BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1. Hamstring Muscle Tightness (HMTs). 2.1.1. Pengertian Muscle Tightness (MTs) merupakan ketidakseimbangan kerja otot (muscle imbalance) yang menyebabkan perubahan elastisitas pada otot tersebut (Key, 2010). Sedangkan menurut Kisner dan Colby (2007) MTs merupakan gambaran keterbatasan gerak akibat pemendekan adaptif dari jaringan kontraktil dan beberapa unsur (element) dari non kontraktil otot. Sedangkan menurut Agustin (2013), HMTs adalah kondisi otot yang memendek akibat menurunnya sifat fisiologis otot maupun patologis seperti trauma, infeksi atau akibat un-activity sehingga menghambat ROM dan muscle performance, MTs berupa contracture, perlekatan, dan pembentukan jaringan parut yang mengarah pada pemendekan otot. Jadi HMTs merupakan gangguan elastisitas pada otot hamstring dan keterbatasan gerak akibat pemendekan yang bersifat adaptif pada element otot. Ghanbari et al (2013), Key (2010), Cantu dan Grodin (2001) menyatakan bahwa HMTs selain menyebabkan gangguan elastisitas pada otot hamstring itu sendiri, juga berakibat pada range of motion dari knee joint, postural dysfunction dan kelemahan otot – otot punggung bagian bawah yang dapat menyebabkan low back pain (LBP). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Harty et al (2005) tentang hamstring tightness, ternyata terjadinya plantar fasciitis berkaitan dengan adanya peningkatan ketegangan pada otot hamstring. Penelitian lainnya mengenai HMTs rupanya menjadi faktor penyebab utama terjadinya Hamstring Muscle
9
10
Strain Injuries (HMSI) pada atlet terutama pada atlet yang membutuhkan kecepatan, kekuatan dan kelenturan yang maksimal pada otot hamstring-nya misalnya pada atlet sepak bola, sprinter, dan rugby (Louis, 2004). Freckleton dan Pizzari (2011) menyatakan bahwa HMSI beresiko pada atlet yang usianya >22 tahun, pada atlet yang berat badannya tidak propossional, dan pada atlet yang fleksibilitas otot hamstring-nya lemah.
2.1.2. Anatomi dan Biomekanik Otot Hamstring 1. Anatomi Otot Hamstring Otot hamstring merupakan group otot yang terdiri dari Biceps Femoris (BF) yang dibagi dua yakni Biceps Femoris Long Head (BFlh) dan Biceps Femoris Short Head (BFsh) (Gambar 2.1.A), Semitendonosus (ST) (Gambar 2.1.B), dan Semimembranosus (SM) (Gambar 2.1.C). Semua otot berorigo di tuberositas ischium kecuali, BFsh yang melekat di linea aspera dan lateral supracondylar segaris pada osteum femur. Sedangkan untuk insertion dari otot BF melekat pada sisi lateral dari Os. Fibula, untuk otot ST melekat pada sisi medial dari permukaan Os. Tibialis bagian superior, sedangkan untuk otot SM melekat pada sisi medial dari Condylus Os. Tibialis bagian posterior (Hoskins dan Pollard, 2005). Menurut Wismanto (2011), otot hamstring memiliki gerak fungsional dasar untuk knee flexion, sebagai muscle accessory untuk gerakan Hip Extension dan gerakan eksternal serta internal dari gerakan rotasi hip. hamstring juga merupakan otot tonik, yang berfungsi sebagai otot stabilitator
11
postural, dan memiliki serat serabut otot yang tebal yang memiliki kandungan myoglobin dan kapasitas oksidatif tinggi sehingga tahan terhadap kelelahan yang cukup tinggi. A
B
C
Gambar 2.1 Origo dan Insertio pada otot : A. Biceps Femoris, B. Semimembranosus, dan C. Semitendinosus (Cael, 2010)
2. Koneksi dan Peran Otot Hamstring Pada Otot Postural. Hamstring yang berfungsi sebagai stabilitator postural menurut Wismanto (2011) ternyata didukung oleh teorinya Hoskins dan Pollard (2005) yang mengatakan bahwa otot hamstring terkoneksi dengan otot-otot yang berada di punggung belakang yang merupakan komponen stabilitator postur tubuh. Origo dari BFlh (Gambar 2.2 A dan B) yang melekat pada Ischial Tuberosity merupakan kepanjangan dari ligament sacrotuberous yang posisinya menyilang di Os. Sacrum dan melekat pada Thoracolumbar Fascia (TLF). TLF terhubung dengan beberapa jaringan contractile dan non-
12
contractile lainnya seperti Latisimus Dorsi, Transversus Abdominus, Internal Oblique, Rhomboid, Splenius Capitis, Cervicus Tendon, Lumbar Vertebrae, dan Posterior Superior Iliac Spines. Selain itu BF juga terkoneksi kuat dengan otot Pereneus Longus (Gambar 2.2 C) yang melekat di Os. Fibula yang bertugas sebagai penggerak ankle. Sehingga pada intinya otot hamstring secara fungsional terhubung dengan lumbar-pelvic spine, upper torso, dan shoulder lalu apabila otot hamstring mengalami tightness maka akan berdampak pada TLF, dan mengganggu pergerakan dari Sacroiliac Joint (SIJ).
A
B
C
Gambar 2.2. Koneksi otot Hamstring A. TLF serta Latisimus Dorsi secara Fungsional terhubung dengan bahu dan punggung belakang atas. B. BF Long Head yang menyambung dengan bagian superfisial dari ligamen sacrotuberous. C. koneksi anatara fascia dari BF dengan Peroneus Longus (Hoskins dan Pollard, 2005)
13
3. Kompleksitas Otot Hamstring Dalam Gait Cycle. Menurut Koulouris dan Connell (2005) Kompleksitas Otot Hamstring atau hamstring muscle complex (HMC) secara fungsional sangat penting kaitannya bagi hip extensors dan knee flexors dalam gait cycle. Pada fase swing terutama pada permulaan gerakan ekstensi hip otot hamstring akan teraktivasi untuk berkontraksi sekitar 25% dan berlanjut menjadi 50% ketika gerakan full hip ekstensi serta secara aktif menahan gerakan dari knee ekstensi (Koulouris dan Connell, 2005). Pada saat paha mengayun kedepan terjadi gerakan knee flexion yang sebagain besar otot-ototnya dalam keadaan passive, hal tersebut dilakukan, karena tubuh secara baik telah memperhitungkan untuk mengurangi resiko terjadinya muscle strain pada gerakan difase tersebut, lalu pada fase Heel Strike, HMC mendapat informasi untuk mengurangi kecepatan gerakannya, sehingga Os. Tibia dan Os. Femur dalam keadaan mengunci membentuk knee extension yang membuat perpindahan tumpuan berat tubuh menjadi maju kedepan (Koulouris dan Connell, 2005). HMC merupakan stabilisator dinamis pada gerakan knee extension yang berkerjasama dengan Anterior Crusiatum Ligament (ACL) sebagai stabilator statis di lutut. Kerjasama antara HMC dan ACL terutama terjadi ketika derajat knee flexion berada di 30° dan kaki dalam keadaan melangkah kedepan menjauhi tubuh. Ketika kaki dalam keadaan menumpu maka HMC akan mengalami elongasi yang optimal sehingga memberikan stabilisasi yang baik bagi lutut. Dan ketika fase selanjutnya yakni fase Toe Off maka hamstring akan membantu
14
quadriceps untuk mendorong kaki melangkah kedepan (Koulouris dan Connell, 2005). Perubahan yang terjadi secara tiba-tiba pada otot hamstring dari perannya sebagai stabilitator menjadi penggerak dari extensor knee diasumsikan menjadi faktor utama terjadinya cedera. Hal ini disebabkan karena kontraksi dari antagonis muscle yakni quadriceps yang berkerja secara tidak proposional, karena ketidak proposionalan itulah HMC didesak untuk memainkan dua peran sekaligus guna menyeimbangkan ketidak stabilan tersebut. Dan apabila hamstring gagal menyeimbangkan hal tersebut maka kemungkinan beresiko terjadinya muscle strain injury (Koulouris dan Connell, 2005). 4. Persyarafan Pada Otot Hamstring. Secara struktur anatomi, gerak pada otot mendapatkan perintah dan informasi
baik
sensoris
maupun
motoris
dari
sistem
saraf
yang
menghubungkan. Hamstring, sebagaimana telah dijelaskan pada paragraf sebelumnya yang berkaitan dengan struktur otot, fungsi dan biomekanik gerak, hamstring memiliki komponen innervasi fungsi diberbagai area bagian, misalnya pada otot BF, antara otot BFlh dan BFsh memiliki inervasi yang berbeda bahkan setiap orangpun bisa berbeda pola inervasinya. Penelitian yang dilakukan oleh Woodley dan Mercer (2005) yang menguji tentang Hamstring Architecture and Innervation pada 6 (enam) cadaver yang terbagi 3 (tiga) cadaver wanita dan 3 (tiga) cadaver pria, semua cadaver tersebut usianya sekitar 66-88 tahun ketika meninggal. Woodley dan Mercer
15
menemukan pola inervasi (Pattern of Innervation) yang berbeda pada otot BFlh, perbedaannya terkait asal cabang saraf (nerve branch originated) di 6 (enam) spesimen tersebut, mereka menemukan 4 (empat) diantaranya bercabang dari saraf sciatic (sciatic nerve) dan 2 (dua) dari spesimen lainnya dari saraf tibialis (nerve tibialis). Pada otot BFsh 4 (empat) spesimen berasal dari cabang saraf peroneal (peroneal nerve) sedangkan 2 (dua) spesimen yang lainnya berasal dari cabang saraf sciatic (sciatic nerve), lalu untuk ST dan SM muscle innervation untuk ketiga spesimen merupakan percabangan dari saraf tibial (tibialis nerve) dan ketiga spesimen lainya dari percabangan saraf sciatic (sciatic nerve).
2.1.3. Etiologi HMTs Berdasarkan pengertian yang sudah dijelaskan bahwa HMTs merupakan gangguan fungsi elastisitas dari otot hamstring. Tentunya ada beberapa penyebab yang mengakibatkan otot hamstring mengalami tightness. Dari beberapa teori mengatakan bahwa beberapa penyebab otot hamstring mengalami tightness dan terganggu fleksibilitasnya adalah sebagai berikut : 1. Overuse : aktivitas yang berlebihan pada otot hamstring akan membuat otot tersebut mengalami kelelahan (fatigue). Page et al (2010) berpendapat bahwa yang menyebabkan otot menjadi kaku (tight) adalah overuse dan trauma pada otot, dikarenakan hal tersebut akan menyebabkan ischemia pada beberapa serabut otot yang lainnya, sehingga akan terganggunya sirkulasi nutrien pada area serabut otot sekitarnya.
16
2. Inactivity : jika sebelumnya overuse menyebabkan muscle tightness maka kurangnya aktivitas pada suatu otot juga akan menyebabkan hal yang sama, hal tersebut dikarenakan inactvity akan terjadi perubahan secara fisiologis dalam otot, seperti misalnya : terjadi penurunan neural input pada serabut otot yang menyebabkan massa otot berubah, perubahan distribusi metabolisme (metabolic pathways) dalam otot, menurunya massa jenis pembuluh darah kapiler (capillary density) dalam otot, dan semua hal tersebut akan mengakibatkan penurunan elastisitas pada otot (Lennard dan Crabtree, 2005). 3. Muscle Imbalance : ketidak seimbangan pada otot disini dimaksudkan bahwa terjadinya kompensasi antar kerja otot, contohnya jika pada otot-otot punggung bawah mengalami kelemahan maka otot hamstring dan gluteal akan menarik pelvic berputar kearah posterior menyebabkan otot hamstring dan gluteal terjadi peningkatan tonisitas, begitu juga otot-otot yang berada di area abdominal akan menarik crista pubica tempat insertio dari otot rectus abdominus yang menyebabkan otot quardriceps dalam keadaan eccentric (Page et al, 2010). 4. Postural Disfunction : gangguan fungsi postural sangat berkaitan dengan Postural Habits, maksudnya keadaan posture dalam rutinitas individu dikesehariannya (Kisner dan Colby, 2007). Contohnya dalam posisi duduk yang tidak baik akan menyebabkan kelengkungan posisi kurva vetebra lumbal akan mengalami perubahan. Perubahan tersebut yakni kurva lumbal menjadi flatt, dan apabila hal tersebut terjadi maka akan menyebabkan
17
perubahan postur pada bagian lainnya, seperti misalnya posisi dagu akan terlalu menjorok ke arah anterior (neck forward) dan kedua bahu akan mengalami posisi protraksi serta pelvic akan berputar ke arah posterior (Black et al, 1996), dan kita ketahui sebelumnya apabila posisi pelvic berputar kearah posterior akan menyebabkan peningkatan tensitas pada otot hamstring dan apabila menjadi habit beresiko mengalami tightness dan shortness pada otot tersebut sehingga fleksibilitas dari otot hamstring menjadi terganggu.
2.1.4. Patofisiologi Hamstring Muscle Tightness 1. Chain Reactions Dari beberapa pendapat tentang etiologi Hamstring Muscle Tightness diatas dapat di simpulkan bahwa terdapat keterkaitan penyebab satu dengan yang lainnya. Hal ini dikarenakan dalam tubuh kita terdapat suatu reaksi yang berantai (chain reactions). Dalam konsep Janda yang dijelaskan oleh Page et al (2010) menjelaskan bahwa tubuh memiliki fungsi yang saling berkaitan dari satu sistem ke sistem yang lain, karena ia berpendapat bahwa tidak ada suatu sistem dalam tubuh yang berkerja secara independent. Sehingga ia menjelaskan beberapa komponen sistem Chains Reactions yang saling berantai dan berkaitan, sistem chains reactions tersebut terdiri dari Articular Chains, Muscular Chains, dan Neurological Chains. Ketiga interaksi yang saling berkaitan dari sistem chain reactions tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.1.
18 Tabel 2.1 Keterkaitan Tiga Sistem Chain Reactions Primary Chain Articular Muscular
Neurogical
Secondary Chains Muscular Neurogical Articular Neurogical Articular Muscular
Types of Chains Postural Kinetic Synergist Muscle Slings Myofascial Chains Primitive reflexive chains Sensorimotor system Neurodevelopmental locomotor chains
Sumber Page et al. 2010 Dari Tabel 2.1 tentang keterkaitan ketiga sistem chain rections tersebut menjelaskan bahwa Articular chains berfungsi untuk memelihara, mengatur dan mempertahankan posture serta gerakan sistem skeletal secara menyeluruh, lalu Muscular Chains berfungsi menyiapkan gerakan dan stabilisasi melalui kerja otot yang sinergis antar tiap otot dan jaringan fascial. Sedangkan Neurogical Chains berfungsi menyediakan control dalam gerakan seperti reflek memperthankan suatu gerakan (protective reflexes), perkembangan progresi dari locomotor sistem atau Neurodevelopmental motor progression, dan mengatur sensorimotor sistem dalam suatu gerakan. Secara bersamaan ketiga sistem chain reactions ini merupakan suatu komponen kesatuan yang disebut Neuromusculoskeletal yang berfungsi dan bertanggung jawab atas gerak fungsional tubuh.
A
B
Gambar 2.3 Chains Posture saat duduk A. Poor Posture saat duduk dan B. Good Postur saat duduk. (Page et al. 2010)
19
Gambar 2.3 merupakan ilustrasi keterkaitan sistem reaksi rantai antar region dalam tubuh, gambar 2.3.B menunjukan posisi sikap postur yang baik sehingga akan menstabilkan region yang lainya seperti kurva cervical spine, thoracal spine, dan lumbal spine, serat shoulder area, dan juga pelvic area. Sedangkan pada gambar 2.3 A menunjukan bahwa posisi sikap yang salah sehingga mengakibatkan regio lainnya mengalami masalah. Myers (2009) menganalisa sikap buruk pada saat duduk (Gambar. 2.4) yang mengakibatkan beberapa regio atau area yang mengalami perubahan, yakni: a. Upper neck menjadi hyperextension. b. Kepala menjadi teralu maju kedepan karena kompensasi dari cervical bagian bawah yang over flexion, sehingga menyebabkan ketegangan pada otototot upper back muscle. c. Dada menjadi terlalu kedepan dan sangkar thorax menjadi protraksi, sehingga mengganggu pengembangan sangkar thorax dan juga pola pernafasan. d. Kurva
lumbal
menjadi
mundur
kebelakang
yang
menyebabkan
berkurangnya kurva lordosis dari lumbal, yang dalam waktu yang lama akan menyebabkan hilangnya kurva atau lumbal menjadi flatt, serta mengakibatkan kelemahan pada otot-otot punggung bagian bawah. e. Pelvis berputar kearah belakang, yang menyebabkan peningkatan tension pada otot hamstring dan gluteal sehingga otot tersebut mengalmi tigthness dan mengakibatkan fleksibilitasnya terganggu. Beberapa keterangan dari analisa Myers tentang postur duduk yang buruk tadi juga didukung oleh
20
pernyataan Black et al (1996), Beach et al (2008), dan Page et al (2010) yang menyatakan bahwa posterior pelvic tilt (PPT) mengakibatkan fleksibilitas otot hamstring dan gluteal terganggu.
Gambar 2.4. Posisi duduk sambil menggunakan komputer yang diambil munggunakan X-Ray (Myers. 2009).
2. Static Low Level Contraction (Cinderella Hypothesis). Terjadinya peubahan pelvic yang berputar kearah posterior atau PPT akibat flatt-nya kurva vetebra lumbal maka terjadi perubahan tensitas pada otot hamstring. Perubahan tersebut akan mengakibatkan aktivitas kinerja otot yang overload. Apabila kinerja otot mengalami overload dalam waktu yang lama pada motor unit (prolonged motor task) maka akan membuat penumpukan sampah metabolic, yang akan menyebabkan gangguan homeostasis ion kalsium dalam sel otot (Dommerholt et al, 2011). Kondisi ini akan menyebabkan terjadinya kerusakan autogenic pada membran sel otot. Kerusakan membran ini menyebabkan kebocoran intraselular enzim laktat
21
dehidrogenase, kerusakan mitokondria sel otot, dan kekurangan energi pada sel otot dan menghasilkan nyeri karena pelepasan IL-6 dan cytokines lainnya yang pada akhirnya menyebabkan kerusakan struktur myofilamen pada otot. Kerusakan yang terjadi pada struktur myofilaments akan menyebabkan gangguan nyeri pada otot berupa sensasi ketegangan (tightness) yang menyebabkan keterbatasan gerak otot. Dommerholt et al (2011) menyebut ini dengan sebutan Cinderella Hypothesis atau yang biasa dikenal dengan Low level muscle contraction. Pada static low level contraction terjadi peningkatan tekanan distribusi terhadap pembuluh darah kapiler otot (Intramuscular Pressure distribution) khususnya di daerah insersionya. Penekanan ini mengakibatkan penurunan sirkulasi darah ke otot dan mengakibatkan hipoksia dan ischemic pada sel-sel otot lokal (Otten, 1988 dalam Dommerholt et al, 2011). Penekanan ini juga terjadi pada daerah muscle belly maka peningkatan tekanan tadi akan berperan terhadap terjadinya rasa sensasi tidak nyaman seperti ketegangan (tightness) dan nyeri pada musculotendinous junction. 3. Respon adaptasi Metabolic dan Neurophysiological. Pada penjelasan diatas menjelaskan bahwa Static Low Level Contraction akan menyebabkan struktur myofilament pada otot mengalami kerusakan. Kerusakan struktur myofilament terpicu karena penekanan pembuluh darah kapiler dalam jaringan kontraktil yang tertekan (Intramuscular Pressure distribution) sehingga menyebabkan distribusi sirkulasi darah terganggu pada tingkat sel-sel otot lokal. Distribusi darah yang sebagaimana kita ketahui,
22
merupakan jalur asupan energi disetiap komponen jaringan, sehingga apabila terganggu akan menyebakan beberapa respon fisiologis otot yang ikut terganggu, seperti proses kontraksi dan relaksasi pada otot. Kontraksi dan relaksasi otot tidak lepas dari peran actin dan myosin sebagai bagian dari sarkomer yang berfungsi sebagai jaringan kontraktil pada tubuh manusia. Terjadinya respon anatara actin dan myosin tersebut membutuhkan energi cepat sebagai bahan dasar utama timbulnya suatu respon kontraksi dan relaksasi. Namun pada hal ini kebutuhan energi tersebut tidak dapat terpenuhi akbibat adanya gangguan sirkulasi darah kapiler dalam jaringan sehingga respon kontraksi dan relaksasi pada actin dan myosin ikut terganggu, gangguan tersebut berupa terjadinya Cross Linked pada Actin dan Myosin. Jaringan elastin yang terganggu tersebut sangat berkaitan dengan Muscle Spindel (MS) dan Golgi Tendon Organ (GTO) yang berfungsi sebagai Strech Reseptor pada jaringan kontraktil. Ketika terjadinya perubahan atau kerusakan pada komponen struktur elastin, akibat level kerja otot dalam posisi statis, maka hal tersebut akan memberikan dampak signal yang akan direspon oleh MS sebagai perubahan panjang pada otot, lalu MS akan beradaptasi dengan kondisi otot yang berkontraksi secara statis. Kondisi adaptasi yang dilakukan oleh MS akan memberikan rambatan signal kepada GTO yang berfungsi sebagai pendeteksi ketegangan (muscle tension) selama kontraksi otot atau peregangan otot. Ketegangan (tightness) yang terjadi jika terlalu lama akan menimbulkan efek yang tidak baik bagi jaringan kontraktil. Efeknya jaringan
23
kontraktil tersebut akan mengalami pemendekan (shortness), sehingga akan berdampak terhadap fleksibilitas dan mobilitas dari otot tersebut.
2.2. Pemeriksaan Hamstring Muscle Tightness Untuk memeriksa serta memastikan seseorang, menderita HMTs dan mengalami gangguan fleksibilitasnya dapat dilakukan dengan secara manual. Menurut Minarro et al (2009) cara manual tersebut terbagi menjadi dua cara pengukurannya, yakni : Sit and Reach Test (SR), dan Back Saver Sit and Reach Test (BSSR). Dalam penelitiannya, Minarro et al (2009) mengukur fleksibilitas hamstring dengan membandingkan alat ukur menggunakan dua pengukuran tersebut, dari 143 sampel yang terdiri dari 67 wanita dan 76 pria dengan rata-rata usia 23 tahun, berat badan dengan rata – rata 75kg dan tinggi badan rata-rata sampel 1.76 m. Dengan hasil bahwa SR lebih valid dibandingkan dengan BSSR, dan Minarro et al (2009) juga menyarankan para praktisi sebaiknya menggunakan SR untuk mengukur fleksibilitas dari otot hamstring dikarenakan pemeriksaan ini lebih mudah dalam memahami protokol serta pemeriksaan ini dianjurkan bagi pria maupun wanita usia sekitar 23-39 tahun. Penelitian yang dilakukan Minarro et al (2009) juga didukung oleh Vega et al (2014), dia menyatakan dalam penelitiannya (Meta-Analysis) bahwa validitas untuk pengukuran fleksibilitas hamstring SR lebih baik dibandingkan dengan pengukuran yang lainnya. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Minarro et al (2009) dan Vega et al (2014) penulis meyakini bahwa pengukuran fleksibilitas
24
hamsitring akan lebih baik bila menggunakan Sit and Reach Test (SR) maka dari itu penulis akan menggunakan SR sebagai alat ukur dalam penelitian ini.
2.2.1. Sit and Reach Test (SR) 1. Pengertian Sit and Reach Test (SR) Wismanto (2011) menjelaskan bahwa metode Sit and Reach Test (SR) merupakan alat ukur untuk mengukur extensibilitas dari otot hamstring. Sit and Reach Test (SR) adalah standar pemeriksaan untuk memeriksa fleksibilitas otot hamstring dan otot punggung belakang (Glynn dan Fiddler, 2009). Sedangkan menurut Quinn (2014) Sit and Reach Test merupakan metode pengukuran untuk mengukur fleksibilitas dari otot hamstring dan punggung belakang yang meggunakan media berupa boks terbuat dari papan atau metal yang tingginya 30 cm, lalu diatas boks tersebut diletakan penggaris ukur yang panjangnya 26 cm keluar dari boks dan -26 cm sampai ke ujung dari boks tersebut (Gambar 2.5).
Gambar 2.5. Contoh Sit and Reach Test Box Scale (Quinn. 2014).
25
2. Metode Pengukuran Sit and Reach Test (SR). Sit and Reach Test menurut Davis et al (2000) terbagi menjadi beberapa klasifikasi normal berdasarkan kriteria usia (Tabel 2.2). dapat dilihat bahwa tabel tersebut menjelaskan skor nilai “Baik Sekali” adalah 80-100, skor nilai “Baik” 60-79, Skor nilai “Cukup Baik” 40-59, Skor nilai “Cukup” 20-39, dan Skor nilai “Buruk” 0-19. Untuk mencapai skor 80-100 subjek harus mampu mencapai lebih dari 13cm pada saat pengukuran melakukan test SR pada kasus hamstring muscle tightness ini.
Tabel 2.2 Klasifikasi Normal Pengukuran Sit and Reach Test Berdasarkan Kriteria Usia Klasifikasi fleksibilitas Buruk Cukup Cukup Baik Baik Baik Sekali
Nilai Angka 0 – 19 20 – 39 40 – 59 60 – 79 80 – 100
Fleksibilitas Statis (cm) Usia 18-38 Usia 39-59 Tahun Tahun <1.0 <-6.0 1.1 – 6.0 -5.9 – 1.0 6.1 – 10.0 1.1 – 7.0 10.1 – 13.0 7.1 – 10.0 13.1> 10.1>
Sumber Davis et al. 2000
Penggunaan SR ini sangatlah mudah dan efisien, pertama-tama pemeriksa meminta sampel untuk duduk dengan kaki lurus (Straight Leg), kaki tanpa menggunakan alas (sepatu dan sandal), dilanjutkan dengan sampel menaruh telapak tangannya diatas telapak tangan yang satunya lagi sehingga ujung-ujung jari tangan terlihat seperti bertingkat. Lalu perlahan tangan sampel atau subjek maju ke arah depan sejauh mungkin sambil mempertahankan posisi lutut dalam posisi lurus, dan menyentuh permukaan
26
alat ukur (Gambar 2.6). yang perlu diperhatikan oleh pemeriksa adalah saat gerakan dari subjek, gerakannya tidak boleh tersendat-sendat. Agar gerakan subjek menjadi lebih baik, pemeriksa sebaiknya menyarankan untuk membuang nafas saat gerakan membungkuk kedepan dan menurunkan kepala sejajar dengan lengan. Hal tersebut dilakukan tiga kali pengulangan dan pemeriksa mengambil satu dari hasil yang terbaik setelah pemeriksaan berlangsung.
Gambar 2.6. Contoh Sit and Reach Test menggunakan Boks Scale (Vega et al. 2013).
2.3. Penanganan Hamstring Muscle Tightness Berdasarkan problem-problem yang dialami oleh penderita HMTs dan telah kita ketahui beberapa faktor penyebabnya yang menjadikan HMTs ini kasus yang sering terjadi. Serta banyaknya metode penanganan untuk mengembalikan
27
fleksibilitas dari otot hamstring akibat HMTs yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya. Oleh karena itu penulis memilih metode Hold Relax Stretching (HRS) dan metode Aktif Isolated Stretching (AIS) untuk meningkatkan fleksibilitas otot hamstring. Adapun tujuan pemilihan kedua metode penanganan tersebut karena karena kedua teknik stretching tersebut memiliki efek fisiologis yang sama dengan cara menginhibisi tendon golgi yang menyebabkan sarcomer memanjang. Sehingga akan mengurangi bias dari penelitian yang penulis lakukan. Untuk penjelasan respon fisiologis dari masing – masing metode penanganan stretching terhadap peningkatan fleksibilitas otot hamstring akan dijelaskan pada paragraf selanjutnya, tapi terlebih dahulu penulis akan jelaskan terkait adaptasi fisiologis tubuh terhadap peningkatan fleksibilitas otot hamstring terhadap pemberian stretching. 2.3.1. Stretching. 1.
Pengertian Stretching.
Stretching merupakan komponen kebutuhan yang penting sekali dalam kehidupan sehari – hari seseorang, karena dengan stretching membantu melancarkan oksigen keseluruh tubuh dengan baik (Martin, 2005). Menurut Nelson dan Kokkonen (2007) stretching merupakan bagian dasar dari optimalisasi kesehatan dan aktivitas seseorang. Kisner dan Colby (2007) juga menyatakan bahwa stretching merupakan penguluran pada otot yang akan membantu meningkatkan fleksibilitas dan mobilitas otot serta memaksimalkan Range of Motion (ROM) dari persendian.
28
2.
Efek Stretching Terhadap Peningkatan Fleksibilitas Otot
Kisner dan Colby (2007) menjelaskan tentang pengaruh stretching terhadap otot, stretching akan mempengaruhi perubahan Neurophysiological pada otot perubahan tersebut terjadi pada muscle spindel (MS) dan golgi tendon organ (GTO). MS merupakan organ sensoris utama pada otot yang fungsi utamanya sebagai penerima dan menyampaikan informasi tentang perubahan dari panjang otot, serta kecepatan perubahan panjang yang terjadi pada otot atau yang biasa disebut sebagai stretch receptor. MS terbagi menjadi dua muscle fibers yakni Intrafusal muscle fibers (IMF) dan extrafusal muscle fibers (EMF). IMF dan EMF tergabung dalam satu bundle dan terletak berjajar satu sama lainnya, IMF dan EMF secara bersama –sama membentuk otot rangka pada tubuh (Gambar 2.7).
Gambar 2.7. Muscle Spindle. Diagram Intrafusal muscle fibers (IMF) dan extrafusal muscle fibers (EMF) (Kisner dan Colby. 2007).
29
Pada gambar 2.7 dapat dilihat bahwa IMF terbagi menjadi Nuclear Bag Fiber (NBF) dan Nuclear Chain Fiber (NCF). dinamakan demikian karena susunan inti mereka di bagian tengah serat otot (muscle fiber). NBF berfungsi sebagai receptor sensoris utama atau Primary Stretch Receptor (PSR) yang menerima rangsangan dengan cepat dan secara terus-menerus terhadap perubahan panjang otot. Sedangkan NCF merupakan receptor yang hanya menerima rangsangan secara tonic stretch saja dan biasa disebut Secondary Stretch Receptor (SSR). PSR dan SSR terimplusasi oleh alpha or gamma motoneurons, dan apabila terstimulasi menyebabkan terangsangnya IMF dan EMF (Kisner dan Colby, 2007). Sedangkan GTO adalah stretch receptor yang terletak di dalam tendon otot tepat di luar perlekatannya pada serabut otot tersebut. Refleks GTO bisa terjadi akibat tegangan otot yang berlebihan. Sinyal-sinyal dari GTO merambat ke medula spinalis yang menyebabkan terjadinya hambatan respon (negative feed-back) terhadap kontraksi otot yang terjadi. Hal ini untuk mencegah terjadinya sobekan otot sebagai akibat tegangan yang berlebihan. Dalam hal ini refleks GTO merupakan pelindung untuk mencegah terjadinya sobekan otot, namun dapat juga bekerja sama dengan muscle spindle untuk mengontrol seluruh kontraksi otot dalam pergerakan tubuh. Sedangkan peran GTO dalam proses pergerakan atau pengaturan motorik adalah mendeteksi ketegangan selama kontraksi otot atau peregangan otot. Namun antara GTO dengan MS ada perbedaan fungsi. MS berfungsi untuk mendeteksi perubahan panjang serabut otot, sedangkan GTO berfungsi mendeteksi ketegangan otot.
30
Signal dari GTO dihantarkan ke medula spinalis untuk menyebabkan efek refleks pada otot yang bersangkutan. Efek inhibisi dari GTO menyebabkan rileksasi seluruh otot secara tiba-tiba. Efek inhibisi terjadi pada waktu kontraksi atau regangan yang kuat pada suatu tendon. Keadaan ini menyebabkan suatu refleks seketika yang menghambat kontraksi otot serta tegangan dengan cepat berkurang. Pengurangan tegangan ini berfungsi sebagai suatu mekanisme protektif untuk mencegah terjadinya robek pada otot atau lepasnya tendon dari perlekatannya ke tulang. Golgi Tendon Organ (GTO) memiliki fungsi sebagai propioceptor lain yang punya pengaruh dalam gerak stretch reflex, GTO terletak di dekat sambungan antara perut otot dan tendon, yang memiliki fungsi sebagai penghambat terjadinya kontraksi otot. GTO melindungi otot dari kontraksi yang berlebihan dan saat GTO terstimulasi maka otot akan rileks. 3. Mekanisme Respon Neurophysiological Terhadap Stretching pada Otot. Stretching yang diberikan pada otot maka akan memiliki pengaruh yang pertama akan terjadi pada komponen elastin (aktin dan miosin) dan tegangan dalam otot meningkat dengan tajam, sarkomer memanjang dan bila dilakukan terus-menerus otot akan beradaptasi dan hal ini hanya bertahan sementara untuk mendapatkan panjang otot yang diinginkan respon mekanik otot terhadap peregangan bergantung pada myofibril dan sarkomer otot. Setiap otot tersusun dari beberapa serabut otot. Satu serabut otot terdiri atas beberapa myofibril. Serabut myofibril tersusun dari be-berapa sarkomer yang terletak sejajar dengan serabut otot.
31
Sarkomer merupakan unit kontraktil dari myofibril dan terdiri atas filamen aktin dan miosin yang saling tumpang tindih. Sarkomer memberikan kemampuan pada otot untuk berkontraksi dan relaksasi, serta mempunyai kemampuan elastisitas jika diregangkan. Ketika otot secara pasif diregang, maka pemanjangan awal terjadi pada rangkaian komponen elastis (sarkomer) dan tension meningkat secara drastis. Kemudian, ketika gaya regangan dilepaskan maka setiap sarkomer akan kembali ke posisi resting length. Kecenderungan otot untuk kembali ke posisi resting length setelah peregangan disebut dengan elastisitas. Respon Neurophysiological otot terhadap peregangan bergantung pada struktur MS dan GTO. Ketika otot diregang dengan sangat cepat, maka serabut afferent primer dari IMF merangsang α (alpha) motor-neuron pada medulla spinalis dan memfasilitasi kontraksi EMF yaitu meningkatkan ketegangan (tension) pada otot. Hal ini dinamakan dengan monosynaptik stretch refleks. Tetapi jika peregangan dilakukan secara lambat pada otot, maka GTO terstimulasi dan menginhibisi ketegangan pada otot sehinggga memberikan pemanjangan pada komponen elastik otot yang paralel. 4. Indikasi dan Kontraindikasi Dari Stretching Terhadap Otot Hamstring. Pada paragraf ini penulis akan menjelaskan beberapa indikasi dari stretching terhadap otot skeletal pada tubuh. Beberapa indikasi atau hal yang dibolehkan untuk menggunakan stretching pada otot menurut Wismanto (2011) adalah:
32
a. Myostatic Contracture: merupakan kasus yang paling sering terjadi biasanya tanpa disertai patologis pada jaringan lunak (soft tissue) dan dapat diatasi dengan gentle stretching exercise dalam waktu yang pendek misalnya pada otot hamstring, otot rektus femoris dan otot gastrocnemius. b. Scar Tissue Contracture Adhession: paling sering terjadi pada kapsul sendi bahu dan bila pasien menggerakkan bahu terdapat nyeri sehingga pasien cenderung melakukan imobilisasi akibatnya kadar glikoaminoglikans dan air dalam sendi berkurang sehingga fleksibilitas dan ekstensibilitas sendi berkurang. c. Fibrotic Adhession: kasus yang lebih berat dari kondisi kedua di atas karena bia-sanya bersifat kronis dan terdapat jaringan fibrotik sepeti pada kondisi tortikolis. d. Ireversibel Contraktur: biasanya digunakan untuk mengembalikan lingkup gerak sendi dengan tindakan operatif karena dengan penanganan manual tidak menghasilkan dampak yang baik. e. Pseudomiostatik Contraktur: Pada umumnya diakibatkan gangguan pada susunan
saraf
pusat
sehingga
mengakibatkan
gangguan
sistem
muskuloskeletal. Serta Wismanto (2011) juga menjelaskan kontraindikasi dari Stretching pada otot hamstring, berikut kontraindikasinya : 1) terdapat fraktur yang masih baru pada daerah hip joint. 2) post immobilisasi yang lama karena otot sudah kehilangan tensile strength. 3) ditemukan adanya tanda-tanda inflamasi akut.
33
5. Macam-macam metode Stretching pada otot hamstring. Metode stretching untuk meningkatkan fleksibilitas otot hamstring terdapat beberapa jenis teknik, beberapa macam teknik tersebut yakni seperti Ballistic Stretching (Woolstenhulme et al, 2006), Muscle Energy Technique (Chaitow, 2001), Proprioceptive Neuromuscular Facilitation (PNF) yang terdiri dari Hold Relax (HR), Static Stretching (SS) dan Contrax Relax (CR) (Hwang, 2013), Dynamic Soft Tissue Mobilisation (Hopper et al, 2004), dan Aktif Isolated Stretching (AIS) (Longo, 2009). Dan pada penelitian ini penulis akan membahas AIS dan HR, penjelasan kedua teknik stretching tersebut akan dijelaskan pada paragraf selanjutnya. 2.3.2. Active Isolated Stretching (AIS). 1. Pengertian Aktif Isolated Stretching (AIS) AIS merupakan suatu teknik atau metode stretching yang menggunakan adaptasi suatu kontraksi otot agonis secara aktif dan merelaksasikan otot antagonisnya melalui inhibisi timbal balik (Reciprocal Inhibition) yang menyebabkan terjadinya peregangan pada otot antagonis tanpa meningkatkan ketegangan otot (Muscle Tension) pada otot agonis (Longo, 2009). Teknik AIS atau yang
biasa disebut dengan metode Mattes merupakan suatu
pengembangan metode myofascial technique yang memiliki tujuan untuk pemulihan fisiologis dan fungsi otot, tendon, ligamen, dan persendian untuk memfasilitasi mobilitas dari permukaan jaringan fascia. Menurut Longo (2009) AIS sangat baik untuk mengoptimalkan fleksibilitas pada otot, gerakan aktif yang memungkinkan otot antagonis untuk relaksasi, sehingga terjadi
34
peningkatan fleksibilitas tanpa hambatan pada otot antagonisnya. Adapun tujuan dari pemberian AIS adalah untuk mencegah dan atau mengurangi tightness serta mengulur struktur jaringan lunak (soft tissue) yang berkaitan dengan spasme sehingga dapat meningkatkan mobilitas dan fleksibilitas pada struktur soft tissue tersebut. Beberapa penelitian yang menggunakan AIS sebagai modalitas memberikan kesimpulan yang baik dalam hasil pelaksanaannya. Misalnya penelitian yang dilakukan oleh Leimohn et al (1999), yang membandingkan penggunaan AIS dengan static stretch training terhadap keterbatasan Hip ROM, penelitian dilakukan dengan sampel yang berjumlah 30 orang dan terdiri dari 15 pria serta 15 wanita, dengan rata-rata usia sampel berkisar 18-25 tahun. Pada group perlakuan AIS yang dilakukan tindakan 9 sesi pelatihan yang diawasi selama 3 minggu, menunjukan peningkatan ROM yang signifikan dan maksimal pada “Hip Joint”, dibandingkan dengan kelompok group perlakuan static stretch training. Penelitian lainnya dilakukan oleh Marino et al (2001) terhadap 30 sampel yang terdiri dari 24 wanita dan 6 pria dengan rata-rata usia 22 tahun. Marino et al (2001) melakukan pengukuran “Hip Flexion” dengan membandingkan AIS dengan Static Stretch sebagai metode pelaksanaannya, masing-masing perlakuan dilakukan
3 minggu
dengan setiap sesinya dilakukan 3 kali dalam seminggu serta diberikan intervensi 60 detik setiap pertemuannya. Setelah penelitian, masing-masing sampel dilakukan pengukuran menggunakan Sit and Reach Test (SR) dan Goneometer sebagai instrument pengukurannya. Ditemukan bahwa dari kedua
35
perlakuan yang dilakukan oleh Marino et al hanya pada perlakuan kelompok AIS yang menunjukan peningkatan hip flexion yang signifikan. 2. Respon Fisiologis AIS Terhadap Peningkatan Panjang Otot. Secara umum AIS dilakukan untuk mendapatkan penambahan panjang dari otot dan jaringan ikat. Dalam prosedur AIS pasien menunjukkan suatu kontraksi isotonik pada otot agonis dan pada otot yang mengalami pemendekan (shortness), secara aktif akan memanjang. Alasan penerapan teknik ini adalah bahwa kontraksi isotonik yang dilakukan saat AIS secara fisiologis akan merespon otot antagonis untuk menghasilkan pemanjangan secara maksimal dan juga tanpa perlawanan. Adanya kontraksi isotonik akan membantu menggerakkan stretch reseptor dari MS untuk segera mengulur panjang otot yang maksimal. GTO akan terlibat dan menghambat ketegangan otot bila otot sudah mengulur maksimal sehingga otot dapat dengan mudah di stretching. Menurut Wismanto (2011), pemberian AIS dapat mengurangi iritasi terhadap saraf Aδ dan saraf tipe C yang menimbulkan nyeri akibat adanya abnormal cross link. Hal ini dapat terjadi karena pada saat diberikan AIS serabut otot ditarik keluar sampai panjang sarkomer penuh. Ketika hal ini terjadi maka akan membantu meluruskan kembali beberapa serabut atau abnormal cross link pada otot yang memendek. AIS dapat bermanfaat pada serabut otot yang mengalami pemendekan. Serabut otot yang terganggu akan menyebabkan penurunan elastisitas otot akibat adanya taut band dalam serabut otot. Sarkomer sebagai komponen elastis di dalam serabut otot akan
36
mengalami gangguan. Pemberian AIS yang dilakukan secara perlahan akan menghasilkan peregangan pada sarkomer sehingga peregangan akan mengembalikan elastisitas sarkomer yang terganggu. AIS dapat mencegah dan atau mengurangi tightness dan perasaan yang tidak nyaman. AIS merupakan stretching yang efektif, karena berpengaruh terhadap semua otot hamstring yang membatasi gerakan. 3. Prosedur Pelaksanaan metode AIS. Prosedur tindakan metode Aktif Isolated Stretching (AIS) adalah sebagai berikut: 1.
Sampel diminta untuk berbaring diatas matras dalam posisi yang nyaman.
2.
Sampel diminta untuk memasang yoga strap yang direkatkan permukaan telapak kaki (Gambar 2.8 A)
3.
Sampel diminta mengangkat kakinya (dengan lutut dalam posisi full extensi atau Straight Leg Raises dan ankle dalam posisi dorsi flexion) sehingga membentuk Hip dalam posisi flexi (Gambar 2.8 B)
4.
Sampel menahan posisi tersebut selama 2 detik dan dilakukan pengulangan sebanyak 10 kali dan 2 set.
5.
Sebelumnya sampel diberi demo terlebih dahulu oleh Fisioterapis. A
B
Gambar 2.8 Contoh Metode Aktif Isolated Stretching (AIS) A. Memasang Yoga Strap Sebelum Stretching. B. Penguluran otot Hamstring (Williams, 2011).
37
2.3.3. Propioceptive Neural Fascilitation (PNF) Stretching 1. Pengertian Propioceptive Neural Fascilitation (PNF) Stretching merupakan teknik peregangan yang umum digunakan baik dalam lingkungan atletik maupun klinis, untuk meningkatkan ROM baik secra Aktif Range of Motion (AROM) maupun
Pasif
Range
of
Motion
(PROM)
dengan
maksud
untuk
mengoptimalkan motor performance pada otot. Penggunaan metode ini sangat efektif untuk meningkatkan ROM dalam waktu yang sangat cepat. (Sharman et al, 2006). Menurut Hwang (2013) proprioceptive neuromuscular facilitation (PNF) terdiri dari beberapa macam teknik stretching beberapa macam teknik tersebut yakni hold relax (HR), static stretching (SS) dan contrax relax (CR). Pada penelitian ini penulis memilih HRS untuk dijadikan metode penanganan pada HMTs untuk meningkatkan fleksibilitas otot hamstring. 2.3.4. Hold Relax Stretching (HRS). 1. Pengertian. Menurut Hwang (2013), HRS merupakan bagian metode aplikasi Propioceptive Neural Fascilitation (PNF). Hwang juga mengatakan bahwa metode ini sangat membantu meningkatkan fleksibilitas otot dengan cara mengkombinasikan kontraksi isometrik pada otot yang memendek dan kemudian dilanjutkan dengan rileksasi serta tambahan stretching secara pasif pada otot tersebut. Alder et al (2008) menerangkan bahwa HRS terbagi menjadi dua teknik, yaitu : Direct Treatment (DT) dan Indiricet Treatment
38
(IT). DT merupakan teknik yang menggunakan kontraksi isometrik pada otot agonisnya pada Target Muscle (TM). Sedangkan IT merupakan teknik yang menggunakan kontraksi isometrik pada otot antagonisnya. Kontraksi isometrik pada otot antagonisnya bertujuan untuk menstimulasi panjang otot melalui sistem Reciprocal Inhibition (RI). Pada penelitian yang dilakukan oleh Ghanbari et al (2013) yang membandingkan HRS dengan Static Stretching terhadap Hamstring Tightness pada sampel sebanyak 51 pria, dengan rata-rata usia sekitar 18-30 yang dilakukan 2 kali dalam seminggu selama 3 minggu ditemukan bahwa pada group perlakuan HRS menunjukan hasil yang signifikan terhadap peningkatan hamstring extensibility dibandingkan group perlakuan static stretching. 2. Respon fisiologis HRS Terhadap Peningkatan Panjang Otot Secara umum HRS dilakukan untuk mendapatkan efek rileksasi dan pengembalian panjang dari otot dan jaringan ikat. Mekanisme penambahan panjang otot hamstring dengan intervensi HRS adalah dengan kontraksi isometrik, pada HRS akan meningkatkan rileksasi otot melalui pelepasan analgesik endogenous opiate sehingga nyeri regang dapat diturunkan atau dihilangkan. Adanya komponen stretching pada HRS maka panjang otot dapat dikembalikan dengan mengaktivasi GTO sehingga relaksasi dapat dicapai dan nyeri akibat ketegangan otot dapat diturunkan dan mata rantai viscous circle dapat diputuskan. Pemberian intervensi HRS dapat megurangi iritasi terhadap saraf Aδ dan C yang menimbulkan nyeri akibat adanya abnormal crosslinks dapat diturunkan. Hal ini dapat terjadi karena pada saat diberikan intervensi
39
HRS serabut otot ditarik keluar sampai panjang sarkomer penuh. Ketika hal ini terjadi maka akan membantu meluruskan kembali beberapa kekacauan serabut atau akibat abnormal cross links pada ketegangan akibat pemendekan otot. Adanya kontraksi isometrik pada intervensi HRS akan membantu menggerakkan stretch reseptor dari MS untuk segera menyesuaikan panjang otot maksimal. Pada kontraksi isometrik selama 6 detik yang diikuti dengan inspirasi maksimal akan mengaktifkan motor unit maksimal yang ada pada seluruh otot. Kontraksi maksimal ini juga akan menstimulus GTO sehingga memicu rileksasi otot setelah kontraksi (reverse innervation) yang menyebabkan
terjadinya
pelepasan
adhesi
yang
terdapat
di
dalam
intermiofibril dan tendon dengan perbandingan 2:3. Pada metode HRS, rileksasi setelah kontraksi isometrik dilakukan selama 7-15 detik dimana dalam proses ini diperoleh rileksasi maksimal yang difasilitasi oleh reverse innervation tadi. Proses rileksasi yang diikuti ekspirasi maksimal akan memudahkan perolehan pelemasan otot. 3. Prosedur Pelaksanaan metode HRS. Prosedur tindakan metode Hold Relax Stretching (HRS) pada otot hamstring adalah sebagai berikut : a) Sebelumnya sampel dijelaskan terlebih dahulu terkait intervensi yang akan diberikan. b) Pasien diminta untuk berbaring diatas matras dalam posisi yang nyaman.
40
c) Terapis berada berhadapan dengan sampel dan terapis meminta sampel untuk mengangkat kaki dalam posisi Straight Leg Raises d) Terapis menahan posisi kaki sampel, dan meminta sampel untuk mendorong kaki kearah depan (hip extension) sekuatnya kearah terapis. Dan terapis terus menahan sampai 10 detik (Gambar 2.9 A). e) Setelah itu terapis mendorong segera kaki sampel kearah depan dan ditahan sekitar 30 detik (Millar, 2012) lihat Gambar 2.9 B. f)
Lakukan secara bergantian antara kaki kanan dan kiri sebanyak tiga kali pengulangan dalam tiap sesinya.
A
B
Gambar 2.9 Contoh Metode Hold Relax Stretching (HRS) A.Sampel diminta untuk mendorong kakinya. B. Fisioterapis men-stretching otot hamstring secara pasif. (Anonim, 2012).