1
BAB I PENGANTAR
1.1
Latar Belakang Pakaian seragam dan tanda pangkat merupakan bagian dari simbol-simbol
Angkatan Darat. Pengertian simbol (lambang) adalah segala sesuatu yang dimaknai, wujudnya bisa berupa material/fisik, perilaku, bahasa (bunyi yang dimaknai), gagasan. Secara implisit makna simbol tidaklah terdapat pada simbol itu sendiri, tetapi diberikan oleh manusia yang menggunakan simbol, karena manusia pada posisi utama yang dapat memberikan makna.1 Simbol yang menjadi dasar terbangunnya kehidupan sosial adalah bahasa, sedangkan unit atau satuan paling dasar dalam bahasa simbol adalah kata-kata. Kata-kata inilah yang merupakan unit terkecil yang bermakna atau dapat dimaknai atau mewakili sesuatu, yang menurut Ferdinand de Saussure disebut sign (tanda).2 Di kemudian hari ahli bahasa berpendapat bahwa unit terkecil dalam bahasa yaitu fonem. Kemunculan fonem sebagai ‘tanda’ dalam bahasa menuntut pentingnya membedakan antara simbol dengan sign. Heddy Shri Ahimsa Putra mengatakan, apa yang disebut de Saussure sebagai sign perlu diartikan sebagai
1
Heddy Shri Ahimsa Putra, “Tanda, Simbol, Budaya dan Ilmu Budaya”, Makalah dialog Ilmiah Dwi Bulanan Unit Pengkajian dan Pengembangan Budaya Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada pada Juni 2002, hlm. 2. 2
Dalam pandangan Saussure, sign merupakan unit yang terkecil dalam bahasa, dan ini memiliki dua sisi, yakni : signified (tinanda) dan signifier (penanda), dan tanda yang dicontohkan oleh de Saussure tidak lain adalah kata. Sebab hanya katalah sebagai unit terkecil bahasa yang memiliki aspek signified dan signifier.
2
simbol.3
Simbol
ini
mempunyai
dua
sisi,
yakni
simbol
itu
sendiri
(symbol/signifier) dan yang disimbolkan (symbolized/signified). Konsep simbol sangat menarik bila diimplementasikan dalam dunia militer, sebab selama ini studi tentang militer selalu dikaitkan dengan perang, politik, ekonomi, hukum, dan pelanggaran hak azazi manusia (HAM). Dapat dikatakan belum ada karya atau narasi militer dari perspektif tradisi, sosial, dan budaya. Padahal militer dibentuk oleh tradisi, sosial, dan budaya itu sendiri. Oleh karenanya mengangkat simbol pakaian seragam dan tanda pangkat Angkatan Darat dalam kontek sejarah menjadi penting, karena di luar tema kebiasaan. Pengertian pakaian adalah barang apa yang dipakai, sedangkan seragam adalah satu ragam/corak, sama bentuk. Kemudian bila dirangkaikan menjadi kalimat pakaian seragam tentara pengertiannya adalah pakaian yang serupa warna dan guntingnya, misalnya kemeja, blouse, jas, celana, rok, pakaian olah raga.4 Sementara itu pangkat adalah tinggi rendah kedudukan atau derajat dalam jabatan ketentaraan,5 misalnya pangkat Prajurit dua (Prada) lebih rendah dari Prajurit satu (Pratu), Pangkat Kapten lebih rendah dari Mayor, pangkat Brigadir Jenderal lebih rendah dari Mayor Jenderal dan sebagainya. Simbol pakaian seragam dan tanda pangkat dalam Angkatan Darat paralel dengan adagium Jawa ajining diri gumantung ing lathi, Ajining sarira gumantung ing busana. Slogan berbahasa Jawa ini bukanlah merupakan sesuatu yang asing dalam budaya Jawa. Artinya jati diri (non fisik) seseorang tercermin dari 3
Heddy Shri Ahimsa Putra, op.cit, hlm. 3.
4
Suharso dan Ana Retnoningsih. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Lux). (Semarang : CV. Widya Karya, 2005), hlm. 357. 5
Ibid.
3
ucapannya, sedangkan jati diri fisik badannya tercermin dari pakaian yang dikenakannya, maka pakaian dinilai memiliki makna.6 Busana atau pakaian dalam budaya Jawa juga mencerminkan status seseorang dalam masyarakat. Adagium ini merupakan kearifan lokal yang terkait dengan interaksi personal dalam kehidupan masyarakat yang lebih luas. Terkait dengan itu, maka tidak mengherankan bila pada masa lalu meskipun dalam suasana jaman revolusi tahun 1948-1949 para pejuang (APRI) di Yogyakarta menunjukkan penampilan yang necis dengan rambut disisir rapi dan pakaiannya disetrika licin menenteng senjata karaben mondar mandir antara Tugu sampai Alun-alun.7 Pakaian berperan besar dalam menentukan citra seseorang. Lebih dari itu, pakaian adalah cermin dari identitas, status, hierarki, dan gender yang memiliki nilai simbolik serta merupakan ekspresi cara hidup tertentu. Pakaian juga mencerminkan sejarah, hubungan kekuasaan, serta perbedaan dalam pandangan sosial, politik, dan relegius. Dengan kata lain, pakaian adalah kulit sosial dan kebudayaan.8 Pakaian merupakan salah satu penanda yang paling jelas dari sekian banyak penanda penampilan luar, sebagai pembeda secara perorangan maupun identitas kelompok tertentu. Dengan pakaian, seseorang bisa mengelabuhi ataupun
6
Yuke Ardhiati, Bung Karno Sang Arsitek: Kajian Artistik Karya Arsitektur, Tata Ruang Kota, Interior, Kria, Simbol, Mode Busana dan Teks Pidato 1926-1965 (Depok : Komunitas bambu, 2005), hlm. 69. 7
Bambang Purwanto dalam Kuliah Kapita Selekta tanggal 27 Desember 2011 di FIB UGM. 8
Henk Schulte Nordholt (ed). Outward Appearances (Jakarta : LkiS Yogyakarta, 2005), hlm. v.
4
dibunuh oleh orang lain.9 Contoh pada perang gerilya tahun 1949 Letnan Heru Kesser menyamar menggunakan pakaian yang mirip dipakai oleh Panglima Besar Jenderal Sudirman di daerah Kediri untuk mengelabuhi musuh, oleh tentara Belanda dianggap sebagai Jenderal Sudirman yang sesungguhnya sehingga dilakukan pengejaran dan pemboman.10 Salah lirik di dunia militer juga bisa terjadi, hal ini disebabkan prajurit yang tidak menaati penggunaan pakaian seragam sehingga ditembak oleh kawannya sendiri dalam suatu patroli maupun pertempuran. Dengan pakaian seragam itu pula tumbuh e’Esprit de Corps di kalangan militer. Dalam sejarahnya, Angkatan Darat Republik Indonesia dilahirkan bersamaan terbentuknya Tentara Keamanan Rakyat (TKR) 5 Oktober 1945. Kondisi saat itu sangat memprihatinkan, karena dalam suasana berjuang dihadapkan dua pilihan merdeka atau mati, mengakibatkan pakaian seragamnya belum bisa terwujud normatif. Pakaian seragam TKR masih “bolang-bonteng” alias belum berpakaian seragam dengan bahan, mode dan warna yang sama. Kemudian untuk membedakan antara TKR dengan masyarakat lainnya, maka setiap anggota TKR diharuskan menggunakan tanda ban warna putih yang bertuliskan TKR warna merah dipasang pada lengan sebelah kiri.11
9
Ibid, halm. 57.
10
Roto Soewarno, Perang Kemerdekaan Pak Dirman Menuju Sobo (Jakarta : Yayasan Kembang Mas, 1988), hlm. 352. 11
Dinas Sejarah TNI-Angkatan Darat, Almanak Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat 1945-1973 “C” (Bandung : Dinas Sejarah TNIAngkatan Darat, 1977), hlm. 1263.
5
Angkatan Darat Republik Indonesia yang lazim disebut TNI AD bersamasama AURI atau TNI AU, ALRI atau TNI AL adalah Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) yang lazim disebut TNI. Institusi ini merupakan komunitas tersendiri sebagai elemen masyarakat yang mempunyai identitas pakaian seragam dan tanda pangkat sebagai simbol, sehingga membedakan penampilannya dengan elemen masyarakat lainnya. Meskipun dalam satu wadah, namun secara horisontal simbol pakaian seragam dan tanda pangkat Angkatan Darat berbeda dengan AURI maupun ALRI, karena masing-masing mempunyai lapangan tugas dan identitas serta tradisi sendiri. Bila ditinjau secara vertikal, maka simbol pakaian seragam dan tanda pangkat dapat menunjukkan tinggi rendahnya pangkat seorang anggota militer, karena dari kedua simbol itu seseorang dapat membaca dan dibaca. Pimpinan Angkatan Darat mengarahkan dan menekankan bahwa personil dari berbagai level dan pangkat dituntut untuk tampil gagah, rapi, necis, dan keren dari ujung rambut sampai ke ujung kaki dengan menggunakan pakaian seragam yang telah diterima dan pangkat yang disandangnya. Namun umumnya level Perwira pakaian seragamnya lebih rapi, necis, dan keren
sehingga
penampilannya tampak berbeda dengan bawahannya (Ba dan Ta).12 Pakaian seragam dan tanda pangkat dalam Angkatan Darat merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan pemakaiannya, karena keduanya
12
Menurut Dandenbekang Yogyakarta Letkol Cba Suharto ketika diwawancarai tanggal 13 September 2012 dijelaskan bahwa perwira umumnya yang lebih banyak tidak memakai pakaian seragam pembagian, hal ini disebabkan oleh faktor ekonomi yang lebih mapan, ingin tampil beda (produksi massal tidak menjadi daya tarik untuk memakainya), dan pengalaman penugasan luar negeri lebih luas sehingga banyak wawasan dan pengetahuannya.
6
merupakan simbol identitas yang membedakan dan menyamakan kedudukan dalam struktur organisasi dan penampilan prajurit Angkatan Darat. Warna Pakaian seragam dan tanda pangkat dalam Angkatan Darat dari masa ke masa tidak berlaku warna linier, namun dapat dicatat bahwa pada momentum tertentu ada suatu tonggak sejarah yang dapat dijadikan sebagai titik awal terdapatnya satu warna dominan sebagai identitas Angkatan Darat. Aspek lain seperti bahan dan visual pangkat juga tidak bersifat tetap, tetapi mengalami perkembangan dan perubahan seiring perjalanan waktu dan pergantian pucuk pimpinan Angkatan Darat. Sejak awal kemerdekaan tahun 1945 sampai akhir Orde baru (1998), simbol pakaian seragam dan tanda pangkat dalam Angkatan Darat Republik Indonesia yang kemudian disebut Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD) telah mengalami beberapa kali perubahan. Dinamika simbol-simbol tersebut selama kurun waktu setengah abad lebih adalah sangat menarik untuk diteliti
dan
ditulis
sejarahnya
karena
mengalami
diferensiasi13
dan
demokratisasi,14 yang selanjutnya menarik pula ditafsirkan dari perspektif politis, doktriner dan kepemimpinan. Sejauh yang penulis ketahui, tidak ada tulisan ilmiah tentang militer yang eksklusif, artinya menyangkut ranah sejarah mentalitas yang oleh Kuntowijoyo dikatakan sebagai sejarah kejiwaan suatu kelompok sosial. Karya ini dapat
13
Diferensiasi diartikan proses dari satu macam menjadi beberapa macam, misalnya munculnya sebutan Pakaian Dinas Harian (PDH), Pakaian Dinas Lapangan (PDL), Pakaian Dinas Upacara (PDU). Munculnya visual pangkat yang berbeda untuk Pa, Ba, dan Ta. 14
Demokratisasi diartikan proses dari ketidakseragaman menuju keseragaman warna, mode, maupun bahannya.
7
dikatakan unik, diharapkan mempunyai kebermaknaan dan sumbangan tersendiri dalam upaya untuk memperkembangkan pengetahuan dan menambah khasanah baru tentang kajian kemiliteran khususnya Angkatan Darat Republik Indonesia.
1.2
Perumusan Masalah dan Ruang Lingkup Mencermati simbol pakaian seragam dan tanda pangkat dalam Angkatan
Darat Republik Indonesia dari awal kemerdekaan hingga akhir Orde Baru atau dalam kurun waktu 53 tahun sebagaimana telah diuraikan dalam latar belakang, maka penelitian ini akan membahas tentang keberagaman pakaian seragam dan tanda pangkat dalam Angkatan Darat diantaranya akibat pengaruh kepemimpinan dan kepentingan organisasi. Berangkat dari rumusan tersebut, maka muncul pertanyaan sebagai berikut : 1.
Sejak kapankah pakaian seragam dan tanda pangkat berlaku di organisasi TKR, dan sejak kapan pula terjadi perbedaan pakaian seragam dan tanda pangkat antar angkatan ?
2.
Perubahan-perubahan apakah yang terjadi pada pakaian seragam dan tanda pangkat dalam Angkatan Darat ?
3.
Faktor-faktor
apakah
yang
mempengaruhi
perubahan
dan
bagaimana proses perubahan simbol pakaian seragam dan tanda pangkat dalam Angkatan Darat ? 4.
Apakah dampak perubahan simbol pakaian seragam dan tanda pangkat terhadap penampilan personel Angkatan Darat ?
8
5.
Apa tafsir perubahan simbolik pakaian seragam dan tanda pangkat dalam Angkatan Darat dari perspektif
politis, doktriner, dan
kepemimpinan ? Bahwa Pakaian seragam dalam Angkatan Darat terdiri dari dua macam, yaitu pakaian seragam umum dan pakaian seragam khusus. Kelengkapan pakaian seragam tersebut terdiri dari : tutup kepala, sepatu dan kaos kaki, ikat pinggang, dasi, kopelriem, kaos dalam. Sedangkan atributnya berupa : papan nama, tanda pangkat, tanda jabatan, tanda kualifikasi, tanda kemahiran, tanda korp, badge lokasi/kesatuan. Agar pembahasan tesis lebih terfokus, maka penulis membagi ruang lingkup menjadi dua macam, yaitu spasial dan temporal. Ruang lingkup spasial tesis ini bertaraf nasional, yakni Angkatan Darat Republik Indonesia (ADRI) dengan bahasan pakaian seragam umum berupa kemeja/baju dan celana. Sisi lain, bahasan atribut difokuskan pada tanda pangkat. Pilihan bahasan itu didasarkan bahwa simbol-simbol itu berlaku umum bagi personel Angkatan Darat dari pangkat yang terendah sampai tertinggi di berbagai kesatuan, dan lebih spesifik, sedangkan ruang lingkup temporalnya adalah mulai awal kemerdekaan (1945) sampai Orde Baru berakhir (1998). Pertimbangannya bahwa awal kemerdekaan (1945) merupakan tonggak sejarah terbentuknya BKR, TKR yang terkandung unsur ADRI, dan sejak itu mulai dirintis seragam dan tanda pangkat militer sebagai identitas organisasi tentara. Kemudian berakhirnya Orde Baru 1998, menandai cairnya tradisi Angkatan Darat yang selama itu mendominasi dalam segala aspek kehidupan
9
militer maupun sipil. Pasca Orde Baru atau lazim masa reformasi merupakan babakan baru bagi TNI dengan kerangka paradigma baru peran TNI.15
1.3
Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini mempunyai tujuan untuk mengumpulkan keterangan
sebanyak-banyaknya dari berbagai sumber sejarah (tulisan, lisan, artefak, dan visual), sehingga dapat digunakan untuk menyajikan narasi yang komprehensif, seperti : pertama, untuk mempresentasikan terjadinya perubahan simbol pakaian seragam dan tanda pangkat Angkatan Darat dari awal kemerdekaan hingga Orde Baru. Kedua, mempresentasikan dampak perubahan simbol-simbol itu terhadap penampilan personel Angkatan Darat. Ketiga, mempresentasikan makna perubahan simbolik pakaian seragam dan tanda pangkat Angkatan Darat dari perspektif politis, doktriner, dan kepemimpinan. Manfaat penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap perkembangan historiografi Angkatan Darat khususnya dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) serta masyarakat luas pada umumnya. Hal ini penting, karena tema ini dapat dikatakan belum pernah dijadikan lahan penelitian oleh sejarawan, sehingga hal ini tentunya mempunyai nilai tersendiri.
15
Paradigma baru peran sosial politik TNI adalah: (1) Merubah posisi dan metoda tidak selalu harus di depan. (2) Merubah dari konsep menduduki menjadi mempengaruhi. (3) Merubah dari cara-cara mempengaruhi secara langsung menjadi tidak langsung. (4) Kesediaan untuk melakukan political and role sharing (kebersamaan dalam pengambilan keputusan penting kenegaraan dan pemerintahan).
10
1.4
Tinjauan Pustaka Dalam tesis ini, penulis melakukan tinjauan terhadap beberapa pustaka.
Tinjauan pustaka memuat uraian mengenai isi pustaka secara ringkas, penjelasan tentang relevansi antara buku yang ditinjau dengan penelitian yang dilakukan sekaligus menunjukkan bahwa permasalahan yang akan diteliti belum terjawab atau belum terpecahkan secara memuaskan.16 Petrik Matanasi dalam buku Sejarah Tentara pada bagian awal menjelaskan tentara
Koninklijk Nederlands Indische Leger (KNIL) zaman
Kolonial Belanda di Indonesia yang dibentuk setelah perang Diponegoro (18251830) berakhir. Pemerintah Kolonial Hindia Belanda memandang perlu adanya suatu kesatuan yang menjaga keamanan dan ketertiban wilayah koloninya. Gagasan ini diawali oleh pemikiran Van den Bosch selaku Gubernur Jenderal kala itu, idenya ditindaklanjuti dengan membentuk kesatuan pasukan bernama Oost Indische Leger (Tentara Hindia Timur). Pada tahun 1836 Raja William memberi status Oost Indische Leger itu sebagai Koninklijk Leger (Tentara Kerajaan), yang kemudian namanya diganti menjadi KNIL. Meskipun KNIL berstatus sebagai tentara Kerajaan dan berseragam militer, namun keberadaannya dipandang sebagai tentara bayaran. Lebih lanjut dijelaskan, bahwa KNIL dibangun berdasarkan perbedaan, sehingga muncul konflik internal antara tentara Eropa dan Pribumi yang terkait dengan suku, agama, dan ras (SARA), serta fasilitas. Konflik ini tidak pernah
16
Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada, Petunjuk Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis (Yogyakarta : Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada, 2003), hlm. 5-6.
11
berakhir, bahkan sampai pemerintah kolonial hengkang dari Hindia Belanda (Indonesia). Tentara KNIL tidak dipersiapkan untuk menghadapi kekuatan musuh dari luar, kekuatan pasukannya hanya difokuskan pada kekuatan darat, sehingga ketika balatentara Jepang datang ke Indonesia pada tanggal 1 Maret 1942, dengan mudah memukul mundur pasukan KNIL. Tentara KNIL khususnya pribumi, semasa pendudukan militer Jepang banyak yang masuk sebagai tentara bentukan pemerintah militer Jepang seperti Heiho, Giyugun, dan Peta. Pembentukan tentara ini dimaksudkan agar orangorang pribumi ikut ambil bagian membantu Jepang dalam perang Pasifik melawan Sekutu. Meskipun seolah-olah orang-orang pribumi akan dijadikan tumbal perang, namun ilmu kemiliteran yang diperoleh dari tentara Jepang sangat berguna pada masa awal-awal kemerdekaan. Pasca proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, kesatuan tentara di Indonesia telah terbentuk pada tahun 1945, yang bertugas menjaga dan menertibkan keamanan bangsa yang baru lahir. Dimulai dari Badan Keamanan Rakyat (BKR), Tentara Keamanan Rakyat (TKR), Tentara Keselamatan Rakyat (TKR), Tentara Republik Indonesia (TRI), dan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Organisasi militer ini merupakan wadah bagi para tentara pada periode sebelumnya, yaitu masa Hindia Belanda (KNIL) dan Jepang (Heiho, Giyugun, dan Peta). Patrik Matanasi menitikberatkan pembahasan tentara pada tiga masa yaitu masa Kolonial Belanda, masa pendudukan militer Jepang, dan masa Republik Indonesia. Meskipun membahas tentang tentara dalam wadah negara Republik
12
Indonesia, namun tradisi, sosial dan budaya militer khususnya simbol pakaian seragam dan tanda pangkat militer tidak dibahas. Menurut penulis, buku tersebut bisa membantu memudahkan dalam menarasikan tesis karena bahasannya tentang tentara dalam tiga masa di Indonesia. Connie Rahakundini Bakrie dalam buku Pertahanan Negara dan Postur TNI Ideal pada bagian awal menjelaskan tentang pengertian militer, pentingnya militer dalam sebuah negara, serta bagaimana membangun militer yang kuat dan profesional. Selanjutnya dijelaskan bahwa TNI telah menunjukkan komitmennya yang besar dan tulus melakukan reformasi internal sesuai kebijakan pemerintah dengan mereposisi dan meredefinisi fungsi dan perannya untuk menjadi alat pertahanan negara yang profesional. Namun disisi lain besarnya tuntutan sipil terhadap fungsi dan peran TNI tersebut pada kenyataannya seringkali tidak diimbangi dengan solusi yang tepat, mendasar dan komprehensif berdasarkan kepada pemahaman yang mendalam atas berbagai persoalan pertahanan dan keamanan negara. Selama sewindu berjalannya reformasi, ternyata masih terdapat dua persoalan besar dan mendasar untuk membangun TNI yang profesional. Masalah pertama adalah perumusan kebijakan pemerintah dalam membangun sistem pertahanan dan keamanan negara, konsepsi dan postur sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta dan hubungan antara lembaga/instansi serta perangkat hukumnya. Sedangkan masalah kedua adalah persoalan anggaran pertahanan negara yang masih jauh memadai. Dua problema tersebut menjadi lahan pembahasan dalam buku ini oleh penulisnya, outputnya adalah menyadari betapa pentingnya pemerintah untuk membangun sistem pertahanan dan keamanan
13
negara yang tangguh serta membangun TNI yang kuat dan profesional, sehingga negara Indonesia tidak akan mudah dilecehkan oleh negara-negara lain. Meskipun buku tersebut menguraikan tentang militer, namun fokusnya pada aspek membangun pertahanan dan keamanan (Hankam) serta postur TNI yang ideal (TNI AD, TNI AL, dan TNI AU). Aspek tradisi, sosial dan budaya militer khususnya simbol pakaian seragam dan tanda pangkat militer tidak menjadi kajian penulisnya. Disisi lain, buku itu dipandang bisa membantu dalam menguraikan aspek kemiliteran. Nugroho Notosusanto dalam buku Pejuang dan Prajurit,17 merespon tentang ulasan-ulasan mengenai Dwifungsi ABRI yang terlalu simlistis, fragmentaris dan inkonsepsional. Mencermati kenyataan seperti itu, para penulis kemudian menghadirkan bahasan mengenai Dwifungsi ABRI dalam warna yang lain, yaitu lebih komprehensif, lebih integral, dan lebih konsepsional. Tujuannya adalah untuk meninjau Dwifungsi ABRI, baik dalam aspek gagasan maupun dalam aspek implementasinya. Dalam pendahuluan secara singkat disajikan tinjauan peranan politik kaum militer di dunia. Di dunia Barat misalnya Eropa Barat, Amerika Utara dan Australia, kegiatan kaum militer dalam bidang politik dianggap berlawanan dengan sistem nilai yang berlaku di negara itu. Sedangkan di Dunia Komunis berlaku dengan apa yang dinamakan supremasi sipil terhadap militer. Namun, di
17
Kumpulan tulisan dari Nugroho Notosusanto, A.S.S. Tambunan, Soebijono, dan Hidayat Mukmin. Mereka adalah orang-orang yang pernah bertugas di lingkungan ABRI, namun tulisan mereka tidak mewakili pandangan resmi pimpinan ABRI.
14
Dunia Ketiga, kegiatan kaum militer di bidang politik bukanlah hal yang jarang terjadi, sehingga banyak pemerintahan yang dipegang oleh kaum militer. Secara umum kajian buku Pejuang dan Prajurit hanya memfokuskan pada Dwifungsi ABRI. Meskipun dibahas tentang lahirnya tentara reguler, dan menuju kesempurnaan organisasi militer, namun oleh penulisnya tidak dibahas tentang simbol pakaian seragam dan tanda pangkat Angkatan Perang Republik Indonesia, sehingga aspek tersebut yang merupakan bagian dari tradisi, sosial dan budaya ABRI belum terjamah dalam buku itu. Meskipun demikian, penulis menilai buku tersebut dapat dijadikan referensi dalam segi pendekatan militernya. Ketika Sejarah Berseragam karya Katharine E. McGregor, tepat kiranya menjadi salah satu kajian yang amat penting untuk melihat historiografi sejarah Indonesia yang masih sarat dengan kekuasaan terutama kepentingan militer. Dalam berbagai catatan yang terbukukan sejak kekuasaan Orde Baru sampai sekarang, peran militer tetap masih selalu hadir dominan dalam panggung sejarah nasional Indonesia. Di dalam genggaman kekuasaan, sejarah bisa menjadi sesuatu sarana ideologisasi yang amat strategis. Dalam tangan besi kekuasaan, sejarah bisa akan menjadi sosok yang mempunyai dua wajah sekaligus. Wajah yang satu mendewakan fakta yang dianggap akan mendukung berjalannya kekuasaan dan wajah yang lain telah membenamkan fakta-fakta yang dianggap mengganggu legitimasi status quo. Akhirnya sejarah bagi kekuasaan tidak jauh dengan prinsip “pelanggengan” dan “pelenyapan”. Katharine E. McGregor dengan jeli telah berupaya untuk mengungkapkan motif-motif dan kisah-kisah di belakang proyek-proyek sejarah yang dibangun
15
militer. Bagaimana militer mampu dengan cerdik mengkonstruksi “masa lampau” adalah gagasan besar dalam buku ini. Digambarkan pula beberapa fakta perilaku politik di belakang “representasi” beberapa periode panggung sejarah yang penting di Indonesia. Hal itu untuk menelisik dan sekaligus mengajak membaca “ingatan kolektif” tentang perjalanan sejarah Indoensia. Mc.Gregor justru sangat jeli untuk mengatakan bahwa sejarah Indonesia selama ini tidak luput dari ketegangan-ketegangan dan proses-proses persaingan, dan dalam beberapa kasus merupakan proses menyingkirkan atau meniadakan “sejarah yang lain”.18 Sejarah menjadi “berseragam” dalam pengertian sebenarnya karena kekuasaan mampu melekatkan upaya ini dengan berbagai kebijakan seperti pengendalian yang ketat terhadap media dan pendidikan, manipulasi pemilihan umum, kurangnya kebebasan berpendapat, dan tradisi menggunakan “militer” untuk menangani apa yang disebut sebagai “ancaman terhadap keamanan nasional”. Apa yang dianggap berseberangan dengan “sejarah resmi” akan segera ditutup, dilarang dan dibreidel. McGregor tidak membahas tentang simbol pakaian seragam dan tanda pangkat militer, namun paling tidak bisa dijadikan sebagai acuan dalam mewacanakan masalah dalam tesis ini, yaitu simbol pakaian seragam dan tanda pangkat Angkatan Darat. Outward Appearances, kumpulan tulisan dari beberapa ahli yang di edit oleh Henk Schulte Nordholt topiknya adalah membahas peran dan arti pakaian dalam pergaulan sosial. Pakaian mempunyai arti penting dalam hal penampilan
18
Katharine E. McGregor, Ketika Sejarah Berseragam, ( Yogyakarta : Penerbit Syarikat, 2008),hlm. xviii, xxiv, 52-53.
16
dan identitas individu maupun kelompok, karena pakaian merupakan kulit sosial dan kebudayaan. Pakaian juga dapat menjadi sarana membentuk dan menjalin ikatan kelompok, bahkan bagi kelompok-kelompok yang berkepentingan telah menggunakan aturan-aturan berpakaian untuk menciptakan penampilan yang kuat dalam kontrol sosial, kebangsaan, atau solidaritas kelompok. Melalui pakaian proses diskriminasi dan hegemoni berlangsung, lebih ngeri lagi melalui pakaian seseorang dapat dikelabuhi dan terbunuh. Karena pakaian merupakan salah satu penanda yang paling jelas dari sekian banyak penanda penampilan luar. Dijelaskan pula bahwa pakaian dapat dijadikan sebagai petunjuk untuk mengetahui, menyembunyikan atau menentukan identitas orang lain atau kelompok lain. Caranya dengan meneliti secara cermat obyek pakaian untuk ditemukan informasinya. Dicontohkan, disuatu pedesaan seseorang atau kelompok yang baru datang dapat diketahui atau dinilai sesuatu yang tersirat didalamnya berdasarkan cara mereka bergerak dan yang mereka kenakan. Sehingga di unit-unit inteljen TNI berusaha memberikan pelatihan khusus kepada anggota-anggotanya untuk mengamati dan meniru pakaian lokal untuk kepentingan penyamaran atau lainnya serta mengenali perbedaan antara lawan dan kawan. Secara khusus buku ini tidak membahas tentang pakaian seragam dan tanda pangkat Angkatan Darat Republik Indonesia, namun substansinya dapat dijadikan arah, petunjuk untuk merumuskan dan merepresentasikan simbol
17
pakaian seragam dan tanda pangkat dalam Angkatan Darat dari awal kemerdekaan hingga Orde Baru. Berdasarkan kajian atas pustaka-pustaka di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kajian tersebut dapat diklasifikasikan : (1) Sejarah militer, bahasannya tentara pada tiga masa yaitu masa Kolonial Belanda, masa pendudukan militer Jepang, dan masa Republik Indonesia. (2) Sejarah militer, bahasannya membangun pertahanan dan keamanan (Hankam) serta postur TNI yang ideal (TNI AD, TNI AL, dan TNI AU). (3) Sejarah politik, bahasannya Dwifungsi ABRI. (4) Sejarah politik, bahasannya historiografi sejarah Indonesia yang masih sarat dengan kekuasaan dan kepentingan militer. (5) Sejarah budaya, bahasannya peran dan arti pakaian dalam pergaulan sosial. Dengan demikian yang belum adalah sejarah sosial budaya militer, yang membahas simbol pakaian seragam dan tanda pangkat Angkatan Darat, atau disebut sejarah mentalite.
1.5
Kerangka Teoretis Sartono Kartodirdjo mengatakan, bahwa langkah yang sangat penting
dalam menganalisis obyek sejarah ialah menyediakan suatu kerangka pemikiran yang mencakup berbagai konsep dan teori yang akan dipakai dalam membuat analisis itu.19 Di samping itu, penggambaran terhadap suatu obyek sejarah sangat tergantung pada pendekatan, yaitu dari segi mana penulis memandangnya, dimensi mana yang diperhatikan, unsur-unsur mana yang diungkapkan, dan lain
19
Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992), hlm. 2.
18
sebagainya. Oleh karena narasi dari obyek sejarah itu sangat ditentukan oleh pendekatan yang dipakai.20 Mengacu pada alinia di atas, dalam pembahasan tesis ini penulis akan mengaplikasikan teori simbol dan semiotika untuk menganalisis obyek sejarah simbol pakaian seragam dan tanda pangkat Angkatan Darat. Artinya teori ini akan digunakan dalam membahas dan menarasikan tentang perkembangan simbol pakaian seragam dan tanda pangkat Angkatan Darat serta dinamikanya baik menyangkut mode, bahan, warna, maupun visualnya dalam kurun waktu awal kemerdekaan hingga akhir Orde Baru. Agar produk penelitian menghasilkan narasi yang komprehensif dan relevan dengan obyek, maka pendekatan yang digunakan adalah military approach. Pendekatan militer
digunakan untuk memahami makna pakaian
seragam dan tanda pangkat serta strukturnya yang mempengaruhi sistem keorganisasian, atasan-bawahan dalam Angkatan Darat. Selanjutnya untuk memudahkan menulis, dan tulisan bisa terarah serta mengalir dari awal sampai akhir penulisan, maka dibuat kerangka pemikiran atau pola pikir tesis sebagai berikut :
20
Ibid. hlm. 4.
19
1.6
Metode Penelitian dan Sumber Metode penelitian penyusunan tesis adalah menggunakan empat tahapan
sebagaimana metodologi sejarah. Pertama adalah heuristik atau pengumpulan data. Langkah yang akan ditempuh dalam pengumpulan data, yakni melalui riset kamar mencari referensi buku-buku, majalah, koran, dokumen leterer, bahan cetak lainnya yang relevan dengan simbol pakaian seragam dan tanda pangkat Angkatan Darat. Beberapa tempat yang dikunjungi antara lain Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) di Jakarta, Perpustakaan Pusat Angkatan Darat Disjarahad di Bandung, Bagian dokumen sejarah Subdisbindoklistaka Disjarahad di Bandung, Pusat Sejarah TNI (Pusjarah TNI) di Jakarta, Direktorat Perbekalan dan Angkutan
20
Angkatan Darat (Ditbekangad) di Jakarta, PT. Kuantan di Jl. Salemba Raya Jakarta (lazim sebagai rekanan institusi TNI dalam bidang atribut). Riset lapangan juga dilakukan dengan mengunjungi Museum Pusat Angkatan Darat Dharma Wiratama di Yogyakarta untuk melihat secara nyata benda (material) tanda pangkat Angkatan Darat, Museum Satria Mandala di Jakarta, Wawancara dengan ibu Tien Setianingsih di Jakarta (figur yang sering menawarkan design kepada TNI khususnya tanda pangkat), Wawancara dengan pelaku dan saksi sejarah diantaranya Letkol CPM (Purn) Untung Suwardi Ketua DHD 45 Cabang Kota Semarang (mantan TKR), Letkol Inf (Purn) Domo Mulyadi (mantan TRIP), dan Peltu (Purn) Sarpo mantan anggota Yonif 401/BR dan staf logistik Kodam IV/Diponegoro, serta wawancara dengan prajurit TNI yang masih aktif dan mengetahui tentang perbekalan militer diantaranya Kolonel Cba Dr. Ir. Drs. Djoko Susilo, M.T., Letkol Cba Suharto. Tahapan kedua adalah kritik sumber. Artinya data tertulis, lisan, maupun visual yang telah terkumpul akan dipilah dan dipilih sesuai jenisnya setelah diketahui asli atau palsu, benar atau salah, relevan atau tidak, primer atau sekunder, dan sebagainya. Tahapan berikutnya adalah Interpretasi. Artinya data yang telah di kritik, kemudian dihubung-hubungkan dan ditafsirkan, sehingga tergambar suatu proses kausalitas sejarah yang kronologis tentang simbol pakaian seragam dan tanda pangkat Angkatan Darat. Terakhir adalah historiografi. Artinya proses penulisan sejarah dengan menuangkan gambaran-gambaran penafsiran dalam bentuk narasi yang ditulis, sehingga bisa dibaca dan dipahami oleh dirinya serta orang lain.
21
Sumber-sumber yang digunakan dalam penulisan tesis simbol pakaian seragam dan tanda pangkat Angkatan Darat ini, yakni : Pertama, sumber leterer. Artinya sumber-sumber tertulis yang berupa buku-buku, majalah-majalah, korankoran, bulletin-bulletin, surat keputusan, dan arsip tertulis lainnya. Kedua, sumber corporil. Artinya sumber-sumber benda berupa pakaian seragam dan tanda pangkat militer yang tersimpan di museum. Ketiga, sumber visual. Artinya sumber-sumber yang berupa gambar-gambar pakaian seragam dan tanda pangkat militer, foto-foto prajurit sesuai jamannya yang mengenakan uniform dan kelengkapan lainnya. Keempat, sumber lisan (oral sources). Artinya sumbersumber yang diperoleh melalui wawancara dengan para pelaku atau saksi sejarah, dan prajurit TNI. Penggalian sumber leterer, visual dan sumber lisan adalah paralel dengan pendapat Garraghan (1957), karena secara implisit mengatakan bahwa di samping oral sources dan written sources, klasifikasi lain yang merupakan sumber sejarah resmi adalah picture (pictorial) atau figure (figured).
1.7
Sistematika Penulisan Pembahasan tesis Membangun Perbedaan dalam Keseragaman : Sejarah
Pakaian Seragam dan Tanda Pangkat dalam Angkatan Darat Republik Indonesia, 1945-1998 agar ide-idenya mengalir dan mudah dipahami, maka penulis membagi menjadi lima bahasan utama yang dituangkan dalam lima bab, dan setiap bab terdiri beberapa sub bab. Bab-bab dan sub-sub bab tersebut disusun dengan sistimatika sebagai berikut : Bab I Pengantar. Sub babnya terdiri dari : Latar Belakang, Perumusan Masalah dan Ruang lingkup, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Tinjauan Pustaka,
22
Kerangka Teoretis, Metode Penelitian dan Sumber, Sistematika Penulisan. Bab II Angkatan Darat dalam Ketentaraan Indonesia. Sub babnya terdiri dari : Tradisi Ketentaraan Indonesia, Simbol Pakaian dan Tanda Pangkat TNI, Organisasi, Ideologi, dan Tokoh. Bab III Simbol-simbol Angkatan Darat. Sub babnya terdiri dari : Awal Kemerdekaan, dan Awal Penyerahan Panji-Panji hingga Orde Baru. Bab IV Pakaian Seragam dan Pangkat-Pangkat. Sub babnya terdiri dari : Pakaian Seragam Angkatan Darat Masa Revolusi, Normalisasi Pakaian Seragam Angkatan Darat, Diferensiasi Tanda Pangkat Angkatan Darat dari Masa Revolusi hingga Orde Baru. Bab V Perubahan Simbolik Pakaian Seragam dan Tanda Pangkat. Sub babnya terdiri dari : Aspek yang Mengalami Perubahan, Proses Menuju Presentasi Diri Prajurit Angkatan Darat, dan Kepemimpinan. Bab VI Kesimpulan.
Menafsir
Sisi
Politis,
Doktriner,
dan