BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Hukum diciptakan guna memelihara hak-hak manusia dan tanggung jawab manusia, entah itu sifatnya individu maupun kolektif, sebagaimana tujuan dari hukum itu sendiri mengatur tata tertib masyarakat. Agar tujuan hukum dapat tercapai, maka hukum melahirkan norma-norma yang berisikan perintah dan larangan. Hukum merupakan salah satu dari empat macam norma yang terdapat pada kehidupan masyarakat. Keempat macam norma tersebut adalah: norma hukum, norma agama, norma kesopanan, dan norma kesusilaan. Hal yang membedakan norma hukum dari ketiga norma tersebut di atas adalah bahwa hukum memiliki sanksi yang tegas dan nyata terhadap para pelanggar. Inilah ciri khas dari hukum itu sendiri. Negara Indonesia merupakan negara yang berdasarkan pada hukum bukan negara kekuasaan dalam penerapan hukum harus ditempatkan pada tempat yang paling tinggi, dimana hukum dijadikan pedoman hidup dalam berbangsa dan bernegara. Setiap perubahan hukum harus sesuai dengan aturan-aturan yang ada tanpa terkecuali. Hukum adalah rule of the game bagi semua interaksi manusia dalam hidup berbangsa dan bernegara, agar masyarakat menghormati hukum, maka hukum itu harus berwibawa agar dapat dipatuhi oleh semua subyek hukum. Indonesia memberlakukan hukum pidana untuk menjamin terlaksananya perlindungan hukum kepada masyarakat secara umum, dimana dalam prakteknya hukum pidana mengacu kepada Kitab Undang-undang Hukum Pidana (yang
selanjutnya disebut KUHP). KUHP terdiri atas 3 (tiga) buku yakni buku kesatu tentang Ketentuan Umum, buku kedua mengenai Kejahatan dan buku ketiga mengatur perihal Pelanggaran. Menurut sistematika pada KUHP, tindak pidana dibagi atas kejahatan dan pelanggaran. Khusus mengenai pelanggaran, dalam hal ini merupakan perbuatan yang sifat melawan hukumnya baru dapat diketahui setelah adanya wet yang menentukan demikian, sehingga yang membedakan secara prinsip antara kejahatan dan pelanggaran pada KUHP kita adalah berat atau ringan pidananya1. Pada Pasal 10 KUHP ditentukan untuk pidana terdapat: a. Pidana pokok: 1. Pidana mati; 2. Pidana penjara; 3. Pidana kurungan; 4. Pidana denda; 5. Pidana tutupan. b. Pidana tambahan: 1. Pencabutan hak - hak tertentu; 2. Perampasan barang - barang tertentu; 3. Pengumuman putusan hakim.
Pada ketentuan Pasal 10 KUHP tersebut di atas terdapat pidana pokok berupa pidana denda. Pidana denda biasa diberikan kepada terpidana yang melakukan pelanggaran, karena sifatnya yang termasuk ke dalam tindak pidana ringan. Pidana denda adalah pemberian sejumlah uang tertentu sebagai ganti kerugian atas pelanggaran yang dilakukan. Pembayaran denda diatur pada Pasal 273 ayat (1) KUHP yakni jangka waktu 1 bulan setelah putusan pidana denda dan
1
Moelyatno, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana (Edisi Revisi), Rineka Cipta, Jakarta, h. 78.
dengan alasan kuat dapat diperpanjang hingga 1 bulan. Adapun keistimewaan pidana denda adalah: a) Ada kemungkinan dibayar orang lain b) Boleh diganti dengan pidana kurungan (pengganti denda, Pasal 30 ayat (2) KUHP)2 Salah satu bentuk tindak pidana yang dikenakan dengan pidana denda adalah tindak pidana terhadap pelanggaran lalu lintas. Delik-delik yang terdapat dalam perkara pelanggaran lalu lintas hanya bersifat ringan sehingga hakim lebih cederung menjatuhkan pidana denda kepada setiap pelanggar lalu lintas.3 Di Indonesia pengaturan tentang lalu lintas dan angkutan jalan secara nasional diatur di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (selanjutnya disebut UU LLAJ). Negara memiliki suatu kewajiban untuk melindungi warga negaranya sendiri bahkan dari dirinya sendiri. Dikatakan demikian karena merupakan sifat dasar manusia untuk bertindak sesuai dengan keinginannya walaupun hal tersebut dapat membahayakan keselamatan pribadi dan orang disekitarnya. Hal ini sangat dirasa dalam kenyamanan berlalu-lintas di jalan raya. Berkendara dengan aman dan tertib tentunya menjadi keharusan bagi setiap pengendara motor di jalan raya. Tindakan ini dapat mewujudkan kenyamanan dan keselamatan dalam berkendara, tidak hanya kepada mereka yang mengendarai transportasi namun juga bagi
2 Niniek Suparni, 2007, Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana Dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, h. 24. 3
Ibid.
penumpang dan pejalan kaki. Kecelakaan di Indonesia sebagian besar dikarenakan karena ketidakdisiplinan serta kecerobohan pengendara yang tidak mematuhi aturan safety riding sebagaimana yang telah diatur dalam UU LLAJ. Safety riding merupakan cara-cara ataupun pedoman bagi pengendara kendaraan bermotor dalam hal ini adalah sepeda motor yang aman dan nyaman, baik yang terkait dengan kelengkapan kendaraan hingga kesiapan pengendara saat berlalu lintas. Ada banyak pelanggaran safety riding yang ditemukan saat kita berlalu lintas yang seharusnya peraturan tersebut wajib ditaati oleh setiap pengendara. Adapun beberapa contoh kasusnya adalah sebagai berikut: a. Tidak memfungsikan dengan sengaja kelengkapan lampu sepeda motor, seperti lampu sein, lampu rem dam lampu depan. Hal seperti ini sangat membahayakan baik pengguna sepeda motor maupun pengendara di belakangnya. b. Pengendara yang tidak menggunakan helm dan membawa barang melebihi ukuran dari kendaraannya contohnya membawa tiang besi yang panjang seorang diri atau membawa karung dalam jumlah banyak diatas sepeda motor. c. Melakukan perubahan terhadap bentuk sepeda motor dengan melepas kelengkapan yang penting seperti kaca spion dan lampu sein. d. Dan masih banyak lagi. Pelanggaran ketentuan tersebut menurut ketentuan UU LLAJ dapat dikenai pidana kurungan hingga denda yang telah ditetapkan besarannya. Sanksi pidana
denda pada UU LLAJ ini bersifat khusus, dimana besarnya pidana denda pada UU LLAJ yang bervariasi mulai dari Rp.100.000.- hingga yang paling maksimum adalah Rp.50.000.000.-. Penerapan pidana denda terhadap pelanggaran safety riding dirasa masih belum maksimal jika melihat dari cukup tingginya angka pelanggaran terhadap ketentuan safety riding oleh pengendara sepeda motor. Penelitian mengambil tempat di Polres Buleleng, Singaraja. Buleleng dikenal sebagai salah satu kota pendidikan dikarenakan reputasi murid-muridnya yang membanggakan. Selain itu Buleleng juga dikenal sebagai pusat pengembangan pemerintahan di utara Bali, ditambah lagi dengan potensi wisata alam yang ada. Hal ini mendorong terjadinya mobilitas masyarakat dalam aktifitas sehari-hari yang membutuhkan sarana kendaraan seperti mobil atau motor. Berdasarkan Laporan Bulananan Polda Bali pada bulan Februari tahun 2015 dibandingkan dengan kabupaten lainnya di Bali, Polres Buleleng menempati peringkat kedua tingkat kerawanan kecelakaan lalu-lintas dengan jumlah kasus kecelakaan mencapai 34 kasus berada dibawah Polresta Denpasar.4 Hal ini tentunya mengisyaratkan Polres Buleleng harus menaruh perhatian yang serius di sektor pengamanan lalu-lintas, salah satunya dengan memaksimalkan penerapan aturan safety riding terhadap pengendara sepeda motor. Melihat cukup tingginya pelanggaran safety riding di wilayah Polres Buleleng dan besaran pidana denda yang dikenakan maka dapat dikaji suatu
4 Laporan Bulanan Polda Bali bulan Juni Tahun 2015, URL : http://www.humas.polri.go.id/informasi-publik/Documents/LAPORAN%20BULAN%20 DIREKT ORAT%20LALU%20LINTAS%20POLDA%20BALI%20BLN%20PEBRUARI%202015.pdf, diakses pada tanggal 10 Juli 2015.
permasalahan mengenai penerapan pidana denda terhadap pelanggaran safety riding di wilayah hukum Polres Buleleng dengan judul penelitian “Efektivitas Penerapan Pidana Denda dalam Pelanggaran Safety Riding ditinjau dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Studi kasus di Polres Buleleng)”. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, maka permasalahan yang relevan untuk diangkat dan dibahas di dalam penulisan hukum ini adalah sebagai berikut : a. Bagaimana efektivitas pidana denda terhadap kasus pelanggaran safety riding di wilayah hukum Polres Buleleng, Singaraja, Bali ? b. Faktor apa saja yang menjadi kendala dalam penerapan pidana denda terhadap pelanggaran safety riding di Polres Buleleng, Singaraja, Bali ?
1.3 Ruang Lingkup Masalah Pembatasan yang jelas dan tegas terhadap masalah merupakan hal yang sangat diperlukan agar tidak terjadi kekeliruan dalam pengertian. Pembatasan ruang lingkup masalah juga diperlukan agar permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini tidak melebar. Sebaliknya, tidak juga sempit agar bermanfaat sebagai pemahaman masalah dalam suatu penelitian hukum. Selain itu, agar terdapat kesesuaian antara pembahasan dan permasalahan. Maka permasalahan dalam penelitian ini berfokus mengenai pengaturan terkait ketentuan safety riding dalam UU LLAJ, berbagai hal dan faktor yang
menjadi kendala dalam penerapan pidana denda terhadap pelanggaran ketentuan safety riding di wilayah hukum Polres Buleleng, serta efektivitas dari penerapan pidana denda dalam menekan pelanggaran akan ketentuan safety riding di wilayah hukum Polres Buleleng, Singaraja, Bali. 1.4 Orisinalitas Skripsi ini merupakan karya tulis asli sehingga dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Untuk memperlihatkan orisinalitas skripsi ini maka dapat dilihat perbedannya dengan skripsi terdahulu yang sejenis, yaitu sebagai berikut : 1. Judul skripsi
: “PENERAPAN PIDANA DENDA DALAM
HUKUM PIDANA (STUDI PELANGGARAN LALU LINTAS DI MEDAN)” Penulis
: Ferdian Ade Cecar Tarigan
Tempat
: Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Tahun
: 2013
Rumusan Masalah
:
1) Bagaimana pandangan hukum pidana terhadap penerapan pidana denda pada pelanggaran lalu-lintas ? 2) Bagaimana penerapan pidana denda dalam pelanggaran lalu-lintas di Medan ? 3) Bagaimana analisa penerapan pidana denda dalam pelanggaran lalu-lintas dalam putusan tilang di Medan ?
2. Judul Skripsi
: “ EFEKTIVITAS SANKSI PIDANA DENDA
DALAM MENEKAN TINGKAT PELANGGARAN LALU LINTAS DI KABUPATEN SLEMAN’ Penulis
: Donny Yohanes H. Simanjuntak
Tempat
: Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Tahun
: 2009
Rumusan Masalah
:
Apakah pidana denda yang diatur dalam Undang-Undang No.14 Tahun 1992 dapat menekan tingkat pelanggaran lalu lintas di Kabupaten Sleman? 1.5 Tujuan Penelitian 1.5.1 Tujuan Umum Adapun tujuan umum dari penelitian ini menambah pengetahuan hukum pidana mengenai efektif atau tidaknya penerapan pidana denda terhadap para pelanggar aturan safety riding di wilayah hukum Polres Buleleng, Singaraja Bali.
1.5.2 Tujuan Khusus 1. Untuk mendeskripsikan dan menganalisis efektivitas dari penerapan pidana denda yang telah ditentukan dalam UU LLAJ terhadap pelanggaran safety riding di wilayah hukum Polres Buleleng. 2. Untuk mendeskripsikan dan menganalisis faktor yang menjadi penghambat dari penerapan pidana denda kepada pelanggar aturan safety riding di wilayah hukum Polres Buleleng.
1.6 Manfaat Penelitian 1.6.1 Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmiah bagi pengembangan ilmu hukum di bidang hukum pidana, khususnya terkait bagaimana efektivitas penerapan pidana denda terhadap pelanggaran aturan safety riding di Polres Buleleng sebagaimana yang diamanatkan dalam UU LLAJ. 1.6.2 Manfaat Praktis a. Sebagai bentuk nyata penelitian yang penulis lakukan untuk mendapatkan bahan informasi dalam menganalisa dan menemukan pemecahan terhadap efektivitas penerapan sanksi pidana denda terhadap pelanggaran safety riding di Polres Buleleng. b. Secara praktis manfaat penulisan ini bagi kepolisian ialah untuk memberi masukan serta saran-saran terkait penegakan hukum dalam hal kasus pelanggaran safety riding yang terjadi di wilayah Buleleng. 1.7 Landasan Teoritis 1.7.1 Teori Efektivitas Hukum Hukum pidana adalah hukum sanksi, sebab dengan bertumpu pada sanksi itulah hukum pidana di fungsikan untuk menjamin keamanan, ketertiban, dan keadilan. Dalam hal ini Simons mengatakan bahwa stelsel pidana merupakan bagian terpenting dari KUHP. Sebelumnya perlu diketahui terlebih dulu pengertian
dari hukum pidana. Hukum pidana adalah bagian dari hukum publik yang memuat/berisi ketentuan-ketentuan tentang: 1. Aturan umum hukum pidana dan (yang dikaitkan/berhubungan dengan) larangan melakukan perbuatan-perbuatan (aktif/positif maupun pasif/negatif) tertentu yang disertai dengan ancaman sanksi berupa pidana (straf) bagi yang melanggar larangan itu; 2. Syarat-syarat tertentu (kapankah) yang harus dipenuhi/harus ada bagi si pelanggar untuk dapat dijatuhkannya sanksi pidana yang diancamkan pada larangan perbuatan yang dilanggarnya; 3. Tindakan dan upaya-upaya yang boleh atau harus dilakukan negara melalui alat-alat perlengkapannya (misalnya Polisi, Jaksa, Hakim), terhadap yang disangka dan didakwa sebagai pelanggar hukum pidana dalam rangka usaha negara menentukan, menjatuhkan dan melaksanakan sanksi pidana terhadap dirinya, serta tindakan dan upaya-upaya yang boleh dan harus dilakukan oleh tersangka/terdakwa pelanggar hukum tersebut dalam usaha melindungi dan mempertahankan hak-haknya dari tindakan negara dalam upaya negara menegakkan hukum pidana tersebut.5 Sebelum membahas perihal jenis pidana yang dikenal dalam hukum pidana Indonesia, sebaiknya diketahui terlebih dahulu tentang apa yang sebenarnya dimaksud dengan pidana. Menurut Van Hamel arti dari pidana adalah suatu penderitaan yang bersifat khusus, yang telah dijatuhkan oleh kekuatan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama negara sebagai penanggung jawab dari ketertiban hukum umum bagi seorang pelanggar, yakni semata-mata karena orang tersebut telah melanggar suatu peraturan hukum yang harus ditegakkan oleh negara.6
5 Adami Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 2. 6 P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, 2012, Hukum Penitensier Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, h. 33.
Sementara menurut Simons, pidana diartikan sebagai suatu penderitaan yang oleh undang-undang pidana telah dikaitkan dengan pelanggaran terhadap suatu norma, yang dengan suatu putusan hakim telah dijatuhkan bagi seseorang yang bersalah.7 Rumusan perihal pidana di atas memberikan pengertian bahwa pidana sebenarnya hanya merupakan suatu penderitaan atau suatu alat belaka, bukan merupakan suatu tujuan. Hukum pidana memberikan sanksi yang bengis dan sangat memperkuat berlakunya norma-norma hukum yang sudah ada. Perlu diketahui sifat dari hukum adalah memaksa dan dapat dipaksakan, tetapi dalam hukum pidana paksaan itu harus disertai suatu siksaan atau penderitaan yang berupa hukuman.8 Setiap perbuatan negatif dalam masyarakat akan diatasi oleh masyarakat dengan berbagai macam cara, manakala cara-cara tersebut tidak juga mengendalikan perbuatan negatif itu maka baru digunakan “pidana” untuk menanggulanginya. Hal inilah yang dikatakan bahwa hukum pidana itu sebagai “ultimum remedium” atau dapat diartikan sebagai obat atau senjata yang paling akhir. Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia. Agar kepentingan manusia terlindungi,
7
8
Ibid, h. 34.
C.S.T Kansil, dan Christine S.T Kansil, 2007, Pokok-Pokok Hukum Pidana, Hukum Pidana untuk Tiap Orang. Cetakan kedua, PT Pradnya Paramita, Jakarta, h. 5.
hukum harus dilaksanakan. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, damai, tetapi dapat terjadi juga karena pelanggaran hukum. Dalam hal ini hukum yang dilanggar itu harus ditegakkan. Melalui penegakan hukum inilah hukum itu menjadi kenyataan. Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan yaitu kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan. Dalam menegakkan hukum harus ada kompromi antara ketiga unsur tersebut, maknanya ketiga unsur itu harus mendapat perhatian secara proporsional seimbang. Secara etimologi kata efektivitas berasal dari kata efektif dalam bahasa Inggris “effective” yang telah mengintervensi kedalam bahasa Indonesia dan memiliki makna “berhasil” dalam bahasa Belanda “effectief” memiliki makna “berhasil guna”. Sedangkan efektivitas hukum secara tata bahasa dapat diartikan sebagai keberhasil-gunaan hukum, dalam hal ini berkaitan dengan keberhasilan pelaksanaan hukum itu sendiri. L.J Van Apeldoorn, menyatakan bahwa efektivitas hukum berarti keberhasilan, kemajemukan atau kemujaraban hukum atau undangundang untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat secara damai. 9 Secara terminologi pakar hukum dan sosiologi hukum memberikan pendekatan tentang makna efektivitas sebuah hukum beragam, bergantung pada sudut pandang masingmasing. Soerjono Soekanto berbicara mengenai efektivitas suatu hukum ditentukan antara lain oleh taraf kepatuhan warga masyarakat terhadap hukum, termasuk para penegak hukumnya.10 Efektivitas hukum dilain pihak juga dipandang sebagai
9
Van Apeldoorn, 2005, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, h. 11.
10
Soerjono Soekanto, 1996, Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali Pers, Bandung, (selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto I), h. 62.
tercapainya tujuan hukum. Menurut Soerjono Soekanto, dalam ilmu sosial antara lain dalam sosiologi hukum, masalah kepatutan atau ketaatan hukum atau kepatuhan terhadap kaidah-kaidah hukum pada umumnya telah menjadi faktor yang pokok dalam menakar efektif tidaknya sesuatu yang ditetapkan dalam hal ini hukum.11 Efektivitas suatu peraturan harus terintegrasinya ketiga elemen hukum baik penegak hukum, subtansi hukum dan budaya hukum masyarakat, sehingga tidak terjadi ketimpangan antara das solen dan das sein. Hal ini sesuai dengan pendapat Lawrence M.Friedman yang mengemukakan bahwa dalam sesuai sistem hukum terdapat tiga unsur yaitu struktur, substansi dan kultur hukum.12 Struktur adalah keseluruhan institusi hukum beserta aparatnya, jadi termasuk didalamnya kepolisian dengan polisinya, kejaksaan dengan jaksanya, pengadilan dengan hakimnya. Substansi adalah keseluruhan aturan hukum termasuk asas hukum dan norma hukum, baik yang tertulis ataupun yang tidak tertulis termasuk putusan pengadilan. Kultur hukum diartikan sebagai kebiasaankebiasaan, opini-opini, cara bertindak dan cara berpikir. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum menurut Soerjono Soekanto, antara lain :13
11
Ibid, h. 20.
12
Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) & Teori Peradilan (Judicial Prudence) : Termasuk Interpretasi Undang-undang (LegisPrudence) Volume I Pemahaman Awal. Kencana, Jakarta, h. 225. 13
Soerjono Soekanto, 2005, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja Grafindo, Jakarta, (selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto II), h. 8.
1. Faktor hukumnya sendiri, yakni didalam tulisan ini akan dibatasi undangundang saja 2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum 3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum 4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan 5. Faktor kebudayaan, yakni sebgai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup Sebagai salah satu jenis stelsel pidana dalam Pasal 10 KUHP, pidana denda memiliki sifat menderitakan para pelaku pelanggaran hanya saja obyeknya berbeda dengan pidana lainnya. Apabila obyek dari pidana penjara dan kurungan adalah kemerdekaan orang dan obyek pidana mati adalah jiwa orang maka obyek dari pidana denda adalah harta benda si terpidana. Harta benda yang manakah yang dimaksudkan? Apabila kita perhatikan bunyi ketentuan KUHP maupun undangundang lain maka jelaslah bahwa harta benda yang dimaksud adalah berbentuk uang dan bukan dalam bentuk barang, baik yang bergerak maupun tidak bergerak. Sebagai salah satu jenis pidana denda, tentu saja pidana denda bukan dimaksudkan sekedar untuk tujuan-tujuan ekonomis misalnya untuk sekedar menambah pemasukan keuangan negara, melainkan harus dikaitkan dengan tujuan-tujuan pemidanaan.
Negara dalam menjatuhkan pidana haruslah menjamin kemerdekaan individu dan menjaga supaya pribadi manusia tetap dihormati. Oleh karena itu pemidanaan harus mempunyai tujuan dan fungsi yang dapat menjaga keseimbangan individu dengan kepentingan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan bersama. 1.7.2 Teori Pemidanaan Mengenai teori pemidanaan, pada umumnya dapat dikelompokkan dalam tiga golongan, yaitu teori absolut atau teori pembalasan, teori relatif atau teori tujuan, dan teori gabungan. a. Teori absolut atau teori pembalasan . Teori ini memberikan pernyataan bahwa penjatuhan pidana semata-mata karena seseorang telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana. Pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang telah melakukan kejahatan. Adapun yang menjadi dasar pembenarannya dari penjatuhan pidana itu terletak pada adanya kejahatan itu sendiri, oleh karena itu pidana mempunyai fungsi untuk menghilangkan kejahatan tersebut. Menurut teori ini, hukuman itu dijatuhkan sebagai pembalasan terhadap para pelaku karena telah melakukan kejahatan yang mengakibatkan kesengsaraan terhadap orang lain atau anggota masyarakat.14 b. Teori relatif atau teori tujuan Hugo de Groot dengan mengikuti pendapat dari Phitagoras, menuliskan bahwa kita tidak seharusnya menjatuhkan suatu pidana karena seseorang telah
14
h. 4.
Leden Marpaung, 2012, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Cet. VII, Sinar Grafika, Jakarta,
melakukan kejahatan, akan tetapi untuk mencegah supaya orang jangan melakukan kejahatan lagi15 Menurut teori ini penjatuhan pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai tetapi hanya sebagai sarana melindungi kepentingan masyarakat. Lebih lanjut teori ini menjelaskan bahwa tujuan dari penjatuhan pidana adalah sebagai berikut: a. Teori menakutkan yaitu tujuan dari pidana itu adalah untuk menakut-nakuti seseorang, sehingga tidak melakukan tindak pidana baik terhadap pelaku itu sendiri maupun terhadap masyarakat (preventif umum). b. Teori memperbaiki yaitu bahwa dengan menjatuhkan pidana akan mendidik para pelaku tindak pidana sehingga menjadi orang yang baik dalam masyarakat (preventif khusus)16 Sedangkan
prevensi
khusus,
dimaksudkan
bahwa
pidana
adalah
pembaharuan yang esensi dari pidana itu sendiri. Sedangkan fungsi perlindungan dalam teori memperbaiki dapat berupa pidana pencabutan kebebasan selama beberapa waktu. Dengan demikian masyarakat akan terhindar dari kejahatan yang akan terjadi. Oleh karena itu pemidanaan harus memberikan pendidikan dan bekal untuk tujuan kemasyarakatan. Selanjutnya Van Hamel yang mendukung teori prevensi khusus memberikan rincian sebagai berikut: a. Pemidanaan harus memuat suatu anasir yang menakutkan supaya si pelaku tidak melakukan niat buruk. b. Pemidanaan harus memuat suatu anasir yang memperbaiki bagi terpidana yang nantinya memerlukan suatu reclessering. c. Pemidanaan harus memuat suatu anasir membinasakan bagi penjahat yang sama sekali tidak dapat diperbaiki lagi 15
16
Djoko Prakoso, 1988, Hukum Penitensier di Indonesia, Armico, Bandung, h. 20. Roeslan Saleh, 1987, Stelsel Pidana Indonesia, Bina Aksara, Jakarta , h. 26.
d. Tujuan satu-satunya dari pemidanaan adalah mempertahankan tata tertib hukum17 Menurut pandangan modern, prevensi sebagai tujuan dari pidana adalah merupakan sasaran utama yang akan dicapai sebab itu tujuan pidana dimaksudkan untuk kepembinaan atau perawatan bagi terpidana, artinya dengan penjatuhan pidana itu terpidana harus dibina sehingga setelah selesai menjalani pidananya, ia akan menjadi orang yang lebih baik dari sebelum menjalani pidana18. c. Teori Gabungan Selain teori absolut dan teori relatif juga ada teori ketiga yang disebut teori gabungan. Teori ini muncul sebagai reaksi dari teori sebelumnya yang kurang dapat memuaskan menjawab mengenai tujuan dari pemidanaan. Tokoh utama yang mengajukan teori gabungan ini adalah Pellegrino Rossi. Teori ini berakar pada pemikiran yang bersifat kontradiktif antara teori absolut dengan teori relatif. Teori gabungan berusaha menjelaskan dan memberikan dasar pembenaran tentang pemidanaan dari berbagai sudut pandang yaitu: a. Dalam rangka menentukan benar dan atau tidaknya asas pembalasan, mensyaratkan agar setiap kesalahan harus dibalas dengan kesalahan, maka terhadap mereka telah meninjau tentang pentingnya suatu pidana dari sudut kebutuhan masyarakat dan asas kebenaran. b. Suatu tindak pidana menimbulkan hak bagi negara untuk menjatuhkan pidana dan pemidanaan merupakan suatu kewajiban apabila telah memiliki tujuan yang dikehendaki. c. Dasar pembenaran dari pidana terletak pada faktor tujuan yakni mempertahankan tertib hukum19
17
Djoko Prakoso, Op.cit, h. 23.
18
Djoko Prakoso, Loc.cit.
19
Muladi, 1985, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung, h. 19.
Lebih lanjut Rossi berpendapat bahwa pemidanaan merupakan pembalasan terhadap kesalahan yang telah dilakukan, sedangkan berat ringannya pemidanaan harus sesuai dengan justice absolute (keadilan yang mutlak) yang tidak melebihi justice sosial (keadilan yang dikehendaki oleh masyarakat), sedangkan tujuan yang hendak diraih berupa: a. Pemulihan ketertiban, b. Pencegahan terhadap niat untuk melakukan tindak pidana (general preventief), c. Perbaikan pribadi terpidana, d. Memberikan kepuasan moral kepada masyarakat sesuai rasa keadilan, e. Memberikan rasa aman bagi masyarakat Melihat teori tersebut pada dasarnya bahwa tujuan pemidanaan adalah: 1. Memperbaiki pribadi dari penjahatnya itu sendiri. 2. Membuat orang menjadi jera melakukan tindak pidana. 3. Membuat penjahat-penjahat tertentu menjadi tidak mampu untuk melakukan kejahatan-kejahatan lain, yakni penjahat-penjahat yang dengan cara lain sudah tidak dapat diperbaiki kembali20. Sehingga tujuan utama dari penjatuhan hukum pidana tidak lain adalah melindungi dan memelihara ketertiban hukum guna mempertahankan keamanan dan ketertiban masyarakat sebagai satu kesatuan. Hal inilah yang ingin dicapai dalam penjatuhan pidana dalam hal ini pidana denda dalam pelanggaran lalu lintas di jalan raya. Dengan demikian sangatlah perlu perilaku safety riding diaplikasikan dengan baik dan diawasi penerapannya oleh para penegak hukum mengingat hal ini masuk sebagai program nasional pemerintah yang wajib didukung.
20
Tolib Setiady, 2010, Pokok-Pokok Hukum Penitensier Indonesia, Alfabeta, Bandung, h. 31.
I.8 Metode Penelitian Di dalam melaksanakan penelitian diperlukan data yang konkret untuk bagian pembahasan. Maka diperlukan cara kerja atau metode untuk mencapai tujuan dalam penulisan hukum. Adapan metode penelitian yang digunakan dalam penulisan hukum ini adalah : I.8.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum Empiris, dimaksudkan hukum dikonsepkan sebagai suatu gejala empiris yang dapat diamati dalam kehidupan nyata.21 Pendekatan yuridis artinya mendekati permasalahan dari segi hukum yakni berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, pendapat para sarjana atau doktrin. Sementara empiris yaitu melihat fakta-fakta yang terjadi di masyarakat berkaitan dengan penulisan hukum ini. Sehingga obyek dari penelitian adalah hukum sebagai gejala sosial di dalam perilaku masyarakat. I.8.2 Jenis Pendekatan Jenis pendekatan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan (statue approach) pendekatan kasus (the case approach) dan pendekatan fakta (the fact approach). Pendekatan perundangundangan dilakukan dengan menelaah peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penelitian ini, kemudian dikaitkan dengan permasalahan yang akan di bahas. Pendekatan kasus (the case approach) dilakukan dengan melihat
21
Peter Mahmud Marzuki, 2011, Penelitian Hukum, Edisi Pertama, Cet.VII, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 119.
banyaknya kasus pelanggaran safety riding di wilayah Buleleng dan dasar penegak hukum dalam menjatuhkan hukuman yang tepat bagi pelanggar22. Dalam hal ini penulis melakukan pengkajian terhadap kasus-kasus yang berhubungan dengan pidana denda dan pelanggaran safety riding. Pendekatan fakta (the fact approach) bertujuan mempelajari secara mendalam mengenai keadaan kehidupan sekarang dalam keadaan nyata yang terjadi di wilayah hukum Polres Buleleng. I.8.3 Sifat Penelitian Sifat penelitian yaitu deskriptif yakni penelitian secara umum termasuk pula didalamnya ilmu hukum, bertujuan untuk memberikan gambaran serta pemaparan terkait dengan ada tidaknya hubungan antar suatu gejala lain dalam penerapan pidana denda terhadap pelanggaran safety riding di Polres Buleleng. I.8.4 Data dan Sumber Data Pada penulisan dan penelitian ini, adapun data yang digunakan adalah bersumber dari: 1. Data primer adalah data yang didapat dari penelitian lapangan, yang mana merupakan suatu data yang diperoleh langsung dari observasi di lapangan secara langsung dan melakukan wawancara dengan pihak-pihak yang terkait dengan hal yang terjadi di wilayah hukum Buleleng terkait pelanggaran safety riding. 2.
Data sekunder, yaitu suatu data yang bersumber dari penelitian kepustakaan, dimana data tersebut tidak diperoleh secara langsung dari
22
Ibid.
sumber pertamanya, melainkan bersumber dari data-data yang sudah terdokumenkan. I.8.5 Teknik Pengumpulan Data Dalam penulisan dan penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data yakni: 1.
Studi Kepustakaan: Data kepustakaan dikumpulkan dengan cara membaca, mencatat, mempelajari dan menganalisa isi pustaka yang berkaitan dengan masalah objek penelitian. Penulis mempelajari dokumen dan arsip yang berhubungan dengan masalah objek penelitian yaitu pidana denda serta ketentuan-ketentuan safety riding.
2.
Wawancara (Interview): Data ini diperoleh dari pihak Polres Buleleng dengan menggunakan daftar pertanyaan.
3.
Pengamatan/observasi langsung: Teknik observasi langsung adalah teknik pengumpulan data di mana peneliti mengadakan pengamatan secara langsung. Observasi ini dilakukan wilayah hukum Polres Buleleng.
I.8.6 Teknik Penentuan Sampel Penelitian Teknik penentuan sampel penelitian dalam penelitian ini adalah dengan teknik non probability sampling khususnya dengan menggunakan teknik purposive sampling yakni sampel penelitian ditentukan sendiri oleh si peneliti dengan mencari key information (informasi kunci) ataupun responden kecil yang dianggap mengetahui tentang penelitian yang sedang dilakukan oleh peneliti. I.8.7 Pengolahan dan Analisis Data
Proses pengolahan dan analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif dimana data yang diperoleh tersebut diolah menjadi rangkaian kata-kata yang bersifat monografis atau berwujud kasus-kasus tidak di susun kedalam struktur klasifikasi. Sehingga sampel lebih kepada non probabilitis dan pengumpulan data dengan menggunakan pedoman wawancana dan observasi ke lapangan. Data primer maupun data sekunder yang kemudian di susun secara sistematis. Penelitian analisis kualitatif atau sering disebut dengan analisis deskriptif kualitatif maka keseluruhan data yang terkumpul baik dari data primer maupun data sekunder akan diolah dan dianalisis dengan cara disusun secara sistematis, dihubungkan antara satu data dengan yang lainnya, dilakukan interpretasi untuk memahami makna data di lapangan serta dilakukan penafsiran dari perspektif peneliti setelah memahami keseluruhan kualitas data.