BAB II KONSEP UMUM TENTANG GENDER
A. Pengertian Gender Dalam perkembangannya, gender digunakan sebagai pisau analisis untuk memahami realitas sosial berkaitan dengan perempuan dan laki-laki.1 Semakin lama sejak kemunculannya, diskursus gender terus mencuat. Bahkan akhir-akhir ini, beberapa analisis dipakai untuk membaca gender dengan berbagai perspektif sosial, ekonomi, politik bahkan agama. Feminisme dan perempuan merupakan kesan yang muncul ketika membicarakan gender. Padahal keduanya hanya merupakan bagian dari gender itu sendiri. Berbicara feminisme artinya membicarakan ideologi, bukan wacana.2 Dalam berbagai literatur disebutkan bahwa feminisme adalah gerakan untuk melawan terhadap praktek-praktek kekerasan, diskriminasi, penindasan, hegemoni, dominasi dan ketidakadilan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok, dan juga sistem terhadap perempuan. Dinamakan gerakan feminism (women) oleh karena adanya ketidakadilan yang dialami oleh perempuan. Tetapi kemudian makna feminisme mengalami perluasan sesuai perkembangan
1
Penemuan bahwa kategori “perempuan” dan “laki-laki” bukan merupakan fenomena biologis, tetapi konstruksi-konstruksi kultural sehingga karenanya pada dasarnya tidak mantap, mempunyai konsekuensi-konsekuensi teoritis yang penting. Lihat Hersri Setiawan, Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia, Jakarta; Graha Budaya dan Kalyanamitra, 1999, hlm. 38. 2
Bahwa prinsip feminis itu ideologi (bukan wacana) karena bersifat gabungan dari proses kegiatan mata, hati, dan tindakan, yaitu dengan menyadari, melihat, mengalami, adanya penindasan, hegemoni, diskriminasi, dan penindasan yang terjadi pada perempuan, mempertanyakannya, menggugat, dan mengambil aksi untuk mengubah kondisi tersebut. Lihat Arimbi Heroepoetri dan R. Valentina, Percakapan Tentang Feminisme VS Neoliberalime, Jakarta: DebtWATCH, 2004, hlm. 5–6.
15
16
zaman yaitu bukan hanya membela perempuan yang tertindas tetapi siapa saja yang mengalami ketidakadilan baik laki-laki maupun perempuan. Istilah gender,3 belum ada dalam perbendaharaan kamus besar Bahasa Indonesia. Kata gender berasal dari Inggris, gender berarti jenis kelamin.4 Gender dapat diartikan sebagai perbedaan antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan perilaku. Secara kodrat, memang diakui adanya perbedaan (distinction), bukan pembedaan (discrimination) antara laki-laki dengan perempuan yaitu dalam aspek biologis. Perbedaan secara biologis antara laki-laki dengan perempuan yaitu senantiasa digunakan untuk menentukan dalam relasi gender, seperti pembagian status, hak-hak, peran, dan fungsi di dalam masyarakat. Padahal, gender yang dimaksud adalah mengacu kepada peran perempuan dan laki-laki yang dikonstruksikan secara sosial.5 Dimana peran-peran sosial tersebut bisa dipelajari, berubah dari waktu ke waktu, dan beragam menurut budaya dan antar budaya. Berkenaan dengan pemaknaan gender,6 Ann Oakley sebagaimana dikutip oleh Ahmad Baidowi,7 mendefinisikan bahwa gender adalah
3
Sebagai suatu konsep (belum menggunakan istilah gender), pertama kali dituliskan oleh Antropolog perempuan, Margaret Mead. Perilaku laki-laki dan perempuan adalah produksi budaya, dalam bukunya Sex & Temperament in 3 Primitive Societies (1935). Lihat dalam makalah pelatihan, “ Cefil, Civic Education and Future Indonesian Leaders”, di Satunama Yogyakarta; 1–30 Agustus 2005. 4
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an, Jakarta; Paramadina, 2001, hlm. 33. 5
Istibsyaroh, Hak-Hak Perempuan; Relasi Jender menurut Tafsir Al-Sya’rawi, Jakarta; Teraju, 2004, hlm. 3. 6
Heddy Shri Ahimsa membedakan pemaknaan gender menjadi beberapa pengertian, yakni (1) gender sebagai sebuah istilah asing dengan makna tertentu; (2) gender sebagai suatu fenomena sosial budaya; (3) gender sebagai suatu kesadaran sosial; (4) gender sebagai suatu persoalan sosial-budaya; (5) gender sebagai sebuah konsep untuk analisis; dan (6) gender sebagai sebuah perspektif untuk memandang kenyataan. Lihat Mochamad Sodik dan Inayah Rohmaniyah (eds), Perempuan Tertindas; Kajian Hadits-hadits “Misoginis”, Yogyakarta; PSW IAIN Sunan Kalijaga, 2003, hlm xxii.
17
perbedaan perilaku antara perempuan dan laki-laki yang dikonstruk secara sosial, diciptakan oleh laki-laki dan perempuan sendiri; oleh karena itu merupakan persoalan budaya. Gender merupakan perbedaan yang bukan biologis dan bukan kodrat Tuhan. Perbedaan biologis adalah perbedaan jenis kelamin yang bermuara dari kodrat Tuhan, sementara gender adalah perbedaan yang bukan kodrat Tuhan, tetapi diciptakan oleh laki-laki dan perempuan melalui proses sosial budaya yang panjang. Gender beda dengan seks. Pada umumnya gender digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi sosial-budaya. Gender berkaitan dengan pikiran dan harapan masyarakat tentang bagaimana sebaiknya menjadi laki-laki atau perempuan. Karena gender merupakan bentukan sosial dari pengalaman masyarakat, maka gender dari waktu ke waktu berubah, dari masing-masing masyarakat berbeda atau sifatnya tidak universal. Gender pun dapat dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan.8 Sedangkan seks sering digunakan dalam mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologis, yang tidak dapat dipertukarkan, tidak dapat berubah di manapun dan kapanpun. Seks merupakan kodrat dari Tuhan sehingga bersifat universal.9 Istilah seks lebih banyak mengacu kepada aspek biologis seseorang, meliputi perbedaan komposisi kimia dan hormon dalam tubuh, anatomi fisik,
7
Anne Oakley, ahli sosiologi Inggris, adalah orang yang mula-mula membedakan istilah “seks” dan “gender”. Ahmad Baidowi, Tafsir Feminis; Kajian Perempuan dalam al-Qur’an dan Para Maufasir Kontemporer, Bandung: Nuansa, 2005, hlm 30. 8
Lihat modul pelatihan, Kumpulan Materi Pendidikan Gender, Blora, 20-23 Februari 2003, hlm 3.
9
Ibid.
18
reproduksi, dan karakteristik biologis lainnya. Seks atau jenis kelamin adalah perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan jenis kelamin berkenaan dengan kenyataan bahwa laki-laki memproduksi sperma, sementara perempuan melahirkan dan menyusui anak. Laki-laki dan perempuan mempunyai tubuh yang berbeda, hormon yang berbeda, dan kromosom yang berbeda. Perbedaan jenis kelamin atau seks adalah sama di setiap negara, dan merupakan fakta mengenai biologi manusia. Namun kata “gender” digunakan untuk mengenali menjadi laki-laki atau menjadi perempuan tidak sama dari satu negara ke negara yang lain karena budaya mereka berbeda.10 Sementara dalam INPRES R.I. No. 9 tahun 2000 disebutkan bahwa gender adalah konsep yang mengacu pada peran-peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang terjadi akibat dari dan dapat berubah oleh keadaan sosial budaya masyarakat.11 Sejarah perbedaan gender terjadi melalui sebuah proses yang sangat panjang. Melalui proses yang panjang, sosialisasi gender akhirnya dianggap sebagai ketentuan Tuhan, seolah-olah gender bersifat biologis yang tidak bisa 10 11
Istibsyaroh, Op. Cit., hlm 62.
Dalam INPRES tersebut juga disebutkan beberapa pengertian penting lainnya, yaitu; kesetaraan gender adalah kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan nasional, dan kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut. Keadilan gender adalah suatu proses untuk menjadi adil terhadap laki-laki dan perempuan. Dan analisa gender adalah proses yang dibangun sistematik untuk mengidentifikasi dan memahami pembagian kerja/peran laki-laki dan perempuan, akses dan kontrol terhadap sumber-sumber daya pembangunan, partisipasi dalam proses pembangunan dan manfaat yang mereka nikmati, pola hubungan antara laki-laki dan perempuan yang timpang, yang di dalam pelaksanaannya memperhatikan faktor-faktor lainnya seperti kelas sosial, ras, dan suku bangsa. Lihat Abdurrahman Wahid, Pengarus utamaan Gender dalam Pembangunan Nasional, dalam INPRES R.I. No. 9 tahun 2000, Jakarta; 19 Desember 2000.
19
diubah-ubah lagi, sehingga perbedaan gender dianggap sebagai kodrat lakilaki maupun kodrat perempuan. Karena dianggap sebagai kodrat maka upaya untuk menolak perbedaan gender dianggap sebagai perbuatan melawan ketentuan Tuhan. Sesungguhnya perbedaan gender yang melahirkan peran gender tidak menjadi masalah. Persoalan barulah muncul apabila peran gender, menyebabkan munculnya struktur ketidakadilan. Secara biologis perempuan bisa hamil dan melahirkan kemudian mempunyai peran gender sebagai perawat, pengasuh, dan pendidik anak, hal ini tidak menjadi masalah. Apalagi peran-peran tersebut merupakan pilihan perempuan sendiri. Namun dalam kenyataannya, peran gender perempuan kerapkali mengalami ketidakadilan. Hal ini, menurut Mansour Fakih, terbukti dengan terjadinya subordinasi perempuan, terjadinya marginalisasi, pelabelan negatif dan banyaknya kekerasan dan penyiksaan (violence) terhadap kaum perempuan.12 Di dalam peran gender,13 perempuan dibakukan bekerja pada sektor yang dianggap cocok yaitu sektor domestik. Sebuah sektor yang lebih mudah, halus, serta ringan, dan menjadikan peran-peran perempuan hanya sebatas pelengkap. Pada konteks itu, stereotype atau penggambaran tentang laki-laki atau perempuan yang berkaitan dengan nilai-nilai maskulinitas dan feminitas
12
Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997, hlm. 147-150. 13
Peran gender dapat didefinisikan sebagai ide-ide kultural yang menentukan harapanharapan kepada laki-laki dan perempuan dalam berinteraksi antara satu dengan lainnya di dalam masyarakat. Lihat Nasarudin Umar, Op. Cit., hlm. 73.
20
seringkali terjadi dan merupakan dasar kuat dalam pembentukan identitas diri.14 Pada lintasan sejarah, kelompok-kelompok masyarakat membagi peran, tugas dan kerja berdasarkan jenis kelamin. Menurut Michelle Rosaldo dan Louise Lamphere, sebagaimana dikutip dalam modul pelatihan bahwa pembagian kerja secara seksual berdasarkan ciri universal dalam kelompok budaya dibedakan menjadi empat: 1. Masyarakat berburu dan meramu, di mana peran sosial–ekonomi laki-laki ditempatkan sebagai pemburu, sedang perempuan sebagai peramu. Di sini kaum laki-laki lebih berkesempatan besar untuk mendapat pengakuan dan prestise. Semakin banyak dan besar hasil buruan yang didapat, semakin besar pula kekuasaan yang diperoleh termasuk atas perempuan. 2. Masyarakat hortikultura, di mana peran perempuan sudah dianggap mampu untuk menggarap kerja perkebunan. Perempuan mempunyai akses yang cukup besar kecuali di bidang politik. Pada masa ini, tidak begitu tampak pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin. 3. Masyarakat agraris, di mana peranan produktif-ekonomis digantikan oleh laki-laki dan menyisihkan perempuan pada pojok kerja kerumahtanggaan yang tidak ada sisi produksi dan ekonomi. Masyarakatnya menggunakan pola patriarkhi, di mana memberikan peranan lebih besar pada laki-laki sehingga menjunjung superioritas alamiah laki-laki dan inferioritas alamiah perempuan. 14
Siti Handayani dan Yos Setiyoso (eds), Merekonstruksi Realitas; Dengan Perspektif Gender, Yogyakarta: SBPY, 1997, hlm. 36.
21
4. Masyarakat industri, pada era ini ada upaya melibatkan perempuan dalam aktifitas publik ekonomis tetapi dengan tetap mempertahankan pola agraris. Masyarakat industri mengacu pada orientasi produksi (productivity oriented) dan perempuan dianggap sebagai the second class walaupun ada peluang di sektor publik karena peran reproduksi tidak dianggap peran ekonomi.15 Dengan demikian, istilah gender mencakup peran sosial kaum perempuan maupun laki-laki. Hubungan antara laki-laki dan perempuan menjadi penting dalam menentukan posisi keduanya. Sedangkan perbedaan biologis mempengaruhi peran sosial mereka. Akan tetapi dalam memberikan penjelasan mengenai latar belakang perbedaan dan persamaan peran gender laki-laki dan perempuan, ada beberapa teori yang cukup berpengaruh, oleh karena terdapat perbedaan orientasi yang menjadi dasar tujuan masing-masing. Dari sekian banyak teori yang digunakan untuk mengetahui latar belakang perbedaan dan persamaan peran gender, dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa teori berikut: 1. Teori Psikoanalisa (Teori Identifikasi) yang menganggap bahwa perilaku dan kepribadian laki-laki dan perempuan sejak awal ditentukan oleh perkembangan seksualitas. Teori ini diperkenalkan pertama kali oleh Sigmund Freud (1856-1939) kemudian oleh Karen Horney. Di dalam pendapatnya mengenai pembentukan kepribadian antara Freud dan Horney menekankan
15
pada
faktor
anatomi
Lihat Modul Pelatihan, Op. Cit., hlm. 4.
biologis.
Bedanya,
Freud
22
menitikberatkan pada faktor penis dan semata-mata pada faktor biologis sedangkan Horney pada faktor rahim dan tidak mengecualikan faktor kultur dalam pembentukan kepribadian. 2. Teori fungsionalis struktural, yang menganggap bahwa stratifikasi peran gender dalam masyarakat tersebut terintegrasi dalam sistem sosial. Teori ini berangkat dari asumsi bahwa masyarakat terdiri atas berbagai bagian yang saling mempengaruhi. R. Dahrendolf meringkaskan prinsip-prinsip teori ini yaitu: a. Masyarakat adalah kesatuan dari berbagai bagian; b. Sistem sosial senantiasa terpelihara karena mempunyai perangkat mekanisme kontrol; c. Bagian yang tidak berfungsi dapat dipelihara dengan sendirinya atau hal itu melembaga dalam waktu yang lama; d. Perubahan terjadi secara berangsur-angsur; e. Sistem nilai adalah bagian yang paling stabil dalam sistem masyarakat. 3. Teori konflik, yaitu teori yang lebih menekankan pada pembagian kelas, sebagian diuntungkan dan sebagian dirugikan. Dasar ekonomi yang tidak adil memicu terjadinya konflik dan perubahan sosial. Karena terlalu berorientasi ekonomi dan menafikan semua faktor biologis, maka timbullah subordinasi perempuan. 4. Teori feminis, teori ini menganggap bahwa kodrat perempuan tidak ditentukan oleh faktor biologis melainkan faktor budaya masyarakat. Oleh karena itu, sistem patriarkhi perlu ditinjau karena merugikan perempuan.
23
Kemitrasejajaran laki-laki dan perempuan diusulkan sebagai ideologi dalam tata dunia baru. 5. Teori sosio–biologis, teori yang menggabungkan faktor biologis dan faktor sosial menyebabkan laki-laki lebih unggul daripada perempuan. Fungsi reproduksi perempuan dianggap sebagai faktor penghambat untuk mengimbangi kekuatan dan peran laki-laki.16 B. Pandangan Ulama Terhadap Gender Pemahaman nilai-nilai agama terhadap gender selama ini masih menjadi sebuah polemik. Persepsi berbeda yang muncul dalam kajian gender, pada akhirnya menjadikan perbedaan pandangan oleh kalangan ulama. Pandangan para ulama ini tentunya tetap berakibat pada sebuah argumentasi yang disesuaikan dengan kondisi keilmuan yang ada dalam kajian gender, di mana masing-masing mempunyai dasar sendiri. Pandangan yang berbeda tersebut setidaknya dilakukan oleh golongan tradisionalis dengan golongan modernis.17 Biasanya secara tradisional dikatakan, seperti yang termuat dalam banyak kitab-kitab fiqih dan tafsir klasik bahwa pembagian kerja laki-laki dan
16 17
Nasarudin Umar, Op. Cit., hlm. 71-72.
Menurut Marzuki Wahid yang membedakan antara pengertian Islam tradisional dengan Islam modernis atau pembaharu Islam hanya karena mengikuti sebagian pemahaman yang berkembang, yang cukup mendominasi wacana keislaman, namun ia juga menyadari bahwa pemahaman ini sesungguhnya telah dibantah sendiri oleh kenyataan sosial yang berkembang dewasa ini. Bagi yang mengkontraskannya, biasa dikembangkan pernyataan bahwa Islam tradisional itu konservatif, sinkretis, dan berbaur dengan takhayul, serta menutup pintu ijtihad rapat-rapat, sedangkan Islam modernis dipahami sebaliknya, yang merupakan suatu gerakan yang mengoreksi (memperbaharui) atas Islam tradisional. Lihat Marzuki Wahid, Post-Tradisionalisme Islam; Gairah Baru Pemikiran Islam di Indonesia, dalam jurnal Tashwirul Afkar, edisi no. 10 tahun 2001, hlm. 23.
24
perempuan disusun atas dasar hirarkis. Sehingga kesan yang muncul dari pemahaman Islam tradisional adalah kuatnya hegemoni kaum pria terhadap kaum wanita.18 Penafsiran tentang adanya hirarki pembagian peran antara laki-laki dan perempuan berarti ada satu yang lebih tinggi. Menurut pemahaman tradisional pada umumnya sama, yaitu kaum laki-laki adalah pemimpin atas perempuan. Argumen ini biasanya berdasarkan pada firman Allah SWT pada al-Qur’an surat An Nisa’ ayat 34:
ﻦ ﺎ ﺃﹶﻧ ﹶﻔﻘﹸﻮﹾﺍ ِﻣﻭِﺑﻤ ﺾ ٍ ﻌ ﺑ ﻋﻠﹶﻰ ﻢ ﻬ ﻀ ﻌ ﺑ ﻪ ﻀ ﹶﻞ ﺍﻟﻠﹼ ﺎ ﹶﻓﺎﺀ ِﺑﻤﻨﺴﻋﻠﹶﻰ ﺍﻟ ﻮ ﹶﻥﺍﻣﺎ ﹸﻝ ﹶﻗﻮﺮﺟ ﺍﻟ {34 :ﻢ …ﺍﻷﻳﺔ }ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ ﺍِﻟ ِﻬﻣﻮ ﹶﺃ Artinya: “Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan) dan mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”. (QS. An-Nisa’: 34) Kata qawwamu pada ayat ini dalam berbagai literatur tafsir berarti pemimpin, pelindung, penanggungjawab, pendidik, pengatur dan lain-lainnya yang semakna.19 Selanjutnya kalangan tradisional mengatakan bahwa kelebihan yang dimiliki laki-laki atas perempuan adalah karena keunggulan akal dan fisiknya. Menurut Ar-Razi dalam tafsir al-Kabir menganggap bahwa kelebihan itu meliputi dua hal, yaitu ilmu pengetahuan (al-‘ilm) dan kemampuan (al-qudrah). Akal dan pengetahuan laki-laki, menurutnya melebihi akal dan pengetahuan perempuan dan bahwa untuk pekerjaan-
18
Faisar Ananda Arfa, Wanita Dalam Konsep Islam Modernis, Jakarta: pustaka firdaus, 2004, hlm. 100. 19
K.M. Ikhsanudin (eds), Fiqh Perempuan; Panduan Pengajaran di Pesantren, Yogyakarta: YKF, 2002, hlm. 68.
25 pekerjaan keras laki-laki lebih sempurna.20 Zamakhsari (9467-538 H), pemikir terkemuka Mu’tazilah berpendapat bahwa kelebihan laki-laki atas perempuan adalah karena akal (al-‘aql), ketegasan (al-hazm), tekadnya yang kuat (al‘azm) kekuatan fisik (al-qudrah).21 Sementara ath-Thabathabai menganggap bahwa kelebihan laki-laki atas perempuan karena memiliki kemampuan berfikir, karena itu melahirkan keberanian, kekuatan dan kemampuan mengatasi berbagai kesulitan. Sementara perempuan lebih sensitive dan emosional.22 Berawal dari tafsiran tersebut di atas, muncullah persepsi bahwa kaum laki-laki mempunyai tugas-tugas besar, seperti sebagai Nabi, ulama dan imam, laki-laki pula yang berperan dalam jihad, adzan, shalat jum’at, khutbah, takbir, persaksian, wali dalam pernikahan anak perempuannya hingga pada masalah cerai dan rujuk. Sebaliknya, perempuan tidak mempunyai otoritas tersebut, kalaupun ada itu hanyalah sebagai second class. Dengan begitu, hierarki dan argumen superioritas laki-laki atas perempuan ada keabsahan teologis. Stereotip perempuan yang melekat adalah emosional, penurut dan penyayang. Inilah sebuah argumen mendasar yang nantinya akan membenarkan peran tradisional perempuan di sektor domestik, yang anehnya justru dianggap sebagai kodrat perempuan.23
20
Ar-Razi, Tafsir al-Kabir, Juz 9-10, Beirut: Dar al-Kitab al-‘Ilmiah, t.th., hlm. 71.
21
Zamakhsari, al-Kasyaf, Juz 1, Beirut: Dar al-Kitab al-‘Ilmiah, t.th., hlm. 495.
22
Ath-Thbathaba’i, Al-Mizan, Juz 4, Beirut: Muasasat al-Ilmiy li al-Matbu’ah, t,th., hlm.
351. 23
Siti Ruhaini Dzuhayain, et. all., Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender dalam Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002, hlm. 40.
26
Dengan asumsi demikian, maka perempuan yang bekerja di sektor publik, karena alasan apapun, dianggap bukan kodratnya. Bahkan seorang penulis Islam, Wahiduddin Khan, sebagaimana dikutip oleh Indah Nata Prawira dan Air Langga Pribadi memberikan argumentasi yang apologetis bahwa otoritas dan keistimewaan laki-laki sebagai pemimpin bagi perempuan adalah anugerah yang diberikan secara alamiah.24 Sehingga bagi perempuan yang memaksakan dirinya memasuki “wilayah laki-laki” maka harus membentuk kepribadian lebih maskulin. Istilah sinis yang sering dipakai “maskulinisasi perempuan” yaitu dengan bersikap lebih aktif, bebas, obyektif dan rasional. Jadi secara tradisional, adanya sifat-sifat keperempuanan memang diterima bahkan dikukuhkan sebagai pembedaan yang signifikan sejalan dengan
hakekat
kemanusiaan.
Sebagai
konsekuensi
terakhir,
maka
dibenarkanlah bahwa pembagian kerja secara seksual antara laki-laki dan perempuan, memang merupakan kodrat bukan buatan manusia melalui konstruksi budaya.25 Gambaran seperti tersebut di ataslah yang sering menjadi target sasaran bagi gerakan kesetaraan gender yang selalu menuduh bahwa Islam memperlakukan kaum perempuan dengan cara yang sangat tidak adil. Tuduhan seperti inilah yang dicoba untuk ditepis oleh para pemikir Islam modern.
24
Indah Nataprawira dan Airlangga Pribadi, Fundamentalisme Islam dan Persoalan Perempuan, dalam Jurnal Perempuan Edisi No. 31, tahun 2003, hlm. 79. 25
Siti Ruhaini Dzuhayatin, et. all., Op. Cit., hlm. 41.
27
Dalam merespon isu tentang gender (kesetaraan antara laki-laki dan perempuan), para pemikir modern biasanya memberikan pemahaman bahwa dalam relasi gender antara laki-laki dan perempuan tidak memuliakan salah satu dari keduanya. Melainkan memuliakan keharmonisan keduanya dalam kesederajatan, bukan hierarki.26 Pemahaman seperti ini bisa terlihat dari model penafsirannya yang berbeda dengan mufassir terdahulu. Misalnya dalam hal kepemimpinan, dalam QS. An-Nisa’ 34, sejumlah pemikir modern berusaha menafsirkan antara lain: 1. Asghar Ali Engineer menafsirkan bahwa qawwamuna dalam surat anNisa’ ayat 34 disebutkan sebagai pengakuan bahwa, dalam realitas sejarah kaum perempuan pada saat itu posisinya sangat rendah dan pekerjaan domestik dianggap sebagai kewajiban. Sementara laki-laki menganggap dirinya unggul karena kekuasaan dan kemampuan mencari dan memberikannya kepada perempuan. Sehingga qawwamuna merupakan pernyataan kontekstual bukan normatif.27 2. Fazlur Rahman berpendapat bahwa laki-laki yang bertanggung jawab atas perempuan disebabkan Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain. Karena laki-laki memberi nafkah dari sebagian hartanya. Hal itu tidak bersifat hakiki melainkan fungsional, artinya jika seorang istri
26
Budhy Munawar Rachman, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004, hlm. 544. 27
Asghar Ali Engineer, The Rights of Women in Islam, terj. Farid Wajidi dan Cici Farkha Assegaf, Hak-hak Perempuan dalam Islam, Yogyakarta: Yayasan Benteng Budaya, 1994, hlm. 62.
28
di bidang ekonomi dapat berdiri sendiri serta memberi sumbangan bagi kepentingan rumah tangganya, maka keunggulan suami pun berkurang.28 3. Amina Wadud Muhsin, yang sejalan dengan Fazlur Rahman menyatakan bahwa qawwamuna yang oleh sebagian besar diidentikkan dengan superioritas laki-laki atas perempuan, tidak dimaksudkan superior secara otomatis melekat pada laki-laki. Menurutnya itu terjadi secara fungsional di mana selama yang bersangkutan memenuhi kriteria al-Qur'an yaitu memiliki kelebihan dan memberikan nafkah.29 Selain dari ketiga pandangan tersebut mengenai kepemimpinan dalam QS. An-Nisa’ ayat 34, ada beberapa tokoh modern lainnya. Di mana dalam pemahamannya memberikan peluang yang sama terhadap perempuan dan laki-laki.30 Menurut pandangan Masdar Farid Mas’udi mengenai relasi gender antara laki-laki dan perempuan bahwa sebenarnya Islam meletakannya dalam kehidupan rumah tangga selaku suami-istri atas dasar prinsip-prinsip sebagai berikut: Pertama, mawaddah dan rahmah, dengan ini maka egoisme yang mengendap pada masing-masing pihak sebagai individu bisa dinetralisir dan berubah menjadi sinergi yang justru akan memberi kekuatan dan memperkokoh tali kehidupan rumah tangga. Kedua; sejalan dengan prinsip kasih sayang adalah kemerdekaan masing-masing pihak untuk memilih pasangannya.
28
Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an, terj. Anas Muhyiddin, Tema-tema Pokok al-Qur’an, Bandung: Pustaka, 1996, hlm. 72. 29
Amina Wadud, Qur’an and Women, terj. Abdullah Ali, Qur’an Menurut Perempuan: Meluruskan Gender dalam Tradisi Tafsir, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2001, hlm. 156-158. 30
Faisar Ananda Arfa, Op. Cit., hlm. 110.
29
Ketiga; saling melengkapi dan melindungi berdasarkan prinsip ini maka kekurangan yang ada pada satu pihak tidak digunakan pihak lain untuk memojokkan dan merendahkan pihak lain melainkan justru mengundangnya untuk melengkapi. Keempat;
mu’asyarah
bi
al-ma’ruf
yaitu
prinsip
saling
memperlakukan satu sama lain dengan santun dan ma’ruf. Di mana prinsip ini berlaku bagi kedua belah pihak. Kelima; prinsip tasyawur, di mana dalam mengambil keputusan menyangkut kehidupan keluarga tidak secara sepihak, melainkan harus berdasarkan aspirasi dan kepentingan bersama. Kelima prinsip tersebut dikemukakan dengan alasan bahwa, Islam datang di tengah-tengah masyarakat yang secara mendasar memandang rendah kaum wanita. Hal ini terjadi karena dua asumsi berbeda tapi saling memperkuat. Pertama, asumsi materialistik masyarakat yang menempatkan kaum wanita pada posisi rendah karena sedikitnya peranan perempuan dalam proses produksi dan ekonomi. Kedua, asumsi teologis yang dianut masyarakat Madinah pada saat itu dipengaruhi oleh ajaran agama yang mereka anut, yaitu perempuan dipandang rendah dibandingkan dengan laki-laki. Oleh karena itu menurutnya, Islam memandang perbedaan jenis kelamin, laki-laki atau perempuan tidak punya pengaruh apa-apa dalam menentukan derajat kemanusiaan seseorang di hadapan Tuhan.31
31
Masdar Farid Mas’udi, dikutip dalam Ibid, hlm. 107-108.
30
Munawir Syadzali juga menyatakan bahwa menurut Islam, kedudukan laki-laki dan perempuan adalah sama tanpa perbedaan yang didasarkan atas gender (Jenis Kelamin).32 C. Sejarah Pergerakan Gender Dalam berbagai literatur kajian tentang gender tidak ditemukan kondisi yang persis sepadan dengan istilah gerakan gender. Akan tetapi, jika yang dimaksud gerakan gender di sini adalah satu gerakan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam hal peran, maka terdapat istilah atau kondisi yang dapat dihubungkan dengan hal tersebut. Apabila dilihat dari latar belakang
gerakan
maka
gerakan
feminisme-lah
yang
tepat
untuk
menggambarkan sejarah pergerakan gender. Secara historis, feminisme merupakan wacana yang masih relatif baru dalam sejarah pemikiran manusia. Suatu gerakan yang bermula dari kesadaran akan subordinasi dan ketertindasan perempuan oleh sistem yang patriarkhis. Dari sinilah muncul kajian tentang perempuan yang kemudian dikenal dengan istilah feminisme. Menurut Michael A Riff, kemunculan feminisme secara formal terjadi dalam dua periode utama, yakni akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 (1870-1920) dan pada pertengahan hingga akhir abad dua puluh (1960-an dan 19700-an).33 Khusus pada periode pertama, kegiatan feminis sangat kuat di Amerika Serikat, di negeri-negeri Eropa di mana kelompok Protestan yang 32 33
Munawir Syadzali, Ijtihad Kemanusiaan, Jakarta: Paramadina, 1997, hlm. 58-59.
Michael A Riff, Kamus Ideologi Politik Modern, terj. Miftahuddin dan Hartian Silawati, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995, hlm. 62.
31
dominan, dan di Inggris serta kekaisarannya, yakni kawasan yang secara ekonomi dan industri lebih maju. Kemudian kawasan tersebut kembali menjadi kawasan yang sangat dipengaruhi feminisme pada tahun 1960-an, seiring dengan maraknya gerakan feminisme di kawasan-kawasan lain di dunia.34 Gagasan para penulis pencerahan merupakan tonggak dasar dari gagasan feminisme. Misalnya, pencerahan Mary Wollstonecraft, yang mencurahkan gagasannya dalam sebuah buku a Vindication of the Rights of Woman (1792) yang menyerang ketergantungan perempuan kepada laki-laki sebagai hasil pengkondisian sosial dan alasan yang digunakan kaum laki-laki untuk membenarkan pengingkaran terhadap hak-hak perempuan. Para pemikir pencerahan tidak hanya menolak dogmatisme Kristen yang dianggap demikian membelenggu dan juga filsafat spekulatif Descrates, Spinoza Leibniz dan Malebranche yang dinilai abstrak. Tetapi mereka juga mengkritik
pemerintahan
yang
semena-mena,
menindas,
yang
tidak
memberikan kebebasan bagi individu. Sehingga zaman pencerahan mendorong orang untuk menghargai rasionalisme, akal, serta kemajuan. Dan sangat menentang dominasi gereja yang dianggap oleh wakil-wakil pencerahan sebagai pembawa kegelapan dan kesedihan yang berakal busuk.35 Inilah salah satu gagasan pembebasan yang kemudian populer dengan istilah feminisme, di mana 34
Feminisme tidak tunggal, beragam, tidak mesti perempuan Barat. Misalnya di Asia: feminisme muncul abad ke-19, feminisme tidak datang sebagai beban Barat dunia ke-3. Di Cina, abad 18 yang memperbincangkan hak perempuan dan pendidikan. Hingga abad 2 masuk ke India, Turki, Mesir, Jepang, Korea, Philipina, Vietnam, Srilangka dan Indonesia yang telah ada perjuangan kaum perempuan. Lihat dalam makalah pelatihan, Op. Cit., hlm. 4. 35
Ahmad Baidowi, Op. Cit., hlm. 34.
32
konsen pada upaya pengangkatan status perempuan agar setara dengan laki-laki dalam bidang politik, sosial, ekonomi, agama dan lain-lain. Perjalanan feminisme mengalami pasang surut hingga mendapat kebangkitannya kembali pada 1960 dan 1970-an. Sejak saat itulah, feminisme menjadi gerakan yang liberal dengan upayanya untuk mendekonstruksi alKitab. Di lingkungan keagamaan, baik di gereja Katolik maupun Protestan, masa itu ditandai dengan pembentukan dan penyebarluasan komunitaskomunitas basis gerejawi beserta wacana yang membenarkan keberadaan mereka. Dalam konteks sosial keagamaan inilah para perempuan di Amerika Latin mulai menghasilkan teologi, yakni teologi pembebasan perempuan. Perkembangan teologi feminis di Eropa tak terlepas dari penerimaan mereka terhadap karya-karya teolog Amerika. Adapun karya-karya teologis yang dihasilkan oleh para perempuan di Amerika Latin ternyata memiliki ciri khasnya sendiri. Pertama, mencerminkan bidang-bidang yang tercakup dalam wacana serta praktek pastoral yang ditujukan kepada perempuan yang diasingkan dari masyarakat. Kedua, menciptakan kesempatan-kesempatan yang cukup bagi para teolog perempuan guna melakukan diskusi secara memadai, seperti mendiskusikan berbagai aspek keimanan yang relevan dengan situasi dan kondisi yang mereka hadapi dengan sudut pandang perempuan. Pembentukan kelompok diskusi merupakan bagian dari perjuangan kaum perempuan untuk meraih pengakuan atas hak mereka untuk mendapatkan hak penuh ke seluruh wilayah pengetahuan.
33
Ketiga, banyaknya kajian-kajian ten tang kitab suci. Di mana kajiannya juga lebih terfokus pada penafsiran kembali seluruh ajaran kitab suci dengan pemahaman yang lebih memihak perempuan, menyingkap keberadaan tokohtokoh perempuan sebagai tindak penyelamatan.36 Banyak tanggapan skeptis mengenai istilah feminisme, seakan ada semacam kekhawatiran bahwa sebutan feminis itu cenderung disamakan dengan kelompok yang menyimpang dari kebenaran dan tidak feminin. Benarkah demikian atau sudah ada deviasi makna feminisme? Beberapa ilmuwan memberikan definisi feminisme, Kamla Bhasin dan Nighat Said Khan sebagaimana dikutip oleh Ahmad Baidowi, berpendapat bahwa feminisme adalah suatu kesadaran akan penindasan dan kekerasan terhadap perempuan dalam masyarakat, di tempat kerja dan dalam rumah tangga serta tindakan sadar oleh perempuan maupun laki-laki untuk mengubah keadaan menjadi lebih baik.37 Dari sini dapat dipahami, barangsiapa yang sadar adanya diskriminasi atas jenis kelamin serta melakukan tindakan untuk menentangnya bisa dikatakan sebagai seorang feminis. Baik dia laki-laki maupun perempuan, oleh karena itu feminis tidak identik dengan perempuan. Persoalan mengenai mengapa kaum perempuan mengalami ketertindasan dan ketidakadilan, hal ini telah memunculkan berbagai aliran dalam feminisme. Pertama, Feminisme Sosialis. Aliran ini mulai berkembang di Jerman dan di Rusia dengan menampilkan beberapa tokohnya, seperti Clara Zetkin 36
Ibid, hlm. 36-37.
37
Ibid, hlm. 39.
34
(1857-1933) dan Rosa Luxemburg (1871-1919). Ideologi Marx-Engels telah dilakukan oleh feminis yang berorientasi sosialisme. Feminisme sosialis adalah gerakan yang berusaha membebaskan perempuan dengan cara melalui perubahan struktur patriarkat. Tujuannya agar kesetaraan gender dapat terwujud. Perwujudan kesetaraan gender adalah salah satu syarat penting dalam menciptakan masyarakat tanpa kelas, egaliter, atau tanpa hierarki horizontal. Feminis sosial melihat kedudukan kaum perempuan identik dengan kaum proletar pada masyarakat kapitalis Barat. Menurut feminis sosialis, mencari akar permasalahan dari perempuan identik dengan proletar dianggap penting. Di situ ia mengaitkan dominasi laki-laki dengan proses kapitalisme. Ternyata ditemukan bahwa kepemilikan materi dapat memberikan kekuasaan kepada seseorang. Pekerjaan domestik yang dilakukan perempuan memang tidak menghasilkan uang atau materi. Oleh karena itu, feminis sosialis memberikan solusi untuk membebaskan perempuan dari penindasan dengan mengajak perempuan agar masuk ke sektor publik. Kedua, Feminisme Radikal. Aliran ini berkembang pesat di AS pada kurun waktu 1960-an dan 1970-an. Aliran ini berpendapat bahwa, ketidakadilan gender bersumber dari perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan. Mereka melihat adanya struktur masyarakat dilandaskan pada hubungan hierarkis berdasarkan jenis kelamin. Laki-laki sebagai suatu kelompok sosial mendominasi kaum perempuan sebagai kategori sosial yang lain. Kaum feminis radikal menanggapi dua konsep yang dianggap penting yaitu, patriarkhi dan seksualitas. Kaum feminis radikal mengacu ke aspek sistemik dari subordinasi
35
perempuan sebagai akibat adanya patriarkhi. Kaum feminis radikal menganggap setiap laki-laki pasti negatif dan menindas, karenanya perlu dijauhi. Antipati terhadap makhluk laki-laki membuat mereka ingin memisahkan diri dari budaya maskulin dan membentuk budaya kelompoknya sendiri. Ketiga, Feminisme Liberal. Aliran ini berkembang di Barat pada abad ke-18 dengan menampilkan beberapa tokohnya, seperti Margaret Fuller (18101850), Harriet Martineu (1902-1876), Angelina Grimke (1792-1873), dan Susan Anthony (1820-1906). Menurut feminis liberal bahwa setiap laki-laki maupun perempuan mempunyai hak mengembangkan kemampuan dan rasionalitasnya secara optimal, tidak ada lembaga atau individu yang membatasi hak itu, sedangkan negara diharapkan hanya untuk menjamin agar hak tersebut terlaksana. Diskriminasi seksual hanyalah pelanggaran hak asasi. Menurutnya untuk mencapai tujuan itu ada dua cara, yaitu: a). Dengan pendekatan psikologis yang membangkitkan kesadaran individu, antara lain melalui
diskusi-diskusi
yang
membicarakan
pengalaman-pengalaman
perempuan pada masyarakat yang dikuasai laki-laki. b). Dengan menuntut pembaruan-pembaruan hukum yang tidak menguntungkan perempuan dan mengubah hukum menjadi peraturan-peraturan baru yang memperlakukan perempuan setara dengan laki-laki. Oleh karena itu, feminisme liberal memfokuskan perjuangan pada perubahan segala undang-undang dan hukum yang dianggap dapat melestarikan institusi keluarga yang patriarki.38
38
Istibsyaroh, Op. Cit., hlm 67-71.
36
Konsep feminisme yang marak di barat pada abad ke-19 dan 20 menjadi model bagi pembebasan perempuan di berbagai negara berpenduduk muslim. Hal ini dipengaruhi oleh arus globalisasi, di mana gagasan demokrasi dan emansipasi barat yang masuk ke dunia Islam memaksa umat Islam untuk menelaah kembali terhadap posisi perempuan yang telah termarginalkan selama berabad-abad. Sejak awal abad ke-20 feminisme mulai dikenal dalam dunia Islam melalui feminis muslim.39 Lewat pemikiran-pemikiran Nashif Bek (Kolumnis Rubrik al-Mar’ah al-Masyriyyah, perempuan Mesir), Sa’d Zaqhloul (Pemimpin Revolusi 1919 di Kairo), Taj Sultanah (Iran), Fatma Aliye (Turki), Zainab Fawwaz (Libanon). Mereka dikenal sebagai feminis awal, yakni perintis-perintis besar dalam menumbuhkan kesadaran atas persoalanpersoalan sensitif gender, termasuk dalam melawan kebudayaan dan ideologi masyarakat yang memarginalkan perempuan. Sebagaimana feminisme pada umumnya, feminisme dalam Islam tidaklah muncul dari pemikiran teoritik dan gerakan tunggal yang berlaku bagi seluruh perempuan di negara Islam. Tetapi, sebagai sebuah konsep dan penanda bagi sebuah aliran feminisme tertentu, feminisme dalam Islam pada awalnya diadopsi dari wilayah luar masyarakat Islam. Sebagian besar dari mereka adalah ciptaan para akademisi dan peneliti feminis muslim yang hidup dan bekerja di barat.40
39
Feminis muslim adalah mereka (orang-orang muslim) yang mempunyai faham dalam memperjuangkan kebebasan wanita dan dominasi kaum pria. Dimana kesetaraan status sosial antara laki-laki dan perempuan menjadi target perjuangan. 40
170.
Haideh Moghissi, Feminisme dan Fundamentalisme Islam, Yogyakarta; LKiS, 2005, hlm
37
Bermula dari para intelektual Mesir yang belajar ke Eropa, wacana feminisme yang marak di Eropa diadopsi oleh mereka setelah pulang dari Eropa untuk kemudian dikembangkan dengan apa yang dikenal dengan istilah “Tahrir al-Mar’ah” (pembebasan perempuan). Gerakan ini cepat berkembang apabila masyarakat semakin menyadari ketertindasan, terutama yang dialami perempuan akibat dari kolonialisme dan modernisme. Namun demikian, feminisme dalam Islam tentu saja tidak menyetujui semua konsep dan pandangan feminis yang berasal dari Barat, khususnya yang ingin menempatkan laki-laki sebagai lawan perempuan. Salah satu persoalan yang mendapatkan prioritas feminisme dalam Islam adalah soal patriarkhi. Dimana dianggap oleh para feminis muslim sebagai asal-usul dari seluruh kecenderungan messoginis. Oleh karena itu feminisme dalam Islam tetap berupaya untuk memperjuangkan hak-hak kesetaraan perempuan dengan laki-laki yang terabaikan dikalangan tradisional konservatif yang menganggap perempuan sebagai sub-ordinat laki-laki. Isu-isu tentang status dan hak-hak perempuan serta sejalan tidaknya dengan aturan-aturan syari’ah Islam, telah menjadi isu sentral dalam perdebatan-perdebatan di kalangan kelompok sekuler dan konservatif di dalam banyak masyarakat Timur Tengah. Sifat pola Timur Tengah yang pada awalnya difokuskan untuk memobilisasi perempuan dalam mendukung gerakan-gerakan nasionalis anti kolonialis merupakan satu-satunya bentuk keterlibatan politik dan publik perempuan yang dikuasai oleh elit laki-laki.
38
Peranan pemerintah dalam mendukung perjuangan perempuan lebih menonjol dalam sejumlah masyarakat Islam daripada dalam masyarakat lainnya. Di Mesir dan Iran, perdebatan-perdebatan tentang hak-hak perempuan diprakarsai oleh para pembaharu laki-laki seperti: Muhammad Abduh dan Qosim Amin tetapi suara-suara lantang perempuan yang menentang tradisitradisi dan praktik-praktik patriarkal juga tidak ketinggalan. Mereka mengkritik penafsiran-penafsiran misoginis terhadap Al-Qur’an, pemalsuan hadits yang berpihak pada laki-laki serta aturan-aturan bias gender lainnya yang dipaksakan kepada perempuan.41 Mengenai sejarah bagaimana gerakan feminis muncul dalam Islam, Ahmad Baidowi menyatakan ada beberapa cara; Pertama, melalui pemberdayaan terhadap kaum perempuan agar mereka sadar posisi. Yang dilakukan melalui pelatihan-pelatihan dan training-training gender, melalui seminar-seminar maupun konsultasi-konsultasi, melalui pembentukan pusat studi gender. Kedua, melalui buku-buku yang ditulis dalam beragam tema, ada yang melalui tema fiqih, sosial, politik, bahkan sastra sekalipun. Ketiga, melakukan kajian historis tentang kesetaraan laki-laki dan perempuan benarbenar sejajar dengan laki-laki dan membuat mereka mencapai tingkat prestasi yang istimewa dalam berbagai bidang. Keempat, melakukan kajian-kajian hadits kritis terhadap teks-teks keagamaan baik Al-Qur’an maupun hadits,
41
Ibid, hlm 172.
39
yang secara literal menampakkan ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan.42 D. Konsep Kesetaraan Gender dalam Perspektif Al-Qur’an Hal mendasar dalam Al-Qur’an tentang konsep kesetaraan gender adalah klaim bahwa manusia antara laki-laki dan perempuan sama-sama diciptakan sebagai hamba.43 Salah satu tujuan penciptaan manusia adalah untuk menyembah kepada Tuhan, sebagaimana disebutkan dalam Q.S alZariyat ayat 56 yang berbunyi:
ﻭ ِﻥﺒﺪﻌ ﻴﺲ ِﺇﻟﱠﺎ ِﻟ ﺍﹾﻟﺈِﻧﻦ ﻭ ﺠ ِ ﺍﹾﻟﺧﹶﻠ ﹾﻘﺖ ﺎﻭﻣ Artinya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahku”. Berdasarkan hal itu, tidak ada alasan perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam kapasitas manusia sebagai hamba. Keduanya mempunyai potensi dan peluang yang sama untuk menjadi hamba yang ideal. Barometer yang digunakan Tuhan dalam menilai tingkat ideal manusia diukur dari aspek ketakwaannya. Oleh karena itu, untuk mencapai derajat muttaqin tidak dikenal adanya perbedaan jenis kelamin, warna kulit, ras, suku bangsa atau etnis tertentu. Ajaran-ajaran yang paling mendasar dalam Al-Qur’an membentuk karakteristik kesetaraan gender dalam Islam dan menggugurkan gagasan perbedaan biologis dan hierarki gender. Gagasan perbedaan biologis dan
42
Ahmad Baidowi, Op. Cit., hlm 47-48.
43
Nasaruddin Umar, Op. Cit., hlm 248.
40
hierarki gender terjadi pada kaum muslim yang membaca patriarki dan ketidaksetaraan gender dalam Al-Qur’an berdasarkan ayat-ayat tertentu maupun perlakuan Al-Qur’an yang berbeda terhadap laki-laki dan perempuan dalam masalah nikah, cerai, aqikah, saksi, serta waris. Berdasarkan ayat-ayat tersebut mereka menyimpulkan bahwa laki-laki dan perempuan bukan saja berbeda secara biologis, tetapi juga tidak setara dan bertolak belakang. Dalam pandangan ini mencerminkan sebuah klaim bahwa prinsip-prinsip maskulin dan feminin juga dibedakan secara ketat dalam Islam. Menurut pembacaan kaum konservatif,44 superioritas laki-laki bersifat alamiah, karena perempuan dianggap tercipta dari atau setelah lakilaki dan untuk kesenangan laki-laki serta bersifat universal maupun sosial. Tuhan dipandang lebih mendahulukan laki-laki dari segi kesempurnaan kecakapan
mental
dan
kebijakan,
serta
kemampuan
penuh
dalam
melaksanakan kewajiban dan mengemban perintah Tuhan. Oleh karena itu laki-laki mempunyai derajat yang lebih tinggi daripada perempuan dan menjadikan mereka sebagai pelindung bagi perempuan. Disisi lain, kaum konservatif menganggap perempuan sebagai makhluk yang menyedihkan. Dimana fungsi seksual dan psikologinya tidak memungkinkannya untuk melakukan pekerjaan atau aktivitas apa pun kecuali melahirkan keturunan. Hal itu terjadi dengan alasan karena perbedaan fungsi dan kapasitas biologis maupun mental menjadi faktor pembeda kedua jenis
44
Yang dimaksud dengan kaum konservatif adalah kaum muslim yang menganut pandangan tentang tertutupnya pintu ijtihad dan yang tidak menghendaki perkembangan baru dalam pengetahuan keagamaan.
41
kelamin antara laki-laki dan perempuan. Sebab alasan itu juga yang menjadi pembenaran terhadap pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin, di mana perempuan harus tunduk kepada laki-laki yang bertanggung jawab menjalankan sistem kehidupan, baik itu suami, ayah, maupun saudara lakilakinya. Bagaimanapun, pembacaan-pembacaan yang bersifat misoginis (membenci perempuan) terhadap Islam semacam itu tidak bersumber dari ajaran Al-Qur’an, melainkan dari upaya para mufasir untuk melegitimasi adat kebiasaan pada zaman mereka dengan merincikannya dalam tafsir kitab suci. Mahmud Syaltut (Syeikh al-Azhar) sebagaimana dikutip oleh Quraish Shihab menjelaskan bahwa manusia antara laki-laki dan perempuan mempunyai tabiat kemanusiaan hampir sama. Allah telah menganugerahkan sesuatu kepada perempuan sebagaimana menganugerahkan sesuatu kepada laki-laki. Keduanya dianugerahi potensi dan kemampuan yang cukup untuk memikul tanggung jawab. Hal ini menjadikan kedua jenis kelamin dapat melaksanakan berbagai aktivitas yang bersifat publik ataupun domestik. Karena itu hukum-hukum syari’at pun meletakkan keduanya dalam satu kerangka. Di satu pihak laki-laki menjual dan membeli, melanggar dan dihukum, menuntut dan menyaksikan, demikian juga pada perempuan, dapat menjual dan membeli, melanggar dan dihukum, maupun menuntut dan menyaksikan.45
45
Quraish Shihab, Membunikan Al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung; Mizan, 1994, hlm 269-270.
42
Ajaran-ajaran yang paling mendasar dalam Al-Qur’an, yang membentuk karakteristik kesetaraan gender dalam Islam terkait dengan asalusul dan karakteristik penciptaan manusia. Ada beberapa perspektif tentang asal-usul manusia sebagai makhluk biologis. Pertama, sebagaimana makhluk biologis lainnya, manusia berasal-usul dari air. Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an, yakni surat Al-Anbiya ayat 30, Al-Qur’an surat Al-An’am ayat 99, dan Al-Qur’an surat An-Nur ayat 45, salah satu bunyi ayat tersebut adalah:
ﺎﺀﺑ ٍﺔ ﻣِﻦ ﻣﺍﻖ ﹸﻛ ﱠﻞ ﺩ ﺧﹶﻠ ﻪ ﺍﻟﱠﻠﻭ Artinya: “Dan Allah telah menciptakan semua jenis hewan dari air”. (Q.S. An-Nur, ayat 45).46 Sebagian ulama berpendapat bahwa awal penciptaan manusia dilakukan di surga yang digambarkan berada di luar planet bumi. Dengan demikian, bagaimana realitas manusia sekarang yang secara indrawi diciptakan di planet bumi. Dalam hal ini Abu al-Qosim al-Balkhi dan Abu Muslim al-Ishfahani sebagaimana dikutip Nasaruddin Umar menjelaskan bahwa surga yang secara harfiah berarti taman tempat manusia diciptakan, tetap di dalam planet bumi.47 dengan alasan tidak tepat diciptakan manusia di dalam surga yang sekaligus merupakan tempat pembalasan segala amal kebajikan. Dari sini terlihat tidak ada persoalan antara laki-laki dan perempuan, karena asal-usul kejadian makhluk biologis secara genetika tidak dibedakan. Laki-laki dan perempuan diciptakan dan berasal dari unsur yang sama. 46
Nasaruddin Umar, Op. Cit., hlm 210.
47
Ibid, hlm.211
43
Kedua, manusia sebagai salah satu jenis makhluk biologis asalusulnya berasal dari tanah. Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an, yakni Q.S. Nuh ayat 17-18, Q.S. Thaha ayat 55, Q.S. Hud ayat 61, Q.S. al-Hajj ayat 5, Q.S. Al-An’am ayat 2, Q.S. Al-Shofat ayat 11, Q.S. Al-Rohman ayat 14, Q.S. Al-Hijr ayat26, Q.S. Al-Mukminun ayat 12, Q.S. Al-Furqon ayat 54, Q.S. An-Nisa ayat 1, Q.S. Al-A’raf ayat 11, Q.S. Al-Hijr ayat 28-29, Q.S. AlInfithar ayat 7-8, dan Q.S. Ath-Thin ayat 4. Salah satu bunyi ayat tersebut adalah:
ﺽ ِ ﺭ ﻦ ﺍ َﻷ ﻣ ﺸﹶﺄﻛﹸﻢ ﻮ ﺃﹶﻧ ﻫ Artinya: “Dia telah menciptakan kalian dari bumi (Tanah)”. (Q.S. Hud ayat 61). Menurut ayat tersebut bahwa manusia sebagaimana halnya makhluk biologis lainnya berasal dari jenis tanah tertentu, bukannya berasal dari air. Namun, tidak berarti manusia tidak termasuk makhluk biologis yang menjadikan air sebagai sumber kehidupan vital. Tanah yang merupakan asalusul kejadian manusia, bertempat di salah satu planet yang mengandung air. Dengan menyebut unsur tanah, maka dengan sendirinya tercakup unsur air di dalamnya. Air sebagai sumber vital dalam kehidupan dijelaskan lebih jelas di dalam proses reproduksi manusia. Jadi tidak terdapat perbedaan secara substansial dan secara struktural antara laki-laki dan perempuan. Dengan demikian, secara alamiah dalam proses keberadaan laki-laki dan perempuan tidak ada perbedaan.48
48
Ibid, hlm 209-218.
44
Menurut Asghar Ali Engineer, ada beberapa alasan untuk menunjukkan bahwa posisi laki-laki dan perempuan dalam agama adalah setara. Al-Qur’an memberikan tempat yang sangat terhormat kepada seluruh manusia baik laki-laki maupun perempuan. Pertama, sebagai masalah norma, Al-Qur’an membela prinsip-prinsip kesetaraan laki-laki dan perempuan. AlQur’an (al-Nisa ayat 23), membenci tradisi masyarakat Arab yang tidak tidak menghargai kelahiran anak perempuan, atau bahkan mengubur mereka hiduphidup (Q.S al-Takwir ayat 9) dan melarang praktik-praktik tersebut. Baik melalui janji pahala bagi yang memperlakukan perempuan dengan baik serta mengancam dengan siksa bagi mereka yang memperlakukan mereka secara tidak adil maupun dengan memberikan hak-hak kepada perempuan yang sebelumnya diabaikan dalam masyarakat jahiliyah. Kedua, banyak ayat alQur’an yang mempertegas kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan, seperti pernyataan bahwa yang membedakan dari setiap individu adalah ketakwaannya (Q.S Al-Hujarat ayat 13), pahala seseorang tergantung pada amal baiknya (Q.S al-Nisa’ ayat 24) dan lain-lain.49 Sedangkan pendapat Ashgar Ali Engineer mengenai kesetaraan status yang merupakan implikasi dari nilai keadilan gender tercermin pada dua hal, yaitu: pertama, dalam pengertiannya yang umum, kesetaraan status berarti penerimaan martabat kedua jenis kelamin (laki-laki dan perempuan) dalam ukuran yang setara. Kedua, laki-laki dan perempuan memiliki hak yang setara
49
Asghar Ali Engineer, The Right of Women in Islam, terj. Farid Wajidi dan Cici Farkha Assegaf, Hak-hak Perempuan dalam Islam, Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1994, hlm. 59.
45
dalam bidang sosial dan politik. Jadi antara keduanya memiliki hak yang setara untuk mengembangkan diri dalam kehidupan.50 Dengan kata lain, Al-Qur’an tidak membedakan perilaku moral dan sosial antara laki-laki dan perempuan. Bahkan Al-Qur’an memberikan pengertian bahwa laki-laki dan perempuan bersumber dari diri yang satu, memiliki sifat-sifat yang sama dan merupakan pasangan bagi yang lainnya. Tema bahwa laki-laki dan perempuan berasal dari diri yang satu dan merupakan pasangan merupakan bagian yang menyeluruh dan diulang-ulang dalam berbagai konteks: “Dan, Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu” (Q.S al-An’am: 98); “Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Dia menciptakan pasangannya, agar dia merasa senang kepadanya” (Q.S Al-A’raf: 189); “Allah menjadikan bagi kamu pasangan dari jenis kamu sendiri” (Q.S An-Nahl: 72); “ Dan di antara tanda-tanda kekuasaan nya adalah Dia menciptakan untukmu pasangan dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya” (Q.S Ar-Ruum: 21); “Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang permpuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal” (Q.S al-Hujarat: 13); “Dia menciptakan berpasang-pasangan laki-laki dan perempuan” (Q.S An-Najm: 45); “Allah menjadikan daripadanya sepasang laki-laki dan perempuan” (Q.S AlQiyamah: 39); “Dan
kami jadikan kamu berpasang-pasangan” (Q.S An-
Nabaa’: 8); “Kamu hamparkan bumi…dan kami tumbuhkan padanya segala
50
Ibid. hlm. 57.
46
macam tanaman setara berpasangan” (Q.S Qaaf: 7); “Dan segala sesuatu Kami jadikan secara berpasangan, supaya kamu mengingat kebesaran Allah: (Q.S Adz-Dzaarriyat: 49). Menurut Al-Qur’an, alasan kesetaraan dan keserupaan kedua jenis kelamin ini menandakan bahwa keduanya diciptakan untuk hidup bersama dalam kerangka saling mencintai dan mengakui satu sama lain.51 Al-Qur’an bukan hanya tidak mendukung pandangan tentang jenis kelamin atau perbedaan gender seperti yang dianut oleh sistem patriarkhi, tapi Al-Qur’an juga memperlakukan perbedaan itu secara berbeda daripada yang dilakukan oleh sistem patriarkhi. Ringkasan Al-Qur’an mengakui adanya perbedaan (distinction) antara laki-laki dan perempuan, tetapi perbedaan tersebut bukanlah pembedaan (discrimination) yang menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lainnya. Sebaliknya, menurut Al-Qur’an perbedaan laki-laki dan perempuan merupakan mitra.52 Laki-laki dan perempuan merupakan mitra sejajar yang saling melengkapi, saling tergantung dan saling membutuhkan. Harkat dan martabat dapat dicapai melalui perjuangan yang gigih dan bersungguh-sungguh baik laki-laki maupun perempuan tanpa tergantung satu sama lain. Dengan sendirinya, Al-Qur’an memberikan pengertian bahwa perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan tidak dimaksudkan untuk membangun hierarki yang didasarkan pada ras, jenis kelamin, kebangsaan, maupun kelas. Karena di mata Tuhan, yang menjadikan ketakwaan sebagai 51
Asma Barlas, Cara Qur’an Membebaskan Perempuan, Jakarta; Serambi Ilmu Semesta, 2003, hlm. 241. 52
Mitra sering digunakan sebagai suatu istilah untuk mencapai tujuan bersama kawan kerja dalam hal mencapai tujuan bersama antara laki-laki dan perempuan.
47
nilai pembeda dan bagi kaum mukmin, perspektif Tuhan ini merupakan satusatunya perspektif yang benar. Jadi satu-satunya fungsi perbedaan menurut Al-Qur’an adalah untuk membedakan antara keimanan dan kekafiran.53 Islam hanya membuat perbedaan antara mereka yang memenuhi tuntutan Tuhan dan mereka yang tidak memenuhinya. Hierarki yang menunjukkan pada perbedaan hanyalah hierarki yang didasarkan pada moralitas bukan pada jenis kelamin, ras atau ekonomi. Dalam kaitan ini keadilan gender meniscayakan kesamaan kepada laki-laki dan perempuan baik dalam hak maupun kewajiban.
53
Asma Barlas, Op. Cit., hlm. 258