BAB II DARI KERAJAAN KE KABUPATEN∗
A. Lahirnya Kabupaten Galuh 1. Mitos dan Sejarah Jejak nama sebuah tempat seringkali berujung pada mitos
sebagai
jawaban
akhir,
yang
tentu
saja
tidak
merupakan jawaban yang memuaskan. Akan tetapi, jawaban yang bersifat mitis pun setidak-tidaknya dianggap bisa memuaskan rasa ingin tahu kita. Selain itu, mitos-mitos juga memperkaya khasanah kebudayaan suatu masyarakat. Lebih
jauh,
karena
mitos
biasanya
terkait
pada
kepercayaan dan pemikiran suatu masyarakat, maka paling tidak melalui mitos tersebut dapat dilihat perkembangan pola pemikiran atau mentalitas masyarakatnya pada suatu periode. Masyarakat Galuh ternyata memiliki khasanah mitos yang cukup banyak. Mitos-mitos itu, antara lain terkait pada
asal-usul
nama
tempat
atau
daerah,
benda,
dan
budaya. Mitos yang menceritakan tentang asal-usul nama tempat ∗
atau
daerah
misalnya
asal-usul
nama
Kawali.
Ditulis oleh Miftahul Falah sebagai bagian dari buku Sejarah Ciamis yang diterbitkan tahun 2005 oleh Pemkab Ciamis dan LPPM Universitas Galuh, Ciamis.
53
54
Cerita
asal-usul
nama
Kawali
berkaitan
dengan
kisah
Ciung Wanara maupun Kerajaan Galuh yang dimuat dalam sumber naskah maupun tradisi lisan masyarakat Galuh. Sumber
naskah
Wawacan bahwa
yang
Sajarah Raja
memuat
Galuh.
Bojong
cerita
Dalam
Galuh
itu,
naskah
(palsu)
itu
antara
lain
diceritakan
yaitu
Ki
Bondan
menyuruh seorang pandita sakti, Ajar Sukaresi, untuk menaksir bayi yang dikandung oleh istrinya, Nyai Ujung Sekarjingga,
apakah
laki-laki
atau
perempuan.
Sebenarnya, raja hendak menipu pandita karena besarnya perut Nyai Ujung Sekarjingga disebabkan oleh kuali yang ditaruh di dalamnya, bukannya karena sedang hamil. Sang pandita mengetahui niat buruk sang raja, ia kemudian berdoa kepada Tuhan agar diberikan pertolongan. Ia pun berkata bahwa anak yang sedang dikandung itu laki-laki. Raja
menganggap
jawaban
pandita
itu
bohong
sehingga
pandita harus dihukum. Pakaian Nyai Ujung Sekarjingga kemudian dibuka dan ternyata kuali yang dipasang di perutnya tidak ada dan ia benar-benar mengandung. Raja menjadi marah disertai malu menyaksikan kejadian itu. Pandita raja
itu
disuruh
memerintahkan
pandita.
Kuali
pada
pulang, patihnya perut
tetapi
secara
untuk Nyai
diam-diam
membunuh
Ujung
sang
Sekarjingga
55
sesungguhnya ditendang secara rohaniah oleh pandita. Kuali
itu
sehingga
kemudian namanya
jatuh
di
diganti
Kampung
menjadi
Selapanjang
“Kawali”
(kini
terletak sekitar 11 km di sebelah utara Kota Ciamis). Adapun anak laki-laki Nyai Ujung Sekarjingga kemudian bernama Ciung Wanara.1 Menurut cerita rakyat, tempat jatuhnya kuali itu menjadi mata air dan kolam yang disebut “Balong Kawali” atau “Cikawali”, yang sekarang termasuk dalam lingkungan Situs Astana Gede Kawali.2 Ajar raja,
Sukaresi
pada
yang
awalnya
kesaktiannya.
Namun,
tidak ia
dibunuh.
Dengan
tubuh
berjalan
hendak
kembali
Padang.
Dalam
mengeluarkan
hendak
dapat
akhirnya penuh ke
berwarna
oleh
karena
merelakan
dirinya
Ajar
pertapaannya luka
kuning
utusan
dilukai
luka,
perjalanannya,
darah
dibunuh
Sukaresi di
Ajar
di
Gunung Sukaresi
suatu
tempat.
Tempat itu kemudian disebut “Cikoneng”. Setelah lama berjalan, Ajar Sukaresi tergolek di atas tanah. Tempat ia
tergolek
kemudian
berjalan
mengeluarkan kemudian
itu
darah
dikenal
kemudian lagi, yang dengan
disebut
“Cikedengan”.
tetapi
jatuh
berwarna nama
bening.
“Ciherang”.
sampailah Ajar Sukaresi di pertapaannya.3
Ia
lagi
dan
Daerah
itu
Akhirnya,
56
Diceritakan hendak
dibunuh
bahwa
oleh
Ciung
Raja
Wanara
Bojong
ketika
Galuh
lahir
(palsu),
Ki
Bondan, karena khawatir akan membahayakan kekuasaannya. Namun, patih raja yang ditugasi untuk membunuh Ciung Wanara tidak tega melakukan tindakan itu. Ia kemudian menghanyutkan Ciung Wanara di sungai bersama sebutir telur ayam. Singkat cerita, Ciung Wanara ditemukan oleh sepasang suami-istri dan diasuh hingga remaja. Adapun telur ayam kemudian dieramkam pada seekor naga sakti di Gunung Padang yang bernama Nagawiru hingga menetaskan seekor ayam jantan. Pada suatu hari, Raja Bojong Galuh mengadakan separuh
sayembara
kerajaannya
mengalahkan
ayam
sabung bagi
raja.
ayam.
siapa Ayam
Ia
saja
jantan
menjanjikan yang
mampu
Ciung
Wanara
diikutkan pada sayembara itu dan berhasil mengalahkan ayam
raja.
Namun,
raja
mengingkari
janjinya.
Ciung
Wanara menjadi kesal, lalu menjebak raja dalam sebuah kurungan besi. Ciung Wanara kemudian menjadi raja di Bojong Galuh.4 Menurut kepercayaan masyarakat sekitarnya, tempat lahirnya Ciung Wanara adalah sebuah menhir dan dolmen dikelilingi
oleh
batu
bersusun
yang
disebut
“Panyandaan” di dalam lingkungan Situs Karangkamulyan.
57
Di tempat itu, Nyai Ujung Sekarjingga (dalam sumber lain disebut Dewi Naganingrum) melahirkan Ciung Wanara, lalu
bersandar
kesehatannya.
selama
Sampai
40
hari
sekarang
untuk
masih
ada
memulihkan orang
yang
percaya bahwa wanita yang ingin mempunyai anak akan segera diberi anak bila bersandar di tempat itu.5 Adapun tempat penyabungan ayam Ciung Wanara dan ayam
raja
sebuah
dipercayai
tempat
yang
oleh
masyarakat
bernama
berlokasi
“Penyabungan
Ayam”
pada dalam
lingkungan Situs Karangkamulyan. Penyabungan Ayam itu berupa
sebuah
dikelilingi dipercayai
arena
terbuka
pohon-pohon sebagai
yang
tempat
berbentuk tinggi.
khusus
bundar
Tempat
untuk
yang
itu
memilih
pun raja
dengan cara demokratis.6 Dalam terdapat
lingkungan
beberapa
tempat
Situs dan
Karangkamulyan benda
lainnya,
juga yaitu
Pelinggih (Batu Pancalikan), Sanghyang Bedil, Lingga (Lambang Peribadatan), Cikahuripan, Pamangkonan, Makam Adipati Panaekan, dan Sri Begawat Pohaci.7 Beberapa di antaranya memiliki mitos-mitos asal mula keberadaannya, yaitu sebagai berikut. Pelinggih tingkat
merupakan
berwarna
putih
sebuah dan
batu
berbentuk
bertingkatsegiempat.
58
Pelinggih itu menyerupai yoni terbalik, yang digunakan sebagai
meja
beberapa
saji
buah
atau
batu
altar.
kecil
Di
yang
bawahnya
terdapat
seolah-olah
sebagai
penyangga sehingga memberi kesan seperti sebuah dolmen. Pelinggih batu
itu
temu
setempat,
terletak
gelang. Pelinggih
pada
Konon, yang
sebuah
bangunan
susunan
cerita
rakyat
menurut
disebut
juga
sebagai
batu
pancalikan (bahasa Sunda: tempat duduk) atau batu kursi itu merupakan singgasana Ratu Galuh yang dijaga oleh tujuh benteng pertahanan. Benteng pertama terletak di dekat Desa Karangkamulyan sekarang, sedangkan benteng ketujuh tepat berada di pintu bangunan tertutup tempat Pelinggih berada. Pelinggih lain juga terdapat di Situs Astana Gede Kawali.8 Tempat
yang
disebut
Sanghyang
bedil
merupakan
suatu ruangan yang dikelilingi tembok berukuran 6,20 x 6 m dan tinggi tembok sekitar 80 cm. Di dalam ruangan itu
terdapat
dua
buah
menhir
yang
masing-masing
berukuran 60 x 40 cm dan 20 x 8 cm. Menurut kepercayaan masyarakat sekitarnya, dahulu Sanghyang Bedil merupakan pertanda akan datangnya suatu kejadian (bahasa Sunda: totonde) dengan terdengarnya suara atau bunyi letusan di tempat itu.9
59
Cikahuripan
adalah
nama
sebuah
sumur
yang
terletak di dekat pertemuan Sungai Citanduy dan Sungai Cimuntur.
Diberi
nama
“Cikahuripan”
karena,
menurut
kepercayaan masyarakat, sumur itu berisi air kehidupan (bahasa
Sunda:
hurip
berarti
hidup).
Sumur
itu
merupakan sumur abadi karena airnya tidak pernah kering sepanjang tahun.10 Makam Adipati Panaekan terdapat pada bagian atas susunan
batu
kali
yang
berbentuk
lingkaran
bersusun
tiga. Letak makam itu berada pada salah satu jalan setapak yang menuju ke arah Sungai Cimuntur. Menurut juru
kunci
makam,
Adipati
Panaekan
merupakan
salah
seorang Bupati Galuh yang sezaman dengan Sultan Agung Mataram. Ia merupakan putra kedua Prabu Digaluh atau Salawe Sanhyang Ciptapermana II, penguasa Galuh pertama yang memeluk agama Islam. Adipati Panaekan dibunuh oleh adik
iparnya,
Dipati
Kertabumi
(Singaperbangsa
I),
karena perselisihan paham dalam penyerbuan Belanda di Batavia.
Setelah
dibunuh,
jasadnya
dihanyutkan
ke
Cimuntur dan diangkat lagi di pertemuan Sungai Cimuntur dan Sungai Citanduy, lalu dikuburkan di Karangkamulyan. Pengangkatan jenazahnya di pertemuan dua sungai itulah yang
mungkin
menyebabkan
munculnya
sebutan
Adipati
60
Panaekan (bahasa Sunda: panaekan berarti naik). Jika merujuk
pada
keterangan
yang
diberikan
oleh
Wawacan
Sajarah Galuh, maka tokoh Adipati Panaekan itu adalah Sangiang Dipati yang menjadi Bupati Galuh ke-3 (16181625). Ia juga merupakan penguasa Galuh pertama yang tercatat dalam sumber Belanda.11 Selanjutnya, mitos mengenai asal-usul nama daerah Panoongan,
Gegembung,
Sikuraja,
dan
Leuwi
Biuk.12
Diceritakan bahwa seorang pengrajin batik yang hidup di Kampung Babakan Nyengked, yang mempunyai putri cantik bernama Utari. Kecantikan Utari membuat banyak lakilaki
terpikat
kepadanya,
lalu
mereka
membuat
lubang
pada dinding bilik rumah Utari supaya bisa mengintip (bahasa
Sunda:
mengintip
itu
noong) kemudian
Utari dikenal
kapan dengan
saja.
Tempat
nama
daerah
“Panoongan”. Kecantikan Utari ternyata sampai kepada Sultan Mataram.
Utusan
pun
segera
dikirim
untuk
menjemput
Utari ke kampungnya. Namun, dalam perjalanan ternyata utusan Mataram itu melakukan tindakan tercela, merusak kehormatan Utari. Sesampainya di Mataram, Utari telah berubah menjadi gadis yang pucat dan tidak menarik lagi akibat
perbuatan
utusan
Mataram.
Sultan
Mataram
61
mengetahui bahwa Utari telah ternoda, lalu mendesaknya menunjukkan siapa yang melakukan tindakan tercela itu. Karena diancam oleh utusan Mataram, Utari mengatakan bahwa itu adalah perbuatan Adipati Imbanagara. Sultan Mataram untuk
menjadi
marah,
menangkap
dan
Adipati
itu
memotong
berhasil
lalu
membunuh ditangkap,
bagian-bagian
menimbulkan
perlawanan
segera
mengirim
Adipati lalu
tubuhnya. dari
rakyat
pasukan
Imbanagara.
dibunuh
dengan
Peristiwa
itu
Imbanagara
yang
berusaha merebut jenazah Adipati Imbanagara kembali. Beberapa
bagian
Imbanagara,
lalu
tubuhnya
berhasil
dimandikan
dan
direbut
pihak
dikuburkan.
Tempat
pemandian itu kemudian disebut “Leuwi Biuk”. Sementara tempat dikuburkannya potongan tubuh Adipati Imbanagara disebut “Gegembung”. Adapun “Sikuraja” merupakan tempat direbutnya bagian sikut sang Adipati. Mitos-mitos
mengenai
nama
daerah
di
sekitar
wilayah Galuh ternyata ada pula yang terkait dengan lahirnya salah satu kesenian khas Galuh, yaitu ronggeng gunung. Dalam cerita lahirnya kesenian itu, beberapa nama
daerah
juga
secara
mitologi
diceritakan
asal-
usulnya, yaitu Pangandaran, Babakan, Cikembulan, Batu Hiu,
Serang,
Padon
Telu,
Pasir
Eurih,
Parakan,
62
Sawangan,
Patimuan,
Tungilis,
Paliken,
Bagolo,
dan
Cirengganis.13 Secara singkat diceritakan bahwa dahulu kala seorang raja yang bernama Raden Anggalarang, putra Prabu
Haur
Kuning,
mendirikan
kerajaan
di
Ujung
Pananjung. Ayahnya telah mengingatkan bahwa kerajaan baru itu tidak akan berumur panjang karena lokasinya terletak di daerah pinggir pantai tempat singgah orangorang jahat (bajo atau andar-andar) dari Nusakambangan. Tempat itu kemudian disebut sebagai “Pangandaran”. Setelah kerajaannya,
Anggalarang terjadilah
berhasil
peperangan
mendirikan
dengan
para
bajo
yang tertarik dengan kecantikan permaisuri Anggalarang yang bernama Dewi Siti Samboja atau Dewi Rengganis. Peperangan
berakhir
pada
kekalahan
pada
pihak
Anggalarang. Atas saran dari punggawanya yang bernama Mama Lengser, ia pergi ke arah timur sampai di suatu tempat ia memutuskan untuk beristirahat (mabak-mabak). Tempat istirahat Anggalarang beserta rombongannya itu sekarang disebut sebagai daerah “Babakan”. Karena para bajo yang mengejarnya telah mengetahui persembunyian mereka, pergi
Anggalarang ke
arah
barat
beserta sampai
rombongannya di
suatu
memutuskan tempat
yang
sekarang disebut “Cikembulan”. Nama Cikembulan diambil
63
dari
kata
“timbul”
karena
rombongan
Anggalarang
“menimbulkan” diri di tempat itu. Perjalanan diteruskan sampai
di
daerah
Anggalarang
pinggir
beristirahat
laut.
dan
Di
daerah
itu,
menyantap
seekor
ikan.
Anggalarang tidak habis memakan ikan itu karena rasanya kurang enak, lalu dibuangnya ke laut sambil berkata, “Jung sing hirup dei” (bahasa Sunda: menyuruh hidup kembali). Namun, ikan itu tidak hidup kembali hanya menjadi gumpalan batu yang menyerupai ikan hiu (bahasa Sunda: ikan yu). Tempat itu kemudian diberi nama “Batu Hiu”. Sampai sekarang dipercayai bahwa kalau ada orang yang
hendak
menjadi
seniman
yang
bagus,
maka
harus
berziarah ke Batu Hiu itu. Anggalarang melanjutkan perjalanan ke arah utara sampai di suatu tempat di mana dapat dilihat dengan jelas
bekas
kemudian
kerajaannya
disebut
“nyerangkeun”
di
“Serang”
yang
arah
berasal
berarti
‘dapat
timur. dari
Tempat bahasa
melihat
dari
itu
Sunda jauh
tetapi jelas’. Perjalanan dilanjutkan terus ke utara sampai di suatu perbatasan antara tiga daerah, yaitu Parigi,
Padaherang,
dan
Kalipucang.
Perbatasan
itu
sekarang dinamakan “Padon Telu”. Karena para bajo terus mengejar,
diputuskanlah
rombongan
dibagi
dua:
Raden
64
Anggalarang menuju selatan, sedangkan istrinya, Dewi Siti Samboja, dan Mama Lengser ke arah utara. Sebelum melanjutkan
perjalanan,
Dewi
Siti
Samboja
naik
ke
sebuah gunung agar dapat melihat perjalanan suaminya. Ternyata,
Raden
Anggalarang
sedang
berperang
dengan
para bajo di suatu tempat yang sekarang disebut “Pasir Eurih”. Anggalarang terbunuh, lalu mayatnya diarak oleh para
bajo.
“Parakan”. peristiwa
Tempat Adapun itu
pengarakan tempat
kemudian
Dewi
itu
kemudian
disebut
Samboja
melihat
“Sawangan”
(bahasa
Siti
disebut
Sunda: tempat “nyawang”). Dewi Siti Samboja, Mama Lengser, dan rombongan segera melanjutkan perjalanan ke arah utara sampai di tepi Sungai Citanduy. Di sana, mereka bertemu dengan seorang
tukang
rakit
dan
meminta
pertolongan
agar
diseberangkan. Dewi Siti Samboja beserta rombongannya pun diseberangkan. Keesokan harinya, ketika rombongan Dewi Siti Samboja tiba di sebuah anak Sungai Citanduy ditemukanlah
mayat
tukang
rakit
yang
telah
menyeberangkan mereka. Tukang rakit itu dibunuh oleh para bajo yang terus mengejar Dewi Siti Samboja. Tempat ditemukannya mayat tukang rakit itu kemudian dinamakan “Patimuan”. Dewi Siti Samboja melanjutkan perjalanannya
65
ke arah selatan sampai di sebuah pegunungan. Pada suatu tempat, ia menangis karena sedih atas kesengsaraan yang menimpanya.
Tempat
menangisnya
Dewi
Siti
Samboja
dinamakan “Tungilis” oleh Mama Lengser, yang berasal dari kata “tangis nu geulis” (bahasa Sunda: ‘tempat menangisnya
orang
yang
cantik’).
Dewi
Siti
Samboja
kemudian bertapa di pegunungan itu hingga ia mendengar suara
tanpa
seorang
wujud
ronggeng
(ketuk
tilu).
yang dan
Nama
menyuruhnya
membuat Dewi
menyamar
rombongan
Siti
Samboja
menjadi
seni pun
doger diganti
menjadi Dewi Rengganis. Sementara itu, Prabu Haur Kuning mengutus Patih Sawung
Guling
untuk
mencari
informasi
keadaan
Raden
Anggalarang dan keluarganya. Sawung Guling mendengar bahwa tiap malam ada kesenian doger yang dipimpin oleh Mama Lengser. Ia pun bergegas menemui Mama Lengser dan menyampaikan pesan Prabu Haur Kuning yang menanyakan kabar anaknya. Namun, Dewi Rengganis dan Mama Lengser masih meragukan Sawung Guling sebagai utusan mertuanya. Dewi Rengganis menyuruh Sawung Guling agar bertanding dulu
dengan
Guling percaya.
pemuda-pemuda
menang, Untuk
tetapi itu,
yang
Dewi
dia
pimpin.
Rengganis
Sawung
Sawung
masih
Guling
belum
kemudian
66
memperlihatkan sebatang
lidi
ilmu
kesaktiannya
enau,
lalu
dengan
menancapkannya
mengambil
pada
tebing
batu di daerah Pegunungan Tungilis. Ketika lidi itu dicabut,
batu
bekas
tancapannya
timbul
dan
menonjol
seperti alat kelamin laki-laki dan mengeluarkan air. Tempat itu pun kemudian disebut “Paliken”, yang berasal dari
bahasa
Sunda
laki-laki’. tanaman
“pelakian”
Sawung
sehingga
Guling sekarang
berarti
kemudian
‘alat
kelamin
menaburkan
terkenal
adanya
bibit
tembakau
paliken. Setelah utusan
terbukti
Prabu
Haur
bahwa Kuning,
Sawung Dewi
Guling
adalah
Rengganis
mau
menerimanya menjadi suami. Namun, ia tetap menyamar dan menjalankan kesenian dogernya. Mereka hidup berpindahpindah sambil bercocok tanam. Ternyata, para bajo masih terus mengejar Dewi Rengganis hingga di suatu tempat terjadilah
perkelahian
Sawung
Guling,
yang
telah
menjadi suami Dewi Rengganis, dengan para bajo itu. Para bajo dapat dikalahkan oleh Sawung Guling karena kesaktiannya. Tempat terjadinya perkelahian antara para bajo
dengan
Sawung
Guling
kemudian
diberi
nama
“Bagolo”, yaitu berasal dari kata “begalan pati dengan para
bajo”.
Sampai
sekarang,
masyarakat
mempercayai
67
bahwa Bagolo itu merupakan tempat untuk “mencuci” diri agar kuat dan kebal terhadap pukulan dan benda tajam. Versi
lain
terdapat
menyebutkan
Kerajaan
bahwa
Bagolo
di
yang
Bagolo
didirikan
itu oleh
dahulu Embah
Sawung Galing. Ia pernah menyerang Kerajaan Cikembulan yang berpusat di Sidamulih karena ingin mengawini putri rajanya, tetapi akhirnya membantu memerangi para bajo. Ia berhasil dan mengawini putri raja itu, lalu menjadi raja di Kerajaan Pananjung. Dewi Rengganis dan Sawung Guling kemudian kembali ke
Pananjung,
lalu
menjadi
penguasa
di
sana.
Di
Pananjung sebelah timur terdapat tempat yang namanya “Cirengganis” di mana terdapat gua yang mengeluarkan air
tawar.
Demikianlah
asal-usul
kesenian
ronggeng
gunung yang diyakini berasal dari kesenian yang dibawa oleh Dewi Rengganis itu. Di
sekitar
Pananjung, bernama
Pantai
Pangandaran,
Situs
Pananjung.
Pangandaran, terdapat Situs
tepatnya
sebuah itu
situs
merupakan
Dusun yang suatu
kompleks percandian kecil yang terdiri atas beberapa bangunan. Kompleks candi itu dinamakan Candi Pananjung. Selain itu, ditemukan pula yoni, arca Nandi, dan batu bulat beralaskan padma (padmasana),14 yang menunjukkan
68
ciri-ciri bangunan peribadatan Hindu-Siwa. Di sekitar Candi Pananjung itu juga terdapat beberapa gua, yaitu Gua
Panggung,
Lanang.15 bekas
Gua
Apakah
kerajaan
Parat,
Gua
Sumur
Situs
Pananjung
Raden
Anggalarang?
Mudal,
tersebut
dan
Gua
merupakan
Noorduyn,
yang
bersumber pada catatan perjalanan Bujangga Manik, hanya menyebutkan
bahwa
ketika
Bujangga
Manik
dalam
perjalanannya mengunjungi tempat-tempat suci di Pulau Jawa,
ia
juga
Pananjung.16
datang
Pada
ke
saat
tempat
itu,
suci
gua-gua
Hindu di
di
sekitar
percandian sangat mungkin satu kesatuan sebagai tempat bertapa
kendati
sekarang
komponen
sakral
sebagai
indikasi arkeologis suatu pertapaan belum ditemukan. Candi
Pananjung
layaknya
sebuah
adalah
suatu
karsyan,
karsyan.17
Candi
Pananjung
Sebagaimana berfungsi
sebagai kuil pemujaan.18 Dengan demikian, belum dapat dibuktikan bahwa Situs Pananjung adalah bekas kerajaan. Khasanah mitos-mitos dalam masyarakat Galuh lebih banyak lagi dapat ditemukan pada tradisi lisan yang dituturkan secara turun-temurun. Salah satu mitos yang bersumber pada tradisi lisan masyarakat Galuh adalah mitos mengenai asal-usul Kampung Kuta.19 Kampung yang terletak di Desa Karangpaningal, Kecamatan Tambaksari,
69
berbatasan
dengan
Jawa
Tengah
itu
dikenal
sebagai
kampung adat. Menurut cerita rakyat setempat, asal-usul Kampung
Kuta
berkaitan
dengan
berdirinya
Kerajaan
Galuh. Konon, pada zaman dahulu ketika Prabu Galuh yang bernama Ajar Sukaresi (dalam sumber lain, tokoh ini adalah
seorang
Kerajaan
Galuh,
kerajaan
karena
pandita
sakti)
Kampung
Kuta
letaknya
hendak
dipilih
strategis.
mendirikan untuk
pusat
Prabu
Galuh
memerintahkan kepada semua rakyatnya untuk mengumpulkan semua keperluan pembangunan keraton seperti kapur bahan bangunan, semen merah dari tanah yang dibakar, pandai besi, dan tukang penyepuh perabot atau benda pusaka. Keraton pun akhirnya selesai dibuat. Namun, pada suatu ketika, Prabu Galuh menemukan lembah yang dibentengi (kuta) oleh tebing yang dalamnya sekitar 75 m di lokasi pembangunan pusat kerajaan itu. Atas musyawarah dengan para
punggawa
daerah
kerajaan
tersebut
tidak
lainnya, cocok
diputuskanlah
untuk
dijadikan
bahwa pusat
kerajaan (menurut orang tua, “tidak memenuhi Patang Ewu Domas”). Selanjutnya, mereka berkelana mencari tempat lain yang memenuhi syarat. Prabu Galuh membawa sekepal tanah dari bekas keratonnya di Kuta sebagai kenang-kenangan.
70
Setelah melakukan perjalanan beberapa hari, Prabu Galuh dan rombongannya sampai di suatu tempat yang tinggi, lalu
melihat-lihat
ke
sekeliling
tempat
itu
untuk
meneliti apakah ada tempat yang cocok untuk membangun kerajaannya.
Tempat
ia
melihat-lihat
itu
sekarang
bernama “Tenjolaya”. Prabu Galuh melihat ke arah barat, lalu terlihatlah ada daerah luas terhampar berupa hutan rimba yang menghijau. Ia kemudian melemparkan sekepal tanah yang dibawanya dari Kuta ke arah barat dan jatuh di suatu tempat yang sekarang bernama “Kepel”. Tanah yang dilemparkan tadi sekarang menjadi sebidang sawah yang datar dan tanahnya berwarna hitam seperti dengan tanah di Kuta, sedangkan tanah di sekitarnya berwarna merah. Prabu Galuh melanjutkan perjalanannya sampai di suatu pedataran yang subur di tepi Sungai Cimuntur dan Sungai Citanduy, lalu mendirikan kerajaan di sana. Cerita selanjutnya tentang Prabu Galuh tersebut hampir mirip dengan cerita Ciung Wanara dalam naskah Wawacan
Sajarah
Galuh,
bahwa
Prabu
Galuh
kemudian
digantikan oleh patihnya, Aria Kebondan (dalam naskah disebut
Ki
Bondan).
Prabu
Galuh
menjadi
pertapa
di
Gunung Padang. Menurut versi tradisi lisan, Prabu Galuh meninggalkan dua orang istri, yaitu Dewi Naganingrum
71
dan Dewi Pangrenyep. Saat itu, Dewi Naganingrum sedang mengandung. Ketika Dewi Naganingrum melahirkan, Dewi Pangrenyep menukar bayinya dengan seekor anak anjing. Bayi
itu
kemudian
dihanyutkan
ke
Sungai
Citanduy.
Melihat Dewi Naganingrum beranak seekor anjing, Aria Kebondan yang menjadi raja di Galuh menjadi marah, lalu menyuruh Lengser membunuhnya. Namun, Lengser itu tidak membunuh Dewi Naganingrum, tetapi menyembunyikannya di Kuta. Adapun bayi yang dibuang ke Sungai Citanduy itu kemudian
ditemukan
oleh
Aki
Bagalantrang
di
depan
badodon (tempat menangkap ikan)-nya. Bayi itu dipungut dan diasuh oleh Aki Bagalantrang hingga remaja, lalu diberi
nama
mengasuh
Ciung
bayi
itu
Wanara.
Tempat
sekarang
Aki
disebut
Bagalantrang
daerah
“Geger
Sunten”, sekitar 6 km dari Kuta. Ciung Wanara kemudian merebut
kembali
Kerajaan
Galuh
dari
Aria
Kebondan
melalui sabung ayam, sebagaimana yang diceritakan dalam naskah. Setelah Ciung Wanara menjadi raja, Lengser pun menjemput
Dewi
Naganingrum
sehingga
bisa
berkumpul
kembali dengan anaknya. Mitos-mitos yang dituturkan oleh tradisi lisan terkadang diceritakan
mempunyai dalam
keterkaitan sumber
dengan
naskah.
mitos
Keterkaitan
yang itu
72
kemudian menimbulkan pertanyaan bagi kita, apakah si penutur mitos yang bersumber pada naskah atau naskah yang ditulis berdasarkan penuturan. Jika dirujuk pada usianya, maka tradisi lisan telah ada sebelum tulisan muncul sehingga dapat diasumsikan bahwa naskah ditulis berdasarkan cerita yang dituturkan. Tradisi lisan yang terus ada hingga saat ini, seperti yang dituturkan oleh para
kuncen
atau
tukang
kemungkinan
mengenai
lisan
berdasarkan
itu
cerita,
asal-usulnya. cerita
terdapat
Pertama,
naskah
dua
tradisi
yang
dibaca
kemudian dituturkan kembali. Kedua, tradisi lisan itu memang
belum
pernah
dituliskan
dalam
bentuk
naskah,
lalu dituturkan secara turun-temurun. Adanya
perbedaan
versi
suatu
cerita
yang
dituturkan dalam naskah dan tradisi lisan disebabkan oleh
beberapa
kemungkinan,
yaitu
perbedaan
sumber
cerita, distorsi cerita karena pewarisan cerita yang turun-temurun
memungkinkan
terjadinya
penambahan
ataupun pengurangan isi cerita, dan adanya keinginan dari penutur cerita untuk mengedepankan peranan seorang tokoh
ataupun
berapologia
atas
kesalahan
tokoh
tersebut. Demikian pula dengan cerita tentang Kampung Kuta di atas. Ada beberapa bagian yang hampir mirip
73
dengan cerita yang dikemukakan dalam naskah dan ada pula
yang
berbeda
jalan
ceritanya.
Adapun
mengenai
kebenaran isi cerita atau mitos tersebut bukanlah suatu permasalahan. dihormati jauh,
Setidaknya,
dan
dipelihara
bukankah
ilmu
mitos-mitos oleh
tersebut
masyarakatnya.
pengetahuan
juga
pada
Lebih awalnya
berkembang dari bentuk pemikiran mitis. Hingga saat ini, Kampung Kuta tetap dilestarikan sebagai masih
kampung
adat
memelihara
atau
dan
petilasan.
melestarikan
Masyarakatnya tradisi-tradisi
leluhur mereka. Pantangan-pantangan pun dibuat untuk menjaga
kelestarian
tradisi
itu,
seperti
larangan
membuat rumah dari tembok dan memakai atap genteng, larangan mengubur mayat orang dewasa kecuali bayi kecil dan dalamnya pun tidak melebihi pangkal paha, larangan menggali
sumur
wayang,
larangan
terlalu meminum
dalam,
larangan
minuman
keras,
mementaskan tidak
boleh
sombong atau menentang adat Kuta, dan sebagainya.20 Di samping mitos mengenai tempat, daerah Galuh dan sekitarnya juga kaya akan mitos tentang tokoh-tokoh hebat
dan
disakralkan
orang-orang oleh
suci
masyarakatnya.
(hagiografi) Di
Kampung
yang Kuta
terdapat mitos tentang Tuan Batasela dan Aki Bumi.21
74
Diceritakan
bahwa
bekas
Kampung
Galuh
yang
telah
diterlantarkan selama beberapa lama ternyata menarik perhatian
Raja
Cirebon
dan
Raja
Solo.
Selanjutnya,
masing-masing raja tersebut mengirimkan utusannya untuk menyelidiki mengutus
Aki
keadaan Bumi,
di
Kampung
adapun
Raja
Kuta. Solo
Raja
Cirebon
mengutus
Tuan
Batasela. Raja Cirebon berpesan kepada utusannya bahwa ia harus pergi ke Kuta, tetapi jika didahului oleh utusan dari Solo, ia tidak boleh memaksa jadi penjaga Kuta. Ia harus mengundurkan diri, tetapi tidak boleh pulang ke Cirebon dan harus terus berdiam di sekitar daerah itu sampai mati. Pesan yang sama juga didapat oleh utusan dari Solo. Pergilah kedua utusan tersebut dari kerajaannya masing-masing. Utusan dari Solo, Tuan Batasela, berjalan melalui Sungai Cijolang sampai di suatu kampung, lalu beristirahat di sana selama satu malam. Jalan yang dilaluinya itu hingga saat ini masih sering dilalui orang untuk menyeberang dari Jawa Tengah ke Jawa Barat. Penyeberangan itu diberi nama “Pongpet”. Adapun Aki Bumi dari Cirebon langsung menuju ke Kampung Kuta dengan melalui jalan curam, yang sampai saat ini masih ada dan diberi nama “Regol”, sehingga tiba lebih dulu di Kampung Kuta. Sesampainya di sana, Aki Bumi
75
menemui para tetua kampung dan melakukan penertibanpenertiban, seperti membuat jalan ke hutan dan membuat tempat
peristirahatan
di
pinggir
situ
yang
disebut
“Pamarakan”. Karena telah didahului oleh utusan dari Cirebon, Tuan Batasela kemudian terus bermukim di kampung tempat ia
bermalam,
yang
terletak
di
utara
Kampung
Kuta.
Konon, utusan dari Solo itu kekurangan makanan, lalu meminta-minta kepada masyarakat di kampung itu, tetapi tidak
ada
yang
mau
memberi.
Keluarlah
umpatan
dan
sumpah dari Tuan Batasela yang mengatakan bahwa “Di kemudian
hari,
kampung
itu.”
kampung
itu
menderita
tidak
akan
Ternyata, memang
terus,
Tuan
ada
hingga
tidak
orang saat
ada
Batasela
yang
yang ini
kaya
di
rakyat
di
kaya.
kemudian
Karena
bunuh
diri
dengan keris. Darah yang keluar dari luka Tuan Batasela berwarna
putih,
lalu
mengalir
membentuk
parit
yang
kemudian disebut “Cibodas”. Kampung itu pun diberi nama Kampung Cibodas. Tuan Batasela dimakamkan di tengahtengah
persawahan
di
sebelah
utara
Kampung
Cibodas.
Makamnya masih ada hingga saat ini. Aki Bumi terus menjadi penjaga (kuncen) Kampung Kuta
sampai
meninggal,
lalu
dimakamkan
bersama
76
keluarganya
di
tengah-tengah
kampung,
yang
sekarang
termasuk Kampung Margamulya. Tempat makam itu disebut “Pemakaman Aki Bumi”. Setelah keturunan Aki Bumi tidak ada lagi, Raja Cirebon memerintahkan bahwa yang menjadi kuncen di Kampung Kuta berikutnya adalah orang-orang yang
dipercayai
oleh
Aki
Bumi,
yaitu
para
leluhur
kuncen Kampung Kuta saat ini. Eksistensi para tokoh suci yang disakralkan oleh masyarakat di Galuh itu dapat dilihat dari peninggalan berupa
benda
dan
tradisi.
Peninggalan
berupa
benda
dapat dilihat pada beberapa makam yang diyakini sebagai makam para tokoh itu, antara lain makam Tuan Batasela di
Kampung
Cibodas,
Aki
Bumi
di
Kampung
Kuta,
dan
sebagainya, yang tetap dipelihara dan tidak diganggu oleh masyarakat sekitarnya. Selain makam, juga terdapat beberapa tempat yang diyakini sebagai petilasan orangorang suci itu, seperti Gunung Padang, Kampung Kuta, Pananjung, Pulo Majeti, dan sebagainya. Adapun berupa tradisi misalnya kesenian ronggeng gunung yang tetap dilestarikan hingga saat ini dan menjadi salah satu kesenian
khas
orang-orang
masyarakat
suci
itu
Galuh.
muncul
Penghormatan sebagai
kepada
penghormatan
terhadap tradisi dan kebaikan-kebaikan atau jasa-jasa
77
dari
para
leluhur
atau
nenek
moyang.22
Walaupun
keberadaan para tokoh suci itu belum dapat ditentukan secara
pasti,
tetapi
masyarakat
tetap
menghormati
mereka dan mempercayai bahwa mereka tetap mengiringi setiap
dinamika
muncullah
kehidupan
kegiatan-kegiatan
masyarakatnya atau
sehingga
acara-acara
ritual
yang menyimbolkan hadirnya kekuatan atau hadirnya tokoh suci
itu
tradisi
kembali. atau
Hal
inilah
peninggalan
yang
menjadi
budaya
bagi
warisan
masyarakat
selanjutnya. Mitos-mitos di atas juga menggambarkan terjadinya peralihan
pemikiran
masyarakat
Galuh
pada
masa
itu,
yaitu dari pemikiran yang dipengaruhi oleh agama Hindu, seperti dikemukakan dalam mitos Ciung Wanara, ke agama Islam, seperti mitos tentang Prabu Borosngora. Lebih jauh, dalam mitos Prabu Borosngora dapat dilihat bahwa masuknya Islam ke Galuh melalui suatu proses “damai”, tanpa kekerasan. Seiring 1579,
dengan
Kerajaan
runtuhnya
Kerajaan
Sumedanglarang,
yang
Sunda
tahun
wilayahnya
membentang dari Sungai Cisadane di sebelah barat sampai Sungai Cipamali di sebelah timur, berusaha untuk diakui sebagai
penerus
Kerajaan
Sunda.23
Namun
pada
78
kenyataannya, tidak seluruh daerah yang terletak dalam bentangan
geografis
tersebut
tunduk
pada
kekuasaan
Kerajaan Sumedanglarang. Setidak-tidaknya terdapat tiga orang penguasa yang berada di luar kekuasaan Kerajaan Sumedanglarang. Pangeran Girilaya atau Panembahan Ratu berkuasa
di
Cirebon;
Maulana
Yusuf
berkuasa
atas
wilayah Banten, termasuk Pakuan Pajajaran, dan Maharaja Sanghyang
Cipta
Di
Galuh
yang
berkuasa
di
Kerajaan
Galuh.24 Kerajaan Galuh bukanlah sebuah kerajaan yang sama sekali
baru
berdiri
di
wilayah
Tatar
Sunda.
Jauh
sebelum tahun 1579, Kerajaan Sunda pernah berkedudukan di Galuh. Bahkan ketika pusat kekuasaan Kerajaan Sunda dipindahkan ke Pakuan Pajajaran, Kerajaan Galuh tetap mampu
mempertahankan
eksistensinya,
meskipun
jarang
sekali diberitakan dalam sumber-sumber sejarah. Seiring dengan semakin melemahnya Kerajaan Sunda yang terdesak oleh Islam, pemberitaan tentang Kerajaan Galuh terkait erat
dengan
upaya
Islamisasi
daerah
pedalaman
Tatar
Sunda sebelah timur yang dilakukan oleh Cirebon. Akan mitos
tetapi,
bahwa
Islam
masyarakat tidak
Galuh
meyakini
disebarkan
oleh
sebuah Cirebon
melainkan oleh seseorang yang bernama Prabu Borosngora,
79
penguasa
Panjalu
ayahnya,
Prabu
di
Dayeuh
Cakradewa
Luhur.
untuk
Ia
disuruh
mencari
ilmu
oleh
sejati
yaitu ilmu yang akan memberikan kebaikan tidak hanya untuk
dirinya,
sekian
lama
tetapi
juga
mengembara,
untuk
pada
rakyatnya.
akhirnya
ia
Setelah
menemukan
orang yang mampu memberikan ilmu sejati kepada dirinya, yakni Ali bin Abi Thalib. Oleh karena itu, berangkatlah Prabu
Bongosngora
ke
Mekah
menemui
sahabat
Nabi
Muhammad SAW untuk belajar ilmu sejati. Setelah sekian lama berguru di Mekah, Prabu Bongosngora pulang kembali ke tanah leluhurnya di Panjalu. Ia diberi tugas untuk mendirikan kerajaan bercorak Islam serta menyebarkan Islam (ilmu sejati) kepada setiap manusia di negeri leluhurnya. Setelah
merasa
tugasnya
rampung,
Prabu
Bongosngora menyerahkan tahta Kerajaan Panjalu kepada Haryang Kencana dan Haryang Kuning. Oleh karena terjadi perbedaan
pendapat,
kedudukan
ayahnya
Haryang sebagai
Kencana
penguasa
menggantikan Panjalu.
Pada
akhirnya, Kerajaan Panjalu dijadikan sebagai wilayah kekuasaan
Cirebon
semakin intensif.
sehingga
Islamisasi
daerah
Galuh
80
Selain
Prabu
Bongosngora,
ada
tokoh
lain
yang
memiliki peranan dalam Islamisasi daerah Galuh, yaitu Apun Di Anjung atau Pangeran Mahadikusuma. Tokoh ini berkuasa atas Kawali sebagai patih sehingga kemudian dikenal
juga
dengan
nama
Maharaja
Kawali.
Sebagai
bawahan Cirebon, Maharaja Kawali tidak hanya memerintah Kawali atas nama penguasa Cirebon, tetapi juga mendapat tugas untuk menyebarkan Agama Islam ke daerah selatan, yaitu Galuh. Kecuali penguasa Galuh, Islam sudah dapat diterima
oleh
masyarakat
Galuh
menggantikan
Hindu/Budha. Untuk Sanghyang
membendung
Cipta
Di
pengaruh
Galuh
Islam,
bersumpah
akan
Maharaja mengangkat
anaknya sebagai Prabu Di Galuh jika mampu menghentikan pengaruh Islam di Galuh. Terkait dengan sumpahnya itu, Maharaja Sanghyang Cipta Di Galuh menyerahkan kekuasaan atas
Kerajaan
selama
dirinya
Galuh
kepada
pergi
ke
Sanghyang
arah
timur
Cipta
Permana,
untuk
mencegah
masuknya Islam yang dibawa oleh Mataram. Akan tetapi, Sanghyang Cipta Permana ini tidak kuasa untuk mencegah masuknya
Islam
ke
pusat
kekuasaan
Kerajaan
karena ia sendiri kemudian memeluk Islam.
Galuh,
81
Seperti yang diceritakan dalam tradisi, keputusan Sanghyang Ngekel,
Cipta
memeluk
dengan
Cirebon,
Permana, Islam tetapi
yang
bukan
juga
karena
karena
bernama kalah
dirinya
Ujang
berperang
tidak
dapat
melupakan Tanduran Di Anjung, putri Maharaja Kawali. Namun, karena Ujang Ngekel masih beragama Hindu, maka Maharaja
Kawali
melaporkan
hal
itu
kepada
Sultan
Cirebon. Ujang Ngekel dipersilahkan datang ke Cirebon, dan ternyata ia bersedia memeluk agama Islam. Meskipun sudah
memeluk
kebebasan
oleh
agama
Islam,
Ujang
Ngekel
diberi
Sultan
Cirebon
untuk
melakukan
adat
kebiasaan menurut kepercayaan asli Galuh. Setelah Prabu Cipta Sanghiang di Galuh meninggal, Ujang Ngekel naik tahta
dengan
gelar
Prabu
Galuh
Cipta
Permana
dan
berkedudukan di Gara Tengah. Dengan dipeluknya Islam oleh Prabu Galuh Cipta Permana, maka Islam menggantikan kedudukan Hindu/Budha, karena para penggantinya tetap memeluk Islam.25 Sementara
itu,
menurut
Wawacan
Sajarah
Galuh,
keruntuhan Kerajaan Sunda terjadi sezaman dengan masa pemerintahan
Sangiang
Permana,
penguasa
Galuh.
Ia
kemudian digantikan oleh anaknya yang bernama Prabu di Galuh, lalu digantikan oleh Sangiang Dipati. Pada masa
82
pemerintahan Prabu di Galuh dan Sangiang Dipati, Islam masuk
ke
diterima
Galuh
atas
dengan
usaha
sukarela
Sunan
oleh
Gunung
mereka
Jati
maupun
dan
rakyat
Galuh. Jika keterangan Wawacan Sajarah Galuh tersebut dikoroborasikan atas,
maka
Sanghyang identik
dengan
Sangiang Prabu
Permana
Cipta
dengan
keterangan
cerita
identik
tradisi
dengan
Di
Galuh
dan
Prabu
Sanghyang
Cipta
Permana
di
Maharaja Di
Galuh
atau
Ujang
Ngekel. Demikianlah, sewaktu Kerajaan Sunda runtuh akibat serangan Maulana Yusuf dari Banten, Maharaja Sanghyang Cipta Di Galuh tampil sebagai penguasa Kerajaan Galuh yang berdiri sendiri dan bertahan hingga tahun 1595. Pusat kekuasaannya terletak di sekitar Cimaragas, suatu daerah
yang
Manonjaya
sekarang
(Kab.
terletak
Tasikmalaya).
antara
Kota
Kerajaan
Banjar ini
–
masih
bercorak Hindu, namun ketika anaknya yang bernama Prabu Di Galuh Cipta Permana naik tahta, Islam telah menjadi agama negara. Perubahan status kerajaan terjadi ketika penguasa dari
Galuh
tidak
kerajaan-kerajaan
kuasa di
menahan
pengaruh
sekitarnya,
politik
terutama
dari
Mataram yang sedang bangkit menjadi kerajaan utama di Pulau Jawa.
83
Pada dinasti
tahun
1595,
Mataram,
politiknya nguasa
di
Panembahan
berhasil
Mataram
menanamkan
Galuh.26
Kerajaan
tersebut
Senapati,
Namun
belum
pendiri pengaruh
demikian,
secara
pe-
intensif
mengekspolitasi kekuasaan politiknya di Kerajaan Galuh. Panembahan Senapati masih mengakui kedudukan penguasa Galuh
sebagai
kekuasaannya tersebut
raja
tidak
terlihat
yang
atas dari
memerintah
nama masih
di
wilayah
penguasa
Mataram.
dipakainya
gelar
Hal
prabu
oleh Ujang Ngekel ketika berkuasa di Kerajaan Galuh dengan gelar Prabu Galuh Cipta Permana. Ketika Kerajaan Galuh
di
Kerajaan
bawah Galuh
kepemimpinannya,
dipindahkan
ke
pusat
Gara
Tengah
kekuasaan (sekitar
Cineam, Kabupaten Tasikmalaya).27 Dalam sumber Belanda, batas-batas Kerajaan Galuh yang jatuh ke tangan Mataram adalah sebagai berikut. Sungai Citanduy merupakan batas sebelah timur Kerajaan Galuh; Kerajaan Sumedanglarang dan Cirebon merupakan batas sebelah utara; Galunggung dan
daerah
batas
yang
sebelah
kemudian
barat;
dan
menjadi
Sukapura
merupakan
Sungai
Cijulang
merupakan
batas Kerajaan Galuh di sebelah Selatan. Selain itu, beberapa daerah yang sekarang masuk ke dalam wilayah administrasi
Propinsi
Jawa
Tengah,
yaitu:
Majenang,
84
Dayeuhluhur, dalam
dan
wilayah
Pegadingan, kekuasaan
dahulunya
Kerajaan
termasuk
Galuh.
ke
Sampai
sekarang, di tempat-tempat itu sebagian komunitasnya masih mempergunakan bahasa Sunda sebagai bahasa seharihari.28 Menurut cerita, ketika Maharaja Sanghyang Cipta Di Galuh masih berkuasa di Kerajaan Galuh, dua orang anaknya
diberi
kekuasaan
di
Kertabumi
dan
Kawasen.
Rangga Permana berkuasa di Kertabumi tahun 1585 setelah anak
Prabu
Geusan
Ulun,
nalendra
Kerajaan
Sumedanglarang itu menikahi Tanduran Agung, anak tertua Maharaja Sanghyang Cipta Di Galuh. Sementara itu, Kawasen,
yang
kepada
Sanghyang
Sanghyang 1590.29
terletak
Cipta
Oleh
di
sekitar
Permana,
Di
karena
Galuh itu,
Banjarsari,
anak
dan
bungsu
berkuasa
diberikan Maharaja
sejak
sepeninggalnya
tahun
Maharaja
Sanghyang Cipta Di Galuh, di wilayah Galuh terdapat tiga pusat kekuasaan dan masing-masing berusaha untuk menjadi penerus Kerajaan Galuh. Suksesi kepemimpinan di Mataram dari Panembahan Senapati
kepada
Sultan
Agung
tahun
1601
berdampak
terhadap kehidupan politik di Kerajaan Galuh. Sultan Agung mulai memperkuat kekuasaan politiknya di Galuh
85
dengan
mengangkat
Dipati
Panaekan
sebagai
Wedana
Mataram di Galuh. Ia diberi kekuasaan atas 960 cacah dan memerintah atas nama Sultan Mataram. Pengangkatan Dipati Panaekan sebagai wedana merupakan yang pertama dilakukan
Sultan
sehingga
tidaklah
Agung
di
wilayah
berlebihan
Mancanagara
kalau
Dipati
Barat
Panaekan
dikatakan sebagai “De oudste der wedana’s in de Wester Ommelanden (van Mataram).30 Para
vassal
Mataram
di
Galuh
berbeda
pendapat
ketika Sultan Agung merencanakan untuk merebut Batavia dari VOC, meskipun mereka memiliki hubungan kekerabatan satu sama lainnya. Dipati Panaekan menginginkan agar rencana
tersebut
kekuasaan
VOC
secepat
tidak
mungkin
semakin
dilaksanakan
berkembang.
agar
Pandangan
Dipati Panaekan ini merupakan bentuk dukungan terhadap Dipati
Ukur,
penguasa
Tatar
Ukur,
yang
tidak
lain
merupakan sahabatnya. Sementara itu, Dipati Kertabumi II
atau
Adipati
Singaperbangsa,
yang
merupakan
adik
ipar Dipati Panaekan, menginginkan agar Sultan Agung memperkuat pertahanan terlebih dahulu sebelum menyerang Batavia. Persatuan di antara vassal Mataram baik di Priangan maupun di Galuh harus diperkuat agar kekuatan pasukan Mataram tidak mudah ditembus musuh. Artinya,
86
Adipati Gempol
Singaperbangsa, I,
hubungan
penguasa
darah
mendukung
Sumedang,
dengan
pandangan
yang
penguasa
masih
Kertabumi
Rangga memiliki
tersebut.
Perbedaan tersebut berujung dengan dibunuhnya Adipati Panaekan oleh Adipati Singaperbangsa pada tahun 1625.31 Kedudukannya
sebagai
penguasa
Galuh
digantikan
oleh
anaknya yang bernama Mas Dipati Imbanagara. Ia berkuasa atas Galuh (Gara Tengah) sampai dengan tahun 1636. Ketika Sultan Agung menyerang Batavia tahun 1628 dan
1629,
Mas
Dipati
Imbanagara
memberikan
bantuan
pasukan di bawah pimpinan Bagus Sutapura. Akan tetapi, serangan tersebut tidak sesuai dengan harapan Sultan Agung. Pertama, serangan Mataram tidak mampu mengusir VOC dari Batavia sehingga Sultan Agung tidak berhasil menanamkan terbesar
pengaruhnya
Kerajaan
Sunda.
di
daerah
Kedua,
bekas
Dipati
pelabuhan
Ukur
sebagai
komandan pasukan Mataram justru melakukan perlawanan terhadap
hegemoni
Mataram
dengan
tujuan
untuk
membebaskan wilayah Priangan dari kekuasaan Mataram. Meskipun
memerlukan
waktu
yang
cukup
lama,
pada
akhirnya perlawanan Dipati Ukur ini dapat dipadamkan oleh pasukan Mataram. Konon katanya, orang yang berjasa menangkap Dipati Ukur adalah Bagus Sutapura, pemimpin
87
pasukan
Galuh.
Atas
jasanya
itu,
pada
tahun
1634,
Sultan Agung mengangkat Bagus Sutapura sebagai Bupati Kawasen.
Sepeninggalnya
Bagus
Sutapura
tahun
1653,
jabatan bupati diserahkan kepada anaknya yang bernama Tumenggung Sutanangga yang memerintah Kabupaten Kawasen sampai
tahun
Sutanangga,
1676.
tidak
Sepeninggalnya
ada
lagi
yang
Tumenggung
menjabat
Bupati
Kawasen, karena wilayahnya digabungkan dengan Kabupaten Imbanagara. Masih terkait dengan peristiwa perlawanan Dipati Ukur, Sultan Agung mengangkat Adipati Singaperbangsa dan
Ki
Wirasaba
mengamankan (sekitar
dari
Banyumas
kepentingan
daerah
sebagai
Mataram
Karawang).
di
wedana sebelah
Pengangkatan
untuk barat
keturunan
Adipati Kertabumi tersebut terungkap dari sebuah surat yang ditujukan untuk Rangga Gede, Bupati-Wedana Priangan. Isi surat itu adalah sebagai berikut. Mangka emut kana piagem Kanjeng ka Ki Rangga Gede ti Sumedang, anu dititipkeun ka si Astrawadana. Anu matak manehna mawa piagem, lantaran manehna (Astrawadana) ngemban tugas ngareksa tanah kagungan Ratu “Nagara Agung”. Eta kaprabon beulah kulon diwatesan ku Cipamingkis jeung beulah wetanna ku Cilamaya. Saterusna Astrawadana kudu nungguan lumbung pare, anu eusina aya lima tangkes tilu belas jait. Eta pare engkena kudu diangkut ku Singaperbangsa, saupama parentahna geus katarima. Eta surat parentah tea baris disanggakeun ku Ki Yudabangsa jeung Ki Wangsataruna, anu ayeuna aya di satengahing jalan mawa jalma reana dua rebu. Eta jalma anu dua rebu tea baris dicangking
88
ku Singaperbangsa jeung Ki Wirasaba sacara wadana. Duanana geus diangkat ku Ratu. Upama surat angkatanana geus beunang, maranehna kedah dipernahkeun di Waringin Pitu jeung Tanjungpura. Tugasna ngajaga Nagara Agung ti beulah kulon (bisi aya musuh. Ieu piagem ditulisna poe Rebo tanggal sapuluh Mulud tahun Alif. Anu nulisna, Anggaprana.32
Menurut tercantum 1633.
perhitungan
dalam
piagem
Pengangkatan
Brandes,
itu
Adipati
penanggalan
bertepatan
dengan
Singaperbangsa
yang tahun
sebagai
wedana di Karawang merupakan titik awal terbentuknya sebuah
“dinasti”
yang
kelak
akan
memimpin
Kabupaten
Karawang. Dinasti itu mulai memerintah Karangan pada tahun
1680,
seiring
dengan
pengangkatan
Panatayuda
sebagai Bupati Karawang oleh VOC. Dengan pengangkatan Panatayuda sebagai Bupati Karawang, di Kertabumi tidak ada lagi bupati.33 Sementara itu, nasib Mas Dipati Imbanagara tidak jauh
berbeda
dengan
ayahnya.
Dituduh
bersekongkol
dengan Dipati Ukur sehingga pada 1636, Sultan Agung Mas menghukum mati Dipati Imbanagara.34 Mas Bongsar, putra Mas
Dipati
untuk
Imbanagara
sementara
waktu
yang
masih
diangkat
berusia
sebagai
13
Bupati
tahun, Galuh
(Gara Tengah) di bawah perwalian Patih Wiranangga. Sebagai wali Mas Bongsar, Patih Wiranangga berangkat ke Mataram untuk meminta piagam pengangkatan keponakannya
89
sebagai Bupati Galuh (Gara Tengah). Sepulangnya dari Mataram,
Patih
pengangkatan
Wiranangga
tersebut
mengubah
sehingga
isi
piagam
seolah-olah
dirinya
diangkat oleh Sultan Agung sebagai Bupati Galuh (Gara Tengah). Dengan piagam pengangkatan palsu itu, Patih Wiranangga
mengangkat
dirinya
sebagai
Bupati
Galuh
(Gara Tengah). Perbuatan ambisinya
curang
untuk
segera
menjadi
terbongkar
Bupati
Galuh
sehingga
(Gara
Tengah)
tidak dapat diwujudkan. Ki Pawindan, ponggawa setia Mas Dipati Imbanagara, menemukan Piagam Pengangkatan Mas Bongsar sebagai Bupati Galuh (Gara Tengah) di bawah (kolong) rumah di sekitar Padaherang. Berkat jasa Ki Pawindan, curang
Sultan
Patih
Agung
menjadi
Wiranangga.
mengetahui
Akibat
perbuatan
perbuatannya,
Patih
Wiranangga dihukum mati oleh Sultan Agung. Akan tetapi, hukuman
mati
atas
Patih
Wiranangga
tidak
jadi
dilaksanakan setelah Mas Bongsar meminta agar Sultan Agung
mengampuni
Berdasarkan
piagam
perbuatan
curang
pengangkatan
dari
pamannya
itu.
Sultan
Agung
tanggal 5 Rabiul Awal Tahun Je (6 Agustus 1636), Mas Bongsar diangkat sebagai Bupati Galuh (Gara Tengah) dan dianugerahi
gelar
Raden
Panji
Aria
Jayanagara
dari
90
Sultan Agung. Selain itu, Sultan Agung pun menyarankan kepada
Mas
Bongsar
Imbanagara,
untuk
agar
mempergunakan
menamai
nama
kabupaten
ayahnya,
yang
akan
dipimpinnya.35 Dengan demikian, sejak tahun 1636, pusat kekuasaan Galuh (Gara Tengah) berakhir eksistensinya dan
digantikan
oleh
Kabupaten
Imbanagara.
Artinya,
sejak tahun itu, Kabupaten Imbanagara merupakan salah satu pusat kekuasaan di Galuh, di samping Bojonglopang (Kertabumi) dan Kawasen. Persetujuan Kabupaten
Sultan
Imbanagara
Agung
untuk
merupakan
membentuk
rencana
awal
reorganisasi mancanagara barat pasca perlawanan Dipati Ukur. Pada tahun 1641, reorganisasi tersebut menetapkan bahwa wilayah Priangan dipecah menjadi empat kabupaten, yaitu Sumedang, Bandung, Parakanmuncang, dan Sukapura. Sementara itu, wilayah Galuh dipecah menjadi lima kabupaten, yakni Imbanagara, Bojonglopang, Utama, Kawasen, dan
Banyumas.
Tidak
lama
kemudian,
Kabupaten
Utama
dilebur ke dalam wilayah Kabupaten Bojonglopang.36 Pada tahun
1645,
reorganisasi
mancanagara
barat
ini
dilanjutkan oleh Sunan Amangkurat I, pengganti Sultan Agung. Melalui reorganisasi ini, wilayah mancanagara barat
dipecah
menjadi
12
ajeg
(kabupaten),
yaitu:
91
Sumedang, Bandung, Parakanmuncang, Sukapura, Karawang, Imbanagara,
Kawasen,
Wirabaya
(Galuh/Bojonglopang),
Sekace, Banyumas, Ayah, dan Banjar.37 Meskipun terjadi penciutan
wilayah
kekuasaan,
lama,
yakni
Imbanagara,
masih
tetap
eksis
dan
tetapi
Kawasen, Imbanagara
pusat
Galuh,
kekuasaan
dan
dipandang
Banjar
memiliki
kedudukan yang lebih tinggi. Bagi R. P. A. Jayanagara, Gara Tengah merupakan daerah inilah,
yang
memberikan
kakek
dan
kenangan
ayahnya
buruk.
terbunuh
Di
tempat
menjadi
korban
pertentangan politik di antara para penguasa di Galuh meskipun mereka masih satu keturunan. Oleh karena itu, untuk menghilangkan kenangan buruk tersebut, R. P. A. Jayanagara
memindahkan
ibu
kota
kabupatennya
ke
Calingcing. Tidak lama kemudian, dipindahkan lagi ke Bendanagara atau Panyingkiran. Pada akhirnya, R. P. A. Jayanagara menemukan tempat yang cocok untuk dijadikan sebagai ibu kota Kabupaten Imbanagara, yaitu Barunay. Pada tanggal 14 Mulud Tahun He, R. P. A. Jayanagara memindahkan
ibu
daerah
yang
dengan
hamparan
perhitungan
kota
kabupatennya
digambarkan
Rd.
dataran Rg.
ke
tidak
pernah
yang
begitu
Kesumasembada
Barunay,
suatu
kekurangan
dan
air
luas.
Menurut
Rd.
Rachmat
92
penanggalan Mataram itu bertepatan dengan tanggal 12 Juni
1642.
Di
memerintah Demikian
tempat
inilah,
Kabupaten juga
R.
Imbanagara
dengan
para
P.
A.
Jayanagara
selama
bupati
42
tahun.
penggantinya,
memerintah Kabupaten Imbanagara di daerah yang terletak antara
Cikoneng
dan
Kota
Ciamis
sekarang.
Kedudukan
Barunay, yang kemudian berubah nama menjadi Imbanagara, sebagai
ibu
kota
Kabupaten
Imbanagara
berlangsung
sampai tahun 1815. Selama ratusan tahun berkedudukan sebagai ibu kota Kabupaten Imbanagara, kabupaten-kabupaten lain seperti Kertabumi, Utama, Kawasen, Panjalu, dan
Kawali
dihilangkan
Imbanagara
meliputi
sehingga
daerah
wilayah
yang
luas
Kabupaten
mulai
dari
Cijolang hingga ke pantai selatan dan dari Citanduy di timur
hingga
perbatasan
Sukapura.
Bahkan
beberapa
wilayah yang terletak di sebelah timur Citanduy, yaitu: Dayeuh
Luhur,
dijadikan
Nusa
Kambangan,
sebagai
wilayah
Cilacap,
dan
perwalian
Banyumas Kabupaten
Imbanagara.38 Pengangkatan Mas Bongsar atau R. P. A. Jayanagara sebagai Bupati Galuh (Gara Tengah) oleh Sultas Agung, memberikan kabupaten
perubahan secara
yang
resmi
sangat
diganti
mendasar.
menjadi
Nama
Kabupaten
93
Imbanagara,
mengambil
nama
ayahnya,
Mas
Dipati
Imbanagara. Nama ini, kemungkinan besar baru dipakai secara resmi setelah R. P. A. Jayanagara memindahkan pusat
kekuasaannya
1642.
Selama
berubah
ke
kurun
menjadi
Barunay waktu
pada
tanggal
1642-1815,
Imbanagara
dan
nama
kekuasaan
12
Juni
Barunay Kabupaten
Imbanagara semakin luas, hampir menyamai luas Kerajaan Galuh. Bupati Kertabhumi dan Kawasen pun menghormati Bupati
Imbanagara
sebagai
ningrat
yang
berkedudukan
paling tinggi di wilayah Galuh. Oleh karena alasan itu, pada tanggal 17 Mei 1972, DPRD Kabupaten/Daerah TK II Ciamis memutuskan tanggal 12 Juni 1642 sebagai hari jadi Kabupaten Ciamis.39 Kabupaten Imbanagara merupakan cikal bakal bagi terbentuknya Kabupaten Galuh (1815) dan
Kabupaten
Ciamis
(1916).
Oleh
karena
itu,
eksistensi Kabupaten Ciamis tidak dapat dilepaskan dari Kabupaten Galuh dan Kabupaten Imbanagara.
B. Galuh di Bawah Kekuasaan VOC Ketika situasi di Eropa kurang menguntungkan bagi perdagangan
Belanda,
pada
tahun
1595
Compagnie
van
Verre membiayai sebuah ekspedisi pertama para pedagang Belanda
ke
Nusantara.40
Tim
ekspedisi
ini
bertujuan
94
hendak melakukan perdagangan rempah-rempah dengan para pedagang setempat dan hasil perdagangan tersebut akan dibawa ke negaranya untuk selanjutnya diperdagangkan di pasar Eropa. Ekpedisi ini berkekuatan empat buah kapal dan dipimpin oleh Cornelis de Houtman seorang pedagang yang pernah tinggal beberapa tahun di Lisabon. Setelah menempuh tanggal
perjalanan 22
Juni
selama
1596
empat
mereka
belas
berhasil
bulan, mendarat
pada di
Pelabuhan Banten.41 Keberhasilan ini mendorong bangsa Belanda
meningkatkan
kegiatan
perdagangannya
di
Nusantara. Mengingat
perdagangan
rempah-rempah
sangat
menguntungkan dan untuk mengatasi tingkat persaingan yang
semakin
tajam,
pada
tahun
1602
Staten
General
Republik Kesatuan Tujuh Propinsi mengesahkan berdirinya Vereniging
Oost-Indie
dagang
bertujuan
ini
Compagnie untuk
(VOC).
mengamankan
Persekutuan kepentingan-
kepentingan perdagangan Belanda di Nusantara dan bertugas
mengirim
ke
Belanda
armada
yang
penuh
dengan
produk-produk berharga.42 Untuk mewujudkan itu semua, VOC
diberi
General.43
hak
octrooi
Kekuasaan
(hak
setempat
ekslusif) dipegang
oleh oleh
Staten seorang
pejabat yang bergelar gubernur jenderal. Hak eksklusif
95
ini diperlukan oleh VOC karena berkaitan erat dengan rencana monopoli perdagangan yang akan diterapkan oleh VOC. Untuk
mewujudkan
monopoli
perdagangan
tersebut
dan dengan hak octrooi yang dimilikinya, VOC segera mencari
sebuah
tempat
yang
akan
dijadikan
pusat
perdagangannya di Nusantara. Pada awalnya, VOC berusaha untuk
menjadikan
perdagangan
Banten
mereka
di
sebagai
Nusantara,
pusat
kegiatan
tetapi
mengalami
kegagalan. Jayakarta44 kemudian dipilih untuk dijadikan pusat perdagangan VOC di Nusantara dan pada tahun 1619, VOC
tidak
Jayakarta
hanya
memiliki
dikuasai
secara
kantor politik
dagang, dan
tetapi
militer
dan
namanya diubah menjadi Batavia.45 Dari melebarkan
Batavia, sayap
VOC
setahap
kekuasaannya.
demi
Setelah
setahap, orang-orang
Belanda membangun kekuatannya di daerah pesisir, mereka kemudian Sunda.
mulai
memperhatikan
Berbagai
pedalaman
dengan
ekspedisi menyusuri
daerah
mulai
pedalaman
dikirim
sungai-sungai
ke
Tatar daerah
besar
yang
melintasi wilayah pedalaman Tatar Sunda. Pada tanggal 5 Juni 1641 seorang mardijker bernama Juliaan da Silva yang disertai enam orang Jawa melakukan perjalanan ke
96
pedalaman
Tatar
(Citarum).
Sunda
Hasil
dengan
ekspedisi
menyusuri itu
Kali
berupa
Krawang
pengetahuan
mengenai potensi ekonomi yang dimiliki daerah pedalaman Tatar Sunda.46 Kekuasaan perjanjian
VOC
antara
di
Galuh
Mataram
dan
diawali VOC.
dari
Dalam
sebuah
perjanjian
tanggal 19-20 Oktober 1677 itu disepakati bahwa Mataram akan
menyerahkan
Priangan
Timur
sebagai
balas
jasa
kepada VOC yang telah membantu menyelesaikan perebutan kekuasaan di Mataram.47 Namun demikian, pengambilalihan Priangan tidak berlangsung cepat. Baru pada tanggal 15 November
1684,
Gubernur
Jenderal
Johannes
Camphuijs
memerintahkan Komandan Jacob Couper dan Kapten Joachum Michiels untuk menangani Priangan. Langkah awal yang diambil Jacob Couper adalah mengeluarkan peraturan yang berkaitan dengan pembagian cacah di antara para bupati di
Priangan.
Reorganisasi
ini
pada
hakikatnya
tidak
mengubah secara radikal tata pemerintahan yang berlaku di
Priangan
ketika
masih
berada
di
bawah
Mataram.
Peraturan tersebut yang lebih dikenal sebagai Undangundang Couper diberitahukan kepada para bupati Priangan dalam
sebuah
Cirebon.
Dalam
pertemuan pertemuan
di
Benteng
itu,
di
Beschermingsh samping
di
menetapkan
97
jumlah
cacah
untuk
Parakanmuncang,
Bupati
dan
Timbanganten,
Sukapura,
Jacoub
Sumedang,
Couper
pun
menetapkan jumlah cacah untuk Dalem Imbanagara sebanyak 708 cacah, Dalem Kawasen mendapat 605 cacah, dan Lurah Bojonglopang mendapat 20 cacah dan 10 desa. Undangundang
Couper
Aaanstellingen Dalam
tersebut Brieven
Undang-undang
disetarakan (Akta
Couper
sebagai
Baru).48
Pengangkatan
ini,
tidak
Nieuwe
disebut-sebut
adanya pembagian cacah untuk Galuh. Meskipun telah ada Undang-undang Couper sebagai landasan hukum untuk menangani Priangan, tetapi Mataram belum secara resmi menyerahkan wilayah ini. Sementara itu, pada tahun 1685, Komisaris Jacob Couper meninggal dunia
di
Cirebon
dan
Gubernur
Jenderal
Johanes
Camphuijs mengangkat Francois Tack sebagai Komisaris Priangan yang baru. Pada bulan November 1685, ia memerintahkan
Letnan
Benyamin
van
der
Meer
untuk
mempersiapkan rencana pengambilalihan daerah Priangan secara
resmi
dari
Mataram.
Beberapa
bulan
kemudian,
melalui sebuah resolusi tanggal 17 April 1686 Gubernur Jenderal Johanes Camphuijs mengumumkan bahwa pertama, wilayah
kekuasaan
VOC
meliputi
daerah-daerah
yang
terletak di antara Laut Utara sampai dengan Laut Kidul;
98
daerah-daerah yang terletak di antara Kali Tangerang sampai dengan Kali Krawang. Kedua, semua penduduk dalam bentang geografis tersebut merupakan rakyat VOC yang wajib menaati hukum VOC dan wajib membayar upeti kepada VOC. Ketiga, segera menghentikan perselisihan di antara para penguasa dan segera menghadap ke Batavia untuk membuat
aturan-aturan
hukum
yang
diperlukan
dengan
membawa data demografi yang diperlukan seperti daftar nama penduduk, jenis kelamin, dan tempat lahir. Bagi penduduk
Priangan
yang
tidak
dilaporkan
oleh
penguasanya akan dianggap sebagai gelandangan dan akan diberi sanksi hukum oleh VOC.49 Pada
waktu
wilayah
Priangan
dan
Galuh
resmi
diserahkan kepada VOC, yang menjadi Bupati Imbanagara adalah R. A. Angganaya yang memerintah dari tahun 16781693. Sepeninggalnya R. A. Angganaya, VOC mengangkat R. Adipati
Sutadinata
pemerintahannya saat
itu,
intinya langsung
VOC
adalah
sebagai
Bupati
berlangsung
sampai
telah
menerapkan
penerapan
(indirect
rule).
sistem
Imbanagara. tahun
Masa
1706.
Pada
preangerstelsel
yang
pemerintahan
tidak
Artinya,
VOC
tidak
ikut
campur langsung dalam urusan politik pribumi sepanjang kepentingannya dalam mencari keuntungan dari komoditas
99
pertanian tidak terganggu. Hal ini terjadi, pertama, karena
jumlah
personel
VOC
relatif
sedikit;
kedua,
karena otoritas paling tinggi dalam masyarakat pribumi merupakan
sumber
dieksploitasi
kekuasaan
untuk
urusan
potensial produksi
yang
dan
jasa
dapat yang
diperoleh dari rakyat kecil.dengan alasan ini, struktur sosia yang ada dibiarka (untuk) diatur sendiri oleh penguasa pribumi yang disebut ménak.50 Dalam
sistem
ini,
para
bupati
berkedudukan
sebagai volkshoofd yang memiliki beberapa hak istimewa (priveleges),
yaitu:
hak
pemilikan
tanah,
hak
penguasaan dan pengabdian dari penduduk, hak memungut pajak, hak atas perikanan dan berburu, dan hak untuk menentukan
hukum
sendiri.51
Para
bupati
di
Priangan
berkewajiban untuk menyerahkan upeti kepada VOC seperti yang
pernah
mereka
lakukan
kepada
Sultan
Mataram.
Bentuk upeti tersebut berupa penyerahan wajib komoditas perdagangan seperti kayu, lada, nila (indigo), kapas, dan kemudian kopi serta gula, yang besarnya ditentukan oleh VOC. Para bupati hanya diberi kewenangan untuk membuat kebijakannya agar kewajiban penyerahan wajib dapat
dipenuhi.
menjadikan
Demikianlah,
bupati
sebagai
Gubernur
Jenderal
pelaksana
atau
VOC agen
100
verplichte
leverantie
tanaman-tanaman
yaitu
komoditas
agen
penyerahan
perdagangan,
di
wajib
antaranya
beras, cengkih, pala, lada, kapas, kopi, indigo, dan tebu.52 Demikianlah, VOC mewajibkan Kabupaten Galuh untuk menanam lada, kapas, dan indigo serta harus menyerahkan hasilnya sesuai dengan kuota yang telah ditentukan oleh VOC. Pada tahun 1695, Bupati R. Adipati Sutadinata menyerahkan
lada
kepada
VOC
sebanyak
90
pikul
yang
berasal dari Kabupaten Imbanagara sebanyak 40 pikul dan Kabupaten Kawasen sebanyak 50 pikul. (lihat tabel 2.1). Tabel 2.1 Jumlah Komoditas Perdagangan yang Wajib Diserahkan Kepada VOC di Daerah Galuh pada Tahun 169553
No.
1. 2.
Nama Kabupaten
Imbanagara Kawasen
Jenis Komoditas/Kapasitas Produksi (Dalam Pikul) Nila
Kapas
Lada
80
35 20
40 50
Selain itu, nila (indigo) dan kapas (bahan baku benang)
pun
ditetapkan
oleh
VOC
sebagai
komoditas
perdagangan yang terkena kebijakan wajib serah. Pada tahun 1695, jumlah nila yang wajib diserahkan kepada VOC dari daerah Galuh sebanyak 80 pikul. Kuota sebanyak
101
itu hanya berasal dari Kabupaten Kawasen saja. Dalam kurun
waktu
yang
sama,
Galuh
dibebani
juga
dengan
penyerahan wajib kapas. Beban yang harus dipikul oleh Galuh sebanyak 55 pikul per tahun. Jumlah sebanyak ini harus diserahkan oleh Kabupaten Imbanagara sebanyak 35 pikul dan Kabupaten Kawasen sebanyak 20 pikul. (lihat tabel 2.1). Akan tetapi, pada akhir abad ke-18 produksi lada yang dihasilkan oleh Priangan ditambah dengan Batavia dan daerah sekitarnya rata-rata hanya 25, 25 pikul per tahun. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh suatu kenyataan bahwa di pasaran internasional, kedudukan rempah-rempah mulai tergeser oleh kopi. Keadaan ini mempengaruhi VOC untuk
menurunkan
diperkirakan
kurang
jumlah
penyerahan
menguntungkan
bagi
wajib
yang
perekonomian
negaranya. Pada
tahun
1704,
R.
Adipati
Sutadinata
menandatangani kontrak politik dengan VOC yang berlaku selama 10 tahun. Berdasarkan kontrak politik tersebut beberapa oleh
jenis
Kabupaten
komoditi
perdagangan
Imbanagara
harus
yang
dijual
dihasilkan kepada
VOC
dengan harga yang telah ditetapkan oleh VOC. Dengan demikian, sejak tahun itu VOC memiliki otoritas penuh
102
untuk menentukan jenis komoditas perdagangan yang hrus ditanam dan dijual hasilnya kepada VOC. Bersamaan dengan penandatanganan kontrak politik, beberapa
kabupaten
Bojonglopang,
di
dan
wilayah
Kawasen
Galuh,
dilanda
yakni
Utama,
kerusuhan
yang
digerakkan oleh Haji Prawatasari atau Raden Alit. Namun demikian, kerusuhan yang dimulai di Jampang tahun 1703 itu, dapat dipadamkan oleh VOC pada tanggal 12 Juli 1707 seiring dengan tertangkapnya Haji Prawatasari.54 Kekuasaan VOC di Galuh semakin dipertegas dengan adanya
perjanjian
antara
Mataram
dan
VOC
tanggal
5
Oktober 1705. Berdasarkan perjanjian itu, Mataram harus menyerahkan wilayah Cirebon dan Priangan-Cirebon kepada VOC sebagai imbalan atas bantuan VOC ketika membantu Pangeran
Puger
merebut
tahta
Mataram
dari
Sunan
Amangkurat III atau Sunan Mas. Dalam perjanjian itu ditegaskan pula bahwa wilayah Priangan-Cirebon meliputi beberapa
kabupaten,
yaitu:
Imbanagara,
Galuh,
dan
Sukapura.55 Untuk mengawasi loyalitas para bupati Priangan dan Galuh, melalui Resolusi Tanggal 9 Februari 1706, VOC mengangkat Pangeran Aria Cirebon sebagai opziener para bupati di daerah Priangan dan Galuh, namun tidak
103
termasuk
untuk
Bupati
Karawang
dan
Cianjur.
Kedua
wilayah ini sudah dianggap sebagai bagian dari Batavia sehingga para bupatinya langsung diawasi oleh pejabatpejabat VOC.56 Pada saat Pangeran Aria Cirebon diangkat sebagai
opziener
Imbanagara
Priangan
dipimpin
oleh
dan
R.
Galuh,
Adipati
Kabupaten
Kusumadinata
I
(1706-1727). Dalam Cirebon
akta
mendapat
pemerintahan
pengangkatannya
itu
perintah
menjalankan
tradisional
untuk atas
nama
Pangeran
VOC
Aria sistem
di
daerah
Priangan dan Galuh. Dalam melaksanakan tugas sehariharinya ia didampingi oleh Residen Cirebon dan Letnan Caspar
Lippius.
mengeluarkan
Pada
empat
tanggal
22
kewajiban
Maret
utama
1706, yang
VOC harus
dijalankan oleh Pangeran Aria Cirebon sebagai WedanaBupati para
Priangan.
bupati
Kedua,
dan
Pertama, mencegah
mendorong
penyerahan
kapas,
menjaga adanya
penanaman
perebutan
padi.
indigo,
dan
perdamaian
Ketiga, lada
antara
penduduk. mewajibkan
dengan
suatu
pembayaran. Keempat, tidak boleh mengangkat patih tanpa persetujuan Residen Cirebon.57 Sebagai mengeluarkan
opziener, beberapa
Pangeran
kebijakan
yang
Aria
Cirebon
tentunya
telah
104
dibicarakan banyak
terlebih
kebijakan
dahulu
yang
dengan
VOC.
dikeluarkan
Dari
sekian
Pangeran
Aria
Cirebon, beberapa kebijakan yang terkait dengan Galuh, antara
lain:
VOC
mengabulkan
usulan
Pangeran
Aria
Cirebon untuk mengangkat Patih Ciamis sebagai Bupati Kawasen menggantikan Sutanangga. Alasan pergantian ini karena Patih Ciamis dianggap sebagai ningrat tertua dan terpandai. Selain itu, Daerah Utama yang tadinya masuk Karawang dimasukkan ke wilayah kekuasaan Bojonglopang dan Kepala Daerah Utama, Sutapura, harus tunduk kepada Bupati
Karawang,
R.
A.
Wiranegara,
pengganti
R.
A.
Panatayuda.58 Di samping mereorganisasi wilayah Galuh, Pangeran Aria
Cirebon
melakukan
sensus
penduduk
di
setiap
kabupaten di Galuh. Hasilnya, dapat dibaca pada tabel 2.2.
Bila
dibandingkan dengan Undang-undang Couper,
jelaslah bahwa daTabel 2.2 Jumlah Penduduk Galuh Hasil Sensus Jacob Couper dan Pangeran Aria Cirebon59
No.
Nama Kabupaten
Tahun Sensus 1684
1686
1706
1.
Imbanagara
708
-
700
2.
Kawasen
605
398
700
3.
Bojonglopang
20
-
300
105
lam kurun waktu 22 tahun penduduk Galuh tidaklah tetap. Di
Kawasen
pengurangan
dalam
waktu
dua
jumlah
penduduk
tahun
yang
sempat
amat
terjadi
drastis.
Dua
puluh tahun kemudian jumlah penduduk Kawasen meningkat melebihi
jumlah
sebelumnya.
Demikian
juga
di
Bojonglopang, dalam waktu 22 tahun jumlah penduduknya meningkat lima belas kali lipat. Sepeninggal Pangeran Aria
Cirebon
opziener. mencoba
tahun
Martawijaya,
mengajukan
ayahnya,
tetapi
1723, putra
VOC
Pangeran
permohonan
ditolak
menghapus
oleh
jabatan
Aria
Cirebon,
untuk
mengisi
jabatan
VOC,
karena
jabatan
opziener tidaklah untuk diwariskan.60 Dengan demikian, sejak saat itu, para bupati Priangan dan Galuh langsung diawasi oleh para pejabat VOC. Pada
masa
preangerstelsel,
kopi
merupakan
komoditas perdagangan utama yang sangat menguntungkan VOC
sehingga
Kerajaan
Belanda
dengan
cepat
menjadi
salah satu negara kaya di Eropa. Akan tetapi, Kabupaten Galuh tidak cocok untuk penanaman kopi sehingga tidak terlalu besar konstribusinya, meskipun bukan berarti tidak menghasilkan kopi. Penanaman kopi di Kabupaten Galuh dimulai sekitar tahun 1720-an. Bupati R. Adipati
106
Kusumadinata I memerintahkan rakyat untuk membudidayakan tanaman kopi di lereng Gunung Sawal dan Gunung Ciremai tahun
(Cirebon).
1730,
di
Sepuluh
kedua
tahun
daerah
kemudian,
ini
tepatnya
menghasilkan
kopi
sekitar 375.000 Kg atau kira-kira setara dengan 6.000 pikul dan tetap mencapai jumlah yang cukup meyakinkan setidak-tidaknya Bahkan
pada
dihasilkan 14.000
–
sampai
akhir
di
abad
kedua
18.000
pertengahan ke-18,
tempat
pikul.62
produksi
ini
Meskipun
ke-18.61
abad
kopi
mencapai
yang
kira-kira
menghasilkan
kopi
dalam jumlah yang tidak terlalu kecil, namun daerah lain di wilayah Galuh tidak cocok untuk pembudidayaan kopi. Oleh karena itu, di wilayah Galuh produksi kopi tidaklah
mencapai
hasil
setinggi
di
daerah
Priangan
Tengah dan Priangan Barat. Sementara Kusumadinata
itu,
I,
yang
sepeninggalnya menjadi
bupati
R. di
Adipati Imbanagara
adalah R. Adipati Kusumadinata II dan memerintah dari tahun anak,
1727-1732. jabatan
Oleh
Bupati
karena
dirinya
Imbanagara
tidak
diserahkan
memiliki kepada
keponakannya yang masih kecil, yakni Mas Garuda. Dengan demikian, dari tahun 1732-1751, Kabupaten Imbanagara dipimpin oleh tiga orang wali Mas Garuda. Baru pada
107
tahun
1751,
memerintah
setelah
Kabupaten
usianya
dewasa,
Mas
Imbanagara
sampai
tahun
Garuda 1801.
Gelar yang dipakai oleh Mas Garuda adalah R. Adipati Kusumadinata III. Pada masa peralihan dari VOC ke Pemerintah Hindia Belanda, yang menjadi bupati di Imbanagara adalah R. Adipati Natadikusuma. Bupati ini memerintah Imbanagara dari tahun 1801-1806. Masa pemerintahan yang sebentar ini tidak terlepas dari peristiwa yang mendahuluinya. Menurut
sumber
tradisional
Wawacan
Sajarah
Galuh,
Lawick van Pabst memerintahkan agar bupati menimbang benang
dan
Natadikusuma
nila
ke
merasa
Cibatu
(Ciamis).
tersinggung
atas
R.
Adipati
perintah
itu
karena perihal timbang menimbang hasil bumi bukanlah tugas seorang bupati. Penuh dengan amarah, R. Adipati Natadikusuma
memukul
pejabat
VOC
itu
yang
bernama
lengkap Ajun Kumetir Pieter Herbertus van Lawick van Pabst. Akibat pemukulan itu, pada tahun 1806, jabatan Bupati
Imbanagara
yang
diasandang
R.
Adipati
Natadikusuma dicopot oleh VOC (dilepas tina regen),63 karena dianggap tidak patuh terhadap perintah VOC. Sang bupati kemudian ditahan di Cirebon, meskipun tidak lama kemudian dibebaskan. Namun demikian, jabatan sebagai
108
Bupati Imbanagara tidak dapat disandang kembali karena jabatan itu telah diisi oleh Surapraja dari Limbangan yang memerintah Imbanagara sampai tahun 1811.64 Dengan demikian, ketika Hindia Belanda dipimpin oleh Daendels, Kabupaten Imbanagara dipimpin oleh bupati yang bukan keturunan Galuh. Peristiwa pemukulan tersebut, tidak hanya
berdampak
disandang
R.
dicopotnya
Adipati
jabatan
Natadikusuma.
bupati Menurut
yang sumber
Belanda, akibat peristiwa yang terjadi tahun 1805 itu, tiga
kabupaten
di
Priangan
Timur,
yaitu
Imbanagara,
Galuh, dan Utama digabungkan. Selain itu, Bupati Imbanagara
dianggap
pemerintahannya
tidak
sehingga
mampu
menjalankan
berutang
23.500
roda
Rds65
dan
setelah penggabungan ketiga kabupaten ini, utang Bupati Imbanagara menjadi tanggung jawab Bupati Galuh.
C. Galuh pada Masa Hindia Belanda Pada tanggal 31 Desember 1799, VOC dibubarkan dan kekuasaan
di
Nusantara
diambil
alih
oleh
Kerajaan
Belanda, yang kemudian membentuk Pemerintahan Hindia Belanda.
Gubernur
jenderal
pertama
yang
berkuasa
di
Hindia Belanda adalah Herman Wilhelm Daendels (18081811). Ia mendarat di Anyer tanggal 1 Januari 1808,
109
kemudian menuju ke Batavia (5 Januari 1808) yang dijadikan sebagai ibu kota Hindia Belanda. Tanggal 14 Januari
1808,
Gubernur
terjadi
Jenderal
timbang
Wiese,
terima
kekuasaan
dari
Gubernur
Jenderal
VOC
terakhir, kepada Gubernur Jenderal H. W. Daendels.66 Gubernur
Jenderal
H.
W.
Daendels
(1808-1811),
dengan membawa semangat Revolusi Perancis, melakukan perubahan
dalam
bidang
pemerintahan
yang
berkaitan
dengan administrasi wilayah dan kekuasaan elite politik pribumi Jawa
(sultan
menjadi
dan
bupati).
sembilan
Daendels
prefektur
membagi
yang
dipimpin
Pulau oleh
seorang prefek, meskipun keberadaan kesultanan masih diakui oleh Deandels. Istilah ptrefek kemudian diubah menjadi landdrostambt.67 Konsepsi selain
Daendels
didasarkan
sentralistis,
juga
pertimbangan
berikut.
dalam pada
dilakukan Pertama,
pembagian
Pulau
sistem
pemerintahan
atas tugas
dasar utama
Jawa,
beberapa Daendels
adalah mempertahankan Pulau Jawa. Kedua, pejabat tinggi sipil dan militer pemerintah Hindia Belanda saat itu jumlahnya masih sedikit. Ketiga, keuangan pemerintah sangat
minim.
melakukan
Dengan
kondisi
birokratisasi
di
seperti kalangan
ini,
Daendels
pemerintahan
110
tradisional sistem
sehingga
pemerintahan
keinginannya langsung
untuk
menerapkan
(direct
rule)
dapat
Daendels,
Tatar
Sunda
dilaksanakan. Pada dibagi
awal
menjadi
administrasi potensi kopi.
pemerintahan dua
bagian.
pemerintahan
tidaknya Bagian
suatu
pertama
ini
Pembagian didasarkan
daerah
dalam
dinamai
wilayah pada
ber-
membudidayakan
Landdrostambt
der
Jacatrasche en Preanger-Reggentschappen yang meliputi Batavia, Tangerang, Krawang, Bogor, Cianjur, Bandung, Sumedang,
dan
dipandang besar.
Parakanmuncang.
berpotensi Bagian
Kesultanan
en
menghasilkan
kedua
dinamai
Cheribonsche
Daerah-daerah kopi
dalam
ini jumlah
Landdrostambt
der
Preanger-Reggentschappen
yang meliputi daerah Kesultanan Cirebon dan CirebonPriangan. Daerah-daerah yang dimasukkan ke bagian kedua ini dipandang sebagai wilayah yang kurang berpotensi menghasilkan kopi.68 Khusus
untuk
Landdrostambt
der
Kesultanan
en
Cheribonsche Preanger-Reggentschappen, pada tanggal 2 Februari 1809, Daendels mengeluarkan Reglement op het Beheer van de Cheribonsche-landen (Peraturan Pemerintahan di Wilayah Cirebon). Berdasarkan reglement itu,
111
Kabupaten
Galuh
dimasukkan
ke
dalam
Cheribonsche
Preanger-landen (Daerah Priangan-Cirebon) bersama-sama dengan Satu
Kabupaten tahun
Limbangan
kemudian,
dan
tepat
Kabupaten
tanggal
20
Sukapura.69 Juni
1810
Daendels menghapus prefektur Priangan-Cirebon. Sebagian wilayahnya digabungkan ke Jakarta menjadi Landdrostambt der Jacatrasche en Preanger Bovenlanden. Sementara itu, Galuh
dipinjamkan
kepada
Sultan
Yogyakarta
karena
dianggap kurang berarti untuk penanaman kopi.70 Pada waktu
itu,
yang
menjadi
bupati
di
Galuh
adalah
R.
Adipati Surapraja, dari Limbangan yang memerintah dari tahun 1806-1811. Pada bulan Mei 1811, H. W. Daendels menyerahkan jabatan Willem
Gubernur
Jenderal
Jansens.
Akan
Hindia
tetapi,
Belanda
Jansens
kepada
tidak
Jan
berkuasa
lama karena ia tidak mampu mengatasi serbuan armada Inggris
ke
Pulau
Jawa
pada
bulan
Agustus
1811.
Akibatnya, ia menyerah kepada pihak Inggris di daerah Salatiga
pada
tanggal
17
September
1811
melalui
Kapitulasi Tutang.71 Sejak
saat
itu,
kekuasaan
di
Hindia
Belanda,
khususnya di Pulau Jawa jatuh ke tangan Inggris yang diwakili oleh Letnan Gubernur Jenderal Thomas Stamford
112
Raffles. 1816
Kekuasaan
Raffles
berlangsung
dinamai
sebagai
pemerintahan
dan
sampai
tahun
interregnum
(penyelang). Selama lima tahun berkuasa di Pulau Jawa, Raffles melakukan perubahan administrasi pemerintahan. Prefektur
diganti
menjadi
prefek/landdrostambt
pun
Selain
pun
itu,
Raffles
keresidenan diganti
dan
menjadi
memperkenalkan
istilah residen.
jabatan
baru
dalam birokrasi pemerintahannya, yaitu asisten residen dan
wedana
yang
distrik.72
mengepalai
Pulau
Jawa
kemudian dibagi menjadi 16 keresidenan.73 Pada
saat
Raffles
berkuasa
di
Pulau
Jawa,
di
Kabupaten Galuh terjadi tiga kali suksesi kepemimpinan. Sepeninggalnya R. Adipati Surapraja tahun 1811, jabatan Bupati
Galuh
diserahkan
kepada
Rd.
Tumenggung
Jayengpati Kartanagara yang pada waktu itu berkedudukan sebagai
Bupati
beberapa dipandang
Cibatu.
bulan tidak
saja
Bupati karena
cakap.
ini oleh
hanya
memerintah
Residen
Penggantinya
Cirebon
adalah
Rd.
Tumenggung Natanagara yang berasal dari Cirebon. Bupati ini mulai memerintah di Galuh pada tahun 1812. Akibat rencananya yang akan memindahkan ibu kota kabupaten ke Randegan
dekat
Banjar,
pada
tahun
1814
jabatannya
dicopot dan diserahkan kepada Pangeran Sutajaya, yang
113
berasal
dari
Gabang.
Ia
didampingi
oleh
tiga
orang
patih yaitu R. Wiradikusuma (Imbanagara), R. Wiratmaka (Utama), dan R. Jayadikusuma (Cibatu/Ciamis).74 Pada masa pemerintahannya yang singkat, terjadi perubahan
wilayah
administrasi
Kabupaten
Galuh.
Kabupaten Galuh harus menyerahkan daerah-daerah yang terletak di sebelah selatan S. Citanduy, yaitu: Pasir Panjang
(Manonjaya),
Cikembulan,
dan
Kawasen,
Cijulang
Padaherang
kepada
(Pamotan),
Kabupaten
Sukapura.
Demikian juga, daerah-daerah yang terletak di sebalah timur
S.
Citanduy,
yakni
Dayeuh
Luhur,
Madura,
Banyumas, dan Nusa Kambangan diserahkan ke Keresidenan Banyumas. Wilayah Galuh Imbanagara kemudian digabungkan dengan Utama dan Cibatu.75 Penyerahan wilayah ini tidak terlepas dari kebijakan Raffles untuk mereorganisasi wilayah kekuasaannya (lihat peta 2.1) Oleh karena ketidakharmonisan antara bupati dan para patihnya, Pangeran Sutajaya melepas jabatan Bupati Galuh dan kembali ke Cirebon. Pada tanggal 15 Januari 1815, R. Tumenggung Wiradikusuma menggantikan kedudukan Pangeran
Sutajaya
sebagai
Bupati
Galuh.76
Sementara
itu, R. Wiratmaka dan R. Jayadikusuma masih memegang kedudukannya
sebagai
Patih
Utama
dan
Patih
Cibatu.
114
Berdasarkan kesepakatan dengan kedua patihnya, R. T. Wiradikusuma
menetapkan
bahwa
kabupaten
yang
dipimpinnya tidak lagi bernama Kabupaten Imbanagara, tetapi bernama Kabupaten Galuh dengan ibu kotanya di Ciamis. Sejak saat itu, Imbanagara tidak lagi menjadi ibu
kota
Kabupaten
Galuh
dan
eksistensi
Kabupaten
Imbanagara berakhir. Akan tetapi, kalau dilihat dari silsilah para bupati Kabupaten Galuh, mereka merupakan keturunan
para
berlebihan penerus
Bupati
jika
Imbanagara
Kabupaten
Kabupaten
Galuh
Imbanagara.
sehingga
tidaklah
dikatakan
sebagai
Dengan
demikian,
pada
akhir pemerintahan Raffles, nama Kabupaten Galuh secara resmi
dipakai
dalam
istilah
pemerintahan
di
Hindia
Belanda dan kembali dipimpin oleh keturunan Maharaja Sanghyang Cipta Di Galuh.77 Berdasarkan
Traktat
London
yang
ditandatangani
pada tanggal 13 Agustus 1814, pemerintah Inggris harus menyerahkan Pulau Jawa kepada pemerintah Belanda. Untuk menerima
wilayah
Hindia
Belanda,
Pemerintah
Belanda
mengangkat Mr. C. Th. Elout, G. A. G. Ph. Baron van Capellen, dan A. A. Buyskes sebagai Komisaris Jenderal Hindia
Belanda
untuk
menerima
mandat
kekuasaan
atas
Pulau Jawa dari pihak Inggris. Pada tanggal 19 Agustus
115
1816, ketiganya menerima mandat kekuasaan atas Hindia Belanda
di
Batavia.
Sejak
saat
itu,
ketiga
orang
komisaris jenderal ini bertugas untuk mengatur jalannya pemerintahan di Hindia Belanda.78 Peta 2.1 Kabupaten Imbanagara (Galuh) pada Abad XVII-XVIII
Sumber: Diolah dari M. R. Fernando. 1982. Peasant and Plantation Economy: The Social Impact of the European Plantation Economy in Cirebon Residency from the Cultivation System to the End of First Decade of the Twentieth Century. Ph.D. Dissertation. Melbourne: Monash University.
Pada tanggal 5 Januari 1819 Komisaris Jenderal Hindia
Belanda
mengeluarkan
Besluit
No.23
yang
menetapkan bahwa Kabupaten Galuh merupakan bagian dari wilayah Keresidenan Cirebon. Selain Kabupaten Galuh, Karesidenan Cirebon meliputi empat kanupaten lainnya, yaitu:
Kabupaten
Kabupaten
Maja,
Cirebon, dan
Kabupaten
Kabupaten
Bengawan
Wetan,
Kuningan.79
Untuk
116
informasi posisi Kabupaten Galuh di Pulau Jawa, lihat peta 2.2. Ketika Komisaris Jenderal mengakhiri kekuasaannya atas
Hindia
Kabupaten
Belanda
Galuh
pada
dipimpin
pertengahan oleh
R.
Januari
Adipati
1819,
Adikusuma,
anak R. A. Wiradikusuma, yang memerintah dari tahun 1819-1839. Wilayah kekuasaannya tidak hanya meliputi daerah
Imbanagara,
Utama,
dan
Cibatu,
melainkan
meliputi juga Panjalu dan Kawali.80 Wilayah kekuasaanya memang
bertambah,
tetapi
tidak
lebih
luas
kekuasaan
Imbanagara (Galuh) pada abad ke-17 sampai dengan abad ke-18. Peta 2.2 Posisi Kabupaten Galuh di Pulau Jawa pada Abad XIX
Sumber: Diolah dari M. R. Fernando. 1982. Peasant and Plantation Economy: The Social Impact of the European Plantation Economy in Cirebon Residency from the Cultivation System to the End of First Decade of the Twentieth Century. Ph.D. Dissertation. Melbourne: Monash University.
117
Berdasarkan
Besluit
Gubernur
Jenderal
Hindia
Belanda tanggal 31 Mei 1844 No.1, batas-batas wilayah Kabupaten
Galuh
sebagai
berikut.
berbatasan
dengan
Kabupaten
Sebelah
Sukapura;
barat
sebelah
utara
berbatasan dengan Kabupaten Majalengka; sebelah timur berbatasan selatan
dengan
Keresidenan
berbatasan
dengan
Banyumas;
Kabupaten
dan
sebelah
Sukapura.81
Luas
wilayah Kabupaten Galuh kurang lebih 522 pal persegi (1.185,4 km²) atau sekitar 16,34% dari luas Keresidenan Cirebon.
Dengan
wilayah
seluas
ini,
Kabupaten
Galuh
relatif kecil dibandingkan dengan kabupaten lainnya di wilayah Keresidenan Cirebon, kecuali dengan Kabupaten Kuningan.82 Pada tahun 1830-an, distrik di Kabupaten Galuh berjumlah empat, yaitu Ciamis, Panjalu, Kawali, dan Keppel. Pada tahun 1840-an, Distrik Keppel berubah nama menjadi Distrik Rancah (lihat peta 2.3). Sementara itu, pada tahun 1837 jumlah desa di Kabupaten Galuh mencapai
91
desa.83
Pada
tahun
1855
jumlah
desa
di
Kabupaten Galuh meningkat menjadi 238 desa.84 Secara geografis Kabupaten Galuh terbagi menjadi empat bagian, yaitu wilayah yang mempunyai ketinggian 0-100 m di atas permukaan air laut, 100-500 m di atas permukaan air laut, 500-1.000 m di atas permukaan air
118
laut, dan di atas 1.000 m di atas permukaan air laut. Wilayah pertama bagian tenggara Kabupaten Galuh; wilayah kedua meliputi bagian timur dan selatan Kabupaten Galuh; wilayah ketiga meliputi bagian barat dan utara Kabupaten Galuh; dan wilayah keempat meliputi wilayah di lereng Gunung Sawal (1.764 m) dan Gunung Cakrabuana (1.720 m). Sementara itu, rata-rata curah hujan setiap tahunnya mencapai 2.901 mm dan rata-rata jumlah hari hujan
per
tahunnya
memberikan
selama
informasi
145,8
mengenai
hari.85
Peta
keadaan
2.4
geografis
Kabupaten Galuh pada abad ke-19. Sementara itu, kondisi ekonomi Kerajaan Belanda pada
tiga
dekade
pertama
abad
ke-19
mengalami
kehancuran, salah satu penyebabnya adalah terjadinya Perang
Jawa
menanggung
yang utang
mengakibatkan sebesar
ƒ
Kerajaan
Belanda
30.000.000.86
Untuk
mengatasi masalah ekonomi ini, daerah Hindia Belanda dijadikan sebagai alternatif pemecahan yang diharapkan. Oleh karena itu, segala daya dicurahkan untuk mengelola wilayah ini agar segera menghasilkan keuntungan untuk menutup defisit anggaran pemerintah Kerajaan Belanda. Pada tahun 1829 Johannes van den Bosch menyampaikan kepada
raja
Belanda
usulan-usulan
yang
kelak
akan
119
disebut
cultuurstelsel
(Sistem
Tanam
Paksa).
Raja
Belanda menyetujui usulan-usulan van den Bosch itu yang kemudian mengangkatnya sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada bulan Januari 1830 menggantikan Du Bus de Gisignies.87 Konsep van den Bosch mengenai Sistem Tanam Paksa pada awalnya tidak pernah dirumuskan secara eksplisit. Sistem
tersebut
desa-desa
di
(landrente) tersebut
didasarkan Jawa
kepada
setiap
pada
mempunyai pemerintah.
desa
harus
suatu
prinsip
bahwa
utang
pajak
tanah
Untuk
membayar
menyisihkan
pajak
sebagian
tanahnya guna ditanami komoditas ekspor untuk dijual kepada pemerintah dengan harga yang sudah ditetapkan. Dengan demikian, desa akan mampu melunasi utang pajak tanahnya. Pada dasarnya konsep Sistem Tanam Paksa adalah menggabungkan prinsip wajib atau paksa dengan prinsip monopoli.88 Prinsip yang pertama dipergunakan menurut model yang telah lama berjalan di Priangan yang dikenal dengan Preangerstelsel atau sistem yang dipakai oleh VOC
yang
dikenal
dengan
verplichte
leveranties
(penyerahan wajib). Diterapkannya prinsip yang pertama ini
berkaitan
dengan
pemikiran
van
den
Bosch
yang
120
menganggap bahwa bila diterapkan sistem ekonomi bebas, masyarakat desa yang mayoritasnya adalah petani, akan enggan untuk diajak menanam tanaman ekspor yang menjadi bahan
perdagangan
pemerintah.
Oleh
utama
untuk
karena
mengisi
itu,
kas
petani
diwajibkan dalam menanam tanaman ekspor itu.89 Peta 2.3 Kabupaten Galuh Tahun 1830-1900-an
keuangan sebaiknya
121
Sumber: Diolah dari M. R. Fernando. 1982. Peasant and Plantation Economy: The Social Impact of the European Plantation Economy in Cirebon Residency from the Cultivation System to the End of First Decade of the Twentieth Century. Ph.D. Dissertation. Melbourne: Monash University.
Peta 2.4 Kondisi Geografis Kabupaten Galuh
Sumber: M. R. Fernando. 1982. Peasant and Plantation Economy: The Social Impact of the European Plantation Economy in Cirebon Residency from the Cultivation System to the End of First Decade of the Twentieth Century, Ph.D. Dissertation. Melbourne: Monash University.
122
Prinsip kedua, yaitu monopoli, diberikan kepada perusahaan dagang Belanda NHM (Nederlandsche Handels Maatschappij)
yang
didirikan
pada
tahun
1824
atas
prakarsa raja Belanda. NHM akan diberi hak monopoli untuk
mengangkut
dan
memperdagangkan
komoditas
yang
dihasilkan oleh masyarakat pedesaan. Dengan demikian, NHM akan mematahkan dominasi pelayaran Inggris-Amerika di kawasan Malaya-Hindia Belanda dan dengan sendirinya akan mendatangkan pemasukan keuangan bagi pemerintah Belanda.90 Untuk menjalankan konsep tersebut, seperti yang dicatat dalam Staatsblad van Nederlandsch – Indië 1834 No. 22, pemerintah akan mengadakan perjanjian dengan penduduk
desa
mengenai
penyerahan
sawahnya
untuk
keperluan
menanam
memproduksi
komoditas
bagi
sebagian
tanaman
kepentingan
areal
yang
pasar
dapat Eropa.
Tanah yang akan diserahkan itu luasnya 20 % dari luas seluruh
sawah
sebuah
desa
dan
tanah
tersebut
akan
dibebaskan dari pajak tanah (landrente). Hasil tanaman harus diserahkan kepada pemerintah dan apabila harga yang ditaksir ternyata lebih tinggi dari jumlah pajak tanah
yang
harus
dibayarkan,
maka
kelebihannya
akan
dikembalikan kepada penduduk. Jika panen gagal, maka
123
risiko
akan
kegagalan
ditanggung
itu
tidak
oleh
pemerintah,
disebabkan
karena
asalkan kelalaian
penduduk. Tenaga kerja yang akan menanam tanaman ekspor tidak boleh melebihi tenaga kerja yang diperlukan untuk penanaman padi. Mereka akan bekerja selama 66 hari per tahun dan akan bekerja dalam komunitas desanya di bawah pimpinan kepala-kepala mereka (kepala desa) dan akan diawasi oleh pejabat Eropa (residen dan bawahannya).91 Dengan demikian, Sistem Tanam Paksa akan menyandarkan diri
pada
sistem
tradisional
dan
feodal
dengan
menggunakan perantaraan struktur kekuasaan lama. Tanaman utama untuk memproduksi komoditas ekspor yang akan ditanam di Jawa adalah indigo dan tebu, di samping
kopi
yang
telah
berjalan
sebelumnya.
Selain
itu, tanaman lain yang ikut ditanam tetapi dalam skala kecil,
antara
lain
tembakau,
lada,
teh,
dan
kayu
manis.92 Tidak seperti kopi yang hasil panennya bisa langsung
dipasarkan
tanpa
diolah
terlebih
dahulu
di
pabrik, hasil panen tanaman indigo dan tebu tidak dapat langsung dipasarkan, tetapi harus diolah dulu di pabrik sampai menghasilkan komoditas yang diinginkan. Tanaman indigo93 diolah menjadi bahan pewarna, sedangkan tanaman tebu
diolah
menjadi
gula.
Ketiga
komoditas
tersebut
124
merupakan komoditas yang sedang laku di pasar Eropa pada waktu itu. Secara
operasional
tanggung
jawab
proses
produksinya, sejak dari penanaman sampai pengolahannya di pabrik, berada di pundak para bupati dan pejabat di bawahnya,
terutama
para
kepala
desa
yang
langsung
berkecimpung di lapangan. Dengan otoritas tradisional yang dimilikinya, mereka dapat mengerahkan rakyatnya untuk memproduksi indigo melalui lembaga tradisional pribumi, yaitu kerja wajib. Dengan demikian, maka di mata para petani tuntutan untuk memproduksi indigo ini dipandang sebagai hal yang biasa dan sah. Pada waktu penerapan
Cultuurestelsel
diberlakukan,
Bupati
Galuh
dipegang oleh R. Adipati Adikusuma (1819-1839). Jabatan ini kemudian diserahkan kepada putranya yang bernama R. A. A. Kusumadiningrat (1839-1886). Keduanya kemudian berkedudukan
sebagai
pribumi
Pemerintah
komoditi
dan
perdagangan
perantara Hindia
yang
wajib
antara Belanda.
masyarakat Beberapa
diserahkan
oleh
keduanya kepada Pemerintah Hindia Belanda antara lain kopi, indigo, gula, dan beras. Salah satu jenis komoditi yang wajib diserahkan pada tahun-tahun awal pelaksanaan Tanam Paksa adalah
125
indigo
yakni
bahan
pewarna
kain.
Dengan
mempertimbangkan kondisi geografis, Pemerintah Hindia Belanda memerintah R. A. Adikusuma untuk menanam pohon tarum yang merupakan bahas dasar indigo. Di kabupaten yang
dipimpinnya,
rangka
Sistem
pelaksanaan
Tanam
Paksa
industri
indigo
dalam
dijalankan
mulai
tahun
1830.94 Koordinator produksi indigo diserahkan kepada Inspektur Perkebunan Indigo Karesidenan Cirebon, G.E. Teisseire, yang diangkat oleh Gubernur Jenderal van den Bosch pada awal tahun 1830,95 bersama dengan Residen Cirebon, B.J. Elias. Untuk menyeragamkan pola industri indigo, pemerintah pusat mengeluarkan Resolutie Hooger Regeering tanggal 27 Februari 1832 No.4. Berdasarkan resolusi
tersebut,
menjalankan
pola
mulai
tahun
industri
1833
Elias
Residen
dalam
Cirebon
memproduksi
indigo di Kabupaten Galuh. Konsep yang ditawarkan Elias adalah indigo diproduksi di pabrik-pabrik kecil yang didirikan
di
desa-desa
oleh
penduduk
desanya
dengan
menggunakan teknik yang sederhana dan kemudian hasilnya dibeli
oleh
pemerintah.
Penanaman
tanaman
indigo
dilakukan di tanah-tanah sawah yang terletak di desadesa.
Ia
beranggapan
dijalankan,
maka
bahwa
hasilnya
apabila akan
pola
cepat
industrinya
diperoleh
dan
126
penduduk
desa
tidak
perlu
meninggalkan
desanya,
sehingga mereka juga dapat menanam tanaman pangannya di seluruh Keresidenan Cirebon.96 Ketika industri indigo dijalankan di Kabupaten Galuh pada masa Sistem Tanam Paksa, tanaman indigo yang dibudidayakan
diambil
dari
jenis
Tarum
Kembang
yang
sudah dikenal masyarakat pribumi. Jenis tanaman indigo ini
banyak
ditemukan
dibudidayakan Masyarakat
pada
daerah
di
daerah
masa
ini
Sistem
menyebutnya
Priangan
sebelum
Tanam
Paksa.97
dengan
nama
Tarum
Siki, sedangkan orang Jawa menyebutnya Tom Cantik.98 Alasan
dipilihnya
jenis
disebabkan
jenis
kuat,
hasilnya
dan
ini
Tarum
cepat
lebih
Kembang,
kemungkinan
pertumbuhannya,
banyak
pohonnya
dibandingkan
jenis
lainnya, selain sudah dikenal secara luas oleh penduduk pribumi.99 Persiapan-persiapan indigo
di
Inspektur
Kabupaten Perkebunan
pertama
Galuh, Indigo
untuk
memproduksi
dikoordinasikan Teisseire
dan
oleh
Residen
Cirebon Elias. Tanah-tanah yang disiapkan untuk menanam Tarum Kembang bukan di sawah-sawah sekitar desa, tetapi di tanah-tanah yang tidak dipakai untuk menanam tanaman pangan penduduk yang letaknya jauh dari perkampungan.
127
Areal
penanaman
Tarum
Kembang
disiapkan
di
empat
distrik yang ada di wilayah Kabupaten Galuh, yaitu: Distrik
Ciamis,
karena
itu,
Keppel100,
Kawali,
seluruh
distril
dan
di
Panjalu.
Kabupaten
Oleh Galuh
merupakan penghasil indigo. Areal industri
penanaman
indigo
1.263,5
bau
29,95%
dari
di
Tarum
Kembang
Kabupaten
(896,6
ha).
areal
pada
Galuh
masa
luasnya
Areal
seluas
penanaman
Tarum
itu
awal
mencapai mencakup
Kembang
di
Keresidenan Cirebon. Untuk meningkatkan produksi, pada tahun 1832 pemerintah memperluas areal penanaman Tarum Kembang di Kabupaten Galuh menjadi 1.540 bau (1.092,9 ha)
atau
meningkat
sekitar
21
%,
dari
tahun
1830.
Perluasan areal penanaman Tarum Kembang itu dilakukan melalui pembukaan tanah baru, pemberdayaan tanah-tanah yang
ada
di
sekitar
tanaman
ekspor
seperti
yang
Galuh,
seluas
lain
pabrik
indigo,
dengan
Tarum
dilakukan 120
di
rijnl
Distrik morgen
dan
penggantian
Kembang. Panjalu
(144
Misalnya Kabupaten
bau/102,1
tanaman kopi diganti dengan tanaman Tarum Kembang.101
ha)
128
Tabel 2.3 Areal Penanaman Tarum Kembang di Kabupaten Galuh, 1830 – 1832 Luas Areal Penanaman Tarum Kembang (dalam bau) 1830 1831 1832
Nama Pabrik
Distrik Ciamis
Kauntungan
651,0
660,0
720,0
Kawali
Kasukahan
355,0
360,0
432,0
Rancah
Kaharapan
177,5
180,0
240,0
Panjalu
Sukahati
80,0
81,0
148,0
1.263,5
1.281,0
1.540
Jumlah Total
Sumber: Opgave van de primo Januarij 1832 in de onder-scheidene fabrieken gefabriceerde indigo, ADK 551, ANRI; Opgave der Werkzamheden en Opbrengsten der Indigo Cultuur van den tÿd dat die in de Residentie Cheribon is ingevoerd tot op ult. December 1832, ADK 569, ANRI.
Berdasarkan
tabel
2.3,
pada
tahun
1830,
areal
terluas penanaman Tarum Kembang dilakukan di Distrik Ciamis
yang
mencapai
651,0
atau
51,52%
dari
areal
keseluruhan. Sementara itu, yang terkecil di Distrik Panjalu
yakni
keseluruhan. areal
seluas
Pada
penanaman
tahun Tarum
80,0
atau
1832,
6,33%
meskipun
Kembang
di
dari
luas
secara
fisik
Distrik
Ciamis
meningkat sebesar 69 bau atau 10,6%, namun mengalami penurunan penanaman yang
sama
sekitar Tarum
4,77%
Kembang
dialami
di
oleh
dari
areal
Kabupaten Distrik
keseluruhan
Galuh.
Kawali
Kondisi walaupun
penurunannya tidak sedrastis di Distrik Ciamis, yakni
129
hanya 0,05%. Sementara itu, pada tahun 1832, Distrik Rancah
dan
Panjalu
mengalami
peningkatan
areal
penanaman Tarum Kembang masing-masing sebesar 1,54% dan 3,29% dari keseluruhan areal penanaman Tarum Kembang di Kabupaten Galuh.
dari
Pada
tahun
pola
Teisseire
pelaksanaan
1833,
pola
pola
industri
menjadi
industri
pola
ini,
indigo
Elias.
luas
berubah
Pada
areal
awal
penanaman
Tarum Kembang di Kabupaten Galuh 1.541 bau (1.093,6 ha) atau naik 1 bau dari tahun 1832. Seperti yang tertera pada
tabel
2.4,
rata-rata
areal
persawahan
yang
digunakan untuk menanam Tarum Kembang pada tahun 1833 mencapai 29,825%. Pada perkembangan selanjutnya, areal untuk
penanaman
Tarum
Kembang
bertambah
luas
sampai
mencapai puncaknya tahun 1840. Pada masa puncak ini luas areal penanaman Tarum Kembang mencapai
1.563 bau
(1.109,2 ha) atau meningkat 1,4%. Meskipun demikian, areal persawahan yang dipergunakan mengalami penurunan sebesar 7,325%. Hal ini terjadi karena perluasan areal penanaman Tarum Kembang diiringi dengan perluasan areal persawahan dengan cara membuka tanah-tanah yang tidak digunakan
dan
kemudian
mengubahnya
menjadi
areal
persawahan, seperti yang ditampilkan pada tabel 2.5.
130
Sementara itu, desa yang terlibat dalam penanaman Tarum Kembang berjumlah 59 desa atau sekitar 64,8 % dari seluruh desanya.102 Tabel 2.4 Areal Penanaman Tarum Kembang dan Prosentase Areal Persawahan yang digunakan menanam Tarum Kembang di Kabupaten Galuh, 1833 – 1840
Distrik Ciamis Kawali Rancah Panjalu Jumlah Total Keterangan:
Luas Areal Penanaman Tarum Kembang (dalam bau) 1833 1835 1840 720 726 836 432 200 305 240 220 236 149 144 186 1.541
1.290
1.563
Prosentase Areal Persawahan untuk Menanam Tarum Kembang 1833 1835 1840 32,7 *) 21,4 33,8 *) 21,0 33,3 *) 28,6 19,5 *) 19,0 29,825
*)
22,5
*) Tidak ada data
Sumber: Staat Aantonende Opbrengst Zoomede de Werkzaamheden bij de Indigo Kultuur in de Residentie Cheribon over den Jare 1833, ADK 569, ANRI; Algemeen Verslag 1833, AD Cirebon 2.9, ANRI; Cultuur Verslag 1835, ANRI; Aantooning van den Stand der Indigo Kultuur in de Residentie Cheribon, dalam surat dinas Inspektur Perkebunan Keresidenan Cirebon pada Direktur Perkebunan tanggal 19-10-1841 no.73, ADK 615, ANRI.
Tabel 2.5 Perluasan Areal Persawahan di Kabupaten Galuh, 1833 dan 1840 Distrik Kawali Ciamis Rancah Panjalu Jumlah
Luas Areal Persawahan (dalam bau) 1833 1840 1.277,0 1.451,0 2.199,0 3.907,0 720,0 826,0 763,0 980,0 4.959 7.164
Sumber: Staat Aantonende Opbrengst Zoomede de Werkzaamheden bij de Indigo Kultuur in de Residentie Cheribon over den Jare
131
1833, ADK 569, ANRI; Algemeen Verslag 1833, AD Cirebon 2.9, ANRI; Aantooning van den Stand der Indigo Kultuur in de Residentie Cheribon, dalam surat dinas Inspektur Perkebunan Keresidenan Cirebon pada Direktur Perkebunan tanggal 19-101841 no.73, ADK 615, ANRI.
Untuk
kelancaran
produksi,
mutlak
diperlukan
pabrik-pabrik, baik kecil maupun besar, yang diawasi oleh orang Eropa dan sejumlah orang pribumi yang sudah dilatih. Mereka diambil dari anggota elite desa yang sebagian besar anak-anak muda dari sikep terkemuka yang menginginkan
posisi
di
pemerintahan.103
Sampai
tahun
1833, di Kabupaten Galuh terdapat enam pabrik. Pada tahun 1837, jumlah pabrik mencapai 19 buah, meningkat menjadi 49 pabrik tahun 1838, dan dua tahun kemudian menjadi 51 pabrik.104 Setelah penanaman
tahun
1840
Tarum
Kembang
berproduksi
pun
berkurang.
disebabkan
oleh
tingginya
1840.
ini
Hal
terjadi dan
pengurangan
areal
pabrik-pabrik
yang
Kondisi harga
mengakibatkan
ini
padi
antara
setelah
pemerintah
lain tahun
meninggalkan
perluasan areal penanaman Tarum Kembang.105 Tanah-tanah yang
seharusnya
Kembang,
tidak
mendapat ditanami
giliran tanaman
ditanami tersebut,
Tarum tetapi
kembali ditanami padi. Selain itu, pada tahun 1843 padi menjadi komoditas yang dimaksukkan ke dalam kerangka
132
Sistem Tanam Paksa, sehingga padi pun menjadi perhatian permerintah
untuk
ditingkatkan
produksinya.106
Adanya
eksodus penduduk ke luar desanya pada tahun 1845-1847 juga
menjadi
penyebab
berkurangnya
areal
penanaman
Tarum Kembang. Areal seiring Jenderal
penanaman
dengan J.
Tarum
Kembang
dikeluarkannya
J.
Rochussen
semakin
kebijakan
untuk
menurun Gubernur
mengurangi
areal
penanaman Tarum Kembang di Jawa. Ia beranggapan bahwa indigo
sudah
tidak
menguntungkan
lagi.
Hal
ini
kemungkinan disebabkan oleh semakin merosotnya harga indigo dari Jawa di pasar Eropa karena terdesak oleh indigo dari Benggala (India) dan juga semakin turunnya produksi akibat dari berkurangnya kesuburan tanah. Oleh karena itu, pada bulan November 1846 ia mengusulkan kepada
Menteri
Jajahan
J.C.
Baud
untuk
mengganti
industri indigo dengan industri gula yang keuntungannya lebih besar.107 Walaupun demikian, kebijakan ini tidak berlaku
untuk
Kabupaten
Galuh.
Pada
tahun
1847,
Gubernur Jenderal J.J. Rochussen justru meningkatkan areal penanaman Tarum Kembang di Kabupaten Galuh sampai 3,8 % dari tahun 1840.108
133
Kebijakan Gubernur Jenderal J.J. Rochussen baru diberlakukan di Kabupaten pada tahun 1851. Berdasarkan Besluit 5 Mei 1851 No.10, Pemerintah Hindia Belanda menghapus kebijakan penanaman Tarum Kembang di Distrik Rancah. Kemudian tahun 1853, Pemerintah Hindia Belanda menghapus Distrik Panjalu untuk menanam Tarum Kembang. Sementara
itu,
pada
tahun
1858
Residen
Cirebon
melaporkan kepada Direktur Perkebunan bahwa penanaman Tarum Kembang di Distrik Kawali dan Distrik Ciamis akan dihapus.109 Realisasi penghapusan itu baru dijalankan tahun 1862 untuk Distrik Kawali dan tahun 1864 untuk Distrik Ciamis. Dengan demikian, Tarum Kembang masih terus ditanam di kedua distrik ini, setidak-tidaknya sampai tahun 1864. Dengan
luas
areal
penanaman
Tarum
Kembang,
seperti yang tercantum dalam tabel 2.3, Kabupaten Galuh menjadi
penghasil
indigo
terbesar
untuk
wilayah
Keresidenan Cirebon. Dari empat distrik yang berada di bawah Kabupaten Galuh, baru tiga distrik yang telah menghasilkan indigo, yaitu Distrik Ciamis, Kawali, dan Rancah.
Sementara
itu,
pada
awal
produksi
indigo,
Distrik Panjalu belum berhasil indigo. Hal ini disebabkan
oleh
penanaman
Tarum
Kembang
yang
terlambat,
134
tidak
bersamaan
sehingga karena
tidak
pabrik
dengan dapat
di
delapan
distrik
berproduksi
Distrik
lainnya,
bersamaan.
Panjalu
belum
Selain
siap
untuk
berproduksi. Tingginya produksi indigo di Kabupaten Galuh itu sempat disaksikan oleh Gubernur Jenderal van den Bosch dalam kunjungan kerjanya di kabupaten tersebut tahun 1831.110
Ada
produksi
beberapa
indigo
di
hal
yang
menyebabkan
tingginya
tersebut.
Pertama,
kabupaten
Kabupaten Galuh memiliki areal penanaman Tarum Kembang cukup
luas,
sehingga
wajar
apabila
hasilnya
juga
tinggi. Kedua, kemungkinan pengelolaannya sudah lebih baik jika dibandingkan dengan kabupaten lain. Ketiga, seperti telah diuraikan pada subbab sebelumnya bahwa indigo dari jenis Tarum Kembang banyak dibudidayakan di Keresidenan geografis
Priangan,
maka
Kabupaten
membudidayakan
ada
Galuh
Tarum
kemungkinan lebih
Kembang,
cocok
mengingat
kondisi untuk kondisi
geografis kabupaten tersebut tidak jauh berbeda dengan kondisi geografis Keresidenan Priangan. Distrik
Rancah
merupakan
distrik
yang
paling
produktif tidak hanya di Kabupaten Galuh melainkan juga di
seluruh
Keresidenan
Cirebon.
Rata-rata
produksi
135
indigo
per
bau
di
distrik
ini
mencapai
23
pon
Amsterdam, sedangkan di distrik-distrik lainnya umumnya masih di bawah 10 pon Amserdam per bau. Tabel 2.6 Produksi Indigo dengan Pola Industri Teisseire, 1831–1832
Distrik
Nama Pabrik
Ciamis
Kauntungan
Kawali Rancah
Kasukahan Kaharapan
Panjalu
Sukahati
Produksi Indigo (dalam pon Desember Pertengahan 1831 1831 Selur Selur Per Per uhuhbau bau nya nya 16.73 4.070 6 25 3 2.688 8 3.981 11 4.000 23 4.876 27 belum 761 9 produksi
Amsterdam) 1832 Selur uhnya 22.30 9 5.307 6.500 760
Per bau 31 12 27 5
Sumber: Opgave van de primo Januarij 1832 in de onderscheidene fabrieken gefabriceerde indigo, ADK 551, ANRI; Opgave der Werkzamheden en Opbrengsten der Indigo Cultuur van den tÿd dat die in de Residentie Cheribon is ingevoerd tot op ult. December 1832, ADK 569, ANRI.
Pada tahun 1833 ketika dijalankan pola industri Elias, produksi indigo di tiga distrik di Kabupaten Galuh,
yaitu
Distrik
Ciamis,
Kawali,
dan
Rancah
mengalami sedikit penurunan. Meskipun demikian, secara keseluruhan Kabupaten Galuh mampu memproduksi indigo sebesar 27.986 pon Amsterdam (13,8 ton) dengan nilai ƒ 41.979. Pada tahun ini produksi dari Kabupaten Galuh menempati posisi tertinggi dan dapat mengalahkan Kabupaten Cirebon, padahal luas areal penanamannya lebih
136
rendah dari Kabupaten Cirebon, yaitu hanya sekitar 75 % dari luas areal di Kabupaten Cirebon. Begitu pula jika dibandingkan dengan Kabupaten Majalengka yang mempunyai luas areal penanaman yang hampir sama, Kabupaten Galuh dapat
memproduksi
lebih
besar.
Hal
ini
menunjukkan
bahwa kondisi geografis Kabupaten Galuh sangat cocok untuk membudidayakan Tarum Kembang dan pengelolaannya, baik dalam penanaman maupun dalam proses pengolahan, lebih baik jika dibandingkan dengan kabupaten lainnya. Pada tahun 1840, produksi indigo Kabupaten Galuh mencapai 84.554 pon Amsterdam (41,8 ton) dengan nilai ƒ 154.733,82 sehingga terendah di Keresidenan Cirebon. Penurunan produksi ini disebabkan oleh luas areal penanaman
Tarum
Kembangnya
relatif
tetap,
tidak
ada
perluasan yang signifikan. Selain itu, juga disebabkan kesuburan yang
tanahnya
ditunjukkan
sudah oleh
semakin rata-rata
berkurang,
seperti
produktivitas
per
baunya. Pada
tahun
ini,
produktivitas
Kabupaten
Galuh
dengan rata-rata produksi 47,5 pon Amsterdam per bau merupakan yang terendah di wilayah Keresidenan Cirebon. Bahkan, Distrik Rancah, yang hanya dapat memproduksi 30 pon Amsterdam per bau, merupakan distrik yang paling
137
tidak produktif. Rendahnya produktivitas di Kabupaten Galuh
ini
kemungkinan
disebabkan
oleh
kesuburan
tanahnya yang sudah semakin berkurang. Tabel 2.7 Produksi Indigo dengan Pola Industri Elias di tiap Distrik, 1833 – 1840
Distrik Kawali Ciamis Rancah Panjalu
Produksi Indigo (dalam pon Amsterdam) 1833 1835 1840 Seluruh Per Seluruh Per Seluruh Per nya Bau nya Bau nya Bau 4.081 10 4.191 21 16.558 54 15.380 22 18.434 26 53.280 64 4.716 20 4.662 21 6.974 30 3.809 26 2.633 18 7.742 42
Sumber: Staat Aantonende Opbrengst Zoomede de Werkzaamheden bij de Indigo Kultuur in de Residentie Cheribon over den Jare 1833, ADK 569, ANRI; Algemeen Verslag 1833, AD Cirebon 2.9, ANRI; Cultuur Verslag 1835, ANRI; dan Aantooning van den Stand der Indigo Kultuur in de Residentie Cheribon, dalam surat dinas Inspektur Perkebunan Keresidenan Cirebon pada Direktur Perkebunan tanggal 19-10-1841 no.73, ADK 615, ANRI.
Oleh karena kebijakan pengurangan areal penanaman Tarum Kembang tidak berlaku di Kabupaten Galuh sampai tahun
1851,
pada
tahun
1847,
produksi
indigo
di
kabupaten ini mencapai 84.537 pon Amsterdam (41,8 ton) dengan nilai ƒ 154.280,03.111 Dengan demikian, produksi indigo di Kabupaten Galuh pada tahun 1847 relatif tetap dan hampir sama dengan tahun 1840. Begitu juga dengan rata-rata produksi per baunya. Akan tetapi, pada tahuntahun
berikutnya,
produksinya
cenderung
menurun,
138
padahal areal yang ditanaminya relatif tetap. Hal ini nampaknya disebabkan perawatan tanaman Tarum Kembang tidak seintensif tahun-tahun sebelumnya dan kesuburan tanahnya
sudah
semakin
berkurang,
sehingga
kualitas
indoksil dalam daunnya berkurang. Akibatnya kuantitas indigo
yang
cenderung
dihasilkannya
menurun,
mempertahankan
pun
Pemerintah
industri
berkurang. Hindia
indigo
di
Meskipun
Belanda
masih
Kabupaten
Galuh
sampai tahun 1862. Baru setelah tahun itu, Kabupaten Galuh tidak menghasilkan lagi indigo dalam rangka tanam paksa, seiring dengan penghapusan kebijakan ini oleh Pemerintah Hindia Belanda. Meskipun Kabupaten Galuh termasuk yang relatif berhasil
dalam
keberhasilan Bahkan
melaksanakan
itu
tidak
sebaliknya,
Cultuurstelsel,
dapat
dirasakan
pelaksanaan
oleh
Cultuurstelsel
tetapi rakyat. telah
mengakibatkan rakyat menjadi sengsara, karena tenaganya dikuras habis untuk menghasilkan barang atau komoditas yang laku di pasaran dunia. Oleh karena itu, R. A. A. Kusumaningrat
mengusulkan
agar
Pemerintah
Belanda segera mencabut Cultuurstelsel.
Hindia
139
Catatan 1
Ekadjati, 1981: xxviii-xxix; Sukardja, 2002: 39-41. Sukardja, 2002: 15-16. 3 Sukardja, 2002: 42. 4 Sukardja, 2002: 42-45; bandingkan dengan Ekadjati, 1981: xxixxxx. 5 Sukardja, 2002: 5. 6 Sukardja, 2002: 3-4; Lubis, dkk., 20031: 144. 7 Lubis, dkk., 20031: 142. 8 Sukardja, 2002: 1-2, 14; Lubis, dkk., 20031: 142. 9 Sukardja, 2002: 3. 10 Sukardja, 2002: 5-6. 11 Ekadjati, 1981: xxxvi-xxxvii; Lubis, 1998: 319. 12 Sukardja, 2002: 28-29. 13 Sukardja, 2002: 30-33. 14 Yondri, 1999: 12-13. 15 Agus, 1999: 13. 16 Noorduyn, 1982. 17 Ciri-ciri sebuah karsyan adalah letaknya di suatu tempat terpencil, seperti di puncak gunung, tepi laut, tepi sungai besar, dan sebagainya (lihat: catatan kaki no. 131 dalam Lubis, dkk., 20031: 463). 18 Berdasarkan penelitian tentang bangunan suci pada masa Majapahit, Hariani Santiko berpendapat bahwa ada dua fungsi candi, yaitu candi sebagai kuil sekaligus sebagai pendarmaan raja, dan candi sebagai kuil pemujaan. Khusus candi sebagai kuil pemujaan didominasi oleh bangunan suci para resi (Santiko, 1998: 8-10). 19 Sukardja, 2002: 45-47. 20 Sukardja, 2002: 48. 21 Sukardja, 2002: 49-50. 22 Dike dan Ajayi, 1985: 111-112 23 Usaha Kerajaan Sumedanglarang untuk diakui sebagai penerus Kerajaan Sunda gagal diwujudkan karena dua hal. Pertama, secara geopolitik, Kerajaan Sumedanglarang terletak di antara tiga kerajaan besar yaitu Banten, Cirebon, dan Mataram. Kerajaan Sumedanglarang merupakan kerajaan terlemah dibandingkan dengan ketiga kerajaan tersebut sehingga ancaman penaklukan senantiasa membayangi mereka. Kedua, tindakan Prabu Geusan Ulun yang menculik dan memperistri Ratu Harisbaya, istri Panembahan Ratu (penguasa Cirebon). Sebagai seorang nalendra, tindakan tersebut dipandang tidak etis sehingga melahirkan konflik terbuka antara Cirebon dan Sumedanglarang. Akibat konflik tersebut, wilayah Kerajaan Sumedanglarang berkurang karena wilayah Majalengka diserahkan kepada Cirebon. Selain itu, banyak rakyatnya yang meninggalkan Sumedanglarang (Martanagara, 1978: 8-38). 24 Widjajakusumah, 1961: 3. 25 TPSG, 1972: 33, 35-36. 26 Enclycopedie van Nederlandsch Indie. 19193: 506;. de Haan, 19123: 161. 2
140
27
Kenyataan ini sangat dipahami karena pada masa pemerintahannya, Panembahan Senapati masih disibukan dengan upaya menaklukan para penguasa di daerah pesisir utara P. Jawa. Selain itu, Panembahan Senapati pun masih berusaha untuk memperkuat identitas dirinya sebagai penguasa Mataram. Terlebih-lebih pada saat itu, di Kerajaan Galuh pun pengaruh Cirebon tertanam cukup kuat, sedangkan Mataram masih menaruh hormat terhadap Cirebon. Perihal hubungan Panembahan Senapati dengan Cirebon dapat dibaca dalam H. J. de Graaf. 1987. Awal Kebangkitan Mataram; Masa Pemerintahan Senapati. Terj. Javanologi. Jakarta: Grafiti Press. 28 de Haan, 19123: 68. 29 Sukardja, 2002: 80-90. 30 de Haan, 19123: 68; Holle. 1869: 327. 31 Team Peneliti Sejarah Galuh (TPSG), 1972: 38-39. 32 Widjajakusumah, 1961: 27. 33 TPSG, 1972: 42-43. 34 Sumber lain menyebutkan bahwa hukuman mati yang diterima oleh Mas Dipati Imbanagara tidak terkait dengan tindakan Dipati Ukur melawan hegemoni Sultan Agung atas Priangan. Menurut sumber ini, Mas Dipati Imbanagara dituduh telah melakukan penghinaan kepada penguasa Mataram. Mas Dipati Imbanagara memberikan tujuh orang puteri Galuh yang masih perawan sebagai upeti kepada Sultan Agung. Akan tetapi, dari ketujuh puteri itu, hanya enam orang yang masih perawan. Hal ini membuat marah Sultan Agung dan mengutus Patih Narapaksa ke Gara Tengah untuk membunuh Mas Dipati Imbanagara (Sukardja, 2002: 138. 35 TPSG, 1972: VIII & 45. 36 de Haan, 19123: 73. 37 van Rees, 1869: 19; Kern, 1898: 19. 38 Sukardja, 2002: 140. 39 Setidak-tidaknya ada lima pertimbangan yang melandasi penetapan hari jadi itu. Pertama, keputusan R. P. A. Jayanagara memindahkan pusat kekuasaan Kabupaten Imbanagara ke Barunay memberikan dampak positif bagi perkembangan pemerintahan dan kemasyarakatan. Kedua, perpindahan itu mengandung unsur perjuangan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Ketiga, Kabupaten Imbanagara pada akhirnya mampu menyatukan wilayah Galuh sehingga daerah kekuasaannya hampir menyamai daerah kekuasaan Kerajaan Galuh dan penyatuan itu tidak dilakukan melalui kekerasan fisik. Keempat, Kesultanan Mataram mengakui kekuasaan Kabupaten Imbanagara dan menjadikan sekutunya dalam upaya mengusir penjajah. Kelima, suatu kenyataan bahwa hubungan antara Kabupaten Imbanagara dan Ciamis tidak dapat diputus (Lampiran TPSG, 1972: 5-6). 40 Di Eropa, para pedagang Belanda menempati posisi sebagai pedagang perantara yang menghubungkan Spanyol/Portugis dengan bagian Eropa lainnya. Namun demikian, status tersebut mulai diusik oleh Spanyol menjelang akhir abad ke-16 Masehi. Pada tahun 1580, Raja Philip II dari Spanyol memasukkan Portugis sebagai bagian dari Kerajaan Spanyol. Sebagai dampak permusuhannya dengan Belanda, pada tahun 1594 ia menutup pelabuhan Porto dan Lisabon bagi para pedagang Belanda. Penutupan kedua pelabuhan ini berdampak pada hilangnya status
141
pedagang perantara yang disandang oleh para pedagang Belanda (Chijs, 1880: 55; Hall, 1988: 247; Tate, 19711: 49). 41 Chjis, 1888: 54; Hall, 1988: 248-249; Lombard, 19961: 61. 42 Keberadaan VOC di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari upaya ekspansi orang-orang Eropa di Asia. Dengan demikian, sejak awal didirikannya misi VOC tidak hanya berhubungan dengan perdagangan saja, melainkan ada juga kepentingan politiknya yaitu menciptakan sebuah tanah kolonial di Nusantara (Graaf, 1949: 290-295). 43 Menurut piagam yang telah disahkan oleh Staten General dan berlaku selama 21 tahun, VOC memeliki hak istimewa untuk berlayar, berdagang, dan memegang kekuasaan di kawasan antara Tanjung Harapan Baik (Afrika Selatan) ke timur sampai Selat Bering dan sepanjang garis bujur 100º BT Kepulauan Solomon di Pasifik Selatan (Leur, 1955: 176-177; Tate, 19711: 13-15). 44 Ketika Kerajaan Sunda masih berdiri, pelabuhan ini bernama Sunda Kalapa dan merupakan pelabuhan terpenting di antara semua pelabuhan yang ada di daerah itu. Banyak para pedagang yang berdatangan ke Sunda Kalapa seperti yang diceritakan oleh Tomé Pires “… dan orang berdatangan ke sana dari Sumatera, Palembang, dan Lawe (di pantai barat Kalimantan), Tanjung pura (juga di Kalimantan), dari Maluku, Makassar, Jawa, Madura, dan tempattempat lainnya (Cortesao, 1944: 415). 45 Batavia merupakan nama latin bagi orang-orang Jerman (Bataaf) yang tinggal di sebuah wilayah yang bernama Holland (Tate, 19711: 69). 46 van Rees, 1869: 42. 47 de Haan, 19101: 38-39. 69; Raffles, 1982: 192; van Rees, 1869: 50-55. 48 van Rees, 1869: 79. 49 Ekadjati et al., 1990: 77. 50 Burger, 1970: 98; Kartodirdjo, 1988: 309-310; Schrieke, 1960: 64; Vlekke, 1967: 196-197; 51 Atmadja, 1940: 159. Pajak ditarik oleh para bupati sebagai sumber keuangan keluarga mereka dan dengan pajak mereka dapat hidup mewah sehingga anggapan bahwa mereka sebagai raja-raja kecil betul-betul dapat diwujudkan. Pajak yang dipungut oleh para bupati di Priangan tersebut dapat berupa hasil bumi, uang, atau tenaga kerja. Selain itu para bupati memungut pajak pasar dan pajak pemotongan hewan (Ali et al., 1973: 116; Lubis, 1998: 80-83). 52 Ali et al., 1973: 120. 53 Ali et al., 1973: 117. 54 de Haan, 19112: 250; de Klein, 1931: 33. 55 de Haan, 19101: 38-39. 69; Raffles, 1982: 192; van Rees, 1869: 50-55. 56 Jabatan pengawas (opziener) yang diperkenalkan oleh VOC dapat dipersamakan dengan jabatan wedana-bupati pada zaman Mataram. Sesungguhnya, tahun 1691 Bupati Sumedang pernah meminta kepada VOC untuk kembnali menjadikan dirnya sebagai opziener daerah Priangan sebagaimana jabatan yang sejenis dengan itu pernah dipegang oleh kakeknya. Akan tetapi, permintaan Bupati Sumedang ini ditolak, karena VOC berpendapat bahwa semua bupati Priangan
142
memiliki kedudukan yang sama dan semuanya harus mengabdi secara langsung kepada VOC (Lubis, 1998: 32; van Rees, 1869: 87) 57 de Haan, 19101: 250; de Klein, 1931: 29-31; van Rees, 1869: 9192. 58 de Haan, 19112: 257 59 Ali et al., 1973: 79 & 84; Kartodirdjo, 1988: 246; van Rees, 1869: 79. 60 van Rees, 1869: 97. 61 Fernando dan O’Malley, 1988: 239. 62 Burger, 1962: 99 63 Edisi Ekadjati, 1977: 81. 64 TPSG, 1972: 54. 65 Dalam sumber lain disebutkan bahwa utang Bupati Natadikusuma sebesar 200.000 real dan sampai tahun 1805 baru dibayar sebesar 70.000 real. Utang ini disebabkan oleh ketidakmauan Natadikusuma membayar upeti kepada pemerintah Hindia Belanda selama empat tahun (Sukardja, 2002: 146). 66 Ketika H. W. Daendels diangkat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada tanggal 17 Januari 1807, situasi politik di negaranya sangat berbeda ketika VOC masih memegang kekuasaan di Hindia Belanda. Pada awal abad ke-19, Negeri Belanda dikuasai oleh Perancis sehingga pada tahun 1806 pemerintahan Bataafsche Republiek berubah menjadi Koninkrijk Holland di bawah pimpinan Lodewijk Napoleon. Perubahan ini sedikit banyaknya mempengaruhi kondisi politik di Hindia Belanda. (Bastin, 1957: 15; Coolsma, 1881: 42; Day, 1966: 147-148). 67 Kern, 1898: 33-34; van Rees, 1880: 110-111. 68 Kern, 1898: 34. 69 Selain mengatur tentang kedudukan Galuh, Peraturan tersebut mengatur wilayah Prefektur Kesultanan Cirebon, yang meliputi 12 distrik, yaitu: Lossari, Gebang, Kuningan, Cikaso, Panjalu, Matanghaji, Talaga, Rajagaluh, Sindangkasih, Bengawan Kulon, Bengawan Wetan, dan Kandanghaur (van der Chijs, 1896: 474-475; 568-569). 70 de Klein, 1931: 56. 71 de Graff, 1949: 372; Raffles, 19781: xxvi-xxvii; Ricklefs, 1981: 108-109. 72 de Klein, 1931: 159. 73 van Rees, 1896: 129. 74 de Haan, 19123: 84. 75 TPSG, 1972: 56-57. 76 de Haan, 19123: 85 77 Lubis et. al., 2000: 24. 78 VBG, XXXIX, 1880: 10. 79 Staatsblad van Nederlandsch-Indië 1819 no.9. 80 Syafrudin et al., 1993: 261. 81 Algemeen Verslag 1832, AD Cirebon 2.8, ANRI; Beschrijving der Grenzen van de Residentie Cheribon 14 Juli 1845, AD Cirebon 64.11, ANRI. 82 Behoort by Misjive van den Resident van Cheribon van den 3 November 1837 no.2006, AD Cirebon 64.9, ANRI. 83 Behoort by Misjive van den Resident van Cheribon van den 3 November 1837 no.2006, AD Cirebon 64.9, ANRI.
143
84
Fernando, 1982: 167. Lekkerkerker, 19381: 83-84. 86 Day, 1975: 244-245; Furnivall, 1983: 157-158; Ricklefs, 1994: 182-183. 87 Day, 1975: 244-245; Furnivall, 1983: 153. 88 Furnivall, 1983: 154. 89 Furnivall, 1983: 156-157; Ricklefs, 1994: 183-184; Vlekke, 1967: 289-291. 90 Ricklefs, 1994: 184. 91 Gonggrijp, 1949: 118-123. 92 Fasseur, 1992:.27; Gonggrijp, 1949: 115-166; Kartodirdjo dan Suryo, 1991: 57. 93 Nama indigo diduga berasal dari kata endego yang dinyatakan oleh Marco Polo ketika ia membicarakan tentang pengolahan pewarna itu di India yang dikunjunginya pada abad ke-13. Marco Polo pertama kali melihat proses pengolahan indigo di daerah Koulam (Coulan) di India yang kemudian dideskripsikan dalam catatannya. Di Koulam, indigo diproduksi dalam jumlah yang besar untuk kepentingan ekspor. Selain di daerah tersebut, indigo juga dihasilkan dalam jumlah besar di daerah India lainnya, yaitu di Guzzerat (Gujarat) dan Kambaia (Kambayet) (Everyman’s Library, 1923: 377, 384, 386). 94 Gonggrijp, 1949: 119; van Soest, 1869: 69-70. 95 Bleeker, 1865: 408; Fernando, 1982: 79-84. 96 Pada tahap pertama, pemerintah pusat menetapkan konsep pola industri Teisseire yang dijalankan. Hal tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa Teisseire merupakan ahli dalam industri indigo. Namun setelah beberapa waktu, hasil produksinya tidak memuaskan dan jarak antara areal penanaman dengan desa tempat tinggal pekerjanya sering menimbulkan masalah bagi pekerjanya. Berdasarkan hal itu, Elias kemudian mengusulkan untuk mencoba konsep pola industrinya dengan menjadikan Distrik Sindangkasih di Kabupaten Maja sebagai tempat uji cobanya. Setelah dicoba beberapa waktu, ternyata hasilnya lebih baik dibandingkan dengan pola industri Teisseire. Residen Elias kemudian mengusulkan kepada pemerintah pusat di Batavia untuk menjalankan pola industrinya di seluruh Keresidenan Cirebon. Setelah konsepnya disetujui oleh Batavia, Residen Elias memerintahkan kontroleur Galuh untuk melaksanakan pola baru industri indigo di kabupaten yang menjadi tanggung jawabnya (Surat Dinas Residen Cirebon kepada Kontoleur Galuh, Tanggal 28 Desember 1832 No.2951, AD Cirebon 70.6, ANRI). 97 Surat dinas Residen Cirebon pada Direktur Perkebunan tanggal 53-1832 No.547, ADK 552, ANRI; de Waal, 1845: 56. 98 Heyne, 1987: 964. 99 de Waal, 1845: 56. 100 Distrik Keppel berubah nama menjadi Distrik Rancah pada sekitar tahun 1841. Untuk selanjutnya akan digunakan nama Rancah untuk menyebut nama Distrik Keppel. 101 Extract uit het Register der Resolutien van den Gouvernor General van Nederlandsch Indie in Rade 21-12-1831; ADK 550, ANRI. 85
144
102
Lihat Aantooning van den Stand der Indigo Kultuur in de Residentie Cheribon, dalam surat dinas Inspektur Perkebunan Keresidenan Cirebon pada Direktur Perkebunan tanggal 19-10-1841 no.73, ADK 615, ANRI. 103 Surat dinas Residen Cirebon pada Direktur Perkebunan tanggal 23-11-1833 No.2057, ADK 564, ANRI; Fernando, 1982: 112. 104 Surat dinas Residen Cirebon pada Direktur Perkebunan tanggal 23-11-1833 No.2057, ADK 564, ANRI; Cultuur Verslag 1834, ANRI; Behoort by Misjive van den Resident van Cheribon van den 3 November 1837 No. 2006, AD Cirebon No.64.9, ANRI; Inspectie Berigt, Over de Residentie Cheribon, Gedaan in de Maanden Augustus, September en October 1838, ADK 597, ANRI; Aantooning van den Stand der Indigo Kultuur in de Residentie Cheribon, dalam surat dinas Inspektur Perkebunan Keresidenan Cirebon pada Direktur Perkebunan tanggal 19-10-1841 No.73, ADK 615, ANRI. 105 Fasseur, 1992: 70. 106 Gonggrijp, 1949: 147. 107 Fasseur, 1992: 79-80. 108 Staat der Verschillende Kultuur – Intigtingen op Java onder ultimo December 1847. Indigo Kultuur. Inrigtingen, die van Wege het Gouvernement zijn daargesteld, Microfilm Archief Kolonien (Seri 6) Film nr.15, ANRI. 109 Surat dinas Residen Cirebon pada Direktur Perkebunan tanggal 16-6-1858 No. 1984, ADK 610, ANRI. 110 Fernando, 1982. op.cit., hal. 81. 111 Staat der Verschillende Kultuur – Inrigtingen op Java onder ultimo December 1847. Indigo Kultuur. Inrigtingen, die van Wege het Gouvernement zijn daargesteld, Microfilm Archief Kolonien (Seri 6) Film nr.15, ANRI.