BAB II
PROBLEMATIKA RAWI MUKHTALAF FI
A. Ilmu Rija>l : Sejarah, Perkembangan Dan Urgensinya Sepeninggal nabi Muhammad saw, umat Islam mengalami pergolakan dan perdebatan mengenai siapa yang berhak memimpin umat sebagai khalifah nabi. Keadaan ini terjadi karena nabi tidak berwasiat kepada para s}ah}abat tentang kekhalifahan1, juga tidak menunjuk salah satu dari mereka. Oleh sebab itu, muncul ego kelompok apakah kaum muhajirin atau kaum anshar yang berhak sebagai khalifah memimpin umat Islam. Hal serupa menjadi lazim mengiringi tiap pergantian khalifah pada masa khulafa al-rasyidun, terlebih setelah kehadiran seorang Yahudi penebar fitnah dimasa shahabat Utsman menjadi khalifah yakni Abdullah Ibn Saba’ al-Yahudi2. Kondisi sosial umat Islam pada masa khulafa al-rasyidun menginisiasi para shahabat untuk lebih selektif dalam menerima periwayatan hadits. Kebijakankebijakan yang disepakati pada masa khulafa al-rasyidun dalam periwayatan hadits antara lain : 1. Meminimalisir periwayatan hadits, 2. Mengharuskan adanya saksi saat meriwayatkan, 3. Melarang periwayatan hadits yang dapat berakibat keosnya umat3.
1
Muhammad Abu< Zahwa, al-H{adi>s\ wa al-Muh}addis\u>n, (Riyad} : ), hlm. 62 Ibid., hlm. 65 3 Ibid., hlm. 66-73 2
15
16
Sikap para shahabat tersebut menunjukkan bahwa mereka jeli dan jenius4 dalam seleksi hadits, sehingga dapat diketahui sedini mungkin apabila ada kesalahan dalam periwayatan hadits atau bahkan adanya pemalsuan hadits. Dalam proses periwayatan hadits nabi, sangat ditekankan pemakaian sistem sanad sebagai filter validitas hadits yang diriwayatkan. Sanad adalah hikayat seorang rija>l al-hadis} yang menuturkan periwayatannya bersambung sampai Rasulullah saw5. Praktik seperti itu tersurat misalnya pada riwayat imam Muslim dalam muqadimahnya dari riwayat Ibn Sirin.
ّ : " ﻢ ﻳ ﻮﻧﻮا ﺴﺄ ﻮن ﻋﻦ اﻹﺳﻨﺎد ﻓﻠﻤﺎ وﻗﻌﺖ اﻟﻔﺘﻨﺔ ﻗﺎ ﻮا ﻓﻴﻨﻈﺮ ا اﻫﻞ ا ﺴﻨﺔ.ﺳﻤﻮا رﺟﺎﻟ ﻢ 6
"ﻓﻼ ﻳﺆﺧﺬ ﺣﺪﻳﺜﻬﻢ, و ﻨﻈﺮ ا اﻫﻞ ا ﺪع,ﻓﻴﺆﺧﺬ ﺣﺪﻳﺜﻬﻢ
Praktik pemakaian sanad dilakukan sebagai media investigasi validitas dan otentisitas sebuah hadits, diketahui bahwa syarat-syarat hadits shahih memuat unsur-unsur mayor dan unsur-unsur minor7. Unsur-unsur mayor yang harus terpenuhi sebagai hadits shahih yaitu: 1. Ketersambungan sanad, 2. Rawi yang adil dan dhabith, 3. Terbebas dari syadz, 4. Terbebas dari cacat8 sedangkan unsur-unsur minor yang dimaksud adalah detail rincian dari unsur-unsur mayor tersebut. Investigasi validitas hadits dilanjutkan pada kredibilitas dan integritas serta kapabilitas seorang rawi, apabila ketersambungan sanad sudah diklarifikasi. Dari
4
Kejeniusan yang sangat dari shahabat diistilahkan dalam shahih bukhari dengan ungkapan ‘Abqariyyan 5 Nuruddin ‘Itr, Manhaju al-Naqdi fi> ‘ulu>m al-h}adi>s\, (Damaskus : Da>r al-Fikr,1988), hlm. 33 6 Muhammad Luqman al-Salafi, Ihtima>m al-Muhaddis\i>n bi Naqdi al-Hadis\ Sanadan wa Matnan (Riyad : ), hlm. 155 7 Syuhudi Ismail, Kaedah kesahihan sanad hadis: telaah kritis dan tinjauan dengan pendekatan ilmu sejarah, (Jakarta : Bulan Bintang, 1995), hlm. 119 8 Lihat Nuruddin ‘Itr, Opcit., hlm. 242-243
17
penilaian kredibilitas dan integritas serta kapabilitas rawi ini, berkembanglah satu kajian yang dikenal dengan ilmu rija>l. 1. Sejarah munculnya ilmu rija>l Dalam Islam, pemakaian sanad mendapat prioritas dan dipandang urgen9. Substansi dari sistem sanad ini menunjukkan bahwa ada proses transmisi yang diterima umat Islam dari para shahabat, para shahabat juga menerima transmisi ajaran agama tersebut dari Rasulullah saw yang telah menerima wahyu dari Allah swt dengan atau tanpa perantara10. Sistem sanad menjadi media yang dapat dipertanggung jawabkan dalam transmisi perihal ajaran agama secara umum dan khususnya dalam periwayatan hadits. Syaikhul Islam Ibn Taimiyah (w. 728 H) berkata : “Ilmu
Isna>d dan Riwa>yat adalah suatu yang dikhususkan oleh Allah swt untuk umat nabi Muhammad saw, Allah pula yang menyelamatkannya. Lain halnya dengan ahli kitab yang ajaran-ajarannya tidak disertai isna>d, begitu juga para ahli bid’ah yang tersesat. Sesungguhnya isna>d menjadi anugerah bagi umat Islam ahlu sunnah yang dimuliakan Allah swt”11. Mengenai pelopor kritikus rija>lul hadis\, ada perbedaan pendapat dikalangan ulama Muhaddis\i>n terkemuka. Menurut Ibn Rajab (w. 795 H) pelopor ilmu rijal adalah Ibn Sirin (w.110 H)12, Abu Abdullah al-Z|ahabi
9
Muhammad bin Mathor al-zahroni, “’Ilm al-Rija>l Nasy’atuhu wa Tat}o>waruhu min alQorni al-awwal ila> niha>yati al-Qorni al-Ta>si’”, (Madinah : Da>r al-h}ud}oiri), hlm. 13 10 Ibid., hlm. 14 11 Ibid., hlm. 19 12
Ibid., hlm. 26
18
berpendapat al-Sya’bi (w.103 H)13 sebagai pelopornya, sedangkan Ibn Hibban (w.354 H) berpendapat pelopor ilmu rijal adalah Sa’id ibn Musayyab(w.93H). Praktik pemakaian sistem sanad sebenarnya bukan hal baru dalam Islam, bahkan sudah dipraktekkan sejak awal munculnya agama Islam sebagai tindakan preventif shahabat dalam menerima sebuah kabar. Al-Z|ahabi (w. 748 H) mendeskripsikan shahabat Abu Bakar al-Shidq (50 SH – 13 H) sebagai shahabat yang paling berhati-hati dalam menerima kabar14, sedangkan shahabat Umar bin Khattab (40 SH – 23 H) dideskripsikan sebagai penggagas diperlukannya saksi bagi Muhaddis\i>n dalam meriwayatkan hadits15. Tradisi sanad semakin marak penggunaannya dan sebagai konklusi dari banyaknya persoalan tentang sanad terlebih mengenai penjelasan kredibilitas dan integritas seorang rawi sebagai perantara hadits, maka muncullah kajian
ilmu rija>l16 yang berisi penjelasan dan informasi mengenai rawi (perantara hadits). Sistem sanad juga menjadi ciri khas umat Islam dibanding umatumat lain17.
13 14
Ibid., Samsuddin al-Dhahabi, Taz\kirat al-H{uffa>z}, (Hyderabad:Osmania University,1958),
hlm. 2 15
Ibid., hlm. 6 Ilmu rija>l : menurut Hashim Kamali dalam bukunya text book of H{adith Studies Authenticity, Compilation, Classification and Criticism of h}adith didefinikan sebagai : cabang 16
ilmu hadits yang membahas dan meliputi kajian tentang data riwayat hidup, kronologi, catatan akademis, guru-guru dan murid-murid, pandangan politis serta penilaian orang-orang terhadap seorang rawi. 17 Muhammad bin Mathor al-zahroni, ’Ilm al-Rija>l Nasy’atuhu wa Tat}owaruhu min alQorni al-awwal ila> niha>yati al-Qorni al-Ta>si’, (Madinah : Da>r al-h}ud}oiri), hlm. 25
19
2. Perkembangan ilmu rijal Diskursus tentang keadaan rawi baik mengenai kredibilitas dan integritas maupun kapabilitasnya, memicu pembukuan catatan yang menginformasikan hal tersebut. Karangan-karangan kitab rija>l mulai dibukukan pada abad kedua hijriyah. Beberapa contoh kitab rija>l yang dikarang pada kurun waktu itu antara lain : kitab “al-Ta>rikh” karya al-Laits bin Sa’ad (w. 175 H), kitab “al-Ta>rikh” karya imam Abdullah bin Mubarak (w. 181 H), sedangkan informasi hal ihwal rawi sebelum adanya kitab rija>l, disampaikan seraca oral transmition dari generasi ke genarasi18. Informasi tentang kredibilitas dan integritas seorang rawi mutlak diperlukan dalam seleksi hadits, hal ini berkaitan dengan derajat hadits yang diriwayatkan. Secara umum, hadits dapat dibedakan menjadi dua yakni : 1. Hadits maqbu>l (diterima) dan 2. Hadits mardu>d (ditolak). Hadits yang maqbu>l (diterima) ada 4 macam yaitu : 1. Hadits shahih, 2. Hadits hasan, 3. Hadits shahih lighairihi dan 4. Hadits hasan lighairihi19. Sedangkan macam-macam hadits mardu>d yaitu : 1. Hadits dhaif dan macamnya, 2. Hadits mudha’af, 3. Hadits matruk, 4. Hadits mathruh dan hadits maudhu’20. Berkaitan dengan hal ihwal rawi, hadits dapat tertolak karena adanya kekurangan baik secara kredibilitas dan integritas maupun kapabilitas sang rawi. Kekurangan atau cacatnya rawi dari segi kredibilitas dan integritas dapat karena : 1. Bohong, 2. Tertuduh berbohong, 3. Fasiq, 4. Mengada-ada 18 19
Ibid., hlm. 26 Nuruddin ‘Itr, Manhaju al-Naqdi fi> ‘ulum al-h}adi>s\, (Damaskus : Da>r al-Fikr,1988),
hlm. 241 20
Ibid., hlm. 285
20
(bid’ah) dan 5. Bodoh21. Sedangkan, kekurangan dan cacatnya rawi dari segi kapabilitasnya karena : 1. Kesalahan yang fatal, 2. Lemah hafalannya, 3. Kelalaian, 4. Tukang hayal dan 5. Tidak tsiqah22. Investigasi keadaan rawi dan urgensi pemakaian sanad menjadi rukun yang harus ada dalam hadits nabi, sebab isnad merupakan bagian dari agama, tanpa isnad niscaya orang bicara semaunya sendiri23. Menggaris bawahi urgensi sanad, Imam Syafi’i berkata : “orang yang menggali hadits tanpa sanad bagaikan pencari kayu bakar yang membawa bungkusan kayu bakar di malam hari, dia tidak sadar di dalamnya ada ular yang bisa mematuk”24. Sedangkan Sufyan al-Tsauri mengumpakan sanad bagaikan senjata bagi kaum mukmin, tanpa senjata bagaimana bisa eksis dalam peperangan. Dalam investigasi sanad yang shahih, tidak jarang muhaddis\u>n melakukan perjalanan jauh demi mendapatkan klarifikasi atas seorang rawi. Misalkan perjalanan Jabir bin Abdullah dari madinah sampai mesir untuk klarifikasi tentang hadits satru al-mu’min kepada ‘Uqbah bin ‘A<mir25. Sanad dalam hadits umpama pondasi bagi
sebuah bangunan, tidak
mungkin membahas hadits tanpa sanad sebagaimana tidak mungkin membangun bangunan tanpa pondasi26. Kesimpulannya adalah mengetahui
21
Muhammad Mahmud Bakkar, Asba>b Raddu al-Hadis\ wa Ma> Yantajju ‘Anha> Min ‘Anwa>’, (Riyadh: Da>r al-T{oyyibah, 1997), hlm. 117 22
Ibid., Muhammad Luqman al-Salafi, Ihtima>m al-Muhaddis\i>n bi Naqdi al-Hadis\ Sanadan wa Matnan, (Riyad : ), hlm. 157 24 Ibid., hlm. 158 25 Ibid., hlm. 159 26 Ibid., 23
21
sanad dan ilmu rijal mutlak diperlukan dan sangat urgen dalam mempelajari hadits nabi, sehingga dapat diseleksi hadits yang shahih atau dhoif. 3. Cabang-cabang ilmu rija>l Berdasar muatannya, karangan ilmu rijal terbagi menjadi beberapa kelompok, antara lain : 1. Kitab Ta>rikh, 2. Kitab Tarajim, 3. Kitab t}obaqa>t, 4. Kitab Alqa>b, 5. Kitab Asma dan 6. Kitab Jarh wa Ta’dil.
Ta>ri
l rawi, kelahiran dan kematiannya, guru-gurunya, siapa saja yang meriwayatkan darinya, asal negaranya, perjalanannya, daerah-daerah yang disinggahi dan lain sebagainya berkenaan dengan rawi.27
Tara>jim adalah kitab rijal yang berisikan biografi rawi hadits untuk menjelaskan detail rawi yang dimaksud. Oleh karena banyaknya nama rawi yang sama bahkan ada juga yang sama persis beserta nama ayahnya sehingga tidak tertukar.
T{obaqa>t adalah kaum yang menjadi perantara sunnah dan isnad dan menunjukkan bahwa seorang guru juga menjadi perantara dari guru-gurunya. Jadi kitab t}obaqa>t berisi klasifikasi para rawi hadits berdasar urutan proses transmisi hadits nabi.
Alqa>b adalah suatu julukan rawi yang sering dipakai untuk menunjuk rawi yang dimaksud. Oleh karena sudah menjadi adat pemakaian julukan dikalangan muslim untuk menunjuk seseorang. Kitab alqa>b berisi penjelasan mengenai siapa rawi yang dimaksud dengan julukan yang dipakai para ahli
27
Opcit., hlm. 117
22
hadits karena julukan tersebut lebih dikenal masyarakat dari pada nama aslinya. Ilmu al-Jarh} wa al-Ta’di
Ta’dil. Secara terminologi jarh adalah adanya sifat rawi yang merusak sifat adilnya, buruk hafalan dan kecerdasanya yang berimplikasi pada gugur atau dhaif atau tertolak hadits yang diriwayatkannya28. Sedangkan terminologi
ta’dil adalah mensifati rawi dengan sifat yang bersih, menerangkan sifat adilnya dan diterima ucapanya29. Sehingga dapat dipahami bahwa ilmu jarh wa ta’dil adalah ilmu yang membahas tentang hal ihwal rawi yang berimplikasi diterima atau ditolak periwayatannya30. Penulis fokus pada kajian jarh wa ta’dil sebagai acuan penelitian guna mendukung judul kami mengenai obyektifitas jarh wa ta’dil dan implikasinya terhadap periwayatan rawi yang mukhtalaf fi>h.
4. Jarh wa Ta’dil Riwayat, isnad serta jarh wa ta’dil adalah hal unik yang dimiliki umat Islam dibanding umat lain. Metode tersebut bukan hanya sebagai tradisi melainkan disyariatkan langsung oleh Allah swt sebagaimana tersurat dalam Q.S al-Hujurat ayat 6
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. 28
Ibid., hlm. 260 Ibid., hlm. 261 30 Ibid., 29
23
Dalam kitabnya al-Kifa>yah, Khatib Baghdadi (w. 463 H) berkata : “nabi telah mensinyalir bahwasanya akan datang para kaz\z\a>bi>n sepeninggal beliau, maka (nabi berpesan) berhati-hatilah terhadap mereka, dan beliau menerangkan bahwasanya bohong yang dimaksud bukan seperti bohongnya seseorang kepada orang lain, maka wajib memperhatikan dan menyelidiki hal ihwal muhaddis\in sebagai ujud berhati-hati dalam urusan agama dan menjaga syariat dari tipu daya orang kafir”.31 Ini menunjukkan bahwa sistem riwayat, isnad serta penilaian jarh wa ta’dil juga dituturkan oleh nabi Muhammad saw. Sejarah menunjukkan bahwa dalam praktiknya, ilmu jarh wa ta’dil muncul seiring munculnya ilmu rijal32. Jarh wa ta’dil diperlukan untuk menimbang dan memperhatikan serta menjadi item investigasi seorang rawi yang berimplikasi diterima atau ditolak periwayatannya. Budaya kritis atas berita dan reporternya, terlebih yang datang dari nabi telah ada sejak nabi masih hidup. Satu contoh verifikasi yang dilakukan Z|ima>m bin S|a’labah kepada nabi Muhammad saw dan berkata : Muhammad, utusanmu telah berkata pada kami…….dll, nabi menjawab : apa yang dikatannya itu benar.33 Dari cerita tersebut dapat diklaim bahwa investigasi atau kritik hadits sebenarnya menjadi hal yang melekat dan berasal dari nabi Muhammad saw. Laku
kritik
tersebut
dengan
sendirinya
berhenti
bersama
dengan
meninggalnya nabi Muhammad saw, namun hal ini menjadi tugas kaum 31
Muhammad bin Mathor al-zahroni, ’Ilm al-Rija>l Nasy’atuhu wa Tat}o>waruhu min alQorni al-awwal ila> niha>yati al-Qorni al-Ta>si’, (Madinah : Da>r al-h}ud}oiri), hlm.114 32
Ibid., hlm. 115 M. Mus}t}afa ‘Az}ami, Studies in Hadith Methodology and Literature, (Riyadh: University of Riyadh,1977), hlm. 48 33
24
muslim baik secara individu, komunitas ataupun negara untuk mengikuti cara-cara nabi, dengan konsekuensi harus sangat hati-hati dan teliti dalam menyandarkan statemen pada nabi. Berbeda dengan prakteknya, secara tura>s\ kaidah ilmu jarh wa ta’dil dikumpulkan pertama kali dan dikenalkan sebagai cabang ulumul hadits oleh Abu Abdullah al-Hakim (w. 405 H)34. Sejak diperkenalkan oleh al-Hakim, baru kemudian kitab-kitab musthalah hadits yang ditulis menganggap perlu mengangkat kaidah jarh wa
ta’dil yang menggambarkan tingkatan dhabit35. Itulah sebabnya ilmu jarh wa ta’dil lebih dimengerti muncul dan berkembang pada abad ketiga hijriyah, walaupun sebenarnya secara praktek sudah lazim dilakukan sejak masa nabi. Untuk mengetahui kebenaran khabar (hadits), harus mengerti lebih dulu hal ihwal rawinya, dengan mengetahui rawi dapat dilacak kemungkinan apakah dia berkata benar atau berbohong, sehingga dapat dijelaskan perdikat khabarnya
diterima
dipertanyakan,
dan
atau
ditolak36.
mengamati
Itulah
gunanya
kehidupannya
secara
keadaan
rawi
ilmiah,
serta
membahasnya dengan seksama sehingga didapati kesimpulan bahwa rawi tersebut d}obit, hafal, ataupun seberapa sering menggali dari pendahulunya. Para ahli hadits telah mencermati dengan seksama dalam memberi predikat rawi dengan mengetahui segala sesuatu mengenai rawi secara
34
Muhammad bin Mathor al-zahroni,’Ilm al-Rija>l Nasy’atuhu wa Tat}owaruhu min alQorni al-awwal ila> niha>yati al-Qorni al-Ta>si’”,(Madinah : Da>r al-h}ud}oiri), hlm.115 35
Ibid., ‘Aja>j Khatib, Us}u>l al-Hadis\ ‘Ulu>muhu wa Must}ala>h}uhu, (Beirut: Da>r al-Fikr,1971), hlm. 261-262 36
25
personal maupun semua yang menyangkut dirinya, sehingga didapati kesimpulan penilaian terhadap rawi tersebut. Hasil investigasi ahli hadits dikumpulkan dalam bentuk kitab, diantaranya ada yang khusus memuat rawi-rawi terpercaya misal al-Tsiqat, ada pula yang hanya memuat rawi-rawi dengan predikat tertolak misal al-
Majruhi>n, serta ada juga karangan yang merangkum beberapa hasil investigasi ahli hadis dalam satu kitab semisal Tahz\ib al-Tahz\ib. a. Ragam pemakaian lafadz jarh wa ta’dil serta implikasinya terhadap derajat hadits. Dalam meneliti sanad, seyogyanya keterangan biografi tentang rawi dikumpulkan sebanyak mungkin. Hal ini ditujukan agar tidak terjadi kesalahan dalam memberikan kesimpulan mengenai hal ihwal rawi. Kesalahan menyimpulkan penilaian bisa terjadi karena salah dalam merujuk nama rawi, rawi dalam sanad hadits yang termaktub dalam kitab hadits biasanya tidak disertai keterangan biografi dan informasi kualitasnya,37 sehingga tidak menutup kemungkinan peneliti salah merujuk nama rawi yang dimaksud oleh karena ada rawi yang nama bahkan beserta nama ayahnya juga sama. Kesamaan nama rawi beserta ayahnya tersebut memicu karya ulumul hadits Muttafaq wa Muftaraq. Walhasil, ketelitian dan kejelian peneliti saat merujuk rawi hadis dalam kitab rija>l mutlak diperlukan untuk menghindari kesalahan.
37
Arif Chasanul Muna, Metode Penelitian Sanad dan Matan Beragam Versi, (Pekalongan : Mahabbah Press,2015), hlm. 60
26
Diantara referensi kitab rija>l yang dapat digunakan dalam meneliti rawi adalah kitab tahz\ib al-kamal karya al-Mizzi dan juga Tahz\ib al-
Tahz\ib karya Ibn Hajar al-‘Asqalani.38 Dari kitab rija>l tersebut dapat diketahui identitas rawi, guru dan muridnya dan kumpulan pendapat ulama hadits mengenai kualitas rawi yang sangat dibutuhkan dalam mendeskripsikan kondisi dan kualitas (jarh
wa ta’dil) masing-masing rawi dalam sanad hadits39, namun tidak memberikan kesimpulan apakah rawi yang dimaksud tergolong maqbu>l (diterima), al-I’tibar (dipertimbangkan) atau al-radd (ditolak). Hal yang menarik untuk diamati dalam penelitian rawi adalah adanya
ragam
ungkapan
ulama
hadits
yang
dipakai
dalam
mendeskripsikan rawi. Misal penilaian terhadap Abdullah bin Mubarok (118-181H), semua penilaian yang disematkan kepada beliau Muttafaq
a>la Ta’di>lih, namun ungkapan yang dipakai banyak ragamnya. Al-Mizzi menilai beliau dengan ungkapan اﺣﺪ اﻷﺋﻤﺔ اﻻﺳﻼمimam Ahmad bin Hanbal memberikan ungkapan tentang beliau ﺻﺎﺣﺐ ا ﺪﻳﺚ.40 Dari kasus tersebut, kiranya perlu diteliti dan dikelompokan mengenai penggunaan ungkapan jarh wa ta’dil. Pemilihan diksi ulama
nuqa>d memungkinkan penilaian yang berbeda dalam menentukan derajat hadits, jika tidak dilakukan penelitian lebih lanjut.
38
Ibid., Ibid., hlm. 61 40 _____,Maktabah Syamilah:Ruwa>t al-Tahdzibi>n 39
27
Di kalangan ulama hadits tidak ada kesepakatan tentang jumlah tingkatan al-jarh wa ta’di>l. Ibn Ha>tim al-Ra>zi> (w.327 H), Ibn S{ala>h} (w.643 H) dan al-Nawa>wi> (w.676 H) membagi tingkatan penilaian al-Jarh
wa ta’di>l menjadi 4 peringkat. Sedang al-Zahabi> (w.748 H), al-Ira>qi> (w.806 H) dan Abu> Faid} al-Harawi> (w.837 H) membagi menjadi 5 tingkatan. Adapun Ibn Hajar al-Asqala>ni> (w.852 H) dan Jala>l al-Di>n alSuyu>ti> (w.911 H) membagi menjadi 6 tingkatan.41 Konsekuensi yang mungkin muncul dari perbedaan jumlah peringkat rawi adalah, pertama, ada satu lafadz yang sama dimasukkan dalam peringkat yang sama oleh beberapa ulama kritikus. Kedua, ada lafadz sama yang dimasukkan dalam katagori yang berbeda oleh beberapa ulama kritikus. Ketiga, ada beberapa lafadz yang tidak digunakan oleh kritikus tertentu.42 Wajib bagi seorang ba>his} mengkompilasi ungkapan ta’dil dan tajri>h kemudian meneliti apa yang diperolehnya dengan mengetahui setiap istilah dan maksud dari banyaknya ungkapan serta lafal jarh wa ta’dil seorang na>qid. Sebab penempatan lafal dalam mara>tib jarh wa ta’dil merupakan ijtihad na>qid, bisa saja imam lain menempatkan lafal yang sama dalam tingkatan yang berbeda atau bahkan lebih tinggi.43 Oleh karenanya, untuk mengetahui dan memahami tingkat kualitas penilaian seorang rawi dari kapasitas intelektual dan kepribadiannya,
41
Suryadi cs, Metodologi Penelitian Hadis, (Yogyakarta : Teras Press, 2009), hlm. 106 Ibid., hlm. 107 43 Umar I<ma>n Abu Bakar, al-Ta’si>s fi> Fanni dira>sat al-Asa>ni>d, (Riyadh: Maktabah alMa’arif), hlm. 112 42
28
perlu penelitian dengan mengaitkan penggunaan lafadz dengan ulama yang menyatakannya.44 Masing-masing ulama na>qid memiliki konsep dan standar penilaian yang berbeda dengan maksud ungkapan yang berbeda pula. Berikut kami cantumkan tabel peringkat berdasar penelitian Syuhudi Ismail dalam karyanya Kaedah Kesahihan Sanad Hadis : Telaah Kritis dan Tinjauan
dengan Pendekatan Ilmu Sejarah.
44
Suryadi cs, Opcit., hlm. 107
29
BEBERAPA PERINGKAT LAFAL-LAFAL KETERPUJIAN (MARA<TIB ALFADZ AL-TA’DIL) PARA RAWI MENURUT PENGELOMPOKAN ULAMA HADITS45
IBN HAJAR ALIBN ABIY HATIM ASQALANIY dan
AL-HARAWI
AL-‘IRAQIY
AL-DZAHABIY
AL-NAWAWIY
IBN AL-SHALAH AL-RAZIY
AL-SUYUTHIY
اوﺛﻖ
ا ﺎس,
اﺛﺒﺖ اوﺛﻖ ا ﺎس ,اﺛﺒﺖ ﺛﻘﺔ ﺛﻘﺔ ,ﺛﺒﺖ ﺛﺒﺖ ,ﺛﻘﺔ ﺛﻘﺔ ,ﺛﺒﺖ ﺣﺠﺔ ,ﺛﻘﺔ,
ا ﺎس ,ﻓﻮق ا ﻘﺔ ,إ ﻪ ا ﺎس
ا ﻨﺘ
ﺛﻘﺔ ﺛﺒﺖ ,ﺛﻘﺔ ﺣﺠﺔ ,ﺛﺒﺖ
ﺛﻘﺔ ﻣﺄ ﻮن
ا ﺒﺖ ,ﻻ
أﺛﺒﺖ ﻣﻨﻪ ,ﻣﻦ ﻣﺜﻞ
ﺣﺎﻓﻆ,
ﻣﺘﻘﻦ
ﻣﺘﻘﻦ,
PERINGKAT TA’DIL
PENGELOMPOKAN MENURUT
ﺛﺒﺖ ,ﺛﻘﺔ ,ﻣﺘﻘﻦ ,ﺛﺒﺖ ,ﺣﺠﺔ ,ﺛﻘﺔ ,ﻣﺘﻘﻦ ,ﺛﺒﺖ ,ﺘﺞ
ﺛﺒﺖ ﺣﺠﺔ ,ﺿﺎﺑﻂ ,ﻋﺪل ,ﺣﺎﻓﻆ ,ﺿﺎﺑﻂ ﺣﺎﻓﻆ
I
ﻓﻼن ,ﻓﻼن ﺴﺄل ﻋﻨﻪ
ﺛﻘﺔ ﺛﻘﺔ ,ﺛﺒﺖ ﺛﺒﺖ ,ﺛﻘﺔ ﺛﻘﺔ ,ﺛﻘﺔ ﺛﺒﺖ ,ﺛﻘﺔ,
ﺛﺒﺖ,
ﺣﺠﺔ ﺣﺠﺔ ,ﺛﺒﺖ ﺛﻘﺔ ,ﺛﺒﺖ ﺣﺠﺔ ,ﺛﻘﺔ ﻣﺘﻘﻦ ,ﺣﺠﺔ ,ﺣﺎﻓﻆ
ﺣﺎﻓﻆ
ﺣﺠﺔ,
ﻣﺄ ﻮن ,ﺛﺒﺖ ﺣﺠﺔ
ﻣﺘﻘﻦ ,ﺛﻘﺔ ,ﺛﺒﺖ ,ﻣﺘﻘﻦ
ﺻﺪوق,
,ﻻﺑﺄس ﺑﻪ
ﻠﻪ ا ﺼﺪق ﺻﺪوق,
ﻻﺑﺄس ﺑﻪ
ﻠﻪ ا ﺼﺪق ,ﺻﺪوق ,ﻠﻪ ا ﺼﺪق ,ﻻ ﺑﺄس ﺑﻪ
ﺛﻘﺔ ﺛﺒﺖ ﺣﺎﻓﻆ ,ﺣﺎﻓﻆ ﻣﺘﻘﻦ,
ﺛﻘﺔ,
II
ﺛﺒﺖ,
ﺣﺠﺔ ,ﻣﺘﻘﻦ ,ﺣﺎﻓﻆ, ﻋﺪل ,ﺿﺎﺑﻂ
Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis : Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, (Jakarta : Bulan Bintang, 1995), hlm. 198
45
30
ﺛﻘﺔ ,ﺛﺒﺖ ,ﺣﺠﺔ ,ﺣﺎﻓﻆ ,ﺻﺪوق, ﺿﺎﺑﻂ
ﻣﺄ ﻮن ,ﺻﺎﻟﺢ ا ﺪﻳﺚ ,ﺣﺴﻦ ﺻﺪوق ,ﻟ ﺲ ﺑﻪ ﺑﺄس
ﻻﺑﺄس
ا ﺼﺪق ,ﺧ
ﻠﻪ ا ﺪﻳﺚ,
ﺑﻪ,
ا ﺪﻳﺚ
ﺻﺪوق ,ﻣﺄ ﻮن ,ﻻﺑﺄس ﺟﻴﺪ ا ﺪﻳﺚ ,ﺟﻴﺪ,
ﺑﻪ ,ﺧﻴﺎر
ﻣﻘﺎرب ا ﺪﻳﺚ
وﺳﻂ ,ﺷﻴﺦ ,وﺳﻂ
ﻋﻨﻪ
ا ﺪﻳﺚ ,ﺣﺴﻦ ا ﺪﻳﺚ ,ﻻﺑﺄس ﺑﻪ وﺳﻂ,
ﺻﺪوق
اوﻫﻢ ,ﺻﺪوق
ﻄﺊ,
ﺻﺪوق
ﻠﻪ ﺻﺎﻟﺢ ا ﺪﻳﺚ
ﺣﺴﻦ ا ﺪﻳﺚ ,ﺷﻴﺦ ,وﺳﻂ ,ﺷﻴﺦ ,وﺳﻂ
ا ﺼﺪق ,روى ﻋﻨﻪ ,ﺟﻴﺪ ﺻﻮ ﻠﺢ,
ﺷﻴﺦ,
ا ﺪﻳﺚ
ﻠﻪ ا ﺼﺪق ,ﺷﻴﺦ ﺻﺎﻟﺢ ا ﺪﻳﺚ,
ا ﺎس,
ﻠﻪ ﺻﺎﻟﺢ ا ﺪﻳﺚ ,وﺳﻂ ,ﺻﺪوق,
ﻣﻘﺎرب ,وﺳﻂ ﺷﻴﺦ,
ا ﺎس,
ا ﺼﺪق ,ﺟﻴﺪ ا ﺪﻳﺚ,
روى
ﺻﺎﻟﺢ ا ﺪﻳﺚ,
ﻣﻘﺎرب
ارﺟﻮ
ﻣﻘﺎرب ﺻﺎﻟﺢ ا ﺪﻳﺚ
ﺻﺎﻟﺢ ا ﺪﻳﺚ IV
ﺣﺴﻦ ا ﺪﻳﺚ ,ﺷﻴﺦ
ﻣﺄ ﻮن ,ﺻﺪوق ان ﺷﺎء اﷲ- ,
ان ﻻﺑﺄس ﺑﻪ ,ﻟ ﺲ ﺑﻪ ﺻﻮ ﻠﺢ, ﺑﺄس ,ﺧﻴﺎر
ﺷﻴﺦ ,وﺳﻂ ,روي ﻋﻨﻪ ﺷﻴﺦ
ﺷﻴﺦ III
ﻻﺑﺄس ﺑﻪ
ارﺟﻮ
-
-
ان
وﻫﻢ,
V
ﺳﻮء
ا ﻔﻆ ,ﺳﻴﺊ ا ﻔﻆ, ﺻﺪوق ﺗﻐ ﺑﺄﺧﺮه ,ﻳﺮ
ﺑﺒﺪع
ﺻﺪوق ان ﺷﺎء اﷲ, ﺻﻮ ﻠﺢ ,ارﺟﻮ ان ﻻﺑﺄس
ﺑﻪ ,ﻣﻘﺒﻮل
-
-
VI
31
BEBERAPA PERINGKAT LAFAL-LAFAL KETERCELAAN (MARA<TIB ALFADZ AL-TAJRIH) PARA RAWI MENURUT PENGELOMPOKAN ULAMA HADITS46 PENGELOMPOKAN MENURUT
دﺟﺎل ,ﻛﺬاب ,دﺟﺎل ,وﺿﺎع ,ﻛﺬاب, اﻛﺬب ا ﺎس ,اوﺿﻊ ا ﺎس ,ﻣﻨﻴﻊ اﻛﺬب ا ﺎس ,اﻓﺴﻖ ﻛﺬاب, ا ﺪﻳﺚ, ا ﻜﺬب ,ر ﻦ ا ﻜﺬب ,ر ﻦ ا ﺎس ,ﻛﺬاب ,ﻳ ﺬب ,وﺿﺎع ,وﺿﻊ ,ﻳﻀﻊ ,ﻳﻀﻊ ا ﺪﻳﺚ ا ﺪﻳﺚ وﺿﺎع ,دﺟﺎل ,ﻳﻀﻊ ﻳ ﺬب ا ﻮﺿﻊ ا ﻜﺬب ا ﻪ ﻣﻨﺘ ا ﺪﻳﺚ ﺑﺎ ﻜﺬب ,ﻣﺘﻬﻢ ﺑﺎ ﻜﺬب ,ﻣﺘﻔﻖ ﺿﻌﻴﻒ ا ﺪﻳﺚ ﻣﺘﻬﻢ ﺑﺎ ﻜﺬب ,ﻣ وك ﻣﺘﻬﻢ ﻛﺬاب ,دﺟﺎل ,وﺿﺎع ﺗﺮ ﻪ ا ﺪﻳﺚ ,ﻣ وك ,ذاﻫﺐ ﻣ وك ,ذاﻫﺐ ,ﻟ ﺲ ﻫﺎ ﻚ, ا ﺪﻳﺚ ,ذاﻫﺐ ,ﻣﺘﻬﻢ ﺑﺜﻘﺔ, ﺑﺎ ﻮﺿﻊ ,ﻫﺎ ﻚ ﻓﻴﻪ ﻧﻈﺮ ,ﺳﻜﺘﻮاﻋﻨﻪ ,ﻓﻴﻪ ﻧﻈﺮ, ﺳﺎﻗﻂ ا ﺪﻳﺚ ,ﺳﺎﻗﻂ ,ﺳﺎﻗﻂ ,ﻻ ﻳﻌﺘ ﺳﻜﺘﻮاﻋﻨﻪ ,ﺗﺮ ﻮه ,ﻟ ﺲ ﺑﺜﻘﺔ ,ﻏ ﺛﻘﺔ, ﻣﺘﻬﻢ ﺑﺎ ﻜﺬب ,ﻣﺘﻬﻢ ﺑﺎ ﻮﺿﻊ ,ﺿﻌﻴﻒ ﺟﺪا ,ﻻ ﺴﺎوى ﺿﻌﻴﻒ ﺟﺪا ,ﻻ ﻣ وك ,ذاﻫﺐ ا ﺪﻳﺚ ﻟ ﺲ ﺑﻘﻮى ﻣ وك ا ﺪﻳﺚ ,ذاﻫﺐ ,ﻫﺎ ﻚ ,ﺷﻴﺄ ,ﻟ ﺲ ﺸﻴﺊ ,واه ,رد ﺴﺎوى ﺷﻴﺄ واه ,ﻟ ﺲ ﺑﺜﻘﺔ ,ﻫﺎ ﻚ, ﺣﺪﻳﺜﻪ ,ﺮدود ا ﺪﻳﺚ ,ﻟ ﺲ ﺸﻴﺊ ,وﻫﻢ ,رد ﺳﻜﺘﻮاﻋﻨﻪ ,ﻓﻴﻪ ﻧﻈﺮ, ﺳﺎﻗﻂ ,ﻻﻳﻌﺘ ﺑﻪ ,ﻻ ﻳﻌﺘ ﺣﺪﻳﺜﻪ ,ﺳﻜﺘﻮا ﻋﻨﻪ ,ﻣ وك ,ﻃﺮﺣﻮا ﺣﺪﻳﺜﻪ ,ارم ﺑﻪ ,ﻻ ﺣﺪﻳﺜﻪ ,ارم ﺑﻪ ,ﺳﺎﻗﻂ ﻣﻄﺮح ﺑﻪ, ﺷﻴﺊ ﺗﺮ ﻮه ,ﻟ ﺲ ﺑﺜﻘﺔ ,ﻏ ﺛﻘﺔ ,ﻏ ﻣﺄ ﻮن
ﺿﻌﻴﻒ ا ﺪﻳﺚ
ﺿﻌﻴﻒ ا ﺪﻳﺚ
ﻟ ﺲ ﺑﻘﻮى
ﻟ ﺲ ﺑﻘﻮى
TAJRIH
ﻣ وك ﻛﺬاب ,ﻣ وك ا ﺪﻳﺚ ,ﻛﺬاب ,ﻣ وك ا ﺪﻳﺚ, ذاﻫﺐ ا ﺪﻳﺚ ذاﻫﺐ ذاﻫﺐ ا ﺪﻳﺚ
PERINGKAT
IBN HAJAR ALASQALANIY dan ALSUYUTHIY
AL-HARAWI
AL-‘IRAQIY
AL-DZAHABIY
AL-NAWAWIY
IBN AL-SHALAH
IBN ABIY HATIM AL-RAZIY
I
II
Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis : Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, (Jakarta : Bulan Bintang, 1995), hlm. 202
III
46
32
ا ﺪﻳﺚ ,ﺿﻌﻴﻒ ﺟﺪا ,واه ,ﻟ ا ﺪﻳﺚ ﺿﻌﻴﻒ ﺟﺪا ,ﻻ ﺴﺎوي ﺷﻴﺄ ,ﺿﻌﻴﻒ ,ﻣﻨﻜﺮ ا ﺪﻳﺚ ,ﻣﻨﻜﺮ ﻬﻮل ,ﺿﻌﻔﻮه ,ﻀﻄﺮب ﻻ ﺘﺞ ﺑﻪ ﺿﻌﻔﻮه ,ﺿﻌﻔﻮه ,ﻟ ﺲ ﺸﻴﺊ, ﻣﻄﺮوح ,ﻣﻄﺮوح ا ﺪﻳﺚ ,ارم ﺑﻪ, ﺿﻌﻴﻒ وواه ﻀﻄﺮ ﻪ ﺑﻪ ,واه واه ,رد ﺣﺪﻳﺜﻪ ,ﺮدود ا ﺪﻳﺚ ,ا ﺪﻳﺚ ,ﻻ ﺘﺞ ﺑﻪ ﻟ ﺲ ﺸﻴﺊ ا ﺪﻳﺚ ,ﻓﻴﻪ ﻟ ,ﻟ ﺲ ﺑﺎﻟﻘﻮى ,ﻟ ,ﻓﻴﻪ ﺿﻌﻒ ,ﻓﻴﻪ - ﺿﻌﻴﻒ ,ﺿﻌﻔﻮه ,ﻣﻨﻜﺮ ا ﺪﻳﺚ ,ﻟ ,ﻟ ﻣﻘﺎل ,ﻟ ﺲ ﺑﺎﻟﻘﻮى, ﻀﻄﺮب ا ﺪﻳﺚ ,ﺣﺪﻳﺜﻪ ﺿﻌﻒ ,ﺣﺪﻳﺜﻪ ﺿﻌﻒ ,ﻓﻴﻪ ﺿﻌﻒ ﻟ ﺲ ﺠﺔ ,ﺗﻌﺮف ﻟ ﺲ ﺑﺎﻟﻘﻮى ,ﻟ ﺲ ﺑﺬاك, ﻀﻄﺮب ,ﻬﻮل وﺗﻨﻜﺮ ,ﺗ ﻠﻢ ﻓﻴﻪ, ﻟ ﺲ ﺠﺔ ,ﻟ ﺲ ﺑﺎ ﺘ , ﺳﻴﺊ ا ﻔﻆ,ﻳﻀﻌﻒ ﻟﺲ ﺑﻌﻤﺪة, ﻟﺲ ﻓﻴﻪ ,ﻗﺪ ﺿﻌﻒ, ﺑﺎ ﺮ ,ﻓﻴﻪ ﺧﻼف, اﺧﺘﻠﻒ ﻓﻴﻪ ,ﻟ ﺲ ﻃﻌﻨﻮه ,ﺳﻴﺊ ا ﻔﻆ, ﺑﺬاك ,ﻻ ﺘﺞ ,ﺻﺪوف ﺗ ﻠﻤﻮا ﻓﻴﻪ ﻟ ﻦ ﻣﺒﺘﺪع ﻟ ,ﻟ ﺲ ﺑﺎﻟﻘﻮى ,ﺿﻌﻒ اﻫﻞ ﺣﺪﻳﺜﻪ ا ﺪﻳﺚ ,ﺿﻌﻒ, ﺿﻌﻒ ,ﺳﻴﺊ ا ﻔﻆ ,ﻣﻘﺎل ﻓﻴﻪ, ﺣﺪﻳﺜﻪ ﻣﻘﺎل ,ﻳﻨﻜﺮ و ﻌﺮف, ﻓﻴﻪ ﺧﻠﻒ ,اﺧﺘﻠﻒ ﻓﻴﻪ ,ﻟ ﺲ ﺠﺔ ,ﻟ ﺲ ﺑﺎ ,ﻟ ﺲ ﺑﺎﻟﻌﺒﺪ, ﻟ ﺲ ﺑﺬاك ,ﻟ ﺲ ﺑﺎ ﺮ ,ﻟ ﺲ ﺑﺬاك اﻟﻘﻮى ,ﻃﻌﻨﻮا ﻓﻴﻪ ,ﺗ ﻠﻤﻮا ﻓﻴﻪ ,ﻣﺎ اﻋﻠﻢ ﺑﻪ ﺑﺄس ,ارﺟﻮ ان ﻻ ﺑﺄس ﺑﻪ
ﻟ ا ﺪﻳﺚ
ﻟ ا ﺪﻳﺚ
-
-
-
-
IV
V
VI
33
Contoh kongkrit penggunaan diksi yang berbeda ulama nuqa>d secara lafadz dan maksudnya dalam tingkatan penilaian ta’di>l adalah penggunaan kata “”ﻻ ﺑﺄس, diksi tersebut berada pada tingkatan keempat dalam mara>tib ta’di>l. Namun apabila ungkapan tersebut diucapkan oleh Ibn Ma’in, maka yang dimaksud adalah “ ”ﺛﻘﺔdimana diksi ini berada pada tingkatan ketiga47. Perbedaan diksi tersebut dapat berimplikasi pada derajat hadits yang diriwayatkan, rawi dengan tingkatan ta’di>l pertama sampai dengan ketiga dapat dijadikan hujjah, sedangkan rawi dalam tingkatan keempat dan kelima tidak dapat dijadikan hujjah dan hanya ditulis haditsnya sebagai ikhtiba>r.48 Hal seperti inilah yang selalu diisukan para orientalis dalam melemahkan dan menebar keraguan umat Islam akan otentisitas hadits nabi. Mereka berceloteh bahwasannya hadits nabi itu palsu dan penuh kebohongan. Pemakaian sistem sanad dan usaha ulama dalam memilah hadits shahih adalah tindakan bodoh karena mereka tidak meyakini bahwa hadits berasal dari nabi yang ‘Ummi (buta aksara) melainkan karangan umat Islam kurun 300 tahun pertama hijriyah.49
47
Mahmud Thaha>n, Ushul al-Takhrij wa Dira>sat al-Asa>ni>d, (Riya>dh: Maktabah alMa’a>rif,1996), hlm.144 48 Ibid., hlm. 144-145 49 Musthafa Siba’i, al-Isytisyra>q wa al-Musytasyriqu>n: Ma> Lahum wa Ma> ‘Alaihim, (__,Dar al-Warraq), hlm. 28-29
34
Tabel50 berikut dapat digunakan dalam menentukan kualitas hadits dengan melihat penilaian jarh wa ta’dil yang disematkan
Tingkata n
kepada seorang rawi.
1
Istilah
al-Jarh wa al-Ta’dil
أﺻﺪق ﻣﻦ. أﺛﺒﺖ ا ﺎس.أوﺛﻖ ا ﻠﻖ إ ﻪ ا ﻨﺘ.
ا ﻧﻴﺎ
4
5
أدر ﺖ ﻣﻦ اﻟ
ﻻ أﻋﺮف ﻧﻈ ا.ا ﺒﺖ
ﻻ ﺴﺄل ﻋﻦ ﻣﺜﻠﻪ
2 3
Kualitas Periwayatan
MARTABAT AL-QABU
ﺛﺒﺖ. ﺛﻘﺔ ﺛﻘﺔ. ﺛﺒﺖ ﺣﺠﺔ. ﺛﻘﺔ ﺛﺒﺖ ﺛﻘﺔ ﻣﺘﻘﻦ.ﺣﺎﻓﻆ . ﻣﺘﻘﻦ.ﺼﺤﻒ
ﺿﺎﺑﻂ. ﺣﺎﻓﻆ.ﺣﺠﺔ
. ﻟ ﺲ ﺑﻪ ﺑﺄس. ﻻ ﺑﺄس ﺑﻪ.ﺻﺪوق ﺧﻴﺎر.ﻣﺄ ﻮن
6
روي ا ﺎس. روا ﻋﻨﻪ.ﻠﻪ ا ﺼﺪق .ا ﺼﺪق ﻣﺎﻫﻮ
ﻳﺮوي ﻋﻨﻪ ا.ﻋﻨﻪ
ﻳ ﺘﺐ.ﺑﻪ
ﻳﻌﺘ.ﺻﺎﻟﺢ ا ﺪﻳﺚ
. ﻣﻘﺎرب ا ﺪﻳﺚ. ﺷﻴﺦ.ﺷﻴﺦ وﺳﻂ
ﻣﺎ أﻗﺮب. ﺟﻴﺪ ا ﺪﻳﺚ.ﺣﺪﻳﺜﻪ . ﺻﺪوق إن ﺷﺎء اﷲ. ﺻﻮ ﻠﺢ.ﺣﺪﻳﺜﻪ ﺣﺴﻦ.أرﺟﻮا أن ﻟ ﺲ ﺑﻪ ﺑﺄس ا ﺪﻳﺚ
7
. ﻓﻴﻪ ﺿﻌﻒ. ﺿﻌﻒ.ﻓﻴﻪ ﻣﻘﺎل
ﻟ ﺲ. ﻟ ﺲ ﺑﺬاك.ﺣﺪﻳﺜﻪ ﺿﻌﻒ ﻟ ﺲ. ﻟ ﺲ ﺑﺎﻟﻘﻮي.ﺑﺬاك اﻟﻘﻮي . ﻟ ﺲ ﺑﻌﻤﺪة.ﺠﺔ ﻟﺲ.
ﻟ ﺲ. ﺑﺎ ﺘ
ﻟ ﺲ ﺑﺎ ﺮ.ﻟ ﺲ ﺑﻤﺄ ﻮن
ﻏ ه أوﺛﻖ. ﻟ ﺲ ﺑﺎ ﺎﻓﻆ.ﻤﺪوﻧﻪ 50
MARTABAT AL-I’TIBA
Arif Chasanul Muna, Metode Penelitian Sanad dan Matan Beragam Versi, (Pekalongan : Mahabbah Press,2015), hlm. 61-63
35
dhaif tapi diatas matruk. Untuk memahami istilah “munkar al-hadis” harus dilihat dulu siapa yang mengucapkannya. Sebagian istilah ini digunakan untuk rawi yang masih dalam katagori alI’tibar, sebagian lain digunakan untuk rawi dengan katagori al-radd.
-
ﻣﻨﻪ .ﻓ
ﺣﺪﻳﺜﻪ ﺷﻴﺊ .ﻓﻴﻪ ﻟ .ﻟ
ﻬﻮل .ﻓﻴﻪ ﺟﻬﺎﻟﺔ.
ا ﺪﻳﺚ .ﻟ .
ﻻأدري ﻣﺎﻫﻮ .ﻠﻀﻌﻒ ﻣﺎﻫﻮ .ﻃﻌﻨﻮا
ﻓﻴﻪ .ﺗﺮ ﻮه .ﻣﻄﻌﻮن ﻓﻴﻪ .ﺳﻴﺊ ا ﺎﻓﻆ. ﺗ ﻠﻤﻮا ﻓﻴﻪ .ﺳﻜﺘﻮا ﻋﻨﻪ .ﻓﻴﻪ ﻧﻈﺮ)ﺑﻐ ﻗﻮل ا ﺨﺎرى(
ﺿﻌﻴﻒ .ﻣﻨﻜﺮ ا ﺪﻳﺚ .ﺣﺪﻳﺜﻪ ﻣﻨﻜﺮ.
ﻣﺎ ﻳﻨﻜﺮ.
8
ﻣﻨﺎﻛ .
ﻀﻄﺮب ا ﺪﻳﺚ .واه .ﺿﻌﻔﻮه.
ﻻ ﺘﺞ ﺑﻪ .ﻬﻮل
رد ﺣﺪﻳﺜﻪ .ردوا ﺣﺪﻳﺜﻪ.
ﺮدود
9
ا ﺪﻳﺚ .ﺿﻌﻴﻒ ﺟﺪا .واه ﺑﻤﺮة.
ﺗﺎﻟﻒ .ﻃﺮﺣﻮا ﺣﺪﻳﺜﻪ .ارم ﺑﻪ .ﻣﻄﺮح.
MARTABAT AL-RADDﻣﻄﺮح ا ﺪﻳﺚ .ﻻﻳ ﺘﺐ ﺣﺪﻳﺜﻪ. - Rawi pada tingkatan 9 danﻻ ﻞ ﻛﺘﺎﺑﺔ ﺣﺪﻳﺜﻪ .ﻻ ﻞ ا ﺮواﻳﺔ
10 hadisnya tidak bisa dihukumi maudhu’. Kualitas hadisnya adalah
ﻋﻨﻪ .ﻟ ﺲ ﺸﻴﺊ .ﻻﺷﻴﺊ .ﻻ ﺴﺎوي
ﻓﻠﺴﺎ .ﻻ ﺴﺎوي ﺷﻴﺄ
syadid al-dha’f. Sedangkan rawi pada tingkatan 11 dan 12 hadisnya dapat dihukumi sebagai hadis maudhu’. Jika imam Bukhari menilai seorang rawi dengan istilah munkar al-hadits maka hadisnya dikatagorikan al-
radd.
-
ق ا ﺪﻳﺚ .ﻣﻨﻬﻢ ﺑﺎ ﻜﺬب .ﻣﻨﻬﻢ
10
ﺑﺎ ﻮﺿﻊ .ﺳﺎﻗﻂ .ﻫﺎ ﻚ .ذاﻫﺐ .ذاﻫﺐ -
ا ﺪﻳﺚ .ﻣ وك .ﻣ وك ا ﺪﻳﺚ.
ﺗﺮ ﻮه .ﻤﻊ
اﻟﻌﺪل .ﻻﻳﻌﺘ
ﺗﺮ ﻪ .ﻫﻮ
ﺑﻪ .ﻻﻳﻌﺘ
ﻟ ﺲ ﺑﺎ ﻘﺔ .ﻟ ﺲ ﺑﺜﻘﺔ .ﻏ
ﻳﺪي
ﺪﻳﺜﻪ. ﺛﻘﺔ
وﻻﻣﺄ ﻮن .ﺳﻜﺘﻮا ﻋﻨﻪ .ﻓﻴﻪ ﻧﻈﺮ
)ﺑﻘﻮل ا ﺨﺎرى(
ﻛﺬاب .ﻳﻀﻊ ا ﺪﻳﺚ .ﻳ ﺬب. وﺿﺎع .دﺟﺎل .وﺿﻊ ﺣﺪﻳﺜﺎ
أ ﺬب ا ﺎس .إ ﻪ ا ﻨﺘ ر ﻦ ا ﻜﺬب
ا ﻮﺿﻊ.
11 12
36
b. Katagori rawi berdasar kesimpulan dari penilaian jarh wa ta’dil. Dalam proses transmisi hadits, keberadaan rawi menjadi kajian penting
guna
menentukan
diterima
atau
ditolak
hadits
yang
diriwayatkan. Dari kelima syarat keshahihan hadits, hal yang berkaitan dengan
rawi
hadits
mendapat
porsi
lebih
besar
yakni
:1.
Ketersambungan sanad, 2. Dhabitnya rawi dan 3. Adilnya rawi. Ketersambungan sanad (ittishal al-sanad) sebagai piranti melacak keabsahan proses transmisi hadits. Integritas rawi (‘Ada>lah) disyaratkan untuk mengantisipasi periwayatan yang bohong.51 Sedangkan untuk mengantisipasi kesalahan periwayatan, seorang rawi disyaratkan memenuhi standar profesionalitas (d}abth).52 Berpijak pada aspek integritas dan profesionalitas tersebut, rawi dapat dikelompokkan dalam tiga katagori yaitu [a] Martabah al-qabu>l; yakni para rawi dengan integritas dan profesionalitas periwayatan tinggi sehingga nyaris tidak ditemukan kesalahan dalam meriwayatkan hadits. [b] Martabah al-I’tiba>r; yakni para rawi dengan integritas moral namun profesionalitasnya lemah sehingga kadang ditemukan kesalahan redaksi maupun substansi dalam periwayatannya. [c] Martabah al-Radd; para rawi dengan integritas moral yang rendah terlebih dalam kejujuran ilmiah atau para rawi dengan integritas moral tinggi namun tidak profesional dalam periwayatan hadits hingga sering melakukan kesalahan periwayatan.53
51
Ibid., hlm. 63 Ibid., hlm. 64 53 Ibid., 52
37
Dengan merujuk pendapat ulama jarh wa ta’dil yang dirangkum dalam kitab tahzib al-kamal dan tahzib al-tahzib, bisa diketahui kesimpulan penilaian dari beragam penilaian yang disematkan pada rawi dimaksud. Ada fenomena unik dari kesimpulan penilaian terhadap rawi dalam kitab tahzib al-kamal dan
tahzib al-tahzib sehingga rawi dapat dikelompokkan berdasar kesepakatan penilaian yang ada seperti tabel54 berikut : NO 1
KATEGORI
Muttafaq ‘ala tautsi>qih (rawi yang disepakati integritas dan profesionalitasnya) a. Disepakati sebagai rawi hadits shahih b. Disepakati sebagai rawi hadits hasa>n c. Diperselisihkan antara sebagai rawi hadits shahih atau
hasan 2
Al-tsiqah alladzi>n dhu’ifu> fi> ha>lin mu’ayyan (rawi tsiqah yang dalam kondisi tertentu dinilai dha’if)
3
Muttafaq ‘ala> tajri>hih (rawi yang disepakati dhaif dengan berbagai tingkatan a. Disepakati sebagai rawi dengan katagori i’tiba>r b. Disepakati sebagai rawi dengan katagori al-radd
4
Mukhtalaf fih (rawi yang diperselisihkan kualitasnya) a. Berbeda antara katagori al-qabul dan al-i’tibar b. Berbeda antara katagori al-qabul dan al-radd c. Berbeda antara katagori al-i’tibar dan al-radd
54
Ibid., hlm. 65
38
Kesimpulan kualitas rawi dapat diketahui dan ditentukan kiranya rawi tersebut disepakati para ulama jarh ta’dil (muttafaq ‘ala>
ta’dilih ataupun muttafaq ‘ala> tajrihih). Namun apabila rawi yang dimaksud diperselisihkan (mukhtalaf fi>h), tentu berimplikasi menimbulkan masalah yang ujungnya dipermasalahkan pula derajat hadits yang diriwayatkan. Pada kasus rawi mukhtalaf fi>h, suatu keniscayaan bila serangan (tajri>h) yang disifatkan mungkin didasarkan pada hal-hal subjektif kritikus (na>qid), oleh karena para ulama jarh wa ta’dil mempertimbangkan perkara firqah, madzhab, bid’ah yang jelas terjadi dalam kaum muslimin, ada ulama (misal Imam Ahmad) yang berpendapat
boleh
menerima
periwayatan
rawi
bermadzhab
(murji’ah, qodariyah dan golongan sesat lain) asal dia tidak mengajak orang lain dalam membahas madzhabnya55. Di lain kondisi ada pula ulama yang keukeuh56 menolak selama rawi berbeda madzhab. Dengan kondisi seperti ini tentu akan sangat rancu apabila tidak disusun kaidah yang kuat dalam penilaian jarh wa ta’dil, karena sebagai manusia setiap rawi tidak akan pernah luput dari kritikan (jarh). Dengan demikian kaidah jarh wa ta’dil mutlak harus ada sebagai acuan menilai kualitas integritas dan profesionalitas rawi.
55
Syamsuddin Arif, Orientalis & Diabolisme Pemikiran (Jakarta : Gema Insani Press,2008), hlm. 222 56 Keukeuh : kuat hati
39
c. Kaidah Jarh wa Ta’dil. Berbicara mengenai siapa yang berhak memberikan penilaian
jarh wa ta’dil terhadap rawi, tentu diharuskan syarat-syarat agar supaya penilaian tersebut selamat secara syari’at. kaidah tersebut mengikat dua dimensi baik berhubungan dengan sifat kritikus (na>qid) maupun yang berkaitan dengan penilaian jarh wa ta’dil-nya. Kaidah yang berkaitan dengan pribadi kritikus (na>qid) meliputi : [1] kritikus harus mengetahui secara detail sebab-sebab
jarh wa ta’dil-nya. [2] kritikus harus jujur, wara dan bertaqwa, sehingga kritikannya tidak sebatas mengikuti hawa nafsunya dan apabila menerangkan kritikannya sebatas kritikan dalam masalah tertolaknya hadits, tidak dibenarkan membeberkan aib yang lain. [3] kritikus haruslah seorang pakar bahasa dalam menerangkan makna lafal jarh wa ta’dil sehingga tidak salah pemilihan kata dan tidak tertukar antara lafal jarh dan lafal ta’dil. [4] kritikus harus memahami masalah fiqh sehingga tidak mengkritik dengan permasalahan khilafiah. [5] kritikus haruslah seorang yang adil. [6] kritikus haruslah orang yang sabar sehingga kritikannya tidak dilandasi kemarahan57. Sedangkan kaidah dalam penilaian jarh wa ta’dil yang perlu diperhatikan antara lain :
57
Hamid Qu>fiy, Dira>sa>t fi> Mana>hij al-Muhaddis}in (Muha>dhara>t fi> manhaj al-Naqd) (Universitas king Abdul Qodir,), hlm. 22-23
40
1) Tidak diterima penilaian jarh kecuali disertai penjelasan dan diterangkan sebab-sebab
jarh-nya. Sebab setiap individu
memiliki kriteria yang berbeda tentang hal-hal yang patut dijarh. Karena, sebab-sebab penilaian jarh banyak macamnya dan berbeda-beda penyebabnya, maka harus
diterangkan
dan
dijelaskan. Para ulama tidak ada ketetapan mengenai faktor yang melatari penilaian jarh ini, dan tidak ada substansi dasar pencelaan terhadap rawi.58 2) Tidak diterima kritikan tanpa penelitian dan pertimbangan. Wujud dari penelitian, pada dasarnya pendapat dari kritikus ataupun orang yang dipercaya komentarnya terhadap rawi itu terhenti. Beberapa kritikus yang diikuti komentarnya terhadap rawi tidak melakukannya, terkadang karena sebab itu pula hadits ditinggalkan. Oleh karenanya patut adanya penetelitian dan pertimbangan dalam menghukumi dan menilai rawi. Belum tentu semua komentar yang ditemukan dalam sebagian kitab rijal dan ta>rikh terhadap rawi benar-benar melekat pada diri rawi tersebut, tapi harus diteliti dan terus dikaji sehingga ditemukan petunjuk yang benar atas penilaian yang disandarkan pada rawi tersebut.59 3) Tidak diterima kritikan yang dilandasi fanatisme dan hawa nafsu.
58 59
Ibid., hlm. 23 Ibid., hlm. 24
41
Komentar ahli hadits terhadap rawi tidak diterima ketika ungkapannya ada tendensi fanatisme, hasut, melecehkan, dan permusuhan, dan
juga berdasar perdebatan
yang
saling
membenci. Kritikan tidak dapat diterima jika berdasar sebabsebab tersebut, kecuali jika berlandaskan kejujuran dan bukti yang jelas.60 4) Penilaian haruslah adil dan proporsional. Allah swt telah memerintahkan pada kita untuk berlaku adil dan melarang berbuat dhalim dan aniaya. Sebagaimana firman-NYA dalam Q.S al-Maidah : 8 dan Q.S al-Nahl : 90. Sebagaimana dicontohkan dalam hadits yang diriwayatkan imam Ahmad bin Hanbal dari shahabat Jabir bin Abdullah r.a, dalam hikayat itu digambarkan bagaimana Nabi Muhammad saw tetap berlaku adil kepada orang-orang yahudi meski sebenarnya beliau benci akan sifat dan kelakuan mereka.61 Dalam menilai rawi juga harus adil dan bersih dari preferensi pribadi, kalaupun rawi tersebut berasal dari madzhab lain yang jelas bertentangan, dalam minha>j al-Sunnah al-Nabawiyyah Ibn Taimiyah berkata bahwa dikalangan Rofidhah juga ada yang ahli ibadah, wara’ dan zuhud.
60 61
Ibid., hlm. 24 Ibid., hlm. 26
42
5) Amanah dalam penilaian (mengkritik). Kaidah kelima ini ada dua gambaran yakni :
a) Pertama : tidak adanya preferensi pribadi dalam menghukumi rawi. Tidak sah pandangan dari kerabat atau kekasih, karena wajib hukumnya berlaku adil dalam kebenaran, sehingga sudah semestinya mensifati seorang rawi tanpa tendensi preferensi pribadi, karena menilai rawi adalah bentuk persaksian dan saksi tidak boleh mengkhianati persaksiannya bahkan memberikan persaksian secara lengkap adalah bentuk amanah.62
b) Kedua : tidak dibenarkan hanya menyebutkan cela seseorang rawi dimana ada sisi keterpujiannya. Maka dari itu, bentuk adil dan amanah dalam menilai rawi adalah menyebutkan sisi
jarh sekaligus ta’dil yang benar-benar ada pada dirinya, tidak boleh menyembunyikan salah satu baik jarh maupun ‘ada>lahnya.63 6) Tidak diterima kritikan tanpa didasari hujjah. Tidak termasuk disini pendapat umum bahwa sesungguhnya penilaian jarh diantara orang sezaman gugur dan tidak diterima secara mutlak, tidak berarti pula jika ada penilaian jarh sezaman yang disertai hujjah tertolak, tetapi tidak diterima jarh kritikus sezaman jika terindikasi ada permusuhan atau sejenisnya, melainkan apa yang berdasar keterangan dan hujjah yang benar. 62 63
Ibid., hlm. 27 Ibid.,
43
B. RAWI MUKHTALAF FI
muttafaq ‘ala> ta’di>lih yang berimplikasi pada diterima periwayatannya maupun muttafaq ‘ala> tajri>hih yang berimplikasi pada ditolak periwayatannya. Hal yang perlu diteliti kembali apabila ada perselisihan mengenai kualitas rawi (mukhtalaf fi>h), dan bagaimana kaidah dalam mempelajari keadaan rawi yang diperselisihkan tersebut. Kaidah-kaidah dalam mempelajari keadaan rawi mukhtalaf fi>h untuk menentukan tarji>h. Sebelum melanjutkan pembahasan, terlebih dahulu perlu diketahui pengertian rawi mukhtalaf fih. Rawi mukhtalaf fi>h adalah rawi yang disematkan padanya penilaian keterpujian (ta’dil) dan juga penilaian ketercelaan (tajri>h), dalam arti ada ulama yang memuji kualitasnya ada pula yang mencela kualitasnya, atau mungkin ada ulama yang memberikan pujian sekaligus mencelanya.64 Perbedaan dalam menilai rawi menjadi niscaya, oleh karena penilaian
ta’di>l atau tajri>h merupakan masalah ijtihad, sehingga wajar para Imam berselisih dalam menilai rawi.65 Perbedaan ulama dalam fiqh, rijal atau hal lain tidak mengurangi kapasitasnya dan juga tidak mengurangi kualitas pendapatnya, tetapi juga tidak berarti mereka yang berselisih itu 64
Umar I<man Abu Bakar al-Ta’sis fi Fanni dira>sat al-Asa>ni>d,(Riyadh : Maktabah alMa’arif,), hlm. 262 65 Ibid., hlm. 261
44
selamat atas apa yang diperselisihkan. Sehingga wajib bagi para ulama berikutnya berijtihad atas perbedaan tersebut dan mengambil pendapat yang lebih unggul disertai dalil.66 Kaidah-kaidah yang perlu diketahui dalam mempelajari keadaan rawi
mukhtalaf fi>h antara lain : 1. Tidak diterima penilaian jarh atau ta’dil kecuali dari orang yang adil dan mengetahui sebab-sebabnya67. Ulama mensyaratkan diterimanya penilaian jarh atau ta’dil dari orang yang adil dan mengetahui betul sebab-sebab jarh atau ta’dilnya. Kaidah ini mensyaratkan dua hal yang harus melekat pada diri kritikus yakni adil dan mengetahui sebab-sebab dari penilaiannya. Syarat pertama harus adil meliputi kriteria taqwa, wara’, tidak berbuat cela dan syirik, dan juga terbebas dari fasiq dan bid’ah. Sedangkan syarat kedua harus mengetahui sebab-sebab penilaian jarh
wa ta’dil-nya, syarat kedua ini mutlak bagi kritikus, beberapa kritikan yang telah disematkan terhadap rawi oleh sebagian kritikus bisa berupa hal yang tidak menggugurkan hadits yang diriwayatkan, terlebih jika kritikan yang dimaksud dipicu masalah khilafiah dalam agama atau bertendensi emosi. Sehingga jika penilaian jarh berdasar hal-hal yang tidak urgen dan lebih bermotif perselisihan pribadi tidak bisa diterima.
66
Ibid.,
67
‘Amr Abdul Mun’im Salim, “Qawa>’idu ‘Ilmiyyat Muhimmat fi> Ma’rifati Ha>l al-Ra>wi al-Mukhtalafu Fi>h wa al-Ha>qihi Biahadi Aqsa>m al-Qabu>l aw al-Radd”(Kairo : Da>r al-Dhiya’, 2008), hlm. 5
45
Implikasi dari kaidah ini dalam menerangkan keadaan rawi
mukhtalaf fi>h adalah mengetahui bilamana sebagian rawi yang ditsiqahkan oleh kebanyakan Imam dan dijarh oleh seorang atau dua orang Imam, bukan berarti gugur syarat untuk dikritisi dan terkabulnya hukum hadits yang diriwayatkan. Faidah dari kaidah ini adalah harus dibedakan antara ditinggalkannya riwayat rawi oleh sebagian Imam karena perbuatan salah, tidak sesuai sunah nabi seperti halnya para ahli bid’ah. Dengan ditinggalkannya riwayat rawi sebab suatu yang berhubungan dengan dhabit periwayatan. Kondisi kedua berkenaan pada wajib ditinggalkan riwayat
sedang
kondisi
pertama
dimungkinkan
untuk
dipertimbangkan apabila dibuktikan sifat adil dan dhabitnya. 2. Mendahulukan ta’dil atas jarh yang samar68 Kaidah ini bukan saja kaidah yang penting dalam jarh wa
ta’dil melainkan kaidah yang unggul dalam menerangkan keadaan rawi mukhtalaf fi>h. Penilaian ta’dil atau taus\iq tidak memerlukan penjelasan sebabnya, berbeda dengan penilaian jarh yang mutlak diterangkan sebabnya terlebih jika ada kontroversi dengan penilaian ta’dil, karena penilain jarh berimplikasi ditolaknya periwayatan rawi. Kaidah-kaidah penting yang perlu diperhatikan apabila ada kontroversi jarh dan ta’dil pada diri seorang rawi sebagaimana diungkapkan Khatib Baghdadi dalam kifayah-nya antara lain : 68
Ibid., hlm. 10
46
a) Apabila jumlah penilaian jarh sama dengan penilaian ta’dilnya, maka kesepakatan ulama adalah lebih mengutamakan penilaian jarh. b) Madzhab yang masyhur berpedomana bahwa penilaian ta’dil diterima meskipun tanpa diterangkan sebab-sebabnya. c) Sedangkan pada penilaian jarh, maka tidak dapat diterima kecuali dijelaskan dan diterangkan sebab-sebabnya. d) Jika ada kontroversi jarh wa ta’dil maka sepatutnya penilaian jarh dijabarkan. Faidah yang bisa diambil dari kaidah ini adalah : rawi yang telah dicela munkar riwayatnya dan oleh yang lain diambil riwayatnya bukan berarti hal ini menunjukkan cacatnya rawi. 3. Menjelaskan perbedaan para imam dan kritikus dalam jarh wa
ta’dil69 Sebab-sebab yang memicu perbedaan dalam menilai keadaan rawi : perbedaan diantara kritikus dalam mentsiqahkan dan
mencela
rawi,
perbedaan
penilaian
kritikus
dalam
menghukumi rawi mukhtalaf fih, tidak lepas dari kondisikondisi :
Pertama : apabila ada kritikus telah memuji dengan konotasi lain yang tidak berhubungan dengan kapabilitas rawi, semisal yang dimaksud adalah rawi tsiqah secara personal tidak
69
Ibid., hlm. 27
47
ada maksud berbohong, jarh yang dimaksud adalah kurangnya kapabilitas rawi tersebut.
Kedua : jika kritikus menilai jarh dengan konotasi tidak kapabel dan kemudian menilai tsiqah pada periwayatan lain, maka hal itu menggambarkan penilaian tsiqah.
Ketiga : jika kritikus menolak periwayatan ta’dil lalu kemudian dalam riwayat lain kritikus tersebut juga menolak periwayatan seorang dengan mencela rawi lain yang sama namanya, maka yang dimaksud sesungguhnya adalah rawi yang pertama, dengan demikian sangat dibutuhkan penjelasan dari kasus tersebut.
Keempat : jika ada rawi yang dalam periwayatan tertentu dinilai tsiqah menurut kritikus, maka dalam periwayatan tersebut tertolak jarh yang disandang.
Kelima : jika ada rawi tsiqah menurut kritikus disifati dhaif saat dibandingkan dengan rawi lain yang lebih tsiqah dari rawi tersebut, atau jika ada rawi dhaif yang disifati tsiqah saat dibandingkan dengan rawi lain yang keadaannya lebih buruk dari tersebut.
Keenam : bimbang terhadap pendapat jarh dari salah satu imam.
Ketujuh : jika ada pendapat ganda dari kritikus dan tidak mungkin untuk dikompromikan pendapat tersebut maka jarh didahulukan dari pada ta’dil.
48
Kedelapan : salah satu kasus yang jarang ialah jika kritikus mencela rawi karena tiada yang mengambil riwayat darinya, kemudian dijelaskan pada kritikus itu setelah diketahui adanya bukti bahwa rawi tersebut tidak sendirian dalam periwayatannya maka sikap kritikus tidak berkomentar atau mentsiqahkan. 4. Tidak diterima penilaian jarh mereka yang berbeda keyakinan melainkan dijelaskan tafsir penilaian jarh tersebut70. Sebagian kritikus telah bersikukuh mencela rawi sebab bermadzhab selain madzhab ahlu sunnah wal jama’ah. Dalam kasus ini banyak sekali rawi-rawi tsiqah yang dicela karena perbedaan madzhab dengan kritikus. 5. Tidak diterima jarh yang samar dari ulama mutasyaddid ketika penilaian ta’dil rawi yang dimaksud layak diterima Ulama kritikus terbagi atas beberapa tingkatan : a) Diantara mereka ketat dan berhati-hati dalam memuji, keras dalam mencela rawi dengan kesalahan dan terkadang mencela dengan hal-hal yang tidak menjadi celaan. Maksudnya bahwa penyematan sifat adil rawi berdasar bukti sifat adil yang ditemukan, sehingga penilaian tsiqah gugur kecuali setelah proses penelitian yang rumit. b) Sebagian mereka Mutasahhil : yakni kritikus yang mentsiqahkan rawi berdasar sifat adil yang tampak secara dhahir dalam diri rawi.
70
Ibid., hlm. 34
49
c) Sebagian mereka Mu’tadil : yakni kritikus yang diterima pendapat dan kritikannya dalam jarh wa ta’dil. Ketika didapati rawi yang diperdebatkan, dan ditemukan pujian dari salah satu kritikus yang mutasyaddid maka rawi tersebut harus dipertimbangkan, oleh karena pujian tersebut telah melalui penelitian yang jeli. Dan jika ditemui celaan yang samar dari kalangan mutasyaddid dan berbeda dengan penilaian ta’dil yang mu’tabar maka celaan tersebut tidak dipertimbangkan. 6. Tidak diterima perkataan ulama sezaman kecuali dijelaskan keterangannya71 Kaidah ini berkenaan penilaian jarh antara ulama sezaman yang berselisih atau diperdebatkan para kritikus dan kebanyakan rawi tsiqah. Kesepakatan ulama menerangkan bahwa jarh rawi yang sezaman tidak diperhitungkan jika jarhnya samar, dengan demikian tidak sah mencela seorang yang diperhitungkan ketsiqahannya oleh para ulama berdasar penilaian jarh yang samar dan penolakan riwayatnya oleh ulama yang sezaman dengannya. Faidah : tidak bisa diterima komentar sembarangan
muta’akhiri>n yang menunjukkan jarh atau menunjukkan ta’dil tanpa alasan.
71
Ibid., hlm. 48
50
7. Mentsiqahkan rawi yang majru>h tidak menunjukkan hilang jarh rawi tersebut72. Sebagian rawi yang diperselisihkan kedhabitannya dalam meriwayatkan hadits dari guru tertentu, karena dinilai tercela dalam meriwayatkan hadits selain yang dimaksud bukan berarti
jarh rawi tersebut menjadi hilang. Riwayat rawi yang dimaksud dapat diterima hanya pada periwayatan tertentu yang berhubungan dengan guru-guru tertentu tersebut. 8. Penilaian jarh mutlak di dahulukan meski yang memuji lebih banyak.
َ ْ َ َ ْ ُ َ ُ ْ َ َ ْ َ َ ً َ ْ ُ ٌ َ ُ َ ْ َْ َ أن ا ﺮح ﻣﻘﺪم ﻣﻄﻠﻘﺎ و ﻮ ن ا ﻤﻌﺪ ﻮن ا Sebagaimana disepakati jumhur ulama yang dinukil Khatib al-Baghdadi dan dibenarkan oleh Ibn Shalah serta Imam Fakhruddin al-Razi, imam al-Amidi serta ahli ushul fiqh lainnya, sebab sesungguhnya Ja>rih mempunyai tambahan pengetahuan yang tidak dimengerti oleh Mu’addil, dan karena Ja>rih mengevaluasi Mu’addil atas apa yang dideskripsikan dari keadaan dhahir rawi. Kecuali jika Mu’addil mendeskripsikan keadaan rawi berdasar hal-hal batiniyah yang tersembunyi.73
72
Ibid., hlm. 53 Muhammad Abdul al-Hayyi al-Laknawi, al-Raf’u wa al-Takmi>l fi al-Jarh wa al-Ta’dil. Ed. Abdul Fattah Abu> Ghuddah, (Beirut : Da>r al-Basyair al-Islamiyah :2004), hlm. 116 73
51
9. Jika jumlah yang yang memuji lebih banyak maka penilaian
ta’dil didahulukan.
ُ ْ ُ َْ َ ْ ُ َ ََ ْ ﻗﺪ َم ا ﻌ ِﺪﻳْﻞ, ُ ِان ن َﻋﺪد ا ُﻤ َﻌﺪ ِﻟ َ ا Khatib al-Baghdadi dalam kifayahnya mengisahkan bahwa sesungguhnya kebanyakan Mu’addili>n menguatkan keadaan rawi dan kekurangan Ja>rihi>n melemahkan riwayatnya. Menurut beliau “inilah kesalahan dari mereka yang meragukan riwayat rawi, karena meskipun banyak kalangan mu’addil tidak menceritakan apa yang tidak diceritakan kalangan Ja>rih dan kalaupun mu’addil menceritakan hal tersebut menjadi bukti yang batal.74 10. Jika ada kontroversi jarh wa ta’dil maka tidak bisa dimenangkan salah satunya kecuali menurut murajjih sendiri. Menurut Al-Laknawi “ telah terjadi pergeseran orientasi ulama zaman sekarang merevisi hasil investigasi para peneliti yang berpendapat bahwa jarh didahulukan atas ta’dil, karena kelalaian mereka dalam mengevaluasi secara detail, menurut mereka sesungguhnya jarh itu mutlak (apa wujud jarh-nya, dari mana yang mencela, bagaimana keadaan rawi) didahulukan atas
ta’dil yang juga mutlak (wujud ta’dil, dari mana mu’addil dan bagaimana keadaan rawi), dan masalahnya tidak seperti yang dibayangkan,
74
Ibid., hlm. 117
masalah
sesungguhnya
adalah
maksud
52
mendahulukan jarh atas ta’dil telah diyakini bahwa jarh telah diterangkan. Karena sesungguhnya jarh yang samar tidak diterima
secara
mutlak,
sehingga
tidak
jarh
mungkin
dikonfrontir dengan ta’dil jika masih samar. Selain postulat tersebut ada beberapa pertanyaan yang perlu diteliti mengenai keberadaan rawi mukhtalaf fi>h untuk diambil tarjihnya, pertanyaan tersebut antara lain : pertanyaan pertama : sebab-sebab yang melandasi perbedaan penilaian para kritikus terhadap seorang rawi. 1. Betapapun mahir para kritikus yang menjadi rujukan dalam mempelajari para rawi, dan diikuti pendapatnya dalam jarh wa ta’dil, memberi keterangan biografi rawi dan keadaannya, dan netralitas serta terbebas dari hawa nafsu dan fanatisme, mereka tetap manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan dan kealfaan, ada
kalanya
seorang
imam
berpendapat
pribadi
dalam
mentsiqahkan rawi dhaif atau mendhaifkan rawi tsiqah dan menghukumi periwayatan rawi berdasar kesalahan tersebut.75 2. Rawi yang sebenarnya tsiqah dan penilaian jarh yang disematkan padanya berdasar fanatisme madzhab atau perselisihan dan perdebatan antara dia dan yang mengkritik, atau berdasar komentar ulama sezaman yang saling mengkritik, jika ini yang terjadi maka kritikannya tidak dipertimbangkan.76
75 76
Lihat Umar Iman Abu Bakar dalam al-Ta’si>s fi> Fanni Dira>sat al-Asa>nid..., hlm. 263 Ibid., hlm. 264
53
3. Apabila para imam beragam dalam mengkritik rawi akan tetapi berlandaskan masalah serta cara pandang yang berbeda. Jika rawi disifati dengan jarh-nya maka ditolak riwayatnya dan bagi kritikus lainnya hal tersebut tidaklah menjadi jarh.77 4. Beberapa rawi yang didhaifkan banyak dikarenakan adanya kesalahan dalam meriwayatkan hadits. Dalam hal ini ada perbedaan para kritikus mengenai kadar kesalahan yang bisa ditolerir, ada yang mentolerir sampai sepuluh kali ada juga yang mentolerir hingga seratus kali78. 5. Adanya
pengelompokan
di
kalangan
kritikus,
ada
yang
mutasyaddid, mutasahhil atau mu’tadil, inilah salah satu pangkal perbedaan dalam menilai rawi.79 Pertanyaan kedua : bagaimana cara menyikapi jika ada perbedaan diantara kritikus tentang rawi tertentu. 1. Jika mungkin untuk dikompromikan perbedaan pendapat yang ada, maka wajib disesuaikan arah ta’dil atau tajrih. 2. Jika tidak bisa dikompromikan maka wajib ditarjih. jika ditemukan tautsiq dan tajrih pada seorang rawi, maka wajib ditarjih serta berlaku sesuai petunjuk atas tarjih tersebut. Jika
tautsiq lebih kuat dari tajrih berarti tsiqah, jika tajrih lebih kuat dari tautsiq berarti dhaif.80
77
Ibid., Ibid., hlm. 265 79 Ibid., 78
80
Ibid., hlm. 270
54
Contoh rawi mukhtalaf fi>h yang ditarjih jarh-nya adalah Jabir alJu’fiy nama lengkapnya adalah Jabir bin Yazid bin al-Harits bin Abd al-Ju’fiy81 Contoh rawi mukhtalaf fi>h yang ditarjih tsiqahnya adalah Ikrimah al-Barbariy, budak dari sahabat Ibn Abbas ra82. 3. Jika ada perbedaan akan tetapi tidak bisa ditarjih (inilah mukhtalaf fih yang sebenarnya). Mengenai hukum hadits yang diriwayatkan oleh rai mukhtalaf fi>h jumhur ulama menilai sebagai hadits hasan setelah terpenuhi syaratsyaratnya83.
81
Ibid., hlm. 279 Ibid., hlm. 271 83 Ibid., hlm. 287 82