BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Pengertian Transformasi Transformasi adalah sebuah proses perubahan secara berangsur-angsur sehingga sampai pada tahap ultimate, perubahan yang dilakukan dengan cara memberi respon terhadap pengaruh unsur eksternal dan internal yang akan mengarahkan perubahan dari bentuk yang sudah dikenal sebelumnya melalui proses menggandakan secara berulang-ulang atau melipatgandakan. Laseau 1980 yang dikutip oleh Sembiring 2006 memberikan kategori Transformasi sebagai berikut: 1. Transformasi bersifat Tipologikal (geometri) bentuk geometri yang berubah dengan komponen pembentuk dan fungsi ruang yang sama. 2. Transformasi bersifat gramatikal hiyasan (ornamental) dilakukan dengan menggeser, memutar, mencerminkan, menjungkirbalikkan, melipat dll. 3. Transformasi bersifat refersal (kebalikan) pembalikan citra pada figur objek yang akan ditransformasi dimana citra objek dirubah menjadi citra sebaliknya. 4. Transformasi bersifat distortion (merancukan) kebebasan perancang dalam beraktifitas. Habraken, 1976 yang dikutip oleh Pakilaran, 2006 (dalam http://www.ar. itb.ac.id/wdp/ diakses pada tanggal 11 November 2013). menguraikan faktorfaktor yang menyebabkan terjadinya transformasi yaitu sebagai berikut:
1
1. Kebutuhan identitas diri (identification) pada dasarnya orang ingin dikenal dan ingin memperkenalkan diri terhadap lingkungan. 2. Perubahan gaya hidup (Life Style) perubahan struktur dalam masyarakat, pengaruh kontak dengan budaya lain dan munculnya penemuan-penemuan baru mengenai manusia dan lingkuangannya. 3. Pengaruh teknologi baru timbulnya perasaan ikut mode, dimana bagian yang masih dapat dipakai secara teknis (belum mencapai umur teknis dipaksa untuk diganti demi mengikuti mode. Bermula
dari
kedatangan
etnis
Jawa
atas
program
pemerintah
(transmigrasi) di desa Koli dapat memberikan peluang besar bagi masyarakat setempat untuk mengenal sitem mata pencaharian, sikap hidup etnis Jawa dan kebudayan Jawa lebih terlihat adalah etos kerja etnis Jawa begitu pula sebaliknya. Melihat kenyataan seperti ini tentu perubahan merupakan sebuah kepastian antara kedua etnis. Dalam hal transformasi etos kerja tentu akan dipengaruhi oleh faktor lain eksternal dan internal. 1.1.1
Proses Transformasi Habraken, 1976 yang dikutip oleh Pakilaran, 2006 (dalam http://www.ar.
itb.ac.id/wdp/ diakses pada tanggal 11 November 2013) menguraikan proses transformasi yaitu sebagai berikut: 1. Perubahan yang terjadi secara perlahan-lahan atau sedikit demi sedikit 2. Tidak dapat diduga kapan dimulainya dan sampai kapan proses itu akan berakhir tergantung dari faktor yang mempengaruhinya 3. Komprehensif dan berkesinambungan
2
4. Perubahan yang terjadi mempunyai keterkaitan erat dengan emosional (sistem nilai) yang ada dalam masyarakat. Proses transformasi mengandung dimensi waktu dan perubahan sosial budaya masyarakat yang menempati yang muncul melalui proses yang panjang yang selalu terkait dengan aktifitas-aktifitas yang terjadi pada saat itu. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa trasformasi tidak dapat diduga kapan dimulai dan kapan akan berakhir begitu juga pada transformasi etos kerja yang nota benenya dikaji pada ruang yang satu dan pada waktu yang panjang. Pada pengertian transmigrasi jelas bahwa transmigran memiliki kebebasan pilihan untuk menentukan pilihan dengan lingkungan barunya. SOSIAL TOPOLOGIKAL
BUDAYA TRANSFORMASI EKONOMI
GRAMATIKAL
POLITIK
REVERSAL DISTORTION
KORIDOR
BENTUK AWAL
FASADE
PROSES
BENTUK SAAT INI
Bagan 1. Proses Transformasi
Dilihat bagan diatas dapat dijelaskan bahwa transformasi adalah suatu perubahan dari satu kondisi (bentuk awal) ke kondisi yang lain (bentuk akhir) dan dapat terjadi secara terus menerus atau berulangkali yang dipengaruhi oleh dimensi waktu yang dapat terjadi secara cepat atau lambat, tidak berhubungan dengan perubahan fisik tetapi juga menyangkut perubahan sosial budaya ekonomi
3
politik masyarakat karena tidak dapat lepas dari proses perubahan baik lingkungan (fisik) maupun manusia (non fisik). 2.2 Pengertian Etos Kerja Etos berasal dari bahasa Yunani (ethos) yang memberikan arti sikap, kepribadian, watak, karakter, serta keyakinan atas sesuatu. Sikap ini tidak saja dimiliki oleh individu, tetapi juga oleh kelompok bahkan masyarakat. Etos dibentuk oleh berbagai kebiasaan, pengaruh budaya, serta sistem nilai yang diyakininya. Dari kata etos ini, dikenal pula kata etika, etiket yang hampir mendekati pada pengertian akhlak atau nilai-nilai yang berkaitan dengan baik buruk (moral), sehingga dalam etos tersebut terkandung gairah atau semangat yang amat kuat untuk menyempurnakan sesuatu secara optimal, lebih baik, dan bahkan berupaya untuk mencapai kualitas kerja yang sesempurna mungkin. Menurut Toto Tasmara, (dalam http://jurnal-sdm.blogspot.com diakses pada tanggal 16 juli 2013) Etos kerja adalah totalitas kepribadian dirinya serta caranya mengekspresikan, memandang, meyakini dan memberikan makna ada sesuatu, yang mendorong dirinya untuk bertindak dan meraih amal yang optimal sehingga pola hubungan antara manusia dengan dirinya dan antara manusia dengan makhluk lainnya dapat terjalin dengan baik. Etos kerja berhubungan dengan beberapa hal penting seperti: a. Orientasi ke masa depan, yaitu segala sesuatu direncanakan dengan baik, baik waktu, kondisi untuk ke depan agar lebih baik dari kemarin. b. Menghargai waktu dengan adanya disiplin waktu merupakan hal yang sangat penting guna efesien dan efektivitas bekerja.
4
c. Tanggung jawab, yaitu memberikan asumsi bahwa pekerjaan yang dilakukan merupakan
sesuatu
yang
harus
dikerjakan
dengan
ketekunan
dan
kesungguhan. d. Hemat dan sederhana, yaitu sesuatu yang berbeda dengan hidup boros, sehingga bagaimana pengeluaran itu bermanfaat untuk kedepan. e. Persaingan sehat, yaitu dengan memacu diri agar pekerjaan yang dilakukan tidak mudah patah semangat dan menambah kreativitas diri. Uraian diatas menjadi cerminan bahwa potret sukses transmigran baik lokal maupun nasional. Etnis Jawa dan etnis Makian mampu keluar dari himpitan ekonomi dan menjadi sebuah perubahan ekonomi yang signifikan kenapa tidak diawal beradaptasi dengan lingkuangan yang baru dapat dikatakan semuanya berangkat dari awal baik sosial, ekonomi, budaya, politik, dan lingkungan. Etos kerja menurut Jansen Sinamo (dalam http://www.tokohindonesia.com diakses pada Rabu, 19 November 2008) adalah seperangkat perilaku kerja, yang berakar pada kesadaran yang kuat, keyakinan yang jelas dan mantap serta komitmen yang teguh pada prinsip, paradigma, dan wawasan kerja yang khas dan spesifik. Sedangkan pengertian etos kerja berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah semangat kerja yang menjadi ciri khas dan keyakinan seseorang atau sesuatu kelompok. Abu Hamid 1991 memberikan pengertian bahwa etos adalah sifat, karakter, kualitas hidup, moral dan gaya estetika serta suasana hati seseorang masyarakat. Kemudian mengatakan bahwa etos berada pada lingkaran etika dan logika yang bertumpuk pada nilai-nilai dalam hubungannya pola-pola tingkah
5
laku dan rencana-rencana manusia. Etos memberi warna dan penilaian terhadap alternatif pilihan kerja, apakah suatu pekerjaan itu dianggap baik, mulia, terpandang, salah dan tidak dibanggakan. Dengan menggunakan kata etos dalam arti yang luas, yaitu pertama sebagaimana sistem tata nilai mental, tanggung jawab dan kewajiban. Akan tetapi perlu dicatat bahwa sikap moral berbeda dengan etos kerja, karena konsep pertama menekankan kewajiban untuk berorientasi pada norma sebagai patokan yang harus diikuti. Sedangkan etos ditekankan pada kehendak otonom atas kesadaran sendiri, walaupun keduanya berhubungan erat dan merupakan sikap mental terhadap sesuatu. Pengertian etos tersebut, menunjukan bahwa antara satu dengan yang lainnya memberikan pengertian yang berbeda namun pada prinsipnya mempunyai tujuan yang sama yakni terkonsentrasi pada sikap dasar manusia, sebagai sesuatu yang lahir dari dalam dirinya yang dipancarkan kedalam hidup dan kehidupannya. Sebagai contoh, peradaban barat dalam perjalanan sejarahnya telah mengalami proses modernisasi serata transformasi sejak awal abad 16, yaitu zaman Rrenaissance dan Humanisme. Suatu periode permulaan proses pembentukan kebudayaan baru dengan pandangan hidup yang lebih kemasa kini dan pandangan dunia yang antroposentris. Keduanya menciptakan lingkungan sosio
kultural
dengan
rasionalisme,
individualisme,
ekspansionisme,
komersialisme dan kapitalisme. Pada saat itulah berbagai gejala intelektual yang membentuk transformasi peradaban barat dari zaman pertengahan ke zaman modern. Muncul dan berkembang. Kekuatan penggerak yang mendasari proses
6
dasyat itu adalah etos yang mengutamakan sifat-sifat manusia yang lazim disebut Vertue, suatu konsep model manusia yang autentik, otonom, penuh semangat kewiraswastaan, ada kemauan untuk berperstasi yang sebaik-baiknya dan semaksimal mungkin, maka disinilah manusia dianggap telah menemukan diri sendiri. Etos kerja yang tinggi biasanya muncul karena berbagai tantangan, harapan-harapan dan kemungkinan-kemungkinan yang menarik. Jadi dengan situasi dimana manusia itu bekerja dengan rajin, teliti, berdedikasi serta tanggung jawab yang besar. Kemunculan etos kerja bagi suatu masyarakat dengan sendirinya merupakan suatu karakter yang menjadi watak masyarakat itu. Etos kerja suatu masyarakat lahir dan berkembang berdasarkan standar norma-norma yang dijadikan orientasi masyarakatnya. Etos kerja suatu masyarakat memang merupakan suatu sikap yang dikehendakinya dengan bebas tumbuh dari suatu kesadaran untuk selalu bekerja dengan tekun. Data menunjukkan bahwa kurang lebih 41 % penduduk Indonesia adalah etnis Jawa. Sehingga mengharuskan untuk bersaing antar sesama maupun etnis lain. Dengan angka demikian sudah menjadi barang tentu etnis Jawa banyak yang hidup diperantauan dengan tetap memegang norma-norma yang berlaku pada etnis Jawa umumnya. Dalam konteks perantauan tentunya penyesuain diri dengan lingkungan menjadi penting yang akan membawa pada sebuah perubahan. Hal yang sama pun akan terjadi pada siapa pun dan kelompok manapun demikian juga etnis Makian. Norma-norma etnis Makian mengacu pada ajaran agama islam dan filosofis (mpe te de monte) “siapa yang tidak bekerja maka tidak makan”.
7
Secara umum tolak ukur atau indikator dari perilaku yang mencerminkan etos kerja adalah yaitu Efisiensi, Kerajinan, Ketrampilan, Sikap, tekun, Tepat waktu, kesederhanaan, kejujuran, sikap mengakui rasio dalam mengambil keputusan dan tindakan, kesedian untuk berubah, sikap bekerja secara energis, sikap bersandar pada kekuatan sendiri, percaya diri, sikap mau bekerja sama, dan kesediaan mau memandang jauh kemas depan. Kerja secara etimologi diartikan (1) sebagai kegiatan melakukan seseuatu, (2) sesuatu yang dilakukan untuk mencari nafkah. Etos kerja menurut Abdullah, adalah “alat dalam pemilihan”. Definisi yang dikemukakan tersebut lebih meletakkan manusia sebagai makhluk Tuhan yang mempunyai keistimewaan tersendiri, diantaranya adalah kemampuan untuk bekerja dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini terkandung pula makna bahwa manusia adalah makhluk yang mempunyai keharusan untuk bekerja dan merupakan hal yang istimewa yang tidak dimiliki oleh makhluk lain. Kerja adalah suatu aktivitas yang menghasilkan suatu karya. Karya yang dimaksud, berupa segala yang dihasilkan untuk memenuhi kebutuhan, dan selalu berusaha menciptakan karya-karya lainnya. Mencermati pengertian tersebut, apabila kedua kata itu yakni etos dan kerja, digabungkan menjadi satu yaitu etos kerja, akan memberikan pengertian lain.
Menurut Abu Hamid, etos kerja adalah sebagai sikap kehendak yang
diperlukan untuk kegiatan tertentu. Etos kerja merupakan; (1) dasar motivasi yang terdapat dalam budaya suatu masyarakat, yang menjadi penggerak batin anggota masyarakat pendukung budaya untuk melakukan suatu kerja. (2) nilai-nilai tertinggi dalam gagasan
8
budaya masyarakat terhadap kerja yang menjadi penggerak bathin masyarakat melakukan kerja. (3) pandangan hidup yang khas dari sesuatu masyarakat terhadap kerja yang dapat mendorong keinginan untuk melakukan pekerjaan. Etos kerja atau semangat kerja yang merupakan karakteristik pribadi atau kelompok masyarakat, yang dipengaruhi oleh orientasi nilai-nilai budaya mereka. Antar etos kerja dan nilai budaya masyarakat sangat sulit dipisahkan. Nilai budaya antara etnis Jawa dengan etnis Makian dalam prespektif etos kerja sama-sama dengan visi yang maju ke masa depan yang labih baik dari hari ini. Etos merupakan kehendak otonomi sebagai ciri khas sikap moral, dalam kaitan kerja, etos berarti sikap kehendak yang dituntut dalam setiap kegiatan tertentu. Jadi etos kerja adalah cara pandang yang diyakini seorang muslim bahwa bekerja itu bukan saja untuk memuliakan dirinya, menampakkan kemanusiaannya, tetapi juga sebagai suatu manifestasi dari amal saleh dan oleh karenanya mempunyai nilai ibadah yang luhur. Untuk menggali makna atau mengetahui definisi dari etos kerja, alangkah baiknya jika kita pun mengkaji makna kata perkata dari etos kerja itu sendiri, guna mendapatkan pemahanan yang lebih mendalam mengenai definisi dari etos kerja. Dalam kamus besar bahasa Indonesia (Em Zul Fazri dan Ratu Aprilia Senja) etos adalah pandangan hidup yang khas dari suatu golongan sosial, sedangkan menurut Clifford Geertz etos menunjukkan pada sifat, watak dan kualitas kehidupan bangsa, moral dan gaya estetis. Etos adalah sikap mendasar terhadap diri bangsa itu dan terhadap dunia yang direfleksikan dalam kehidupan.
9
David C. Mac Clelland mengartikan etos kerja dengan Need of Achierement (N. Ach) yakni virus mental yang mendorong untuk meraih hasil atau prestasi hidup yang lebih baik dari keadaan sebelumnya, atau dengan kata lain: sebuah semangat dan sikap mental yang selalu berpandangan bahwa kehidupan hari ini harus lebih baik dari kehidupan kemarin, dan hari esok harus lebih baik dari hari ini (http://www.psychologymania.com Senin, 06 Mei 2013). Berpijak pada pengertian bahwa etos kerja menggambarkan suatu sikap, maka dapat ditegaskan bahwa etos kerja mengandung makna sebagai aspek evaluatif yang dimiliki oleh individu (kelompok) dalam memberikan penilaian terhadap kegiatan kerja. Mengingat kandungan yang ada dalam pengertian etos kerja, adalah unsur penilaian, maka secara garis besar dalam penilaian itu, dapat digolongkan menjadi dua, yaitu penilaian positif dan negatif. Bertolak dari uraian itu, maka suatu individu atau kelompok masyarakat dapat dikatakan memiliki etos kerja yang tinggi, apabila menunjukkan tanda-tanda sebagai berikut:
1. Mempunyai penilaian yang sangat positif terhadap hasil kerja manusia. 2. Menempatkan pandangan tentang kerja, sebagai suatu hal yang amat luhur bagi eksistensi manusia. 3. Kerja yang dirasakan sebagai aktivitas yang bermakna bagi kehidupan manusia. 4. Kerja dihayati sebagai suatu proses yang membutuhkan ketekunan dan sekaligus sarana yang penting dalam mewujudkan cita-cita,
10
5. Kerja dilakukan sebagai bentuk ibadah.
Manusia adalah mahluk yang unik dibandingkan dengan mahluk lain, manusia memiliki akal untuk berfikir dan memiliki nafsu untuk berubah. tentu dengan melakukan sesuatu untuk masa depan yang cerah merupakan harap bagi semua orang tanpa melupakan syarat-syaratnya yaitu dengan bekerja secara halal, atau sesuai dengan nilai-nilai yang tertanam dalam diri dan kelompoknya.
Sedangkan bagi individu atau kelompok masyarakat, yang dimiliki etos kerja yang rendah, maka akan menunjukkan ciri-ciri yang sebaliknya, yaitu;
1. Kerja dirasakan sebagai suatu hal yang membebani diri, 2. Kurang dan bahkan tidak menghargai hasil kerja manusia, 3. Kerja dipandang sebagai suatu penghambat dalam memperoleh kesenangan, 4. Kerja dilakukan sebagai bentuk keterpaksaan, 5. Kerja dihayati hanya sebagai bentuk rutinitas hidup.
Etos kerja yang dimiliki oleh seseorang atau kelompok masyarakat, akan menjadi sumber motivasi bagi perbuatannya. Apabila dikaitkan dengan situasi kehidupan manusia yang sedang “membangun”, maka etos kerja yang tinggi akan dijadikan sebagai prasyaraat yang mutlak, yang harus ditumbuhkan dalam kehidupan itu. Karena hal itu akan membuka pandangan dan sikap kepada manusianya untuk menilai tinggi terhadap kerja keras dan sungguh-sungguh, sehingga dapat mengikis sikap kerja yang asal-asalan, tidak berorientasi terhadap
11
mutu atau kualitas yang semestinya (http://www.psychologymania.com di akses pada tanggal 16 juli 2013). Kata kerja dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kegiatan melakukan sesuatu, yang dilakukan atau yang sedang diperbuat. Definisi lain menyebutkan bahwa kerja adalah melakukan kegiatan yang direncanakan dengan pemikiran khusus demi pembangunan dunia dan hidup manusia. Kerja merupakan hak istimewa manusia oleh karena itu merupakan keharusan bagi manusia untuk melakukan. Pendefinisian etos kerja kata perkata, dapat kita simpulkan bahwa etos kerja adalah suatu pandangan hidup yang khas yang menggambarkan kualitas hidup suatu golongan atau bangsa dalam upaya khusus guna membangun hidup manusia. Namun tentu pengertian ini belum dapat menjelaskan secara jelas definisi dari etos kerja, maka kiranya kita pun perlu menelaah definisi etos kerja dari berbagai ahli. Etos kerja adalah alat dalam pemilihan. Sehingga dalam pengertian ini maka etos kerja dapat dilihat dari dua segi. Pertama, menyangkut kedudukan kerja dalam hirarki nilai, apakah kerja dianggap sebagai sesuatu yang dilakukan secara terpaksa sebagai pilihan utama atau ibadah. Atau bekerja dianggap sebagai kegiatan rutin yang harus dijalani manusia. Kedua, apakah dalam hirarki itu ada perbedaan dasar memilih dari berbagai jenis pekerjaan yang tersedia. Apakah ada derajat penilaian bahwa pekerjaan yang satu lebih penting dari pekerjaan yang lain.
12
Uraian diatas dalam presepsi etnis Makian dalam konteks transmigrasi berbeda dengan etnis Jawa. Ini dibuktikan dengan anggapan dan kemampuan untuk etnis makian berinovasi dalam mengelolah sesuatu yang kecil dan tidak di anggap manjadi sesatu yang basar. Berbeda dengan etnis Jawa dengan kemampuan berinovasi mampu melahirkan sesuatu yang besar untuk masa depan. Berdasarkan penjelasan diatas maka dapa dijelaskan bahwa etos kerja merupakan suatu watak, sifat, keyakinan maupun pandangan yang positif yang dimiliki oleh sekelompok orang atau golongan dalam melakukan suatu pekerjaan atau pembangunan yang disertai dengan semangat, rasa optimis, serta keuletan untuk mencapai satu tujuan atau meraih kesuksesan melaui usaha yang gigih, yakin, dan tidak mudah berputus asa.
2.3 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Etos Kerja
Etos (etika) kerja tidak lahir atas kesadaran individual namun dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu sebagai berikut:
1. Faktor Agama
Dasar pengkajian kembali makna etos kerja di Eropa diawali oleh buah pikiran Max Weber.Salah satu unsur dasar dari kebudayaan modern, yaitu rasionalitas (rationality) menurut Weber (2006) lahir dari etika Protestan. Pada dasarnya agama merupakan suatu sistem nilai. Sistem nilai ini tentunya akan mempengaruhi atau menentukan pola hidup para penganutnya. Cara berpikir, bersikap dan bertindak seseorang pastilah diwarnai oleh ajaran agama yang
13
dianutnya jika ia sungguh-sungguh dalam kehidupan beragama. Dengan demikian, kalau ajaran agama itu mengandung nilai-nilai yang dapat memacu pembangunan, jelaslah bahwa agama akan turut menentukan jalannya pembangunan atau modernisasi.
Weber memperlihatkan bahwa doktrin predestinasi dalam protestanisme mampu melahirkan etos berpikir rasional, berdisiplin tinggi, bekerja tekun sistematik, berorientasi sukses (material), tidak mengumbar kesenangan-namun hemat dan bersahaja (asketik), dan suka menabung serta berinvestasi, yang akhirnya menjadi titik tolak berkembangnya kapitalisme di dunia modern. Pandangan Weber memang pada spesifikasi protestan namun pada hakikatnya dalam mempertahankan hidup hampir semua orang dalam mempertahankan hidupnya berada pada konsep yang sama.
Sejak Weber menelurkan karya tulis The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (1958), berbagai studi tentang etos kerja berbasis agama sudah banyak dilakukan dengan hasil yang secara umum mengkonfirmasikan adanya korelasi positif antara sebuah sistem kepercayaan tertentu dengan kemajuan ekonomi, kemakmuran, dan modernitas (Sinamo, 2005).
Kalau Weber menjelaskan etos kerja pada prespektif agama Kristen protestan. Tentu pada agama yang dianut oleh etnis Jawa dan etnis Makian pun demikian sebagai penganut agama islam. Islam mengajarkan umatnya untuk bekerja dan mencari sesuatu yang halal demi kelangsungan hidupnya. Sehingga nilai-nilai keislaman pun harus tetap tertanam dalam diri setiap etnis.
14
2. Faktor Budaya
Luthans (2006) mengatakan bahwa sikap mental, tekad, disiplin dan semangat kerja masyarakat juga disebut sebagai etos budaya. Kemudian etos budaya ini secara operasional juga disebut sebagai etos kerja. Kualitas etos kerja ditentukan oleh sistem orientasi nilai budaya masyarakat yang bersangkutan. Masyarakat yang memiliki sistem nilai budaya maju akan memiliki etos kerja yang tinggi. Sebaliknya, masyarakat yang memiliki sistem nilai budaya yang konservatif akan memiliki etos kerja yang rendah, bahkan bisa sama sekali tidak memiliki etos kerja.
Suatu kebudayaan sering memancarkan keluar suatu watak khas tertentu yang tampak. Watak khas itu dalam ilmu antropologi disebut ethos, sering tampak pada gaya tingkah laku warga masyarakatnya, kegemaran-kegemaran mereka, dan berbagai benda budaya hasil karya mereka. Berdasarkan konsep itu, maka seorang Batak misalnya, yang mengamati kebudayaan Jawa, sebagai orang asing yang tidak mengenal kebudayaan orang Jawa dari dalam, dapat mengatakan bahwa watak khas kebudayaan Jawa memancarkan keselarasan, kesuraman, ketenangan berlebih-lebihan, sehingga sering menjadi kelambanan (dalam Koentjaraningrat 2009 : 177).
3. Faktor Sosial politik
Tinggi atau rendahnya etos kerja suatu masyarakat dipengaruhi juga oleh ada atau tidaknya struktur politik yang mendorong masyarakat untuk bekerja
15
keras dan dapat menikmati hasil kerja keras mereka dengan penuh, dalam Siagian (1995). Perubahan ini terjadi akibat dari regulasi yang memberikan tekanan secara emosional soal politik tentu lebih mengutamakan kepentingan sendiri dan kelompok dengan demikian maka lahir gerakan baru untuk kelompok lain membuktikan diri.
4. Faktor Kondisi lingkungan (geografis)
Siagian (1995) juga menemukan adanya indikasi bahwa etos kerja dapat muncul dikarenakan faktor kondisi geografis. Lingkungan alam yang mendukung mempengaruhi manusia yang berada di dalamnya melakukan usaha untuk dapat mengelola dan mengambil manfaat, dan bahkan dapat mengundang pendatang untuk turut mencari penghidupan di lingkungan tersebut.
Keadaan geografis yang sesuai dengan sistem mata pencaharian suatu etnis akan mendorong etos kerja etnis tersebut. Dalam hal ini etnis Jawa dan etnis Makian yang mayorotas petani dan trasmigarasi yang menempatkan tranmigran pada lokasi potensi pertanian seperti di Unit Pemukiman Transmigrasi desa Koli. Dengan keadaan alam seperti ini memberikan peluang besar untuk usaha pertanian bagi etnis Jawa dan etnis Makian. Wilayah dengan dataran rendah dan potensial maka tinggal bagaimana setiap individu mampu mengelolah dan berinovasi sesuai dengan kemampuannya.
16
5. Faktor Pendidikan
Etos kerja tidak dapat dipisahkan dengan kualitas sumber daya manusia. Peningkatan sumber daya manusia akan membuat seseorang mempunyai etos kerja keras. Meningkatnya kualitas penduduk dapat tercapai apabila ada pendidikan yang merata dan bermutu, disertai dengan peningkatan dan perluasan pendidikan, keahlian dan keterampilan, sehingga semakin meningkat pula aktivitas dan produktivitas masyarakat sebagai pelaku ekonomi (Bertens, 1994).
Pendidikan menjadi jargon segala sendi kehidupan. Sehingga masyarakat harus memiliki penguasaan dalam bidang teknologi informasi dalam hal ini harus mampu membaca perkembangan global. Kemampuan untuk membuat satu tahap tentu ia tapi, pada tahap lainnya belum tentu bisa. Baik etnis Makian maupun etnis Jawa secara umum memiliki peranan yang sama di bangsa ini, namun belum tentu bagi individunya yang lain.
6. Faktor Motivasi intrinsik individu
Anoraga (2009) mengatakan bahwa individu memiliki etos kerja yang tinggi adalah individu yang bermotivasi tinggi. Etos kerja merupakan suatu pandangan dan sikap, yang tentunya didasari oleh nilai-nilai yang diyakini seseorang. Keyakinan ini menjadi suatu motivasi kerja, yang mempengaruhi juga etos kerja seseorang.
Menurut Herzberg (dalam Siagian, 1995), motivasi yang sesungguhnya bukan bersumber dari luar diri, tetapi yang tertanam (terinternalisasi) dalam diri
17
sendiri, yang sering disebut dengan motivasi intrinsik. Ia membagi faktor pendorong manusia untuk melakukan kerja ke dalam dua faktor yaitu faktor hygiene dan faktor motivator. Faktor hygiene merupakan faktor dalam kerja yang hanya akan berpengaruh bila ia tidak ada, yang akan menyebabkan ketidakpuasan. Ketidakhadiran faktor ini dapat mencegah timbulnya motivasi, tetapi ia tidak menyebabkan munculnya motivasi. Faktor ini disebut juga faktor ekstrinsik, yang termasuk diantaranya yaitu gaji, status, keamanan kerja, kondisi kerja, kebijaksanaan organisasi, hubungan dengan rekan kerja, dan supervisi. Ketika sebuah organisasi menargetkan kinerja yang lebih tinggi, tentunya organisasi tersebut perlu memastikan terlebih dahulu bahwa faktor hygiene tidak menjadi penghalang dalam upaya menghadirkan motivasi ekstrinsik.
Faktor yang kedua adalah faktor motivator sesungguhnya, yang mana ketiadaannya bukan berarti ketidakpuasan, tetapi kehadirannya menimbulkan rasa puas sebagai manusia. Faktor ini disebut juga faktor intrinsik dalam pekerjaan yang meliputi pencapaian sukses (achievement), pengakuan (recognition), kemungkinan untuk meningkat dalam karier (advancement), tanggungjawab (responsibility), kemungkinan berkembang (growth possibilities), dan pekerjaan itu sendiri (the work itself). Hal-hal ini sangat diperlukan dalam meningkatkan performa kerja dan menggerakkan petani etnis Jawa dan etnis Makian hingga mencapai performa yang tertinggi.
Pada dasarnya ada beberapa penyebab etos kerja masyarakat Indonesia masih sangat rendah, diantaranya banyaknya pekerja yang hanya lulusan SD,
18
SMP dan SLTA yang mutunya kurang dari standar, faktor budaya dan sejarah bangsa Indonesia, serta pemerintah dan kebijakan yang diambil dalam melayani kebutuhan masyarakat masih jauh dari optimum. Selain faktor-faktor tersebut, kondisi alam Indonesia yang sangat subur juga mempengaruhi etos kerja bangsa Indonesia, sehingga apapun yang dibutuhkan tersedia. Masyarakat Indonesia menjadi terbiasa untuk menempatkan segala sesuatunya dengan mudah tanpa banyak usaha. Manusia pribumi dimasa lalu tidak perlu bekerja keras untuk mendapatkan
bahan
makanan
sebab
alam
menyediakannya
sepanjang
tahun.Merupakan suatu kenyataan yang pahit bila melihat kenyataan etos kerja pribumi tertinggal dari bangsa-bangsa lain di dunia. Jika kita melihat ke belakang Indonesia merupakan sebuah negara yang memiliki prestasi cukup baik. Namun sangat disayangkan, di era globalisasi ini justru etos kerja masyarakat Indonesia jauh dari apa yang diharapkan.
2.4 Pengertian Etnis Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia etnis adalah kelompok sosial dalam sistem sosial atau kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan tertentu karena keturunan, adat, agama, dan bahasa. Sementara Menurut Anthony Smith, (dalam http://iskandar berkastasudra.blogspot.com akses pada hari sabtu 19 Januari 2013)
komunitas etnis
adalah suatu konsep yang digunakan untuk menggambarkan sekumpulan manusia yang memiliki nenek moyang yang sama, ingatan sosial yang sama dan beberapa
19
elemen kultural. Elemen-elemen kultural itu adalah keterkaitan dengan tempat tertentu, dan memiliki sejarah yang kurang lebih sama.
Pengertian diatas bisa diartikan bahwa etnis adalah sekumpulan manusia yang memiliki kesamaan ras, adat, agama, bahasa, keturunan dan memiliki sejarah yang sama sehingga mereka memiliki keterikatan sosial sehingga mampu menciptakan sebuah sistem budaya dan mereka terikat didalamnya.
2.5 Transformasi Budaya Transformasi budaya secara teoritis diartikan sebagai suatu proses dialog yang terus menerus antara kebudayaan lokal dengan kebudayaan “donor” sampai pada tahap tertentu membentuk proses sintesa dengan berbagai wujud yang akan melahirkan format akhir budaya yang mantap. Dalam proses dialog, sintesa dan pembentukan format akhir tersebut didahului oleh inkulturasi dan akulturasi Sachari (dalam Esti Ismawati 2012 : 100). Transformasi budaya di Indonesia telah berlangsung atas 3 tahap, (1) dari budaya primitif kearah terbentuknya format terbentuk format kebudayaan Jawa Hindu-Budha, (2) dari kebudayaan Jawa Hindu-Budha kearah format terbentuknya kebudayaan Jawa hindu-Islam (kebudayaan lokal), (3) bertemunya kebudayaan lokal dengan kebudayaan colonial (Portugis, Inggris, Belanda) mengalami schock culture karena berbeda karakteristiknya. Konteks sekarang tentu denganberbagai program pemerintah dan kontalasi polotik yang ada maka tidak mungkin kemudian tidak terjadi hal yang sama dengan tiga poin diatas, antara etnis Jawa dengan etnis Makian dan etnis lain pun serupa.
20
Menurut Soedjamiko (dalam Esti Ismawati 2012 : 102) persoalan utama bagi kita bukanlah menggalakkan pertumbuhan ekonomi melainkan transformasi sosial seluruh masyarakat, yang membawa serta transformasi dalam semua sektor kehidupan masyarakat. Termasuk dalam hal etos kerja tentu menjadi suatu perubahan yang wajar untuk terjadi. Gejala sosial di masyarakat sering terlihat demikian antara persaingan
individu yang satu dengan individu yang lain
dilingkungan yang sama pun terdapat kesamaan (tiruan). Semantara itu, menurut Umar Khayam (dalam Esti Ismawati 2012 : 103) transformasi budaya kita menyangkut dua jalur transformasi besar yang saling berkaitan, yaitu (1) transformasi budaya Indonesia yang menarik budaya etnis ke tataran budaya negara kebangsaan, (2) transformasi status Indonesia yang menggeser ekonomi terbelakang ke tataran budaya industri modern. Poin (1) adalah konsekuensi dari komitmen bangsa Indonesia untuk bersedia bernaung dibawah NKRI. Pada transformasi budaya etnis menjadi budaya kebangsaan tantangan yang dihadapi adalah bagaimana menciptakan kondisi yang sehat dan menguntungkan bagi terciptanya budaya antar nilai-nilai etnis dengan nilai-nilai negara kebangsaan. Nilai-nilai etnis adalah nilai-nilai tradisional yang diwarisi oleh lingkungan etnis dari pemantapan struktur masyarakat yang mendahului mereka. Sementara itu nilai-nilai negara kebangsaan adalah nilai-nilai kontemporer yangn diletakkan oleh persyaratan minimal untuk membangun sosok struktur negara kebangsaan tersebut.
21
2.6 Ekologi budaya Menurut Setiadi (dalam Sujarwa 2010 : 367) menyebutkan, ekologi terdiri dari dua suku kata yunani oicos yang berarti rumah tangga, dan logos yang berarti ilmu. Jadi secara harafiah, kata ekologi berarti ilmu kerumahtanggan. Pengertian ini tentu dalam pengertian yang luas, bahwa rumah tangga sangat membutuhkan perhatian akan lingkungan. Orang tidak sadar membangun rumah tangga secara fisik tetapi juga aspek sosial, geografis, demografis, ekonomi, dan sebagainya. Manusia umumnya lebih suka tinggal di lingkungan yang baik, apakah itu lingkungan sosial, fisik maupun alamnya. Ekologi Budaya adalah sebuah cara pandang memahami persoalan lingkungan hidup dalam perpektif budaya. Atau sebaliknya, bagaimana memahami kebudayaan dalam perspektif lingkungan hidup. Ulang-alik antara lingkungan hidup (ekologi) dan budaya itulah yang menjadi bidang garap Ekologi Budaya, atau disingkat Elbud. Ekologi budaya muncul sebagai hasil kerja Carl Sauer pada geografi dan pemikiran dalam antropologi. Ekologi budaya mempelajari bagaimana manusia beradaptasi dengan lingkungan alamnya. Suatu ciri dalam ekologi budaya adalah perhatian mengenai adaptasi pada dua tataran: pertama sehubungan dengan cara system budaya berdaptasi terhadap lingkungan totalnya, dan kedua sebagai konsep adaptasi sistemik, perhatian terhadap cara institusi-institusi dalam suatu budaya baradaptasi dan saling menyesuaikan diri. Ekolog budaya menyatakan bahwa diperlukannya proses-
22
proses adaptasi akan memungkinkan kita melihat cara kemunculan, pemeliharaan dan transformasi sebagai konfigurasi budaya. Unit adaptasi makhluk manusia meliputi organisme dan lingkungan yang merupakan suatu ekosistem; yaitu system atau kesatuan yang berfungsi, dan terdiri atas lingkungan fisik berikut berbagai organisme yang hidup di dalamnya. Proses adaptasi telah menghasilkan keseimbangan yang dinamis karena manusia sebagai bagian dari salah satu organisme hidup dalam lingkungan fisik tertentu. Melalui kebudayaan yang dimilikinya ia mampu mengembangkan seperangkat system gagasannya, dengan kata lain manusia sebagai salah satu bentuk organisme, melalui system gagasan yang dikembangkan dan dimilikinya, mampu menyesuaikan diri dengan bagian dari ekosistem. Dalam
berdaptasi
dengan
lingkungan,
menurut
Steward
(dalam
http://awan80.blogspot.com di akses pada rabu 03 Juli 2013). Manusia memiliki corak yang khas dan unik, salah satunya adalah, proses perkembangan kebudayaan. Proses perkembangannya di berbagai belahan bumi tidak terlepas antara satu dan lainnya; dan bahkan ada beberapa diantaranya yang tampak sejajar terutama pada system mata pencaharian hidup, system kemasyarakatan dan system religi. Hal ini dikarenakan perkembangan yang sejajar di daerah tertentu. Misalnya pada masyarakat berburu; ada kecenderungan mereka hidup di lingkungan alam yang sulit dengan binatang buruan yang hidup terpencar. Agar ia mendapat binatang buruan, mereka harus benar-benar mengenal lingkungan alam tempat mereka berburu. Untuk itu mereka harus hidup berklompok. Karenanya
23
kalau mereka harus mengambil wanita untuk dikawini, mereka harus membawa gadis itu ke dalam kelompoknya. Apabila dalam suatu lingkungan tertentu jumlah binatang buruan terbatas, ia harus hidup dalam kelompok-kelompok kecil. Sebaliknya jika daerahnya luas dan jumlah binatang hidup dalam kawanan yang besar dan berpidah-pindah berulang menurut musim, maka jumlah anggota kelompok berburu juga besar. Untuk itu mereka harus mengembangkan pola-pola hubungan dengan kerabat wanita isterinya baik berkaitan dengan pola menetap sesudah nikah maupun adat perkawinannya, ataukah sesama anggota ataukah dengan gadis lain di luar kelompoknya. Demikian halnya pada kalangan masyarakat yang telah mengenal system pertanian. Tatkala jumlah penduduk sedikit dan tanah masih sangat luas, mereka harus hidup terpencar dalam desa-desa kecil. Apabila jumlah penduduk semakin banyak maka akan terjadi kekurangan tanah sehingga orang tidak lagi dapat begitu saja meninggalkan ladang mereka yang sudah tidak subur. Orang akan terpaksa mengerjakan bidang tanah untuk kurun waktu yang lama. Dan ini hanya mungkin dilakukan jika ada irigasi dan pemupukan. Pertanian irigasi telah menimbulkan pengelompokan manusia dalam desadesa kecil yang saling berpencar dan semakin lama desa itu menjadi semakin besar. Pertanian menetap membuat orang menolah tanahnya secara intensif karena itu munculah teknologi-teknologi seperti bajak dan pemanfaatan binatang sebagai pengganti tenaga manusia. Akibatnya terbentuklah struktur masyrakat pada
24
bentuk baru, dan akhirnya berkembang pula irigasi untuk mengolah tanah yang tidak subur. Timbullah system irigasi dengan organisasi dan orang-orang mengatur irigasi dan muncul pula pelapisan masyarakat. Mereka yang mengatur irigasi menjadi yang berkuasa sehingga muncullah adapt yang mengatur antara orang yang berkuasa dengan anggota masyarakat. Pada perkembangannya kemudian, semakin lama kehidupan mereka semakin kompleks. Sementara itu di kalangan masyarakat juga terjadi atau muncul berbagai ejnis pekerjaan, demikian dan seterusnya. Untuk itu diperlukan aturan yang mengatur hubungan diantara masyarakat. Demikian ekologi budaya membicarakan interaksi bentuk-bentuk kehidupan dalam suatu ekosistem tertentu dan membahas cara manusia membentuk ekosistem itu sendiri. 2.6 Kerja sama (cooperation) Menurut Esti Ismawati (2012 : 30) kerja sama merupakan bentuk interaksi sosial yang pokok. Benntuk ini dapat di jumpai pada semua kelompok manusia, dimulai dari masa kanak-kanak hingga dewasa. Kerja sama timbul karena orietasi orang perseorangan terhhadap kelompoknya (in Group) atau kelompok lainnya (out group). Kerja sama akan bertambah kuat jika ada ancaman atau bahaya dari luar. Kerja sama ada yang bersifat spontan (spontaneous cooperation), keraja sama langsung (directed cooperation), kerja sama kontrak (contractual cooperation), dan kerja sama tradisional (traditional coorperation). Yang pertama adalah kerja sama yang serta merta, yang kedua merupakan hasil dari perintah atasan atau penguasa, yang ketiga merupakan kerja sama atas dasar tertentu, dan
25
yang keempat merupakan bentuk kerja sama sebagai bagian atau unsur dari sistem sosial, berikut beberapa bentuk kerja sama, yakni sebagai berikut: 1. Kerukunan yang mencakup gotong royong dan tolong menolong. 2. Bargaining, yaitu pelaksanaan perjanjian mengenai pertukaran barang dan jasa antara dua organisasi atau lebih. 3. Kooptasi (cooptation) proses penerimaan unsur baru dalam kepemimpinan atau pelaksanaan politik dalam suatu organisasi untuk menghindari terjadinya kegoncangan dalam stabilitas organisasi tersebut. 4. Koalisi (coalition), yakni kombinasi dari dua organisasi atau lebih yang mempunyai tujuan sama; dan 5. Join-venture yakni kerja sama dalam pengusahaan proyek-proyek tertentu. Berdasarkan uraian diatas maka dengan bekerja sama akan melahirkan satu kombinasi baru antar etnis Jawa dengan Enis Makian karena keduanya akan terkoptasi dengan pengaruh antara satu dengan yang lainnya, lewat berbagai cara misalnya gotong royong, tolong menolong dll.
26