BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Bahasa adalah wahana komunikasi yang memungkinkan manusia saling menyampaikan gagasan, mengungkapkan perasaan, atau menjelaskan sesuatu. Pada awalnya, pemakaian bahasa adalah melalui komunikasi lisan tetapi kemudian penggunaan bahasa itu berkembang sejalan dengan dikembangkannya sistem tulisan. Dengan adanya tulisan, maka pesan yang ingin disampaikan oleh seorang penutur kemudian dapat direproduksi sampai tak terhingga serta dapat ditangkap oleh jumlah audiens yang tak terhingga pula. Tuturan-tuturan yang semula ada dalam fikiran dan dilisankan oleh penutur, baik oleh dan dari dirinya sendiri maupun untuk pendengar yang terbatas, kemudian dapat dituliskan. Wujud tulis dari tuturan itu akhirnya menjangkau audiens yang lebih luas dan menggunakan bentuk yang lebih bervariasi. Sejalan dengan itu, proses komunikasi massa yang merupakan interaksi antarindividu dalam masyarakat semakin berkembang dengan munculnya mediamedia baru. Selain kertas dan buku cetak sebagai media utama proses komunikasi massa ini, perkembangan media elektronik berupa radio, televisi, dan internet telah ikut mendorong perkembangan termasuk cara berkomunikasi. Banyak orang lalu menggunakan media itu serta terlibat dalam komunikasi massa yang bahkan lebih luas lagi jangkauannya. Terlepas dari perkembangan di bidang komunikasi yang memanfaatkan media massa tersebut, suatu bentuk komunikasi yang lebih bercorak tradisional
1
2
ternyata tetap ada dan masih berlangsung. Bentuk komunikasi yang dimaksudkan adalah komunikasi yang memanfaatkan ruang-ruang publik (yang ada secara fisik) untuk melakukan komunikasi massa. Demikianlah, sampai hari ini masyarakat dapat melihat iklan, pesan-pesan, maupun pendapat melalui baliho, spanduk, bahkan pada dinding-dinding bangunan. Di antara jenis komunikasi massa ini, yang cukup menarik diamati adalah grafiti. Sebagaimana diketahui, grafiti telah lama digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan seseorang atau sekelompok orang kepada audiensnya. Hingga saat ini di Yogyakarta masih dapat dijumpai grafiti yang dituliskan pada tembok-tembok bangunan, baik bangunan umum maupun milik pribadi. Umumnya grafiti itu berupa pesan rahasia, penanda teritori (atau minimal penanda kehadiran) suatu kelompok (geng) di wilayah tertentu (Westerman, 2000: 177). Grafiti ini dapat dikatakan lebih bersifat tertutup karena hanya dapat dipahami oleh kelompok penutur yang sangat terbatas dan orang-orang tertentu. Ini adalah jenis grafiti yang paling banyak ditemukan di kota-kota, sebagaimana diberikan dalam contoh (1) dan (2) berikut: (1) QZR (2) MBUT Kedua grafiti itu dituliskan menggunakan cat semprot dan umumnya dituliskan di tempat-tempat yang mudah dilihat orang. Namun demikian, hanya orang-orang yang dekat dan bersinggungan dengan kelompok tersebut yang mengetahui isi dan maksud pesan yang dituliskan dalam grafiti tersebut. Oemarjati (1978) pernah mengaitkan grafiti jenis ini dengan pemakaian bahasa oleh kelompok remaja, dan
3
menyatakan bahwa bentuk maupun arti grafiti jenis ini akan dapat difahami dengan melihat kecenderungan pemakaian bahasa oleh remaja dengan memanfaatkan bahan-bahan berupa novel-novel pop maupun majalah remaja yang sedang digemari. Ada pula grafiti yang sifatnya lebih terbuka karena isinya dapat difahami oleh siapa saja yang menjadi anggota komunitas tutur bahasa yang bersangkutan, atau mempelajari bahasa tersebut. Tujuan grafiti ini biasanya lebih bersifat politis dan praktis dengan maksud menyampaikan pesan dan mempengaruhi orang lain. Perhatikan contoh (3) dan (4) berikut: (3) ADILI SUHARTO (4) TURUNKAN HARGA Grafiti (3) dituliskan di tembok-tembok pada sekitar tahun 1998 hingga beberapa tahun sesudahnya untuk menyampaikan pesan sekaligus mempengaruhi audiens bahwa Suharto, mantan presiden RI, harus diadili. Audiens dari grafiti ini diandaikan sudah memahami mengapa. Karena sifatnya yang bernas, grafiti tidak merinci alasan-alasan bagi pernyataan itu melainkan hanya mencantumkan diktumnya. Demikian juga dengan tuntutan sebagaimana dinyatakan melalui grafiti (4), yang dalam sejarah Indonesia modern telah sering digunakan sebagai salah satu propaganda untuk menunjukkan kegagalan pemerintah (baik masa Orde Lama, Orde Baru, maupun Era Reformasi) dalam mengelola ekonomi yang berakibat pada tingginya inflasi dan terus naiknya harga-harga kebutuhan pokok. Di antara jenis-jenis grafiti yang banyak dijumpai dalam masyarakat Indonesia, grafiti truk adalah jenis grafiti terbuka yang isinya dapat difahami oleh
4
hampir setiap anggota masyarakat penutur. Grafiti (5) dan (6) berikut adalah contohnya: (5) ANAK SINGKONG (6) LARE GUNUNG
‘anak dari daerah (pe)gunung(an)’
Secara umum, grafiti truk mempunyai beberapa kekhasan. Pertama, grafiti merupakan satu jenis tuturan yang telah dituliskan dan, berbeda dengan grafiti yang ada di tempat publik maupun di toilet (latrinalia), grafiti bersifat sepihak (monodirectional) karena tidak mungkin bagi audiens untuk merespons balik secara langsung terhadap penutur. Hal ini lebih dipertegas lagi dengan kenyataan bahwa sementara grafiti toilet dan grafiti di tempat publik menempati ruang yang sebagian besar milik publik, grafiti truk menempel di kendaraan yang merupakan aset perorangan. Kehasan grafiti truk yang kedua, karena sifatnya yang sepihak itu, maka penutur grafiti (dalam hal ini disebut sebagai penulis atau pencipta grafiti) memainkan peranan yang sangat menonjol. Ketiga, karena sifat mobilitasnya secara fisik, grafiti truk ini dapat menjangkau audiens yang sangat luas dibandingkan dengan grafiti jenis lain pada media tidak bergerak (misalnya, tembok) sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Umumnya terdapat dua asumsi yang dapat digunakan sebagai titik tolak pembahasan grafiti truk. Asumsi pertama menyangkut bentuk grafiti truk. Karena keterbatasan tempat, grafiti truk akan menggunakan pilihan kata dan struktur gramatikal sehemat mungkin untuk menyampaikan pesan (misalnya frase), sebagaimana pada contoh (5) dan (6) di atas. Asumsi kedua banyak terkait dengan isi grafiti truk. Pada umumnya, awak angkutan dan segala pihak yang terlibat
5
langsung di dalamnya (penjual bensin, penjual rokok, bengkel, dan lain-lain) terdiri dari orang-orang dengan lapisan sosial bawah. Lapisan ini umumnya memiliki pendidikan yang kurang. Selain itu, awak angkutan dan dunia angkutan ini didominasi oleh laki-laki. Anggapan seperti ini berimplikasi pada asumsi lebih lanjut mengenai penggunaan bahasa di kalangan kelompok sosial tersebut. Dari asumsi ini, grafiti sebagaimana contoh (7) dan (8) akan difahami sebagai ekspresi kebahasaan kelas sosial bawah, yang didominasi oleh tuturan laki-laki, yang konteks sosial (referensi)nya mengarah kepada perempuan. (7) ISTRI IDAMAN (8) KEMBANG DESA LAYU NANG KOTA ‘bunga desa layu di kota’ Dua asumsi itu memunculkan beberapa permasalahan. Misalnya, pada kenyataannya ditemukan grafiti-grafiti dengan struktur kalimat yang lengkap dengan pilihan kata yang variatif seperti pada contoh (9) dan (10) berikut: (9) AKU PERGI KARENA TUGAS (10) CINTAMU TAK SEMURNI BENSINKU Kalau diperhatikan lebih jauh, pada contoh (8) dapat diketahui adanya campur kode bahasa Indonesia (layu dan kota) dan Jawa (nang). Bila Kembang Desa dapat sama-sama dipahami sebagai bahasa Indonesia dan bahasa Jawa sekaligus, karena dapat diucapkan [kəәmbaŋ desa] maupun [kəәmbaŋ desɔ], maka ada dua kata saja yang dapat dikatakan bercampur dengan kode bahasa Jawa, yaitu layu dan kota. Bila diungkapkan dalam bahasa Jawa secara utuh, maka grafiti itu akan berbunyi ”Kembang Desa Alum nang Kutha” (cetak tebal dari peneliti).
6
Selain itu, dari pengamatan sementara ditemukan juga tuturan-tuturan yang sepenuhnya merupakan bahasa asing yang dipandang lebih merupakan bahasa masyakarat lapisan sosial menengah, seperti contoh (11). (11) STREET FIGHTER
’pejuang jalanan’
Dalam ranah pergerakan sosial, street fighter merupakan istilah yang merujuk pada penyampaian aspirasi tidak melalui saluran demokratis konvensional melainkan melalui turun ke jalan (demonstrasi), dengan tujuan perubahan kebijakan pemerintah di bidang tertentu. Dimungkinkan, grafiti sebagaimana contoh (11) itu merupakan imitasi dari judul film Street Fighter yang pernah populer pada tahun 1980-an. Lalu mengapa tuturan berbau bahasa asing itu dipakai sebagai grafiti? Barangkali, oleh para penulis grafiti, tuturan itu dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa awak angkutan itu adalah ’orang-orang yang memperjuangkan nasib (untuk bertahan hidup) di jalan’. Contoh lain dari grafiti pada truk yang menggunakan kata-kata dalam bahasa asing (dalam hal ini Bahasa Inggris) dapat disajikan pada gambar berikut:
Gambar 1.1 Contoh graffiti truk dengan bahasa Inggris
7
(12) DONT’ RICH PEOPLE DIFFICULT Sepintas, grafiti (12) di atas memang terlihat berbahasa Inggris, atau setidaknya menggunakan kata-kata dari Bahasa Inggris, namun bila dicermati lebih lanjut, kata-kata dalam grafiti itu tidak bermakna apa-apa selain sekumpulan kata yang disatukan oleh media berupa bak truk. Dalam bahasa aslinya pun, grafti itu tidak gramatikal. Grafiti itu baru akan dapat ditransformasikan menjadi tuturan yang bermakna bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia kata per kata secara apa adanya, dan kemudian dirangkai untuk membentuk ungkapan baru yang memiliki makna dalam bahasa Indonesia sebagai berikut. dont’ rich people difficult
(maksudnya: don’t) ‘jangan’ ‘kaya’ ‘orang’ ‘sulit’
Pada lapis ini, kita baru bisa mendapatkan pesan dari grafiti truk itu secara samar-samar karena kemudian tuturan bahasa Indonesia yang diperoleh adalah “Jangan kaya orang sulit”. Maksud si penulis grafiti baru akan dapat ditangkap bila lapis pertama ini dicermati lebih jauh hingga sampai ke lapis berikutnya. Pencermatan ini, antara lain adalah dengan mengaitkan kata kaya dalam tuturan ini sebagai bentuk informal dari kata seperti (misalnya, dalam tuturan: kaya gitu aja kok dipikirin ‘soal seperti itu saja kok dipikirkan’), dan mengaitkan kata sulit dengan sinonimnya, misalnya dengan kata susah. Dengan demikian, maksud si penulis grafiti truk itu kurang lebih “Jangan [bersikap] seperti orang susah.” Lalu mengapa grafiti ini dikemas seolah-oleh menggunakan bahasa Inggris? Adakah tujuan lain yang diharapkan oleh penulis grafiti?
8
Selain itu, bila dunia laki-laki dipandang dominan dalam pertuturan grafiti truk, dengan perempuan sebagai referensi dominan, mengapa muncul grafiti yang referensinya bukan semata-mata perempuan, sebagaimana contoh (13) dan (14) berikut? (13) TITIPAN ILAHI (14) DOA MAMA Selanjutnya, bila laki-laki itu dominan dalam pertuturan grafiti truk, maka fungsi grafiti yang erat terkait dengan fungsi tuturan laki-laki di ruang publik sebagaimana diwakili grafiti (8) dan (10) adalah untuk mengejek. Selain itu, grafiti (9) dan (11) adalah untuk menegaskan identitas diri (self-affirmation). Akan tetapi, fungsi grafiti sebagaimana pada contoh (15) berikut tentu bukan untuk mengejek maupun menyatakan self-affirmation. Dengan kata lain, ada fungsi-fungsi lain dari grafiti truk. (15) SEBATAS PANDANG Selain itu, asumsi (yang cenderung merupakan stereotip bagi awak angkutan dan orang-orang yang bersinggungan secara langsung dengan dunia itu) bahwa mereka itu merupakan kelas sosial yang kurang berpendidikan sebagaimana telah disinggung di atas juga memunculkan implikasi lain, terutama dalam hal gaya bahasa. Asumsi bahwa kurang berpendidikan identik dengan ketidakmampuan menggunakan bahasa bergaya putis tentu saja tidak akan terbukti bila kita perhatikan contoh (16) dan (17) berikut: (16) BERLIKU JALAN MENUJU HATIMU (17) TANSAH TAK ELING ESEMMU
‘selalu kuingat senyummu’
9
Grafiti (16) dan (17) jelas merupakan contoh penggunaan bahasa bergenre sastra (bahasa puitis) yang menolak asumsi di atas. Metafora bagi susahnya proses yang dilalui untuk mendekati hati seseorang yang disukai dengan sangat puitis dan klop berhasil disampaikan oleh grafiti (16) melalui bahasa yang telah sangat diakrabi oleh para awak angkutan, yaitu jalan, berliku, dan hatimu yang dapat diibaratkan sebagai sebuah tujuan perjalanan. Sementara itu, grafiti (17) yang menggunakan ungkapan bahasa Jawa memanfaatkan leksikon yang bercorak formal dan sastra tansah ‘selalu’ serta menggunakan bentuk pasif yang membuat gambaran mengingat senyum itu menjadi lebih kuat. Lebih jauh, inversi dalam grafiti (16) dan (17) itu juga berfungsi dengan baik dalam menguatkan gaya bahasa puitis ini. Dari temuan-temuan pendahuluan di atas, dapat dikatakan bahwa grafiti truk merupakan persoalan yang cukup kompleks, baik mengenai bentuknya, acuannya, maupun fungsinya. Penelitian linguistik terhadap grafiti truk dapat dipandang sebagai salah satu langkah untuk memahami fenomena grafiti truk. Dengan demikian, signifikansi penelitian ini telah terjawab.
1.2 Ruang Lingkup Sebagaimana akan dijelaskan pada subbab Kerangka Teori, yang dimaksud dengan grafiti truk dalam penelitian ini adalah coretan kata atau lambang pada bak truk. Grafiti truk paling banyak dituliskan di bagian bak (pada bagian samping atau bagian belakang) dan pada kèpèt (bhs. Inggris mudflap, splash guard), baik yang sifatnya bawaan maupun tambahan. Meski dalam
10
populasi yang terbatas, ada juga graffiti truk yang dituliskan di bagian depan, baik di kaca depan bagian atas maupun di antara lampu depan. Grafiti truk ini dibedakan dengan tulisan-tulisan lain yang ada pada truk, yang merupakan nama perusahaan, nama truk, atau nama paguyuban para awak angkutan. Lazimnya pada masyarakat Indonesia, pemberian nama ini tidak khusus diperuntukkan bagi perusahaan tetapi dapat juga diperuntukkan bagi satu atau dua unit kendaraan saja. Tulisan yang berupa nama itu pada umumnya memiliki standar penulisan yang sama (letak, tipografi atau jenis huruf, maupun warna). Dari hasil observasi diketahui bahwa tulisan-tulisan pada truk yang memiliki corak penulisan sama serta dengan isi yang sama tidak dapat diklasifikasikan sebagai grafiti melainkan nama. Sebagaimana akan dijelaskan, verifikasi melalui wawancara dengan awak angkutan dan pemilik truk akan mendukung hasil observasi tersebut.
1.3 Rumusan Masalah Dari pemaparan itu, maka sekurang-kurangnya ada tiga masalah berikut: 1). Apa saja bentuk-bentuk grafiti truk? Adakah gaya bahasa tertentu dalam graffiti truk? Apa strategi yang dilakukan pencipta graffiti untuk menyiasati keterbatasan ruang dalam graffiti truk? 2). Apa saja referensi (konteks sosial) grafiti truk? Apa saja referensi yang paling banyak dijumpai? 3). Apa saja fungsi grafiti truk dalam konteks komunikasi sosial pada masyarakat Indonesia?
11
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan mendeskripsiskan grafiti truk dari sudut pandang sosiolinguistik dengan memfokuskan pada bentuk, referensi, dan fungsi grafiti truk. Secara rinci, penelitian ini bertujuan untuk: 1). Mendeskripsikan bentuk-bentuk grafiti truk dan mengidentifikasi bentukbentuk grafiti truk yang paling umum. Masih terkait dengan analisis bentuk, penelitian ini juga akan mendeskripsikan strategi pemadatan unsur-unsur sitaktis pada graffiti truk. 2). Menjelaskan referensi (konteks sosial) grafiti truk 3). Menjelaskan fungsi grafiti truk dalam komunikasi verbal pada masyarakat bahasa Indonesia Penelitian ini diharapkan akan dapat memberikan sumbangan terhadap studi sosiolinguistik mengenai bahasa yang dipergunakan oleh masyarakat tutur tertentu (awak angkutan, pemilik armada, dan pencipta grafiti). Dalam skala yang lebih luas, penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi bagi dilakukannya studi lebih lanjut demi perkembangan ilmu pengetahuan, terutama di bidang cultural studies yang menjadikan bahasa dan komunikasi sosial sebagai kajiannya.
1.5 Tinjauan Pustaka Sejauh ini sekurang-kurangnya telah ada tujuh pembahasan tentang grafiti di Indonesia, empat di antaranya dari pendekatan linguistik, dan dua dari empat kajian yang disebutkan terakhir itu secara khusus berkaitan dengan grafiti truk. Salah satu pembahasan itu dilakukan Hooker (1995) yang meneliti grafiti sebagai
12
bagian dari seni rupa. Dalam studinya ini, Hooker mengkaji format-format dan ungkapan-ungkapan dalam karya seni (terutama seni rupa) yang berkembang selama masa Orde Baru. Hooker menyebutkan grafiti sebagai salah satu seni perlawanan terhadap kemapanan kekuasaan yang didominasi oleh nalar Jawa yang telah dimanipulasi sedemikian rupa sehingga kekuasaan di permukaan tampak sangat santun tetapi sesungguhnya memiliki potensi penindasan yang sangat mengerikan. Kajian Hooker ini dilakukan setelah mengamati fenomena grafiti para seniman di Yogyakarta pada kurun 1980-1990. Serupa dengan itu, Berman (1999) telah mengkaji grafiti pada dindingdinding di kota Yogyakarta sebagai bagian dari politik jalanan selama Orde Baru hingga awal-awal Masa Reformasi. Tidak seperti Hooker (1995), Berman memandang grafiti di tembok-tembok kota bukan saja didominasi oleh rakyat melainkan juga dipergunakan oleh penguasa dan partai politik untuk propaganda. Di satu sisi, rakyat menyampaikan protesnya kepada penguasa, mengeluhkan keadaan yang mereka alami, atau semata-mata mengajak orang lain melakukan sesuatu. Di sisi lain, penguasa atau partai politik juga memanfaatkan politik jalanan itu sebagai media untuk menyampaikan pesan-pesan politiknya. Media yang dipergunakan itu dapat berupa poster, spanduk, dan bahkan grafiti. Selain itu, secara lebih khusus Wicandra (2007) melakukan penelitian terhadap ilustrasi yang menyertai graffiti truk dari sisi gender. Wicandra mengamati bahwa perempuan merupakan figure yang paling banyak terdapat dalam ilustrasi graffiti truk. Representasi perempuan dalam ilustrasi graffiti truk itu dapat dibedakan menjadi empat, yang dapat dinyatakan sebagai representasi
13
biologis, representasi religious, representasi amoralitas, dan representasi sensual. Dalam penlitian itu disimpulkan bahwa representasi perempuan dalam graffiti truk merupakan representasi sosial pada posisi subordinatif dan bias gender. Penelitian terhadap grafiti di Jakarta dan Bandung dari tinjuan lingusitik pernah dilakukan oleh Oemarjati (1978) sebagaimana telah disinggung di depan. Penelitian itu berfokus pada grafiti sebagai “corat-coret pada dinding, pagar, tempat sampah, dan lain sebagainya” dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa oleh remaja (Oemarjati, 1978: 2). Dalam penelitian itu, Oemarjati mendapati bahwa grafiti dan pemakaian bahasa oleh remaja yang tidak dapat dipahami oleh masyarakat itu sesungguhnya memiliki bentuk-bentuk dan arti yang jelas bila kita mengaitkannya dengan novel pop dan majalah remaja. Penelitian tentang grafiti di Yogyakarta pernah dilakukan oleh Admunarni (2008). Penelitian tersebut menggunakan tinjauan sosiopragmatis, terutama jenis tindak tutur dan fungsi sosiokultural grafiti. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa tindak ilokusi dalam wacana grafiti dapat digolongkan menjadi enam, di antaranya ajakan, anjuran, peringatan, kritikan, permintaan dan penolakan, dengan ajakan dan anjuran sebagai ilokusi yang paling dominan. Penelitian ini juga mencatat bahwa grafiti di Yogyakarta memiliki fungsi sosiokultural antara lain sebagai wujud ekspresi gaya hidup, sarana untuk menyampaikan pesan moral, dan sindiran terhadap pola perilaku tertentu. Namun demikian dapat dikatakan bahwa fungsi grafiti ini kurang dielaborasi dan tidak dilandasi teori dan konteks sosial yang memadai.
14
Secara lebih khusus, Busthomi (2007) melakukan survey pendahuluan terhadap berbagai kajian awal tentang grafiti secara umum dan, dalam porsi yang cukup terbatas dan dengan data yang tidak banyak, membahas secara singkat grafiti truk di kota Malang. Dalam kesimpulannya, Busthomi menunjukkan bahwa kajian tentang grafiti di Indonesia belum banyak dilakukan dan bahwa beberapa kajian penting tentang grafiti yang dilakukan oleh sekalangan peneliti seperti Szwergold (1994), Best (2003), Moonwomon (1995), dan Adams & Winter (1997) terhadap grafiti di beberapa negara tidak serta-merta dapat diterapkan untuk mengkaji fenomena grafiti truk di Indonesia. Penelitian Hanifah (2011) tentang wacana grafiti di truk dari segi sosiopragmatis merupakan studi awal yang cukup penting dan bersinggungan secara langsung dengan penelitian ini. Dengan mengambil data dari grafiti truk di Yogyakarta dan Cirebon (32 buah), ditambah data dari internet (102 buah), skripsi ini didahului dengan deskripsi singkat mengenai bentuk-bentuk lingual grafiti truk (kata, frase, kalimat, dan klausa) yang disajikan dalam tabel dengan disertai deskripsi singkat dari masing-masing bentuk kebahasaan. Unsur pragmatis yang dibahas dalam skripsi ini meliputi tindak tutur yang berdasarkan fungsi (lokusi, ilokusi, dan perlokusi), berdasarkan modus kalimat (langsung dan tak langsung), serta berdasarkan prinsip kerjasama dan penyimpangannya (maksim-maksim). Sementara itu, komponen tutur Hymes (1972) dipakai untuk memetakan faktorfaktor yang mempengaruhi wacana grafiti pada truk. Dari tinjauan terhadap keseluruhan
penelitian yang pernah dilakukan
sebelumnya, tampak bahwa hingga saat ini penelitian linguistik tentang grafiti
15
truk dengan fokus penelitian pada konteks sosiologis dan fungsi sosial grafiti truk secara lebih mendalam belum dilakukan. Selain itu, dengan menggunakan data yang lebih luas, verifikasi data yang ketat dan pemakaian kerangka teori yang berbeda untuk menganalisis grafiti truk, dapat dikatakan penelitian ini berusaha mendeskripsikan grafiti dari segi-segi yang belum dibicarakan secara memadai.
1.6 Kerangka Teori Penelitian
ini
akan
menelaah
grafiti
truk
dari
sudut
pandang
sosiolinguistik. Oleh karena itu, beberapa teori yang dipergunakan sebagai kerangka analisis dalam penelitian ini perlu dikemukakan. Meskipun istilah grafiti sudah sering dibicarakan orang, tetapi kata grafiti itu sendiri belum masuk dalam kamus bahasa Indonesia, sehingga dapat dikatakan belum ada definisi yang pasti. Baik Kamus Umum Bahasa Indonesia (Badudu dan Zain, 1994) maupun Kamus Besar Bahasa Indonesia (Tim Penyusun Kamus PPPB Depdikbud, 1990) yang ada pada peneliti belum mencantumkan lema grafiti. Akan tetapi hampir dapat dipastikan bahwa istilah grafiti dalam bahasa Indonesia adalah serapan dari bahasa asing (bahasa Inggris) graffiti. Menurut Webster’s New World College Dictionary (1996: 585), grafiti adalah tulisan, slogan atau gambar yang dicoretkan atau digambar pada dinding, atau tempat umum, atau media, yang mudah dilihat banyak orang. Definisi ini setidaknya mengandung tiga batasan grafiti yang penting. Pertama, wujud grafiti dapat berupa tulisan, slogan atau gambar. Kedua, media grafiti dapat berupa dinding, tempat umum, atau media lain. Ketiga, grafiti itu harus dituliskan di
16
tempat yang dapat dengan mudah terlihat oleh banyak orang (dalam kamus ini dikatakan public surface). Definisi yang diberikan oleh Webster Comprehensive Dictionary menegaskan lagi aspek tempat yang mudah dilihat ini dengan menyebutkan grafiti dituliskan pada exposed surface. Dari kedua kamus ini dapat disimpulkan bahwa grafiti pertama-tama dimaksudkan agar dilihat orang. Sagarin (2006, 142) mengemukakan bahwa grafiti itu dapat berupa kata atau lambang hingga puisi pendek. Ketika tengah berlangsung sebuah proses perubahan sosial politik, grafiti kerap dipergunakan untuk menyatakan dukungan kepada suatu partai atau menyatakan oposisi terhadap pemerintah. Contoh penggunaan grafiti secara politis ini dapat ditemukan dalam analisis Hooker (1995) dan Berman (1999) sebagaimana dijelaskan di atas. Wikipedia menambahkan definisi grafiti sebagai tulisan yang dibuat pada tempat atau media yang bukan merupakan milik sang penulis/penggambar. Dengan demikian, definisi ini mengandaikan adanya pencipta grafiti (graffiti writer) yang tidak memiliki sendiri media tempat ia mencoretkan grafiti sebagaimana pelukis pada umumnya. Karena itu, pengertian tentang grafiti itu berlaku pada istilah grafiti truk, yang wujudnya berupa tulisan, slogan dan/atau gambar, medianya berupa badan truk, sifat medianya dapat dilihat oleh banyak orang, dan hampir selalu ada pencipta grafiti yang mengerjakannya. Truk, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2013) adalah mobil besar dengan bak besar di belakang (biasanya untuk mengangkut barang). Kamus ini juga memuat sinonim truk sebagai prahoto, namun penyimakan lebih lanjut pada lema prahoto pada kamus yang sama tidak menghasilkan definisi maupun
17
etimologi kata prahoto. Selanjutnya, KBBI masih merinci jenis-jenis truk yang lazim dipergunakan, yaitu truk bak terbuka ‘truk yang landasan sekelilingnya dapat dipasang panel sisi yang dapat dibuka’; truk boks ‘truk yang baknya berupa kotak tertutup dan berpintu’; truk gandeng ‘truk dengan dua bak yang digandengkan’; dan truk kontainer (truk peti kemas, truk tronton) ‘truk pengankut barang dalam kemasan besar berukuran berat dengan tonase di atas lima belas ton’. Sayangnya, KBBI hanya mendefinisikan tonase secara khusus untuk kapal. Sementara itu, menurut Kamus bahasa Inggris Oxford Advanced Learners’ Dictionary (2013:1574), kata tonnage mengandung dua arti, masing-masing “the size of a ship or the amount it can carry, expressed in tons” dan makna kedua sebagai “the total amount that something weighs”. Di sisi lain, dalam perundangundagan Indonesia, terutama yang menyangkut transportasi, ada Undang-undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mencantumkan istilah jumlah berat yang diperbolehkan, yang dalam berbagai turunan perundangundangan (misalnya Peraturan Menteri) istilah ini disebut juga dengan jumlah berat yang diizinkan (JBI). Istilah JBI ini paling mendekati dengan kata tonase. Penelitian grafiti truk dari pendekatan sosiolinguistik akan didahului dengan analisis bentuk. Analisis bentuk mencakup aspek verbal dan aspek nonverbal dari grafiti truk. Aspek verbal ini terdiri dari pola bunyi, pilihan kata, struktur gramatikal, dan gaya bahasa. Dengan kata lain, analisis bentuk dari aspek verbal ini merupakan analisis deskriptif yang memerikan bentuk-bentuk lingual grafiti, dari bentuk lingual yang sederhana atau bunyi (jika ada) hingga ke bentuk lingual yang lebih kompleks (kalimat) dan stilistika. Dengan mengikuti Verhaar
18
(2004), maka satuan lingual grafiti ini sekurang-kurangnya dapat berbentuk kata, frasa (frasa nomina, frasa verba, frasa adjektiva, frasa adverbial), dan klausa (klausa mandiri, klausa koordinatif, dan klausa subordinatif). Sementara itu, aspek non-verbal grafiti truk dapat berupa tipografi, warna, dan gambar yang menyertai grafiti itu, serta konteks sosial dari grafiti truk secara keseluruhan. Aspek-aspek non-verbal ini disebut sebagai konteks lingual grafiti truk (coo-text) dan akan ditempatkan sebagai analisis-bantu dalam pembahasan mengenai referensi grafiti. Untuk menganalisis referensi atau konteks sosial grafiti truk (context) berikut fungsinya dari pendekatan sosiolinguistik, teori yang dikemukan Jacobson (dalam Holmes, 1995: 286) dapat dipandang sebagai teori yang mendasar. Jacobson menyatakan bahwa dalam menjalankan perannya sebagai media komunikasi, bahasa memiliki beberapa fungsi, yaitu fungsi emotif/ekspresif (untuk menyatakan perasaan dan pikiran), fungsi konatif, fungsi referensial (memberi informasi), fungsi metalingual (menerangkan bahasa), fungsi poetik (menyatakan aspek keindahan bahasa), dan fungsi fatis (untuk menyatakan empati). Dalam kaitannya dengan grafiti truk, fungsi emotif dan ekspresif merupakan fungsi yang cukup mewakili. Penelitian ini urung menggunakan model pendekatan SPEAKING dari Hymes karena dua hal. Pertama, sudah ada penelitian sebelumnya terhadap grafiti truk yang menyinggung hal ini (Hanifah, 2011), dan kedua model SPEAKING tidak cukup operatif dalam menggali grafiti truk secara lebih luas. Sebagaimana dinyatakan Cameron (2001:57), meskipun model SPEAKING sangat penting untuk menganalisis aspek-aspek yang menyertai sebuah peristiwa tutur dalam
19
komunikasi serta merupakan kerangka deskriptif yang paling banyak digunakan untuk analisis komponen tutur, model SPEAKING yang dikemukakan Hymes itu mestinya lebih digunakan sebagai panduan dan bukan sebagai “resep”, karena kajian yang terlalu menuruti model itu justru akan membatasi subjek penelitian. Penelitian tentang tindak tutur harus berusaha tidak sebatas mengajukan pertanyaan-pertanyaan deskriptif seperti “apa saja komponen peristiwa tutur X, Y, dan Z?” melainkan juga harus dapat menjelaskan “mengapa peristiwa tutur tertentu dapat terjadi dan mengapa mereka peristiwa tutur memiliki karakteristik tertentu.” Pertanyaan mengapa ini sangat penting agar analisis dapat sampai pada usaha untuk menangkap signifikansi sosial atau kultural dari peristiwa tutur yang diteliti. Dalam konteks inilah, hadirnya teori-teori lain sebagai alat bantu untuk memahami grafiti truk secara linguistis mendapat ruangnya. Dengan kata lain, untuk dapat memahami konteks sosial grafiti truk, maka kajian dengan pendekatan sosiolinguistik juga dapat melibatkan teori-teori sosial yang relevan, terutama dalam kaitannya dengan grafiti truk sebagai pelepasan dari tekanan dan sebagai medium kritik sosial, yang dapat dianalisis menggunakan teori esensi kreativitas manusia dalam mengaktualisasikan dirinya lewat seni, sains, dan humor yang dikemukakan Arthur Koestler (1964). Dalam teori ini, esensi kreativitas manusia dianggap terletak pada kemampuannya mempersepsi dan menjembatani dua situasi atau ide yang sesungguhnya berdiri sendiri-sendiri dan memiliki kerangka acuan yang berbeda. Koestler menunjuk tiga hal mendasar yang beroperasi secara bersama-sama dalam suatu proses penciptaan atau creative act, yaitu penekanan (emphasis), orisinalitas
20
(originality), dan sifat ekonomi (economy). Selain itu, konteks emosional dari tidakan kreatif manusia juga harus diperhitungkan. Aspek penekanan dalam keseluruhan proses penciptaan terutama dicapai melalui penyederhanaan, dengan menghilangkan unsur-unsur yang tidak esensial dan menonjolkan elemen yang penting secara bersama. Contoh paling nyata adalah karikatur, yang menonjolkan hal yang paling representatif dari fitur yang hendak disasar dan membuang unsur-unsur lain yang dapat diabaikan. Sementara itu, ukuran dalam prinsip orisinalitas dalam proses penciptaan adalah efek kejutannya, atau dengan kata lain “sejauh mana penekanan selektifnya menyimpang dari norma konvensional dan menetapkan standar relevansi yang baru.” Dengan kata lain, kebaruan merupakan inti dari prinsip orisinalitas. Prinsip ekonomi yang beroperasi dalam kreativitas manusia dapat dikatakan merupakan penyiasatan terbalik dari prinsip penekanan dengan menggunakan implikasi. Operasi prinsip ekonomi dalam kreasi yang difungsikan untuk tujuan menghibur mensyaratkan audiens untuk bekerja keras, karena yang unsur yang dihadirkan justru yang tidak penting. Yang harus dilakukan oleh audiens untuk sampai pada makna yang sesungguhnya adalah membuat jembatan sendiri melalui interpolasi (melengkapi sendiri mata rantai yang hilang) ekstrapolasi (memperluas unsur-unsur yang hadir), transformasi (penafsiran ulang leksikon menjadi ungkapan-ungkapan lain yang memiliki persamaan). Prinsip ekonomi ini menuntut bahwa batu loncatan dari setiap elemen dalam narasi harus berjarak cukup lebar sehingga makin keras pembaca berusaha sampai, maka makin besar efek narasi itu.
21
Konteks emosional tindakan kreatif dalam penciptaan kejenakaan adalah emosi untuk “menonjolkan diri, agresif-defensif” dan tingkat variasi humor dapat dilihat dari besar kecilnya tendensi untuk menonjolkan diri itu terlibat dalam penciptaannya.
1.7 Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan sosiolinguistik. Pendekatan sosiologis dan sosiolinguistik terhadap grafiti ini mengasumsikan bahwa lapisan masyarakat yang diwakili oleh sopir atau kru angkutan barang (truk) ini memiliki dan mengembangkan bahasa yang khas, yang dapat dibedakan dengan bahasa di kalangan masyarakat yang lain, misalnya kalangan pelajar, buruh pabrik, atau petani. Selain itu, sebagaimana dinyatakan Gadsby (1995), untuk dapat memahami grafiti secara utuh dari pendekatan linguistik, maka berbagai ungkapan dalam grafiti harus ditempatkan dalam konteks sosiologis dari masyarakatnya. Pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi. Data yang dikumpulkan dapat digolongkan menjadi dua, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer untuk penelitian ini diambil pada kurun 2006-2008 yang, karena belum selesai karena kendala teknis, kemudian dilanjutkan pada 20132014 dan berasal dari dua sumber: (1) hasil pengamatan langsung terhadap grafiti truk di wilayah D.I. Yogyakarta; dan (2) hasil penyimakan terhadap forum-forum di internet yang membicarakan grafiti truk. Data dari internet ini diperoleh dengan memasukkan kata kunci “grafiti truk”, “tulisan lucu di bak truk” pada kategori gambar (images) dalam mesin pencari (search engine) seperti Google, Yahoo, dan
22
Bing. Kata kunci yang dimasukkan ke dalam mesin pencari dapat pula berupa sampel salah satu grafiti truk, misalnya “Kunanti Jandamu.” Dalam mendapatkan data primer dari sumber pertama, lokasi pengamatan dan pencatatan graffiti truk ditentukan berdasarkan jalur yang paling banyak dilalui oleh truk, yaitu di Jalan Lingkar dan jalan-jalan di luar Kota Yogyakarta, terutama Jalan Imogiri Barat dan Jalan Imogiri Timur, Jalan Godean, Jalan Kaliurang dan Jalan Magelang, Jalan Solo, dan Jalan Wates. Penentuan ini didasari pertimbangan bahwa di dalam Kota, volume kendaraan angkutan barang bak terbuka (truk) sangat kecil. Menurut keterangan informan di dua pos polisi yang terpisah, hal ini disebabkan karena kecuali untuk tujuan khusus, truk-truk antarkota maupun dari daerah pedesaan tidak diizinkan melewati jalan kota melainkan hanya diperbolehkan melewati jalan lingkar ini. Selain itu, pada saat Jembatan Comal di jalur Pantura (Pantai Utara) rusak dan dalam perbaikan sehingga tidak dapat dilalui kendaraan-kendaraan berat (dalam hal ini angkutan barang) pada bulan Juli-Oktober 2014, Yogyakarta menjadi satu-satunya jalur yang dapat dilewati oleh kendaraan angkutan barang dari Jakarta dan Cirebon di Jawa bagian barat dengan Semarang dan Surabaya di bagian tengah dan Timur. Akibatnya, kendaraan-kendaraan besar harus melewati Yogyakarta. Bahkan angkutan barang dari Jakarta menuju Semarang pun harus melewati Yogyakarta. Ini menjadi kesempatan bagi peneliti untuk mengamati truk-truk yang biasanya melalui jalur Pantura tanpa harus pergi ke kota-kota yang dilalui jalur Pantura. Dalam observasi graffiti truk ini, pengambilan foto oleh peneliti hanya dilakukan
23
sejauh memungkinkan, mengingat besarnya resiko keselamatan yang ada pada peneliti sebagai pengguna jalan. Sementara itu, data primer jenis kedua dikumpulkan melalui penyimakan berbagai forum dan komunitas di dunia maya, yang para anggotanya mengunggah gambar-gambar graffiti truk sehingga bahan dokumentasi graffiti truk cukup banyak tersedia. Akan tetapi, untuk alasan kesahihan data, graffiti truk yang diambil sebagai data primer adalah yang berupa foto (images), sementara grafiti yang disebutkan tanpa disertai foto tidak akan diambil menjadi data. Terdapat perbedaan yang cukup mencolok pada ketersediaan data dalam kurun 2006-2008 dan 2013-2014. Pada kurun pertama, sangat sedikit data dari internet yang berkualifikasi sahih, karena yang ada hanyalah penyebutan graffiti-grafiti tanpa disertai foto. Sementara itu pada kurun kedua, berkat semakin mudahnya akses internet, makin terjangkaunya telepon pintar, dan semakin luasnya adopsi teknologi informasi oleh berbagai kalangan, maka data primer yang tersedia di internet semakin banyak, bahkan beberapa di antaranya dapat dikatakan mengkonfirmasi penyebutan graffiti dalam forum-forum internet itu pada periode sebelumnya. Data primer yang terkumpul kemudian diklasifikasikan berdasarkan bentuk kebahasaannya, berdasarkan referensi yang diacu, dan berdasarkan fungsi grafiti truk dalam komunikasi. Sebagaimana telah disinggung dalam Ruang Lingkup penelitian ini, grafiti truk dibedakan dengan nama (perusahaan). Seleksi data ini dilakukan sebelum dan pada saat melakukan pengumpulan data primer. Sebelum pengumpulan data, peneliti telah mengesampingkan nama-nama seperti
24
Gading Baru, Setia Kawan, dan Adhi Putro yang merupakan nama perusahaan angkutan. Demikian juga dengan Gajah Oling yang merupakan nama jaringan pengamanan informal yang terutama mengamankan jalur distribusi barang antarkota. Menurut beberapa informan, truk-truk yang memiliki stiker organisasi ini (tulisan dalam huruf kapital warna kuning dengan latar belakang hijau tua) dijamin tidak akan dianggu oleh preman maupun pengganggu yang lain karena pemilik atau operator truk-truk itu dilindungi oleh jaringan pengamanan tersebut, yang menurut beberapa informan dikendalikan lewat rantai komando militer daerah. Sebagai imbalannya, pemilik atau operator truk itu menyetor pajak keamanan dalam jumlah tertentu. Pada tahap pengumpulan data, peneliti telah menyingkirkan sejumlah besar grafiti yang memiliki kesamaan tipografi (penggunaan huruf), letak tulisan, dan warna. Ketiga ciri ini dapat dijadikan pembeda antara grafiti yang bersifat unik dan nama. Observasi pendahuluan juga menunjukkan seringkali pada satu truk yang sama terdapat lebih dari satu grafiti, yang dapat berbeda-beda isinya. Kebanyakan grafiti itu dituliskan di bak belakang, namun tidak jarang juga yang dituliskan di bak samping. Dalam baberapa kasus, graffiti juga dituliskan pada kepet (mudflap) belakang, baik yang kepet bawaan maupun kepet yang sifatnya tambahan. Selanjutnya, data sekunder didapat melalui wawancara dengan pemilik angkutan, awak angkutan (sopir dan kondektur) dan dengan penulis grafiti truk. Ada pola-pola tertentu di mana pemilik berperan dalam penciptaan grafiti truk, tetapi ada juga pola lain di mana awak angkutan memainkan peran utama dalam penciptaan grafiti, dan penulis grafiti (para tukang gambar) yang menerjemahkan
25
keinginan awak angkutan itu. Karena itu, wawancara memberikan bahan tambahan yang penting dalam upaya memahami fenomena penggunaan bahasa dalam grafiti truk, terutama yang menyangkut referensi dan fungsi graffiti truk ini. Sementara itu, metode analisis akan terkait dengan masalah sebagaimana dirumuskan di atas, yang meliputi analisis bentuk, analisis referensi, dan analisis fungsi. Analisis bentuk lingual dilakukan secara deskriptif-struktural dengan cara mendeskripsikan bentuk-bentuk lingual grafiti truk, yang dapat mencakup satuan lingual terkecil (bunyi) sampai satuan lingual yang lebih kompleks yang terdapat pada grafiti truk. Dalam praktiknya, analisis bentuk ini menguraikan bentukbentuk lingual graffiti truk menjadi tiga kelompok besar, yiatu kata, frase dan klausa. Masing-masing kelompok utama ini akan dideskripsikan lebih lanjut, misalnya graffiti berbentuk kata dideskripsikan menjadi kata dasar dan kata jadian (yang masing-masing dapat menempati kelas kata tersendiri), graffiti berbentuk frasa dibedakan lagi menjadi nomina, verba, adjektiva, sedangkan graffiti berbentuk klausa dibedakan lebih lanjut menjadi klausa mandiri, klausa koordinatif, dan klausa subordinatif. Analisis referensi dilakukan dengan cara menentukan topik dan rujukan masing-masing kelompok data terhadap fakta-fakta di luar bahasa (fakta-fakta ekstralingual), sementara analisis fungsi merupakan penafsiran terhadap konteks sosial grafiti. Dalam penafsiran ini, peneliti mempergunakan data hasil wawancara dan pengalaman peneliti sebagai penutur asli bahasa Indonesia dan bahasa Jawa serta penutur asing bahasa Inggris sebagai pengecekan ulang (triangulasi).
26
Akhirnya, hasil analisis akan disajikan secara deskriptif dan disusun sesuai urutan sebagaimana dalam Sistematika Penyajian.
1.8 Sistematika Penyajian Hasil penelitian ini akan disajikan menjadi lima bab. Bab 1, “Pendahuluan”, berisi latar belakang penelitian, ruang lingkup penelitian, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori, metode, dan sistematika penyajian. Dalam Bab 2, “Konteks Sosio-Kultural Grafiti Truk”, penulis akan mendeskripsikan konteks historis graffiti serta latar belakang sosial dan budaya dari grafiti secara umum, dan terutuama grafiti truk di Indonesia. Penjelasan ini akan membantu memahami konteks grafiti truk secara lebih utuh, terutama dalam kaitannya dengan referensi dan fungsi grafiti. Bab 3, “Bentuk Lingual Grafiti Truk”, akan memerikan bentuk-bentuk grafiti truk (pilihan kata, struktur gramatikal, dan gaya bahasa) serta strategi penulis graffiti truk dari segi linguistik dalam menyiasati keterbatasan ruang. Sementara itu, aspek non-verbal (pemakaian tipografi dan ilustrasi) akan menjadi bagian dari Bab 4, “Referensi dan Fungsi Grafiti Truk.” Dalam bab ini akan dijabarkan berbagai referensi yang menjadi konteks sosial grafiti truk beserta fungsinya. Bab 5, “Kesimpulan”, merupakan penyimpulan dari temuan-temuan dan hasil analisis yang telah dipaparkan dalam bab-bab sebelumnya. Berbagai tulisan yang dirujuk dalam seluruh penelitian ini akan disusun dalam Daftar Pustaka, sedangkan datadata berupa grafiti truk dan dokumentasi sejumlah grafiti truk akan disertakan dalam Lampiran.