BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORETIK
Pada bab ini dibicarakan kajian pustaka, kerangka teoretis, kajian penelitian yang relevan, dan kerangka konseptual mengenai kesantunan dengan daya semiotika bahasa berkampanye Partai Golkar di Kabupaten Labura. 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Teori Kesantunan Kesantunan
(politeness) merupakan kesopansantunan, etika, tatacara,
adat, tatakrama, atau kebiasaan perilaku dalam tatacara berkomunikasi lewat tanda verbal atau tatacara berbahasayang ditetapkan dan disepakati oleh masyarakat menjadi prasyarat
dalam
kesantunan berpakaian,
perilaku sosial. Kesantunan terbagi tiga yaitu
berbuat, dan berbahasa.
Kesantunan
berpakaian
merupakan etika berpakaian sesuai dengan budaya masyarakat, sedangkan kesantunan berbuat merupakan kesantunan perilaku terhadap orang lain. Namun kesantunan bahasa lebih berkenaan dengan substansi bahasanya yaitu perilaku atau tingkah laku di dalam bertutur (Chaer, 2010:4-5). Selanjutnya manusia menyatakan bahwa bahasa itu digunakan oleh para penutur untuk berkomunikasi atau berinteraksi dalam suatu tuturan. Bahasa bertutur tersebut merupakan kata (kosa kata), kalimat, ungkapan, majas, dan unsur-unsur suprasegmental sebagai berikut. Yang pertama, kata merupakan yang pertama disediakan oleh bahasa. Kata yang tersedia dalam bahasa bertujuan agar manusia dapat berinteraksi dalam
pertuturan. Kata-kata ini adalah lambang-lambang bunyi yang digunakan untuk melambangkan suatu maujud atau suatu keadaan. Konsep yang dilambangkan oleh suatu lambang bunyi itu lazim disebut dengan makna. Lambang bunyi disebut kata karena konsep yang dilambangkanya itu adalah makna. Dengan demikian, semua kata dapat dikatakan memiliki makna, misalnya kata mampus, mati, meninggal, berpulang, dan tutup usia. Kata mati lebih santun daripada kata mampus, kata meninggal lebih santun daripada kata mati, kata berpulang lebih santun daripada kata meninggal, dan kata tutup usia lebih santun daripada kata berpulang. Yang kedua, bahasa merupakan kalimat atau kalimat-kalimat. Secara tradisional lazimnya kalimat adalah satuan ujaran atau tuturan yang berisi pengertian yang lengkap. Artinya, di dalam kalimat ada bagian yang menyatakan tentang subjek, predikat, dan ada bagian-bagian lain yang melengkapi kedua bagian itu serta modus kalimat yaitu kalimat pernyataan (deklaratif) artinya kalimat yang diujarkan oleh seorang penutur hanya dengan maksud untuk menjadi perhatian saja bagi pendengar atau lawan tutur. Dalam hal ini pihak pendengar boleh memberi tanggapan atau komentar, tetapi boleh juga tidak memberi komentar apa-apa karena tidak ada kewajiban untuk memberi komentar itu. Kalimat pertanyaan (interogratif) artinya kalimat yang dianjurkan oleh seorang penutur dengan harapan agar pendengar atau lawan tutur memberi jawaban dalam bentuk ujaran juga. Dengan kata lain, jawaban diharapkan dalam bentuk lisan. Kalimat perintah (imperatif) artinya kalimat yang diujarkan oleh seorang penutur dengan harapan agar pendengar atau lawan tutur
memberi reaksi dalam bentuk tindakan secara fisik. Kalimat seruan (interjektif) artinya kalimat yang diujarkan oleh seorang penutur untuk menyatakan perasaan emosinya dan lawan tutur boleh menanggapi boleh juga tidak. Yang ketiga,
bahasa merupakan ungkapan-ungkapan untuk digunakan
dalam pertuturan agar pertuturan itu terasa lebih baik dan banyak ungkapan yang terasa lebih santun daripada sebuah kata yang memiliki konsep makna yang sama dengan makna ungkapan itu, misalnya ungkapan bunting, hamil, mengandung, dan berbadan dua. Artinya ungkapan hamil lebih santun daripada ungkapan bunting, ungkapan mengandung lebih santun daripada ungkapan hamil, dan ungkapan berbadan dua lebih santun daripada ungkapan mengandung. Selanjutnya, keempat yang disediakan manusia dalam bahasa merupakan majas atau gaya bahasa untuk digunakan dalam pertuturan. Dengan menggunakan majas pertuturan bisa lebih santun untuk mengefektifkan pertuturan. Yang kelima disediakan oleh bahasa merupakan unsur yang berupa bunyi suprasegmental. Unsur suprasegmental ini berupa tekanan kata atau tekanan kalimat. Nada artinya turun naiknya bunyi, jeda artinya mengenai adanya perhentian bunyi, dan durasi artinya mengenai panjang pendeknya bunyi. Oleh karena itu, di dalam pertuturan unsur suprasegmental sangat perlu diperhatikan karen sebuah kalimat bisa berbeda maknanya apabila intonasi yang berbeda. Kemudian dalam hal bertindak tutur bahwa pronomina juga merupakan salah satu cara dalam mencapai kesantunan bahasa. Keraf (1984:66) mengatakan “pronomina merupakan segala kata yang dipakai untuk kata benda atau yang dibendakan”. Artinya dalam bertindak tutur bahwa pronomina menentunkan
kesantunan bahasa terhadap mitra tutur. Pronomina terbagi atas enam jenis yaitu, pronomina orang (personalia), empunya (possessiva), penunjuk (demonstrative), penghubung (relativa), penanya (interrogativa), dan tak tentu (indeterminativa). Pronomina orang merupakan kata benda yang biasa digunakan untuk menggantikaan pronomina orang. Pronomina orang terbagi tiga kategori sebagai berikut. (1) Pronomina orang pertama tunggal, guna menyatakan kerendahan diri dipakai kata-kata: hamba, sahaya, patik, dan abdi. Sebaliknya untuk mengungkapkan sesuatu suasana yang agung atau mulia maka kata kami yang sebenarnya dipakai untuk orang pertama jamak dapat pula dipakai untuk menggantikan orang pertama tunggal. (2) Pronomina orang kedua tunggal yaitu paduka, tuan, yang mulia, paduka yang mulia, saudara, ibu, bapak, dan lain-lain. Semuanya ini digunakan untuk menyatakan bahwa orang yang kita hadapi jauh lebih tinggi kedudukannya daripada kita. Kata kamu yang sebenarnya adalah orang kedua jamak dipakai juga untuk menggantikan orang kedua tunggal. (3) Pronomina orang ketiga dipergunakan juga kata-kata: beliau, sedangkan bagian yang telah meninggal dipakai kata: mendiang, almarhum atau almarhuma. Selanjutnya,
pronomina
empunya
merupakan
segala
kata
yang
menggantikan pronomina orang dalam kedudukan sebagai pemilik: -ku, -mu, nya, kami, kamu, dan mereka. Kata pronomina empunya itu sama saja dengan
kata pronomina orang dalam fungsinya sebagai pemilik. Dalam fungsinya sebagai pemilik ini, kata-kata ini mengambil bentuk-bentuk ringkas dan dirangkaikan saja dibelakang kata-kata yang diterangkannya, misalnya kalimat bajuku berasal dari kalimat baju aku. Pronomina penunjuk merupakan kata-kata yang menunjuk di mana terdapat sesuatu benda. Pronomina penunjuk terbagi tiga jenis yaitu (1) menunjuk sesuatu ditempat pembicara, misalnya kata ini, (2) menunjuk sesuatu ditempat lawan-bicara, misalnya kata itu, dan (3) menunjuk sesuatu ditempat orang ketiga, misalnya kata ana. Pronomina penghubung merupakan kata yang menghubungkan anak kalimat dengan sesuatu kata benda yang terdapat dalam induk kalimat. Fungsi pronomina penghubung juga menggantikan kata benda yang terdapat dalam induk kalimat serta menghubungkan anak kalimat dengan induk kalimat, misalnya yang lumpuh diusung. Artinya penggunaan kata yang sebenarnya terjadi dari kata ia sebagai penunjuk. Pronomina penanya merupakan kata yang menanyakan tentang benda, orang, atau sesuatu keadaan, misalnya apa untuk menanyakan benda, siapa untuk menanyakan orang, dan sebagainya. Kemudian pronomina taktentu merupakan kata-kata yang menggantikan atau menunjukkan benda atau orang dalam keadaan yang tidak tentu atau umum, misalnya masing-masing, seseorang, sesuatu, dan sebagainya. Senada dengan Keraf, Bayyurt (2001:201) mengatakan bahwa penggunaan pronomina dapat menunjukkan keakraban sekaligus penghormatan. Artinya
penggunaan pronomina merupakan salah satu cara dalam mencapai kesantunan bahasa yang potensial digunakan dalam tindak tutur mengungkapkan pesan terhadap mitra tutur. Hal ini sajalan dengan temuan Muhlhausler dan Harre (1990:16) mengatakan bahwa penggunaan pronomina dapat mencerminkan bagaimana seseorang melihat dirinya dalam hubungan sosialnya dengan orang lain apakah simetris atau nonsimetris. Demikian juga Bowe dan Martin (2007:95) menyatakan bahwa pronomina merupakan penanda bagi identitas personal dalam hubungannya dengan identitas kelompok. Sejalan dengan uraian di atas, kesantunan bahasa dalam berkampanye mempunyai fungsi sebagai sarana berlangsungnya suatu interaksi jurkam dan caleg Partai Golkar dengan masyarakat berkampanye
dalam berkampanye. Interaksi
berkaitan erat dengan norma-norma sosial dan sistem budaya
sehingga memperoleh tanggapan yang positif dari masyarakat Labura. Dengan demikian, peneliti mengkaji penelitian ini merujuk pada teori kesantunan yang dikemukakan oleh beberapa pakar linguistik seperti, Lakoff (1973), Fraser (1978), Brown dan Levinson (1978), Lecch (1983), Pranowo (2009), Austin (1962), dan Gries (1975). 2.1.1.1 Robin Lakoff Lakoff (1973:64) mengatakan bahwa ada tiga ketentuan untuk dipenuhi dalam kesantunan bahasa bertutur. Ketiga ketentuan itu adalah (a) skala formalitas (formality scale) artinya jangan memaksa atau jangan angkuh (aloof), (b) skala ketidaktegasan (hesitency scale) artinya membuat lawan tutur atau lawan bicara kita dapat menentukan pilihan (option), dan (c) skala kesekawanan (equality
scale) artinya melakukan tindakan yang seolah-olah lawan tutur menjadi sama dengan penutur atau dengan kata lain serta lawan tutur merasa senang. Ketiga bentuk kesantunan bahasa bertutur yang dikemukakan oleh Lakoff dapat disimpulkan sebagai berikut. (a) Tuturan terdengar tidak memaksa atau angkuh. (b) Tuturan memberi pilihan tindakan kepada lawan tutur. (c) Lawan tutur itu menjadi senang. Hal ini dimanfaatkan oleh jurkam dan caleg Partai Golkar dalam berkampanye untuk menyapaikan visi dan misi. 2.1.1.2Bruce Fraser Fraser (1978:137) mengatakan bahwa kesantunan bahasa merupakan kesantunan bukan atas dasar kaidah-kaidah, melainkan atas dasar strategi. Kesantunan bahasa berdasarkan strategi yang dikemukakan Fraser sebagai berikut. (a) Kesantunan tuturan merupakan pendapat pendengarlah yang menentukan apakah kesantunan itu terdapat pada sebuah tuturan, mungkin saja sebuah tuturan dimaksudkan sebagai tuturan yang santun oleh si penutur, tetapi di telinga lawan tutur, tuturan itu ternyata tidak terdengar santun begitu pula sebaliknya. (b) Kesantunan itu dikaitkan dengan hak dan kewajiban peserta pertuturan artinya, apakah sebuah tuturan terdengar santun atau tidak diukur berdasarkan: si penutur tidak melampaui haknya terhadap lawan tuturnya dan si penutur memenuhi kewajibannya kepada lawan tutur.
Artinya,
jurkam caleg memainkan peranan dan fungsi bahasa santun
dalam berkampanye berdasarkan kaidah-kaidah kesantunan berbahasa yang dapat mempengaruhi masyarakat untuk bersedia memilih caleg-celeg Partai Golkar. 2.1.1.3 Brown dan Levinson Brown dan Levinson (1978:60-63)
mengatakan
bahwakesantunan
berbahasa itu berkisar atas nosi muka atau wajah (face), yakni citra diri yang bersifat umum dan selalu ingin dimiliki oleh setiap anggota masyarakat. Nosi muka yang dimaksud merupakan muka negatif dan muka positif. Muka negatif mengacu pada citra diri setiap orang yang berkeinginan agar dihargai dengan jalan membiarkannya bebas melakukan tindakannya atau membiarkannya bebas dari keharusan mengerjakan sesuatu, sedangkan muka positif mengacu pada citra diri setiap orang yang berkeinginan agar apa yang dilakukannya, apa yang dimilikinya atau apa yang merupakan nilai-nilai yang diyakini diakui orang lain sebagai suatu hal yang baik, yang menyenangkan, dan patut dihargai. Kesantunan bahasa muka positif dan muka negatif dapat dilakukan penutur untuk menghindari ancaman nosi muka. Penutur harus memperhitungkanderajat keterancaman sebuah tindak tutur dengan mempertimbangkan didalam situasi yang biasa sebagai berikut. (1) Faktor jarak sosial diantara penutur dan lawan tutur. (2) Faktor besarnya perbedaan kekuasaan atau dominasi diantara keduanya. (3) Faktor status relatif jenis tindak tutur didalam kebudayaan yang bersangkutan. Artinya, kesantunan bahasa yang dikemukakan Brown dan Levinson dimanfaatkan oleh penutur dalam berinteraksi untuk menjaga jarak sosial
berkomunikasi dengan masyarakat untuk menghindari ancaman
nosi muka,
sehingga tujuan penutur menyampaikan pesan atau informasi. 2.1.1.4Geoffrey Leech Leech(1983:161) dalam Chaer (2010: 56) mengatakan “kesantunan berdasarkanprinsip (politeness principle)yang dijabarkan menjadi maksim (ketentuan, ajaran). Maksim dalam kesantunan bahasa terdiri dari enam jenis yaitu (1) kebijaksanaan (tact); (2) penerimaan (generocity); (3) kemurahan (approbation); (4) kerendahan hati(modesty); (5) kesetujuan (agreement); dan (6) kesimpatian (sympathy).” Maksim-maksim tersebut dijabarkan sebagai berikut. a. Maksim kebijaksanaan (tact maxim) Maksim kebijaksanaan adalah meminimalkan kerugian orang lain atau memaksimalkan keuntungan bagi orang lain. Pengukuran kesantunan berbahasa pada maksim kebijaksanaan didasarkan pada penanda: (a) skala kerugian dan keuntungan diri sendiri yang sebabkan oleh sebuah tindak tutur pada sebuah pertuturan, (b) dalam ilokusi komisif ditandai dengan verba ‘berjanji’, ‘bersumpah’, dan ‘mengancam’, (c) memakai modus imperatif, dan (d) ilokusi impositif ditandai dengan verba ‘dapatkah’. Misalnya: 1 Datang ke TPS tanggal 9 April 2014! 2. Silahkan datangke TPS tanggal 9 April 2014! 3. Sudihlahkiranya Anda berjanji datangke TPS tanggal 9 April 2014! 4. Dapatkah Anda datang ke TPS tanggal 9 April 2014! 5. Kalau tidak keberatan dapatkah datang ke TPS tanggal 9 April 2014!
Dari contoh diatas, dapat dikatakan bahwa kalimat kelima lebih santun daripada kalimat keempat, kalimat keempat lebih santun dari kalimat ketiga, kalimat ketiga lebih santun daripada kalimat kedua, dan kalimat kedua lebih santun dari kalimat pertama. Kalimat pertama merupakan skala kerugian dan keuntungan diri sendiri yang sebabkan oleh sebuah tindak tutur pada sebuah pertuturan, kalimat kedua merupakan kalimat memakai modus imperatif, kalimat ketiga merupakan kalimat ilokusi komisif, dan kalimat empat dan lima merupakan kalimat ilokusi impositif. Berdasarkan uraian-uraian di atas maka dapat disimpulkan: (a) semakin panjang tuturan seseorang semakin besar pula keinginan orang untuk bersikap santun kepada lawan tuturnya, (b) tuturan yang diutarakan secara tidak langsunglebih santun dibandingkan dengan tuturan yang diutarakan secara langsung, dan (c) memerintah dengan kalimat berita atau kalimat tanya dipandang lebih santun dibandingkan dengan kalimat perintah (imperatif). b.
Maksim penerimaan(generocity maxim) Maksim penerimaanadalah menghendaki setiap peserta pertuturan untuk
memaksimalkan kerugian bagi diri sendiri dan meminimalkan keuntungan diri sendiri. Pengukuran kesantunan berbahasa pada maksim penerimaandidasarkan pada penanda: (a) skala memaksimalkan keuntungan pihak lain dengan cara menambahkan beban bagi dirinya sendiri, (b) memakai modus imperatif, dan (c) dalam ilokusi komisif ditandai dengan verba ‘berjanji’, ‘bersumpah’, dan ‘mengancam’.
Misalnya: 6. Saya pinjami dana kampanye untuk Anda! 7. Saya bersedia akan meminjami Anda dana kampanye. 8. Ajaklah saya makan dirumah ketua partai! 9. Saya bersumpahmemenangkan Anda menjadi ketua partai. Kalimat enam dan tujuh merupakan penutur berusaha memaksimalkan kerugian diri sendiri, kalimat kedelapan merupakan kalimat memakai modus imperatif,
dan
kalimat
kesembilan
merupakan
kalimat
ilokusi
komisifmemaksimalkan keuntungan untuk orang lain. c. Maksim kemurahan (approbation maxim) Maksim kemurahan adalah setiap peserta penutur untuk memaksimalkan rasa hormat kepada orang lain dan meminimalkan rasa tidak hormat kepada orang lain. Pengukuran kesantunan berbahasa pada maksim kemurahandidasarkan pada penanda: (a) bertutur selalu memberi penghargaan kepada orang lain, (b) dalam ilokusi asertifditandai dengan verba ‘mengatakan’, ‘melaporkan’, ‘menyebutkan’ dan, (c) dalam ilokusi ekspresifditandai dengan verba ‘memuji’, ‘mengucapkan terima kasih’, ‘mengritik’, dan ‘menyelak’. Misalnya: 10. Caleg A: “Pak, aku tadi sudah memulai kampanye perdana untuk Kecamatan Kualuh Hulu. Caleg B: “Oya, tadi aku mendengar materi kampanyemu menarik dan jelas sekali dari sini.”
11. Saya bangga pada bapak karena rakyat mengatakan
kesiapan
mereka mendukung bapak. 12. Selamat atas keberhasilan Bapak bergabung dengan kami. Pada kalimat kesepuluh merupakan pemberitahuan yang disampaikan caleg A terhadap rekannya caleg B pada contoh di atas, ditanggapi dengan sangat baik bahkan disertai dengan pujian atau penghargaan oleh caleg B. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa di dalam pertuturan itu caleg B berperilaku santun terhadap caleg A, kalimat kesebelas merupakan kalimat ilokusi asertif, dan kalimat keduabelas merupakan kalimat ilokusi ekspresif. d.
Maksim kerendahan hati (modesty maxim) Maksim
kerendahan
hatiadalah
setiap
peserta
pertuturan
untuk
memaksimalkan ketidakhormatan pada diri sendiri dan meminimalkan rasa hormat pada diri sendiri. Pengukuran kesantunan berbahasa pada maksim kerendahan hati didasarkan pada penanda: (a) skala ketidaklangsungan, (b) peserta tutur diharapkan dapat bersikap rendah hati dengan cara mengurangi pujian terhadap dirinya sendiri dengan ditandai permintaan maaf, dan (c) dalam ilokusi ekspresifditandai dengan verba ‘memuji’, ‘mengucapkan terima kasih’, ‘mengritik’,
dan
‘menyelak’
dan
ilokusi
asertifditandai
‘mengatakan’, ‘melaporkan’, dan ‘menyebutkan’. Misalnya: 13.A: Caleg itu sangat dermawan pada masyarakat. B: Yah, memang sangat dermawan bukan?
dengan
verba
Kalimat ketigabelas merupakan kalimat mematuhi prinsip kesantunan karena penutur (A )memuji kebaikan pihak lain atau kalimat ilokusi ekspresif dan ilokusi asertif karena mengatakan respon kepada lawan tutur (B) juga memuji orang yang dibicarakan. e. Maksim kesetujuan(agreement maxim) Maksim kesetujuanadalah setiap penutur dan lawan tutur memaksimalkan kesetujuan di antara mereka dan meminimalkan ketidaksetujuan di antara mereka. Pengukuran kesantunan berbahasa pada maksim kesetujuandidasarkan pada penanda: (a) peserta tutur saling membina kecocokan atau kesetujuan di dalam kegiatan bertutur dan ditandai dengan kalimat ucapan selamat, dan (b) dalam ilokusi asertif ditandai dengan verba ‘mengatakan’, ‘melaporkan’, dan ‘menyebutkan’. Misalnya: 12. A: Kericuhan dalam Sidang Umum DPR itu sangat memalukan. B: Ya, memang! 13. A: Kericuhan dalam Sidang Umum DPR itu sangat memalukan. B: Ah, tidak apa-apa. Itulah dinamikanya demokrasi. Tuturan (12 B) lebih santun dibandingkan (13 B) karena (13 B) memaksimalkan ketidaksetujuan dengan pernyataan A, namun, bukan berarti orang harus senantiasa setuju dengan pendapat atau pertanyaan lawan tuturnya, ia dapat membuat pernyataan yang mengandung ketidaksetujuan persial (partial agreement) seperti tampak pada pertuturan (14) dan (15) sebagai berikut: 14. A: Kericuhan dalam sidang Umum DPR itu sangat memalukan.
B: Memang tapi itu hanya melibatkan beberapa anggota DPR saja. 15. A: Semua partai memperjuangkan nasib rakyat luar biasa bukan? B: Ya, memang, tetapi rakyat yang mendukung partainya. Pertuturan (14) dan (15) terasa lebih santun dari pada pertuturan (13) karena ketidaksetujuan B tidak dinyatakan secara total, tetapi secara parsial sehingga tidak terkesan bahwa B adalah orang yang sombong. f.
Maksim kesimpatian (sympathy maxim) Maksim
kesimpatian
adalah
semua
peserta
pertuturan
untuk
memaksimalkan rasa simpati dan meminimalkan rasa antipati kepada lawan tuturnya. Jika lawan tutur memperoleh keberuntungan atau kebahagian, penutur wajib memberikan ucapan selamat. Jika lawan tutur mendapat kesulitan atau musibah, penutur sepantasnya menyampaikan rasa duka atau belasungkawa sebagai tanda kesimpatian. Pengukuran kesantunan berbahasa pada maksim kesetujuandidasarkan pada penanda: (a) memaksimalkan sikap simpati antara pihak yang satu dengan pihak lainnya dan (b) dalam ilokusi asertif ditandai dengan verba ‘mengatakan’, ‘melaporkan’, dan ‘menyebutkan’. Misalnya: 16.A: Anak guru berjuang untuk rakyat. B: Selamat ya, Anda memang orang hebat. 17. A: Aku tidak terpilih jading anggota legislatif, padahal uangku sudah banyak keluar. B: Oh, aku ikut perihatin, tetapi bisa dicoba lagi dalam pemilu mendatang.
Pertuturan (16) dan (17) cukup santun karena si penutur mematuhi maksim kesimpatian, yakni memaksimalkan rasa simpati pada lawan tuturnya yang mendapat kebahagiaan, namun (17) rasa kedukaan.Selanjutnya keenam maksim itu disusun dalan suatu bangan seperti di bawah ini. Gambar 2.1 Kesantunan bahasa dalam maksim Maksim
Kebijaksanaan (meminimalkan kerugian orang lain atau memaksimalkan keuntungan bagi orang lain)
Penerimaan (memaksimalkan kerugian bagi diri sendiri atau meminimalkan keuntungan diri sendiri)
Kemurahan (memaksimalkan rasa hormat kepada orang lain atau meminimalkan rasa tidak hormat kepada orang lain)
Kerendahan Hati (memaksimalkan ketidakhormatan pada diri sendiri atau meminimalkan rasa hormat pada diri sendiri)
Kesetujuan (memaksimalkan kesetujuan di antara mereka atau meminimalkan ketidaksetujuan di antara mereka)
Kesimpatian (memaksimalkan rasa simpati atau meminimalkan rasa antipasti kepada lawan tuturnya)
Leech menjabarkan kesantunan berbahasa berdasarkan maksim kemudian Leech (1983:209-218) juga membagi lima skala pengukur kesantunan berbahasa yang didasarkan pada setiap maksim impersonalnya. Kelima skala itu dijabarkan sebagai berikut di bawah ini.
(a)
Skala kerugian dan keuntungan (cost-benefit scale) Skala kerugian dan keuntungan merujuk pada besar kecilnya biaya dan
keuntungan yang disebabkan oleh sebuah tindak tutur pada sebuah pertuturan. Kalau tuturan itu semakin merugikan penutur, maka dianggap semakin santunlah tuturan itu. Namun, kalau dilihat dari pihak lawan tutur, tuturan itu dianggap tidak santun.
Sebaliknya, kalau tuturan itu semakin merugikan lawan tutur, maka
tuturan itu dianggap santun. Skala ini digunakan untuk “menghitung biaya dan keuntungan untuk melakukan tindakan (seperti yang ditunjukan oleh daya ilokusi tindak tutur) dalam kaitannya dengan penutur dan lawan tutur”. Skala ini menjelaskan mengapa, walaupun sama-sama bermodus imperatif (intonasinya sama). Misalnya (1) bersihkan baleho saya! dan (2) mari kita dukung saudara kita! (b)
Skala pilihan (optionality scale) Skala pilihan mengacu pada banyak atau sedikitnya pilihan (option) yang
disampaikan penutur kepada lawan tutur di dalam kegiatan bertutur. Semakin banyak pilihan dan keleluasaan dalam petuturan itu, maka dianggap semakin santunlah penuturan itu. Sebaliknya kalau tuturan itu sama sekali tidak memberikan kemungkinan bagi si penutur dan lawan tutur, maka tuturan itu tidak santun. Misalnya (1) pindahkan kotak ini, (2) kalau tidak lelah pindahkan kotak ini, dan (3) kalau tidak lelah dan ada waktu, pindahkan kotak ini; itu kalau kamu mau dan tidak keberatan.
(c)
Skala ketidaklangsungan (indirectness scale) Skala ketidaklangsungan merujuk kepada peringkat langsung atau tidak
langsugnya “maksud” sebuah tuturan. Semakin tuturan itu bersifat langsung akan dianggap semakin tidak santunlah tuturan itu. Sebaliknya, semakin tidak langsung, maksud sebuah tuturan akan dianggap semakin santunlah tuturan itu. Misalnya (1) jelaskan persoalannya, (2) saya ingin Saudara menjelaskan persoalannya, dan (3) berkerberatankah Saudara lebih menjelaskan persoalannya. (d)
Skala keotoritasan (anthority scale) Skala keotoritasan merujuk kepada hubungan status sosial antara penutur
dan lawan tutur yang terlibat dalam suatu pertuturan. Semakin jauh jarak peringkat sosial antara penutur dan lawan tutur maka tuturan yang digunakan akan cenderung menjadi semakin santun. Sebaliknya, semakin dekat jarak peringkat status sosial diantara keduanya, maka semakin berkurang peringkat kesantunan tuturan yang digunakan dalam pertuturan itu. (e)
Skala jarak sosial (social distance) Skala jarak sosial merujuk kepada peringkat hubungan sosial antara penutur
dan lawan tutur yang terlibat dalam sebuah pertuturan. Ada kecenderungan bahwa semakin dekat hubungan sosial antara keduanya (penutur dan lawan tutur maka kurang santun), sebaliknya semakin jauh jarak peringkat sosial di antara penutur dengan lawan tutur, maka semakin santunlah tuturan yang digunakan dalam penutur itu. Dengan kata lain, tingkat keakraban hubungan antara penutur dan lawan tutur sangat menentukan peringkat kesantunan tuturan yang digunakan.
2.1.1.5Pranowo Pranowo (2009:24) mengatakan “tuturan terasa santun berkenaan dengan diksi berbahasa dan bukan suatu teori yakni menggunakan kata tolong, maaf, terima kasih, berkenan, dan kata sapaan”. Artinya, dalam pertuturan terasa santun apabila caleg berkampanye pada masyarakat
menggunakan kata pemarkah
kesantunan kata tolong, mohon, dan terimaksih. (a) penggunaan kata “tolong” untuk tuturan yang akan menyinggung perasaan orang lain, (b) gunakan kata “maaf” untuk tuturan yang akan diperkirakan akan menyinggung perasaan orang lain, (c) gunakan kata “terima kasih” sebagai penghormatan atas kebaikan orang itu, (d) gunakan kata “berkenan” untuk meminta kesediaan orang lain melakukan sesuatu, (e) gunakan kata “beliau” untuk menyambut orang ketiga yang dihormati, dan (f) gunakan kata “Bapak/Ibu” untuk menyapa orang ketiga. 2.1.1.6J.L. Austin Austi (1962:109) mengatakan bahwa tindak tutur yang dilakukan dalam bentuk kalimat performatif dirumuskan sebagai tiga buah tindakan yang berbeda yaitu (a) tindak tutur lokusi, (b) tindak tutur ilokusi, dan (c) tindak tutur perlokusi. (a)
Tindak tutur lokusimerupakan tindak tutur yang menyatakan sesuatu sebagaimana adanya atau the act of saying somethingtindakan untuk mengatakan sesuatu. Artinya, tindak tutur mengucapkan sesuatu dengan kata dan kalimat sesuai dengan makna kata dan makna kalimat dengan kaidah sintaksisnya. Di sini maksud atau fungsi ujaran itu belum menjadi perhatian. Jadi, apabila seorang jurkam caleg berkata "Partai Golkar"
tetapi ia tidak melanjutkannya dengan berkampanye, maka tahap ini hanya berlangsung tindak tutur lokusi. (b)
Tindak
tutur
ilokusimerupakan tindakan
melakukan
sesuatu dan
menyatakan sesuatu. Oleh karena itu, tindak tutur ilokusi ini disebutthe act of doing something (tindakan melakukan sesuatu). Untuk memudahkan memahami tindak tutur ilokusi dalam kalimat adalah kalimat tersebut dilekati kata kerja ‘melaporkan’, ‘mengumumkan’, ‘bertanya’, dan ‘menyarankan’. Artinya, tindak tutur berbicara tentang maksud dan fungsi atau daya ujaran yang bersangkutan untuk apa ujaran itu dilakukan, maka “Partai Golkar” yang diujarkan oleh jurkam caleg dengan maksud ‘memilih Partai Golkar’ adalah sebuah tindak ilokusi. (c)
Tindak tutur perlokusimerupakan tindak tutur yang mempunyai pengaruh atau efek terhadap lawan tutur atau orang yang mendengar tuturan itu maka tindak tutur perlokusi sering disebut sebagai the act of affective someone (tindak yang memberi efek pada orang lain). Untuk memudahkan memahami tindak tutur ilokusi dalam kalimat adalah kalimat tersebut dilekati kata kerja ‘membujuk’, ‘menipu’,
‘menjengkelkan’, dan
‘menakut-nakuti’.Artinya jurkam caleg melakukan tindak tutur bagi masyarakat, maka
efek dari tindak tutur itu mampu mempengaruhi
masyarakat. Misalnya, masyarakat mengatakan bersedia memilih ‘Partai Golkar’ sebagai akibat dari tindak tutur itu maka dikatakan terjadi tindak perlokusi.
Senada juga dengan Austin, Searle (1975:132) mengatakan bahwa tindak tutur terdiri atas lima katagori, yaitu tindak tutur representatif, direktif, ekspresif, komisif, dan deklarasi. (a)
Representatif (asertif) merupakan tindak tutur yang mengikat penuturnya kepada kebenaran atas apa yang dikatakannya. Verba penanda representatif (asertif) dalam tindak tutur adalah verba ‘mengatakan’, ‘melaporkan’, dan ‘menyebutkan’.
(b)
Direktif merupakan tindak tutur yang dilakukan penuturnya dengan maksud agar lawan tutur melakukan tindakan yang disebutkan dalam tuturan itu. Verba penanda direktif dalam tindak tutur adalah verba ‘menyuruh’, ‘memohon’, ‘menuntut’, ‘menyarankan’, dan ‘menantang’.
(c)
Ekspresif merupakan tindak tutur yang dilakukan yang dimaksud agar tuturannya diartikan sebagai evaluasi mengenai hal yang disebutkan di dalam tuturan itu. Verba penanda ekspresif dalam tindak tutur adalah verba ‘memuji’, ‘mengucapkan terima kasih’, ‘mengkr itik’, dan ‘menyelak’.
(d)
Komisif
merupakan tindak tutur yang mengikat penuturannya untuk
melaksanakan apa yang disebutkan di dalam tuturnya. Verba penanda komisif dalam tindak tutur adalah verba ‘berjanji’, ‘bersumpah’, dan ‘mengancam’. (e)
Deklarasi merupakan tindak tutur yang dilakukan si penutur dengan maksud
untuk
menciptakan
hal
yang
baru.
Verba
penanda
deklarasidalam tindak tutur adalah verba ‘memutuskan’, ‘membatalkan’,
‘melarang’, ‘mengizinkan’, dan ‘memberi maaf’. Dari teori tindak tutur yang dikemukakan Searle dapat disimpulkan bahwa satu bentuk ujaran dapat mempunyai lebih dari satu fungsi. Sebaliknya, satu fungsi dapat dinyatakan dalam
berbagai bentuk ujaran. Untuk itu, tindak tutur
langsung sama dengan tindak tutur lokusi dan
tindak tutur tidak
langsung sama dengan tindak tutur ilokusi. Selain itu, sebuah tuturan bisa menjadi tindak tutur langsung. 2.1.1.7Paul H. Gries Gries (1975:45-47) mengatakan bahwa penutur dan lawan tutur dalam pertuturan harus menaati prinsip-prinsip kerjasama. Dalam kajian pragmatik prinsip itu disebut maksim. Maksim merupakan pernyataan ringkas yang mengandung ajaran atau kebenaran. Maksim tersebut terdiri dari maksim kuantitas (maxim of Quantity) artinya maksim yang menghendaki setiap peserta tutur hanya memberikan kontribusi yang secukupnya saja atau sebanyak yang dibutuhkan oleh lawanya, maksim kualitas (maxim of quality)artinya maksim ini menghendaki agar peserta pertuturan itu mengatakan hal sebenarnya yang sesuai dengan data dan fakta, maksim relevansi (maxim of relevance)artinya maksim ini mengharuskan setiap peserta pertuturan memberikan kontribusi yang relavan dengan masalah atau tajuk pertuturan, dan maksim cara (maxim of manner) artinya maksim ini mengharuskan penutur dan lawan tutur berbicara secara langsung, tidak kabur, tidak ambigu, tidak berlebih-lebihan dan runtut.
Menurut Gries apabila keempat maksim ini dipatuhi dalam pertuturan maka pertuturan itu akan berjalan dengan baik. Sebaiknya apabila keempat maksim dilanggar maka pertuturan menjadi tidak baik. Namun, kalau keempat maksim itu dipatuhi kedalam pertuturan, maka akan memperoleh pertuturan yang baik, tetapi pertuturan itu berlangsung dengan tidak
santun. Dengan kata
lain,penutur menerapkan prinsip kesopanan (kesantunan) dari Leech (1983) maka perinsip kerja sama Gries itu yang harus dilanggar dan tidak ditaati. Berdasarkan uraian di atas, kesantunan bahasa jurkam dan caleg Partai Golkar berkampanye dalam penelitian ini terfokus pada teori kesantunan bahasa yang dikemukan Leech kerena tidak melanggar aturan dalam pertuturan berdasarkan maksim kesantunan dan skala pengukuran teori kesantunan bahasa. 2.1.2 Teori Semiotika Kata Semiotika berasal dari bahasa Yunani, semeion, yang berarti “tanda” atau seme, yang berarti “penafsir tanda”. Saragih (2012:12) mengatakan “definisi semiotika itu bervariasi”. Namun demikian, semua definisi semiotika terfokus pada tanda. Pengertian apapun yang diberikan pakar linguistik, bahwa definisi semiotika tetap berpijak pada konsep atau pengertian dasar, yakni semiotika merupakan kajian tanda. Peirce (1839-1914) mengatakan bahwa semiotika” …a relationship a many sign, an object, and a meaning…”. Artinya suatu hubungan di antara tanda, objek, dan makna. Salah satu bentuk tanda adalah kata, sedangkan objectmerupakan sesuatu yang dirujuk tanda sementara interpretantmerupakan tanda yang ada dalam pikiran seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda.
Gambar 2.2. Segitiga makna Pierce Sign Interpretant
Object
Istilah panah dua arah pada gambar di atas menekankan bahwa masingmasing istilah dapat dipahami hanya dalam relasinya dengan yang lain. Sebuah tanda mengacu kepada sesuatu di luar dirinya sendiri, objek dapat dipahami oleh seseorang serta memiliki efek dibenak penggunanya yaitu interpretant. Apabila ketiga elemen makna ini berinteraksi dalam benak seseorang maka muncullah makna tentang sesuatu yang diwakili oleh tanda tersebut. Dengan demikian, teori segitiga makna merupakan persoalan bagaimana makna muncul dari suatu tanda itu digunakan orang pada waktu berkomunikasi. Senada juga dengan Peirce maka de Saussure (1857-1913) mengatakan bahwa semiotikamerupakan ilmu tentang tanda. Ilmu tanda tersebut dibagi menjadi dua komponen, yaitu signifier (citra bunyi) dan signified (konsep) kemudian hubungan antara keduanya disebutarbitrer. Dalam konteks ini, daya semiotika bahasa berkampanye, para caleg memberi tanda dan petanda berbentuk jargon politik, lambang partai politik, dan juga nomor urut peserta caleg sehingga komunikasi dalam berkampanye dapat terealisasi dengan baik dan pesan yang ingin disampaikan mereka dipahami oleh masyarakat. Sobur (2003:15) mengatakan “memaknai berarti objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga menginstruksikan sistem terstruktur dari tanda”.
Artinya, bahwa kata, kalimat, dan gambar sebagai sarana menyampaikan informasi dan pesan. Hal seperti itulah yang yang diterapkan caleg untuk berkampanye melalui semiotik jargon politik kepada masyarakat. Artinya, caleg berkomunikasi dalam berkampanye kepada masyarakat tidak terlepas dari makna jargon politik yang disampaikan melalui semiotika caleg tersebut serta ujaranujaran bahasanya. Selaras dengan Sobur, Bertens (1993:180) mengatakan bahwa tanda merupakan kesatuan bentuk penanda (signifier) dengan sebuah ide atau petanda (signified). Dengan kata lain, penanda adalah “bunyi yang bermakna” atau “coretan yang bermakna”. Artinya bahwa penanda adalah aspek material dari bahasa yaitu apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Petanda adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep aspek mental dari bahasa. Eco (1979:7) dan Chandler (2008:1) (dalam Saragih, 2012:23) mengatakan bahwa semiotika berkenaan dengan segala sesuatu yang dapat dipandang sebagai tanda. Definisi ini memberi pengertian bahwa sesuatu tanda bergantung pada pandangan individu. Artinya, caleg dapat memandang sesuatu sebagai tanda, yang lain mungkin tidak memandangnya keberadaan
tanda
tergantung
pada
sebagai tanda. Dengan kata lain,
individu
menafsirkannya. Misalnya, jargon partai politik
dalam
memandang
dan
“suara golkar suara rakyat”.
Mungkin setiap orang pasti berbeda menafsirkan kalimat tersebut, seperti golkar adalah milik rakyat atau setiap suara rakyat adalah pasti suara golkar. Fawcett (1984:xiii) mengatakan bahwa semiotika merupakan kajian tentang sistem tanda dan penggunaannya. Definisi ini menempatkan bahwa tanda
sebagai sistem, yakni sesuatu yang mempunyai kaitan dengan yang lain dan definisi ini juga mencakupi pemakaian tanda. Lebih luas lagi, Lamb (1984:87) mengatakan semiotika sebagai kajian sistem tanda. Artinya, menempatkan tanda dalam hubungannya dengan yang lain atau dalam konteks sebagai sarana pesan. van Leeuwen (2005:285) juga mengatakan bahwa kajian semiotika sebagai kajian sumber daya semiotika dan penggunaannya. Sumber daya semiotika mencakupi perbuatan, materi, dan alat yang digunakan untuk membentuk tanda untuk tujuan komunikasi. Artinya bahwa sumber daya semiotika memiliki potensi makna berdasarkan kelaziman pemakaian dan penggunaannya. Hal ini, merupakan bagian sarana dan prasarana dalam kampanye yang dipergunakan setiap caleg. Caleg berkampanye melalui daya semiotika alat peraga yang berisi materi kampanye yang disampaikan kepada masyarakat dengan tujuan menarik simpati terhadapnya. Misalnya, “Simpati sama Isma pas di hati jilid II”, maksud dari jargon politik tersebut adalah kesimpatian masyarakat bersama Isma dan mendukung pencalegkan periode kedua. Halliday (2004:230) mengatakan “semiotika bahasa merupakan semiotika sosial. Semiotika bahasa terdiri atas tiga unsur, yakni (a) ‘arti’, setara dengan petanda (signified), (b) bentuk, dan (c) ekspresi, setara dengan penanda (signifier)”. (a) ’arti’ dalam semiotika merujuk pada teori Linguistik Fungsional Sistemik (LFS) merupakan fungsi ujaran. Fungsi ujaran itu merupakan ujaran dasar (disebut juga protoaksi dalam Saragih 2006). Fungsi ujaran itu
merupakaan ‘arti’ dalam sistem semiotika yaitu pernyataan, pertanyaan, perintah, dan tawaran yang direalisasikan oleh bentuk atau tatabahasa, yang seterusnya dieksperesikan oleh bunyi, tulisan, atau isyarat. (b) Bentuk atau tatabahasa modus terjadi dari empat kelompok, yaitu modus deklaratif, interogatif, imperatif, dan tawaran. Secara rinci masing-masing fungsi ujaran direalisasikan oleh modus sebagai berikut: (1) fungsi ujaran pernyataan lazimnya direalisasikan oleh modus deklaratif, (2) fungsi ujaran pertanyaan lazimnya direalisasikan oleh modus interogatif, (3) fungsi ujaran perintah lazimnya direalisasikan oleh modus imperatif, dan (4) fungsi ujaran tawaran dapat direalisasikan oleh deklaratif, interogatif, dan imperatif. Dalam bahasa Indonesia modus ditandai secara prosodi dengan intonasi datar untuk modus deklaratif, naik untuk interogatif, dan turun untuk imperatif. Di samping itu dalam bahasa Indonesia tulisan, titik (.) merupakan penanda pernyataan, tanda tanya (?) merupakan penanda pertanyaan, dan tanda seru (!) merupakan penanda perintah. Di samping penanda prosidi, modus secara struktural ditandai dua unsur fungsi antarpesona, yaitu subject dan finite. Unsur tatabahasa yang digunakan untuk merealisasikan fungsi antarpesona adalah subject, finite, predicator, complement, dan andjuct. Subject dan
finite membangun
mood atau modus sedangkan predicator, complement, dan andjuct membentuk residue yang tidak berperan dalam pembentukan modus. (c) Klausa atau ekspresi berada pada posisi bebas secara gramatikal; merupakan unit yang tertinggi; klausa secara langsung merealisasikan unit
‘arti’ atau semantik. Satu unit pengalaman disebut klausa yang terdiri atas tiga unsur atau konfigurasi, yaitu (1) proses, yakni kegiatan, peristiwa, atau kejadian, (2) partisipan, yakni orang atau benda yang terlibat dalam proses, dan (3) sirkumstan, yakni lingkungan tempat terjadinya proses yang melibatkan pertisipan itu. Kesatuan ketiga unsur itu dalam satu unit pengalaman disebut klausa dan secara teknis realisasi penggambaran pengalaman itu dalam semiotika bahasa disebut transitif. Misalnya, pemburu itu mengejar harimau itu kemarin (pemburu itu adalah pertisipan, mengejar adalah proses, harimau itu adalah partisipan, dan kemarin adalah sirkumstan). Ketiga semiotika bahasa itu dengan sifat perulangan berlapis yang dikenal dengan istilah metaredundancy, unsur petanda dan bentuk menyatu sebagai petanda dalam satu tahap proses pemakai bahasa. Pada proses petanda diekspresikan oleh penanda yang berupa bunyi, huruf, atau isyarat. Dalam teori LFS, istilah arti diberi tanda kutip tunggal ‘…’ sebagai ‘arti’ dan bentuk serta ekspresi tidak diberi tanda kutip. Secara teknis unsur ‘arti’, bentuk, dan ekspresi masing-masing mangacu ke semantik (semantics), dan tatabahasa (leksikogramar). Di dalam teori LFS dikatakan juga bahwa bahasa sebagai semiotika
terdiri atas tiga unsur atau strata, yaitu strata semantik,
leksikogramar, dan fonologi. Hubungan dengan kesantunan daya semiotika bahasa merupakan hubungan ‘arti’ dan ekspresi tidak bersifat ‘satu ke satu’ yang dikenal dengan istilah nonbiunique. Nonbiunique merupakan hubungan satu ke satu, yakni satu
‘arti’ direalisasikan oleh satu ekspresi atau satu ekspresi merealisasikan satu ‘arti’. Hubungan nonbiunique juga menyatakan hubungan satu ke banyak, yakni satu ‘arti’ ke banyak ekspresi atau hubungan satu ke banyak, yakni satu ‘arti’ ke banyak ekspresi atau hubungan satu ekspresi yang merupakan realisasi banyak ‘arti’. Bentuk kajian ini tidak hanya berlangsung dalam hubungan satu ke satu, yakni hubungan antara satu petanda dengan satu penanda atau antara satu ‘arti’ dengan satu ekspresi tetapi juga potensial berlangsung dalam hubungan satu ke lebih dari satu atau satu kebanyak. Selanjutnya, tanda (sign)merupakan sesuatu
yang
mewakili atau
menyatakan sesuatu yang lain. Dengan kata lain, tanda terjadi dari dua unsur yakni sesuatu yang disebut penanda (signifier)dan sesuatu yang lain diistilahkan sebagai petanda (signified) yang diwakili. Hubungan antara petanda dan penanda adalah hubungan realisasi, yakni petanda direalisasikan oleh penanda atau penanda merealisasikan petanda. Misalnya, merah sebagai penanda bahaya dengan pengertian ‘bahaya’ sebagai petanda dan warna merahsebagai penanda. Hubungan sintagmatik antara petanda dan penanda adalah jika petanda di depan dan penanda di belakangnya keduanya dihubungkan oleh proses atau verba pasif: “petanda direalisasikan oleh penanda” (‘bahaya’ dinyatakan oleh merah), sementara, jika penanda mengikuti petanda keduanya dihubungkan oleh verbal aktif: “penanda merealisasikan
petanda
(merah menyatakan ‘bahaya’). Di samping “merealisasikan”, verba lain dapat digunakan seperti “menyatakan, menunjukkan, mengindikasikan, mengekspresikan, mengodekan,
menyimbolkan,
berarti,
bermakna,
merepresentasikan,
mengisyaratkan,
merupakan, dan mewakili” untuk menghubungkan petanda dan penanda atau dalam semiotika bahasa antara ‘arti’ dan ‘ekspresi’. Misalnya: Petanda
Penanda
‘Ka’bah’
1. Partai Persatuan Pembangunan
‘Banteng’
2. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
‘Pohon Beringin’
3. Partai Golongan Karya
Artinya, petanda Ka’bah direalisasikan menjadi penanda Partai Persatuan Pembangunan, petanda Banteng direalisasikan menjadi penanda Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, dan petanda Pohon Beringi direalisasikan menjadi penanda Partai Golongan Karya. 2.1.3 Teori Linguistik Fungsional Sistemik (LFS) LFS merupakan satu pradigma dalam kajian fungsional bahasa yang pendekatan, kajian, dan aplikasinya berdasarkan prinsip semiotika. Bahasa dikatakan sebagai semiotika sosial (Halliday, 2004:214). Dengan kata lain, tatabahasa fungsional sistemik adalah tatabahasa yang teori atau prinsip semiotika menjadi dasar utama dalam pengkajian penelitian ini. Konsep fungsional dalam LFS memiliki
tiga pengertian yang saling
berhubungan. Pertama, pengertian fungsional menurut LFS adalah bahasa terstruktur berdasarkan fungsi yang akan dimainkan oleh bahasa dalam kehidupan manusia atau tujuan yang akan dicapai dalam pemakaian bahasa. Pengertian ini disebut fungsional berdasarkan tujuan pemakaian bahasa.
Dengan kata lain, secara spesifik dikatakan bahwa bahasa atau teks terstruktur berdasarkan tujuan pemakaian atau penggunaan bahasa. Bahasa yang digunakan untuk suatu fungsi atau tujuan disebut teks (text). Dengan pengertian pertama ini, teks yang digunakan untuk menceritakan peristiwa (narasi) terstruktur berbeda dengan teks yang digunakan untuk melaporkan satu peristiwa. Dengan pengertian yang pertama ini kecenderungan tatabahasa dalam teks. Perbedaan ini terjadi karena fungsi dan tujuan dalam masing-masing teks berbeda. Dengan kata lain, penutur atau pemakai bahasa memiliki tujuan yang berbeda dengan teks yang lain. Perbedaan teks direalisasikan oleh perbedaan tatabahasa (lexicogramar) secara kualitatif dengan perbedaan kualitatif
dan kuantitatif. Yang dimaksud
adalah dalam dua teks yang berbeda tujuannya
pemunculan suatu aspek tatabahasa itu tidak muncul atau tidak ada sama sekali. Perbedaan kualitatif menunjukkan bahwa tingkat kemungkinan, probabilitas, keseringan atau kekerapan pemunculan suatu aspek tatabahasa lebih tinggi dalam dalam suatu teks daripada teks yang satu lagi. Jadi dengan pandangan semiotika, pemunculan satu aspek tatabahasa atau probabilitas pemunculan satu aspek tatabahasa adalah penanda ‘arti’ atau makna yang terdapat di dalam teks itu. Dengan pengertian fungsional yang pertama ini teks diinterpretasikan sebagai ditentukan oleh konteks sosial, yakni segala unsur yang terjadi di luar teks. Dengan kata lain, struktur teks ditentukan oleh unsur yang ada di luar teks, yakni tujuan pemakaian bahasa sebagai unsur konteks sosial.
Pengertian fungsional yang kedua adalah metafungsi bahasa, yakni fungsi bahasa dalam pemakaian bahasa. Berkaitan dengan pengertian fungsional pertama, LFS merumuskan bahwa dalam kehidupan manusia bahasa memiliki tiga kategori fungsi yaitu, (a) memaparkan atau memerikan pengalaman yang diistilahkan sebagai fungsi ideasional (ideational function), (b) mempertukarkan pengalaman yang diistilahkan sebagai fungsi antarpesona (interpersonal function), dan (c) merangkaikan pengalaman yang diistilahkan sebagai fungsi tekstual (textual function). Selanjutnya fungsi ideasional terbagi ke dalam dua subbagian , yakni fungsi eksperiensial (experiential function), yakni fungsi bahasa untuk menggambarkan pengalaman dan fungsi logis (logical function), yakni fungsi bahasa untuk menghubungkan pengalaman. Implikasi dari metafungsi bahasa ini adalah tatabahasa dipandang merupakan teori tentang pengalaman, yakni teori tentang bagaimana bahasa digunakan
menggambarkan
pengalaman,
menghubungkan
pengalaman,
mempertukarkan pengalaman, dan merangkai pengalaman. Dengan mengikuti prinsip semiotika, masing-masing fungsi bahasa itu direalisasikan oleh struktur bahasa atau tatabahasa yang berbeda sifatnya dan tidak saling berhubungan. Realisasi makna atau fungsi antarpersona terjadi pada tingkat, strata, atau level semantik. Sebagai realisasi aksi pada strata tatabahasa, modus terdiri atas modus deklaratif, interogatif, dan imperatif. Aksi ‘pernyataan’, ‘pertanyaan’, dan ‘perintah’ masing-masing direalisasikan oleh modus deklaratif, interogatif, dan imperatif, sedangkan ‘tawaran’ tidak memiliki modus yang lazim (unmarked) sebagai realisasinya. Dengan demikian, ‘tawaran’ dalam konteks sosial tentu
dapat direalisasikan oleh satu dari ketiga modus deklaratif, interogatif, dan imperatif. Realisasi aksi pada strata semantik dan tatabahasa bukanlah hubungan ‘satu ke satu’ (biunique relation); artinya secara semantik ‘pernyataan’ tidak selamanya direalisasikan oleh hanya modus deklaratif ‘pernyataan’ oleh hanya interogatif , dan ‘perintah’ oleh hanya imperatif. Hubungan aksi dalam kedua strata itu bersifat probabilitas yang memberikan dua pengertian, yaitu pertama, satu aksi ditingkat semantik dapat direalisasikan satu modus dan kedua, satu modus dapat merupakan realisasi lebih dari satu aksi. Sebagai contoh, aksi ‘perintah’ dapat direalisasikan oleh modus imperatif, interogatif, dan deklaratif. Tabel 2.1. Realisasi fungsi ujar dalam modus imperatif, interogatif, dan deklaratif Semantik ‘Perintah’ (agar memilih partai golkar)
‘Perintah’ (menggunakan hak pilih)
Tatabahasa (Modus) Imperatif Interogatif Deklaratif Imperatif Interogatif Deklaratif
Klausa Ayo mendengar suara golkar, suara rakyat! Apakah suara golkar, suara rakyat? Suara golkar, suara rakyat. Pergilah ke TPS suaramu menentukan nasib bangsa! Siapa yang mau menggunakan hak pilihnya? Sebagai warga negara yang baik gunakan hak pilihmu pada pemilu ini.
Hubungan realisasi fungsi ujaran dalam modus pada tabel di atas merupakan realisasi ‘perintah’ di dalam tiga modus dan klausa dalam modus merupakan realisasi banyak arti. Semantik ‘perintah’ agar memilih partai golkar direalisasikan pada modus imperatif, interogatif, dan deklaratif. Klausa dalam modus dapat direalisasikan banyak arti, yakni Ayo mendengar suara golkar, suara
rakyat! Apakah suara golkar, suara rakyat? Suara golkar, suara rakyat. Semantik ‘perintah’ menggunakan hak pilih direalisasikan pada modus imperatif, interogatif, dan deklaratif. Klausa dalam modus dapat direalisasikan banyak arti, yakni Pergilah ke TPS suaramu menentukan nasib bangsa! Siapa yang mau menggunakan hak pilihnya? Sebagai warga negara yang baik gunakan hak pilihmu pada pemilu ini. Pengertian fungsional ketiga berkaitan dengan fungsi unit bahasa dalam unit yang lebih besar. Dalam LFS dikatakan bahwa setiap unit bahasa bersifat fungsional terhadap unit yang lebih besar, yang di dalam unit itu menjadi unsur. Ada empat unit bahasa dalam LFS, yakni klausa, grup atau frase, grup atau frase fungsional dalam klausa dan klausa menjadi unsur fungsional dalam klausa kompleks. Hubungan antarperingkat tatabahasa ini adalah hubungan konstituen dengan pengertian bahwa unit tatabahasa yang lebih tinggi peringkatnya dibangun dari unit yang berada di bawahnya. LFS sebagai bagian dari pendekatan linguistik fungsional melihat bahasa sebagai fenomena sosial hanya dapat dipahami dalam konteks sosial. Dalam LFS, kajian difokuskan pada teks. Dengan kata lain, unit kajian tertumpu pada teks. Teks adalah unit arti atau wujud sebagai hasil intraksi dalam konteks sosial.
Figura 2.3. Realisasi metafungsi dalam semiotika pemakaian bahasa Dalam pengodean semiotika bahasa berdasarkan gambar di atas merupakan pengodean berlapis. Ideologi direalisasikan oleh budaya; realisasi ideologi dalam budaya menjadi satu kesatuan dan direalisasikan oleh situasi; realisasi ideologi dalam budaya yang telah direalisasikan dan menyatu dalam situasi direalisasikan oleh semantik; realisasi ideologi dalam budaya dalam situasi yang telah menyatu dan direalisasikan semantik selanjutnya direalisasikan oleh leksikogramar diekspresikan dalam fonologi, grafologi, atau isyarat. Dari uraian-uraian pendapat para ahli mengenai semiotika bahasa, peneliti menyimpulkan semiotika
merupakan ilmu tanda yang diekspresikan sesuai
dengan keadaan dan situasi konteks dalam bentuk fonologi, grafologi, dan isyarat. 2.2 Kajian yang Relevan Pada tahapan ini, peneliti membahas kajian-kajian terdahulu mengenai kesantunan yang telah dilakukan peneliti-peneliti bahasa sebelumnya. Penelitian kesantunan yang dibahas berkaitan dengan kajian pendekatan pragmatik yang berhubungan dengan kajian pustaka, konsep, dan metode.
a. Hasil penelitian yang relevan Hasil
penelitian
yang
dilakukan
Elvita
Yenni
(2010)
adalah
berjudul“Kesantunan Berbahasa dalam Acara Debat Kontroversi Surat Keputusan Bersama Ahmadiyah di TV One.” Penelitian ini memakai teori kesantunan bahasa yang dikemukan Brown dan Levinson. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif
dengan teknik pengolahan data dengan
menggunakan teknik observasi, dokumentasi, dan wawancara. Hasil penelitian ini mengenai strategi kesantunan positif dan negatif adalah meminimalkan jarak lebih dominan menciptakan strategi jarak dan segi budaya menselarakan budaya Eropa sementara jarak berakar pada budaya Asia termasuk Indonesia. Namun secara alamiah terdapat juga berbagai macam tuturan yang cendrung merupakan tindakan yang tidak menyenangkan yang berarti tindakan yang mengancam muka. Untuk mengurangi ancaman itulah kita didalam berkomunikasi perlu menggunakan sopan santun. Karena ada dua sisi muka yang terancam yaitu, muka negatif dan muka positif. Kesantunan ini dapat ditafsirkan sebagai upaya untuk menghindari konflik antara penutur dan lawan tuturnya di dalam proses berkomunikasi. Kontribusi penelitian Yenni terhadap penelitian ini adalah adanya keterkaitan permasalahan terhadap kesantunan bahasa dalam tindak tutur dan metode dalam teknik pengumpulan data sama dengan penelitian ini yaitu teknik observasi, dokumentasi, dan wawancara. Hasil penelitian yang dilakukan Yenny Puspita Saragih (2013) adalah berjudul “Kearifan Lokal Kesantunan Berbahasa pada Masyarakat Pasisi Barus.” Penelitian ini menggunakan pendekatan kajian antropolinguistik dan pragmatik.
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori kesantunan bahasa yang dikemukakan Brown dan Levinson. Metode penelitian yang dipergunakan adalah metode
deskriptif
kualitatif
dengan
teknik
pengumpulan
data
dengan
menggunakan teknik sadap dan wawancara. Hasil analisis data dalam penelitian ini menunjukkan bahwa kesantunan berbahasa masyarakat Pesisi Barus direalisasikan ke dalam lima bentuk tindak tutur, yaitu menolak, meminta, memerintah, melarang, dan menawarkan. Kontribusi penelitian ini terhadap penelitian yang dilakukan peneliti merupakan kesamaan data bentuk tindak tutur dalam bentuk fungsi ujar. Hasil penelitianyang dilakukan Sri Minda Murni (2008) adalah berjudul “Kesantunan Linguistik dalam Ranah Sidang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Utara.”Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan model rancangan etnografi komunikasi dan memakai kajian pragmatik untuk menganalisis masalah kesantunan berbahasa. Metode penelitian yang dipergunakan adalah metode deskriptif kualitatif dengan teknik pengumpulan data dengan menggunakan
teknik observasi,
dokumentasi, dan wawancara yang digunakan di dalam rapat dewan dapat memisahkan politic behavior dari polite behavior. Dari data ditemukan bahwa kesantunan linguistik di dalam tindak tutur meminta penjelasan dilakukan dengan cara mendeklarasikan keadaan ‘tidak tahu’ dan ‘tidak dapat informasi’ yang secara pragmatik bermakna meminta penjelasan. Di dalam tindak tutur memberikan pendapat, penggunaan modus interogatif secara pragmatik bermakna mengemukakan pendapat tidak setuju
secara tidak langsung. Realisasi politic behavior di rapat dewan menggunakan ujaran-ujaran yang mengikat secara sosial dan ujaran-ujaran yang bersifat formulaik. Contoh penggunaan pronomina yang mempertahankan ingroup terpisah dari outgroup (pronomina ‘kami’ digunakan untuk menggantikan pronomina ‘saya’), penggunaan pemarkah kesantunan secara formulaik (‘tolong’ dan ‘mohon’). Realisasi polite behavior dirapat dewan memberi upaya lebih dalam memenuhi aspek pengawasan, menggunakan ujaran tidak langsung, menggabungkan in-group dan out-group (pronomina), seolah- olah memberi pilihan, melemahkan ujaran. Kontribusi penelitian Minda dengan penelitian ini adalah sebagai bahan sumber bagi peneliti untuk membedakan kesantunan linguistik dalam ranah sidang dewan perwakilan rakyat daerah Provinsi Sumatera Utara dengan kesantunan bahasa berkampanye caleg. Hasil penelitian yang dilakukan I Wayan Simpen (2008) adalah berjudul “Kesantunan Berbahasa Pada Penutur Bahasa Kambera di Sumba Timur.” Metode penelitian yang dipergunakan adalah metode deskriptif kualitatif dengan teknik pengumpulan data, penganalisisan data, dan penyajian hasil analisis. Hasil analisis penelitian menggambarkan bahwa kesantunan berbahasa pada penutur bahasa Kambera menggambarkan ideologi yang dijadikan dasar kesantunan berbahasa. Adapun kesantunan berbahasa dipengaruhi faktor status, usia,
jenis kelamin, budaya, stratifikasi sosial serta hubungan kekerabatan.
Keverbalan bahasa digunakan untuk kesantunan berbentuk kata, gabungan kata, dan kalimat.
Kesimpulan penelitian ini, penutur bahasa Kambera masih memerankan ideologi yang mereka sebut Hopu li li witi-Hopu li la kunda ‘akhir dari segala pembicaraan akhir dari segala pintalan. Penelitian Simpe memberi kontribusi terhadap penelitian yang telah dilakukan ini dalam hal kesantunan bahasa terhadap penutur dan petutur mengandung kesantunan pada data-data bahasa yang didapat. Hasil penelitian yang dilakukan Saleh (2009) adalah berjudul“Representasi Kesantunan Berbahasa Mahasiswa dalam Wacana Akademik: Kajian Etnografi Komunikasi
di
Kampus
Universitas
Negeri
Makasar.”Penelitian
ini
menggunakan ancangan teori etnografi komunikasi, teori tindak tutur, dan teori kesantunan berbahasa.Metode penelitian yang dipergunakan adalah metode deskriptif kualitatif dengan teknik pengumpulan data dilakukan melalui teknik perekaman, observasi, wawancara, dan transkripsi. Analisis
data dilakukan
melalui
empat
prosedur
utama,
yakni:
pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penyimpulan/verifikasi. Hasil analisis penelitian adalah mendeskripsikan dan mengeksplanasi kesantunan berbahasa mahasiswa melalui: (1) wujud kesantunan berbahasa mahasiswa dalam wacana akademik, (2) fungsi kesantunan berbahasa mahasiswa dalam wacana akademik, dan (3) strategi kesantunan berbahasa mahasiswa dalam wacana akademik. Wujud kesantunan berbahasa mahasiswa dalam wacana akademik secara deskriptif direpresentasikan melalui dua wujud yaitu penggunaan bahasa dan penggunaan tuturan. Pertama, penggunaan bahasa, meliputi: (1) penamaan diri,
(2) penggunaan kata ganti, (3) penggunaan gelar, (4) penggunaan respon mengiyakan, dan (5) penggunaan diksi informal. Kedua, penggunaan tuturan, meliputi: (a) tuturan dengan modus deklaratif; (b) tuturan dengan modus imperatif; dan (c) tuturan dengan modus interogatif. Strategi kesantunan berbahasa mahasiswa dalam wacana akademik direpresentasikan secara deskriptif melalui tiga kategori strategi. Pertama, strategi kesantunan
positif
diuraikan
melalui:
strategi
penghormatan,
memberi
penghargaan, memenuhi keinginan mitra tutur, meminta pertimbangan, bertanya, melipatgandakan
simpati,
memberi perhatian,
mencari persetujuan,
dan
merendahkan diri. Kedua,strategi kesantunan negatif, diuraikan melalui strategi menghindari perselisihan, bertanya balik, membiarkan mitra tutur, bersikap pesimis, impersonalitas atau jarak, bersikap patuh, menghindari berasumsi, dan meminta maaf. Ketiga,strategi off-record, diuraikankan melalui strategi bertutur samarsamar, strategi memberi isyarat, bertanya retoris, dan menghindari pemaksaan. Kontribusi penelitian Saleh terhadapa penelitian yang dilakukan ini dalam hal kesantunan berbahasa. Selain itu, metode penelitian Simpen juga memberi kontribusi terhadap penelitian dalam teknik pengumpulan data-data bahasa yang didapat. Hasil penelitian Ridwan Hanafiah (2011) yang berjudul “Pemilihan Bahasa dan Sikap Bahasa dalam Komunikasi Politik Oleh Partai Politik Lokal di Pemerintahan Aceh.”Penelitian ini memakai teori sosiolinguistik
dalam
membahas suatu bahasa yang dipilih oleh pengurus partai politik lokal dalam
komunikasi politik, sikap bahasa pengurus patai politik lokal dalam komunikasi politik, dan hubungan pemilihan bahasa dan sikap komunikasi politik oleh partai lokal di pemerintahan Aceh. Metode penelitian yang dipergunakan adalah metode kuantitatif dan kualitatif dengan teknik pengumpulan data observasi, wawancara, dokumentasi, angket, dan teknik SPSS untuk mendapatkan persentase pemilihan dan sikap bahasa secara signifikan. Hasil penelitian meliputi bahasa politik di Pemerintahan Aceh dengan persentase 47,36%, sedangkan yang menggunakan bahasa Aceh dan Bahasa Indonesia 52,63%.
Dari hasil persentase tersebut
parta lokal
memenangkan hasil pemilu 2009 di Aceh. Kontribusi penelitian Hanafiah terhadap penelitian yang dilakukan ini adalah adanya persamaan objek penelitian yaitu partai politik yang direalisasikan dalam pemilihan bahasa dalam berkomunikasi. b.
Kajian yang relevan dikutip dari jurnal Dalam Jurnal LOGAT volume 1 yang berjudul “Perangkat Tindak Tutur
dan Siasat Kesantunan Berbahasa (Data Bahasa Mandailing)”, Namsyah Hot Hasibuan (2005) mengklasifikasikan tindak tutur data bahasa Mandailing berdasarkan sistematisasi Searle yang mengelompokkannya ke dalam lima jenis tindak tutur utama, yaitu tindak tutur representatif, direktif, komisif, ekspresif, dan deklaratif yang dinyatakan bahwa masyarakat Mandailing pada prinsip kesantunan diperoleh melalui pembelajaran agama dan norma adat setempat baik formal maupun tidak formal. Penelitian Namsyah Hot Hasibuan memberi
kontribusi terhadap penelitian yang telah dilakukan ini mengenai kesantunan dan tindak tutur. Dalam Jurnal PELLBA 18 yang berjudul “Implikator dan Kesantunan Berbahasa: Beberapa Tilikan dari Sandiwara Ludruk”, Asim Gunarwan (2007) mencoba menunjukkan bahwa teori pragmatik tepatnya teori kesantunan dapat dipakai untuk menganalisis bahasa di dalam praktik penggunaannya. Bahasan beliau dalam tulisan tersebut didasarkan pada teori Brown dan Levinson. Beliau menganalisis ujaran-ujaran dalam lakon ludruk Jawa dengan memilih dialogdialog yang potensial mengandung kesantunan baik yang positif maupun yang negatif. Kontribusi penelitian Asim Gunarwan dalam penelitian yang dilakukan ini adalah pemilihan tuturan dalam konteks kesantunan bahasa. Dalam Jurnal Masyarakat Linguistik Indonesi Tahun ke-25 Nomor 1 yang berjudul
“Kesantunan Berbahasa dalam Mengungkapkan Perintah”, Supriatin
(2007). Jurnal ini menggunakan teori yang dikemukakan oleh Brown and Levinson. Metode penelitian yang dipergunakan adalah metode deskriptif kualitatif
dengan
tujuan
mendeskripsikan
kesantunan
berbahasa
dalam
mengungkapkan perintah. Hasil penelitian mengungkapkan kesantunan berbahasa perintah terhadap lawan tutur dalam ranah penggunaan bahasa berdasarkan pada peraturan dan struktur bahasa dan ranah kesantunan berdasarkan prinsip komunikasi itu sendiri, peraturan, dan struktur termasuk dalam bidang yang lebih ekslusif dari interaksi sosial. Dalam bertindak tutur harus menafsirkan sebagai penghubung kesantunan bahasa perintah. Kontribusi penelitian Supriatin dengan
penelitan ini adalah menunjukkan kesamaan teori dalam mengkaji kesantunan bahasa dalam bentuk modus perintah. Dalam Jurnal Masyarakat Linguistik Indonesi Tahun ke-26 Nomor 2 yang berjudul “Kesantunan Positif Komunikasi Dokter-Pasien dalam Program Konsultasi Seks”, Pramujiono (2008). Penelitian ini memakai teori kesantunan yang dikemukakan oleh Brown dan Levinson serta mempergunakan
metode
deskriptif kualitatif dalam mengolah data penelitiannya. Hasil analisis penelitian ini ditemukan strategi komunikasi dokter dan pasien pada program yaitu memberi perhatian dan empati, menggunakan gurauan, pemendekan kata, meminta alasan atau memberikan pertanyaan, dan meminta persetujuan dengan pengulangan ujaran. Kontribusi penelitian Pramujiono terhadap penelitian yang dilakukan ini adalah sama-sama membicarakan konteks kesantunan bahasa dan metode penelitian dengan menggunakan kualitatif deskriptif. Dalam Jurnal Masyarakat Linguistik Indonesi Tahun ke-26 Nomor 2 yang berjudul“Strategi Kesantunan Bahasa pada Anak-Anak Usia Prasekolah: Mengucapkan Keinginan”, Kushartanti (2008). Penelitian ini memakai teori pragmatik dengan memakai metode kualitatif dalam mengolah data penelitian. Hasil penelitian menunjukkan kesantunan sopan santu bahasa anak-anak dari perkembangan pragmatik
yang dipengaruhi pola asuh latar belakang sosial
budaya guru yang memberi pengetahuan dan pengaruh kebiasaan di rumah. Kontribusi penelitian Kushartanti terhadap penelitian ini dalam ranah konteks kesantunan berbahasa.
Dalam Jurnal Masyarakat Linguistik Indonesi Tahun ke-31 Nomor 1 yang berjudul“Representasi Kekuasaan dalam Tuturan Elit Politik Pascareformasi: Pilihan Kata dan Bentuk Gramatikal”, Johar Amir (2013). Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan pendekatan analisis wacana kritis. Dalam pengumpulan data penelitian ini digunakan metode simak dengan tekniknya. Data dalam penelitian ini adalah meliputi elit politik yang terlibat dalam pemerintahan dan legislatif. Hasil penelitian ini merupakan representasi kekuasaan dalam tuturan elit politik pascareformasi ditemukan bahwa refresentasi kekuasaan tercermin dalam pilihan kata dalam modus deklaratif, interogatif, imperatif, tawaran dan kelompok kata yang digunakan elit politik dikaitkan dengan pelaksanaan pemerintah dalam hal terkait dengan kekuasaan. Kontribusi penelitian ini terhadap penelitian yang dilakukan peneliti adalah persamaan objek penelitian dalam modus deklaratif, interogatif, imperatif, tawaran dalam teks wacana. 2.3 Kerangka Teoretis Penelitian ini menggunakan teori kesantunan yang dikemukakan oleh Leech (1983) yang mengemukakan teori kesantunan yang terbagi atas enam maksim. Menurut Leech setiap maksim yaitu maksim (1) kebijaksanaan (tact), (2) penerimaan (generocity), (3) kemurahan (approbation), (4) kerendahan hati(modesty), (5) kesetujuan (agreement), dan (6) kesimpatian (sympathy). Dalam hal ini, kekuatan teori ini sempurna membicarakan prinsip kesantunan yang terdiri dari skala kerugian dan keuntungan (cost-benefit scale), skala
pilihan (optionality
scale),
skala
pilihan
(option), skala
ketidaklangsungan (indirectness scale), skala keotoritasan (anthority scale), dan skala jarak sosial (social distance), namun kelemahan teori ini tidak ditemukan dalam prinsip kesantunan bahasa. Kemudian analisis masalah kedua penelitian daya semiotika bahasa caleg berkampanye di Labuhanbatu Utara menggunakan teori semiotika bahasa dalam fungsi ujar yang dikemukaan Halliday (2004). Teori ini mengatakan bahwa dalam interaksi sosial hanya ada empat fungsi ujar (speech function) yaitu pernyataan, pertanyaan, perintah, dan penawaran yang direalisasikan ke dalam tiga modus yaitu deklaratif, interogatif, dan imperatif. Dalam hal ini, kekuatan teori semiotika bahasa dalam fungsi ujar dapat sebagai pengontrol dalam komunikasi berkampanye dan kelemahannya adalah kurang terfokus pada budaya dan ideologi. Selanjutnya, dari uraian kajian teoretis kesantunan berbahasa dengan daya semiotika caleg berkampanye dirancang ke dalam bentuk kajian teoritis sebagai berikut.
Gambar 2.4. Kerangka teoritis penelitian Kesantunan dengan Daya Semiotika Bahasa Berkampanye Caleg Partai Golkar di kab. Labura
Bahasa Berkampanye Jurkam dan Caleg Partai Golkar
Data Lisan dan Data Tulis
Teori
Teori Kesantunan (Leech, 1983)
Semiotika Bahasa dalam Fungsi Ujar (Halliday, 2004)
Kesantunan Bahasa
Daya Semiotika Bahasa
Maksim kebijaksanaan,Maksim penerimaan, Maksim kemurahan, Maksim kerendahan hati, Maksim kesetujuan, dan Maksim kesimpatian.
1. 2. 3. 4.
Hasil
Pernyataan Pertanyaan Perintah Tawaran