BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Masalah Kemiskinan merupakan hal yang sudah lama mendapat perhatian dari
gereja, namun sampai sekarang kemiskinan masih menjadi masalah dalam pelayanan gereja. Karena itu, gereja perlu merefleksikan kembali apa yang sudah dilakukan terhadap orang-orang miskin. Pertanyaan yang sangat crucial
W
sehubungan dengan sikap gereja terhadap keadaan sosial, ekonomi, kebudayaan dan politik dalam kehidupan sehari-hari, adalah bagaimana gereja menyikapi umat
KD
yang melarat dalam kemiskinan, orang yang tidak cukup makan dan minum, tidak dapat membayar biaya kesehatan, tidak dapat membayar biaya pendidikan anakanak mereka? Apakah gereja hanya meminta mereka untuk berdoa dan
U
mendoakan mereka, supaya Tuhan menolong mereka mengatasi masalah-masalah yang sedang dihadapi? Atau, di samping memohon kepada Tuhan dengan tekun,
©
gereja juga terlibat dalam tindakan nyata untuk membantu mereka keluar dari kungkungan sosial yang menyengsarakan, menyakitkan, menekan lahir dan batin?1 Orang-orang kristen di satu sisi cenderung melihat kemiskinan sebagai musuh yang menghinakan martabat manusia. Karena itu, orang-orang kristen ikut dalam arak-arakan untuk melawan kemiskinan, gereja harus berpihak kepada yang miskin, gereja perlu menolong orang-orang miskin dan berjuang melawan segala sesuatu yang menyebabkan kemiskinan. Namun, di pihak yang lain, ada
1
William Chang, Menjadi Lebih Manusiawi, (Yogyakarta: Kanisius, 2011), hlm. 5
1
kecenderungan untuk melihat kekayaan sebagai yang jahat dan kemiskinan sebagai kebajikan, karena itu menurut paham ini, orang kristen perlu menjadi miskin. Paham yang lain, melihat kekayaan sebagai berkat Allah yang diberikan karena kerajinan dan kesalehan mereka. Ada yang melihat keadaan kaya atau miskin sebagai nasib yang ditentukan oleh Allah dan perlu diterima dengan pasrah.2 Usaha untuk mengentaskan kemiskinan terus diupayakan oleh berbagai
W
pihak termasuk pemerintah. Satu dalih pemerintah untuk pengentasan kemiskinan adalah memekarkan wilayah pemerintahan seperti provinsi dan kabupaten.
pembangunan,
KD
Menjadi pertanyaan, apakah pemekaran wilayah dapat menyelesaikan masalah khususnya
pengentasan
kemiskinan
bagi
wilayah
yang
dimekarkan? Nampaknya belum semua rakyat yang ada di wilayah pemekaran
U
menjadi sejahtera, Mamasa sebagai kabupaten baru dan bagian dari provinsi baru yaitu Sulawesi Barat, memiliki sejumlah masalah dalam pembangunan daerah.
©
Selama puluhan tahun, rakyat Mamasa berada dalam penderitaan karena terisolasi dari pemerintah kabupaten Pelewali Mamasa, membuat masyarakat berjuang untuk pemekaran wilayah Mamasa sebagai satu kabupaten. Pada tahu 2003, perjuangan masyarakat Mamasa untuk membentuk kabupaten menjadi kenyataan dengan diresmikannya Mamasa sebagai kabupaten tersendiri. Sampai sekarang ini, pembangunan masyarakat Mamasa masih diperhadapkan dengan berbagai masalah. Salah satu masalah yang terus dihadapi adalah kemiskinan yang ada di Mamasa. Pemerintah Kabupaten Mamasa, belum mampu melaksanakan
2
Malcolm Brownlee, Tugas Manusia dalam Dunia Milik Tuhan: Dasar Theologis bagi Pekerjaan Orang Kristen dalam Dunia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), hlm. 79-80
2
pemerataan pembangunan di seluruh wilayah Kabupaten Mamasa. Salah satu daerah yang merasa tidak diperhatikan oleh pemerintah adalah daerah kecamatan Nosu.3 Hal ini membuat kemiskinan di Nosu menjadi semakin kompleks. Kemiskinan merupakan pergumulan bangsa, juga menjadi bagian dari pergumulan gereja-gereja. Masalah kemiskinan menjadi pergumulan gereja dalam menghayati hidup dan tugas pengutusannya untuk membawa kabar suka cita bagi dunia. Karena itu, gereja harus melibatkan diri, baik melalui perkataan maupun
W
tindakan nyata, dalam usaha pembebasan manusia terutama bagi mereka yang kecil dan miskin.4
KD
Menurut Singgih, bahwa gereja ada di tengah-tengah dunia ini dengan tujuan untuk melayani mereka yang miskin dan menderita.5 Dengan demikian gereja memiliki tanggung jawab untuk memperhatikan kaum yang lemah dan
U
menderita. Dalam tanggung jawab itu, gereja juga perlu melihat apa yang menyebabkan kemiskinan. Yewangoe dalam menggali penyebab kemiskinan
©
mempertanyakan, apakah kemiskinan disebabkan oleh diri mereka sendiri atau oleh kemalasan mereka? Ataukah, ada sesuatu yang terletak di luar kuasa mereka yang membuat mereka tidak mampu mengubah kondisi mereka.6 Sehubungan dengan itu, Suseno mengatakan pada dasarnya kemiskinan terjadi bukan karena
3
Wawancara dengan P. Padang, 8 Juli 2012 J.B. Banawiratma dan J. Mueller, Berteologi Sosial Lintas Ilmu, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), hlm. 24 5 Emanuel Gerrit Singgih, Reformasi dan Transformasi Pelayanan Gereja Menyongsong Abad ke21, (Yogyakarta: Kanisius, 1997), hlm. 27 6 A.A. Yewangoe, Theologi Cruscis di Asia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), hln. 11 4
3
kesalahan orang miskin itu sendiri, melainkan akibat kondisi-kondisi objektif mereka.7 Gereja kurang lengkap ketika tidak memperhatikan orang miskin dan kerinduannya akan satu dunia baru yang adil dan sejahtera. Kehidupan Kristen yang benar adalah kehidupan yang mengarah pada orang-orang miskin.8 Sikap Gereja terhadap orang-orang miskin harus mengacu kepada apa yang dikatakan oleh Yesus dalam Mat 25:35-40, bahwa “ Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi
W
aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan; ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku
KD
pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika Aku dalam penjara, kamu mengunjungi Aku.” Dan selanjutnya ayat 40 mengatakan “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang
U
saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku”. Perkataan Yesus ini mau menunjukkan bahwa betapa pentingnya gereja
©
memperhatikan orang-orang miskin. Gereja Toraja Mamasa (GTM) sebagai gereja yang ada di tengah-tengah
dunia ini juga terpanggil untuk melayani mereka yang sedang menderita. Ketertinggalan dan kemiskinan dalam segala hal patut menjadi perhatian GTM. GTM dalam eksistensinya merumuskan tugas panggilannya dengan Tri panggilan Gereja, yaitu bersaksi, bersekutu dan melayani. Namun, dalam pelaksanaan panggilannya, GTM belum maksimal melaksanakan Tri panggilan itu khususnya 7
F. Magnis Suseno, SJ, “Keadilan Sosial dan Analisis Sosial: Segi-segi etis”, dalam J.B. Banawiratma (ed.), Kemiskinan dan Pembebasan, (Yogyakarta: Kanisius, 1987), hlm. 38 8 Ebenhaizer I Nuban Timo, Anak Matahari, Teologi Rakyat Bolelebo Tentang Pembangunan, (Maumere: Penerbit Ledalero, 2008), hlm. 38
4
pelayanan terhadap orang-orang miskin. Sikap GTM terhadap orang–orang miskin dipengaruhi oleh metode dan pendekatan yang dilakukan oleh Zending dalam mengabarkan Injil di Mamasa. Dua utusan Zending yang sangat terkenal memperkenalkan Injil di Mamasa menggunakan pendekatan yang berbeda, yaitu A. Bikker dan M. Geleynse. A. Bikker melayani di wilayah Mamasa, Sumarorong, Nosu dan Pana’, sedangkan M. Geleynse melayani di wilayah Mambi dan Galumpang. Mereka menggunakan pendekatan yang berbeda. A.
W
Bikker memakai pendekatan “dari atas”, yaitu dengan mendekati pemimpinpemimpin adat (parengnge’), sedangkan M. Geleynse memakai pendekatan dari
KD
bawah/rakyat kecil. Gereja di Nosu sejak awal banyak berurusan dengan orangorang kaya dan kurang memperhatikan orang-orang miskin. Eksistensi gereja turut ditentukan oleh kepeduliannya terhadap orang-orang miskin, orang orang-orang
yang
menjadi
korban
ketidakadilan
sosial.
U
terpinggirkan,
Sebagaimana yang dikatakan oleh J.P. Widyatmadja bahwa gereja tidak bisa
©
hidup tanpa solidaritas terhadap kaum miskin.9 Dalam
implementasinya,
Tri
panggilan
gereja
kadang-kadang
dijalankan/dilakukan secara timpang. Persekutuan, kesaksian dan pelayanan tidak mendapat porsi yang sama dalam kehidupan bergereja. Persekutuan dan kesaksian (hal-hal rohani) mendapat perhatian yang lebih banyak dibanding pelayanan. Pelayanan gereja di bidang rohani tidak seimbang dengan pelayanan di bidang
sosial ekonomi. Kalaupun pelayanan dilakukan, sering disalahmengerti oleh warga jemaat. Pelayanan dalam hubungannya dengan Tri panggilan gereja sering 9
Josep P. Widyatmadja, Yesus dan Wong Cilik: Praksis diakonia transformatif dan Teologi rakyat di Indonesia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010), hlm. 1
5
dipahami sebagai pelayanan kepada Tuhan, dan pada akhirnya pelayanan diartikan sebagai ibadah, kebaktian dan doa, atau dengan kata lain pelayanan yang bersifat rohani. Pelayanan yang dilakukan hanya terbatas pada bidang ritual, sehingga pelayanan gereja tidak secara holistik.10 GTM sebagai gereja yang hidup di tengah-tengah masyarakat miskin tidak boleh berpangku tangan terhadap kemiskinan. Gereja harus memikirkan dan berperan aktif dalam pemberdayaan orang-orang miskin. Visi dan misi GTM
W
harus menjadi acuan dalam penjabaran program dan diaplikasikan di tengahtengah masyarakat. Dalam pemberdayaan, partisipasi kaum miskin sangat
KD
dibutuhkan. Karena itu J.B. Banawiratma mengatakan, bahwa gereja harus berdialog dengan orang-orang miskin11. Dalam rangka melaksanakan misi untuk mencapai visinya, maka GTM harus memberdayakan orang-orang miskin yang
U
ada di sekitarnya melalui dialog dengan mereka.
Harus diakui bahwa pelayanan gereja untuk memberdayakan kaum miskin
©
sering mengalami kegagalan, salah satu faktor yang meyebabkan kegagalan gereja adalah sulitnya mendefinisikan kemiskinan dan menentukan siapa yang tergolong sebagai kaum miskin dan siapa yang tergolong sebagai orang kaya. Kesulitan itu juga membuat gereja tidak mengetahui apa yang dibutuhkan oleh warganya. Program yang dibuat oleh gereja kadang-kadang bersifat top down. Dalam rangka peningkatan kehidupan warga masyarakat, maka tugas gereja adalah duduk bersama dengan orang miskin, memikirkan dan merumuskan apa yang
sepantasnya dilakukan oleh gereja untuk mereka. Di samping itu, gereja juga 10
Emanuel Gerrit Singgih, Reformasi dan Transformasi Pelayanan Gereja Menyongsong Abad ke21, (Yogyakarta: Kanisius, 1997), hlm. 16 11 J.B. Banawiratma, 10 Agenda Pastoral Transformatif, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), hlm. 21
6
perlu berdialog dengan budaya kaum miskin, sebagaimana yang dikatakan oleh Banawiratma
bahwa
mencintai
kaum
miskin
berarti
juga
mencintai
kebudayaannya12. Dalam dialog dengan budaya masyarakat Mamasa, gereja harus selektif dalam melihat budaya, karena tidak semua budaya dapat bermanfaat bagi masyarakat, ada sejumlah budaya yang membutuhkan biaya ratusan juta rupiah, budaya seperti ini tidak membangun tetapi justru menguras ekonomi warga masyarakat. Oleh karena itu, Gereja perlu mendampingi warga jemaat dan
W
masyarakat dalam melakukan tuntutan tradisi atau budaya. Dalam dialog inilah, gereja harus mampu melihat mana hal-hal dari budaya yang menghambat
KD
peningkatan kesejahteraan masyarakat13, sehingga masyarakat tidak menjadi miskin karena melakukan tuntutan kebudayaan.
Dalam rangka pembangunan jemaat di GTM, penting bagi GTM untuk
U
memberdayakan kaum miskin. GTM harus menyadari bahwa gereja tidak hanya dipanggil untuk dirinya sendiri tetapi untuk seluruh dunia. Agar GTM benar-benar
©
menjadi berkat bagi seluruh masyarakat, maka GTM harus memikirkan kesejahteraan masyarakat yang ada di sekitarnya tanpa melihat agama dan status sosial mereka.
Masalah kemiskinan di Nosu nampaknya terkait dengan berbagai bidang kehidupan. Namun, selama ini GTM sebagai lembaga gereja belum berbuat banyak terhadap kaum miskin, semestinya GTM memutar arah pelayanan untuk memberdayakan mereka. Gereja jangan hanya menjadi juru ritus atau pemimpin ritual, yang hanya memimpin doa bagi umatnya. Pelayanan yang dilakukan oleh 12 13
J.B. Banawiratma, 10 Agenda Pastoral Transformatif, hlm. 25 Ibid.
7
gereja jangan hanya bersifat verbal tetapi harus secara holistik dan nyata dalam kehidupan warga masyarakat. Dengan tersentuhnya kaum miskin di Nosu, maka banyak persoalan dapat diselesaikan. Namun, harus disadari bahwa tugas ini bukanlah hal yang gampang, tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, tapi ini adalah tugas yang sangat mendesak untuk dilakukan oleh gereja. Mungkin banyak orang mengatakan ini sudah terlambat, tetapi
lebih baik terlambat
memulai daripada tidak sama sekali. Mereka memiliki potensi yang dapat
W
diberdayakan. Rasa kekeluargaan, saling menghargai, kebersamaan, dan nilai-nilai budaya dapat dijadikan sebagai modal untuk membentuk komunitas mereka
KD
menjadi komunitas basis gerejawi.
Penulis menyadari bahwa sudah banyak penelitian terhadap gereja dan kemiskinan, tetapi menurut penulis kemiskinan adalah hal yang sangat relatif.
U
Setiap daerah memiliki masalah kemiskinan yang berbeda, karena kemiskinan sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, misalnya: budaya, keadaan geografis,
©
dan kondisi daerah masing-masing. Demikianpun pendekatan yang dilakukan terhadap kemiskinan harus memperhatikan konteks daerah masing-masing. Gereja perlu mencari metode pemberdayaan dan teologi yang relevan terhadap realitas kemiskinan yang dihadapi. Pemberdayaan yang dimaksudkan dalam tulisan ini, adalah upaya gereja untuk memberikan kesempatan dan kemampuan kepada masyarakat miskin untuk mampu dan berani bersuara (voice) serta kemampuan dan keberanian untuk
8
memilih (choice). Pemberdayaan adalah suatu proses untuk meningkatkan kemampuan dan meningkatkan kemandirian masyarakat.14 Ambroise15 menyebut pemberdayaan sebagai suatu proses animasi. Ambroise menjelaskan bahwa:
W
Animasi adalah suatu proses yang membangkitkan kesadaran dan yang terarah pada tindakan dengan tujuan transformasi sosial yang mempengaruhi masyarakat pada umumnya dan kaum miskin pada khususnya. Animasi memprakarsai suatu dinamika dalam diri seseorang pribadi dan masyarakat untuk berjuang demi pemberdayaan yang menghasilkan perubahan dalam diri mereka sendiri dan dalam situasi kemiskinan dan keterpinggiran yang mereka alami serta untuk menegaskan martabat mereka sebagai pribadi untuk menciptakan suatu masyarakat yang lebih adil.16
Menurut Ambroise, unsur-unsur yang harus diperhatikan dalam melakukan adalah:
Visi,
dinamika,
kesadaran,
motivasi,
tindakan
yang
KD
animasi
membebaskan, unsur iman. Bagi Ambroise pemberdayaan kaum miskin harus dimulai dari Visi yang jelas yaitu konsep tentang masyarakat baru, masa depan
U
yang didambakan. Kaum miskin tidak bisa berjuang sendiri-sendiri, hanya ketika mereka bersatu dan bekerja sama, maka mereka dapat mengubah keadaan menjadi
©
lebih baik, dan inilah yang disebut dinamika. Dalam proses pemberdayaan juga dibutuhkan kesadaran akan apa yang sedang dialami, kesadaran membangkitkan harga diri kaum miskin, sehingga mereka melihat bahwa dirinya sebagai anakanak Allah yang mendambakan kesejahteraan. Pemahaman akan martabat dan penghargaan terhadap diri inilah akan memampukan seseorang untuk memandang
14
Totok Mardikanto, Yesus Fasilitator Pemberdayaan Masyarakat, (Solo: Prima Theresia Pressindo, 2005), hlm. 10-11 15 Yvon Ambroise adalah ketua Caritas Asia dan wakil ketua Caritas Internasional, sebelum menjadi Uskup, dia adalah direktur pelaksana Caritas India selama 1988-1995. Uskup Ambroise kini berkarya dari keuskupannya yang berpusat di Tuticorin, sebuah kota pelabuhan di Negara Bagian Tamil. http://test.cathnewsindonesia.com/…india-wawancara-caritas-itu-wajah-ger, diakses tanggal 17 Januari 2013 16 Yvon Ambroise, (terjemahan) Memberdayakan Kaum Miskin, (Maumere: LPBAJ, 2000), hlm. 19
9
jauh melampaui pelbagai masalah kehidupan yang ada. Kaum miskin sering memahami bahwa mereka miskin karena dosa-dosa masa lalu mereka, karena kemalasan mereka sendiri, atau karena kehendak Allah, sehingga mereka menerima tanpa mempersoalkannya. Penyadaran akan memungkinkan kaum miskin menganalisis keadaan dengan membongkar akar penyebab masalah, sehingga
kaum
miskin
dapat
mengambil
tindakan-tindakan
yang
mentransformasikan komunitas mereka.17
W
Ketika kaum miskin sudah menyadari akan apa yang sedang dialami, maka akan muncul motivasi. Motivasi menyebabkan keberanian untuk menerima
KD
tantangan-tantangan dan menghadapi masa depan tanpa rasa takut. Motivasi dapat memyebabkan kelompok untuk bangkit bersama-sama. Kaum miskin yang termotivasi akan berusaha untuk melakukan tindakan yang membebaskan mereka
U
dari penderitaan. Perubahan yang terjadi di antara kaum miskin bukan hanya demi kepentingan ekonomi atau material, tetapi juga perubahan budaya, pola pikir
©
untuk memilih kehidupan yang lebih baik. Tindakan yang dilakukan tentunya di dasarkan pada iman. Iman merupakan kekuatan yang menentukan arah dalam seluruh proses animasi. Iman inilah yang mencari kesadaran lebih dalam tentang keadaan dan memotivasi pribadi untuk terlibat dalam tindakan.18 Salah satu penyebab ketidak berdayaan kaum miskin adalah karena kaum miskin tidak dapat bersatu. Kaum miskin tidak dapat bersatu bukan karena mereka egois tetapi karena tidak ada tempat bagi mereka untuk duduk bersama. Perjuangan bersama kaum miskin perluh dilaksanakan secara terorganisir, karena 17 18
Yvon Ambroise, (terjemahan) Memberdayakan Kaum Miskin, hlm. 31-32 Ibid., hlm. 34
10
melalui organisasi kaum miskin dapat bersatu untuk melakukan perjuangan bersama. Dalam tulisan ini akan diuraikan komunitas basis gerejawi sebagai alternatif pemberdayaan kaum miskin. Pendekatan dalam pemberdayaan kaum miskin sangatlah penting dan turut menentukan keberhasilan suatu lembaga dalam melayani kaum miskin. Dalam rangka untuk membantu yayasan Parpem GTM dalam mencari pendekatan yang tepat, maka penulis mengadakan penelitian dan melahirkan tulisan yang di beri
W
judul “Gereja Toraja Mamasa dan Kaum Miskin” dengan sub judul “Yayasan Parpem Sebagai Representasi Gereja Toraja Mamasa dalam Pemberdayaan Kaum
B.
Masalah
KD
Miskin di Nosu”.
Saya akan membatasi masalah penelitian ini pada yayasan Partisipasi
U
Pembangunan (Parpem) GTM yang saya anggap sebagai representasi dari GTM dalam pemberdayaan masyarakat miskin yang ada di Nosu. Penulis melakukan
©
penelitian di Kecamatan Nosu.
Berdasarkan latar belakang yang saya kemukakan di atas, maka rumusan
masalah yang ditemukan adalah: 1.
Apa yang sudah dilakukan oleh GTM/yayasan Parpem terhadap kaum miskin
di
Nosu?
Apakah
berhasil
atau
tidak
berhasil
dalam
memberdayakan masyarakat? Mengapa demikian? 2.
Eklesiologi dan pemberdayaan macam apa yang relevan terhadap kaum miskin di Nosu?
11
C.
Judul Tesis Tesis ini akan diberikan judul “Gereja Toraja Mamasa dan Kaum Miskin”
dengan sub judul “Yayasan Parpem sebagai Representasi Gereja Toraja Mamasa dalam Pemberdayaan Kaum Miskin di Nosu”. D.
Alasan Memilih Judul Pemikiran untuk menulis tesis ini, berawal dari pergumulan sebagai pelayan
W
GTM dan merupakan keprihatinan terhadap kemiskinan masyarakat Nosu. Kesempatan untuk studi lanjut dan menulis tesis tentang keterlibatan GTM dalam
KD
pemberdayaan kaum miskin di Nosu, merupakan peluang bagi penulis untuk memberikan sumbangan pemikiran bagi GTM. Pemberdayaan kaum miskin di Nosu harus dimulai dengan konsep yang jelas. Harapan penulis, kiranya hasil ini
memberikan
sumbangan
pemikiran
bagi
GTM
dalam
U
penelitian
keterlibatannya untuk memberdayakan kaum miskin di Nosu. Tujuan Penulisan
1.
Mengidentifikasi apa yang sudah dilakukan oleh Yayasan Parpem terhadap
©
E.
orang-orang miskin di Nosu, apakah berhasil atau tidak.
2.
Membangun eklesiologi dan alternatif pemberdayaan yang relevan bagi masyarakat miskin di Nosu.
F.
Hipotesa
1.
Yayasan Parpem sudah banyak membantu orang-orang miskin di Nosu, namun bantuan yang disalurkan hanya bersifat karitatif. Sebatas memberikan “ikan” kepada kaum miskin yang ada di Nosu.
12
2.
GTM belum memiliki eklesiologi yang relevan dan pendekatan yang dipakai oleh yayasan Parpem sebagai representasi GTM belum mampu memberdayakan kaum miskin di Nosu. Gereja belum menjadi fasilitator yang memberdayakan kaum miskin untuk meningkatkan kehidupan mereka.
G.
Metode penelitian Penelitian akan difokuskan pada kemiskinan dan yayasan Parpem GTM
W
dalam kaitannya dengan kaum miskin di Nosu. Data di peroleh melalui penelitian kualitatif. Pendekatan kualitatif dilakukan melalui observasi, live in, dan
KD
wawancara. Pendekatan kualitatif dipilih dalam penelitian ini, karena: Pertama, pendekatan kualitatif dapat menyelesaikan masalah jika berhadapan dengan kenyataan ganda; kedua, metode ini menciptakan hubungan yang langsung antara
U
peneliti dan yang diteliti; ketiga, metode ini lebih peka dan dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh pola-pola nilai yang dihadapi.19
©
Metode ditempuh melalui penelitian lapangan. Pada penelitian lapangan
peneliti mengumpulkan data dengan 3 cara. Pertama, pengamatan serta; peneliti mengumpulkan data dengan berperan serta dalam kehidupan sehari-hari, mengamati sitiuasi yang sedang mereka hadapi dan bagaimana mereka bertindak di dalamnya.20 Kedua, memeriksa dokumen-dokumen
berupa informasi dan
catatan penting baik dari lembaga Parpem maupun pribadi. Dokumen ini menjadi
19
Lexy J. Moleong, Metode Penelitian kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya Offset, 1991), hlm. 5 20 John Mansford Prior, Meneliti Jemaat: Pedoman Riset Partisipatoris, (Jakarta: Grasindo, 1997), hlm. 63-64
13
sumber-sumber sekunder dalam penelitian.21 Ketiga, Wawancarara Terbuka, hal ini dilakukan untuk melengkapi dan memperjelas data yang telah diperoleh dalam pengamatan serta.22 Respoden dalam penelitian ini, dianggap dapat memberikan informasi yang layak dan memadai. Mereka yang dipilih adalah mantan pengurus BPS GTM, mantan pengurus yayasan Parpem GTM, mantan motivator, pengurus BPMS GTM periode 2011-2016, pengurus yayasan Parpem GTM periode 20112016. majelis jemaat, warga jemaat, tokoh masyarakat, pemerintah. Untuk
W
menggali informasi dari responden, maka alat penelitian yang digunakan adalah pertanyaan-pertanyaan melalui wawancara. Sistimatika Penulisan
KD
H.
BAB I :
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah, batasan masalah, rumusan masalah, judul
U
tesis, hipotesa, tujuan penulisan, sistematika penulisan. BAB II :
YAYASAN PARPEM DAN PEMBERDAYAAN KAUM MISKIN
©
DI NOSU
Akan menguraikan hasil penelitian dan analisis terhadap hasil penelitian. Uraian dalam bab ini dimulai dengan gambaran umum tentang Gereja Toraja Mamasa dan Nosu sebagai tempat penelitian. Kemudian deskripsi tentang yayasan Parpem GTM dan konteks pelayanan yayasan Parpem di Nosu serta analisisnya, dilanjutkan dengan analisis terhadap yayasan Parpem dalam pemberdayaan masyarakat miskin di Nosu.
21 22
S. Nasution, Metode Research (Penelitian Ilmiah), (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), hlm. 143 S. Nasution, Metode Research, hlm. 93
14
BAB III: KOMUNITAS BASIS GEREJAWI YANG KONTEKSTUAL SEBAGAI ALTERNATIF PEMBERDAYAAN KAUM MISKIN DI NOSU Menguraikan bagaimana refleksi atas hasil dari bab II, yang dimulai dengan uraian gereja yang relevan dengan kaum miskin, dan bagaimana yayasan Parpem sebagai representasi GTM dalam memberdayakan dan membebaskan kaum miskin di Nosu. Dilanjutkan uraian
Komunitas
Basis
Gerejawi
sebagai
alternatif
W
dengan
pemberdayaan masyarakat miskin di Nosu.
KD
BAB IV: PENUTUP
©
U
Merupakan kesimpulan dan saran-saran
15