BAB II SISTEM MULTIBEAM ECHOSOUNDER (MBES)
2.1 Prinsip Sistem Multibeam Echosounder (MBES) Multibeam Echosounder menggunakan prinsip yang sama dengan singlebeam namun jumlah beam yang dipancarkan adalah lebih dari satu pancaran. Pola pancarannya melebar dan melintang terhadap badan kapal. Setiap beam akan mendapatkan satu titik kedalaman hingga jika titik-titik kedalaman tersebut dihubungkan akan membentuk profil dasar laut. Jika kapal bergerak maju hasil sapuan multibeam tersebut menghasilkan suatu luasan yang menggambarkan permukaan dasar laut (Moustier, 1998). Konfigurasi transduser merupakan gabungan dari beberapa stave yang tersusun seperti array (matriks). Stave merupakan bagian tranduser MBES yang berfungsi sebagai saluran untuk memancarkan maupun menerima pulsa akustik hasil pantulan dari dasar laut (stave transceiver beam). Semua stave akan menerima sinyal akustik dari segala arah hasil pantulan obyek-obyek di dasar laut. Semakin dekat obyeknya dengan sumber maka intensitasnya pun semakin kuat. Gelombang akustik yang dipantulkan dari dasar laut selanjutnya dianalisis oleh tranduser sehingga dapat dibedakan gelombang pantul yang datang dari arah yang berbeda. Hasil sudut pancaran beam terluar sering kali mengalami kesalahan karena lintasan gelombang akustik yang lebih panjang jaraknya, sehingga memperbesar kesalahan refraksi sudut. Tiap-tiap stave pada MBES akan memancarkan sinyal pulsa akustik dengan kode tertentu sehingga kode sinyal antara stave yang satu dengan stave yang lain berbeda walaupun menggunakan frekuensi yang sama. Untuk mendeteksi arah datangnya sinyal yang dipantulkan oleh dasar laut, transduser pada MBES menggunakan tiga metode pendeteksian, yaitu pendeteksian amplitudo, fase dan interferometrik (sudut).
6
Pada umumnya MBES menggunakan teknik interferometrik untuk mendeteksi arah datangnya gelombang pantul sebagai fungsi dari waktu. Pendeteksian interferometrik digunakan untuk menentukan sudut sinyal datang. Dengan menggunakan akumulasi sinyal akustik yang diterima pada dua array yang terpisah, suatu pola interferensi akan terbentuk. Pola ini menunjukkan hubungan fase tiap sinyal yang diterima. Berdasarkan hubungan yang ada, suatu arah akan dapat ditentukan. Bila informasi ini dikombinasikan dengan jarak, akan dihasilkan data kedalaman. Pada prinsipnya pengukuran MBES yang digunakan adalah pengukuran selisih fase pulsa (jenis pengamatan yang digunakan adalah metode pulsa). Untuk teknik pengukuran yang digunakan selisih fase pulsa ini merupakan fungsi dari selisih pulsa waktu pemancaran dan penerimaan pulsa akustik serta sudut datang dari sinyal tiaptiap transduser. Berikut geometri waktu tranduser saat diterima dan dipancarkan :
Gambar 2.1 Geometri Waktu Tranducer (Djunarsjah, 2004) Sehingga bahwa kedalaman merupakan fungsi dari selang waktu :
h = 1 .v.Δt …………………....…………………………………………..............………..…(2.1) 2 dimana : h v
= kedalaman yang diukur = cepat rambat gelombang akustik tergantung pada STP (± 1500 m/s)
7
Δt = selang waktu antara saat gelombang akustik yang dipancarkan dengan saat penerimaan kembali gelombang pantulnya. Selisih fase pulsa dalam MBES artinya sebagai fungsi dari selisih fase waktu pemancaran dan waktu penerimaan. Kemudian perhitungan waktu tempuh dan arah sudut pancaran setiap stave yang ditentukan dari pengukuran selisih fase pulsa MBES. Frekuensi, berkisar antara 1 - 300 kHz, yang dapat dibedakan menjadi tiga kategori (Milne, 1993), yaitu :
rendah (< 15 kHz), untuk pengukuran laut dalam
menengah (15 - 50 kHz)
tinggi (> 50 kHz)
2.2 Kalibrasi Sistem Multibeam Echosounder (MBES) Sistem yang lebih modern bagaimanapun tidak menjanjikan perolehan data yang berkualitas serta bebas dari selisih kasar bagi pengukuran kedalaman dasar laut karena juga diakibatkan oleh dinamika laut. Kalibrasi merupakan jenis kegiatan yang memeriksa dan menentukan besarnya kesalahan yang ada dalam alat ukur yang bersangkutan. Kalibrasi diperlukan untuk menentukan kualitas alat-alat ukur termasuk alat multibeam dalam penggunaannya. Proses kalibrasi ini meliputi : roll, pitch, gyro dan cepat rambat akustik. Data yang diperoleh akan baik setelah kalibrasi telah tepat sudah dilaksanakan di sistem-sistem secara keseluruhan. Adapun tahap-tahap proses kalibrasi MBES meliputi :
2.2.1
Kalibrasi Offset Static
Kalibrasi ini mulai dengan kelurusan dan offset-offset statis dari sensor-sensor yang disesuaikan kepada centerline dari kapal dan transduser. Kelurusan itu akan mengurangi koreksi statik dari tiap sensor dan dapat dilaksanakan dengan penerima GPS. 8
Proses dari kelurusan secara fisik dari platform kapal (antenna GPS kapal), transduser, kompas giro, dan MRU dikenal sebagai offset-offset statis. Offsetoffset statis dari sensor-sensor itu adalah jarak-jarak antara sensor-sensor dan titik referensi (CoG) terhadap antena GPS, dll. Dibawah ini merupakan offset-offset statik terhadap centerline baik dilihat dari depan maupun dari samping kapal :
Gambar 2.2 Offset Statik (Mann, 1996) Titik referensi kapal harus suatu tempat yang dengan mudah dapat diakses dan dari mana pengukuran-pengukuran ke sensor-sensor itu akan dibuat. Offset-offset sensor diukur jarak-jarak dari titik referensi ke pusat
sensor. Lalu tranducer dekat
centraline kapal dan disekitar sumbu roll (X). Dibariskan dengan asimut dari kapal. GyroCompass itu harus dibariskan dengan sumbu-x dari kapal yang menggunakan titik kontrol geodetik yang digunakan untuk menentukan arah azimut. Kelurusan ini bisa dilakukan dengan meminimalkan pengaruh gelombang. Serta antena GPS ini diposisikan dekat pusat dari kapal dengan jarak-jarak horisontal dan vertikal dari antena ke titik referensi kapal itu mengukur dengan pita ukur.
2.2.2
Patch Test (Uji Keseimbangan)
Sebelum melakukan patch test (tes keseimbangan) sebaiknya dilakukan quick survey, yaitu untuk mengetahui atau menemukan kedangkalan/ gradien kedalaman yang dapat memenuhi persyaratan untuk melaksanakan patch test.
9
Setelah offset-offset yang statis ditentukan, kemudian dilaksanakan kegiatan “Patch test”. Patch test dalam kalibrasi lebih baik dan harus dilaksanakan secara hati-hati untuk memastikan bahwa data dikumpulkan dapat dipercaya dan berkualitas. Pelaksanaan uji patch test ini cukup pada suatu survei yang kecil saja dengan beberapa bentuk ketentuan sesuai dengan kalibrasi yang akan dilakukan yang bertujuan untuk memeriksa dan mengoreksi penyimpangan-penyimpangan sebagai berikut :
a. Kalibrasi pitch Pitch diukur dari dua pasang titik kapal dalam menentukan kedalaman terhadap suatu kemiringan pada dua kecepatan yang berbeda atau untuk mengkoreksi gerakan heading kapal. Hal penting dari kalibrasi Pitch karena sepanjang penggantian jalur adalah sebanding terhadap kedalaman air (pergerakan terhadap sumbu Y). Jadi semakin dalam kedalaman air (mengarah pada perairan dalam) maka semakin kecil nilai kalibrasinya. Persyaratan yang harus dipenuhi adalah melintasi satu lajur yang sama, dengan arah berlawanan, melintasi kedangkalan yang bergradien tajam, menggunakan kecepatan sama serta pancaran terdalam yang overlap digunakan untuk koreksi. Maka dengan geometri seperti gambar 2.3 maka persamaan koreksi sudut pancaran dapat ditentukan sesuai dengan persyaratan yang ada.
Gambar 2.3 Kalibrasi pitch (Mann,1996)
10
Berikut persamaan perhitungan besaran sudut akibat pengaruh pitch (Mann, 1996) :
⎡d / 2⎤ dα = tan −1 ⎢ ⎥ ………......................................………………….......………………(2.2) ⎣ z ⎦ dα = sudut pancaran (pitch offset)
Z = kedalaman d = jarak terjal (slope) pada pengukuran 1 dan 2 (separation of target)
b. Kalibrasi roll Secara umum, kalibrasi ini adalah paling mempengaruhi di perairan dalam dan harus secara hati-hati untuk diukur. Serta kalibrasi ini digunakan untuk mengkoreksi gerakan oleng kapal dalam arah sumbu X. Persyaratan yang harus dipenuhi adalah melintasi satu lajur yang sama, dengan arah berlawanan, melintasi dasar laut relatif datar, menggunakan kecepatan sama serta pancaran terluar yang overlap digunakan untuk koreksi. Maka dengan geometri seperti gambar 2.4 maka persamaan koreksi sudut pancaran dapat ditentukan sesuai dengan persyaratan yang ada.
Gambar 2.4 Kalibrasi Roll (Mann, 1996) Berikut persamaan akibat pengaruh roll, dapat dilihat pada gambar berikut :
11
Gambar 2.5 Persamaan Kalibrasi Roll (Kiel, 2006) Untuk sudut kecil dari kurang dari 3 derajat, offset roll dapat diperkirakan oleh persamaan yang berikut (Mann, 1996): ⎡ y⎤
β = tan−1 ⎢ ⎥ …………………..................................…...………………………....(2.3) ⎣x⎦ di mana β adalah offset roll x adalah panjang jalur dalam meter y adalah kedalaman
c. Kalibrasi positioning time delay Waktu delay antara saat pengukuran sonar dan saat GPS melakukan pengambilan data maka diperlukan pengecekan sinkronisasi waktu dalam post processing. Waktu delay tersebut digunakan untuk mengkoreksi keterlambatan waktu GPS (time delay positioning). Time delay dapat dikatakan akurat jika dideteksi sampai ke 10-50 msec. Time delay antara system positioning (X, Y, h) dan MBES merupakan parameter yang penting. Umumnya time delay ini memiliki nilai antara 0.2-1 s yang menyebabkan kesalahan posisi yang hal tersebut bergantung pada kecepatan kapal (Handbook of Offshore Survey, 2006). Waktu delay juga akan mengakibatkan kesalahan roll, yang sangat mempengaruhi orientasi berkas yang luar. Akselerasi-akselerasi horisontal ini juga dapat mempengaruhi pengukuran-pengukuran HPR (Heave, Pitch dan Roll), yang akan mengakibatkan kesalahan di dalam pengukuran-pengukuran kedalaman.
12
Maka dengan geometri seperti gambar 2.6 maka persamaan koreksi sudut pancaran dapat ditentukan sesuai dengan persyaratan yang ada.
Gambar 2.6 Kalibrasi time delay positioning (Mann, 1996) Persamaan untuk menghitung waktu delay (TD) (Mann, 1996): ⎡ d ⎤ dt = tan −1 ⎢ ⎥ ……………………………………………...………………..(2.4) ⎣ (Vh − Vt ) ⎦
dt = time delay dalam sekon Vh = kecepatan kapal tinggi dalam m/s Vt = kecepatan kapal rendah dalam m/s d = jarak terjal (slope) pada pengukuran 1 dan 2 (separation of target) dalam meter Proses ini dilaksanakan secara berulang-ulang sampai profil-profil mencapai suatu perbedaan yang minimum. Persyaratan yang harus dipenuhi adalah melintasi satu lajur yang sama, dengan arah yang sama, melintasi kedangkalan yang bergradien tajam, menggunakan kecepatan berbeda misalkan (3 knots dan 6 knots) serta pancaran terdalam yang overlap digunakan untuk koreksi.
d. Kalibrasi Profil Cepat Rambat Akustik (SVP Calibration) Saat MBES itu tidak mengoreksi data untuk kecepatan bunyi menggunakan suatu profil kecepatan bunyi, lalu anda harus masuk suatu profil kecepatan bunyi di dalam pengontrol. Profil kecepatan bunyi adalah penting bagi menghindari kesalahan kedalaman dan di dalam pembersihan data MBES. Kalibrasi SVP ini tidak harus dilaksanakan diseluruh profil kecepatan bunyi di dalam masing-masing kedalaman air 13
karena kecepatan bunyi itu tidak selalu berubah setiap saat tergantung terhadap salinitas, suhu, tekanan dan densitas. Melakukan sepasang atau lebih lajur survei (minimal dua lajur survei) melintasi daerah dimana dasar laut relatif datar lalu tegak lurus terhadap lajur survei. Masingmasing pada titik-titik lajur dilakukan pengamatan dengan alat CTD untuk mengetahui pengaruh cepat rambat akustik pada masing-masing lajur.
e. Kalibrasi Yaw Persyaratan yang harus dipenuhi adalah melintasi dua lajur yang sejajar dengan spasi 2 kali kedalaman, dengan arah yang sama, melintasi kedangkalan yang bergradien tajam, menggunakan kecepatan sama serta pancaran terdalam yang overlap digunakan untuk koreksi. Test ini terdiri dari suatu survei yang kecil beberapa bentuk yang kemudian dievaluasi untuk melihat kekonsistenannya dan lalu mengoreksinya. Uji dilakukan dengan cek yang akhir dari offset-offset dan penyimpangan-penyimpangan untuk memverifikasi apakah data tersebut ditemui serta telah sesuai persyaratanpersyaratan ketelitian untuk survei. Maka dengan seperti gambar 2.7 maka persamaan koreksi sudut pancaran dapat ditentukan sesuai dengan persyaratan yang ada.
Gambar 2.7 Kalibrasi Yaw (Mann, 1996)
14
Keterangan : Besarnya koreksi yaw (α) diberikan pada haluan kapal. Sehingga diasumsikan
saat
survei
berlangsung
lajur
perum
yang
dilakukan
tetap
mempertahankan arah haluan kapal dari kompas giro. Persamaan untuk menghitung koreksi yaw (α) (Mann, 1996) :
⎡y ⎤
⎡y ⎤
⎡y ⎤
γ 1 = tan −1 ⎢ 1 ⎥ ; Jika ⎢ 1 ⎥ = ⎢ 2 ⎥ = ⎡⎢ ⎤⎥ ⎣ x1 ⎦ ⎣ x1 ⎦ ⎣ x 2 ⎦ ⎣ x ⎦ y
x = x1 + x 2 dan y = y1 + y 2
Dimana : X = Jarak relative across track Y = Jarak 2 objek sesungguhnya ⎡ y⎤ Maka : γ = tan −1 ⎢ ⎥ ………....…....................…………........………………….....(2.5) ⎣x⎦
f. Kalibrasi Gyro Kalibrasi gyro bertujuan untuk mengoreksi adanya kesalahan sistematik dari alat kompas giro (gyrocompass) serta untuk mengkoreksi penyimpangan haluan kapal (track).
2.2.3 Performance Test Performance Test adalah suatu cek dari offset-offset tersebut untuk memverifikasi apakah data sesuai dengan persyaratan-persyaratan ketelitian untuk survei. Uji ini adalah sangat utama suatu survei yang kecil melewati suatu bidang yang datar di dalam kedalaman air dari tidak lebih dari 30 meter. Empat garis sejajar adalah sesuai dengan sedikitnya 150 persen overlap. Prosedur ini harus dilaksanakan dengan secara manual, dan perataan posisi, keadaan batimetri harus dibuat untuk memastikan data bersih dari kesalahan kalibrasi dan nilai kalibrasi sudah harus dapat digunakan untuk memperoleh nilai-nilai yang dapat dipercaya.
15
2.3 Pergerakan Kapal Dan Pengaruhnya Dalam Penentuan Posisi
2.3.1 Penentuan Posisi
2.3.1.1 Penentuan Posisi Secara Statik Secara dalam keadaan statik penentuan posisi di dasar laut yang dipengaruhi oleh kedudukan tranduser dan kedudukan GPS sehingga dengan proses translasi serta berdasarkan resolusi sudut beam (bergantung pada kedalaman) maka dapat ditentukan posisi pada dasar laut. Seperti dapat dilihat pada gambar 2.8 sebagai berikut :
Gambar 2.8 Penentuan Posisi Dalam Keadaan Stabil Keterangan : Dalam hal ini, sumbu X berimpit dengan chart datum. Nilai Z merupakan ukuran draft tranduser dan nilai h merupakan ukuran kedalaman pada saat tegak lurus. Hasil ukuran offset statik antara tranduser terhadap CoG (dxa,0,dza) dan antena GPS terhadap CoG (0,dyb ,dzb). Maka setelah didapat ukuran data posisi kapal dengan GPSUTM (East, North) dilakukan offset statik (translasi) dalam penentuan posisi adalah : a. Penentuan koordinat CoG berdasarkan koordinat GPSUTM
16
⎡dy⎤ ⎡X ⎤ ⎡E⎤ ⎢ Y ⎥ = ⎢ N ⎥ − ⎢dz ⎥ ……….......................................…...…………..………(2.6) ⎣ ⎦ CoG ⎣ ⎦ GPS ⎣ ⎦ b b. Penentuan koordinat MBES berdasarkan koordinat CoG
⎡X ⎤ ⎡E⎤ ⎡dx⎤ = ⎢ ⎥ + ⎢ ⎥ ………......................................…………………...…(2.7) ⎢Y ⎥ ⎣ ⎦ MBES ⎣N ⎦CoG ⎣dz⎦ a c. Penentuan koordinat posisi titik dasar laut berdasarkan koordinat MBES maka : ⎡ΔX ⎤ ⎡X ⎤ ⎡X ⎤ + ⎢ ⎥ …………….........................................……….............…(2.8) ⎢Y ⎥ = ⎢Y ⎥ ⎣ ⎦ n ⎣ ⎦ MBES ⎣ ΔY ⎦
Keterangan : ⎡ΔX ⎤ = ⎢ ΔY ⎥ ⎣ ⎦
fungsi dari hn dan β;
hn = Kedalaman yang dipancarkan oleh masing-masing beam ( h = 1 / 2.v.Δt ); β = Resolusi sudut multibeam; n = Beam ke-n;
2.3.1.2 Penentuan Posisi Pengaruh Heading Kapal Jika terdapat heading kapal berdasarkan gyrocompass sebesar αy maka posisi koordinat kedalaman mengalami perubahan (dalam hal ini heading kapal tidak sama dengan sumbu y) yang dapat dilihat berdasarkan gambar sebagai berikut :
Gambar 2.9 Perubahan Titik Akibat Heading Kapal (Dilihat Dari Atas) 17
Sama halnya mendapatkan posisi tranduser seperti cara 2.8, lalu diperoleh posisi titiktitik kedalaman dengan mengalami perubahan ΔX serta ΔY dari secara statik dengan perhitungan sebagai berikut :
⎡X ⎤ ⎡X ⎤ ⎡ΔX ⎤ + ⎢ ⎥ ……………….....................................………………..(2.9) ⎢Y ⎥ = ⎢Y ⎥ ⎣ ⎦ n ⎣ ⎦ MBES ⎣ ΔY ⎦ Keterangan : ⎡ΔX ⎤ = fungsi dari r , resolusi sudut dan sudut heading; n ⎢ ΔY ⎥ ⎣ ⎦
rn = Kedalaman yang dipancarkan oleh masing-masing beam ( h = 1 / 2.v.Δt ); β = Resolusi sudut multibeam; n = Beam ke-n; Karena yang didapat merupakan posisi titik-titik kedalaman magnetis (gyrocompass), maka secara sistem koordinat internasional (arahnya berlawanan dengan arah gyrocompass atau searah jarum jam) sehingga mengalami perubahan titik kedalaman (ΔX serta ΔY ) adalah sebagai berikut : ⎡ΔX ⎤ ⎢ ΔY ⎥ = fungsi dari rn, resolusi sudut dan sudut heading; ⎣ ⎦
2.3.1.3 Penentuan Posisi Pengaruh Pergerakan Kapal Secara dalam keadaan dinamik penentuan posisi di kapal yang berada di permukaan air mengakibatkan kapal tidak stabil. Untuk mendeteksi keseimbangan kapal berdasarkan pergerakan rotasi ini (roll, pitch, yaw) maka dilakukan menggunakan alat Motion Reference Unit (MRU). Pergerakan Roll, yaitu gerakan rotasi kapal pada sumbu x (gerak rotasi sisi sebelah kiri-kanan bagian kapal). Sudut rotasi Roll bernilai positif, jika bagian sisi sebelah kanan kapal diatas bidang horisontal (permukaan air).
18
Gambar 2.10 Pergerakan Roll Pergerakan Pitch, yaitu gerakan rotasi kapal pada sumbu y (gerak rotasi depan belakang kapal). Sudut rotasi Pitch bernilai positif, jika bagian haluan/ sisi depan kapal berada di sebelah atas bidang horisontal (permukaan air).
Gambar 2.11 Pergerakan Pitch Heave merupakan gerakan kapal sepanjang sumbu Z dengan naik turunnya kapal akibat gelombang laut saat survei. Nilai heave semakin besar sesuai dengan gerakan kapal ke bawah (kedalaman).
Gambar 2.12 Pergerakan Heave Untuk menghilangkan kesalahan akibat roll dan pitch, tahap yang dilakukan : (1) Mengkoreksi gerakan pitch
19
Rotasi terhadap Y dalam bidang XZ sebesar θp, berikut gambar transformasi akibat gerakan pitch :
Gambar 2.13 Geometri Gerakan Pitch (Nurzatna, 1991) Maka diperoleh rumus sebagai berikut :
Xa' = OT cos β ...............................(2.10)
Za' = OT sin β .................................(2.11)
Dalam sistem yang dikoreksikan dengan pitch : Xkp = OT cos(β −θ p ) = OT cosβ cosθ p + OT sin β sinθ p ......................................................(2.12)
Zkp = OT sin( β − θ p ) = OT sin β cos θ p − OT cos β sin θ p ...................................(2.13) Sehingga diperoleh :
Xkp = Xa' cosθ p + Za' sinθ p ………...........................................……...........................(2.14)
Zkp = Za' cosθ p − Xa' sinθ p …....……...................................................................(2.15) Karena sumbu Y tidak mengalami rotasi akibat pitch sehingga dapat dikatakan Ykp = Ya’, maka dalam bentuk matriks persamaan untuk transformasi koordinat menghilangkan pengaruh pitch dapat ditulis sebagai berikut : ⎡ Xkp ⎢ Ykp ⎢ ⎢⎣ Zkp
⎤ ⎡ cos θ p ⎥ = ⎢ 0 ⎥ ⎢ ⎥⎦ ⎢⎣ − sin θ p
0 1 0
sin θ p ⎤ ⎡ Xa ' ⎤ 0 ⎥⎥ ⎢⎢ Ya ' ⎥⎥ ..........................................................(2.16) cos θ p ⎥⎦ ⎢⎣ Za ' ⎥⎦
(2) Mengkoreksi gerakan yaw (setelah dikoreksi gerakan pitch) Rotasi terhadap Z dalam bidang XY sebesar θy, berikut gambar transformasi akibat gerakan yaw :
20
Gambar 2.14 Geometri Gerakan Yaw(Nurzatna, 1991) Maka diperoleh rumus sebagai berikut :
Yky= OS cosγ ........................(2.17)
Xky= OS sinγ ................................(2.18)
Dalam sistem yang dikoreksikan dengan yaw : Yky = OS cos( γ + θ y ) = OS cos γ cos θ y − OS sin γ sin θ y ......................................(2.19)
Xky = OS sin(γ + θ y ) = OS sin γ cos θ y + OS cos γ sin θ y .........................................(2.20) Sehingga diperoleh :
Xky = Ykp cos θ y + Zkp sin θ y Yky = − Xkp sin θ
y
……………................................................(2.21)
+ Ykp cos θ y ….............................…………......................(2.22)
Karena sumbu Z tidak mengalami rotasi akibat roll sehingga dapat dikatakan Zkp = Zky, maka dalam bentuk matriks persamaan untuk transformasi koordinat menghilangkan pengaruh yaw dapat ditulis sebagai berikut :
⎡ Xky ⎤ ⎡ cos θ y ⎢ Yky ⎥ = ⎢ − sin θ y ⎢ ⎥ ⎢ ⎢⎣ Zky ⎥⎦ ⎢⎣ 0
sin θ y cos θ y 0
0 ⎤ ⎡ Xkp ⎤ 0 ⎥⎥ ⎢⎢ Ykp ⎥⎥ .............................................................(2.23) 1 ⎥⎦ ⎢⎣ Zkp ⎥⎦
(3) Mengkoreksi gerakan roll (setelah dikoreksi gerakan yaw) Rotasi terhadap X dalam bidang YZ sebesar θr, berikut gambar transformasi akibat gerakan roll :
21
Gambar 2.15 Geometri Gerakan Roll (Nurzatna, 1991) Maka diperoleh rumus sebagai berikut :
Zkp = OT ' sin α ........................(2.25)
Ykp = OT ' cos α .......................(2.24) Dalam sistem yang dikoreksikan dengan roll :
Ykr= OT' cos(α +θr ) = OT' cosα cosθr − OT'sinα sinθr .........................................(2.26) Zkr = OT ' sin(α + θ r ) = OT ' sin α cosθ r + OT ' cosα sin θ r …......................................(2.27) Sehingga diperoleh :
Xkr = Ykycosθr + Zkysinθr ……………...................................................................(2.28) Zkr = Zky cos θ r − Yky sin θ r ……………................................................................(2.29)
Karena sumbu X tidak mengalami rotasi akibat roll sehingga dapat dikatakan Xky = Xkr, maka dalam bentuk matriks persamaan untuk transformasi koordinat menghilangkan pengaruh roll dapat ditulis sebagai berikut :
0 0 ⎤ ⎡ Xky⎤ ⎡ Xkr ⎤ ⎡1 ⎢ Ykr ⎥ = ⎢0 cosθr − sin θr ⎥ ⎢ Yky ⎥ ⎢ ⎥ ⎢ ⎥⎢ ⎥ ...................................................................(2.30) ⎢⎣ Zkr ⎥⎦ ⎢⎣0 sin θr cosθr ⎥⎦ ⎢⎣ Zky ⎥⎦ Sehingga sistem koordinat telah terkoreksi rotasi kapal (Xk, Yk, Zk) sebagai berikut : ⎡ Xk ⎤ ⎡ cos θp ⎢ Yk ⎥ = ⎢ 0 ⎢ ⎥ ⎢ ⎢⎣ Zk ⎥⎦ ⎢⎣ − sin θp
0 1 0
sin θp ⎤ ⎡ cos θy 0 ⎥⎥ ⎢⎢ − sin θy cos θp ⎥⎦ ⎢⎣ 0
sin θy cos θy 0
0 ⎤ ⎡1 0 ⎥⎥ ⎢⎢ 0 1 ⎥⎦ ⎢⎣ 0
0 cos θr sin θr
⎤ ⎡ Xa '⎤ − sin θr ⎥⎥ ⎢⎢ Ya ' ⎥⎥ ............(2.31) cos θr ⎥⎦ ⎢⎣ Za ' ⎥⎦ 0
22
2.3.2 Sistem Koordinat Kapal Untuk menentukan koordinat horisontal dipergunakan peralatan penentuan posisi dengan GPS. Sistem penentuan posisi yang digunakan menggunakan Differential GPS (DGPS) dengan metode Real Time Differential GPS (RTDGPS) dalam hal ini metode ini digunakan untuk objek yang bergerak (kapal). Alat yang digunakan DGPS C-Nav. Titik referensi yang digunakan secara otomatis dari stasiun referensi yang digunakan. RTDGPS merupakan sistem penentuan posisi real time secara differensial menggunakan data pseudorange. Untuk merealisasikan data yang real time maka monitor station mengirikan koreksi diffensial ke kapal secara real time menggunakan sistem komunikasi data (Poerbandono dan Djunarsjah, 2005). Sistem koordinat kapal digambarkan menggunakan sistem yang tegak lurus (sikusiku) yang dibentuk oleh sumbu X, Y dan Z sehingga salib ketiga sumbu tersebut saling tegak lurus antar kedua sumbunya dengan sistemnya sebagai berikut :
Gambar 2.16 Sistem Koordinat Kartesian Kapal-Sistem Koordinat Referensi (Hydrographic Survey, 2004) Keterangan : ¾ Sumbu X diambil dari arah haluan kapal, dihitung positif ke arah gerak majunya kapal. ¾ Sumbu Y diambil dari arah kedua sisi kapal, dihitung positif ke arah sisi bagian kanan kapal.
23
¾ Sumbu Z diambil dari kedalaman laut, dihitung positif sesuai dengan meningkatnya kedalaman laut. ¾ Titik pusat salib sumbu (X, Y, Z) merupakan reference point atau titik acuan. Sistem salib sumbu yang dibentuk oleh transducer ataupun titik di dasar laut mengacu pada titik acuan sebagai titik awal koordinat kapal. ¾ Tranducer depth : kedalaman tranducer terhadap permukaan laut. ¾ Water level : permukaan laut diasumsikan sebagai bidang datar. Untuk membuat sistem koordinat tranducer relatif terhadap posisi kapal, maka pusat sistem koordinat kapal adalah salib sumbu antara arah kapal (heading) sebagai sumbu X, serta arah tegak lurus ke arah dasar laut sebagai sumbu Z. Berdasarkan salib sumbu antar sumbu X dan Z maka dapat dilihat dari gambar 2.18 sebagai berikut :
Gambar 2.17 Diagram Kapal (Kongsberg, 2006) Lalu untuk menentukan posisi tranducer yang terletak pada kapal maka tranducer tersebut diikatkan dengan hasil pengukuran yang dilakukan oleh sensor antena GPS di kapal. Berdasarkan sistem koordinat kapal ini, maka gerakan kapal dapat dinyatakan gerak rotasi terhadap sumbu-sumbu sistem koordinat kapal. Demikian pula posisi titik-titik kedalaman yang diperoleh dari hasil pengukuran dengan alat MBES dapat ditentukan. Pengukuran yang dilakukan sebelum melakukan survei dengan pita ukur adalah draft kapal yang semua titik seperti posisi antena DGPS yang dalam hal ini menentukan
24
posisi kapal dalam sistem referensi global tertentu (WGS-84) serta posisi tranduser yang dalam hal ini menentukan kedalaman di setiap titik kedalaman terhadap tranduser, sehingga diikatkan terhadap pusat koordinat kapal yang dalam hal ini merupakan motion sensor (MRU) dan didapatkan pengukuran offset terhadap koordinat kapal (dx, dy, dz). Kemudian dilakukan transformasi koordinat yang dipengaruhi oleh translasi, rotasi serta skala.
2.4 Hal-Hal Yang Mempengaruhi Akustik Bawah Air
2.4.1 Sound VelocityProbe
SVP didapat dari menggunakan alat SVS Sensor yang memiliki keterkaitan dengan 5 parameter, yaitu : kedalaman laut (m), kecepatan suara (m/s), temperatur (0C), salinitas (0/00) dan konduktivitas (mmho/cm) dengan mengabaikan parameter yang lain (tekanan, densitas dll). Kegiatan ini dilakukan sebelum melakukan kalibrasi dan pemeruman dengan pengamatan sifat fisis air laut. Bahwa kesalahan pada kedalaman hasil ukuran terjadi karena perambatan gelombang mengalami rintangan sehingga harus dikoreksi.
Cepat rambat gelombang akustik dapat ditentukan melalui penggunaan velocimeter. Bahwa prinsip sound velocimeter adalah mengukur selang waktu rambat gelombang akustik dengan pulsa pendek antara sumber gelombang bunyi (saat pulsa akustik dipancarkan oleh transmiter dan diterima kembali oleh receiver). Kemudian selang waktu tersebut diubah menjadi kecepatan gelombang akustik dengan persamaan berikut :
V=
S …...............................................................................….………………........…..(2.32) Δt
dengan : V
= Cepat rambat gelombang akustik
S
= Jarak antara transmiter dan receiver sudah ditentukan oleh alat velocimeter
Δt
= Selang waktu cepat rambat gelombang akustik dari transmiter ke receiver (diukur).
25
2.4.2 Sifat Fisik Air Laut Suhu dan salinitas dipengaruhi oleh perubahan kedalaman, sehingga densitasnya pun mengalami perubahan dengan semakin dalam kedalamannya maka semakin besar densitasnya. Akibatnya dari perubahan densitas ini maka terjadi perubahan cepat rambat gelombang akustik. Sehingga selama penjalaran gelombang akustik selama melintasi lapisan-lapisan air laut mengalami pemantulan dan pembiasan (Mazel, Charles, 1985). Setiap area perairan mempunyai karakter yang berbeda satu sama lainnya, Hal ini ditentukan oleh kondisi geografis masing-masing area perairan, pola arus, perubahan temperatur dan salinitas, kedalaman air dan lain-lain (Hermawan, IPB 2002). Pengamatan kondisi fisik air laut (S, T, P) pada kedalaman yang dimaksud. 1. Persamaan Wood (1955) v = 1410 + 4.21T − 0.037T 2 + 1.14 S + 0.018 Z ...........................................................(2.33)
dimana : T
= temperatur; S = Salinitas; Z = Kedalaman
2. Persamaan Wilson (1960) v = 1449 . 14 + V T + V P + V S + V STP ..............................................................(2.34)
dimana : VT = 4.5721T − 4.4532.10 −2 T 2 − 2.6045.10 −4 T 3 + 7.9851.10 −6 T 4 ……………...(2.35)
VP = 1.60272P + 1.0268.10−5 P2 + 3.5216.10−9 P3 − 3.3603.10−12 P4 .......................(2.36) V S = 1 . 39799 ( S − 35 ) + 1 . 69202 . 10 − 3 ( S − 35 ) 2 ….……………………….…(2.37) V STP = ( S − 35 )( − 1 . 1244 . 10 − 2 T + 7 . 7711 . 10 − 7 T
2
− 7 . 7016 . 10 − 5 P 5
− 1 . 2943 . 10 − 7 P 2 + 3 . 1580 . 10 − 8 PT + 1 . 5790 . 10 − 9 PT 2 ) + P ( − 1 . 860710
−4
T
+ 7 . 4812 . 10 − 6 T 2 + 4 . 5283 . 10 − 9 T 3 ) + P 2 ( − 2 . 5294 . 10 − 7 T + 1 . 8563 . 10 − 9 T 2 ) + P 3 ( − 1 . 9646 . 10 −10 T )......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... ........( 2 . 38 )
dengan selang temperatur ( − 4 0 C < T < 30 tekanan ( 1 kgcm salinitas ( 0
0
−2
< P < 1000 kgcm
/ 00 < S < 37
0
/ 00
−2
0
C
);
);
)
26
3. Persamaan Hedwin (1975)
v = 1449 . 20 + 4 . 6 T − 0 . 055 T 2 + 0 . 00029 T 4 + (1 . 34 − 0 . 01 T )( S − 35 ) + 0 . 016 Z .......... .......... .......... .......... ( 2 . 39 ) dengan selang temperatur ( 0 0 C < T < 35 salinitas ( 0
0
/ 00 < S < 37
0
/ 00
0
C
);
);
kedalaman ( 0 < Z < 1000 m )
2.5 Reduksi Kedalaman Reduksi kedalaman yang dimaksudkan untuk melakukan koreksi terhadap nilai kedalaman yang terukur. Pengamatan pasut ini bertujuan untuk mencatat atau merekam gerakan vertikal permukaan air laut yang terjadi secara periodik yang disebabkan tarik-menarik antara bumi dengan benda-benda angkasa terutama bulan dan matahari (Djunarsjah, 2005). Dengan mengukur permukaan air sesaat (MLS) maka dapat menentukan bidang referensi kedalaman (MSL) atau chart datum dan penentuan koreksi serta prediksi pasut dari hasil pengukuran kedalaman mengacu pada salah bidang referensi vertikal. Dalam hal pengukuran menggunakan sounding datum (suatu datum yang digunakan untuk perubahan kedalaman yang nilainya dapat ditentukan oleh surveyor berdasarkan koreksi pasut setelah melakukan pengamatan data pasut setempat. Koreksi yang dilakukan antara lain : koreksi ukuran kedalaman (koreksi cepat rambat akustik, kedudukan tranduser , koreksi draft transducer (diagram kapal) , koreksi pergerakan kapal (HPR), koreksi pasut dan lain-lain. Sehingga akan didapat kedalaman dasar laut terhadap permukaan laut rata-rata (MSL) dan dapat dibuat profil dasar laut. Bahwa profil dasar laut dapat dibuat berdasarkan chart datum yang ditentukan dengan koreksi pasut tertentu. Berikut merupakan reduksi kedalaman laut yang secara visual ditampilkan pada gambar 2.18 dibawah ini :
27
Gambar 2.18 Reduksi Kedalaman Laut Keterangan : Posisi kapal secara global didapat dari GPS yaitu (E, N)UTM kemudian diukur offset statik antara tranduser atau MRU dalam hal ini terhadap kapal maupun antena GPS serta muka laut sesaat (a, b, c) sehingga didapat draft tranduser yaitu = c – b. Posisi tranduser saat pengambilan data yaitu (0, dy, dz) serta posisi MRU (0, e, h) setelah pengaruh rotasi dalam hal ini adalah z = h (telah terkoreksi rotasi). Maka reduksi kedalaman yang diperoleh adalah : Sehingga titik kedalaman pada dasar laut yang ditentukan pada multibeam bergantung terhadap draft tranduser (c-b), reduksi pasut (Zo), beda fase (Δt) yang mempengaruhi kedalaman dengan resolusi sudut beam (θ) tertentu.
1 h = vΔt 2 Keterangan : Berdasarkan prinsip multibeam (rumus 2.1) tersebut digunakan jika gelombang yang dipancarkan dan dipantulkan itu tegak lurus. Jika beam memiliki beda fase (Δt) tertentu dengan resolusi sudut beam yang berbeda maka h (kedalaman) 28
dalam hal ini merupakan bukan kedalaman yang diinginkan (tapi hmiring) sehingga harus dikoreksi yaitu :
1 h = vΔt. cos(n.θ ) ...............................................................................................(2.40) 2 dengan n adalah beam ke-n. Seperti dapat dilihat pada gambar 2.19 sebagai berikut :
Permukaan Laut Sesaat 1
Kapal Dalam Keadaan Miring Kapal Dalam Keadaan Tegak
Perm
ukaa
n La
ut S e sa a t
2
Keterangan Coverage pada saat kapal tegak Coverage pada saat kapal miring
Dasar Laut
Gambar 2.19 Reduksi kedalaman Akibat Kapal Bergerak Terjadi perubahan kedalaman terhadap titik kedalaman dasar laut yang diakibatkan posisi pengambilan data yang tidak tepat (kapal dalam keadaan miring karena permukaan air yang dinamik) sehingga beda fase yang didapat adalah Δt2, sedangkan beda fase yang harus diperoleh adalah Δt1 sehingga akan diperoleh data kedalaman yang tepat dari tranduser. Kemudian data tersebut dikoreksi terhadap data ukuran draft tranduser (c-b) serta koreksi pasut (Zo). Maka h koreksi = h + ( c − b ) − ( Z o ) ……….......................…………………….(2.41)
29
2.6 Aplikasi Multibeam Echosounder (MBES) Untuk Keperluan Survei Batimetrik Survei batimetri adalah bagian dari kegiatan survei hidrografi yang bertujuan untuk menentukan kedalaman laut dan bahaya pelayaran bagi kepentingan navigasi. Survei batimetri merupakan kegiatan penentuan kedalaman serta konfigurasi dasar laut berdasarkan analisis profil kedalaman. Profil kedalaman adalah hasil pemeruman dari sounding. Berdasarkan profil kedalaman dapat dibuat garis kontur kedalaman sehingga variasi morfologi dasar laut dapat ditampilkan terdiri atas titik-titik kedalaman. Peta yang menampilkan variasi morfologi kedalaman dasar laut disebut Peta Batimetri. Survey Batimetri adalah proses dan aktivitas yang ditujukan untuk memperoleh gambaran morfologi permukaan dasar laut (seabed surface). Gambaran dasar laut dapat disajikan dalam garis-garis kontur atau model permukaan digital. Garis-garis kontur kedalaman atau model Batimetri diperoleh dengan menginterpolasikan titiktitik pengukuran kedalaman yang tersebar pada lokasi yang dikaji. Kerapatan titiktitik pengukuran kedalaman bergantung pada skala model yang hendak dibuat. Pengukuran kedalaman dilakukan pada titik-titik yang dipilih untuk mewakili keseluruhan daerah yang akan dipetakan. Pada titik-titik tersebut juga dilakukan pengukuran untuk penentuan posisi. Titik-titik tempat dilakukannya pengukuran untuk penentuan posisi dan kedalaman disebut sebagai titik sounding. Pada setiap titik sounding harus juga dilakukan pencatatan waktu (saat) pengukuran untuk dikoreksi terhadap pengaruh naik turunnya muka air laut karena pasang-surut. Kerapatan titik-titik pengukuran kedalaman bergantung pada skala model yang hendak dibuat. Titik-titik pengukuran kedalaman berada pada lajur-lajur pengukuran kedalaman yang disebut sebagai lajur perum atau sounding line.
Survei batimetri merupakan aktivitas dan proses untuk menentukan posisi titik-titik di dasar perairan dalam suatu koordinat tertentu, sehingga diperoleh model topografi
30
dasar perairan. Dengan mencakup pengukuran pengukuran koordinat kerangka dasar horisontal dan vertikal, pengamatan pasut serta pelaksanaan survei batimetri dengan MBES. Sesuai rekomendasi IHO SP-44 mengenai persyaratan bahwa untuk Orde Spesial dan Orde 1 (lihat tabel 2.3) seperti perairan di pelabuhan perlu mendapatkan alur yang bebas dari bahaya navigasi sehingga survei batimetri mutlak perlu dilakukan dengan menggunakan MBES untuk mendapatkan coverage penuh (SP-44, 2008). Tabel 2.1 Klasifikasi survei ORDER
SPESIAL
1
2
Contoh area Pelabuhan,
Pelabuhan,
Daerah
yang
tempat
pelabuhan
tidak tercakup tidak tercakup
dipetakan
berlabuh,
dan yang
saluran-saluran kritis
3
Orde dalam
dalam
mendekati
Special
dengan terusan, jaluran Orde
hambatan sarat anjuran,
yang Daerah
atau Special 1
yang Orde atau
atau Orde 1 dan 2.
dan daerah dengan
kapal
daerah perairan kedalaman
minimum.
dengan
hingga 200 m.
kedalaman hingga 100 m. Ketelitian
2 m dan
5 m ± 5%d dan
20 m ± 5%d
150 ± 5%d
Horisontal
a = 0.25 m
a = 0.5 m
dan
dan
dan Vertikal
b = 0.0075
b = 0.013
a = 1.0 m
a=1m
b = 0.023
b = 0.023
(Tingkat kepercayaan = 95%)
Ketelitian diatas dengan skala 1
: 100.000 pada pengukuran terestris, jika
menggunakan GPS maka kesalahan posisi horisontal harus kurang
dari 10 cm
(Poerbandono dan Djunarsjah, 2005). a dan b adalah parameter yang digunakan untuk menghitung akurasi kedalaman. Adapun kesalahan antara kedalaman dalam 31
titik fix perum pada lajur utama dan lajur silang tidak boleh melebihi toleransi berikut :
Σ = ± a2 + (bxd)2 ......................................................................................(2.42) dimana : a = kesalahan independen (jumlah kesalahan yang bersifat tetap) b = faktor kesalahan kedalaman dependen (jumlah kesalahan yang bersifat tidak tetap) d = kedalaman terukur (b x d) = kesalahan kedalaman yang dependen (jumlah semua kesalahan kedalaman yang dependen)
Tabel 2.2 Kesalahan Deteksi Kedalaman Keterangan : bahwa kedalaman rata-rata pada masing-masing titik kedalaman diberi batas koreksi selisih x yang kemudian didapat nilai dari tabel statistik (apriori) yang dibandingkan dengan hasil hitungan Σ (apostriori) sebagai syarat IHO terpenuhi atau tidak sesuai dalam toleransi kepercayaan 95% maka :
X distribu sin ormal ≥ 2.Σ ……………...………………………………………..(2.43)
32