1
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Ruang sebagai wadah dimana manusia, hewan dan tumbuhan bertahan hidup, memenuhi segala kebutuhannya serta berinteraksi dengan sesama menjadikan ruang sebagai suatu yang sangat penting untuk tetap dipertahankan. Kemampuannya dalam menopang segala sesuatu yang ada di dalamnya berupa daratan, laut dan udara sampai pada ruang di dalam bumi sebagai tempat segala makhluk hidup dan sumber daya pada dasarnya bersifat terbatas. Namun pada dimensi lain manusia sebagai makhluk dengan tingkat gerak dan perkembangan yang begitu cepat menuntut adanya berbagai kebutuhan yang tinggi pula. Berdasarkan hal tersebut adanya pengendalian pemanfaatan ruang sebagai mekanisme untuk menjaga dan memelihara kelestarian ruang sangat diperlukan. Salah satu isu yang perlu mendapat perhatian adalah menyangkut fenomena dinamika perubahan spasial dari pertanian ke non-pertanian dan ketahanan pangan sebagai akibat dari tekanan kegiatan-kegiatan pusat pertumbuhan (Muta’ali, 2013). Menurut Mercado (2002) konsep pusat pertumbuhan diperkenalkan pada tahun 1949 oleh Fancois Perroux yang mendefinisikan pusat pertumbuhan sebagai “pusat dari pancaran gaya sentrifugal dan tarikan gaya sentripetal”. Myrdal (1957), Richardson (1978) menyatakan hubungan antara pusat dan pinggiran dilukiskan dengan dua efek, yaitu efek sebar ‘spread effect’ dari pusat ke pinggiran dan efek serap balik ‘back wash effect’ dari pinggiran ke pusat. Efek
2
backwash terjadi dalam bentuk sumber daya, terutama tenaga kerja, tertarik ke arah pusat, meskipun pusat pertumbuhan juga telah menyebarkan efek pada pedalaman, karena adanya relokasi pabrik, desentralisasi populasi dan penyebaran inovasi, investasi dan pertumbuhan sikap, terutama dalam jangka panjang (Tervo, 2010). Berdasarkan pengertian di atas suatu wilayah akan mengalami pertumbuhan yang menyebar tidak hanya memusat pada satu arah akan tetapi ke berbagai arah di sekitar pusat pertumbuhan. Permasalahan yang sering muncul adalah tidak berjalannya proses pengelolaan ruang di berbagai daerah dengan tingkat perkembangan yang tinggi. Efek lanjutan yang terjadi adalah banyaknya investasi yang masuk dari berbagai sektor khusunya ekonomi serta terjadinya pumusatan penduduk yang lambat laun akan menuntut kebutuhan ruang tinggi. Di Indonesia khususnya kota-kota besar menjadi parasit dan menyedot sumber daya desa secara besar-besaran. Tetesan ke bawah (trickle down effect) dan sebaran kemakmuran (spread effect)
tidak berjalan dengan baik
(Wilonoyudho, 2009). Pada tahap lanjut akan terjadi peningkatan kebutuhan ruang yang disebabkan adanya proses transformasi ruang berupa kebutuhan lahan untuk permukiman dan transformasi sosial ekonomi. Dari kecenderungan di atas maka salah satu arah perkembangan kota sebagai sebab dari pusat pertumbuhan yang perlu dicermati adalah perkembangan spasial yang berdampak pada perkembangan peralihan fungsi penggunaan atau konversi lahan di wilayah sekitar pusat pertumbuhan (Giyarsih, 2001:2).
3
Konversi lahan yang cukup tinggi dapat menimbulkan dampak yang luas pada berbagai aspek pembangunan. Contihnya adalah konversi lahan pertanian sawah. Konversi lahan sawah di Jawa yang terus berlangsung dan sulit dihindari, berdampak serius terhadap penyediaan beras nasional. Lahan pertanian yang semulanya berfungsi sebagai sektor pertanian berubah fungsi menjadi lahan nonpertanian, seperti kompleks perumahan, kawasan industri, kawasan perdagangan, dan sarana publik yang dapat menimbulkan dampak terhadap ketersediaan dan kestabilitasan tingkat produksi hasil pertanian khususnya beras. Di Indonesia, selama tahun 1999-2003, luas konversi lahan sawah yang ditujukan untuk pembangunan nonpertanian, seperti kawasan perumahan, industri, perkantoran, jalan, dan sarana publik lainnya mengalami peningkatan di setiap pulau. Pulau Sumatra menjadi pulau dengan tingkat konservasi terbesar yaitu 26,81 % dari total luas lahan sawah di Indonesia. Merujuk dari data di atas, luas lahan sawah yang dikonversi mencapai 175,73 ribu ha dari luas total lahan sawah di Indonesia (Arsyad dan Rustiadi, 2011:77-78). Tinnginya konversi lahan pertanian juga disebabkan oleh penguasaan kepemilikan lahan yang relatif sempit, sehingga mempengaruhi tingkat produktivitas yang diperoleh oleh petani. Kecenderungan untuk menjual lahan pertanian juga semakin meningkat dengan adanya permintaan penggunaan lahan untuk non pertanian yang dapat diindikasikan dengan rasio land-rent nya (Shidieq, Dkk: 2010:4). Berdasarkan hal di atas maka dampak lain yang akan muncul adalah kondisi ketahanan pangan yang tidak stabil. Padahal kondisi pangan suatu wilayah menjadi komponen kunci dari ekonomi nasional maupun global (Bryan, 2008).
4
Salah satu target yang akan dicapai Kementrian Pertanian dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan adalah dengan melakukan swasembada beras. Beras sebagai makanan pokok utama masyarakat Indonesia sejak tahun 1950 semakin tidak tergantikan meskipun program diversifikasi konsumsi sudah lama dilakukan (Gaybita, 2009). Hal ini terlihat bahwa pada tahun 1950 konsumsi beras nasional sebagai sumber karbohidrat baru sekitar 53%, sedangkan tahun 2011 yang telah mencapai sekitar 95%. Dalam rencana strategis Kementerian Pertanian juga menempatkan beras, sebagai satu dari lima komoditas pangan utama. Akan tetapi disisi lain, laju konversi lahan pertanian,termasuk didalamnya konversi lahan sawah telah terjadi diseluruh wilayah Indonesia. Pertambahan penduduk, perkembangan industri serta pening-katan kesejahteraan penduduk secara tidak disadari telah banyak mengambil lahan pertanian yang potensial untuk dikonversikan penggunaannya ke kegiatan bukan pertanian. Hal ini terjadi terutama disekitar kota-kota besar di negara berkembang, untuk perluasan kawasan industri dan pemukiman baru (Hardjoamidjojo, 1997). Wilayah kabupaten Pringsewu merupakan bagian dari wilayah propinsi Lampung. Berbagai kemajuan dan perkembangan baik dari sisi ekonomi, sosial dan politik, menuntut lahan-lahan baru untuk dijadikan tempat beroperasinya berbagai sektor tersebut. Pesatnya kemajuan dan perkembangan kabupaten Pringsewu diawali dengan proses pemekaran wilayah menjadi daerah otonom tingkat kabupaten pada tahun 2008, yang sebelumnya daerah pringsewu masuk dalam daerah administratif kabupaten Tanggamus. Perubahan status menjadi daerah otonom tingkat kabupaten memicu perkembangan tingkat penggunaan
5
lahan untuk berbagai fasilitas umum. Hal ini menyebabkan munculnya fenomena perubahan alih fungsi lahan baik di wilayah pusat kota maupun di daerah pinggian kota. Kondisi demikian menyebabkan pembangunan fisik terbangun secara sporadis dan mengalami perluasan areal perkotaan. Perubahan tersebut dapat berupa perubahan fisik dan non fisik. Perubahan fisik dapat dilihat dari lahan tak terbangun menjadi lahan terbangun yang merupakan indikasi adanya pengaruh dari kegiatan ekstensifikasi perkembangan kota. Sedangkan perubahan non fisik dapat
dilihat
dari
pertumbuhan
penduduk
dan
pertumbuhan
aktifitas
perekonomian (mata pencaharian non agraris). Kabupaten Pringsewu merupakan salah satu pemasok produksi beras di Propinsi Lampung. Sebagai daerah yang masih agraris, struktur perekonomian Kabupaten
Pringsewu masih didominasi oleh Sektor Pertanian dengan
Komoditas yang dominan adalah Padi sawah. Padi sawah adalah salah satu Primadona dari sektor pertanian di Kabupaten Pringsewu disamping hasil-hasil produksi pertanian yang lainnya, seperti jagung, sayur mayur dan lainnya. Dari total luas tanam padi sawah seluas 19.074 Ha mampu menghasilkan produksi padi sebesar 97.620 Ton dengan produktivitas sebesar 5,11 Ton/Ha dan untuk padi ladang mampu menghasilkan produksi sebesar 2.475 Ton dari luas tanam yang ada seluas 735 Ha (blogkab-pringsewu-blogspot.com. Diakses tanggal 6 Maret 2013). Kabupaten Pringsewu terdiri dari 8 kecamatan, memiliki luas wilayah terkecil dan tersempit dari seluruh kabupaten di Provinsi Lampung. Yakni hanya
6
seluas 625 km2, dan merupakan kabupaten terpadat se-Provinsi Lampung setelah Kota Bandar Lampung. Menurut data dari Badan Pusat Statistik Provinsi Provinsi Lampung kepadatan penduduk Kabupaten Pringsewu adalah 596 jiwa/km2. Berubahnya lahan tak terbangun menjadi lahan terbangun yang disebabakan oleh pertumbuhan jumlah penduduk dan perkembangan sektor perdagangan dan jasa yang menarik masyarakat di sekitar wilayah pusat pertumbuhan (BPS kabupaten Pringsewu :2012) menjadi salah satu permasalahan yang ada di kabupaten Pringsewu. Selain itu, Pada sektor pertanian, kontribusi terhadap PDRB, peran sub sektor tanaman bahan makanan mengalami penurunan dalam 3 tahun terahir yaitu 17,77 pada tahun 2010 menjadi 15,93 pada tahun 2011 dan turun lagi menjadi 15,16 persen pada tahun 2012. Berdasarkan angka sementara hasil pencacahan lengkap Sensus Pertanian 2013, jumlah rumah tangga usaha pertanian di Kebupaten Pringsewu mengalami penurunan sebanyak 8.711 rumah tangga dari 63.388 rumah tangga pada tahun 2003 menjadi 54.677 rumah tangga pada tahun 2013, yang berarti menurun sebesar 1,37 persen per tahun. Berawal dari kondisi tersebut, maka akan dilakukan penelitian terhadap masalah konversi lahan pertanian, serta dampak terhadap swasembada pangan beras di Kabupaten Pringsewu.
1.2. Perumusan Masalah Pusat pertumbuhan sebagai kawasan fungsional mempunyai mobilitas yang sangat tinggi. Berbagai aktivitas pergerakan manusia, barang dan jasa menjadi pendorong berkembangnya wilayah pusat pertumbuhan ke daerah-daerah
7
pinggiran. Keterkaitan dan konektivitas ruang antara daerah pusat pertumbuhan dengan daerah pinggiran juga semakin meningkat. Permasalahan yang kemudian muncul adalah ketika pusat pertumbuhan dengan ketersediaan ruang yang tidak memadai lagi maka intervensi atau perembetan penggunaan lahan akan mengarah ke daerah-daerah sekitar. Perubahan fisik maupun non fisik akan serta merta mengiringi perkembangan pusat pertumbuhan yang semakin besar. Perubahan fisik bisa berupa perubahan pada lahan tak terbangun seperti sawah dan tegalan menjadi
lahan
terbangun.
Perubahan
tersebut
diperkirakan
juga
akan
mempengaruhi tingkat produktivitas tanaman pangan serta meningkatkan proporsi penduduk kehilangan pangan di kabupaten Pringsewu. Berdasarkan pembahasan uraian dan latar belakang diatas, fokus dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pusat pertumbuhan (Kota Pringsewu) terhadap perubahan penggunaan lahan pertanian serta ketahanan pangan di kabupaten Pringsewu. Oleh sebab itu disusun suatu rumusan masalah sebagai berikut: a. Bagaimanakah struktur pusat pertumbuhan di kabupaten Pringsewu? b. Bagaimanakah pengaruh pusat pertumbuhan terhadap konversi lahan di kabupaten Pringsewu? c. Bagaimanakah pengaruh konversi lahan terhadap swasembada pangan beras di kabupaten Pringsewu?
8
1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan permasalahan di atas, maka dapat dirumuskan tujuan penelitian yang akan dicapai adalah sebagai berikut : a. Mengidentifikasi struktur pusat pertumbuhan di Kabupaten Pringsewu. b. Menganalisis pengaruh pusat pertumbuhan terhadap konversi lahan di Kabupaten Pringsewu. c. Menganalisis pengaruh konversi lahan terhadap ketahanan pangan di Kabupaten Pringsewu.
1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini berupaya mencari struktur pusat pertumbuhan dan pengaruhnya terhadap konversi lahan serta swasembada pangan beras di Kabupaten Pringsewu. Oleh karena itu Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat : a. Memberikan
informasi
tentang
pusat
pertumbuhan
wilayah
dan
pengaruhnya terhadap konversi dan ketahanan pangan. b. Memberikan sumbangan pemikiran khususnya bagi Pemerintah Kabupaten Pringsewu dan dinas terkait dalam menentukan dan menetapkan kebijakan pengembangan pertanian dan swasembada pangan pangan. c. Menambah wawasan terhadap teori pusat pertumbuhan dan pinggiran dalam konsep pengembangan wilayah kaitanya dengan pembangunan pertanian dan swasembada pangan.
9
d. Memberikan wacana dan wawasan serta pengetahuan tambahan bagi penelitian yang sejenis.
1.5. Keaslian Penelitian Penelitian tentang daerah pusat pertumbuhan, konversi dan ketahanan pangan masih jarang dilakukan sebelumnya. Referensi penelitian terdahulu yang menjadi acuan peneliti lebih ditekankan pada hubungan pusat pertumbuhan terhadap kondisi ekonomi sosial atau pengaruh konversi terhadap ketahanan pangan saja. Penelitian yang pernah dilakukan oleh Iskandar (2004) dengan judul Evaluasi kecamatan sebagai pusat pertumbuhan wilayah dan analisis pengaruhnya terhadap daerah sekeliling (hinterland) di Kota Tangerang bertujuan untuk mengidentifikasi kecamatan-kecamtaan sebagai pusat pertumbuhan wilayah melalui analisis skalogram dan melihat pengaruh pusat pertumbuhan terhadap daerah sekeliling (hinterland) melalui analisis gravitasi Huff serta mengetahui aktivitas ekonomi yang utama pada kecamatan yang berada pada hirarki satu di kota Tanggerang. Data yang digunakan adalah data sarana dan prasarana , kependudukan dan aktivitas ekonomi tiap-tiap kecamatan di kota tanggerang pada tahun 2002. Cakupan wilayah dari peneliian ini adalah kecamatan di kota Tanggerang. Penelitian selanjutnya ialah penelitian yang pernah dilakukan oleh Nia Gania (2003) dengan judul Identifikasi kecamatan pusat pertumbuhan wilayah dan analisis pengaruhnya terhadap daerah sekeliling (hinterland) di kabupaten Garut. Tujuan pokok penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi kecamatan
10
sebagai pusat pertumbuhan wilayah di kabupaten garut serta bagaimana pengaruhnya terhadap daerah sekelilingnya (hinterland). Analisis skalogram dilakukan untuk mengetahui kondisi fasilitas perkotaan di setiap kecamatan, Sedangkan untuk mengetahui pusat pertumbuhan wilayah beserta wilayah hinterlandnya dilakukan dengan
menggunakan model gravitasi. Peneliti
menyatakan bahwa Jarak kecamatan yang paling dekat ke pusat pertumbuhan berdasarkan perhitungan dengan model gravitasi akan menjadi hinterlandnya. Hasil ahir dari penelitian ini menunujukkan bahwa peran fasilitas perkotaan di pedesaan akan mampu mengangkat daerah tersebut menjadi pusat pertumbuhan wilayah. Penelitian terkait juga pernah dilakukan oleh Dja’far Shiddieq, dkk (2010) dengan judul Pemanfaatan Citra Landsat TM pada pemetaan dampak konversi lahan pertanian dalam menunjang ketahanan pangan di propinsi DIY dan Bali. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis data konversi lahan pertanian tersebut menjadi informasi spasial dan tekstual serta kondisiketahanan pangan di dua wilayah yaitu Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 1996-2006 dan Bali tahun 1998-2008. Analisis diskriptif dan spasial digunakan dalam penelitian ini. Hasil penelitian secara umum menunjukkan bahwa konversi lahan pertanian menjadi bangunan dan tanaman tahunan meningkat di bagian wilayah mendekati kota (pusat-pusat pertumbuhan) dan berlaku sebaliknya. Intensitas konversi lahan pertanian pinggiran kota baik di DIY maupun Bali dihambat secara signifikan oleh nilai produk pertanian, sebaliknya didorong secara signifikan oleh proporsi
11
lahan terbangun, kepadatan penduduk, dan harga lahan. Ketahanan pangan di DIY dan Bali akibat konversi terjadi di sebagian wilayah penelitian. Penelitian-penelitian di atas dilakukan dengan metode, pendekatan dan daerah kajian (cakupan wilayah) yang berbeda. Cakupan yang dilakukan para peneliti dalam menganalisis pusat pertumbuhan lingkup wilayah adalah kecamatan. Hubungan antara pusat pertumbuhan dan aspek ekonomi menjadi kajian utama dalam penelitian sebelumnya. Pengaruh pusat pertumbuhan terhadap kondisi sosial ekonomi daerah pinggiran yang dikaji masih bersifat umum belum terspesifikasi pada bidang atau sektor tertentu. Untuk penelitian yang dilakukan oleh Shiddieq (2010), berbeda dari segi wilayah dan analisisnya. Shidieq menentukan wilayah penelitian pada tingkat propinsi untuk melihat konversi dan swasembada pangan dalam unit rumah tangga.
Penelitian yang akan dilakukan ini mengacu pada pengaruh pusat pertumbuhan terhadap daerah pinggiran, khususnya lahan pertanian dan swasembada pangan dalam kurun waktu 5 tahun yaitu dati tahun 2008-2013. Hal
ini berkaitan dengan berubahnya status Kecamatan Pringsewu menjadi Kabupaten Pringsewu Ketahanan pada tahun 2008. Swasembada pangan wilayah diketahui setelah mengetahui konversi lahan pertanian sawah ke non pertanian atau ke pertanian lain. Besar konversi lahan diketahui dengan menganalisis data sekunder tingkat desa/kelurahan sedangkan ketahanan pangan dilihat dari lingkup wilayah. Tabel 1.1 Penelitian Yang Pernah Dilakukan (Relevan) Peneliti Judul Tujuan Shiddieq, Pemanfaatan Citra Menganalisis Dja’far Landsat TM Pada data konversi & dkk, Pemetaan Dampak lahan pertanian (2010) Konversi Lahan tersebut menjadi
Metode Penelitian Diskriptif dengan Analisis
Hasil Konversi lahan pertanian menjadi bangunan dan
12
Pertanian Dalam Menunjang Ketahanan Pangan Di Propinsi D.I. Yogyakarta Dan Bali
Iskandar, Wahyudi ( 2004 )
Evaluasi Kecamatan Sebagai Pusat Pertumbuhan Wilayah Dan Analisis Pengaruhnya Terhadap Daerah Sekeliling (Hinterland) Di Kota Tangerang (Magister Ekonomi Pembangunan UGM)
Nia Gania (2003)
Identifikasi Kecamatan Pusat Pertumbuhan Wilayah Dan Analisis Pengaruhnya Terhadap Daerah Sekeliling (Hinterland) Di Kabupaten Garut (Magister Ekonomi Pembangunan UGM)
informasi spasial dan tekstual dan Mengetahui tingkat ketahanan pangan rumah tangga di pinggiran kota Mengidentifikasi kecamatankecamtaan sebagai pusat pertumbuhan wilayah
diskriptif dan spasial serta uji regresi berganda untuk mengetahui tungkat ketahanan pangan Penelitian deskriptif dengan metode uji analisis skalogram, analisis breaking point theory, analisis hirarki perkotaan
tanaman tahunan meningkat di bagian wilayah mendekati kota (pusat-pusat pertumbuhan) dan berlaku sebaliknya Terdapat dua kecamatan sebagai pusat pertumbuhan wilayah yang utama dengan 3 kecamatan sebagai daerah hinterlandnya
Untuk mengidentifikasi kecamatan sebagai pusat pertumbuhan wilayah di kabupaten garut serta bagaimana pengaruhnya terhadap daerah sekelilingnya (hinterland)
Penelitian deskriptif Kuantitatif dengan uji Regresi, Analisis Scalogram, Model Gravitasi, Location Quotient
Setiap pusat pertumbuhan wilayah memiliki komoditi basis yang berbeda sesuai dengan karakteristik wilayah.