BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1.
Kajian Pustaka
2.1.1. Kajian Terdahulu Beberapa peneliti melakukan penelitian terkait Konstruksi program televisi dan menggunakan teori semiotika. Peneliti pertama adalah Dahlia Ardhana Reswari, tentang Representasi Pluralisme Dalam Film Tanda Tanya, Program Magister Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana. Penelitian ini untuk mengetahui representasi pluralism dalam Film Tanda Tanya yang mengangkat masalah keberagaman agama. Teori yang digunakan adalah representasi yang merupakan salah satu praktek penting yang memproduksi kebudayaan melalui bahasa yang menjadi perantara dalam memaknai sesuatu, memproduksi dan mengubah makna
dan konsep yang digunakan dalam proses
pemaknaan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian paradigma kritis dengan pendekatan kualitatif menggunakan analisa semiotika John Fiske dengan tiga level, yaitu level realitas, level representatif dan level ideologi. Unit analisis penelitian ini berupa visual, ekspresi, dialog dan teks yang ada didalam film Tanda Tanya. Hasil penelitian ini 8
menunjukan bahwa Hanung membuat Film Tanda Tanya sebenarnya untuk mengangkat masalah toleransi beragama yang ada di Indonesia, akan tetapi isi film tersebut sangat menonjolkan konflik-konflik sosial yang berhubungan langsung dengan perbedaan prinsip dan agama atau dengan kata lain lebih menggambarkan pluralism dibandingkan toleransi beragama. dan hal itu tercermin pada tema film itu sendiri yakni “Masih Pentingkah Kita Berbeda?”. Sedangkan sikap toleransi beragama itu sendiri adalah menjaga keberagaman agama tersebut dengan saling menjaga dan menghormati perbedaan tersebut. Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Anastasia Ari Respati, tentang “Representasi Perempuan Karier Indonesia Pada Era 70-an dan Era Modern” (Analisis Semiotika Roland Barthes pada cover majalah Femina Indonesia edisi Newborn tahun 1972 dan edisi Re-design tahun 2012). Program magister Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana. Penelitian ini untuk mengetahui perbedaan representasi perempuan karier Indonesia yang tersurat dari cober majalah Femina edisi Newborn tahun 1972 dan edisi Re-design tahun 2012. Metode analisis menggunakan model Semiotika Roland Barthes. Unit analisis dari penelitian ini adalah cover majalah Femina edisi Newborn tahun 1972 dan edisi Re-design tahun 2012. Keseluruhan unit analisis yang dimaksud meliputi narasi, tanda verbal, tanda non verbal, warna mulai dari pakaian dan suasana pada ruangan, setting tempat dan sudut pengambilan gambar untuk cover majalah 9
Femina.
Penelitian
ini
menggunakan
penelitian
kritis
dengan
pendekatan kualitatif. Hasil penelitian ini adalah bahwa representasi perempuan karier Indonesia pada cover tahun 1972 lebih kental terlihat peran diranah domestik perempuan sebagai pengurus rumah tangga yang dituntut multi tasking harus dapat mengurus keluarga mulai dari suami, mengurus dapur, mengurus anak dan mengatur keuangan keluarga. Sementara representasi perempuan karier Indonesia tahun 2012 digambarkan sebagai perempuan yang profesional, modern dan percaya diri untuk melangkah lebih jauh serta tidak takut akan tantangan apapun dalam menghadapi rekan kerja seorang pria. Penelitian terakhir oleh Yohanes Januadi dan Lukas S. Ispandriarno yang berjudul “Banjir Jakarta di mata ‘oom pasikom (studi
Deskriptif Kualitatif Menggunakan Semiotika Pierce dalam Karikatur Editorial ‘Oom Pasikom’ dalam Surat Kabar Harian Kompas. Peneliti ini menggunakan analisis semiotika Charles Sanders Peirce. Adapun teori yang digunakan adalah teori figur Andrew Loomis. Penelitian ini mengambil objek karikatur editorial Oom Pasikom Edisi Banjir Jakarta. Berdasarkan hasil analisis semiotika dengan model semiotika Peirce, serta merujuk pada teori figur Andrew Loomis dapat dikatakan bahwa representasi kritik G.M. Sudarta melalui Oom Pasikom dalam rangka melihat isu lingkungan terutama banjir Jakarta selalu mengarahkan fokusnya kepada pemerintah sebagai pemangku utama kebijakan lingkungan sekaligus menjadi pihak yang bertanggungjawab. 10
Nama
Judul
Metodologi
Hasil Penelitian
Kritik
Dahlia Ardhana Reswari
Representasi Pluralisme Dalam Film Tanda Tanya
Kualitatif dengan pendekatan alisisis semiotika model John Fiske
Film Tanda Tanya sebenarnya untuk mengangkat masalah toleransi beragama yang ada di Indonesia, akan tetapi isi film tersebut sangat menonjolkan konflik-konflik sosial yang berhubungan langsung dengan perbedaan prinsip dan agama atau dengan kata lain lebih menggambarkan pluralism dibandingkan toleransi beragama.
Proses representasi film tanda tanya berdasarkan tiga level semiotika, yaitu realita, representasi dan ideologi serta sudut pandang konstruksionis harus ditelaah lebih lanjut lagi dengan mencoba untuk melihat dari sudut pandang lainnya seperti segi bahasa dan segi mental.
Anastasia Ari Respati
Representasi Perempuan Karier Indonesia Pada Era 70-an dan Era Modern (Analisis Semiotika Roland Barthes pada cover majalah Femina edisi 1972 dan 2012)
Kualitatif dengan pendekatan analisis Semiotika Roland Barthes
Hasil penelitian ini adalah bahwa representasi perempuan karier Indonesia pada cover tahun 1972 lebih kental terlihat peran diranah domestik perempuan sebagai pengurus rumah tangga yang dituntut multi tasking harus dapat mengurus keluarga mulai dari suami, mengurus dapur, mengurus anak dan mengatur keuangan keluarga. Sementara representasi perempuan karier Indonesia tahun 2012 digambarkan sebagai perempuan yang profesional, modern dan percaya diri untuk melangkah lebih jauh serta tidak takut akan tantangan apapun dalam menghadapi rekan kerja seorang pria.
Penelitian ini tidak mengambarkan ideologi media dalam pembuatan cover majalah Femina
Banjir Jakarta di mata ‘oom pasikom (studi Deskriptif Kualitatif Menggunakan Semiotika Pierce dalam
Kualitatif dengan metode Semiotika Charles Sanders Peirce dan teori figur Andrew Loomis
Representasi kritik G.M. Sudarta melalui Oom Pasikom dalam rangka melihat isu lingkungan terutama banjir Jakarta selalu mengarahkan fokusnya kepada pemerintah sebagai pemangku utama kebijakan lingkungan sekaligus
Masih ada kekurangan dari karikatur ini, yaitu belum mendalamnya karikaturis menggambarkan banjir sebagai isu lingkungan yang menimbulkan efek jera bagi
Yohanes Januadi dan Lukas S. Ispandriarno
11
Karikatur Editorial ‘Oom Pasikom’ dalam Surat Kabar Harian Kompas.
2.2.
menjadi pihak bertanggungjawab
yang
masyarakatnya. Karikaturis lebih memilih untuk mengedepankan banjir sebagai kesalahan sistemik dari pemerintah, ajakan berbagai pihak untuk bergerak masih kurang
Teori Representasi Menurut
Stuart
Hall
(1997:15),
representasi
berarti
menggunakan bahasa untuk mengatakan sesuatu yang penuh makna, atau merepresentasikan sesuatu yang penuh makna kepada orang lain. Representasi adalah bagian penting dalam proses produksi dan pertukaran makna di antara masyarakat dalam sebuah budaya yang melibatkan penggunaan bahasa, simbol dan tanda. Dalam representasi terdapat tiga hal penting yaitu (penanda), signified (petanda) dan mental concept
signifier atau mental
representation yang tergabung dalam sistem representasi. Contohnya adalah kita mengenal kursi yang merupakan penanda dari benda yang berkaki empat yang digunakan untuk duduk. Jika bendanya (tiga dimensi), yaitu kursi, benda itu sendiri yang merupakan petanda, sedangkan konsep kursi (dua dimensi) yang ada dalam pikiran setiap orang itulah yang disebut mental concept, walaupun konsep kursi yang ada di pikiran setiap orang bisa berbeda, seperti kursi kayu atau kursi goyang. Petanda kursi dapat patah atau mengalami kerusakan, tetapi konsep kursi tidak dapat patah atau rusak. Inilah yang dimaksud dengan sistem representasi, yaitu 12
menghubungkan apa yang ada dalam pikiran setiap orang dengan kenyataan yang ada dengan menggunakan medium bahasa. Dalam
buku
Representation:
Cultural
Representation
and
Signifying Practices, ”Representation connect meaning and language to culture....Representation is an essential part of the process by which menaing is produced and exchanged between members of culture.” Melalui representasi, suatu makna diproduksi dan dipertukarkan antar anggota masyarakat. Jadi dapat dikatakan bahwa, representasi secara singkat adalah salah satu cara untuk memproduksi makna. Representasi
bekerja
melalui
sistem
representasi.
Sistem
representasi ini terdiri dari dua komponen penting, yakni konsep dalam pikiran dan bahasa. Kedua komponen ini saling berelasi. Konsep dari sesuatu hal yang kita miliki dalam pikiran kita, membuat kita mengetahui makna dari hal tersebut. Namun, makna tidak akan dapat dikomunikasikan tanpa bahasa. Sebagai contoh sederhana, kita mengenal konsep ’gelas’ dan mengetahui maknanya. Kita tidak akan dapat mengkomunikasikan makna dari ’gelas’ (misalnya, benda yang digunakan orang untuk minum) jika kita tidak dapat mengungkapkannya dalam bahasa yang dapat dimengerti orang lain. Dalam sistem representasi yang terpenting adalah kelompok yang dapat berproduksi dan bertukar makna dengan baik, adalah kelompok tertentu yang memiliki suatu latar belakang pengetahuan yang sama sehingga dapat menciptakan suatu pemahaman yang (hampir) sama. 13
Menurut Hall, Berfikir dan merasa merupakan sistem representasi yang berfungsi untuk memaknai sesuatu. Oleh karena itu, untuk dapat melakukan hal tersebut diperlukan latar belakang pemahaman yang sama terhadap konsep, gambar dan ide. Representasi juga bisa merupakan proses perubahan konsepkonsep ideologi yang abstrak dalam bentuk yang konkret. Representasi adalah konsep yang digunakan dalam proses sosial pemaknaan melalui sistem penandaan yang tersedia: dialog, tulisan, video, film, fotografi dan sebagainya. Menurut Hall bahwa representasi merupakan produksi makna melalui bahasa. Representasi dalam teks berita berarti menunjukkan bagaimana seseorang, satu kelompok atau gagasan ditampilkan. Ada dua bentuk representasi dalam teks berita, pertama apakah seseorang, satu kelompok dan satu gagasan tersebut ditampilkan sebagaimana mestinya. Kedua, bagaimana representasi seseorang, satu kelompok, atau gagasan tersebut ditampilkan melalui kalimat, foto dan aksentuasi. (Eriyanto 2001:113) Hall juga menjelaskan ada dua sistem representasi. Yang pertama adalah apa yang disebut dengan mental representation, yaitu “meaning depends on the system of concept and images formed in our thoughts chicw can stand for or ‘represent’ the world, enabling us to refer the things both inside and outside our heads”. (Hall, 1997:16). Sedangkan sistem yang kedua adalah makna yang bergantung pada konstruksi sebuah set korespodensi antara peta konseptual kita dan sebuah 14
set tanda, bahasa yang merepresentasikan konsep-konsep tersebut (Hall, 1997:17-18). Terdapat dua proses representasi yakni representasi mental dan representasi bahasa, yaitu: a. Representasi mental Representasi mental adalah proses dimana semua objek, orang dan peristiwa terhubung dengan konsep yang ada dalam pikiran kita. Tanpa hal ini tidak mungkin kita menginterpretasikan dunia dengan penuh makna. ”Makna bergantung pada sistem konsep dan gambaran yang
terbentuk
dalam
pikiran
kita
yang
mewakili
dunia,
memampukan kita untuk menunjuk kepada sesuatu baik di dalam maupun di luar pikiran kita. ”Makna bergantung kepada hubungan antara hal-hal di dunia, orang-orang, objek, dan peristiwa, nyata atau fiksi dan sistem konsepnya, yang mana dapat dioperasikan sebagai representasi mental-mental tersebut. Bentuknya masih abstrak. Namun bagaimanapun juga membagikan peta konseptual saja tidak cukup. Kita harus mampu merepresentasikan atau menukar makna dan konsep, dan kita hanya dapat melakukannya ketika kita juga punya akses kepada pembagian bahasa. b. Representasi Bahasa Peta konseptual kita harus diterjemahkan kepada bahasa utama, sehingga kita dapat menghubungkan konsep kita dan ide-ide kita dengan bahasa tertulis, bahasa lisan atau gambar visual. 15
Ungkapan umum yang kita gunakan untuk kata-kata, suara aau gambar yang membawa makna disebut ”tanda”. Tanda ini mewakili konsep dan relasi konseptal di antara hal-hal tersebut yang mana kita bawa
di
sekeliling
pikiran
dan
bersama-sama
mereka
menyempurnakan sistem makna dalam sebuah budaya kita. Pada ”jantung” dari proses makna dalam sebuah budaya, ada dua sistem representasi yang saling berhubungan. ”Hubungan antara ’hal-hal’, konsep dan tanda adalah inti produksi makna dalam bahasa. Proses yang
menghubungkan
tiga
elemen
secara
bersama
disebut
”representasi”. Makna tidak terdapat pada objek atau orang atau benda, tidak juga pada kata. Ini adalah kita yang memperbaiki makna dengan tegas yang mana selama beberapa saat menjadi tampak alami dan tidak terhindatkan. Makna tersebut terkonstruksi oleh sistem representasi.
Menurut
Danesi
dan
Peron
(2004:24),
sebuah
tanda
dinterpretasikan dalam tiga tahap, yaitu semiosis (kemampuan otak untuk mereproduksi dan memahami tanda), representasi (penggunaan tanda untuk menghubungkan, menggambarkan, memotret atau mereproduksi sesuatu yang dilihat, diindera, dibayangkan atau dirasakan dalam bentuk fisik tertentu), dan signifikansi kultural (tahap produksi tertentu).
16
2.3.
Korupsi Secara etimologi, istilah korupsi berasal dari kata corruptus yang berarti menghancurkan. Dalam bahasa latin, secara harfiah diartikan sebagai obyek yang hancur. Dalam konsep, korupsi tidak pernah dipahami sebagai proses menghancurkan. Biasanya diwujudkan dalam bentuk perilaku yang menyimpang dari etika, moral, tradisi dan hukum. (Bambang 2005:44) Dari perspektif hukum, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), hal-hal yang dikategorikan sebagai perbuatan korupsi meliputi penggelapan uang, menerima atau meminta upeti, menerima hadiah atau janji, serta ikut serta urusan pemborongan dan sebagainya. Tindak pidana korupsi suap berasal dari tindak pidana suap (omkoping) yang ada didalam KUHP. KUHP sendiri membedakan antara dua kelompok tindak pidana suap, yakni tindak pidana menerima suap dan tindak pidana memberi suap. Kelompok pertama disebut suap aktif (actieve omkoping), subjek hukumnya adalah pemberi suap. Dimuat dan menjadi bagian dari kejahatan terhadap penguasa. (Adami Chazawi, 2006:169). Sementara Kelompok kedua yang disebut dengan suap pasif (passieve omkoping). Subjek hukumnya adalah pegawai negeri yang menerima suap. Dimuat dan menjadi bagian dari kejahatan jabatan. Korupsi dalam kamus Merian-Webster (2012), didefinisikan sebagai:1. Rusaknya Integritas, nilai, dan prinsip moral. 2. Pembusukan, 3. 17
Induksi terhadap cara yang tidak benar dan melanggar hukum seperti suap, dan 4. Tindakan tidak pantas dan biasanya melanggar hukum untuk mengamankan keuntungan bagi diri sendiri dan orang lain. Mengacu pada definisi ini, bentuk korupsi antara lain berupa praktik suap-menyuap, ekstorsi, dan penyalahgunaan informasi orang dalam. Bila komunitas menganggapnya sudah hal biasa dan kebijakan yang menerapkan hukuman dan sanksi pada pelakunya berkurang, korupsi menjadi tumbuh subur, kian meluas dan sangat sulit diberantas. (Etty Indriati 2014:4). Pola korupsi menurut Rose-Ackerman (1978) dan Klitgard (1988), terdiri dari pelaku Principal-Agent-Client-Middlemen (PACM). Principal dan Agent merupakan pejabat negara (Eksekutif/legislatif/yudikatif). Client adalah individu perwakilan korporasi. Dan Middlemen merujuk kepada rakyat biasa. Wijayanto & Ridwan Zachrie (2009:14-16) menyebutkan empat interaksi yang berpotensi menjadi area praktek korupsi di negara demokrasi: 1. Interaksi pertama melibatkan rakyat dan pemimpin negara yang dipilih melalui proses demokrasi. Dalam interaksi tersebut, terutama di negara demokrasi yang belum mengalami konsolidasi peluang korupsi politik dalam berbagai bentuk, termasuk politik uang untuk memenangi pemilu sangat mungkin terjadi. Dalam banyak kasus, para elit politik mengeluarkan kebijakan alokasi anggaran bukan untuk kepentingan rakyat, melainkan untuk kepentingan para "investor politik". 18
2. Interaksi kedua adalah interaksi antara para birokrat dengan penguasa' interaksi birokrat dengan legislatif dan interaksi birokrat dengan rakyat. Bentuk interaksi ini kerap membuka peluang terjadinya korupsi birokrat. Korupsi semacam ini umumnya memiliki modus operandi pemerasan dan pungli ke tingkat bawah dan kolusi ke tingkat atas. Potensi lain untuk korupsi lewat interaksi ini juga terjadi manakala seorang pejabat publik harus melewati proses fit and proper test dan rapat dengar pendapat di hadapan legislatif. Dalam kedua proses ini politik transaksional yang bermuatan politis dan koruptif kerap terjadi. 3. Interaksi ketiga melibatkan pemimpin politik terpilih dengan anggota legislatif. Berbagai kebijakan publik memerlukan persetujuan dari legislatif, interaksi ini membuka peluang terjadinya korupsi legislatif baik berupa suap maupun pemerasan. Korupsi semacam ini mudah terjadi di negara yang pembiayaan politiknya belum akuntabel dan tak memiliki sistem oposisi yang kuat. 4. Interaksi keempat adalah interaksi antar rakyat dan anggota legislatif. Demokrasi yang sedang diterapkan di negara-negara berkembang masih beroperasi sebatas demokrasi prosedural, bukanlah demokrasi substansial. Salah satu prakondisi bagi terwujudnya demokrasi substansial adalah pengaturan politik uang dan pendanaan kampanye yang baik. Di negara dimana politik uang merupakan fenomena yang lazim sering kali politisi menyuap rakyat agar terpilih dalam pemilu,
19
sehingga keterpilihan mereka tidak ditentukan oleh kinerja tetapi oleh kemampuan finansial mereka. Sementara itu Isra dan Hiariej (Isra & Hiariej dalam Wijayanto & Zachrie, 2009:560) menyebutkan sembilan kategori korupsi dari kacamata kriminologi yang semuanya berkaitan erat dengan pola kerja dan alur administratif suatu negara. Diantaranya: 1. Political Bribery, yaitu sogokan yang diberikan oleh kelompok kepentingan tertentu kepada calon penguasa jabatan politik dan legislatif lewat selubung dana kampanye dalam pemilu. 2. Political Kickbacks yaitu kegiatan yang terkait dengan sistem kontrak pekerjaan tertentu antara pejabat pelaksana dan pengusaha yang memberi peluang mendatangkan keuntungan finansial kepada pihak-pihak yang bersangkutan. 3. Election Fraud adalah korupsi yang berkaitan langsung dengan kecurangan pemilihan umum. 4. Corrupt campaign practice adalah praktik kampanye dengan menggunakan fasilitas negara maupun uang negara oleh calon incumbent. 5. Discretionary Coruuption yaitu korupsi yang dilakukan karena ada kebebasan dalam menentukan kebijakan. 6. Ilegal
Corruption
yaitu
korupsi
yang
dilakukan
dengan
mengacaukan bahasa hukum dan interpretasi hukum.
20
7. Ideological Corruption adalah perpaduan antara discreationary corruption dan ilegal corruption yang dilakukan untuk tujuan kelompok. 8. Political Corruption adalah penyelewengan kekuasaan atau kewenangan
untuk
mendapatkan
keuntungan
pribadi
atau
kelompok yang berkaitan dengan kekuasaan. 9. Mercenary corruption yaitu menyalahgunakan kekuasaan sematamata untuk kepentingan pribadi. Dapat disimpulkan, bahwa korupsi merupakan penyalahgunaan kekuasaan publik demi kepentingan pribadi. Di Indonesia, praktik korupsi telah masuk ke berbagai tingkatan institusi pemerintahan dan saling berhubung antar kalangan serta membentuk jaringan yang luas. Permasalahan korupsi memiliki gambaran yang berbeda-beda dari berbagai perspektif baik ekonomi, politik dan hukum. 1. Korupsi dari Perspektif Ekonomi Studi korupsi dalam ilmu ekonomi umumnya berangkat dari dua bangunan teori. Yang pertama adalah teori perburuan rente (rent seeking). Istilah rente merujuk pada klasifikasi Adam Smith tentang balas jasa faktor produksi. Upah adalah balas jasa bagi tenaga kerja, profit bagi pengusaha. Sementara rente adalah balas jasa bagi aset. Bunga pinjaman, sewa tanah atau bangunan adalah beberapa contoh rente. Masalah timbul ketika pelaku
21
ekonomi berusaha mendapatkan rente dari aset yang bukan miliknya. Dalam kasus yang lebih ekstrem, korupsi dinilai membuat kegiatan ekonomi berjalan lebih efisien. Nathaniel Left (1964:814) dan Samuel Huntington (1968) pernah menuliskan bahwa korupsi justru membuat aktivitas ekonomi berjalan lancar dan akhirnya pertumbuhan ekonomi meningkat. Argumen ini jika aktivitas bisnis diibaratkan sebagai roda bagi perekonomian, korupsi bisa menjadi “minyak pelumas” bagi “roda” itu. Dibanyak negara berkembang dan juga negara maju, prosedur birokrasi untuk memperoleh perizinan bisa memakan waktu lama. Terutama jika struktur insentif yang ada tidak menyediakan motivasi yang cukup bagi pegawai publik untuk bekerja lebih keras dan efektif untuk mempercepat proses. Artinya, korupsi justru menjadi sebuah mekanisme yang membuat pasar berfungsi. 2. Korupsi dari Perspektif Budaya Parsudi Suparlan dalam Wijayanto (2009:864) dengan menikuti Kluckhon, mendefinisikan kebudayaan sebagai pedoman yanag datang dari pengalaman bagi kehidupan masyarakat tertentu yang isinya pengetahuan dan keyakinan akan kebenaran yang digunakan secara selektif untuk menghadapi lingkungannya guna memnuhi kebutuhan hidup. Dalam hal ini, agama menurutnya, 22
termasuk juga kategori kebudayaan dalam arti sempit ini, selama ia diyakini dan dinyatakan dalam perbuatan (dipraktikkan), bukan semata apa yang tertulis di dalam kitab suci. Dalam praktiknya, korupsi terkait dengan unsur feodalisme, hadiah, upeti dan sistem kekerabatan (extended family). Bisa dipastikan, korupsi agaknya akan tumbuh dalam amsyarakat atau bangsa yang memiliki tradisi budaya feodalis atau non-feodalis. Pasalnya, dalam budaya tersebut tidak ada sistem nilai yang memisahkan secara tajam antara milik publik (negara) dengan milik pribadi bagi rulling class (elit penguasanya). Sistem kekuasaan dalam sistem budaya feodalisme dibangun atas patrimonialisme. Hubungan antara raja dan aparatnya merupakan hubungan kekeluargaan, antara sang ayah yang berkuasa dengan anggota keluarga lainnya. Sejak masa Orde Lama di bawah Soekarno, kelembagaan birokrasi di Indonesia secara fisik memang modern. Di dalamnya terdapat pengawas keuangan, inspektur genderal di setiap departemen (kementerian), parlemen, kejaksaan agung, kehakiman dan manajemen modern beserta alat manajeman modern lainnya. Namun, hal itu didirikan di atas nilai-nilai partrimonialisme lama yang mengakibatkan korupsi merajalela. Jika masa Orde Baru, korupsi dilakukan dibawah meja, kini dilakukan secara terang-terangan. Jika masa Orde baru, korupsi 23
hanya dilakukan dalam wilayak eksekutif dan pusat, kini dilakukan oleh legislatif serta yudikatif baik di pusat maupun di daerah. Realitas menyebarkan korupsi itu terkait dengan fenomena lembaga legislatif sebagai lembaga super body yang bukan saja berperan dalam legislasi, tetapi juga ikut menentukan pejabat publik.
Sedangkan
penyebaran
korupsi
di
daerah
terkait
diberlakukannya otonomi daerah. Dalam UU No. 31/1999 dan No. 20/2001, hadiah (gratifikasi) didefinisikan sebagai pemberian dalam arti luas, meliputi pemberian uang, barang, rabat diskon, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma dan fasilitas lainnya. Hadiah yang terlalu besar atau sangat bernilai secara ekonomi bisa membuat pejabat tidak berlaku adil dalam tugasnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa relasi antara korupsi dan budaya sangat erat. Unsur kebudayaan feodalisme, extended family, upeti dan hadiah merupakan faktor yang menyuburkan korupsi, meski tidak berdiri sendiri.
2.4.
Media Massa dan Pemberitaan Korupsi Kasus korupsi merupakan isu penting yang menjadi fokus yang di diberitakan terus menerus oleh media massa atau pers. Menurut Sukarna (Sobur, 2001:149) salah satu tujuan pers sesuai fungsinya sebagai kontrol 24
sosial adalah melindungi kepentingan-kepentingan masyarakat, baik kepentingan politik, sosial, ekonomi dan budaya. Dengan kata lain, media massa mengampanyekan gerakan antikorupsi sebagai upaya perlindungan hak-hak sosial, ekonomi dan budaya masyarakat. Bahkan lebih jauh, pers atau media massa adalah institusi budaya yang dapat membangun kesadaran antikorupsi dan melakukan kontrol sosial berbagai penyimpangan kekuasaan (Semma, 2008a:321). Darmasaputra
dalam
Wijayanto
&
Zachrie
(2009:696)
menyebutkan bahwa telah menjadi kesepakatan dalam berbagai literatur korupsi bahwa pers atau media, punya peranan penting dalam upaya pemberantasan korupsi. Di negara-negara demokratis, media bersama kelompok
masyarakat
madani
memiliki
peranan
penting
untuk
memfasilitasi diskusi public tentang apa yang patut dan tidak patut untuk dilakukan, serta untuk melancarkan kritik terhadap pemerintah dalam menangani korupsi. Selain itu, media diyakini punya kemampuan untuk menekan pemerintah supaya mengambil tindakan selaras dengan kepentingan publik untuk melakukan reformasi sistem berlandaskan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). McDonell dan Pesic (dalam Wijayanto & Zachrie, 2009:697) mengidentifikasikan tujuh fungsi penting media yang dapat memberikan efek yang kasat mata dalam usaha memberantas korupsi. Tujuh fungsi itu adalah: 25
1. Mengekspos pejabat-pejabat yang korup; 2. Mendorong aparat hukum menggelar penyelidikan; 3. Mengungkap berbagai penyelewenang bisnis; 4. Memperkuat kerja komisi antikorupsi; 5. Meningkatkan akuntabilitas pemilu; 6. Mendesak perubahan hukum dan peraturan perundang-undangan; serta 7. Menciptakan efek jera. Di suatu negara yang demokratis maka fungsi pers dan media massa khususnya televisi sedikitnya dapat digolongkan ke dalam 6 hal yaitu: 1. Menyampaikan fakta (the facts): Media massa televisi menyediakan fasilitas arus informasi dari kedua belah pihak. Satu sisi mencerminkan kebutuhan dan keinginan pengirim (iklan, propaganda, dll) dan di sisi lain kebutuhan dan harapan penerima (berita, editorial, dll). 2. Menyajikan opini dan analisis (opinions and analyses): Pada laporan berita, reporter memasukan opini orang-orang luar, analisis berita dilakukan oleh staf redaktur khusus (kolom, edotorial, dll). 3. Melakukan investigasi (investigations): Fungsi ini adalah yang paling sulit dilakukan, tetapi jika berhasil dilakukan nilai beritanya akan sangat berbobot. Untuk melakukan ini, diperlukan kecanggihan dan staf yang berpengalaman serta memiliki 26
hubungan intensif dengan para ahli dan ilmuwan yang membutuhkan waktu tahunan. 4. Hiburan (entertainment): Sajian pers dan media massa televisi kadang-kadang befungsi sekaligus yaitu menghibur, mendidik dan memberikan informasi. Tetapi kadang-kadang juga terpisah antara satu dan yang lainnya. Yang merepotkan adalah apabila informasi tersebut dianggap sebagai hiburan. Atau hiburan yang mengganggu informasi. 5. Kontrol (control): Fungsi ini bisa dimanfaatkan oleh media kepada pemerintah dan juga sebaliknya. Ini sangat bergantung dari sistem pers di negara yang bersangkutan. 6. Analisis kebijakan (policy analysis): Fungsi ini merupakan kecenderungan yang kini sedang tumbuh di media Amerika (the Macneil / Lehrer, dll) dimana sajiannya adalah menyoroti kebijakan yang diterapkan pemerintah kemudian di analisis oleh meda tersebut dengan memberikan solusi alternatif lain.
2.5.
Semiotika Roland Barthes Semiotika berasal dari bahasa yunani: Semeion, yang berarti tanda. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai sesuatu yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya, dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain (Eco, 1979:16). 27
Dalam pandangan piliang, penjajahan semiotika sebagai metode kajian ke dalam berbagai cabang ilmu ini dimungkinkan karena ada kecenderungan untuk memandang berbagai wacana sosial sebagai fenomena bahasa. Dengan kata lain, bahasa dijadikan model dalam berbagai wacana sosial dapat dianggap sebagai fenomena bahasa, maka semuanya dapat juga dipandanga sebagai tanda. Hal ini dimungkinkan karena luasnya pengertian tanda itu sendiri (Piliang, 1998:262). Secara terminologis Umberto Eco (Sobur, 2004:12) mengatakan, Semiotika dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda. Sementara itu dalam pandangan Zoest, segala sesuatu yang dapat diamati atau dibuat teramati dapat disebut tanda. Karena itu, tanda tidaklah terbatas pada benda. Adanya peristiwa, tidak adanya peristiwa, struktur yang ditemukan dalam sesuatu, suatu kebiasaan, semua ini dapat disebut tanda. Roland Barthes (Sobur, 2004:15) mengatakan semiotika pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to signify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda. Alex Sobur dalam bukunya mengatakan tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia 28
ini, di tengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia (Sobur, 2004:15) Konsep dasar semiotika Roland Barthes adalah berangkar dari metode Ferdinand de Saussure. Pendekatan ini menekankan pada tandatana yang disertai maksud (signal) serta berpijak dari padangan berbbasis pada tanda-tanda yang tanpa maksud (symptom). Jika dalam Saussure ada yang dikenal dengan Signifier dan signified. Maka dalam konsep Barthes ada pula yang disebut dengan konotasi dan Denotasi. Denotasi adalah pemaknaan tingkat pertama dan konotasi adalah tingkat kedua. Dalam pengertian umum, Denotasi sebagai makna harfiah atau makna yang sesungguhnya. Bahkan kadang juga dirancukan dengan referensi atau acuan. Prosses signifikasi denotasi ini secara tradisional biasanya mengacu kepada penggunaan bahas dengan arti yang sesuai dengan apa yang terucap. Akan tetapi, di dalam semiologi Roland Barthes, denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama sementara konotasi meruapakan tingkat kedua. Menurut Budiman (Sobur, 2004:71), dalam hal ini denotasi justru lebih diasosiasikan dengan ketertutupan makna dan dengan demikian sensor atau represi politis. Sebagai reaksi yang paling ekstrem melawan keharfiahan denotasi bersifat opresif ini, Barthes mencoba menyingkirkan dan menolaknya. Baginya yang ada hanyalah konotasi semata-mata. Penolakan ini mungkin terasa berlebihan, namun ia tetap berguna sebagai
29
sebuah koreksi atas kepercayaan bahwa makan harfiah merupakan sesuatu yang bersifat alamiah. Sedangkan konotasi adalah sistem signifikasi tahap kedua. Walaupun merupakan sifat asli tanda, konotasi memerlukan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes (Fiske, 2007:119) menyatakan faktor penting dalam konotasi adalah penanda dalam tatanan pertama. Penanda tatanan pertama merupakan tanda konotasi. Sehubungan dengan itu, Barthes menambahkan sistem pemaknaan yang sebelumnya hanya terdapat satu tahap menjadi dua tahap. Sistem pemaknaan tahap kedua ini oleh Barthes disebut dengan konotatif, yang di dalam Mythologies nya secara tegas dibedakan dari denotatif (sistem pemaknaan tatanan pertama). Berikut ini gambar peta Barthes
1. Signifier (Penanda)
2. Signifed (Petanda)
3. Denotative Sign (tanda denotatif)
4.CONNOTATIVE SIGNIFIER (PENANDA KONOTATIF)
5.CONNOTATIVE SIGNIFED (PETANDA KONOTATIF)
7. CONNOTATIVE SIGN (TANDA KONOTATIF) 30
Dari peta Barthes menjelaskan, Tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi, pada saat yang bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Dengan kata lain, hal tersebut merupakan unsur material: hanya jika anda mengenal tanda "singa", barulah konotasi seperti ahrga diri, kegarangan dan keberanian menjadi mungkin (Cobley dan Jansz, 1999:51). Semiotika Roland Barthes dalam Sobur (2009:65), membagi lima kode narasi yang berlaku dalam suatu naskah realis yaitu: 1. Kode hermeneutic atau kode teka-teki berkisar pada harapan audiens untuk mendapatkan ‘kebenaran’ bagi pertanyaan yang muncul dalam teks. Kode teka-teki merupakan unsure struktur yang utama dalam narasi tradisional. 2. Kode semik atau kode konotatif menawarkan banyak sisi, yang timbul atau dibangun oleh audiens dalam proses menyusun teks atau informasi yang dijabarkan. 3. Kode simbolik merupakan aspek pengkodean fiksi yang paling khas karena menampilkan symbol-simbol tertentu untuk merepresentasikan suatu hal yang khas. 4. Kode proaretik atau kode tindakan/lakuan, menurut Barthes semua lakuan dapat dikodifikasi dan memiliki makna tertentu. 5. Kode gnomik atau kode cultural, kode ini merupakan acuan teks ke benda-benda yang sudah diketahui dan dikodifikasi terhadap suatu budaya tertentu. 31
Tujuan dari analisis Barthes ini menurut Lechte dalam Sobur (2009:66), bukan hanya untuk membangun sistem klarifikasi unsur-unsur narasi yang sangat formal, namun lebih banyak untuk menunjukan bahwa tindakan yang paling masuk akal, rincian yang paling meyakinkan, atau teka-teki yang paling menarik, merupakan produk buatan, dan bukan tiruan dari yang nyata. Dalam kajian semiotik, Barthes juga melihat aspek lain yang ada dalam proses signifikasi tanda, yakni ‘mitos’ yang menandai suatu masyarakat. Menurut Barthes, mitos terjadi pada tingkat kedua sistem penandaan, jadi setelah terbentuk sistem sign-signifier-signified, tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang kemudian memiliki peranda kedua dan membentuk tanda baru. Dalam perspektif Barthes, manusia selalu dikerumuni oleh mitos. Bahkan, dapat disimpulkan bahwa mitos tidak selalu terkait dengan manusia primitif. Manusia modern juga merupakan produsen sekaligus konsumen mitos. Mitos-mitos yang mengelilingi kehidupan manusia tidak hanya didengar dan dipahami dari
orang-orang tua atau buku-buku
tentang cerita lama melainkan ditemukan setiap hari di televisi, radio, pidato, percakapan dan obrolan, dan tingkah laku manusia (Sunardi, 2002:103). Bagi Barthes mitos sebagai cara berfikir dari suatu kebudayaan tentang sesuatu, cara untuk mengkonseptualisasikan atau memahami sesuatu (Fiske, 2007:121). Mitos adalah bagaimana kebudayaan 32
menjelaskan atau memahami berbagai aspek realitas dan gejala alam. Mitos merupakan produk kelas sosial yang mempunyai suatu denotasi. Dalam sistem semiotik mitos dapat diuraikan ke dalam tiga unsur, yaitu: signifier (penanda), signified (petanda), dan sign (tanda). Untuk membedakan istilah-istilah yang sudah dipakai dalam sistem semiotik tingkat pertama (linguistik) Barthes menggunakan istilah yang berbeda untuk ketiga unsur tersebut yaitu,
form, concepts, dan signification.
Signifier sejajar dengan form, signified sejajar dengan concept dan sign sejajar dengan signification. Gambar Model Analisis Roland Barthes
Signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier dan signified di dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Barthes menyebutnya sebagai denotasi, yaitu makna paling nyata dari tanda. 33
Konotasi adalah istilah yang digunakan Barthes untuk menunjukan signifikasi tahap kedua. Hal ini menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu perasaan dan emosi pembaca serta nilai-nilai kebudayaannya. Konotasi mempunyai makna yang subjektif atau paling tidak intersubjektif. Dengan kata lain kita dapat menjelaskan bahwa denotasi adalah apa yang digmabarkan tanda terhadap sebuah objek dan konotasi adalah bagaimana menggambarkannya.(Sobur 2001:127-128). Berdasarkan gambar di atas mitos adalah pemaknaan tatanan kedua dari petanda. Bila konotasi merupakan pemaknaan tatanan kedua dari penanda, mitos merupakan pemaknaan tatanan kedua dari petanda. (Fiske, 2007:121). Dengan kata lain mitos adalah makna dari makna konotasi. Budiman
dalam
Sobur
(2009:71)
menyatakan,
Barthes
menempatkan ideologi dengan mitos karena, baik di dalam mitos maupun ideologi, hubungan antaraa penanda konotatif dan petanda konotatif terjadi secara motivasi. Barthes juga memahami ideologi sebagai kesadaran palsu yang membuat orang hidup di dalam dunia yang imajiner dan ideal, meski realitas hidupnya yang sesungguhnya tidaklah demikian. Ideologi ada selama kebudayaan ada, dan itulah sebabnya di dalam S/Z Barthes berbicara tentang konotasi sebagai suatu ekspresi budaya. Kebudayaan mewujudkan dirinya melalui berbagai kode yang merembes masuk ke dalam teks dalam bentuk penanda-penanda penting seperti tokoh, latar, sudut pandang dan lain-lainnya.
34
2.6.
Kerangka Pemikiran Dalam penelitian representasi korupsi dalam kartun editorial berjudul “Apa Kata Dunia..?” (edisi kasus suap Akil Mochtar) di Kabar Bang One tvOne, peneliti menggunakan pendekatan semiotika dengan metode Roland Barthes. Peneliti akan mengkaji tanda dan makna yang terdapat dalam kartun editorial tvOne Kabar Bang One edisi Khusus Kasus suap Akil Mochtar. Adapun tahapan untuk menganalisis kartun editorial Kabar Bang One edisi kasus Suap Akil Mochtar, tahap pertama yaitu peneliti menentukan objek penelitian, yaitu editorial Kasus Suap Akil Mochtar di Kabar Bang One. Selanjutnya peneliti melakukan pemahaman terhadap kartun editorial edisi kasus suap Akil Mochtar di Kabar Bang One sehingga dapat menemukan maksud dan makna tanda dari editorial tersebut. Tahap kedua adalah menentukan permasalahan yang akan diteliti, baik dari sisi penanda dan petanda yang terdapat dalam kartun editorial tentang kasus suap Akil Mochtar di Kabar Bang One. Tahap selanjutnya adalah menentukan teori yang dan pendekatan yang akan digunakan untuk menganalisis permasalahan tersebut. Dalam penelitian ini digunakan teori Semiotika Roland Barthes. Penanda dan petanda yang terdapat dalam kartun editorial tentang kasus suap Akil Mochtar dipisahkan berdasarkan unsur-unsur pendekatan semiotika Barthes. Tahap terakhir adalah menyimpulkan bagaimana 35
representasi korupsi dalam kartun editorial berjudul Apa Kata Dunia..? (kasus suap Akil Mochtar) di Kabar Bang One tvOne.
Korupsi
Teori Ekonomi Politik Media
Kartun Editorial
Semiotika Roland Barthes Denotasi Konotasi Mitos
Representasi korupsi dalam kartun editorial Apa Kata Dunia (edisi suap Akil Mochtar) di Kabar Bang One tvOne
36
37