BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Indonesia merupakan sebuah bangsa (national state) yang terdiri atas masyarakat yang multikultural1. Masyarakat yang multikultural tersebut terdiri atas bermacam-macam komunitas kultural dengan keunikan dan keragaman identitasnya masing-masing. Masingmasing komunitas kultural memiliki gambaran kolektif tentang diri mereka sebagai sebuah wacana yang membentuk sekaligus yang membedakan dengan yang lain (the other). Dalam konteks multikultural tersebut, setiap identitas kultural diperhadapkan dengan keberadaan identitas yang lain, dan berbeda-beda, yang juga mempunyai hak untuk mempertahankan dan
W
mengembangkan eksistensinya. Hal ini membuat setiap kultur mempunyai ketegangan dalam menyatakan identitas kulturnya terhadap yang lain yang berbeda.
KD
Di Indonesia, identitas kultural sedikit banyak dipengaruhi sudut pandang dan pertimbangan agama. Kuatnya peran agama dalam kehidupan kebangsaan, menjadikan sebuah identitas kultural seringkali diklaim sebagai sesuatu yang mutlak (final). Hal inilah yang kemudian membawa permasalahan. Sebagai contoh, identitas kultural didefinisikan oleh salah satu agama kemudian menjadi rancu ketika dikenakan kepada konteks masyarakat
U
multikultural. Hal ini mengakibatkan kredibilitas klaim kebenaran oleh agama menjadi layak untuk terus-menerus dikritisi dan dipertanyakan dalam konteks masyarakat multikultural.2 Hal
©
ini pula yang mendorong tiap-tiap agama terus bergumul dan berusaha menemukan identitas dirinya di antara banyaknya identitas agama yang berbeda. Usaha komunitas agama untuk menemukan jatidirinya sebagai sebuah identitas
partikular yang unik dalam komunitas agama-agama, dilakukan sekaligus dengan menemukan identitasnya bersama-sama dengan “yang lain” sebagai sebuah bangsa. Usaha komunitas ini mungkin dapat tercapai apabila dilakukan tanpa memutlakkan identitas partikular dalam 1
2
Multikultural (isme) merupakan gejala pada seseorang atau suatu masyarakat yang ditandai oleh kebiasaan menggunakan lebih dari satu kebudayaan. Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2003), p. 762 Klaim kebenaran dalam agama-agama ini menyangkut standar dan konstruksi teologi yang beroperasi dalam agama-agama. Adanya perbedaan pandangan telogi dalam agama itu sendiri, menjadikan klaim kebenaran dalam agama bersifat berubah- ubah dan tidak mudah untuk dimutlakkan. Dampaknya, perbedaan pandangan dalam satu agama maupun kaitannya dengan agama-agama lain ini, mempunyai potensi mengancam keberagaman, termasuk pluralisme dalam teologi. Lihat Budhy Munawar Rahman, “Resolusi konflik dan masalah Klaim Kebenaran” dlm, Dari Keseragaman Menuju Keberagaman, Budhy Munawar Rahman, (dkk) (Jakarta: Lembaga Studi Pers dan Pembangunan, 1999), p. 16.
1
agama sendiri, dan tidak mengabaikan keberadaan identitas “yang lain”. Selain usaha tersebut, kesadaran untuk mencoba mengedepankan aspek universalitas dalam agama-agama juga sangat diperlukan. Oleh karena itu dalam konteks multikultural, ketegangan identitas agama terjadi dalam dua ranah, yaitu dalam ranah perjumpaan dengan identitas agama lain dan ranah identitas kebangsaan. Keinginan umat beragama untuk memaknai tubuh manusia sebagai sebuah konstruksi identitas kultural, termasuk sebuah ketegangan dalam masyarakat yang multikultural. Usaha umat beragama untuk memaknai tubuh manusia, dikarenakan umat beragama merupakan manusia yang hidup dalam ketegangan antara seorang individu dirinya melekat konstruksi sosio-kultural, religius serta kehidupan bersama dalam sebuah bangsa. Manusia terus mencari-cari arti tubuh yang sebenarnya, namun jawaban yang ditemukan dan pemahaman
W
yang diperoleh adalah jawaban yang dianggap keliru dan tidak memuaskan.3 Jawaban keliru tersebut muncul dikarenakan tubuh manusia dipahami secara sederhana dan tubuh tidak dipahami sebagai eksistensi yang mewakili identitas tertentu. Tubuh dipandang sebagai
KD
sesosok materi yang dipandang tidak memiliki makna apapun. Pemahaman inilah yang kemudian melatarbelakangi tubuh dimaknai secara negatif. Pemaknaan negatif ini pertama-tama disebabkan pengaruh budaya atau tradisi yang dianut turun-temurun oleh masyarakat wilayah tertentu. Masyarakat mewarisi dan
U
mempertahankan sebuah tradisi atau warisan budaya yang menganggap rendah tubuh manusia, misalnya tradisi yang memotong bagian jari tangan ketika melakukan kesalahan
©
yang masih dilakukan salah satu suku di Kalimantan. Tradisi tersebut dipahami dan dianut oleh masyarakat setempat karena ada situasi dan kondisi yang melatarbelakanginya. Tradisi potong jari tersebut kemudian menjadi budaya yang dihidupi dan disakralkan komunitas yang kemudian menjadi warisan turun-temurun dalam komunitas. Selain tradisi turun-temurun, perkembangan budaya yang menekankan aspek popularitas (pop culture) tidak jarang juga memandang tubuh manusia secara negatif. Perkembangan budaya populer yang dipengaruhi kebebasan berekspresi dan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, seringkali pada cara hidup yang merugikan eksistensi tubuh. Hal ini bisa dilihat dari perubahan gaya hidup yang melihat tubuh sebagai komoditas tertentu yang mempunyai nilai ekonomis dan membawa keuntungan bagi stake holder. Tubuh yang ideal hanya bagi mereka yang memiliki anggota tubuh yang lengkap atau malahan yang 3
Deshi Ramadhani SJ, Lihatlah Tubuhku: Membebaskan Tubuh Bersama Yohanes Paulus II, (Yogyakarta: Kanisius, 2009), p. 6
2
memiliki spesifikasi kelebihan tertentu. Kecantikan atau ketampanan diukur hanya bagi yang memiliki warna kulit, jenis rambut, bentuk serta ukuran tubuh yang tertentu (langsing, tinggi). Bahkan, tubuh menjadi komoditi produk-produk komersial tertentu dalam bentuk iklan, industri prostitusi, seni, pornografi, humor, nyanyian, fashion, gosip, teknologi cyber (sex). Perubahan gaya hidup tersebut secara tidak langsung membuat pemahaman terhadap tubuh menjadi mudah untuk disalahgunakan. Gaya hidup tersebut kemudian menciptakan kultur baru dalam masyarakat dalam pendefinisian tubuh yang ideal. Bentuk tubuh yang ideal bagi masyarakat adalah gambaran tubuh yang lengkap dan normal, yang tidak mempunyai kecacatan sama sekali (undisable).4 Pada konteks tersebut, harus disadari bahwa definisi tubuh ideal dan menjadi populer tersebut, bisa saja sengaja dimunculkan oleh sekelompok orang yang memiliki ideologi dan kepentingan elit tertentu.5 Tentunya adanya kepentingan pendefinisian tubuh ini berasal dari kelompok yang memiliki power untuk mengontrol budaya
W
populer ini. Adanya pendefinisian ini sebenarnya hendak menyatakan bahwa identitas mereka lebih kuat dan diterima oleh masyarakat secara luas, dan definisi tubuh dari budaya atau
KD
kelompok lain mau tidak mau harus kompromi. Bagi budaya lain yang tidak dapat kompromi dengan identitas pada budaya popular ini, dapat membawa kepada konflik kultural dan dapat mengarah pada kekerasan.6 Pembentukan identitas tubuh yang diusung budaya popular, dapat dengan mudah kita jumpai dalam berbagai bentuk tayangan film action atau gambar-gambar (citra) kekerasan yang diekspose di berbagai media. Identitas budaya popular yang tidak
U
bersahabat dengan tubuh tersebut, mempengaruhi pola pikir dan pola hidup masyarakat sehari-hari. Tidak mengherankan jika kekerasan terhadap tubuh ini kemudian berpindah ke
©
wilayah kehidupan rumah tangga (KDRT), maupun pada pekerjaan. Kekerasan tubuh akibat pengaruh budaya popular tersebut, bahkan terjadi berkaitan dengan seksualitas seperti, pemerkosaan dan pelecehan seksual yang terjadi usia dewasa dan anak-anak. Menurut Hersberger, berbagai bentuk kekerasan seksual dan tubuh tersebut berkaitan dengan masalah
4
Bnd. Sarah Grogan, Body Image: Understanding Body Dissatisfaction in Men, Women and Children (London : Routledge, 1999), p.6 5 Hikmat Budiman, Lubang Hitam Kebudayaan, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), p. 16, 221. Hikmat Budiman menyatakan bahwa adanya definisi dan kepentingan elit tertentu (kapitalis) dapat menyebabkan adanya hierarki kebudayaan dalam budaya di masyarakat karena kebudayaan tinggi/elit akan cenderung dominan menguasai kebudayaan rendah/jelata. Sebagai dampaknya terjadi pemaknaan tunggal, misalnya tubuh manusia yang dimaknai sekedar materi atau obyek berharga yang layak untuk dikomersialisasikan. Hal inilah kemudian yang mendorong budaya prostitusi dan munculnya produk-produk yang mempromosikan alat pembentukan tubuh dan alat kecantikan. 6 Pelecehan, kekerasan dan pembunuhan pada tubuh secara sistematis terjadi tahun 1998 terhadap masyarakat (etnis Cina) yang di klaim memiliki gaya hidup dan budaya populis tertentu. Lihat Carole J. Sheffield , “Terorisme Seksual “, dlm Bentangkanlah Sayapmu, Beendalima Doeka-Souk dan Stephen Suleeman (Peny), (Jakarta: Persetia, 1999), p. 158-186.
3
kematangan seseorang memahami tubuh dan seksualitas dalam dirinya.7 Pandangan Hersberger tersebut sangat realistis, karena selama ini tubuh kurang mendapat tempat dalam berbagai pembicaraan, baik formal maupun non formal. Tidak mengherankan ketika terjadi kekerasan terhadap tubuh dan seksualitas, wacana dan mitos-mitos seksualitas dalam budaya populer mampu meredam upaya masyarakat dalam mencari solusi terhadap permasalahan tersebut.8 Dari diskusi di atas, jelas bahwa diskursus tentang tubuh sangat berkaitan erat dengan seksualitas seseorang. Meskipun tubuh tidak identik dengan seksual(itas) seseorang, akan tetapi jelas bahwa ada dialektika erat antara keduanya. Kedua, pandangan negatif terhadap tubuh manusia mendapat pengaruh dari sisi agama. Menurut Abineno, gereja–gereja barat mewariskan ajaran yang keliru tentang tubuh ketika dahulu mendatangkan injil pertama kali di Indonesia.9 Dalam menyusun norma
W
kesusilaan, Kekristenan dahulu mengikuti ajaran gereja abad pertama yang mengadopsi filsafat Platonis yang memandang tubuh manusia hina dan fana. Tubuh manusia dipandang sebagai sesuatu yang kotor dan duniawi. Sebaliknya, jiwa atau roh manusia dianggap mulia
KD
dan rohaniah (sakral), lebih tinggi daripada tubuh jasmani.10 Ajaran gereja mula-mula tentang tubuh ini melekat kuat pada ajaran gereja di Indonesia, sehingga tubuh manusia seringkali diabaikan dan dianggap tidak spiritual. Hal itu terbukti jelas ketika tubuh manusia (khususnya seksualitas) jarang dikhotbahkan di gereja atau persekutuan-persekutuan, karena dianggap
U
tidak begitu penting. Pemahaman tubuh dalam gereja yang demikian eksklusif, bisa dianggap sebuah pemahaman gereja yang paradoks karena hal yang sangat penting dalam kekristenan
©
adalah pengakuan bahwa Allah telah bersedia menjadi manusia Yesus dan lahir dari tubuh seorang perawan Maria. Oleh karena itu, gereja dituntut untuk menyuarakan pemahamannya tentang tubuh manusia dalam rangka membangun identitas kekristenan tentang tubuh. Lisa Isherwood and Elizabeth Stuart mengatakan “adalah sesuatu yang sulit untuk dipercaya jika
7
Anne K Hersberger, Seksualitas Pemberian Allah, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), p. 82, 180. Keterbatasan untuk membicarakan masalah tubuh ini, mengakibatkan terbatasnya informasi dan pengetahuan mengenai tubuh. Wacana yang berkembang kemudian adalah masalah seksualitas. Menurut Abineno data – data yang dibutuhkan untuk pengetahuan tubuh dan seksualitas tidak banyak. Hal ini disebabkan sedikit dan juga terbatasnya ruang lingkup penelitian-penelitian itu. J. L. Ch Abineno, Seksualitas dan Pendidikan Seksual, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002), p. 23, 24, 35. 9 Ibid, p. 9 10 Ibid. Dalam filsafat Platonis tubuh dan jiwa dipandang sebagai dua entitas yang berbeda dan hirarkis. Anne Krabill Hersberger menyatakan “perspektif dualistik menyarankan bahwa roh perlu dijaga agar terpisah dari tubuh yang merupakan perangkap yang memenjarakan kita untuk sementara waktu. Sebagai penjara, tubuh mencegah roh mencapai kesatuannya dengan Allah”. Anne K Hersberger, Seksualitas Pemberian Allah, p. 29. Dualisme Yunani yang dibawa oleh Agustinus inilah yang kemudian mempengaruhi bahkan mendominasi dalam banyak topik-topik teologis pada kekristenan Barat. John W. Cooper, Body, Soul and Life Everlasting. Biblical Anthropology and the Monism-Dualism Debate (Grand Rapids, Michigan: W.M. B. Eerdmans Publishing Company, 1989), p. 11. 8
4
orang-orang Kristen justru membenci tubuh, bukan mencintai dan merayakannya”.11 Gereja harus meninggalkan pandangan yang membenci dan tidak menghargai tubuh, yang berasal dari warisan tradisi gereja atau ajaran bapa-bapa /tokoh gereja masa lalu. Hal ini dikarenakan, gereja dapat mewariskan pandangan yang negatif tentang tubuh secara turun-temurun, sehingga wacana yang dipahami umat tentang tubuh menjadi sangat jarang karena dianggap suatu ketabuan (dosa). Ketiga, pandangan negatif tentang tubuh ini menciptakan identitas partikular budaya dan agama tertentu, ketika mengalami perjumpaan dengan identitas agama-agama dan kebudayaan lain (mengenai tubuh) dalam ranah kebangsaan. Dalam konteks hidup bersama, identitas partikular ini memunculkan ketegangan antar individu dalam komunitas agamaagama. Tidak jarang tarik-menarik antar identitas partikular dalam agama yang beragam dan
W
dalam kebersamaan sebagai bangsa ini menimbulkan potensi konflik yang besar. Pemerintah kemudian berupaya mereduksi ketegangan antar identitas ini dengan membuat seperangkat aturan tentang tubuh dengan maksud memayungi semua identitas kultural. Pemerintah
KD
berusaha merangkul kalangan agamawan, budayawan untuk merumuskan sebuah definisi atau aturan perundang-undangan tentang tubuh dalam konteks kehidupan kebangsaaan. Namun, definisi dan undang-undang yang dihasilkan justru mewakili suara mayoritas, sehingga pemahaman terhadap tubuh tetap mengandung kesan negatif. Pandangan pemerintah dalam
U
bentuk Undang-Undang bisa dilihat pada PERDA (Peraturan Daerah), dan UU No 44 Th.1998 tentang Pornografi.12 Dalam UU No 44 Th.1998 tersebut, tubuh dipahami secara
©
eksklusif karena ruang geraknya dibatasi oleh persepsi yang sudah menganggap tubuh sangat negatif. Akibat dari UU No 44 Th.1998, gerak-gerik perempuan atau gaya berpakaian perempuan tertentu didefinisikan porno. Hal ini bisa dilihat di Jakarta saat ada wacana perempuan dilarang memakai rok mini atau bahkan aktris asing (Lady Gaga, Miyabi) yang menyimbolkan ekspresi kebebasan tubuh dilarang datang ke Indonesia. Tidak mengherankan UU No 44 Th.1998 ini kemudian menimbulkan kecaman dan pro-kontra berbagai pihak. Kecaman terhadap UU No 44 Th.1998 tersebut muncul atas definisi pornografi pada Bab I Pasal 1 yang berbunyi: 11
Lisa Isherwood and Elizabeth Stuart, Introducing Body Theology, (England: Sheffield Academic Press, 1998), p. 15. 12 Perda dan UU no 44 Th. 2008 tentang pornografi yang dibuat oleh pemerintah pada bagian tertentu masih dipermasalahkan oleh beberapa kelompok (seniman, agama/rohaniwan, budayawan) karena masih menimbulkan makna yang ambigu dan tidak jelas, misal definisi pornografi, atau pornoaksi. Makna pendefinisian ini menjadi rancu manakala dikenakan pada kesenian tertentu misalnya sebuah lukisan atau kesenian tari. UU pornografi secara otomatis juga bertentangan dengan landasan kebhinekaan karena mendiskriminasikan aktifitas seni pertunjukan dan seni budaya tertentu (memasukkannya dalam kategori seksualitas dan pornografi).
5
Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.13
Tentu gerak tubuh dalam definisi pornografi dalam undang-undang tersebut masih sangat multitafsir karena dikaitkan dengan eksploitasi seksual maupun norma di masyarakat. Bagi orang yang berpandangan negatif, tentu gerakan tubuh apapun bisa dipersepsikan ke dalam pornografi, yang belum tentu demikian halnya bagi yang lain. Apabila definisi gerak tubuh tersebut dipahami lebih jauh, tentunya hanya bagian tubuh tertentu atau kaum perempuan saja yang akan cenderung menjadi obyek dari definisi tersebut. Hal ini berarti terjadi
diskriminasi
terhadap
perempuan
dan
perempuan tidak
diberi
kebebasan
mengekspresikan gerak tubuhnya karena bisa diartikan memuat kecabulan atau melanggar
W
norma kesusilaan (misalnya: berolahraga, melakukan aktifitas seni tari atau teater). Melalui undang-undang pornografi, pemerintah berupaya membangun sebuah identitas kebangsaan sebagai sarana untuk mempersatukan berbagai identitas kultural yang plural
KD
dalam satu kesatuan nasionalisme Indonesia. Salah satu yang melatarbelakangi hal ini adalah gencarnya identitas budaya asing yang masuk ke dalam negeri, yang mengkibatkan budaya dalam negeri menjadi kabur karena tidak mampu bersaing dalam ranah global. Namun cara pemerintah tersebut cenderung bersikap eksklusif, karena cara pemerintah mengesahkan
U
undang-undang pornografi tersebut tidak dimaknai sebagai “payung” yang melindungi keberagaman pemahaman di Indonesia, akan tetapi sebagai “pagar” yang membatasi berbagai
©
ekspresi, maupun kreatifitas tubuh yang terdapat pada budaya-budaya Indonesia. Meskipun sama-sama mempunyai konsekuensi, namun identitas nasionalisme yang dipraktikkan secara eksklusif akan cenderung intoleran dan menciptakan nasionalisme yang represif, dimana berbagai ekspresi kekayaan dan keunikan identitas kultural direduksi serta tidak dihargai lagi. Upaya pemerintah ini cukup efektif di satu sisi, namun di sisi lain menciptakan ketegangan dan penolakan komunitas agama dan budaya, yang memiliki perbedaan pemahaman dengan pemerintah karena pemerintah dianggap menyeragamkan makna. Upaya penyeragaman makna oleh pemerintah dalam bentuk pengesahan Undang-Undang, dapat merusak pemahaman tubuh seseorang dan komunitas dalam memahami keberadaan dirinya, maupun ketika berelasi dengan sesamanya di luar komunitas. Oleh karena itu, undang-undang yang mengatur tubuh secara negatif ini perlu terus-menerus dikritisi, dalam kaitan relevansinya
13
www.legalitas.org/UU RI no.44.2008/pdf diunduh pada 14-12-2012.
6
terhadap pemahaman yang lain (the other), terutama dalam konteks Indonesia yang multikultural. Pandangan yang lebih terbuka dan toleran terhadap tubuh, sebenarnya juga terdapat dalam kebudayaan dan Kekristenan. Namun pandangan ini masih minim. Kebudayaan lebih mengapresiasi tubuh manusia karena tubuh dipandang sebagai tempat yang penting dalam membangun bagi kehidupan manusia. Tubuh dipandang sebagai dasar dari keberadaan (eksistensi) manusia dan melalui tubuhlah manusia memiliki kemampuan untuk berfikir, melakukan berbagai hal penting, menciptakan sejarah peradaban manusia dan tubuh sebagai identitas yang membedakan manusia dengan ciptaan lainnya.14 Kebudayaan yang memandang positif tubuh manusia, nampak dari ekspresi kebudayaan yang lebih memberikan kebebasan pada tubuh manusia.15 Berbagai bentuk ekspresi positif terhadap tubuh ini bisa dilihat dalam
W
berbagai bentuk produk budaya dan berbagai karya seni yang dihasilkan. Di sisi lain, pandangan positif kekristenan terhadap tubuh masih terbatas. Hal ini bisa kita jumpai manakala hanya kekristenan tertentu saja yang berani mengkontekstualisasi
KD
warisan tradisi kesenian dan budaya tertentu yang kemudian dipakai dalam variasi ritual liturgi. Hal itu dapat kita jumpai misalnya dalam usaha menarik pemaknaan teologis tertentu terhadap tubuh dalam rangka memperkaya pemahaman iman (misal: musik, tarian, wayang prajanjian). Pemaknaan teologis terhadap tubuh dan ekspresinya ini patut mendapat apresiasi
U
karena memberi tempat yang positif bagi umat dalam memahami eksistensi tubuhnya.16 Namun, masih diperlukan penggalian lebih banyak lagi terhadap pemahaman tubuh manusia
©
dimana sebagai umat beragama pemahaman tubuh tersebut mampu membangun eksistensi manusia dalam kehidupan bersama-sama dalam konteks Indoensia yang multikultural. 14
Secara filosofis pandangan yang mengapresiasi tubuh ini dikemukakan oleh Aristoteles yang melihat adanya kesatuan tubuh dan jiwa manusia. Benedict M Ashley, Theology of the Bodies: Humanist and Christian, (Massachusets: The Pope John XXIII Medical Moral, 1985), p. 3, 21. 15 Dalam budaya yang sekuler ekspresi tubuh ini dipandang sebagai bentuk kebebasan dan kemerdekaan yang dimiliki manusia. Dengan kebebasannya itu manusia mengekspresikan dirinya, namun tetap memegang prinsip-prinsip tertentu, misalnya hak asasi manusia secara umum, menghormati kepentingan orang lain. Bahkan bagi kekristenan modern, seks menjadi hal yang sangat penting. Lihat Linda Woodhead, “Sex and Secularization”, dlm Gerard Loughlin (ed), Queer Theology: Rethinkingg the Western Body, (USA: Blackwell Publishing, 2007), p. 230. 16 Kekristenan sebagai bagian dari identitas kultural yang tinggal di Indonesia turut bergumul dengan pemahaman akan tubuh dalam konteks yang multikultur. Kekristenan menggumuli pemahaman akan tubuh sebagai sebuah komitmen akan identitasnya yang sekaligus juga terbuka terhadap pemahaman yang lain. Pemaknaan akan tubuh dalam kekristenan menyangkut aspek dan fungsi tubuh, termasuk seksualitas didalamnya. Dalam seksualitas sendiri menyangkut pembahasan yang sangat kompleks, misalnya meliputi perkembangan manusia sejak lahir, remaja, dewasa sampai kematian. Sementara selama hidup itu, seseorang menjalani fase-fase kehidupan seksualitasnya seperti masa-masa pra nikah, pernikahan, perceraian, menjanda, kemandulan, selibat, perilaku erotis, homoseksual, dan perilaku seksual yang lain. Lihat Jeanne Becher, Perempuan Agama Dan Seksualitas, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), p.257, 264, 276. Bnd. James B. Nelson, Embodiment: An Approach to Sexuality and Christian Theology, (Mineapolis, Minnesota: Augusberg Publishing House, 1978).
7
Masih terbatasnya ruang pemahaman budaya dan agama (kekristenan) dalam memberi pandangan terhadap tubuh manusia ini, mendorong penulis untuk menggali lebih jauh pemahaman tubuh dalam tradisi iman Kristen. Kekristenan tidak dapat lagi memperhatikan tubuh rohaniah di sorga kelak, namun di sisi lain mengabaikan tubuh jasmani yang ada di dunia sekarang ini. Kekristenan perlu hadir dan menunjukkan sikap terhadap konteks perubahan gaya hidup sekaligus terhadap undang-undang yang mendiskriminasi tubuh dalam komunitas yang multikultural. Sikap dan pandangan Kekristenan tersebut, dimaknai sebagai identitas khas Kristen. Keterlibatan Kekristenan ini merupakan sebuah panggilan dan kesadaran di dalam mewujudkan Kekristenan (gereja) yang sadar akan konteks.17 Kekristenan perlu memperjuangkan harkat martabat manusia guna mengembalikan citra dan gambaran Allah dalam diri manusia (Kej 1: 26, 27), khususnya dalam konteks pemaknaan tubuh manusia dalam masyarakat multikultural. Keterlibatan iman dalam merespons sebuah konteks
W
diperlukan dalam rangka membangun sebuah Kekristenan kontekstual yang sadar terhadap gejala penunggalan makna dan sekaligus memberi kesadaran pada manusia untuk memahami
KD
eksistensinya secara utuh.18 Kesadaran manusia akan eksistensinya ini ditekankan agar manusia lebih bertanggung-jawab dalam imannya ketika menjalani kebebasan dalam hidup yang dianugerahkan Allah, sekaligus ketika manusia yang dipanggil keluar mewartakan kasih
U
Allah yang membebaskan dan membawa berkat bagi semua orang.
I.2 Permasalahan
©
Kekristenan perlu melakukan perumusan identitas tentang tubuh secara teologis,
sehingga menjadi sebuah identitas bagi umat dalam memahami tentang teologi tubuh dalam konteks Indonesia yang multikultural. Perumusan pemahaman mengenai identitas tubuh dalam kekristenan sendiri tidak lepas dari pemahaman yang terbentuk atas berbagai kisah,
17
Gerrit Singgih mengatakan bahwa ‘gereja yang kontekstual adalah gereja yang sadar akan konteksnya. E. Gerrit Singgih, Ph.D, Mengantisipasi Masa Depan. Berteologi Dalam Konteks di Awal Milenium III (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005) p. 56. 18 Banawiratma mengatakan “Kehidupan Kristen diamalkan di dalam dunia (masyarakat) yang mengharapkan kaum beragama sebagai energi pengubah.” Tugas panggilan gereja dalam dunia yang oleh Banawiratma disebut sebagai ‘sakramen keselamatan’ merupakan perlawanan Gereja (Yesus sebagai simbol) terhadap Mamon, yang menguasai dan menindas. Jangan sampai gereja diam saja melihat apa yang terjadi di sekitarnya. Hal itu hanya bisa terwujud, apabila Kekristenan menjadi kontekstual dalam J.B. Banawiratma, Sepuluh Agenda Pembentukan Persekutuan Jemaat-jemaat Kontekstual dan Berteologi Kontekstual (Yogyakarta: Kanisius, 1999). Race menyebutkan, dalam konteks semakin meningkatnya gejala individualisme masyarakat Eropa sedangkan di sisi lain sebuah revolusi seksual di masyarakat, gereja (di Inggris) mau tidak mau harus memberikan sebuah jawaban atas hal itu. David M Race, The Christians Response to The Sexual Revolution, (London: Lutherworth, 1970). Bnd. Jack Dominian, The Church And The Sexual Revolution, (Britain: Darton, Longman Limited, 1971).
8
tradisi, dan narasi-narasi yang ada di Alkitab. Pemahaman tentang tubuh yang terbentuk dalam Alkitab tersebut misalnya, konsep kemuliaan tubuh (the glorified body) yang didasarkan pada kisah penciptaan manusia dan inkarnasi Firman dalam tubuh Yesus.19 Ada pula konsep yang muncul dari sudut pandang kaum Imam (priestly point of view) yang kemudian membawa konsep kekudusan (holiness) sebagai syarat moral-etis dalam ritual ibadah.20 Konsep tersebut kemudian menjadi pemahaman umat tentang identitas dirinya dalam hubungannya dengan Allah dan identitas yang lain (the other). Jadi di dalam Alkitab sendiri telah terbuka ruang adanya keragaman dan ketegangan konsep identitas. Perbedaan konsep identitas dalam Alkitab tersebut terbentuk karena adanya ketentuan atau aturan yang sengaja dibentuk sesuai dengan narasi-narasi yang mereka jalani dengan tujuan dan kepentingan tertentu. Namun hal itu dapat dipahami sebagai sebuah keanekaragaman yang
W
dinamis. Melalui konsep-konsep tersebut gambaran tentang identitas tubuh dapat diketahui. Pandangan Taurat mengenai tubuh banyak dipengaruhi oleh pemahaman sekelompok komunitas yang melihat tubuh dari fungsi ritual. Pemahaman tersebut membuat tubuh
KD
dipahami sangat religius, sehingga tubuh dikaitkan dengan aturan-aturan tertentu supaya masuk kriteria kekudusan. Mark Leucther menyatakan bahwa konsep kekudusan yang banyak disinggung dalam Imamat, memberikan kesempatan yang begitu besar bagi peneliti pada penyelidikan bentuk dan fungsi hukum Alkitab.21 Konsep kekudusan yang sarat dengan
U
muatan ritual religius dalam Imamat, membuat tubuh menjadi tidak hanya dipandang sebagai sosok biologis saja, akan tetapi juga sebagai sebuah discourse yang membentuk identitas
©
sebuah komunitas. Discourse tentang tubuh tersebut sengaja dibuat oleh penulis Imamat karena mengandung berbagai kepentingan mereka pada masa itu, sehingga diskursus tersebut perlu diperkuat ke dalam bentuk undang-undang kekudusan. Lebih jauh Mark Leucther menyebutkan bahwa kaitan yang rumit antara perundang-undangan di Deuteronomis (tradisi D) dan petunjuk kekudusan (tradisi H) pada Imamat menyediakan sebuah sumber yang berharga untuk mempelajari perbedaan pemikiran komunitas-komunitas religius di Israel yang hidup berdampingan satu sama lain, baik yang mewarisi sebuah cara berpikir, kultus, maupun warisan kehidupan sosial yang lebih tua daripada tradisi Israel.22 Kitab Imamat sendiri bisa dikatakan sebuah tantangan bagi pembaca masa kini. Isinya yang di dominasi oleh ritualritual, perintah dan tuntutan pada masanya bisa dikatakan aneh pada masa kini. Masa kini 19
Benedict M Ashley, Theology of the Bodies, p.105, 632. Anthony Cothey, Ethic and Holiness in the Theology of Leviticus, (JSOT 30.2: Sheffield, 2005). 21 Mark Leucther,”The Manumission Laws in Leviticus and Deuteronomy: The Jeremiah Connection, JBL, 127, No 4, 2008, p.635 22 Ibid,. 20
9
menuntut penjelasan yang lebih rasional. Jika seseorang tidak diperbolehkan memiliki tatoo misalnya, maka sebuah alasan rasional harus diberikan mengapa hal itu tidak diperbolehkan (misal Im 19:28). Perintah dan larangan yang terdapat dalam kitab Imamat mungkin terasa legalistik, tidak rasional dan otoriter. Penelitian terhadap Imamat 15 dipilih karena dianggap mampu menjembatani pergumulan antar identitas tubuh yang terjadi pada masa kehidupan sosio-religiositas umat Israel dalam rangka membangun Israel baru (pasca-pembuangan), dengan identitas keberadaan orang asing yang hidup mayoritas di wilayah Yudea pada saat itu.23 Oleh karena itu, penelitian ini akan berusaha mengidentifikasi diskursus tentang tubuh dalam hukum dan aturan yang terdapat dalam kitab Imamat 15, sebagai “jendela” dalam menilai diskursus tubuh pada masa kini (konteks multikultural). Penelitian ini dilakukan supaya pembacaan tentang tubuh dalam Imamat 15 sebagai sebuah teks suci, tetap efektif dan relevan bagi komunitasnya, dan dapat dijadikan acuan dalam memahami diskursus tubuh pada
W
konteks kekinian.
Imamat 15 berisi peraturan maupun hukum religius yang mengatur kekudusan tubuh
KD
pada konteks pasca-pembuangan. Teks tersebut menjelaskan bagaimana kehidupan religius Yahudi, terutama para imam, mengatur tubuh laki-laki maupun perempuan secara biologis sedemikian rupa untuk kepentingan ritual. Isu utama dalam Imamat 15 sendiri adalah kenajisan.24 Di sana dikisahkan, apa yang keluar dari dalam tubuh manusiapun memiliki
U
konsekuensi terhadap ritual (tidak hanya yang masuk ke dalam tubuh: makanan).25 Bagian tubuh tertentu yang dimiliki seseorang yang mengeluarkan “lelehan”, diatur sedemikian rupa
©
oleh kaum imam supaya tetap kudus. Apabila dipandang tidak layak (kotor, tidak bersih), maka bagian tubuh atau tubuh tersebut dipandang najis sehingga harus melalui tahap ritual pentahiran. Tentunya aturan dalam Imamat 15 yang kenakan pada laki-laki dan perempuan tersebut bisa dipandang bersifat diskriminatif dan dipandang mengandung permasalahan etis pada masa kini. Pertama, konsep “ketahiran” tubuh hanya boleh didefinisikan secara tunggal oleh para Imam sesuai dengan kepentingan ritual-religius yang mereka jalankan. “Ketahiran” yang didefinisikan kaum imam ini bisa dipahami bahwa tidak ada definisi “ketahiran” tubuh yang lebih benar selain daripada definisi para imam. Dengan demikian, definisi tubuh tersebut bisa dikatakan membatasi (meniadakan) ruang definisi bagi definisi yang lain. Kedua, bagian 23
Bnd.Lisa Isherwood dan Elizabeth Stuart menguraikan bahwa dalam Imamat 11, 12, 15, 18, 19 bangsa Israel mengalami pergumulan berkaitan dengan jenis makanan yang layak dimakan, gender, maupun penggolongan aktivitas tubuh yang layak dan tidak untuk ritual. Hal ini dikarenakan Israel dipanggil Allah menjadi sebuah bangsa kudus dan berbeda dengan bangsa-bangsa lain. Lisa Isherwood dan Elizabeth Stuart, Introducing Body Theology, p. 53. 24 S. H. Kellogg, The Book of Leviticus, (London Haseu: Watson De Viney, 1906), p. 305. 25 Lisa Isherwood dan Elizabeth Stuart, Introducing Body Theology, p. 53.
10
tubuh yang didefinisikan tidak tahir atau tidak bersih yang dimaksud adalah merujuk kepada pada bagian seksual (kelamin)26. Seks (kelamin) merupakan bagian tubuh manusia yang juga memiliki fungsi dan peran vital dalam membangun hidup manusia. Sebagai anggota tubuh, kelamin bekerja secara sinergis dengan organ yang lain di dalam tubuh sesuai dengan fungsinya masing-masing yang tidak dapat dipisahkan. Manusia memiliki kelamin yang berfungsi sebagai alat reproduksi yang mempunyai peran menjamin kehidupan regenerasi atau keturunan manusia (prokreasi), di samping mempunyai fungsi lain sebagai alat mengeluarkan sisa-sisa metabolism tubuh (ekskresi) yang sangat penting membangun eksistensi manusia. Apabila dalam Imamat 15 tersebut kelamin diatur dalam bentuk hukum sedemikian rupa dengan tujuan ritual dan purifikasi umat Israel, maka aturan tersebut setidaknya mendiskriminasi tidak hanya kelamin saja sebagai organ tubuh, akan tetapi juga seluruh eksistensi individu secara utuh. Penolakan terhadap keluarnya lelehan dari kelamin
W
tersebut, dapat juga diartikan penolakan atas organ tubuh tertentu atau tubuh manusia secara utuh, yang telah diciptakan sesuai dengan gambar Allah (Kej 1: 27, 28) dan sebagai ciptaan
KD
baik adanya (Kej 1: 30). Ketiga, permasalahan ketahiran tubuh dalam Imamat 15 tersebut, sebenarnya mengarah pada diskursus atau pemahaman tentang kekudusan. Diskursus tentang kekudusan yang dikenakan kepada ketahiran tubuh tersebut, tentunya akan mengarahkan kita pada pertanyaan kritis, apakah ada tubuh yang tidak benar-benar tahir (kudus) pada saat pelaksanaan ritual? Dan apakah tujuan atau makna yang ingin dibangun di balik aturan
U
tentang ketahiran tubuh dalam Imamat 15 tersebut?
©
Adanya permasalahan tersebut di atas berusaha dijembatani beberapa penafsir dengan menjelaskan teks Imamat 15 dengan perspektif yang bermacam-macam. Robert Peterson misalnya, menafsirkan pasal 15 ini secara ringkas bahwa peraturan tersebut bertujuan mengajar kaum awam di Israel supaya mereka membedakan antara tubuh dalam keadaan tahir dan tidak, dan membimbing mereka supaya mereka jangan membuat kesalahan. Peraturanperaturan tersebut berisi tentang penyakit atau bagian tubuh (kelamin) yang tidak normal.27 Tentu pandangan Peterson ini memberi kesan negatif terhadap tubuh dan tidak menolong bagi pemahaman tubuh pembaca masa kini. Di samping itu, penafsiran Peterson membawa pada pertanyaan: siapakah kaum awam yang dimaksud, apabila peraturan dalam Imamat 15 ini ditujukan kepada kaum awam? Bagaimana mereka bisa awam terhadap tradisi mereka sendiri yang menyangkut ketahiran kelamin? Peterson tidak membahas bagian tersebut, namun ia menyebutkan bahwa tujuan pasal ini ialah memastikan umat Israel tatap kudus, tahir, murni, 26 27
Lihat Robert M Paterson, Kitab Imamat: Tafsiran Alkitab, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994), p.213. Ibid, p. 213.
11
dan mereka harus berhati-hati supaya mereka jangan terlibat pada kenajisan.28 Bisa jadi Peterson terpaku pada konsep kekudusan tubuh yang dikenakan hanya bagi umat pilihan. Padahal jika melihat konteks kehidupan umat Israel yang hidup pada masa pembuangan sampai masa pasca-pembuangan, besar kemungkinan adanya orang asing yang turut serta tinggal bersama-sama dengan mereka. Sedangkan Wayne Turner menafsirkan Imamat 15, hanya mengacu pada ayat 13 tentang konsep ketahiran tubuh, yang diperoleh melalui kesembuhan dari penyakit karena tubuh dibasuh pada air segar atau mengalir.29 Penafsiran yang ditekankan Turner memang sedikit berbeda dengan Peterson (tentang kelamin yang tidak normal). Turner memberi perhatian pada pentingnya ketahiran serta cara memperoleh kebersihan tubuh (fisik) melalui air. Meskipun Turner memberikan perhatian pada tubuh secara fisik, akan tetapi di balik
W
perhatian itu berarti masih melihat tubuh (yang mengeluarkan lelehan) dipandang sebagai tubuh yang negatif dan najis. Tubuh yang tidak bersih dan najis perlu ditahirkan supaya layak turut serta dalam pelaksanaan ritual. Penafsiran Turner masih belum kritis terhadap dampak dalam ritual.
KD
yang ditimbulkan hukum Imamat 15 tersebut terhadap adanya tubuh yang lain, yang tidak ikut
Di sisi lain, aturan-aturan yang dikenakan terhadap tubuh yang terdapat dalam Imamat 15 dilihat Kellog berkaitan dengan tindakan seksual (sexual organization), dimana
U
tubuh yang melakukan hal tersebut dilihat sangat menjijikkan karena tidak sesuai dengan petunjuk Musa (Mosaic Code).30 Pandangan Kellog terhadap Imamat 15 yang dikaitkan
©
dengan kekudusan dan kebersihan yang berhubungan dengan petunjuk Musa lebih cenderung berkaitan ajaran moralitas illahi yang sangat kaku. Pandangan Kellog jelas sangat diskriminatif terhadap tubuh, karena bisa diartikan aspek lain dalam perilaku seksual (menstruasi, mimpi basah, masturbasi) dipandang sebagai tindakan berdosa dan melanggar hukum Musa (Allah). Adanya upaya sejumlah penafsir dalam menafsirkan tubuh laki-laki dan perempuan dalam Imamat 15 patut diapresiasi, akan tetapi harus diakui masih kurang seimbang karena memberi kesan tubuh dipahami secara negatif. Hal ini memberi ruang bagi penulis, untuk berupaya mencari pemahaman tubuh yang lebih menolong (komprehensif) dibalik konteks Imamat 15, sehingga relevan bagi pemahaman tubuh multikultural di Indonesia. 28
Ibid, p. 215. Wayne A Turner, “Imamat”, dlm Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, Dianne Bergant, CSA. Robert J. Karris, OFM, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), p.133. 30 S. H. Kellogg, The Book of Leviticus, p.306. 29
12
Berbagai penafsiran yang memandang tubuh negatif tersebut, akhirnya menggiring kita untuk melihat keberadaan teks pada dirinya sendiri. Dalam Imamat 15 (TB-LAI), akar permasalahan terdapat pada kata “lelehan” yang dikenakan pada laki-laki dan perempuan. Seorang laki-laki disebut najis karena tubuhnya mengeluarkan lelehan (ayat 2, 3, 4, 13, 15). Tidak hanya berhenti di situ, semua benda yang bersentuhan dengan tubuh laki-laki tersebut dipandang najis: tempat tidur dan tempat duduk (ay. 4), pakaian (ay. 5, 6, 7), pelana (ay.9), tanah dan kayu (ay.12), dan perempuan (ay.18). Ketentuan yang dikenakan pada laki-laki tersebut juga dikenakan pada perempuan. Tubuh perempuan disebut najis apabila ada lelehan yang keluar dari tubuhnya (ayat 19, 25, 26, 28, 30, 33), demikian pula barang atau benda yang bersentuhan dengan tubuh atau lelehan tersebut (ay.20-23). “Lelehan”yang dikenakan pada laki-laki dan perempuan merujuk pada dua konteks. Pertama, lelehan dalam konteks biologis, yaitu lelehan pada laki-laki merujuk pada mani yang keluar pada saat mimpi basah,
W
sedangkan lelehan pada perempuan merujuk pada darah pada saat datang bulan atau haid. Lelehan semacam ini tidak bisa ditolak dan dihindari oleh manusia, karena ini merupakan
KD
siklus biologis. Lelehan tersebut secara tiba-tiba keluar dari tubuh manusia. Akan tetapi dalam Imamat 15, lelehan ini dipandang sebagai sebuah kenajisan, harus dibersihkan dan diatur sedemikian rupa dalam bentuk ritual ketahiran. Kedua, lelehan dalam konteks persetubuhan. Apabila merujuk ayat 18 dan 24, maka lelehan tersebut keluar atau tumpah dari dalam tubuh manusia pada saat laki-laki dan perempuan itu sedang melakukan persetubuhan. Lelehan yang
U
tumpah lebih dulu atau tumpah di luar tubuh itu merupakan kenajisan dan harus ditahirkan. Nampaknya ayat tersebut bermaksud bahwa dalam sebuah persetubuhan, lelehan sperma atau
©
mani harus langsung masuk ke dalam tubuh (rahim) perempuan, dan hal ini dianggap sah dan tidak masalah. Akan tetapi, kalau mani tumpah di luar atau keluar terlebih dulu (ejakulasi dini) maka laki-laki tersebut najis dan harus ditahirkan. Retorika kenajisan yang dikenakan pada tubuh dalam Imamat 15 merujuk pada konteks kepentingan ritual31. Laki-laki atau perempuan yang mengeluarkan lelehan dianggap najis dan mereka diatur sedemikian rupa agar membersihkan diri supaya tahir, dan dapat kembali mengikuti ritual. Setelah mereka membersihkan dirinya, bukan berarti mereka telah tahir sepenuhnya, akan tetapi laki-laki dan perempuan yang mengeluarkan lelehan tersebut juga harus menerima konsekuensi-konsekuensi. Konsekuensi pertama, laki-laki dan perempuan tidak bisa bersosialisasi selama 1 minggu (7 hari) karena setiap hari harus membersihkan dirinya pada air yang mengalir dan pada hari ke delapan harus datang bertobat
31
Bryan D Bibb, Ritual Words and Narrative Worlds in the Book of Leviticus, (New York: T & T Clark, 2009).
13
di hadapan Tuhan dengan menyerahkan korban bakaran kepada kaum imam (Im 15: 13, 14, 28, 29). Tentu konsekuensi ini tidak ringan karena dalam waktu seminggu atau lebih orang dilarang berhubungan (diisolasi) dengan keluarga maupun dengan masyarakat untuk hal yang secara eksitensialis-biologis memang harus dialaminya (mimpi basah atau menstruasi). Pertanyaan lebih lanjut, siapakah yang mengetahui bahwa seorang laki-laki atau perempuan sedang mengalami mimpi basah atau menstruasi selain daripada dirinya-sendiri? Bagaimana mekanisme verifikasi atau pembuktian bahwa seorang laki-laki atau perempuan pada saat itu benar-benar telah mengalami mimpi basah atau haid? Tentunya kaum imam pada Imamat 15 yang mengetahui hal ini. Akan tetapi sangat jelas, bahwa dalam konteks masa kini, petunjuk kekudusan seperti ini terkesan ekstrim dan sangat jarang ditemukan. Kalaupun dijumpai, menurut penulis harus dipatahkan, karena tubuh manusia diciptakan serupa dengan gambar Allah dan (tubuh) manusia diciptakan Allah baik adanya! (Kej 1: 26, 31). Kedua, laki-laki
W
atau perempuan yang membiarkan dirinya dalam keadaan najis (mengabaikan hukum Imamat 15), maka akan mendapatkan sangsi hukuman mati (ayat 31; bnd. Im 20: 18). Dalam Imamat
KD
15 kenajisan nampaknya dianggap suatu kekejian bagi Yahweh dan layak ditukar dengan sebuah nyawa. Pertanyaan yang muncul di balik hukum tersebut adalah: Apakah memang lelehan sebanding atau layak ditukar dengan sebuah hidup pada saat itu? Apakah Allah yang kudus sangat antipati dengan keberadaan manusia? Dengan demikian kepentingan terhadap tubuh di balik hukum Imamat 15 menjadi sebuah masalah yang menarik untuk dilihat lebih
U
jauh.
Permasalahan Imamat 15 tersebut, memberi kesimpulan sementara bahwa tubuh laki-
©
laki dan perempuan sengaja dipandang negatif oleh kaum imam karena ada kepentingan yang lebih besar di balik hukum kenajisan itu. Tentu hal ini merupakan sebuah ketidakadilan yang diciptakan sedemikian rupa bagi tubuh manusia secara biologis. Apabila hukum kenajisan tersebut dikenakan pada tubuh yang lengkap dan normal, tentu hukum tersebut semakin mendiskriminasi dan menutup ruang kepada tubuh yang tidak sempurna (disabled). Hal inilah yang kemudian membuat hukum dalam Imamat 15 menjadi sangat diskriminatif bagi kaum disabled.32 Kegelisahan tersebut kiranya dapat menjadi acuan untuk mengkritisi teks Imamat 15 dalam upaya mendapatkan pemahaman tubuh yang lebih positif dalam konteks multikultural. Langkah awal yang dapat dilakukan dengan melihat sekilas masa dan konteks peredaksian Imamat. Teks Imamat mayoritas diredaksi oleh tradisi P (Priests), pada masa
32
Chae, Eun Ha, “Biblical Understanding of People with Dissabilities”, CTC Bulletin vol. XXI no2, 2005, p.52.
14
pembuangan sampai pasca-pembuangan, dimana pada masa itu ibadah Bait Suci berusaha dipulihkan menurut tradisi yang dihormati pada masa pasca-pembuangan dalam rangka membangun Israel baru.33 Adanya masa peredaksian, memungkinkan tradisi P mengolah teks sedemikian rupa untuk memperkuat identitas komunitas Israel pasca-pembuangan. Bisa jadi dalam komunitas pasca-pembuangan, tradisi P merupakan kelompok religius yang dominan dan memiliki pengaruh besar dalam produksi wacana melalui teks. Oleh sebab itu wacana dalam Imamat 15 ini dapat dilihat sebagai sebuah dominasi wacana identitas moral-etis dalam literatur pasca-pembuangan.34 Hukum Imamat 15 yang ditekankan kepada umat, bisa jadi sebagai alat untuk memproduksi atau membentuk wacana atau diskursus umat pilihan (the chosen people). Akan tetapi, bagaimana dengan nasib “kaum awam” yang dikonstruksikan oleh tradisi P (Priests) dalam kisah Imamat 15? Apakah mereka memiliki konstruksi identitas atas tubuh mereka? Semestinya punya, namun sejauh ini belum ada kesimpulan dan
W
penemuan yang pasti mengenai teks-teks yang dibangun oleh orang-orang asing (komunitas plural) di Yudea, yang sebagian besar merupakan orang-orang yang tidak ikut dibawa ke
KD
pembuangan di Babel. Namun demikian, meskipun wacana identitas mereka secara historis tidak disebutkan dalam teks, tidak berarti identitas tubuh atau eksistensi mereka ditiadakan. Pendekatan sejarah terhadap Imamat 15 menjelaskan bahwa Tradisi P menekankan pentingnya ritual dalam Imamat karena berkaitan erat dengan tradisi dan narasi yang terdapat
U
di dalam Taurat. Mereka telah mengalami sejarah tradisi-tradisi Israel sehingga merumuskan hukum (seperti halnya Imamat 15) sebagai respon atas isu-isu yang terjadi pada masa
©
tersebut. Menurut Carmichael, kaum imam membuat hukum-hukum Taurat, dimana mereka berusaha memberi masukan atas sosok Musa yang legendaris sebagai hakim atas masalahmasalah Israel di masa lalu, sekarang dan yang akan datang.35 Pandangan Carmichael bisa dikatakan bahwa dorongan pokok dalam penyusunan hukum Taurat adalah mengesahkan tradisi-tradisi kuno, demi cita-cita berdirinya negara Israel baru serta melengkapi narasi-narasi kepahlawan pada masa lampau (masa pra-pembuangan sampai pembuangan). Lebih jauh Callum Carmichael berkata: The narratives reflect the compilers’ interest in universal and Israelite origins (from the origin of the world in Genesis to the origin of kingship in Samuel), and they record matters that recur throughout succeeding generations (from the problems of the first family in Genesis to the problems of the kings in the historical books). The laws likewise reflect their compilers’ twofold interest. They take up problems that appear for the first time in the Biblical narrative history, and addres comparable problems that 33
Robert M Paterson, Kitab Imamat, p. 12-13. Eryl W. Davies, “The Bible In Ethics” dlm J. W. Rogerson dan Judith M. Lieu (ed), The Oxford Handbook of Biblical Studies, (New York: Oxford university Press, 2006), p.733. 35 Callum M Carmichael, “Laws in Leviticus 19”, dlm Harvard Theological Review 87, No. 3 ,1994, p.240. 34
15
recur in succeeding generations of that history. The compilers of all laws in the Pentateuch are deuteronomistic and priestly writers and they proceed in identical fashion.36
Penjelasan Carmichael bisa diartikan bahwa kaum imam pasca-pembuangan berusaha mengangkat model peraturan ritual kuno yang berkaitan dengan sejarah Israel yang mungkin tidak populer pada masanya dan kaum imam memiliki ideologi politik tertentu di balik peredaksian teks Imamat 15. Hukum tentang tubuh yang terdapat dalam Imamat 15 yang dibuat oleh tradisi kalangan Imam, tidak sekedar untuk kepentingan ritual-religius semata, akan tetapi juga mengandung kepentingan politis membangun Israel baru dan mengusir orang asing yang tinggal di Israel. Tentu hal ini juga merupakan permasalahan. Pertama, tidak menaati aturan atau hukum dalam Imamat 15 bisa dianggap melanggar norma atau melawan otoritas religius yang mewakili kekuasaan Yahweh di Yudea. Kedua, adanya unsur non religius (politis) dalam Imamat 15 tersebut, justru tidak membawa kebebasan bagi umat untuk
W
menyatakan eksistensinya, maupun identitas kulturalnya yang berbeda ketika proses membangun sebuah bangsa Israel. Permasalahan ini bisa berdampak kurang dihargainya teks
KD
(kesakralan teks) oleh komunitasnya. Dengan demikian, ketidakpuasan pendekatan historis memunculkan kemungkinan pembacaan kritis terhadap Imamat 15 untuk dimaknai ulang sesuai dengan konteks situasi kondisi pembaca masa kini di Indonesia, yang masyarakatnya sangat multikultural.
U
Dalam konteks kekristenan serta dunia yang penuh dengan tuntutan demokratisasi, kebebasan dan aktualisasi diri, maka beberapa aturan dari identitas sebuah komunitas yang
©
diterapkan secara mutlak terhadap individu, bisa dianggap penindasan. Dalam alam demokrasi, tidak ada seorangpun yang memiliki otoritas absolute kepada seseorang “yang lain” (the other). Setiap orang merupakan subyek yang berfungsi sebagai sistem check and balance melalui pengadilan, hukum, maupun perundang-undangan. Oleh karena itu, jika hukum terhadap tubuh dalam Imamat 15 diterapkan tanpa mempertimbangkan konteks, hal ini pastinya akan menimbulkan permasalahan serius. Hal demikian ini bisa dijumpai dalam sejarah Kekristenan di Barat, dimana ketika Kekristenan dihadapkan dengan konteks yang sudah mulai sadar pentingnya tubuh, para teolog tetap saja memberi pandangan yang negatif terhadap tubuh dalam dualisme platonis bahwa tubuh kurang penting dibandingkan jiwa (roh). Lisa Isherwood menyatakannya:
36
Ibid,.
16
Interest in the history of Christianity’s relationship with the body has necessarily followed from the late twentieth century western preoccupation with the body as a important site of intellectual analysis. Societas and cultures which are rooted in the Christian tradition have at least to take the tradition into account when wrestling with contemporary issues. Unfortunately the result of this interest, even from some theologians, have often been little more than distorting generalizations along the lines of “Christianity has always subordinated the body to the soul” or “Christianity has always preached hatred of the body.37
Maka dari itu, sebuah upaya teologis yang kritis dan mendalam diperlukan untuk menolong mendalami pemahaman dan pengalaman manusia tentang tubuh. Dalam upaya itu diharapkan penelitian teologis atas tubuh dalam Imamat 15 diharapkan membuat manusia menghidupi tubuhnya secara utuh sebagai manusia dan membebaskan kita dari dampak teologi atau kepentingan yang memandang tubuh secara diskriminatif, dimana kita sekarang di Indonesia masih seringkali menjumpai dan mengalami hal tersebut. Manusia yang hidup seutuhnya berarti manusia menghidupi tubuh dalam kemanusiaannya secara nyata, tubuh yang
W
mencerminkan kemuliaan Allah. Seperti perkataan Ireneus, “the glory of God is the human being fully alive”. Manusia yang hidup seutuhnya sebagai manusia bisa diartikan telah
KD
melakukan hukum pertama dari hukum kasih yang diberikan Allah kepada umatnya.38 Penelitian terhadap penggambaran identitas tubuh yang dibentuk dalam Imamat 15 dapat digunakan untuk melihat konstruksi identitas internal, juga sekaligus relevan untuk mengangkat isu-isu mengenai keberadaan “yang lain” (the other) yang dibentuk Imamat 15. Melalui penempatan dan pencitraan terhadap “yang lain” dalam teks itulah identitas internal
U
dibangun.39 Ini berangkat dari pemahaman bahwa teks bukan sekedar fakta sejarah yang netral. Teks juga merupakan suatu wacana (discourse) yang mengandung suatu teologi atau
©
ideologi yang berperan dalam proses pembentukan pemahaman komunitas dan kesadaran identitas kolektif dalam komunitas, tentang siapa mereka dan siapa “yang lain”. Identitas kolektif tersebut sering kali diwujudkan dalam bentuk cerita, sejarah, peraturan, mitos yang menjelaskan keberadaan mereka. Pembandingan dengan keberadaan “yang lain” (the other) maupun bagaimana peraturan atau cerita itu difungsikan dalam teks berperan besar dalam pemahaman terhadap identitas kolektif.40 Oleh sebab itu kecenderungan dari kisah-kisah tersebut adalah menempatkan identitas kolektif lebih jelas daripada yang lain, dengan tujuan untuk mempertegas identitas kolektif yang mereka bangun. Identitas kolektif komunitas tidak hanya sekali, tetapi diproses terus-menerus yang dapat ditemukan dalam wacana yang 37
Lisa Isherwood and Elizabeth Stuart, Introducing Body Theology, p.52. Tony Carol, “Theology Of The Body”,dlm Month, 9-10, 1996, p.386. 39 Regina Schwartz, The Curse of Cain, (Chicago: Chicago U.P, 1997), p.4-5. 40 Emmanuel Levinas, Totality And Infinity:An Essay On Exteriority, (London: Martinus Nijhoff Publisher, 1979), p. 212. 38
17
dibangun. Dalam hal ini teks menjadi sebuah discourse atau belief system dalam pembentukan identitas kolektif dan memposisikan yang lain. Discourse itu dikontrol oleh kelompok dominan yang punya kekuasaan power untuk mempengaruhi komunitas. Diskursus yang dikontrol oleh power ini nampak dalam hukum yang tersirat dalam Imamat 15. Kontrol ini ditujukan agar identitas tertentu tidak hilang ataupun ingin membangun sebuah identitas baru dalam masyarakat yang multikultural. Pemegang diskursus tersebut tidak selalu kelompok yang memiliki kultur dominan, akan tetapi diskursus juga bisa di kontrol kelompok yang memiliki kultur yang tidak dominan, namun memiliki power yang kuat untuk menyuarakan diskursus tersebut. Kelompok dengan power dominan inilah yang kemudian sangat berpengaruh dan bisa memaksakan kehendaknya dalam bentuk hukum, yang dalam masyarakat multikultural isi hukum tersebut justru sangat paradoks, dimana isi hukum tersebut bersifat aturan-aturan yang isinya justru anti-multikultural. Jadi salah satu tanda
W
adanya komunitas yang multikultural dalam Imamat 15 adalah adanya hukum-hukum yang isinya anti-multikultural. Hal ini disebabkan, secara tidak langsung adanya aturan dan hukum
KD
yang anti-multikultural justru memperkuat bukti adanya masyarakat multikultural. Penekanan identitas kelompok yang memiliki power atas diskursus terhadap kelompok-kelompok lain yang minoritas dalam komunitas yang multikultural itu nampak dari sifat atau karakter hukum atau aturan religius yang diproduksi. Benyamin Chetow-Yanoov
U
menyatakan:
©
In a classic example of power-influence symmetry, the minority group can do little to improve its image in the eyes of the establishment. Its members are often characterized as follows:
Different, nonnormative, strange Morally inferior, primitive, not human Fit only for doing society’s dirty jobs Underserving of considerations or rights Unclean, evil, corrupting, dangerous
Again, these judgement are not based on empirical fact, they are part of continuing ignorance about the nature of the minority group. The elite’s coercive behavioris oftens rooted in an unrecognized fear of the very downtrodden population it is exploiting. In the days of historic colonial empires, this ideology served as justification for exploiting weak group or nations; based on perveted Darwinism, religious credos such as “the white man’s burden” and early capitalism’s need for cheap labor and captive consumer population41
Berdasarkan pandangan Benyamin Chetow-Yanoov tersebut maka penelitian terhadap diskursus tubuh yang dikonstruksikan dalam Imamat 15 terhadap komunitasnya maupun komunitas lain dapat dilihat lebih jelas. Dalam Imamat 15 tentunya terkandung sebuah 41
Benyamin Chetkow-Yanoov, DSW, Celebrating Diversity: Coexisting in a Multicultural Society, (New York: The Haworth Press, 1999), p.17.
18
kepentingan yang hendak menegaskan power atas kelompok lain. Kontruksi identitas yang dimiliki oleh kelompok yang dominan menyuarakan diskursus tubuh, bisa saja terungkap dalam berbagai relasi sosial dan aktivitas seseorang dalam hidup sehari-hari, maupun dalam narasi yang dikisahkan mendukung ideologi kelompok. Hal ini mirip dengan yang diungkapakan Holland yang mengatakan: Positional identities have to do day-to-day and on the ground relations of power, deverence and entitlement, social affiliation and distance --- with social-interactional, social-relational structures of the lived world. Narrativized or figurative identities, in contrast, have to do with the stories, act, and characters that make the world a cultural world. Positional identity, as we use term, is a person’s apprehension of her social position in a lived world: that is depending on others present of her greater or lesser acces to space, activities, genres, and through those genres, authoritative voices, or any voice at all.42
Memang dalam masyarakat yang multikultural ketegangan antar identitas dan power
W
di baliknya, perlu ditanggapi dengan serius. Menciptakan masyarakat multikultural tidak dapat mengandalkan pendekatan politik semata. Pendekatan politis dalam bentuk politik pengakuan (politic of recognition), dimana negara memberi ruang dan pengakuan terhadap
KD
berbagai entitas kultur yang berbeda, memang sangat diperlukan.43 Tetapi pendekatan politis tidak akan banyak berperan bila tidak diimbangi dengan kesadaran akan keberadaan “yang lain” yang berbeda dalam bingkai kehidupan bersama (Bnd. UU Pornografi yang masih kontroversi sampai saat ini). Menurut penulis, penanganan konteks multikultural perlu tetap
U
menghargai keberagaman identitas kultural kelompok dalam kebersamaannya dengan kelompok lain “the other” yang berbeda. Oleh karena itu, konteks Indonesia yang
©
multikultural akan digunakan sebagai perspektif (dipertimbangkan) untuk melihat diskursus tubuh dalam hukum Imamat 15. Konteks Indonesia yang dimaksud adalah sebuah fakta keanekaragaman
diskursus
tentang
tubuh
yang
berkembang
di
Indonesia,
yang
dilatarbelakangi oleh faktor perbedaan tradisi budaya, ras dan suku bangsa. Konteks Indonesia yang multikultural terbentuk dalam serangkaian perjalanan sejarah panjang dan ditetapkan oleh founding fathers bangsa Indonesia. Kontek multikultural di Indonesia dibangun atas sejarah politik yang mencita-citakan kehidupan masyarakat Indonesia yang multikultural tersebut tetap tetap terawat di bawah kesadaran menghormati perbedaan yang ada. Landasan kehidupan multikultural di Indonesia didukung sejarah dan konstitusi, meliputi: Sumpah Pemuda 28 oktober 1928, Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila
42 43
Dorothy Holland, Identity in a Cultural Worlds, (London:Harvard University Press, 1998), p.127-128. Charles Taylor, “Multiculturalism and the ‘Politics of Recognition’”, in Amy Gutmann (Ed) Multiculturalism, (Princeton: Princeton University Press, 1994), p. 39.
19
(semboyan Bhineka Tunggal Ika). Sebagaimana diketahui, cikal-bakal Indonesia sebagai sebuah negara pertama kali digulirkan dalam peristiwa “sumpah pemuda” yang diikrarkan tanggal 28 Oktober 1928. Sumpah pemuda pada 28 Oktober 1928 diikrarkan oleh seluruh pemuda yang berasal dari seluruh daerah di Indonesia, meliputi berbagai latarbelakang suku, agama, ras, bahasa dan budaya. Para pemuda pada saat itu berikrar untuk bertanah air, berbangsa dan berbahasa satu, yaitu Indonesia. Sumpah pemuda 28 Oktober 1928 inilah yang kemudian mendasari proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, sebagai sebuah negara Indonesia yang berdaulat, dengan dasar negara Pancasila, UndangUndang negara, Undang-Undang Dasar 1945. Sebagai dasar negara, Pancasila terdiri dari lima sila dimana sila pertama berbunyi ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’, merupakan landasan moral yang mendasari kehidupan religiositas dari semua agama di Indonesia. Kelima sila dalam Pancasila merupakan pijakan
W
atau fondasi bagi warga negara Indonesia dalam hidup berdampingan satu sama lain. Sila-sila dalam Pancasila tersebut disematkan pada lambang burung garuda yang mencengkeram pita
KD
bertuliskan ‘Bhineka Tunggal Ika’. Simbol atau lambang tersebut dikenal dengan Garuda Pancasila dan merupakan simbol dari negara Indonesia. Sedangkan ‘Bhineka Tunggal Ika’ merupakan sebuah ungkapan yang berasal dari bahasa Sanskerta, yang bermakna meskipun berasal dari berbagai suku, bangsa, bahasa dan agama yang berbeda-beda tetapi tetap tergabung dalam satu negara, Indonesia. Pancasila sendiri merupakan sumber filosofi dari alinea ke-4.
U
negara Indonesia yang isinya telah termaktub dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 Undang-Undang Dasar 1945 inilah yang menjamin semua warga negara
©
Indonesia yang berasal dari berbagai daerah, suku, agama, dan budaya mempunyai kedudukan yang sama di dalam hukum dan pemerintahan. Undang-Undang dasar 1945 pula yang memberi jaminan kebebasan bagi tiap-tiap orang untuk berekspresi dan menyatakan pendapat, demikian pula untuk memeluk agama sesuai dengan keyakinannya masing-masing. Pancasila dan UUD 1945 merupakan “payung” yang melindungi dan merawat identitas kelompok yang beranekaragam yang hidup di Indonesia. Hal ini sejalan dengan pandangan Bikhu Parekh yang mengatakan: Mereka [masyarakat multikultural] perlu menemukan cara-cara menggabungkan tuntutan yang sah mengenai kesatuan dan keanekaragaman, mencapai kesatuan politik tanpa penyeragaman budaya, menjadi inklusif tanpa menjadi asimilasionis, menanamkan di antara para warganya satu rasa memiliki yang umum dan pada saat yang sama menghargai perbedaan budaya yang ada, serta menjunjung tinggi identitas budaya majemuk tanpa melemahkan identitas yang dimiliki bersama dan berharga dari kewarganegaraan yang sama. Hal ini merupakan tugas politik yang
20
amat mulia dan belum ada masyarakat multikultural yang sejauh ini berhasil dalam menanganinya.44
Dengan demikian, Pancasila, UUD’1945 merupakan jaminan kehidupan masyarakat multikultural di Indonesia. Adanya keanekaragaman budaya, suku, bahasa dan agama dalam masyarakat multikultur bukanlah suatu halangan untuk hidup bersama dalam sebuah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Keanekaragaman ini sekaligus menjadikan diskursus tentang tubuh sebagai sebuah diskursus yang dipahami secara berbeda-beda dan beragam. Keanekaragaman diskursus tubuh ini sekaligus mematahkan pemutlakan makna tunggal terhadap tubuh. Imamat 15 tentu memiliki makna teologis yang di dalamnya terkonstruksi diskursus yang bermakna membentuk identitas komunitasnya. Sebuah diskursus selalu mengandung ide yang berperan dalam pembentukan pemahaman komunitas karena diskursus itu muncul
W
terkait dengan realitas yang dihidupi komunitas dan dibangun terkait dengan pengalaman hidup dengan komunitas yang lain. Sehingga pertanyaannya tidak selalu mengarah pada alasan rasional di balik discourse itu, tetapi mencari apa makna discourse tersebut bagi
KD
komunitasnya. Dari konteks Indonesia yang multikultural itulah, maka dominasi discourse terhadap tubuh yang ditampilkan dalam Imamat 15 yang menimbulkan permasalahan akan diteliti. Judul yang diajukan dalam usaha memaknai ulang Imamat 15 ini adalah Tubuh Kami, Tubuh Mereka dan Tubuh Kita Semua: Memaknai Diskursus Tubuh pada
©
U
Imamat 15 dalam Konteks Multikultural di Indonesia.
1.3 Rumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang di atas, pertanyaan-pertanyaan tesis dapat dirumuskan
sebagai berikut: 1. Apakah diskursus tubuh yang terdapat dalam Imamat 15, serta bagaimana diskursus tubuh pada Imamat 15 itu bermakna bagi komunitasnya? 2. Bagaimana memaknai ulang diskursus tubuh pada Imamat 15 dalam konteks multikultural di Indonesia?
44
Bikhu Parekh, Rethinking Multiculturalism, (Yogyakarta: Impulse, 2008), p. 450.
21
1.4 Tujuan Penulisan Penelitian ini pada dasarnya adalah upaya untuk mencoba menggumuli diskursus teologis tentang pemaknaan tubuh pada Imamat 15 sebagai identitas yang membentuk komunitasnya. Dalam konteks multikultural di Indonesia, identitas yang hendak di bangun dalam Imamat 15 tersebut membutuhkan keseimbangan perspektif. Berangkat dari kepentingan itu, penelitian ini berupaya mencari pergumulan tentang pemaknaan tubuh dalam komunitas Imamat 15. Tujuannya: Pertama, untuk mengetahui diskursus tentang tubuh dalam komunitas Imamat 15, dan apa makna diskursus (teologis) pada Imamat 15 bagi komunitasnya. Dalam diskursus teologis tersebut, akan tampak pemahaman komunitas tentang Tuhan, pemahaman komunitas mengenai tubuh, dan bagaimana pemahaman komunitas terhadap komunitas “yang lain”.
1.5 Metode Penulisan
KD
kehidupan multikultural di Indonesia.
W
Kedua, untuk mengetahui diskursus tubuh pada Imamat 15 yang mendukung
Diskursus tubuh yang terkonstruksi dalam teks Imamat 15 akan didekati dengan pendekatan historisisme baru (New Historicism). New historicism merupakan sebuah interpretasi
yang
masuk
U
pendekatan
dalam
payung
post-kolonialisme
dan
post-
strukturalisme.45 New historicism merupakan reaksi terhadap pendekatan historis dan literer.
©
New historicism mencoba menghindar dari interpretasi yang cenderung menonjolkan kemutlakan historis yang melihat konteks sebagai penentu makna, dan menghindar dari formalisme literer yang melihat teks memiliki otonomi mutlak yang menciptakan dunia sendiri terlepas dari konteks historisnya. Dalam new historicism, teks tidak dimengerti sebagai refleksi atas realitas historis yang obyektif semata tetapi lebih dimengerti sebagai bagian dari kompleksitas wacana yang lebih luas, dimana teks dan budaya dimengerti dalam relasi timbal
45
Poststrukturalisme merupakan kritik terhadap strukturalisme. Strukturalisme mendekati teks sebagai suatu konstruksi sistem yang telah jadi dan stabil sehingga untuk bisa mengetahui makna harus dilakukan dengan penelitian yang ketat dan sistematis sebagai upaya untuk menyingkap makna yang sesungguhnya. Poststrukturalisme menyanggah pemahaman tersebut dengan memahami bahwa bahasa, seperti halnya masyarakat, pada dasarnya tidaklah stabil dan tidak dapat secara ketat dikonstruksi dalam sebuah sistem yang pasti. George Aichele (et.al), The Postmodern Bible (London: Yale UP, 1995), p.120; Robert Carroll, “Poststructuralist Aproach: New Historicism and Postmodernism”, dalam The Cambridge Companion to biblical Interpretation, John Barton (Ed), (Cambridge: Cambridge UP, 1998), p. 50
22
balik yang produktif.46 New historicism memahami teks sebagai sesuatu berada dalam hubungan resiprokal dengan konteks. Dalam arti bahwa teks dibentuk oleh konteks historis yang sangat kompleks tetapi teks sekaligus juga memiliki kuasa untuk membentuk konteks historisnya.47 Mungkin satu kendala yang muncul dalam menggunakan pendekatan new historicism adalah tidak adanya langkah-langkah operasional penggunaan dari pendekatan ini. Menurut Greenblett sendiri, new historicism memang bukan sebuah pendekatan yang tunggal dan operasional seperti sebuah “doktrin” tertentu.48 New historicism lebih dipahami sebagai sebuah paradigma atau cara pandang terhadap teks. Dengan demikian pendekatan new historicism ini akan menjadi fondasi dalam menemukan apa yang terdapat di balik teks. Untuk mendapatkan pemahaman tubuh secara teologis pada Imamat 15, pendekatan New Historicism memahami teks sebagai sebuah diskursus yang di dalamnya mengandung
W
teologi (ideologi) atau pengetahuan untuk membentuk pemahaman komunitas tentang identitas mereka. Jadi teks tidak semata dilihat sebagai refleksi atas peristiwa historis semata, tetapi juga dilihat sebagai diskursus teologis yang dibuat untuk membangun sebuah gambaran
KD
dan pemahaman tertentu.49 Sedangkan keberadaan teks Imamat 15 yang berbentuk sastraretorik50, pendekatan new historicism melihat cerita atau retorika dalam teks tidak serta merta dilihat sebagai fakta sejarah. Sejarah yang ditulis mengalami tekstualisasi yang membuatnya memiliki jarak dengan realitas. Sejarah tersebut kemudian menjadi sebuah diskursus.51
U
Dengan demikian aturan atau hukum dalam Imamat 15, merupakan diskursus yang bisa jadi muncul karena memiliki tujuan dan ingin membentuk makna tertentu bagi komunitasnya.
©
Imamat 15 merupakan sebuah produk sosio-retorik yang mengandung kepentingan bagi komunitasnya, maka makna retorika yang ada pada Imamat 15 dimungkinkan tidak selalu tunggal dan diharapkan bermacam-macam (polyvalent). Hal ini dikarenakan adanya keterkaitan yang erat antara hukum dan aturan dalam Imamat dengan narasi lain dalam kitab
46
Harold C. Washington, “Violence and The Construction of Gender in The Hebrew Bible: A New Historicist Approach”, dlm Biblical Interpretation 5, 4, 1997. 47 M.A.R.Habib, A History of Literary Criticism: From Plato to the Present, (Blackwell Pub, 2005), p. 761 48 Greenblatt, “Towards a Poetic of Culture”, dlm The New Historicism, Veeser (ed), dikutip Stephen D. Moore, “History After Theory? Biblical Studies and The New Historicism”, dlm Biblical Interpretation , 5, 1997 p. 291. 49 Bnd. Robert Berkhofer, Jr. Beyond the Great Story: History as Text and Discourse, (Cambridge: Havard University press, 1995), p. 69-70. 50 Bryann D. Bibb, Ritual Words and Narrative, p.13. 51 Robert Berkhofer, Jr. Beyond the Great Story, p.70-74.
23
Taurat. Untuk kepentingan penelitian ini, langkah-langkah operasional New Historicism yang dipakai adalah sebagai berikut:52 1) Menentukan konteks historis teks. Penentuan konteks historis ini bertujuan untuk mengetahui kompleksitas situasi dimana teks itu dihasilkan sehingga dapat diketahui bagaimana energi atau kuasa yang dimanifestasikan dalam produksi literer itu terbentuk. 2) Menganalisa diskursus dan fungsi diskursus tubuh bagi komunitasnya. Langkah ini berupaya untuk mengetahui konstruksi teologis apa yang hendak diungkapkan melalui diskursus yang dibentuk. Analisa ini berfungsi untuk mengetahui konstruksi identitas apa yang hendak dikedepankan melalui diskursus tersebut. 3) Memaknai kembali diskursus tubuh tersebut bertitik tolak dari kepentingan konteks
1.6 Garis Besar Penulisan
W
multikultural di Indonesia.
KD
Bagian pertama penelitian menjelaskan latar belakang dan permasalahan penelitian, sekaligus kepentingan penulis berkaitan dengan upaya berteologi dalam konteks multikultural di Indonesia dengan melihat berbagai pemahaman teologis tentang pemaknaan tubuh dalam Imamat 15.
U
Bagian kedua akan dijelaskan kompleksitas situasi historis pada masa pasca-pembuangan sebagai dasar munculnya konstruksi teologis tentang pemaknaan tubuh dalam komunitas
©
sebagai identitas terhadap pandangan terhadap yang lain. Di dalamnya akan dibahas mengenai kondisi sosial, politis, serta konteks pemahaman yang plural mengenai tubuh disekitar teks yang mempengaruhi identitas Imamat 15. Bagian ketiga akan diteliti konstruksi teologis yang muncul, khususnya dalam Imamat 15. Di sini dibutuhkan analisis wacana untuk melihat gambaran apa yang mau ditampilkan tentang Tuhan, identitas umat, dan keberadaan yang lain. Untuk melihat dinamika bahasa yang dipakai maka akan diupayakan untuk melakukan penafsiran terhadap teks Imamat 15. Dari penafsiran tersebut diharapkan akan dilihat bagaimana konstruksi teologis tentang tubuh tersebut bermakna dan membentuk identitas komunitasnya. 52
Langkah yang dipakai mengacu pada Rowlett dimana New Historicism berupaya memberi perhatian terhadap konteks historis selayaknya, tanpa menjadikan sejarah komposisi teks sebagai tujuan utama dari penelitian, seakan makna sangat ditentukan oleh konteks historis. Dalam pandangan ini New Historicism tidak mau terjebak dalam perangkap formalisme literer, namun memperhatikan kompleksitas interaksi antara konteks kultural dan teks yang diproduksi di dalamnya. Lori L. Rowlett, Joshua and the Rhetoric of Violence: A “New Historicist” Analysis (JSOTSup: Sheffield Academic Press, 1996), p. 16.
24
Bagian keempat, konstruksi teologis tentang tubuh dalam Imamat 15 akan dilihat dalam konteks multikultural di Indonesia. Dari penggambaran itu dapat dilihat dinamika ketegangan yang terjadi antara pemahaman tentang tubuh yang ada pada komunitas sebagai sebuah identitas partikular serta solidaritas terhadap pemahaman lain yang berbeda. Selanjutnya, penggambaran tersebut akan dijadikan pertimbangan yang memperkaya dalam memaknai kembali konstruksi teologis tentang tubuh dalam Imamat 15 dalam konteks Indonesia multikultur. Selanjutnya, berangkat dari pemahaman tubuh multikultural akan berupaya dalam bingkai ekklesiologi dan spiritualitas.
©
U
KD
W
Bagian kelima kesimpulan
25