjukkan grafik desain hubungan ESAL dan δ rrd untuk ketebalan overlay.
Gambar 2. 5 Hubungan Design Rebound Deflection dan ESAL
Anindita Prasasya 15003024 Tofan Ferdian 15003109
II-14
BAB II STUDI PUSTAKA
Gambar 2. 6 Grafik Desain Ketebalan Overlay Berdasarkan Lendutan Balik dan Desain ESAL
Gambar 2.5 atau persamaan 2.9 dapat digunakan untuk memperkirakan umur sisa dari suatu perkerasan eksisiting, yaitu berapa lama waktu yang tersisa sebelum lapis tambahan dibutuhkan. Langkah-langkah penentuannya adalah sebagai berikut: 1. Menentukan lendutan balik δ rrd 2. Mendapatkan umur sisa (ESAL), dari Gambar 2.5 dengan mengasumsikan lendutan balik wakil δ rrd sebagai lendutan balik δd . Metode yang lebih tepat adalah dengan menggunakan persamaan 2.9, yang dapat ditulis sebagai berikut:
⎛ 1,0363 ⎞ ⎟⎟ ( ESAL) r = ⎜⎜ ⎝ δ rrd ⎠
4 ,10117
(2.10)
3. Memperkirakan desain ESAL untuk tahun tertentu (ESAL)0, dan menentukan factor pertumbuhan. Faktor Pertumbuhan =
Anindita Prasasya 15003024 Tofan Ferdian 15003109
( ESAL) r ( ESAL) 0
(2.11)
II-15
BAB II STUDI PUSTAKA
4. Memperkirakan tingkat pertumbuhan lalu lintas dalam persen, dan mencari periode desain sesuai dengan faktor pertumbuhan dari tabel 2.5. Periode desain merupakan perkiraan jumlah tahum sebelum lapis tambahan dibutuhkan. Tabel 2. 5 Faktor Pertumbuhan Total
2.3
TEGANGAN DAN REGANGAN PADA PERKERASAN LENTUR
Struktur perkerasan lentur merupakan struktur perkerasan yang tersusun atas lapisan aspal serta lapis pondasi dan pondasi bawah yang terdiri dari material berbutir yang digunakan untuk melindungi tanah dasar dari tegangan berlebih (overstressed). Perubahan dalam perencanaan struktur perkerasan lentur terjadi karena kebutuhan akibat beban roda yang semakin berat, lalu lintas yang semakin tinggi, dan berbagai kerusakan yang terjadi pada jalan. Karena berbagai alasan tersebut, dikembangkan analisis desain pada struktur perkerasan. Prosedur desain yang digunakan harus mencakup tiga elemen, yaitu: (1) teori yang digunakan untuk memperkirakan kerusakan atau parameter kerusakan, (2) evaluasi material yang digunakan untuk teori Anindita Prasasya 15003024 Tofan Ferdian 15003109
II-16
BAB II STUDI PUSTAKA
yang dipilih, dan (3) penentuan hubungan antara besarnya parameter dengan kerusakan atau performansi yang diinginkan. Metode analisis desain struktur perkerasan jalan memperhitungkan tegangan, regangan, dan perpindahan pada struktur perkerasan dalam suatu kondisi pembebanan tertentu. Saat ini, asumsi yang banyak diaplikasikan adalah teori elastis linear multilapisan (multilayered linear elastic theory). Beberapa asumsi yang digunakan dalam pendekatan analitis ini adalah sebagai berikut: 1. Sifat-sifat material tiap lapisan adalah homogen 2. Tiap lapisan memiliki ketebalan yang terhingga (finite) pada arah vertikal kecuali lapisan yang paling bawah, dan pada arah lateral ketebalannya dianggap tak terhingga (infinite). 3. Tiap lapisan adalah isotropik 4. Terjadi gesekan penuh di antara lapisan-lapisan pada interface. 5. Tidak terjadi gaya geser permukaan 6. Solusi tegangan ditentukan oleh dua sifat material untuk setiap lapisan, yaitu konstanta Poisson (μ) dan modulus elastisitas (E).
Gambar 2. 7 Konsep Dasar Sistem Multilapis
Anindita Prasasya 15003024 Tofan Ferdian 15003109
II-17
BAB II STUDI PUSTAKA
Pada Gambar 2.7 dapat dilihat bahwa setiap titik pada lapisan, terdapat sembilan buah tegangan, yaitu tiga tegangan normal (σz, σr, dan σt) dan enam tegangan geser (τrt, τtr, τrz, τzr, τtz, τzt). Keseimbangan statis mensyaratkan bahwa τrt= τtr, τrz= τzr, τtz= τzt. Regangan yang terjadi dapat dihitung dari perhitungan sebagai berikut:
1 [ σz – μ ( σr + σt )] E 1 εr = [ σr – μ ( σt + σz )] E 1 εt = [ σt – μ ( σr + σz )] E
εz =
2.3.1
(2.12) (2.13) (2.14)
Sistem Satu Lapis
Solusi yang digunakna dalam analisis tegangan, regangan, dan lendutan diturunkan dari persamaan Boussinesq yang dikembangkan untuk media yang homogen, isotropik, dan elastis, sebagai akibat beban terpusat pada lapis permukaan. Tegangan vertikal pada tiap titik kedalaman di bawah permukaan tanah akibat beban terpusat pada lapis permukaan dihitung dengan rumus: P Z2 3 1 k= 2π [1 + (r / z ) 2 ]5 / 2
σ =k
keterangan:
(2.15)
(2.16)
r = jarak radial dari beban terpusat z = kedalaman
Tegangan akan maksimum pada kedalaman yang dekat dengan permukaan dan secara teoritis mendekati nol pada kedalaman tak terhingga. Untuk pertimbangan praktis, dapat diasumsikan bahwa tegangan mendekati nol pada kedalaman tertentu. Dalam studi perkerasan lentur, beban pada permukaan bukan merupakan beban titik melainkan terdistribusi dalam daerah elips. Persamaan Bousainesq kemudian dikembangkan untuk beban lingkaran yang terdistribusi merata secara terintegrasi. Hal ini membuat semakin berkembangnya solusi yang Anindita Prasasya 15003024 Tofan Ferdian 15003109
II-18
BAB II STUDI PUSTAKA
lebih realistis dan sesuai untuk analisis desain perkerasan. Beberapa metode yang dikembangkan untuk penentuan tegangan adalah dengan diagram– diagram untuk menentukan tegangan (NEWMARK, 1947); tabulasi data yang memfasilitasi perhitungan tegangan dan deformasi (BARBER, 1947); solusi grafik untuk menentukan tegangan dan lendutan (SANBORN AND YODER, 1967); tabel untuk menghitung tegangan vertikal, tegangan horizontal, dan regangan vertikal elastis akibat pembebanan pelat lingkaran untuk nilai μ = 0,5 (FOSTER AND ALVIN, 1954) yang disempurnakan untuk mendapatkan solusi yang lengkap dari tegangan, regangan, dan lendutan pada tiap titik yang homogen untuk berbagai nilai konstanta Poisson (AHLVIN AND ULERY, 1962). Tabel 2.6 menunjukkan persamaan-persamaan yang merupakan fungsi dari beberapa variabel. Tabel 2. 6 Persamaan – Persamaan dari Sistem Satu Lapis
Anindita Prasasya 15003024 Tofan Ferdian 15003109
II-19
BAB II STUDI PUSTAKA
2.3.2
Sistem Dua Lapis
Tipikal perkerasan lentur merupakan komposisi lapisan dengan modulus elastisitas yang semakin berkurang sesuai dengan kedalaman. Hasilnya adalah untuk mengurangi tegangan dan defleksi pada tanah dasar yang didapatkan pada kasus ideal homogen. Analisis sistem dua lapis yang dekat dengan kondisi aktual perkerasan, diprakarsai oleh Burmister, 1943. Material pada tiap lapisan diasumsikan homogen, isotropik, dan elastis. Nilai tegangan dan lendutan yang didapatkan bergantung pada perbandingan modulus lapisan permukaan dengan lapisan di bawahnya (tanah dasar). Gambar 2.8 menunjukkan distribusi tegangan vertikal yang terjadi akibat pembebanan untuk sistem dua lapis. Dapat dilihat bahwa tegangan vertikal pada subgrade berkurang sesuai dengan bertambahnya nilai perbandingan modulus.
Gambar 2. 8 Kurva Pengaruh Tegangan untuk Sistem Dua Lapis dari Burmister
Untuk perkerasan lentur, lendutan lapis permukaan total, ΔT, dapat dihitung dengan rumus: Δ = 1,5
pa F2 E2
Anindita Prasasya 15003024 Tofan Ferdian 15003109
(2.17)
II-20
BAB II STUDI PUSTAKA
keterangan:
p a E2 F2
= beban pada pelat lingkaran = jari-jari lingkaran = modulus elastisitas lapisan bawah = faktor yang bergantung pada perbandingan antara modulus elastisitas subgrade dan lapis perkerasan, serta antara kedalaman dan jari-jari beban.
Perkembangan selanjutnya, dibuat diagram-diagram faktor lendutan interface (F) untuk menentukan lendutan interface Δs dari pengembangan teori Burmister yang telah ada. Masing-masing diagram berlaku untuk tiap harga perbandingan modulus, sedangkan nilai konstanta Poisson untuk tiap lapisan, μ, sebesar 0,5. Lendutan interface didapatkan dari rumus berikut. Δs =
2.3.3
pa F E2
(2.18)
Sistem Tiga Lapis
Struktur perkerasan dengan sistem tiga lapis, dibuat tabel-tabel ringkas dari tegangan normal dan radial, kemudian dikembangkan untuk mendapatkan solusi dengan parameter-parameter yang lebih luas. Struktur perkerasan tiga lapisan dan tegangan-tegangan yang terjadi dapat dilihat pada Gambar 2.9
Anindita Prasasya 15003024 Tofan Ferdian 15003109
II-21
BAB II STUDI PUSTAKA
Gambar 2. 9 Sistem Perkerasan Tiga Lapis
σz1 : tegangan vertikal pada interface 1 σz2 : tegangan vertikal pada interface 2 σr1 : tegangan horizontal pada bagian bawah lapisan ke-1 σr2 : tegangan horizontal pada bagian bawah lapisan ke-2 σr3 : tegangan horizontal pada bagian bawah lapisan ke-3 Solusi dari tegangan vertikal ditemukan oleh Peatite disusun dalam bentuk grafik-grafik, sedangkan untuk solusi untuk tegangan horizontal dibuat oleh Jones dalam bentuk tabel-tabel. Grafik dan tabel-tabel tersebut dikembangkan untuk nilai μ = 0,5 untuk semua lapisan dengan σr = σt. Kedua solusi tersebut, baik solusi secara grafis maupun tabelaris menggunakan parameter-parameter sebagai berikut: k1 atau K1 =
E1 E2
(2.19)
k2 atau K2 =
E2 E3
(2.20)
a1 atau A =
a h2
(2.21)
Anindita Prasasya 15003024 Tofan Ferdian 15003109
II-22
BAB II STUDI PUSTAKA
H =
h1 h2
(2.22)
Harga-harga kombinasi dari parameter-parameter yang digunakan adalah: k1 (K1) = 0,2; 2,0; 20,0; 200,0 k2 (K2) = 0,2; 2,0; 20,0; 200,0 a1 (A) = 0,1; 0,2; 0,4; 0,8; 1,6; 3,2 H = 0,125; 0,25; 0,5; 1,0; 2,0; 4,0; 8,0 Dari grafik-grafik Peatite didapatkan nilai faktor tegangan (ZZ1 dan ZZ2) untuk harga K1, K2, A dan H tertentu dari sistem perkerasan untuk mendapatkan tegangan-tegangan vertikal sebagai berikut: σz1 = p(ZZ1) σz1 = p(ZZ2)
(2.23) (2.24)
Tegangan-tegangan horizontal didapatkan dari faktor-faktor tegangan horizontal untuk kombinasi tertentu dari k1, k2, a1, dan H. Faktor-faktor tersebut adalah (ZZ – RR1), (ZZ – RR2), (ZZ2 – RR3). Persamaan tegangan horizontal adalah sebagai berikut: σz1 – σr1 = p[ZZ1 –RR1] σz2 – σr2 = p[ZZ2 –RR2] σz2 – σr3 = p[ZZ2 –RR3]
(2.25) (2.26) (2.27)
Untuk mendapatkan nilai-nilai tegangan horizontal, σz1 dan σz2 harus diketahui terlebih dahulu. 2.4
PENGUKURAN LENDUTAN
Salah satu metode pengukuran lendutan pada struktur perkerasan adalah percobaan pembebanan permukaan (surface loading test). Metode ini terdiri dari dua kategori utama, yaitu pengukuran dengan beban statik/semi statik (misalnya: Benkelman Beam, California Travelling Deflectometer) dan beban dinamik (misalnya: Dynaflect, Falling Weight Deflectometer). Metode pengukuran yang diuraikan pada bab ini adalah pengukuran dengan alat Benkelman Beam dan alat Falling Weight Deflectometer (FWD).
Anindita Prasasya 15003024 Tofan Ferdian 15003109
II-23
BAB II STUDI PUSTAKA
2.4.1
Prinsip Alat Benkelman Beam
Alat Benkelman Beam terdiri dari dua batang yang mempunyai panjang total pada umumnya (366+0.16) cm, yang terdiri dari dua bagian dengan perbandingan 1: 2 terhadap titik pivot. Alat ini dilengkapi dengan tumit batang (beam toe) yang dipasang pada ujung batang yang panjang untuk mentransfer beban roda ke permukaan perkerasan. Selain itu juga dilengkapi dengan jam ukur (dial gauge) sebagai alat untuk membaca lendutan yang terjadi. Skema alat Benkelman Beam ditampilkan pada Gambar 2.10.
Gambar 2. 10 Skema Benkelman Beam
Prinsip pengukuran lendutan dengan alat Benkelman Beam adalah pemberian beban statik yang berupa sumbu tunggal belakang yang beroda ganda dari sebuah truk pada permukaan perkerasan. Lendutan yang terjadi akibat pembebanan akan ditransfer oleh batang alat tersebut dan selanjutnya akan diukur oleh jam ukur yang mejadi satu kesatuan dari alat tersebut. 2.4.1.1 Metoda Pengukuran
Terdapat dua macam pengukuran lendutan dengan alat Benkelman Beam, yaitu: • Lendutan Balik • Lendutan Langsung Adapun prinsip pengukuran kedua macam lendutan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Pengukuran Lendutan Balik Prinsip dari pengukuran lendutan balik adalah penentuan besarnya lendutan yang terjadi pada permukaan perkerasan dengan mengukur perpindahan permukaan perkerasan ke posisi semula setelah beban yang bekerja padanya dihilangkan (rebound) dari struktur perkerasan.
Anindita Prasasya 15003024 Tofan Ferdian 15003109
II-24
BAB II STUDI PUSTAKA
2. Pengukuran Lendutan Langsung Prinsip dari pengukuran lendutan langsung adalah mengukur lendutan yang terjadi sebenarnya pada titik-titik dengan jarak tertentu dari pusat beban dimana beban tersebut masih berpengaruh 2.4.2 Prinsip Alat FWD
Prinsip alat FWD adalah pemberian beban impuls terhadap struktur perkerasan melalui pelat berbentuk bundar (circular), yang efeknya sama dengan beban roda kendaraan atau beban roda pesawat. Pelat tersebut diletakkan pada permukaan yang akan diukur, kemudian beban dijatuhkan sehingga timbul beban impuls pada struktur perkerasan tersebut. Beban ini akan menimbulkan lendutan (deflection) pada struktur perkerasan dan efeknya akan ditangkap oleh 7 (tujuh) buah deflektor yang diletakan pada jarak-jarak tertentu. Lendutan-lendutan akibat pengukuran ini akan membentuk suatu cekung lendutan. Hasil pembacaan untuk setiap lokasi pengamatan disimpan secara otomatis melalui suatu mikro-komputer yang menjadi satu kesatuan dengan alat FWD. Data-data lendutan tersebut dapat ditampilkan kembali untuk diproses, dianalisa, atau dicetak bila diperlukan. Peralatan Dynatest 8000 FWD Test System seperti diperlihatkan pada Gambar 2.10 terdiri dari tiga komponen utama, yaitu: Dynatest 8002E FWD Trailler, Dynatest 900 System Processor, dan komputer yang dilengkapi printer.
Gambar 2. 11 Alat Falling Weight Deflectometer
2.4.2.1 Metode Pengukuran
Parameter-parameter yang berkaitan dengan pengoperasian alat FWD di lapangan adalah diameter pelat, berat beban pelat, tinggi jatuh beban, jarak antar deflektor, jumlah titik pengamatan, dan pengukuran temperatur perkerasan. Anindita Prasasya 15003024 II-25 Tofan Ferdian
15003109
BAB II STUDI PUSTAKA
Parameter-parameter tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Diameter Pelat Alat FWD ini dilengkapi dengan dua macam pelat yang masing-masing bediameter 300 mm dan 450 mm. Untuk perkerasan lentur, pelat yang biasa digunakan adalah dengan diameter 300 mm sedangkan untuk perkerasan non-aspal (unbound material) atau tanah dasar digunakan pelat dengan diameter 450 mm. 2. Berat Beban Pelat Berat beban yang dijatuhkan pada pelat sebenarnya mempresentasikan tekanan ban pada permukaan perkerasan. Berat beban yang digunakan untuk perkerasan normal adalah 200 kg. Di Indonesia, beban as maksimum yang diijinkan adalah 8 ton dan beban as standar adalah 8,2 ton (AASHTO Road Test) sehingga beban setengah as (dua ban) adalah 41 kN, dan tekanan ban sebesar 580 kPa. 3. Tinggi Jatuh Beban Tinggi jatuh beban yang dimiliki alat FWD adalah 81 mm, 135 mm, 196 mm, dan 361 mm. Berat beban dan tinggi jatuh beban merefleksikan beban impuls yang diberikan kepada perkerasan untuk menimbulkan besar lendutan yang diinginkan. Apabila timbul lendutan besar, antara 1 mm dan 1,5 mm, maka berat beban dan tinggi jatuh harus direduksi. Disarankan berat beban adalah 100 kg dan tinggi jatuh nomor 3 (196 mm), yang akan memberikan ”peak load” : 25 kN dan ”peak stress level” :355 kPa. 4. Jarak Antar Deflektor Alat FWD mempunyai 7 (tujuh) buah deflektor yang dapat diatur/disesuaikan jarak antar deflektornya sesuai dengan kondisi lapangan. Jarak antar deflektor berkaitan erat dengan bentuk cekung lendutan yang diinginkan. 5. Pembacaan Temperatur Perkerasan Alat FWD dilengkapi dengan alat ukur temperatur (permukaan) perkerasan secara otomatis dengan menggunakan sinar infra merah. Hasil pengukuran secara otomatis akan disimpan dalam komputer. Ketelitian pembacaan temperatur akan mempengaruhi hasil perhitungan seluruh modulus lapisan (layer modulus), khususnya modulus lapisan aspal. Pengukuran temperatur permukaan dengan alat infra merah ini dapat dilakukan dengan syarat tidak terjadi perbedaan yang cukup besar antara dua pengukuran yang berurutan. Pengukuran manual pada kedalaman 5 cm dapat mewakili temperatur perkerasan. Anindita Prasasya 15003024 II-26 Tofan Ferdian
15003109
BAB II STUDI PUSTAKA
2.4.2.2 Pengolahan Data FWD
Data defleksi digunakan untuk mengevaluasi kapasitas struktur perkerasan. Pendekatan yang digunakan dengan menggunakan data lendutan, yang menggunakan pengukuran cekung defleksi (dibandingkan dengan menggunakan lendutan maksimum saja). Pendekatan yang pertama adalah dengan mempertimbangkan kombinasi antara pengaruh kekakuan (nilai modulus) dengan tebal yang akan menentukan kapasitas perkerasan secara keseluruhan. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam metode ini adalah defleksi maksimum yang terjadi sebagai gambaran dari dua parameter yang berbeda, yaitu kapasitas struktural dan modulus tanah dasar. Melalui data defleksi maksimum, dapat diestimasikan nilai modulus tanah dasar sebagai berikut: MR =
0.24 P d r .r
(2.28)
keterangan: MR = Modulus Resilien tanah dasar, psi P = beban, lbs dr = lendutan yang diukur pada jarak r, inchi r = radius terhadap lendutan yang diukur, inchi ⎧ ⎪ ⎪ ⎪ ⎪ ⎪ 1 ⎪ dr = 1,5 p ⎨ + 2 ⎪ ⎛D E ⎞ ⎪M R a + ⎜ 3 p ⎟ ⎜ a MR ⎟ ⎪ ⎠ ⎝ ⎪ ⎪ ⎪⎩
⎡ ⎢ 1 ⎢ ⎢1 − 2 ⎛D⎞ ⎢ 1+ ⎜ ⎟ ⎢ ⎝a⎠ ⎣ Ep
⎤⎫ ⎥⎪ ⎥⎪ ⎥⎪ ⎥⎪ ⎥ ⎪⎪ ⎦ ⎬ ⎪ ⎪ ⎪ ⎪ ⎪ ⎪⎭
(2.29)
Persamaan 2.28 dan 2.29 berlaku apabila memenuhi nilai berikut, Nilai Ep dapat diketahui dengan metode ”trial and error” : ⎡ ⎛ Ep a e = ⎢a 2 + ⎜ D 3 ⎜ ⎢ MR ⎝ ⎣ Anindita Prasasya 15003024 Tofan Ferdian 15003109
⎞ ⎟ ⎟ ⎠
2
⎤ ⎥ dan r ≥ 0,7 a e ⎥ ⎦
(2.30)
II-27
BAB II STUDI PUSTAKA
keterangan: D = Tebal total lapis perkerasan di atas tanah dasar P = Beban pelat a = jari-jari beban pelat = lendutan pada pusat beban d0 Ep = Modulus efektif seluruh lapisan perkerasan di atas tanah dasar = modulus resilient MR Indeks Tebal perkerasan efektif didapatkan dengan rumus sebagai berikut: ITPeff = 0,023633D 3 Ep
(2.31)
Indeks tebal perkerasan (ITP) didapatkan dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
⎡ ΔPSI ⎤ log⎢ ⎥ ⎣ 4,2 − 1,5 ⎦ log N = Z R × So + 9,36 × log(ITP + 2,54) − 3,9892 + + 138071,5853 0,4 + ( ITP + 2,54)5,19 2,32 × log(M R ) − 3,0566 (2.32) keterangan: = Standar deviasi ZR So = Overall standard deviation (0,4-0,5 untuk perkerasan lentur) ΔPSI = selisih nilai indeks permukaan IP0 = 4,2 untuk indeks permukaan asli (AASHO Road Test for flexible pavement) IPt = indeks tebal permukaan kritis Desain tebal lapis tambahan didapatkan dari rumus berikut: Dol =
( ITP − ITPeff ) a ol
(2.33)
keterangan: = tebal lapis tambahan yang dibutuhkan Dol ITP = indeks tebal perkerasan rencana ITPeff = indeks tebal perkerasan yang terpasang saat ini aol = koefisien struktural perkerasan terpasang Anindita Prasasya 15003024 Tofan Ferdian 15003109
II-28
BAB II STUDI PUSTAKA
Metode yang kedua adalah dengan mengestimasi modulus lapisan yang efektif, yaitu: Eac: Modulus efektif lapisan aspal Eb/sb: Modulus lapisan efektif dari lapis pondasi dan lapis pondasi bawah Esg: Modulus lapisan tanah dasar yang mencerminkan kondisi material pada saat pengukuran. Tujuan dari metode ini adalah untuk menghitung ulang (backcalculation) seluruh modulus lapisan dari hasil cekung lendutan. Analisis kapasitas struktur perkerasan lentur berdasarkan kombinasi kekuatan-tebal dari semua lapisan di atas tanah dasar. Asumsi dasar pada metode ini adalah terdapat satu set modulus lapisan (E1, E2, E3,..En) eksisting yang diprediksi berdasarkan cekung lendutan yang terjadi akibat beban dinamik. Teori yang digunakan dalam teknik backcalculation untuk mendapatkan nilai-nilai modulus pada tiap lapisan adalah teori elastis multilapisan (multi-layered elastic). Keterbatasan dari pendekatan ini adalah memerlukan perhitungan matematika yang kompleks sehingga digunakan bantuan program komputer. Hal lain yang harus diperhatikan adalah modulus untuk lapisan aspal harus disesuaikan dengan temperatur standar sebelum analisis kapasitas struktur dilakukan.
Anindita Prasasya 15003024 Tofan Ferdian 15003109
II-29
BAB II STUDI PUSTAKA
Gambar 2. 1 (a) Flexible Pavement, (b) Rigid Pavement ......................................................II-1 Gambar 2. 2 Korelasi DDT dan CBR ....................................................................................II-4 Gambar 2. 3Faktor Konversi untuk Perkerasan Full Depth.................................................II-10 Gambar 2. 4 Faktor Pengaturan Temperatur untuk Ketebalan yang Bervariasi ..................II-13 Gambar 2. 5 Hubungan Design Rebound Deflection dan ESAL.........................................II-14 Gambar 2. 6 Grafik Desain Ketebalan Overlay Berdasarkan Lendutan Balik dan Desain ESAL....................................................................................................................................II-15 Gambar 2. 7 Konsep Dasar Sistem Multilapis .....................................................................II-17 Gambar 2. 8 Kurva Pengaruh Tegangan untuk Sistem Dua Lapis dari Burmister ..............II-20 Gambar 2. 9 Sistem Perkerasan Tiga Lapis .........................................................................II-22 Gambar 2. 10 Skema Benkelman Beam ..............................................................................II-24 Gambar 2. 11 Alat Falling Weight Deflectometer ...............................................................II-25 Tabel 2. 1 Jalur Rencana ........................................................................................................II-2 Tabel 2. 2 Faktor Regional (FR) ............................................................................................II-7 Tabel 2. 3 Faktor Ekivalen dari Aspal Emulsi .....................................................................II-10 Tabel 2. 4 Faktor Konversi untuk Menentukan Ketebalan Efektif ......................................II-11 Tabel 2. 5 Faktor Pertumbuhan Total ..................................................................................II-16 Tabel 2. 6 Persamaan – Persamaan dari Sistem Satu Lapis.................................................II-19
Anindita Prasasya 15003024 Tofan Ferdian 15003109
II-30