BAB II KAJIAN PUSTAKA, TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. Kajian Pustaka Penelitian “Bahasa dan Kepemimpinan : Pengkhalayakan Wacana Perdana Menteri Dato’ Seri Dr. Mahatir Mohamad”,
oleh Idris Aman,
seorang peneliti dan dosen bergelar doktor, di Pusat Pengajian Bahasa dan Linguistik,
Fakulti Sains Sosial dan Kemanusiaan, Universiti
Kebangsaan Malaysia. Aman meneliti 18 teks pidato dari 21 teks pidato tahunan Mahatir Mohamad yang
disampaikan kepada rakyat
Akademia 65 (Julai) 2004 : 3 – 2005.
Malaysia, dimuat jurnal
Aman menerapkan kerangka
analisis wacana kritis model Norman Fairclough (dimensi sosial, tekstual, dan amalan wacana). Hasil penelitin Aman menunjukkan, pidato dan kepemimpinan Mahatir Mohamad bertujuan untuk mendapatkan sokongan, kepercayaan, dan kesepahman. Aman menghubungkan semua itu dengan keyakinan Mahatir, bahwa yang terpenting dalam politik adalah acceptability (keberterimaan),
baru kemudian intelligence. (kecerdasan). Dalam
penelitian ini, Aman hanya menyimpulkan dari sisi tekstual saja atau level teks saja, padahal
elemen analisis wacana kritis
sendiri sebagaimana disebutkan
Norman Fairclough
Aman berunsurkan
tekstual, dan amalan wacana. 14
dimensi sosial,
David E. Gliem, asisten profesor sejarah di Ecked University, di St. Petersburg Pensylvania
dan
James A. Janack, asisten profesor ilmu
komunikasi, juga peneliti komunikasi politik di Amerika Serikat dan Rusia, menulis hasil penelitian
mengenai
kampanye
kandidat
Presiden
Amerika Serikat Barack Obama. Penelitian kedua asisten profesor itu berjudul Transformational
Leader:
BarackObama.com”.
An
Analysis
of
Text
“A Portrait of a and
Image
on
(Potret Pemimpin Transformasional : Sebuah
Analisis Teks dan Gambar pada BarackObama.com), dimuat di American Communication Journal (Vol 10, Issue 03, Fall 2008). Kedua asisten profesor ini
melakukan penelitian terhadap
teks
pidato dan 20 foto Barack Obama yang dimuat dalam website BarackObama.com. Di sini, Obama diposisikan sebagai pemimpin politik transformasional, sejajar dengan Kennedy.
Martin Luther King dan John F.
Slogan terkenal Obama, “I have a dream”. Dari foto-foto,
disimpulkan bahwa Obama
begitu memperhatikan pendidikan, dekat
dengan militer, hangat dengan masyarakat
“akar rumput”, harmonis
dengan anak dan istri, dengan penggemar yang cukup luas. Kedua asisten profesor itu pun menemukan perpaduan kuat antara teks dan foto dengan tujuan pembangunan citra yang kuat dan hebat. Dengan citra yang kuat dan hebat itu diharapkan tumbuh kepercayaan di kalangan khalayak pemilih.
15
Foto dan teks itu pun dipadukan
bersama untuk menciptakan
hubungan antara Obama dan Martin Luther King, sebuah prototypical pemimpin transformational. Obama digambarkan pula sebagai sosok “layak waris” John F. Kennedy. Website BarackObama.com memang dibuat sebagai bagian dari kampanye kandidat presiden. Oleh karena itu, bisa dipastikan, 100% jadi alat
public relations Obama. Kedua asisten profesor itu pula,
sekaligus, baik disadari maupun tidak disadari, terjebak jadi bagian kampanye atau jadi juru kampanye kandidat presiden Obama dengan kesimpulan-kesimpulan akademisnya.
Website barackObama.com dan
kedua asisten profesor itu terkesan jadi satu paket kampanye
untuk
kemenangan Obama. Bedanya, website barackObama.com menampilkan fakta-fakta, sedangkan kampanye
kedua asisten profesor meneliti teks dan foto
yang kemudian disimpulkan secara akademik, dan sangat
menguntungkan Obama. Riswandi, dosen tetap Universitas Mercu Buana, menulis karya ilmiah, dalam jurnal ilmiah MediaKom, volume 2, nomor 4 – September 2008, dengan judul
“Komunikasi Politik Susilo Bambang
Yudhoyono
Pada Pemilu Legislatif di harian Kompas (Periode 16 Maret – 6 April 2008)”. Tema karya ilmiah Riswandi adalah bidang komunikasi politik, sesuai pula dengan salah satu bidang studi yang diampunya : komunikasi politik. Metode
penelitiannya kualitatif dengan model analisis wacana
kritis Teun A. van Dijk. 16
Hasil penelitian Riswandi menunjukkan bahwa pesan-pesan kandidat Presdien Susilo Bambang Yudhoyono pada kampanye hari-hari pertama lebih bermuatan politik daripada dimensi komunikasinya. Di bagian elemen wacana semantik, Yudhoyono
pesan-pesan politik Susilo Bambang
menonjolkan fakta-fakta
yang menguntungkan dirinya
sebagian calon presiden. Riswandi akhirnya menyimpulkan bahwa Susilo Bambang Yudhoyono meyakinkan. Riswandi
disampaikan
pesan-pesan politik
dengan jelas, tegas, dan
kemudian menilai, bahwa Susilo Bambang
Yudhoyono akan terpilih lagi jadi presiden. Riswandi tidak membedah ideologi atau kepentingan
Kompas di balik pemuatan berita-berita
kampanye politik Susilo Bambang Yudhoyono itu. Analisis wacana kritis itu sendiri lazim bersentuhan dengan ideologi dan kekuasaan. Apa yang ditulis Riswandi hanya sebatas analisis wacana, bukan analisis wacana kritis karena tidak mengungkap ideologi di balik wacana tersebut. Dengan demikian, penelitian Riswandi sesungguhnya adalah analisis wacana, bukan analisis wacana kritis. Eriyanto dalam Sobur (2004 : 61) menempatkan ideologi sebagai konsep sentral dalam analisis wacana yang bersifat kritis. Hal ini, menurut nya, karena teks, percakapan, dan lainnya adalah bentuk dari praktik ideologi atau pencerminan dari ideologi tertentu. Sebuah teks, kata Aart van Zoest dalam Sobur (2004 : 60), tidak pernah lepas dari ideologi.
17
Tabel 1 Daftar Penelitian Terdahulu
Peneliti
Tempat/Kajian Akademis
Bidang Studi
Pendekatan dan Analisis
Simpulan
Idris Aman
Jurnal Akademia 65 (Julai) 3 – 25 Malaysia
Komunikasi politik
Paradigma kritis Kualitatif AWK Norman Fairclough
Wacana Mahatir Mohamad diarahkan untuk memperoleh sokongan, kepercayaan, dan kesepahaman. Mahatir berkeyakinan, bahwa dalam politik, yang terpenting adalah dukungan dulu, lalu kecerdasan.
Aman hanya meneliti teks wacana, tidak memasukkan dimensi sosial. AWK, biasanya menyertakan dimensi sosial
David E. Gliem dan James A. Janack/
American Communication Jurnal Vol. 10 Issue 03 Fall 2008 AS
Komunikasi politik
Paradigma kritis Kualitatif Analisis teks
Teks dan foto calon presiden Amerika Serikat Barack Obama dipadukan sedemikian rupa untuk pembentukan citra positif. Terutama,.Obama diposisikan sebagai pemimpin transpformatif, dengan menghambil Martin Lithe King dan John F. Kennedy sebagai model pemimpin transformatif terdahulu.
Kedua asisten profesor “terjebak” jadi juru kampanye calon presiden.Barack Obama.com menampilkan fakta, Kedua asisten profesor menyimpulkan secara akademik untuk menguntungkan Obama.
Riswandi
Mediakom Vol 2 No. 4 September 2008 Jakarta
Komunikasi politik
Paradigma kritis Kualitatif AWK Teun A. van Dijk
Kampanye politik calon presiden Soesilo Bambang Yudhoyono disampaikan secara jejas, tegas, dan meyakinkan,dengan pengambilan fakta-fakta yang menguntungkan dirinya agar terpilih lagi.
Riswandi tidak meneliti ideologi atau kepentingan Kompas di balik pemuatan pesan-pesan poliitik Soesilo Bambang Yudhoyono. Semua teoritis AWK punya pandangan yang sama tentang penelusuran ada tidaknya ideologi di balik wacana itu.
C.R. Nurdin
Tesis/Jkt.
Komunikasi politik
Paradigma kritis Kualitatifl AWK Teun A. van Dijk
Wacana kandidat presiden dan wakil presiden yang dimuat Kompas dan Republika.
Kritik
-
Sumber : Diolah dari karya ilmiah Idris Aman, David E.Gliem/James A. Janack, Riswandi, dan C.R. Nurdin
18
2.2. Landasan Teori 2.2.1. Ekonomi Politik Media Golding dan Murdoch (dalam Barret, 1995) mengajukan pemetaan ekonomi politik media ke dalam empat bahasan pokok, yakni perkembangan media, perluasan jangkauan koorporasi, komodifikasi, dan perubahan peran atau pengaruh investasi negara dan Pemerintah (Dhani, “The Syllabus & General Perspective”, IBII Jakarta). Dennis
McQuail menyebut teori ekonomi politik media
lebih cenderung terfokus pada perhatian struktur ekonomi daripada ideologi atau isi media.
Menurut teori ini, institusi media harus
dipandang sebagai sistem ekonomi yang juga berkaitan erat dengan sistem politik (Kansong, 2010 : 5) McQuail menunjukkan 10 prinsip yang menunjukkan bahwa media massa sebagai lembaga ekonomi, yakni (a) Media berbeda atas dasar apakah media tersebut mempunyai struktur fixed dan variable cost, (b) Pasar media mempunyai karakter ganda : dibiayai oleh konsumen dan atau oleh para pengiklan, (c) Media yang dibiayai oleh pendapatan iklan lebih rentan atas pengaruh eksternal yang tidak diinginkan, (d) Media yang didasarkan pada pendapatan konsumen rentan krisis keuangan jangka pendek, (e) Perbedaan utama dalam penghasilan media akan menuntut ukuran kinerja media, (f) Kinerja media dalam satu pasar akan berpengaruh pada
19
kinerja di tempat lain (pasar lain), (g) Ketergantungan pada iklan dalam media massa berpengaruh pada masalah homogenitas program media, (h) Iklan dalam media yang khusus akan mendorong keragaman
program
acara,
(i)
Jenis
iklan
tertentu
akan
menguntungkan pada masalah konsentrasi pasar dan khalayak, (j) Persaingan dari sumber pendapatan yang sama akan mengarah pada keseragaman. Sehubungan dengan kepemilikan media massa zaman modern sekarang ini, McQuail menyebut bahwa fenomena media massa modern mempunyai dwikarakter. Dwikarakter yang dimaksud adalah karakter sosial, budaya, politik, dan karakter ekonomi. Bahkan kemudian, faktor ekonomi inilah yang menjadi penentu
prilaku media massa, artinya pula :
media memasuki era baru. Menurut Kansong (2010 : 18), ada empat teori ekonomi politik media, yakni teori libertarianisme, teori kapitalisme, teori sosialisme, dan teori liberalisme modern. Teori libertarianisme menyebutkan bahwa siapa pun
boleh
memiliki media massa, sekaligus mengeruk keuntungan materi dari media massa itu, tetapi harus melalui kompetisi yang sehat. Pemerintah dianggap penting hadir sebagai penyeimbang atau pengontrol agar tidak terjadi kemerdekaan media yang berlebihan.
20
Teori
kapitalisme
menyebutkan
bahwa
Individu
atau
kelompok, swasta atau negara, boleh mengeruk keuntungan sebesar-besarnya melalui kompetisi pasar bebas. Media massa bebas bersaing, promosi besar dan besar-besaran gencar dilakukan, yang ujung-ujungnya dimaksudkan untuk memeroleh keuntungan besar. Teori sosialisme
menyebutkan bahwa Pemerintah
sangat
berperan dalam indusri media. Pemerintah mengontrol harus betul media. Tidak ada persaingan hebat dan ketat antar media massa sebagaimana terjadi di alam libertarianisme atau kapitalisme. Teori liberalisme modern
boleh disebut sebagai gabungan
teori libertarianisme, kapitalisme, dan sosialisme. Semua yang positif dari ketiga teori terdahulu diambil, sehingga lahir teori baru, teori liberalisme modern. Contohnya, televisi berlangganan boleh dimiliki oleh swasta, dan memperoleh keuntungan sebesar-besarnya,
tetapi tetap di
bawah kontrol Pemerintah. Meski begitu, Pemerintah pun berhak menyediakan televisi publik. Di Indonesia, TVRI adalah televisi publik, di bawah lembaga penyiaran publik (LPP). Kansong merumuskan
mengurai definisi
ekonomi
ekonomi 21
dan
media.
media
sebelum
Ekonomi,
menurut
Samuelson dan Nordhaus seperti dikutip Kansong, adalah studi tentang bagaimana manusia menggunakan sumber-sumber yang terbatas untuk memproduksi komoditas dan mendistribusikannya kepada manusia atau kelompok manusia lainnya. Masih menurut
Kansong, media secara umum bisa
didefinisikan sebagai sarana atau perantara atau penyebar dalam suatu proses komunikasi. Melalui media, pesan bisa terdistribusikan kepada khalayak, sekaligus dengan dampak positifnya dan dampak negatifnya. Maka, dalam terminologi ekonomi, media adalah institusi bisnis dengan produksi atau industri utamanya adalah informasi atau berita. Khalayak adalah konsumen informasi atau berita itu. Zaman sekarang ini, malah disebut-sebut bahwa informasi adalah mata uang baru. Inilah beberapa definisi ekonomi media
:
Albarran : “Ekonomi media bisa didefinisikan sebagai studi tentang bagaimana industri media menggunakan sumber-sumber yang terbatas untuk menghasilkan jasa yang didistribusikan kepada konsumen dalam masyarakat untuk memenuhi berbagai keinginan dan kebutuhan
Picard : ”Ekonomi media berkaitan dengan bagaimana industri media mengalokasikan berbagai sumber untuk menghasilkan materi informasi dan hiburan untuk memenuhi kebutuhan audiens, pengiklan, dan institusi sosial lainnya.
22
Maka, berdasarkan kedua definisi tersebut di atas,
bisa
disimpulkan bahwa ekonomi media mempunyai tiga konsep pokok, yakni sumber ekonomi (sumber daya manusia, kamera, video tape, dll.), produksi (proses produksi media cetak, media elektronik, film, rekaman, buku, dll.), dan konsumsi (konsumen atau pasar). Kritikus media, Noam Chomsky mengkhawatirkan adanya gerakan masyarakat kapitalis liberal. Hasil pengamatan Chomsky, bisnis media mulai diatur oleh tokoh-tokoh yang mempunyai senjata dan uang. Akibatnya, sudah bisa ditebak, wartawan dan media massa hanya jadi alat produksi semata. Berita dibuat berdasarkan pesanan pihak yang mempunyai kekuatan politik dan bisnis. Akibat yang paling fatal dari semua itu, media hanya berisi kebohongan-kebohongan untuk membohongi publik. Denis McQuail, dalam Morisson
(2010 : 94 – 95
mengajukan suatu skema yang berlaku umum di semua media, yakni pihak manajemen, profesional media, dan pendukung teknik. McQuail
pun
mengidentifikasikan adanya
enam
jenis
hubungan yang memengaruhi media, yakni (a) hubungan media dengan masyarakat, (b) hubungan dengan pemilik, (c) klien dan pemasok, (d) hubungan dengan kelompok penekan, (e) internal organisasi, dan (f) hubungan media dengan audiens. Bogar dalam Potret Manajemen Media di Indonesia (2010 : 109) menyebut ada lima pengaruh iklan terhadap isi media massa,
23
yakni (a) Pemasang iklan jarang mencoba merayu jurnalis dengan maksud
untuk mengarahkan berita demi kepentingan mereka,
namun lebih sering mereka menekan berita
yang mereka tidak
sukai, (b) Mereka sensitif dengan lingkungan yang akan menerima pesan mereka dan tidak menyukai kontroversi, (c) Ketika pemasang iklan menyerah kepada tekanan, maka media akan melakukan sensor sendiri, (e) Pemasang iklan menentukan isi media ketika mereka menjadi sponsor program siaran, (f) Persaingan di antara media pers menunjukkan bagaimana iklan menentukan hidup. Khusus soal iklan, sering sekali disebutkan sebagai “urat nadi” media massa, baik cetak maupun elektroni. Terutama media massa televisi swasta, iklan jadi “urat nadi” betul karena masukan satu-satunya. Ini berbeda dengaan media massa cetak yang juga ditunjang dengan eceran atau langganan. Kecuali itu, ada televisi berlangganan. 2.2.2. Analisis Wacana Kritis 1.
Definisi Wacana Dalam bahasa sehari-hari, wacana sering sekali
disamakan,
atau
diperbincangkan,
dimaknai pembicaraan
dengan awal,
didiskusikan, dan
lain-lain.
Wacana yang selama ini kita kenal, dan mungkin sering kita
24
gunakan, merupakan terjemahan dari bahasa Inggris discourse. Khusus discourse, menurut Hamad (2004), dengan mengutip pendapat James Pee, ada perbedaan makna antara discourse (dengan huruf /d/ kecil) dan Discourse dengan huruf /D/ besar. Perbedaan penelitian antara huruf besar dan huruf kecil itu menyebabkan adanya perbedaan makna yang jauh berbeda. Bagi Pee, discourse (dengan huruf /d/ kecil) adalah bagaimana bahasa digunakan pada tempatnya untuk memerankan kegiatan, pandangan, dan identitas atas dasar-dasar linguistik. Discourse dengan huruf /D/
besar
yang merangkaikan unsur linguistik
dimaksudkan
pada “discourse”
dengan huruf /d/ kecil bersama-sama untuk non-linguistik (non-language “stuff”). Sehubungan dengan discourse huruf /d/ kecil dan discourse dengan huruf /D/ besar itu, bagi Hamad, tindakan komunikasi senantiasa mengandung kepentingan, apalagi komunikasi itu melalui media massa, baik cetak maupun elektronik. Hamad memandang, bahwa wacana itu tidak bebas nilai. Untuk itu, maka segala tindakan komunikasi adalah Discourse (dengan huruf /D/ besar). Berikut ini, wacana seperti didefinisikan beberapa para ahli:
25
1) Ismail Marahimin (1994): “Kemampuan untuk maju (dalam pembahasan) menurtu urut-urutan yang teratur dan semestinya, “Komunikasi buah pikiran, baik lisan maupun tulisan, yang resmi dan teratur”
2) Henry Guntur Tarigan (1993) : “Istilah wacana dipergunakan untuk mencakup bukan hanya percakapan atau obrolan, tetapi juga pembicaraan di muka umum, tulisan, serta upayaupaya formal seperti laporan ilmiah dan sandiwara atau lakon”
3) Samsuri (dalam Sudjiman, 1993) : “Wacana ialah rekaman kebahasaan yang utuh tentang peristiwa komunikasi, biasanya terdiri atas seperangkat kalimat yang mempunyai hubungan pengertian yang satu dengan yang lain. Komunikasi itu dapat digunakan bahasa lisan, dan dapat pula memakai bahasa lisan” 4) Kleden (1997) : “Ucapan dalam mana seorang pembicara menyampaikan sesuatu tentang sesuatu kepada pendengar” 5) Lull (1998) : “Wacana berarti cara objek atau ide diperbincangkan secara terbuka kepada publik sehingga menimbulkan pemahaman tertentu yang tersebar luas” 6) Junaiyah dan Arifin (2010) Ada tujuh bentuk wacana, yakni wacana berita, wacana hortatory, wacana dramatik, wacana epistoleri, wacana seremonial, wacana doa, dan wacana prosedural. 7) Alex Sobur (2006: 11) “Rangkaian ujar atau rangkaian tindask tutur yang mengungkapkan suatu hal (subjek) yang disajikan secara teratur, sistematis, dalam satu kesatuan yang koheren, dibentuk oleh unsur segmental maupun nonsegmental bahasa”
26
2.
Level Wacana Mill (1994) dengan menyandarkan pada pendapat
Foucault,
membagi-bagi wacana pada tiga macam, yakni
wacana yang dilihat dari level konseptual teoritis, konteks penggunaan, dan metode penjelasan. Berdasakan level konseptual teoritis, wacana diartikan sebagai semua pernyataan, baik teks maupun ujaran yang mempunyai makna dan efek dalam dunia nyata. Wacana konteks penggunaan adalah pemilihan dan pemilahan masalah. Pernyataan atau pidato Presiden, misalnya, bisa terdiri dari beberapa topik, seperti politik, baik luar negeri maupun dalam negeri, ekonomi, pembangunan, agama,
keamanan,
dan
lain-lain.
Wacana
ini
bisa
diidentifikasi. Wacana metode penjelasan adalah upaya untuk menjelaskan atas wacana, ujaran,
atau pernyataan.
Wacana, sesungguhnya, memang tidak hanya kata-kata, tetapi juga terkandung di dalamnya sesuatu maksud atau tujuan tertentu. 3.
Wacana : Bahasa dan Tujuan Umum Pengertian wacana bisa dibagi pada dua sisi yang
berbeda, dari sisi bahasa dan dari sisi tujuan umum. Dari sisi bahasa, wacana bertalian dengan hierarki bahasa, dan
27
struktur kalimat. Dari sisi tujuan, wacana
ditentukan oleh
kebutuhan dasar manusia, yang terdiri dari empat macam kebutuhan dasar yang dipenuhi dalam karang-mengarang (Keraf : 1995): 1) Keinginan untuk memberikan informasi kepada orang lain dan memperoleh informasi dasi orang lain mengenai satu hal. 2) Keinginan untuk meyakinkan seseorang mengenai suatu kebenaran atau suatu hal, dan lebih jauh mempengaruhi sikap dan pendapat orang lain. 3) Keinginan untuk menggambarkan atau menceritakan bagaimana bentuk atau wujud suatu barang atau objek, atau mendeskripsikan cota rasa suatu benda, hal, atau bunyi. 4) Keinginan untuk menceritakan kejadian-kejadian
atau
pada orang lain
peristiwa-peristiwa
yang
terjadi, baik yang dialami sendiri maupun yang didengaranya dari orang lain. Menurut Guy Cok, sebetulnya antara wacana, teks dan konteks tidak bisa dipisahkan karena merupakan satu kesatuan yang utuh. Cok menyebut teks sebagai semua bentuk bahasa, termasuk bahasa ekspresi komunikasi di mana pun. Cok memasukkan pula di sini, musik, gambar,
28
efek, citra, dan lain-lain. Dengan demikian,
bagi Cok,
wacana tidak terbatas pada yang tertulis. Menurut Sobur (2006), titik perhatian dari analisis wacana adalah menggambarkan teks dan konteks secara bersama-sama dalam suatu proses komunikasi. Menurut Junaiyah dan
Arifin (2010 : 104 – 105),
sampai tahun 1950-an, kajian tata bahasa hanya terbatas pada kalimat. Barulah pada tahun 1952, Zellig S. Harris menyatakan
rasa
tidak
puasnya
terhadap
kenyataan
tersebut. Menurut Harris, masih banyak persoalan yang tidak tersentuh oleh gramatika. Kemudian Harris memublikasikan artikelnya, dengan judul “Discouse Analysis”, dimuat majalah Language, Nomor 28 : 1 – 3 dan 474 – 494.. Artikel Harris itu boleh disebut berlawanan
dengan
paham strukturalisme yang ketika itu berkembang di Amerika Serikat, dengan tokohnya Bloomfield.
Boas dan Sapir
pernah mengkaji bahasa yang dihubungkan dengan konteks kebudayaan dan kemasyarakatan. Bloomfield
yang
sangat
strukturalisme tetap berpegang
berpengaruh
pada
pada ajarannya, bahwa
kajian linguistik harus menelaah bentuk isi bahasa, bukan mengkaji
lainnya.
Imbauan
29
Harris
agar
keluar
dari
lingkungan ajaran Bloomfield, akhirnya kurang mendapat perhatian. Di Inggris, Firth (1935) menganjurkan agar para linguis menelaah bahasa percakapan. Dari telaah tersebut, menurut Firth, akan ditemukan pemahaman yang lebih baik dan luas tentang bahasa dan bagaimana bahasa itu beroperasi. Anjuran Firth itu ditanggapi dengan baik, dan lahirlah apa yang disebut analisis percakapan “jual beli”. Mitchhell dalam komunitas Cyrenaica melakukan analisis itu. Dalam penelitian ini, Harris tidak memasukkan konteks sosial secara tegas, tetapi justru Mitchell sengaja memasukkan konteks sosial itu ke dalam analisis wacana. Di Amerika Serikat, muncul pendekatan sosiolinguistik yang dipelopori Dell Hymes, yang antara lain mengkaji komunikasi percakapan dan bentuk sapaan. Kajian ini berkembang, yang kemudian jadi kajian wacana
yang
lebih
luas.
Tahun
1960-an,
kajian
bermunculan, meliputi filsafat bahasa dan etnografi (Austin, 1911-1960 dan Searle), stenografi komunikasi (Gumpetz dan Hymmes),
etnometodologi,
dialektologi,
atau
analisis
percakapan (Havey dan Erving), dan kajian psikolinguistik atau psikologi dan intelegensia artificial (Bartlett).
30
Masih menurut Junaiyah dan Arifin, analisis wacana sendiri sebagai disiplin ilmu dengan metodologi yang jelas dan ekspilsit, baru benar-benar berkembang pada awal tahun 1980-an. Berbagai buku kajian wacana ketika itu terbit, seperti Stubb (1983), Brown dan Yule (1983), dan Teun A. van Dijk (1985). Aliah (2009 : 15) menyebut analisis wacana
lahir
sebagai reaksi terhadap linguistik murni yang tidak bisa mengungkapkan hakikat bahasa secara sempurna. Maka, para pakar analisis wacana
terus berusaha memahami
hakikat bahasa dan hakikat apa yang sesungguhnya ada di balik bahasa. Oleh karena itu, kajian analisis wacana meliputi kajian bahasa secara terpadu, yang termasuk di dalamnya kajian prilaku berbahasa dan belajar bahasa. Aliah (2009 : 15) merumuskan analisis wacana sebagai suatu disiplin ilmu yang berusaha mengkaji penggunaan bahasa yang nyata dalam komunikasi. Stubbs dalam Aliah (2009 : 15) mengatakan bahwa analisis wacana merupakan satu kajian yang meneliti dan menganalisis bahasa yang digunakan secara alamiah, baik lisan maupun tulisan, misalnya pemakaian bahasa dalam komunikasi sehari-hari.
31
Stubbs pun menjelaskan bahwa analisis wacana menekankan kajiannya pada penggunaan bahasa dalam konteks sosial, khususnya dalam penggunaan bahasa antarpenutur. Syamsuddin dalam Aliah (2009 : 15 – 16) mengidentifikasi ciri dan sifat analisis wacana, yakni
(a)
analisis wacana membahas kaidah memakai bahasa di dalam masyarakat (rule of
use – menurut
Widdowson,
1978), (b) analisis wacana merupakan usaha memahami makna tuturan dalam konteks, teks, dan situasi (Firth, 1957), (c) analisis wacana merupakan pemahaman rangkaian tuturan melalui interpretasi semantik (Beller), (d) analisis wacana berkaitan dengan pemahaman bahasa dalam tindak berbahasa (what is said from what is done – menurut Labov, 1970), (e) analisis wacana diarahkan kepada masalah memakai
bahasa secara fungsional
(functional use
language – menurut Coulthard, 1977). Masih dalam Aliah (2009 : 16), ciri analisis wacana
dapat ditambahkan
berdasarkan pendapat para pakar, seperti Merrit, Sclegloff dan Sacls, Fraser, Searle, Richard, Halliday, Hasan, dan Horn. Ciri-ciri analisis wacana, seperti berikut, (a) analisis wacana bersifat interpretative pragmatis, baik bentuk bahasa maupun maksudnya (form and notion), (b) analisis wacana banyak bergantung pada interpretasi terhadap konteks dan
32
pengetahuan yang luas (interpretation of world). (c) semua unsur yang terkandung di dalam wacana dianalisis sebagai suatu rangkaian, (d), wujud bahasa dalam wacana itu lebih jelas karena didukung oleh situasi yang tepat (all material used in real that is actually having occoured in appropriate situational), (e) khusus untuk wacana dialog, kegiatan analisis terutama berkaitan
dengan pertanyaan, jawaban,
kesempatan berbicara, penggalan percakapan, dan lain-lain. Disebutkan pula, untuk menginterpretasikan makna, perlu memperhatikan konteks. Khusus menyangkut teknik analisis wacana, Hamad (dalam Aliah, 2009 : 18), menyebut ada empat teknik analisis wacana, yakni
semiological
analysis, Marxist analysis, psychoanalityc critism, dan sociological. Para tokoh perintis semua ini
adalah
Krippendorff (1980) dan Berger (1982). Hamad merumuskan tujuh langkah penelitian analisis wacana, seperti berikut ini: a. Pilih satu atau serangkaian naskah yang akan dianalisis; misalnya berita tentang “Sengketa Pulau Sipadan-Ligitan” di Kantor Berita “Antara” (Indonesia) (Malaysia)
33
dan
Kantor
Berita
“Bernama”
b. Gunakanlah teori substantif yang dianggap relevan dengan bidang permasalahan penelitian dan tujuan penelitian. Dalam kasus sengketa Pulau Sipadan-Ligitan tersebut mungkin kita akan gunakan teori “national interest”. c. Pakailah teori wacana yang sejalan dengan metode
analisis
wacana
yang
digunakan;
misalnya pada level metode akan digunakan semiotika
sosial,
maka
pada
level
teori
wacananya juga adalah semiotika sosial. d. Pilih paradigma penelitian yang akan digunakan. Perhatikan teori substantif yang digunakan. Jika teori itu merupakan bagian teori kritis, maka pakailah paradigma kritis, dan seterusnya. Karena
teori
“national
interest”
tersebut
termasuk teori-teori positivis, maka paradigma penelitian yang dipakai sebaiknya paradigma positivis. e. Tetapkan tipe analisis wacana apa yang akan digunakan: apakah pada level naskah saja ataukah hendak memakai CDA. f. Jika semuanya telah ditetapkan dan dipandang sudah
cocok
34
(saling
menguatkan,
tidak
bertentangan satu sama lain), bacalah naskah dengan metode analisis wacana dan berikan arti atau maknanya. g. Tafsirkan hasil analisis tersebut dengan teori substansi
(dalam kasus ini teori “national
interest”)
dengan
positivis,
kemudian
cara tarik
berpikir
paradigma
kesimpulan
serta
implikasi hasil analisis wacana tersebut. 4.
Karakteristik Analisis Wacana Kritis Aliah mencatat sembilan tokoh analisis wacana krtisis
(AWK) yang selama ini dikenal,
dalam bukunya, Analisis
Wacana Kritis (2010), yakni Michel Foucolt, Roger Fowler, Robert
Hodge, Gunter Kress, Tony Trew, Theo van
Leeuwen, Sara Mill, Teun A. van Dijk, dan Norman Fairclough.
Aliah (2009 : 61) menyebut lima karakteristik
AWK, yakni (a)
Tindakan.
(b)
konteks, (c) historis, (d)
kekuasaan, dan (e) ideologi (van Dijk, Fairclough, Wodak, dan Eriyanto, 20005 : 8).
Di bawah ini, uraian kelima
karakteristik AWK tersebut: 1) Tindakan Wacana dipahami sebagai tindakan karena apa yang diucapkan atau ditulis itu maksud tertentu. 35
mempunyai
Di samping itu, wacana yang terucap atau tertulis itu sebagai sesuatu yang diekspresikan
secara
sadar dan terkontrol, bukan sesuatu yang tibatiba
diucapkan. Ada dua hal penting di sini.
Pertama, wacana
itu punya tujuan. Kedua,
wacana diekspresikan secara sadar. 2) Konteks Titik perhatian teks dan konteks
AWK adalah menggambarkan secara bersama-sama dalam
suatu proses komunikasi. Produksi wacana bisa dipengaruhi beberapa hal, seperti umur, agama, pendidikan, kelas sosial, etnis, dan lain-lain. Di samping itu, setting waktu pun memengaruhi, seperti di ruang privat atau di ruang publik. 3) Historis Ketika
menganalisis
sesuatu
wacana,
perlu
pula diperhatikan kapan wacana itu terjadi, apa pula latar belakangnya. Sama seperti siapa atau apa latar belakang yang memproduksi wacana, maka situasi ketika itu pun, saat
wacana
diproduksi,
akan
memengaruhi produksi wacana itu.
sangat
Maka, pada
saat dilakukan penelitian, latar belakang historis
36
perlu diketahui untuk memperjelas atau menjawab mengapa wacana itu bisa terjadi. 4) Kekuasaan Wacana tidak dipandang netral, tetapi
ada
pengaruh, baik dari dalam maupun dari luar. Salah satu faktor yang memengaruhi dari luar adalah kekuasaan. Kekuasaan di sini tidak berarti harus penguasa (Pemerintah), tetapi bisa saja seperti
berarti dominasi,
dominasi kekuasaan kaum kulit putih
terhadap kaum kulit hitam, dominasi
kekuasaan
konglomerat terhadap pengusaha kecil, dan lainlain. 5) Ideologi Wacana tidak dianggap netral atau bebas nilai, tetapi diyakini bermuatan ideologi. AWK
ingin
membongkar ideologi yang ada di balik wacana. Membongkar ideologi inilah yang membedakan analis wacana dengan analisis wacana kritis. AWK tanpa ideologi, hanya analisis wacana.. Sesuatu wacana bisa diketahui apakah itu datang dari ideologi
seseorang yang menganut paham
sosialis, kapitalis, feminis, antifeminis, dan lain-
37
lain.
Dalam
Eriyanto
(2001
:
13),
ideologi
merupakan konsep yang sentral dalam analisis wacana yang bersifat kritis. Hal ini karena teks, percakapan, dan lainnya adalah bentuk dari praktik ideologi atau pencerminan dari ideologi tertentu. Hall dalam Eriyanto (2001 : 94 - 95) menyebut ada tiga pembacaan/hubungan antara peneliti dan pembaca teks, dan bagaimana pesan itu dibaca di antara keduanya. Ketiga pembacaan/hubungan itu adalah posisi pembacaan dominan (dominanthegemonic
position),
pembacaan
yang
dinegosiasikan (negotiated code/position), dan pembacaan oposisi (opposition code/position). Mengenai peneliti
tiga pembacaan/hubungan antara
dan pembaca, digambarkan
Eriyanto
sebagai berikut:
Tabel 2 Hubungan Pembuat Teks - Pembaca Teks – Ideologi Pembaca Teks
Dominan Negosiasi Oposisi
Ideologi Pembuat Teks Pembaca Teks + + + Sumber : Eriyanto, ( 2001 : 89)
38
5.
Analisis Wacana Kritis Teun A. van Dijk Dari sebanyak ahli analisis wacana kritis (AWK) itu, Aliah
memandang
bahwa
AWK
yang
diperkenalkan
dan
dikembangkan Teun A. van Dijk paling banyak dipakai, antara lain, karena Teun A. van Dijk mengebolarasi elemen-elemen wacana sehingga bisa didayagunakan dan dipakai secara praktis. Hidayat
dan
Kuswarno
pun
menilai
sama,
seperti
diungkapkanya dalam makalah ilmiahnya “Analisis Wacana Flu Burung (Virus Avian Influenza) di Harian Umum Pikiran Rakyat”. Eriyanto (2001 : 221) menyebut pula bahwa AWK model Teun A. van Dijk paling banyak dipakai. Hal ini kemungkinan karena dia mengelaborasi
elemen-elemen
wacana
sehingga
bisa
didayagunakan dan dipakai secara praktis. Menurut Teun A. van Dijk, penelitian atas wacana tidak cukup
hanya didasarkan pada analisis teks semata, karena teks
hanya hasil dari suatu praktik produksi yang harus juga diamati. Dalam hal ini pula, harus dilihat bagaimana suatu teks diproduksi, sehingga diperoleh pengetahuan kenapa teks bisa semacam itu. (Aliah, 2009 : 86 - 87). Dengan kata lain pula, produksi teks itu tidak berdiri sendiri, tetapi ada faktor-faktor lain yang memengaruhinya, baik faktor internal maupun faktor eksternal. Bungin menulis Teun A. van Dijk sebagai berikut:
39
AWK model
“Adapun salah satu analisis wacana yang dapat
dipakai adalah model yang dikembangkan Teun A. van Dijk. Melalui berbagai karyanya, van Dijk melihat sesuatu wacana terdiri atas bebagai struktur/tingkatan, yang masing-masing bagian saling mendukung. Van Dijk membaginya ke dalam tiga tingkatan (1) Struktur makro, ini merupakan makna global/umum dari suatu teks yang dapat diamati dengan melihat topik dari suatu teks. Tema wacana ini bukan hanya isi, tetapi juga sisi tertentu dari suatu persitiwa, (2) Super struktur adalah kerangka suatu teks, bagaimana struktur dan elemen wacana itu disusun dalam teks secara utuh, dan (3) struktur mikro adalah makna yang dapat diamati dengan menganalisis kata, kalimat, proposisi, anak kalimat, para frase yang dipakai, dan sebagainya” Tabel 3 Struktur Analisis Wacana Kritis Teun A. van Dijk STRUKTUR WACANA
HAL YANG DIAMATI
UNIT ANALISIS
Struktur makro
TEMATIK (Apa yang dikatakan) Elemen : Topik/Tema
Teks
Superstruktur
Struktur mikro
Struktur mikro
Struktur mikro
Struktur mikro
SKEMATIK (Bagaimana pendapat disusun dan dirangkai) Elemen Skema SEMANTIK (Apa arti pendapat yang ingin disampaikan) Elemen : Latar, Detail, Ilustrasi, Maksud, Pengandian, Penalaran SINTAKSIS (Bagaimana pendapat disampaikan?) Elemen : koherensi, Nominalisasi, Abstraksi, Bentuk Kalimat, Kata Ganti
LEKSIKON (Pilihan kata apa yang dipakai?) Elemen : Kata Kunci I(keyword), Pemilihan Kata
RETORIS (Dengan cara apa pendapat disampaikan?) Elemen : Gaya, Interaksi, Ekspresi, Metafora, Visual Image)
Teks
Paragraf
Kalimat proposisi
Kata
Kalimat proposisi
Sumber : Burhan Bungin, (2004)
40
Sobur (2004 : 73 - 74) menguraikan bahwa
struktur
makro (macrostructure) merupakan makna global/umum dari suatu teks yang dapat dipahami dengan melihat topik dari suatu teks. Tema wacana ini bukan hanya isi, tetapi juga sisi tertentu dari suatu peristiwa. Superstruktur (superstructure) adalah kerangka suatu teks : bagaimana
struktur dan
elemen wacana itu disusun dalam teks secara utuh, struktur mikro (microstructure) adalah makna wacana yang dapat diamati dengan menganalisis kata, kalimat, proposisi, anak kalimat, parafrase yang dipakai, dan sebagainya. Unit teknis penelitian data meliputi tiga dimensi, terdiri dari dimensi
teks,
dimensi kognisi sosial, dan dimensi
konteks sosial, sebagai berikut: 1. Dimensti Teks 1) Tematik Sebuah tema, umumnya terdiri dari pendahuluan, isi, penutup dan kesimpulan. proses pengaturan tekstual yang diharapkan pembaca sedemikian sehingga dia dapat
memberikan
perhatian
pada
bagian-bagian
terpenting dari isi teks, yaitu tema. Budiman dalam Sobur (2004 : 75). Tema
dibahasakan
merupakan inti atau unsur 41
lain
sebagai
topik,
yang
terpenting dalam sebuah
wacana. Sebuah tema wacana, umpamanya terdiri dari pendahuluan, isi, kesimpulan, pemecahan masalah, dan penutup. Secara keseluruhan organisasi wacana itu bisa disebut tema atau topik. Teun A. van Dijk memasukkan tema atau topik ini ke dalam struktur makro. Tematik untuk menjawab pertanyaan apa yang dikatakan. 2)
Skematik Wacana yang disusun dengan
penekanan atau
penonjolan sisi tertentu. Dalam berita, pembaca bisa merasakan
cita rasa atau penonjolan berita yang
berbeda, padahal berita-berita itu bersumber dari satu realitas atau fakta yang sama. Skematik ini berhubungan dengan
konstruksi
realitas
oleh
komunikator
(narasumber, wartawan, dll.). Skematik dalam Sobur (2004 : 76) dikatakan,
bahwa struktur skematik
memberikan tekanan : bagian mana yang didahulukan, dan bagian mana yang bisa dikemudiankan sebagai strategi
untuk
menyembunyikan
Upaya
penyembunyian
ini
informasi dilakukan
penting. dengan
menempatkan bagian penting di bagian akhir agar terkesan kurang menonjol. Teun A.van Dijk memasukkan skematik ini ke dalam superstruktur. Skematik untuk mejawab bagaimana pendapat disusun dan dirangkai.
42
3)
Semantik Wacana tidak selalu netral dari kepentingan.
Pembuat wacana yang menyusun strategi wacananya, tidak
saja
mempersiapkan
mana
yang
harus
didahulukan, mana yang harus ditekankan, bahkan mana yang harus diulang-ulang, dan seterusnya. Pembuat wacana bisa menyusun wacananya dengan strategi signing, framing, dan priming (Hamad, 2010 : 45). Semua itu dilakukan pembuat wacana untuk maksud tertentu atau target tertentu. Sobur (2004 : 78) menyebut bahwa semantik tidak hanya mendefinisikan bagian mana yang penting dari struktur wacana, tetapi juga menggiring ke arah sisi tertentu dari suatu peristiwa. AWK sendiri,
yang merupakan oposisi dari
AWD (analisis wacana deskriptif), memandang bahasa tidak semata-mata sebagai kajian
tunggal bahasa,
melainkan juga dihubungkan dengan konteks.
Maka,
dalam hal ini, bahasa dipergunakan untuk tujuan dan praktik tertentu, termasuk di dalamnya praktik kekuasaan (Santoso, 2008 : 11). Teun A. van Dijk memasukkan semantik ke
dalam struktur mikro
Semantik untuk
mengetahui makna yang ingin ditekankan dalam teks berita.
43
4) Sintaksis Dalam studi AWK, bentuk kalimat, penggunaan kata ganti, dan penempatan proposisi, penggunaan kalimat aktif atau kalimat pasif, dan seterusnya, tidak sematamata urusan ilmu bahasa, atau urusan benar tidaknya susunan sebuah kalimat menurut ilmu tata bahasa, melainkan juga soal penentuan makna yang ada dalam susunan kalimat itu. Dalam Sobur (2004 : 83), diuraiakan, kata merupakan alat yang dipakai oleh
ganti
komunikator untuk
menunjukkan di mana posisi seseorang dalam wacana. Dalam
menggunakan
sikapnya,
seseorang
dapat
menggunakan kata ganti “saya” atau ”kami” yang menggambarkan bahwa sikap tersebut merupakan sikap resmi komunikator semata-mata. Tetapi, ketika memakai kata ganti “kita”, menjadikan sikap tersebut sebagai representasi darisikap bersama dalam
suatu
komunitas
tertentu.
Sintaksis
untuk
menegtahui bagaimana pendapat disampaikan. 5)
Stilistik : Sudjiman dalam Sobur (2004 : 82)
menyebut
stilistik sebagai gaya bahasa. Sesuai dengan asal kata stilistik itu, style, bahasa Inggris, yang berarti gaya.
44
Semua
bahasa
mempunyai
tata
bahasa,
juga
mempunyai gaya bahasa. Secara kelembagaan, media massa cetak mempunyai gaya bahasa masing-masing. Gaya bahasa jurnalistik Pos Kota akan berbeda dengan gaya bahasa jurnalistik Kompas ketika menyajikan realitas. Secara individual, seseorang bisa diidentifikasi pula gaya bahasanya.
Untuk sekadar contoh, gaya
bahasa Goenawan Mohamad, gaya bahasa Jalaluddin Rakhmat, atau gaya bahasa Mohammad Sobari, bisa dirasakan perbedaannya. Presiden pun sama. Dalam pidato, atau ketika menjawab pertanyaan wartawan, masing-masing, mempunyai gaya bahasa yang berbeda, meski sama menggunakan bahasa Indonesia. Teun A. van Dijk memasukkan stilistik ke dalam strutur mikro. Stilistik untuk mengetahui pilihan kata yang dipakai. 6)
Retoris Dalam Sobur (2004 : 84), Level retoris dapat dibagi
ke dalam empat bentuk, yakni style (gaya), interaksi, ekepresi, dan visual image. Bentuk style diwujdukan bagaimana
seseorang
ketika
menggunakan
gaya
bahasa, baik lisan maupun tulisan, seperti gaya bahasa repetisi (pengulangan), gaya bahasa aliterasi (bersajak), atau hiperbolik (penggunaan kata secara berlebihan).
45
Bentuk
interaksi
adalah
penempatan
komunikator
sendiri
di tengah-tengah khalayak ketika berpidato
misalnya. Penyampaian pidato secara formal, informal, atau malah lebih banyak dialog, termasuk bentuk interaksi. Bentuk ekspresi dalam wacana tertulis bisa
berupa foto,
gambar, atau tabel, skema, dan lain-lain. Dengan
bentuk-bentuk
mengekpesikan
ini,
komunikator
pesan-pesannya,
penonjolan-penonjolan
dan
bisa
menyakinkan
menghilangkan
bagian-
bagian tertentu. Visual image adalah penggambaran total, penyusunan kesan secara menyeluruh dengan mengangkat
citra satu pihak dan merendahkan citra
pihak lain. Teun A. van Dijk memasukkan retoris ke dalam struktur makro. Retoris untuk mengetahui bagaimana dan dengan cara apa penekanan diakukan. 2.
Dimensi Kognisi Sosial
Teks
atau
wacana
diproduksi,
tidak
lepas
dari
individu/kelompok peneliti teks atau wacana itu. Teun A. van Dijk
meneliti kognisi sosial atas kesadaran wartawan saat
menulis teks atau wacana.
46
Teun A. van Dijk melakukan pendekatan ini dengan asumsi bahwa wartawan peneliti teks atau wacana itu tidak bebas makna. Ada dua hal di sini yang perlu diperhatikan sehubungan dengan wartawan saat menulis teks atau wacana. Pertama, wartawan memahami teks yang akan ditulis. Kedua, wartawan menggunakan bahasa. Teun A. van Dijk menggambarkan analisis kognisi sosial wartawan, seperti digambarkan Suwarno (2007), sebagai berikut: Tabel 4 Skema Kognisi Sosial Teun A. van Dijk Skema person (person schemas)
Skema diri (self schemas)
Skema peristiwa (event schemas)
Skema ini menggambarkan bagaimana seseorang menggambarkan dan memandang orang lain Skema ini berhubungan dengan bagaiman seseorang memandang dan menggambarkan peranan dan posisi yang ditempati seseorang dalam masyarakat. Pandangan ini akan mempengaruhi pemberitaan suatu peristiwa. Skema ini barangkali yang paling banyak digunakan wartawan Sumber : Suwarno, (2007)
Selain model seperti disebut di atas, ada elemen lain yang tidak kalah penting, yakni memori.
Schlessinger dan
Groves (dalam Jalaluddin Rakhmat, 2004 : 62), mendefinisikan memori sebagai
sistem yang sangat terstruktur
yang
menyebabkan organism sanggup merekam fakta tentang pengolahan informasi.
47
Memori dikenal
ada dua jenis, yakni memori jangka
pendek (short term memory) dan memori jangka panjang (long term memory) . Memori jangka panjang ini
terdiri dari dua
bagian, memori episodik (episodic memory) yakni memori yang berhubungan dengan diri kita sendiri
dan memori semantik
(semantic memory) yang berhubungan dengan penggunaan pengetahuan mengenai realitas. (Suwarno : 2007). Kognisi sosial Teun A. van Dijk lebih mempertimbangkan pada memori jangka panjang. Dalam mengalisis dengan wartawan,
kognisi sosial yang berhubungan
Teun A. van Dijk
merumuskan tiga
pertanyaan penting, (a) bagaimana wartawan mendengar dan membaca peristiwa, (b) bagaimana wartawan memahami, memaknai, dan menampilkan peristiwa, dan (c)
bagaimana
wartawan memproses, menyeleksi, dan menyimpulkan seluruh peristiwa. Selanjutnya, Teun A. van Dijk menjelaskan empat strategi besar dalam melakukan analisis kognisi sosial, yakni (a) seleksi (wartawan menyeleksi peristiwa untuk ditampilkan dalam berita), (b) reproduksi (pemilihan informasi untuk digandakan, disalin, atau tidak digunakan sama sekali), (c) penyimpulan
(penampilan
realitas
secara
ringkas
yang
menggambarkan realitas/peristiwa secara keseluruhan), dan (d)
48
transformasi lokal (penampilan peristiwa yang dengan
penambahan
(addition)
atau
sudah diolah
perubahan
urutan
(permutation). (Kuswarno : 2007). Dalam dimensi kognisi sosial,
peneliti mengumpulkan
data untuk mengetahui proses produksi wacana debat kandidat presiden dan wakil presiden, dari realitas di lapangan sampai jadi berita di media massa cetak dan akhirnya sampai kepada pembaca, yang dalam hal ini Kompas dan Republika. Baik Kompas maupun Republika mempunyai manajemen yang baku dan profesional, sehingga secara teknis tidak mungkin ada berita yang lolos tanpa pemeriksaan dari jajaran redaksi. Struktur redaksi Kompas lebih banyak dari Republika karena
memang Kompas lebih beragam
isinya dan lebih
banyak halamannya. 3.
Dimensi Konteks Sosial Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam
dimensi konteks sosial, yakni kekuasaan dan akses. Teun A. van Dijk dan Michel Foucault berbeda pendapat mengenai kekuasaan. Bagi Foucault, kekuasaan tidak dimaknai dalam arti kepemilikan, sedangkan Teun A. van Dijk memaknainya sebagai kepemilikan.
Bagi Teun A. van Dijk, kekuasaan ini
dimiliki oleh suatu kelompok yang mampu menguasai atau mengontrol kelompok yang lain.
49
Akses, bagi Teun A. van Dijk, didominasi oleh kelompokkelompok
elit
yang
kemudian
bisa
menguasai
atau
mengendalikan kelompok lain. Jika
dikaitkan
dengan
media
massa
cetak,
maka
kekuasaan modal, kekuasaan politik, atau kekuasaan ideologi bisa mengontrol atau bahkan mengendalikan media massa. Kelompok-kelompok yang mempunyai akses tersebut berhasil menguasai atau mengendalikan media massa, sesuai dengan
kepentingannya,
lalu
masyarakat
yang
tidak
mempunyai akses kekuasaan akan berperan ikut menyebaran wacana yang sebelumnya telah digariskan oleh kelompokkelompok yang memiliki kekuasaan tersebut. Oleh karena itu, penting sekali memahami dimensi konteks sosial, karena analisis wacana kritis bukan teks
semata,
melainkan juga dimensi kognisi sosial dan dimensi konteks sosial. Dalam dimensi konteks sosial ini, peneliti menganalisis pula sikap masyarakat terhadap wacana debat kandidat presiden dan wakil presiden melalui surat pembaca di Kompas dan di Republika. Para ahli pun berdebat soal debat kandidat. Masyarakat banyak yang terlibat dalam wacana debat kandidat itu, seperti dengan mengirim surat ke media massa cetak.
50
Sekurang-kurangnya, ada dua bentuk model diagram analisis wacana kritis Teun A. Van Dijk, yakni model dengan bentuk bulat dan model dengan bentuk segiempat. Dua skema analisis wacana kritis model Teun A. van Dijk, seperti berikut:
Skema 1 Model Analisis Wacan Kritis Teun A. van Dijk dalam Bentuk Bulat
Kognisi sosial Konteks sosial
Teks
Sumber : Hidayat dan Kuswarno (2007)
Skema 2 Model Analisis Wacana Kritis Teun A. van Dijk dalam Bentuk Segiempat
Teks Kognisi sosial
Konteks sosial
Sumber : Aliah (2009) 51
2.3. Kerangka Pemikiran Apa yang dilihat dan didengar manusia mengendap dalam pikirannya. Informasi yang diterima pun tersimpan dalam memori. Pengalaman
yang dilihat atau didengar pun sama tersimpan dalam
memorinya. Manusia
mengungkapkan lagi apa yang pernah dilihat atau
didengarnya itu, baik dengan lisan maupun dengan tulisan. Pada saat mengungkapkan kembali pengalamannya itu, manusia menciptakan realitas baru, berdasarkan
hakikatnya
realitas pertama yang dialami
manusia itu, dan dipengaruhi oleh faktor-faktor internal atau faktor-faktor eksternal. Menurut
Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, manusia
menciptakan realitas sosial dari berbagai informasi yang didapat terusmenerus kemudian diproses berdasarkan faktor-faktor internal (subjektif) dan faktor-faktor eksternal (objektif). Ada tiga teori yang berhubungan dengan konstruksi realitas, yakni teori fakta sosial, teori definisi sosial, dan teori konstruksi sosial. Teori fakta sosial
menyebutkan bahwa
lingkungannya.
tindakan manusia ditentukan oleh
Dalam teori ini, manusia pasif, dan lingkungannyalah
yang aktif sehingga mampu memengaruhi manusia itu sendiri. Teori fakta sosial menafikan individu. Teori definisi sosial malah sebaliknya dari teori fakta sosial.
52
Menurut teori ini, justru manusialah yang menciptakan atau membentuk prilaku sosialnya.
Teori definisi sosial justru menonjolkan
indvidu. Teori ketiga adalah teori konstruksi sosial. Teori ini merupakan gabungan teori fakta sosial dan teori defenisi sosial, dengan tokohnya Peter L. Berger dan Thomas Luckmann. Teori yang diciptakan dan dikembangkan oleh kedua tokoh di atas menyebutkan bahwa realitas mempunyai dimensi subjektif dan dimensi objektif. Dalam dimensi
subjektif, manusia menciptakan realitas yang
objektif, tetapi penciptaannya tidak lepas pula dari proses eksternalisasi. Maka, dalam hal ini, akhirnya manusia adalah produk masyarakat, dan lingkungan (masyarakat) adalah produk manusia. Keduanya berproses secara dialektis, tesis, antitesis, dan sintesis. Menurut John Fiske, ada tiga proses yang dilakukan pembuat teks media ketika menampilkan peristiwa atau gagasan, yakni proses peristiwa yang ditandakan sebagai realitas, proses peristiwa ketika memandang sesuatu sebagai realitas pertanyaan, dan bagaimana peristiwa tersebut diorganisasikan ke dalam konvensi-konvensi yang diterima secara ideologis. John Fiske sendiri, dalam Hamad (2004 : 13), membahas ilmu komunikasi bukan lagi sekadar menyampaikan pesan kepada penerima (proses transmisi), melainkan pula menciptakan makna (generation meaning).
53
Menurut Hamad (2004 : 11), pekerja media adalah menceritakan peristiwa-peristiwa,
maka
kesibukan
utama
adalah
merekonstruksi
berbagai realitas yag akan disiarkan. Pekerja media menyusun realitas sehingga jadi wacana yang bermakna.
Hamad menyimpulkan bahwa
seluruh isi media tidak lain adalah realitas yang telah dikonstruksikan (constructed reality) dalam bentuk wacana yang bermakna.
Hamad
membuat skema seperti berikut: Skema 3 Model Konstruksi Realitas Melalui Media
Faktor internal
Proses konstruksi realitas oleh konstuktor
Discourse dalam media : (dengan strategi signing, framing, dan priming
Efek di tengah khalayak
Faktor eksternal
Sumber : Ibnu Hamad (2010) Bungin
(208
:
212),
sehubungan
dengan
realitas
yang
dikonstruksikan media massa, menyebut ada dua model konstruksi, yakni model peta analog dan model refleksi realitas. Model peta analog adalah model di mana sebuah model analogi terjadi secara rasional.
54
sebagaimana suatu realitas itu
Di bagian lain, Bungin (2004) menyebut realitas peta analog adalah konstruksi realitas yang dibangun berdasarkan konstruksi sosial media massa, seperti sebuah analogi kejadian yang seharusnya terjadi, bersifat rasional, dan dramatis. Model refleksi realitas, yaitu model yang merefleksikan
kehidupan yang terjadi
dengan merefleksikan suatu
kehidupan yang pernah terjadi di dalam masyarakat. Di lapangan, pada saat kali pertama wartawan memperoleh fakta atau realitas yang terjadi, lalu ditulis atau dilaporkan dengan berpedoman pada kaidah-kaidah jurnalistik dan kode etik jurnalistik. Bungin membuat skema seperti berikut: Skema 4 Proses Konstruksi Sosial Media Massa Proses Sosial Simultan
Eksternalisasi
Objektivasi
Internalisasi
Source
Massage
M E D I A
- Objektif -Subjektif -Intersubjektif
M A S S A
Channel
Realitas Terkonstruksi: Lebih cepat Lebih luas Sebaran merata Membentuk opini Massa - Massa Cenderung Terkonsruksi - Opini MassaCenderung Apriori - Opini MassaCenderung Sinis -
Receiver
Effect
Sumber : Bungin (2004)
55
Wartawan melaporkan atau mengirimkan hasil liputannya itu kepada redaktur di kantor redaksi tempat wartawan yang bersangkutan bekerja. Di sinilah akan terjadi konstruksi realitas tahap kedua secara institusional, mengingat berita yang termuat di media massa cetak keesokan harinya bukan lagi hasil seseorang, melainkan hasil institusi. Sudah jadi tugas redaktur menulis ulang, menambah,
atau
melengkapi, atau malah mengurangi fakta-fakta untuk disesuikan agar sejalan dengan garis kebijakan redaksi. Ada faktor internal dan faktor eketernal yang memengaruhi kebijakan redaksional. Surat kabar sebesar dan seprofesional Kompas, ada saja hasil liputan wartawannya yang berpihak, seperti pada liputan debat kandidat presiden dan wakil presiden.
Hal ini bisa dimaklumi karena wartawan
mana pun punya cita rasa sendiri di lapangan saat melakukan tugas peliputan Tetapi, ada saringan di jajaran redaksi, sehingga hasil liputan itu disesuaikan dengan kebijakan redaksi agar liputan tetap. Hamad membuat skema model konstruksi realitas media, antara lain, dipengaruhi faktor internal. Strategi signing, framing, dan priming merupakan bentukbentuk konstruksi realitas itu. Tidak dapat disangkali, dalam hal ini, fakta yang dilaporkan wartawan merupakan fakta kedua. Ada hal-hal yang bisa diungkap di balik semua itu melalui analisis wacana kritis model Teun A.van Dijk.
56
Maka, berdasarkan uraian di atas, kerangka pemikiran peneliti dalam bentuk skema seperti berikut: Skema 5 Kerangka Pemikiran
Kebijakan internal
Ekonomi Pasar Sponsor
Faktor eksternal
Wacana Debat kandidat presiden dan wakil presiden
Faktor internal
Analisis wacana kritis Teun A. van Dijk
Teks
Kognisi sosial
Konteks sosial
Kepentiangan di balik wacana (politik, ekonomi, ideologi)
57
58
59
60
61