BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah. Istilah pubertas maupun adolescensia sering dimaknai dengan masa remaja, yakni masa perkembangan sifat tergantung (dependence) terhadap orang tua ke arah kemandirian (independence), minat-minat seksual, perenungan diri, perhatian terhadap nilai-nilai estetika dan isu-isu moral. Sedangkan menurut Harold Alberty, remaja merupakan masa peralihan antara masa anak dan masa dewasa yakni berlangsung 11-13 tahun sampai 18-20 tahun menurut umur kalender kelahiran seseorang.1 Sejauh mana remaja dapat mengamalkan nilai-nilai yang dianutnya dan yang telah dicontohkan kepada mereka? Salah satu tugas perkembangan yang harus dilakukukan remaja adalah mempelajari apa yang diharapkan oleh kelompoknya lalu menyesuaikan tingkah lakunya dengan harapan sosial tanpa bimbingan, pengawasan, motivasi, dan ancaman sebagaimana sewaktu kecil.2 Dia
1
94.
2
Abin Syamsuddin Makmun, Psikologi Kependidikan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005),
Menurut Robert J. Havighurst dalam (Adam & Gullota, 1983: 165), mengartikan tugas perkembangan sebagai berikut: A developmental task is a task which aries at or about a certain period in the life of the individual, successful achievement of which leads to his happiness and to success whith later task, while failure leads to unhappiness in the individual, disapproval by society, and difficulty whith later task. Maksudnya, bahwa tugas perkembangan itu merupakan suatu tugas yang muncul pad periode tertentu dalam rentang kehidupan individu, yang apabila tugas itu dapat berhasil di tuntaskan akan membawa kebahagiaan dan kesuksesan dalam menuntaskan tugas berikutnya: sementara jika gagal, maka akan menyebabkan ketidakbahagiaan pada diri individu yang bersangkutan, sehingga bisa menimbulkan penolakan masyarakat, kesulitan-kesulitan dalam
juga dituntut mampu mengendalikan tingkah lakunya karena dia bukan lagi tanggung jawab orang tua atau guru. Berdasarkan penelitian empiris yang dilakukan Kohlberg pada tahun 1958, sekaligus menjadi disertasi doktornya dengan judul The Developmental of Model of Moral Think and Choice in the Years 10 to 16. menyebutkan bahwa tahap-tahap perkembangan moral pada individu dapat di bagi, sebagai berikut:3 1. Tingkat Prakonvensional Pada tingkat ini anak tanggap terhadap aturan-aturan budaya dan terhadap ungkapan-ungkapan budaya mengenai baik dan buruk, benar dan salah. Akan tetapi, hal ini semata-mata ditafsirkan dari segi sebab akibat fisik atau kenikmatan perbuatan (hukuman, keuntungan, pertukaran dan kebaikan). 2. Tingkat Konvensional Pada tingkat ini, anak hanya menurut harapan keluarga, kelompok atau bangsa. Ia memandang bahwa hal tersebut bernilai bagi dirinya sendiri, tanpa mengindahkan akibat yang segera dan nyata. 3. Tingkat Pasca-konvensional Pada tingkat ini terdapat usaha yang jelas untuk merumuskan nilainilai dan prinsip moral yang dimiliki keabsahan dan dapat diterapkan, terlepas
menuntaskan tugas-tugas berikutnya. Lihat: Elfi Yuliana Rochmah, Psikologi Perkembangan (Yogyakarta: Teras, 2005), 62. 3 Enung Fatimah, Psikologi Perkembangan; Perkembangan Peserta Didik (Bandung: Pustaka Setia, 2006), 122-123.
dari otoritas kelompok atau orang yang berpegang pada prinsip-prinsip itu dan terlepas pula dari identifikasi individu sendiri dengan kelompok tersebut. Piaget menyebutkan bahwa masa remaja sudah mencapai tahap pelaksanan formal dalam kemampuan kognitif.4 Dia mampu mempertimbangkan segala kemungkinan untuk mengatasi suatu masalah dari beberapa sudut pandang dan berani mempertanggung jawabkan. Sehingga Kohlberg juga berpendapat bahwa perkembangan moral ketiga, moralitas pasca-konvensional harus dicapai selama masa remaja. Sejumlah prinsip diterimanya melalui dua tahap; pertama menyakini bahwa dalam keyakinan moral harus ada fleksibilitas sehingga memungkinkan dilakukan perbaikan dan perubahan standar moral bila menguntungkan semua anggota kelompok; kedua menyesuaikan diri dengan standar sosial dan ideal untuk menjauhi hukuman sosial terhadap dirinya sendiri, sehingga perkembangan moralnya tidak lagi atas dasar keinginan pribadi, tatapi menghormati orang lain.5 Akan tetapi pada kenyataan banyak ditemukan remaja yang belum bisa mencapai tahap pasca-konvensional, dan juga pernah di temukan remaja yang baru mencapai tahap prakonvensional. 4
Menurut Piaget (Sarlito, 1991: 81) perkembangan kognitif seseorang melalui tahapan berikut: a. Masa Sensori motorik (0, 0-2, 5). Masa ini adalah masa ketika bayi menggunakan system pengindraan dan aktivitas motorik untuk mengenal lingkungannya, b. Masa Praoperasional (2, 0-7, 0). Ciri khas masa ini adalah kemampuan anak dalam menggunakan symbol yang mewakili suatu konsep, c. Masa konkreto prarasional (7, 0-11, 0). Pada tahap ini, anak sudah dapat melakukan berbagai tugas yang konkret, d. masa operasional (11, 0-dewasa). Pada usia remaja dan seterusnya, seseorang akan mampu berpikir abstrak dan hipotetis. Lihat: Enung Fatimah, Psikologi Perkembangan; Perkembangan Peserta Didik (Bandung: Pustaka Setia, 2006), 24-25. 5 Muhammad Al-Mighwar, Psikologi Remaja; Petunjuk bagi guru dan orang tua (Bandung: Pustaka Setia, 2006), 136.
Fenomena tersebut banyak dijumpai pada remaja yang pada umumnya mereka masih duduk di bangku SMA/SMK (sekitar umur 16-18 tahun), seperti:6 1. Berperangi tidak terpuji, meremehkan peraturan dan disiplin sekolah. 2. Mentaati peraturan sekolah karena takut pada hukuman. 3. Dan tidak jarang kita mendengar perkelahian terjadi antar remaja yang tidak jelas sebabnya. Bahkan perkelahian dapat meningkat menjadi permusuhan kelompok, yang menimbulkan korban pada kedua belah pihak. Bila ditanyakan kepada mereka, apa yang menyebabkan mereka berbuat kekerasan sesama remaja, dan apa masalahnya sehingga peristiwa yang memalukan tersebut terjadi, banyak yang menjawab bahwa mereka tidak sadar mengapa mereka secepat itu menjadi marah dan ikut berkelahi.7 Fenomena di atas menggambarkan bahwa upaya remaja untuk mencapai moralitas dewasa; mengganti konsep moral khusus dengan konsep moral umum, merumuskan konsep yang baru dikembangkan ke dalam kode moral sebagai pedoman tingkah laku, dan mengendalikan tingkah laku sendiri, merupakan upaya yang tidak mudah bagi mayoritas remaja. Menurut Rice (1999), masa remaja adalah masa peralihan, ketika individu yang memiliki kematangan. Pada masa tersebut, ada dua hal penting
6
Hasil observasi awal di SMK PGRI 2 PONOROGO. Pada senin, 1-30 November 2007, pukul. 07.30 WIB-12.45 WIB. 7 Hasil wawancara dengan Pak Didik (Salah satu satpam di SMK PGRI 2 Ponorogo) pada Senin , 26 November 2007, pukul. 12.30 WIB-12.45 WIB.
menyebabkan remaja perlu melakukan pengendalian diri. Dua hal tersebut adalah, pertama hal yang bersifat eksternal, yaitu adanya perubahan lingkungan. Pada saat ini, masyarakat dunia sedang mengalami banyak perubahan begitu cepat yang membawa berabagai dampak, baik positif maupun negatif bagi remaja. Dan kedua adalah hal yang bersifat internal, yaitu karakteristik di dalam diri remaja yang membuat relatif lebih bergejolak dibandingkan dengan masa perkembangan lainnya (storm and stress period).8 Agar remaja yang sedang mengalami perubahan cepat dalam tubuhnya itu mampu menyesuaikan diri dengan keadaan perubahan tersebut, maka berbagai usaha baik dari pihak orang tua, guru maupun orang dewasa lainnya, amat diperlukan. Salah satu peran guru adalah sebagai pembimbing dalam tugasnya yaitu mendidik, guru harus membantu murid-muridnya agar mencapai kedewasaan secara optimal. Artinya kedewasaan yang sempurna (sesuai dengan kodrat yang di punyai murid) Dalam peranan ini guru harus memperhatikan aspek-aspek pribadi setiap murid antara lain kematangan, kebutuhan, kemampuan, kecakapannya dan sebagainya agar mereka (murid) dapat mencapai tingkat perkembangan dan kedewasaan yang optimal.9 Untuk itu di samping orang tua guru di sekolah juga mempunyai peranan penting dalam membantu remaja untuk mengatasi kesulitanya, keterbukaan hati 8
Singgih D. Gunarsa, Bunga Rampai Psikologi Perkembangan; Dari Anak Sampai Usia Lanjut (Jakarta: Gunung Mulia, 2006), 262. 9 Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995), 7.
guru dalam membantu kesulitan remaja, akan menjadikan remaja sadar akan sikap dan tingkah lakunya yang kurang baik. Usaha yang terpenting guru adalah memberikan peranan pada akal dalam memahami dan menerima kebenaran agama termasuk mencoba memahami hikmah dan fungsi ajaran agama.10 Guru agama yang bijaksana dan mengerti perkembangan perasaan remaja yang tidak menentu,
dapat menggugahnya kepada petunjuk agama tentang
pertumbuhan dan perkembangan seseorang yang sedang memasuki masa baligh (puber). Salah satu ketentuan, misalnya dengan memberikan pengertian tentang berbagai ibadah yang dulu telah dilakukan remaja, seperti shalat, puasa dan sebagainya, sekarang diberikan hikmah dan makna psikologis bagi ibadahya tersebut, misalnya makna shalat bagi kesehatan mentalnya.
Ia dapat
mengungkapkan perasaan yang galau kepada Allah dan ia dapat berdo’a memohon ampun atas kekeliuannya, ia boleh minta dan mengajukan berbagai harapan dan keinginan kepada Allah yang Maha Mengerti dan Maha Penyayang kepada hamban-Nya.11
10
Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain, Strategi Belajar Mengajar (Jakarta: Rinneka Cipta, 1996), 76-77. 11 Zakiah Daradjat, Remaja Harapan Dan Tantangan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995), 79-80.
Dengan pemahaman baru tentang makna dan hikmah ajaran agama bagi kesehatan mental, dan kepentingan hidup pada umumnya, remaja akan mampu mengatasi kesulitannya, dan mampu mengendalikan diri.12 Dengan kemampuan pengendalian diri (self control) yang baik, remaja diharapkan mampu mengendalikan dan menahan tingkah laku yang bersifat menyakiti dan merugikan orang lain atau mampu mengendalikan serta menahan tingkah laku yang bertentangan dengan norma-norma sosial yang berlaku sesuai dengan nilai-nilai agama yang diajarkan oleh guru. Remaja juga diharapkan dapat mengantisipasi akibat-akibat negatif yang ditimbulkan pada masa storm and stress period.13 Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Kahfi ayat 10 dan 13: 14 ∩⊇⊃∪ #Y‰x©u‘ $tΡÌøΒr& ôÏΒ $oΨs9 ø⋅Äh÷yδuρ ZπtΗôqy‘ y7Ρà$©! ÏΒ $uΖÏ?#u !$uΖ−/u‘ (#θä9$s)sù É#ôγs3ø9$# ’n<Î) èπu‹÷FÏø9$# “uρr& øŒÎ)
Artinya: (ingatlah) tatkala Para pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua, lalu mereka berdoa: "Wahai Tuhan Kami, berikanlah rahmat kepada Kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi Kami petunjuk yang Lurus dalam urusan Kami (ini).15
12
Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), 103. Menurut pandangan Konfusius, self control (kontrol diri) adalah kualitas diri (selfsufficiency) dan keteraturan diri (self-regulation). Sedangkan self regulation adalah kemampuan individu untuk menahan dorongan-dorongan dan kemampuan individu untuk mengendalikan tingkah lakunya pada saat tidak adanya kontrol dari lingkungan. Sedangkan self-regulation yang baik merupakan kriteria dari self-control yang baik pula. Lihat: Gunarsa, Bunga Rampai Psikologi Perkembangan; Dari Anak Sampai Usia Lanjut (Jakarta: Gunung Mulia, 2006), 254-256. 14 Al-Qur’an, 18: 10; 18: 13. 15 Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahanya (Semarang: Asy Syifa’, 2000), 235. 13
∩⊇⊂∪ “W‰èδ óΟßγ≈tΡ÷ŠÎ—uρ óΟÎγÎn/tÎ/ (#θãΖtΒ#u îπu‹÷FÏù öΝåκ¨ΞÎ) 4 Èd,ysø9$$Î/ Νèδr't7tΡ y7ø‹n=tã Èà)tΡ ßøtªΥ
Artinya: Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) cerita ini dengan benar. Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami tambah pula untuk mereka petunjuk.16 Berangkat dari kerangka di atas maka peneliti mengambil judul: “ Pengembangan Self Control Siswa di SMK PGRI 2 Ponorogo Melalui Penanaman Nilai-nilai Agama. ”
B. Fokus Penelitian Penelitian ini difokuskan pada penanaman nilai-nilai agama melalui Pendidikan Agama Islam, yang akan menjadi pedoman pengendali tingkah laku (self controlling) bagi siswa di SMK PGRI 2 Ponorogo yang menginjak usia remaja. Dari penjajakan awal di lapangan. SMK PGRI 2 Ponorogo ini sangat memperhatikan kegiatan-kegiatan keagamaan khususnya dalam Pendidikan Agama Islam, seperti rutinitas shalat dhuhur dan a’shar secara berjama’ah, membaca al-Qur’an setiap habis shalat dan lain-lain, maka penulis akan mengkaji lebih mendalam tentang:
16
Ibid. , 235.
a. Kegiatan-kegiatan Guru Pendidikan Agama dalam mengembangkan self control siswa di SMK PGRI 2 Ponorogo melalui penanaman nilai-nilai agama. b. Hasil yang di capai dan difokuskan pada perkembangan self control aktifis rohis di SMK PGRI 2 Ponorogo. c. Faktor pendukung dan penghambat dalam pengembangan self control peserta didik melalui penanaman nilai-nilai agama.
C. Rumusan Masalah. Berdasarkan latar belakang masalah dan fokus penelitian, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah cara pengembangan self control siswa di SMK PGRI 2 Ponorogo melalui penanaman nilai-nilai agama? 2. Bagaimanakah perkembangan self control siswa di SMK PGRI 2 Ponorogo melalui penanaman nilai-nilai agama? 3. Apa faktor pendukung dan penghambat dalam pengembangan self control siswa di SMK PGRI 2 Ponorogo melalui penanaman nilai-nilai agama?
D. Tujuan Penelitian. Berdasarkan latar belakang masalah dan fokus penelitian, maka Tujuan Penelitian yang ingin di capai adalah:
1. Untuk mendiskripsikan dan menjelaskan cara pengembangan self control siswa di SMK PGRI 2 Ponorogo melalui penanaman nilai-nilai agama. 2. Untuk mendiskripsikan dan menjelaskan perkembangan self control siswa di SMK PGRI 2 ponorogo melalui penanaman nilai-nilai agama. 3. Untuk mendiskripsikan dan menjelaskan faktor pendukung dan penghambat dalam pengembangan self control siswa di SMK PGRI 2 melalui penanaman nilai-nilai agama.
E. Manfaat Penelitian. 1. Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat menunjukkan bahwa pendidikan agama dan keagamaan yang dilakukan oleh Guru Pendidikan Agama Islam di SMK PGRI 2 Ponorogo dapat membentuk self control siswa. 2. Praktis Penelitian ini dapat berguna sebagai masukan dalam menentukan kebijakan lebih lanjut bagi SMK PGRI 2 Ponorogo mengenai peranan Guru Pendidikan Agana Islam dalam membantu siswa siswa membentuk self control yang baik.
F. Landasan Teori Dan/Atau Telaah Pustaka Untuk memperkuat masalah yang akan di teliti maka penulis mengadakan tela’ah pustaka dengan cara mencari dan menemukan teori-teori yang akan di jadikan landasan penelitian, yaitu:
•
Self Control (kontrol diri) adalah kemampuan untuk membimbing tingkah laku sendiri; kemampuan untuk membimbing tingkah laku sendiri; kemampuan untuk menekan atau merintangi impuls-impuls atau tingkah laku impulsif. 17
•
Averill menyebut kontrol diri dengan sebutan kontrol personal, yang terdiri dari tiga jenis kontrol, yaitu: 18 1. Behavior Control (kontrol perilaku), yang terdiri dari dua komponen, yaitu kemampuan mengatur pelaksanaan (regulated administration) dan kemampuan memodifikasi stimulus (stimulus modifiability) 2. Cognitive control (kontrol kognitif), yang terdiri dari dua komponen, yaitu memperoleh informasi (information gain) dan melakukan penilaian (appraisal). 3. Decasional Control merupakan kemampuan seseorang untuk memilih hasil atau suatu tindakan berdasarkan pada sesuatu yang diyakini atau disetujuinya, kontrol diri dalam menentukan pilihan akan berfungsi baik dengan adanya suatu kesempatan, kebebasan atau kemungkinan pada diri individu untuk memilih berbagai kemungkinan tindakan.
•
Untuk mengukur kontrol diri digunakan aspek-aspek sebagai berikut:19
17
38.
18
Kartini Kartono, dalam Kamus Lengkap Psikologi (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999),
Zulkarnain. digitized by USU digital library 13 b, 2002. http://cc.msnscache.com/cache.aspx?q=72947682205551&mkt=en-ID&lang=enID&w=b55ac2e6&FORM=CVRE
a. Kemampuan mengontrol perilaku b. Kemampuan mengontrol stimulus c. Kemampuan mengantisipasi suatu peristiwa atau kejadian d. Kemampuan menafsirkan peristiwa atau kejadian. e. Kemampuan mengambil keputusan. •
Pendidikan agama Islam hendaknya dapat mewarnai kepribadian anak, sehingga agama Islam itu, benar-benar menjadi bagian dari pribadinya yang akan menjadi pengendali (controlling) dalam hidupnya di kemudian hari. Untuk tujuan pembinaan pribadi itu, maka pendidikan agama hendaknya diberikan oleh guru yang benar-benar tercermin agama itu dalam sikap, tingkah laku, gerak-gerik, cara berpakaian, cara berbicara, cara menghadapi persoalan dan dalam keseluruhan pribadinya. Atau dengan singkat dapat dikatakan bahwa Pendidikan Agama akan sukses, apabila ajaran agama itu hidup dan tercermin dalam pribadi guru. 20
•
Tiga langkah orang dewasa dalam membangun kontrol diri pada anak, yaitu:21 1. Langkah pertama adalah memperbaiki perilaku anda, sehingga dapat memberi contoh control diri yang baik bagi anak dan menunjukkan bahwa hal tersebut merupakan prioritas.
19
M. Nur Ghufron. “Hubungan Kontrol diri, persepsi remaja terhadap penerapan disiplin orang tua dengan prokrastinasi akademik.” Tesis Ilmu Psikologi UGM Yogyakarta,2003. http://www.damandiri.or.id/file/mnurgufronugmbab2.pdf 20 Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), 128. 21 Michele Borba, Membangun Kecerdasan Moral; Tujuh Kebajikan Utama Agar Anak Bermoral Tinggi (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), 107-125.
2. Langkah kedua adalah membantu anak menumbuhkan sistem regulasi internal sehingga dapat menjadi motivator bagi diri mereka sendiri. 3. Langkah ketiga mengajarkan cara membantu anak menggunakan kontrol diri ketika menghadapi godaan dan stres, mengajarkan untuk berfikir sebelum bertindak sehingga mereka akan memilih sesuatu yang aman dan baik. Berdasarkan uraian tersebut maka penelitian ini terkait dengan tela’ah pustaka terdahulu yang berusaha mengupas pembahasan tentang: 1. Imroatul Husna, tahun 2003, yang berjudul: Peranan Aktifitas Kerohanian Islam ”Al-Kausar” dalam menanamkan nilai-nilai agama pada siswa SMU Negeri 1 Ponorogo. Menghasilkan temuan tentang nilai-nilai agama Islam di Sekolah, meliputi sholat dhuha, sholat jama’ah dan membaca Alqur’an melalui kegiatan ekstra kulikuler keagamaan lainnya di bawah naungan kerohanian Islam ” Al-Kausar.” 2. M. Nur Ghufron, tahun 2003, yang berjudul: Hubungan Kontrol diri, persepsi remaja terhadap penerapan disiplin orang tua dengan prokrastinasi akademik. Menghasilkan temuan tentang: 1) Ada hubungan negatif antara kontrol diri dengan prokrastinasi akademik. 2) Ada hubungan negatif antara persepsi remaja terhadap penerapan disiplinotoriter orang tua dengan prokrastinasi akademik
3) Ada hubungan negatif antara persepsi remaja terhadap penerapan disiplin demokrasi orang tua dengan prokrastinasi akademik. 4) Ada hubungan positif antara persepsi remaja terhadap penerapan disiplin permisif orang tua dengan prokrastinasi akademik. Berdasarkan judul skripsi yang mereka angkat, maka penulis akan mengadakan penelitian, sehingga sampai saat ini gagasan penelitian muncul dan belum ditemukan penelitian yang membahas tentang: Pengembangan Self Control Remaja di SMK PGRI 2 Ponorogo Melalui Penanman Nilai-nilai Agama, hal ini sebagai bentuk betapa urgennya self control bagi anak SMK yang dibina melalui penanaman nilai-nilai agama.
G. Metodologi Penelitian 1. Pendekatan dan Jenis Penelitian Dalam penelitian ini digunakan Metodologi dengan pendekatan kualitatif, yang memiliki karakteristik alami (natural setting) sebagai sumber data langsung, deskriptif, proses lebih dipentingkan dari pada hasil, analisis dalam penelitian kualitatif cenderung dilakukan secara analisa induktif dan makna merupakan hal yang esensial.22
22
Pendekatan kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat dialami. Lihat dalam Lexy Moleong. Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2002), 3.
Ada 6 (enam) macam metodologi penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu: etnografis, studi kasus, grounded theory, interaktif, partisipatories, dan penelitian tindakan kelas. Dalam hal ini penelitian yang digunakan adalah penelitian studi kasus (case study), yaitu: suatu penelitian yang dilakukan untuk mempelajari secara intensif tentang latar belakang keadaan sekarang, dan interaksi lingkungan suatu unit sosial: individu, kelompok, lembaga, atau masyarakat.23 2. Kehadiran Peneliti Ciri khas penelitian kualitatif tidak dapat dipisahkan dari pengamatan berperan serta, sebab peranan penelitilah yang menentukan keseluruhan skenarionya.24 Untuk itu, dalam hal ini peneliti adalah sebagai instrumen kunci, partisipasi penuh sekaligus pengumpul data. Penelitian berlangsung sekitar bulan Pebruari sampai bulan April. Dengan kehadiran di lapangan setiap minggunya tiga kali, yaitu hari: Selasa, Kamis dan Jum ‘at. Mulai jam 07.30 sampai 15.00 WIB. Sedangkan instrumen yang lain, seperti catatan dokumen dan foto adalah sebagai penunjang.
23
Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), 22. Pengamatan berperan serta adalah sebagai penelitian yang bercirikan interaksi-sosial yang memakan waktu cukup lama antara peneliti dengan subyek dalam lingkungan subyek. Dan selama itu data dalam bentuk catatan lapangan dikumpulkan secara sistematis dan catatan tersebut berlaku tanpa gangguan. Lihat Lexy Moleong. Metodologi Pernelitian Kualitatif, 117. 24
3. Lokasi Penelitian Penelitian ini berlokasi di SMK PGRI 2 Ponorogo karena di dasarkan pada beberapa pertimbangan: •
SMK adalah Sekolah Menengah Kejuruan yang memiliki konotasi keagamaan yang tidak begitu baik menurut pandangan masyarakat. Ternyata memiliki suatu kegiatan keagamaan yang begitu unik, sehingga Guru Pendidikan Agama Islam di SMK sangat berperan dalam memantau penyimpangan perilaku para siswa.
•
Adanya Imam-Imam setiap Kelas dan mu’adzin yang bertujuan untuk mendisplinkan berjalannya kegiatan sholat jama’ah Dluhur dan kursus membaca Al-Qur’an.
•
Keberhasilan pendidikan agama Islam tidak hanya dilihat dari keaktifan siswa dalam mengikuti pelajaran di kelas dan keaktifan mengikuti ekstra keagamaan, tapi harus dilihat juga dari meningkatnya pengendalian diri pada siswa dalam kehidupan sehari-hari.
4. Sumber Data Sumber data utama dalam penelitian ini adalah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah tambahan, seperti dokumen dan lainnya. Dengan demikian sumber data dalam penelitian ini adalah kata-kata dan tidakan sebagai sumber utama, sedangkan sumber data tertulis, foto dan catatan tertulis adalah sumber data tambahan.
5. Prosedur Pengumpulan Data Teknik
pengumpulan
data pada
penelitian
ini
menggunakan
triangulasi teknik, berarti peneliti menggunakan teknik pengumpulan data yang berbeda-beda untuk mendapatkan data dari sumber yang sama. Peneliti menggunakan observasi partisipatif, wawancara mendalam, dan dokumentasi untuk sumber data secara serempak.25 Sebab bagi peneliti kualitatif fenomena dapat di mengerti maknanya secara baik, apabila dilakukan interaksi dengan subyek melalui wawancara mendalam dan observasi pada latar, dimana fenomena tersebut berlangsung dan di samping itu untuk melengkapi data diperlukan dokumentasi (tentang bahan-bahan yang ditulis oleh atau tentang subyek). 1. Teknik Observasi. Dalam penelitian kualitatif observasi diklarifikasikan menurut tiga cara.
Pertama, pengamat dapat bertindak sebagai partisipan atau non
partisipan. Kedua, observasi dapat dilakukan secara terus terang atau penyamaran. Ketiga, observasi yang menyangkut latar penelitian. Dalam penelitian ini digunakan tehnik observasi yang pertama di mana pengamat bertindak sebagai partisipan. Kemudian hasil observasi dicatat dalam bentuk transkrip observasi.
25
Sugiyono. Metodologi Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R &D (Bandung: Albeta, 2006), 241.
2. Teknik Wawancara. Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Maksud digunakannya wawancara anatara lain adalah (a) mengkonstruksi mengenai orang, kejadian, kegiatan organisasi, perasaan, motivasi, tuntutan, kepedulian dan lain-lain, (b) mengkonstruksikan kebulatankebulatan demikian yang dialami masa lalu. Dalam penelitian ini teknik wawancara yang peneliti gunakan adalah wawancara mendalam artinya peneliti mengajukan beberapa pertanyaan
secara
mendalam
yang
berhubungan
dengan
fokus
permasalahan. Sehingga data-data yang dibutuhkan dalam penelitian dapat terkumpul secara maksimal.
Dan kemudian hasil wawancara di catat
dalam bentuk transkrip wawancara. Sedangkan subjek peneliti dengan teknik Purposive Sampling yaitu pengambilan sampel bertujuan, sehingga memenuhi kepentingan peneliti.26 Adapun jumlah informan sebagai subjek peneliti yang diambil terdiri dari: 1). Guru Pendidikan Agama Islam SMK PGRI 2 Ponorogo; dan 4). Siswa kelas satu, yaitu: mu’adzin kelas, Siswa kelas dua, yaitu: imam kelas serta siswa kelas tiga, yaitu: mantan ketua rohis.
26
Lexy Moleong. Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2002), 135.
3. Teknik Dokumentasi. Dokumentasi digunakan untuk mengumpulkan data dari sumber non insani, sumber ini terdiri dari dokumen dan rekaman. “Rekaman” sebagai setiap tulisan atau pernyataan yang dipersiapkan oleh atau untuk individual atau organisasi dengan tujuan membuktikan adanya suatu peristiwa atau memenihi accounting. Sedangkan “Dokumen” digunakan untuk mengacu atau bukan selain rekaman, yaitu tidak dipersiapkan secara khusus untuk tujuan tertentu, seperti: surat-surat, buku harian, catatan khusus, foto-foto dan sebagainya. 27 Dalam penelitian ini digunakan dokumen berupa catatan khusus dan foto-foto dan kemudian hasil dokumen di catat dalam bentuk transkrip dokumentasi. 6. Analisa Data Setelah semua data terkumpul, maka langkah berikutnya adalah pengelolahan dan analisa data. Yang di maksud dengan analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara,
catatan
lapangan,
dan
dokumentasi,
dengan
cara
mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkan kedalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan
27
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rineka Cipta: 1998), 229-236.
akan dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh dirinya sendiri atau orang lain. Analisis data dalam kasus ini menggunakan analisis data kualitatif, maka dalam analisis data dilakukan secara terus menerus sejak awal sampai akhir penelitian yang di lakukan dengan menggunakan salah satu model milik spradley, yaitu melalui tehnik analisa domain.28 Kemudian di proses dengan menggunakan model milik Miles & Huberman, yaitu: reduction, display dan conclusion. 29 1. Proses reduction Pada tahap penjelajahan dengan tehnik pengumpulan data grand tour question, yakni pertama dengan memilih situasi sosial (place, actor, activity). Kemudian setelah memasuki lapangan, dimulai dengan menetapkan seseorang informan “key informant” yaitu guru Pendidikan Agama Islam dan beberapa pengurus Rohis yang merupakan informan yang berwibawa dan dipercaya mampu “membukakan pintu” kepada peneliti untuk memasuki obyek penelitian. Setelah itu peneliti melakukan wawancara kepada informan tersebut, dan mencatat hasil wawancara. Karena data yang di peroleh dari lapangan jumlahnya cukup banyak, untuk itu maka perlu di catat secara teliti dan rinci. Seperti di 28
Analisis domain berguna untuk mencari dan memperoleh gambaran umum dan pengertian yang bersifat menyeluruh, hasil yang diharapkan ialah pengertian di tingkat oermukaan mengenai domain tertentu atau kategori-kategori konseptual. Lihat: Jonathan Sarwono, Metode Penelitian Kuantitatif & Kualitatif (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2006), 240. 29 Sugiyono, Metodologi Penelitian kuantitatif kualitatif dan R & D (Bandung: Alfabeta, 2006), 247.
kemukakan, semakin lama peneliti ke lapangan, maka jumlah data semakin banyak, komplek dan rumit. Sehingga dilakukan analisis data dengan mereduksi data yakni merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya. Setelah itu perhatian peneliti pada obyek penelitian dan memulai mengajukan pertanyaan deskriptif, dilanjutkan dengan analisis terhadap hasil wawancara. Berdasarkan hasil dari analisis wawancara selanjutnya peneliti melakukan analisis domain. 2. Proses display Proses display adalah proses penyajian data. Penyajian data dalam penelitian ini menggunakan teks yang bersifat naratif yang merupakan hasil dari pencarian domaian pada proses awal yang datanya akan selalu dan terus menerus di uji melalui wawancara, observasi dan dokumentasi terfokus sehingga akan menjadi teori yang grounded. Teori grounded adalah teori yang ditemukan secara induktif, berdasarkan data-data yang ditemukan di lapangan, dan selanjutnya diuji melalui pengumpulan data yang terus-menerus. 3. Proses conclusion Proses conclusion adalah penarikan kesimpulan dan verivikasi. Setelah data yang terkumpul sudah dapat di display dan telah di dukung oleh data-data yang mantap, melalui wawancara, observasi dan
dokumentasi yang terseleksi maka dapat di sajikan kesimpulan yang kredibel. 7. Pengecekan Keabsahan Temuan Keabsahan data merupakan konsep penting yang diperbaruhi dari konsep kesahihan (validitas) dan keandalan (reliabilitas). Derajat kepercayaan keabsahan data (kredebilitas) dapat diadakan pengecekkan dengan tehnik pengamatan yang tekun, dan tringulasi. Ketekunan pengamatan yang dimaksud adalah menemukan ciri-ciri dan unsur-unsur dalam situasi yang sangat relevan dengan persoalan atau isu yang sedang dicari. 8. Tahapan-tahapan Penelitian Tahapan-tahapan penelitian ini ada tiga tahapan dan ditambah dengan tahap terakhir penelitian yaitu tahap penulisan laporan hasil penelitian. Tahaptahap penelitian tersebut adalah (1) tahap pra lapangan, yang meliputi menyusun rancangan penelitian, memilih lapangan penelitian, mengurus perizinan,
menjajagi
memanfaatkan
dan
informan,
menilai
keadaan
menyiapkan
lapangan,
perlengkapan
memilih
dan
penelitian
dan
menyangkut persoalan etika penelitian; (2) tahap pekerjaan lapangan, yang meliputi memahami latar penelitian dan persiapan diri, memasuki lapangan dan berperan serta sambil mengumpulkan data, (3) tahap analisis data, yang meliputi analisis selama dan setelah pengumpulan data; (4) tahap penulisan hasil laporan penelitian.
H. Sistematika Pembahasan. Di dalam penulisan skripsi ini diawali dengan halaman formalitas, yang terdiri dari: halaman judul, halaman persetujuan, halaman pengesahan, halaman motto, halaman persembahan, kata pengantar dan daftar isi. Dalam pembahasan skripsi penulis membagi dalam bagian-bagian, tiap bagian terdiri bab-bab, dan setiap bab terdiri dari sub-sub bab yang saling berhubungan dalam kerangka satu kesatuan yang logis dan sistematis. Adapun sistematika pembahasan sebagai berikut: BAB I. Pendahuluan. Membahas tentang: Latar belakang masalah, fokus penelitian, rumusan masalah, tujuan, manfaat dan metode penelitian dan sistematika pembahasan. BAB II. Landasan Teori dan/atau Telaah Pustaka. Membahas tentang: 1. Self control Siswa, meliputi pengertian dan perkembangan self control, jenis dan aspek self control, pentingnya self control bagi siswa dan strategi self control. 2. Penanaman
nilai-nilai
agama,
meliputi
pengertian
dan
perkembangan nilai-nilai agama, dasar penanaman nilai-nilai agama, membangun suara hati melalui nilai-nilai agama, dan cara menanamkan nilai-nilai agama di sekolah umum. 3. Faktor-Faktor Pendidikan.
BAB III.Temuan Penelitian. Membahas tentang: 1. Gambaran umum SMK PGRI 2 Ponorogo yang berisi tentang sejarah singkat, letak geografis, moto, visi-misi dan tujuan serta sarana dan prasarana. 2. Dan tentang diskripsi data meliputi pengembangan self control siswa di SMK PGRI 2 Ponorogo melalui penanaman nilai-nilai agama, Perkembangan self control siswa di SMK PGRI 2 Ponorogo dan faktor-faktor pendukung dan penghambat dalam pengembangannya. BAB IV. Laporan hasil penelitian. Membahas tentang: Analisa pengembangan self control siswa di SMK PGRI 2 Ponorogo melalui penanaman nilai-nilai agama, Perkembangan self control siswa di SMK PGRI 2 Ponorogo melalui penanaman nilainilai agama dan faktor-faktor pendukung dan penghambat dalam pengembangannya. BAB V. Penutup. Membahas tentang: Kesimpulan dan saran. Dan setelah lima bab, kemudian diikuti dengan daftar pustaka, lampiran-lampiran, daftar riwayat hidup
BAB II PENGEMBANGAN SELF CONTROL SISWA MELALUI PENANAMAN NILAI-NILAI AGAMA
A. Self Control Siswa. 1. Pengertian dan Perkembangan Self Control . a. Pengertian self control. Dalam kamus lengkap Psikologi, menyatakan bahwa: self control (kontrol diri) adalah kemampuan untuk menekan atau merintangi impulsimpuls atau tingkah laku impulsif. 30 Self control atau di sebut juga dengan pengendalian diri adalah seperangkat tingkah laku yang berfokus pada keberhasilan mengubah diri pribadi, keberhasilan menangkal pengerusakkan diri (self-destructive), perasaan mampu pada diri sendiri, perasaan mandiri (autonomy) atau bebas dari pengaruh orang lain, kebebasan menentukan tujuan, kemampuan untuk memisahkan perasaan dan pikiran rasional, serta seperangkat tingkah laku yang berfokus pada tanggung jawab atas diri pribadi.31 Gilliom et al. menyatakan bahwa self–regulation, khususnya angerregulation, memainkan peran yang penting dalam pengembangan
30
38.
31
Kartini Kartono, dalam Kamus Lengkap Psikologi (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999),
Singgih D. Gunarsa, Bunga Rampai Psikologi Perkembangan; Dari Anak Sampai Usia Lanjut (Jakarta: Gunung Mulia, 2006), 250.
self control. Bandura menyatakan bahwa self regulation meupakan kemampuan individu untuk mempertahankan komitmennya terhadap suatu tujuan selama periode waktu tertentu, khususnya pada saat tidak adanya insentif yang berasal dari luar diri (eksternal rewards).32 Kontrol diri (self-control) sebagai pengaturan proses-proses fisik, psikologis, dan perilaku seseorang dengan kata lain serangkaian proses yang membentuk dirinya sendiri. Kontrol diri sebagai suatu kemampuan untuk menyusun, membimbing, mengatur dan mengarahkan bentuk perilaku yang dapat membawa individu kearah konsekuensi positif. Kontrol diri juga menggambarkan keputusan individu yang melalui pertimbangan kognitif untuk menyatukan perilaku yang telah disusun untuk meningkatkan hasil dan tujuan tertentu seperti yang diinginkan.33 b. Perkembangan self control. Para peneliti menemukan kontrol diri berkembang secara perlahan pada diri anak pada tahap-tahap yang dapat diprediksi. Namun, para peneliti ini memperingatkan bahwa kita tidak akan pernah dapat memastikan tahapan anak berdasarkan usianya. Anak-anak dapat berubahubah secara cepat berdasarkan kemampuan dan pengalaman mereka.
32
Ibid., 251. M. Nur Ghufron. “Hubungan Kontrol diri, persepsi remaja terhadap penerapan disiplin orang tua dengan prokrastinasi akademik.” Tesis Ilmu Psikologi UGM Yogyakarta,2003. http://www.damandiri.or.id/file/mnurgufronugmbab2.pdf 33
Semakin kita memahami tingkat kontrol diri anak saat ini, semakin baik kita membantunya melangkah ke tahap berikutnya. Tahap-tahap ini diadaptasi dari karya Michael Bloomquist, psikologi anak dan penulis Skill Trainning for Children with Behavior Disorders.34 Tahap 1: Membentuk rasa aman Masa awal pertumbuhan (0 hingga 1 tahun) Bayi masih sangat berpusat pada dirinya dan menjajaki lingkunganya dengan bantuan orang tuanya sebagai pendukung rasa aman. Karena bayi secara instingtif mengasosiakan orang tuanya sebagai stimulus yang menyenangkan seperti makanan, kehangatan dan pengasuhan. Tahap 2: Berorintasi pada kontrol eksternal Masa belajar berjalan (1 hingga 3 tahun) Anak akan merespon kontrol eksternal dari orang-orang dewasa dan menuruti permintaan mereka. Tahap 3: Mengikuti aturan yang ketat Prasekolah (3 hingga 6 tahun) Anak akan mengikuti aturan-aturan orang-orang dewasa dalam bentuk perintah yang sering mereka ucapkan secara keras untuk mengontrol perilakunya.
34
Michele Borba, Membangun Kecerdasan Moral; Tujuh Kebajikan Utama Agar Anak Bermoral Tinggi, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), 130.
Tahap 4: Menyadari dorongan dari dalam Sekolah dasar (6 hingga 12 tahun) Anak menggunakan kesadarannya untuk mengarahkan perilakunya dan mengatur dorongan dari dalam dirinya. Ia mulai belajar mengatasi persoalan dan mengembangkan kesadaran yang kuat terhadap perilakunya. Tahap 5: Berorintasi pada kontrol internal Masa remaja (12 hingga 20 tahun) Anak memperoleh banyak kemajuan dalam mengatasi persoalan dan lebih banyak menyadari keinginan dan tindakanya. Piaget menyebutkan bahwa masa remaja sudah mencapai tahap pelaksanan
formal
dalam
kemampuan
kognitif.35
Dia
mampu
mempertimbangkan segala kemungkinan untuk mengatasi suatu masalah dari beberapa sudut pandang dan berani mempertanggung jawabkan. Sehingga kohlberg juga berpendapat bahwa perkembangan moral ketiga, moralitas pasca-konvensional harus di capai selama masa remaja. Sejumlah prinsip di terimanya melalui dua tahap; pertama menyakini bahwa dalam keyakinan moral harus ada fleksibilitas sehingga memungkinkan dilakukan perbaikan dan perubahan standar moral bila menguntungkan semua anggota kelompok; kedua menyesuaikan diri dengan standar sosial dan ideal untuk menjahui hukuman sosial terhadap
35
Enung Fatimah, Psikologi Perkembangan; Perkembangan Peserta Didik (Bandung: Pustaka Setia, 2006), 24-25.
dirinya sendiri, sehingga perkembangan moralnya tidak lagi atas dasar keinginan pribadi, tatapi menghormati orang lain. Untuk itu siswa yang sudah menginjak pada usia remaja pengendalian dirinya sudah tidak lagi berasal dari pembentukan rasa aman, adanya kontrol eksternal atau karena mengikuti aturan yang ada akan tetapi pengendalian dirinya sudah mulai mencapai tahap menyadari dorongan dari dalam dan berasal dari kontrol internal. 36 Berbagai kajian tentang perkembangan moral juga membuktikan bahwa cara yang efektif untuk mengawasi perilaku remaja adalah melalui pengembangan kata hati, yaitu kekuatan internal yang tidak membutuhkan pengendalian lahir. Remaja harus memiliki motivasi sendiri untuk bertingkah laku sesuai dengan standar kelompoknya jika ingin mengasosiakan emosi yang menggembirakan dengan perilaku yang didukung kelompok, dan emosi yang tidak menggembirakan dengan perilaku yang tidak didukung kelompok. 37 Dalam keadan seperti itu, remaja merasa bersalah apabila harapan sosial kelompoknya tidak bisa dipenuhi oleh perilakunya, dan merasa malu bila sadar akan penilaian buruk kelompok terhadap perilakunya.38 36
Michele Borba, Membangun Kecerdasan Moral; Tujuh Kebajikan Utama Agar Anak Bermoral Tinggi. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), 89. 37 Muhammad Al-Mighwar, Psikologi Remaja; Petumjuk bagi guru dan orang tua (Bandung: Pustaka Setia, 2006), 141. 38 Menurut Hurlock, “Perilaku yang dikendalikan rasa bersalah adalah perilaku yang dikendalikan dari dalam. Sedangkan perilaku yang yang di kendalikan oleh rasa malu adalah perilaku yang di kendalikan dari luar. Karena rasa malu hanya timbul bila seorang sadar terhadap penilaian
2. Jenis dan Aspek Self Control 39 Menurut Averill terdapat tiga jenis kontrol diri yang meliputi 5 aspek. Averill menyebut kontrol diri dengan sebutan kontrol personal, yaitu kontrol perilaku (behavior control), kontrol kognitif (kognitif control) dan mengontrol keputusan (decesional control). 1) Behavior control Merupakan tersediannya suatu respon yang dapat secara langsung mempengaruhi
atau
memodifikasi
suatu
keadaan
yang
tidak
menyenangkan. Kemampuan mengontrol perilaku ini diperinci menjadi dua komponen, yaitu mengatur pelaksanaan (regulated administration) dan
kemampuan
memodifikasi
stimulus
(stimulus
modifiability),
kemampuan mengatur pelaksanan merupakan kemampuan individu untuk menentukan siapa yang mengendalikan situasi atau keadan, dirinya sendiri atau aturan perilaku dengan menggunakan kemampuan dirinya dan bila tidak mampu individu akan menggunakan sumber eksternal, kemampuan mengatur stimulus merupakan kemampuan untuk mengetahui bagaimana dan kapan suatu stimulus yang tidak dikehendaki dihadapi.
buruk kelompok terhadap perilakunya sedangkan individu akan merasa bersalah bila menyadari bahwa perilakunya tidak memenuhi harapan kelompoknya. Lihat : Hurlock, Psikologi Perkembangan (Jakarta: Erlangga, 1980), 226. 39 Zulkarnain. digitized by USU digital library 13 b, 2002. http://cc.msnscache.com/cache.aspx?q=72947682205551&mkt=en-ID&lang=enID&w=b55ac2e6&FORM=CVRE
Ada beberapa cara yang dapat digunakan, yaitu mencegah atau menjahui stimulus, menempatkan tenggang waktu di antara rangkaian stimulus yang sedang berlangsung, menghentikan stimulus sebelum waktunya berakhir dan membatasi intensitasnya.40 2) Cognitive control Merupakan kemampuan individu dalam mengolah informasi yang tidak
diinginkan
dengan
cara
menginterprestasi,
menilai,
atau
menghubungkan suatu kejadian dalam suatu kerangka kognitif sebagai adaptasi psikologis atau mengurangi tekanan. Aspek ini terdiri atas dua komponen, yaitu memperoleh informasi (information again) dan melakukan penilaian (appraisal). Dengan informasi yang dimiliki oleh individu mengenai suatu keadaan yang tidak menyenagkan, individu dapat mengantisipasi
keadaan
tersebut
dengan
berbagai
pertimbangan.
Melakukan penilaian berarti individu berusaha menilai dan menafsirkan suatu keadaan atau peristiwa dengan cara memperhatikan segi-segi positif secara subyektif.41 3) Decesional control Merupakan kemampuan seseorang untuk memilih hasil atau suatu tindakan berdsarkan sesuatu yang diyakini atau disetujuinya, kontrol diri dalam menentukan pilihan akan berfungsi baik dengan adanya suatu
40 41
Alwisol, Psikologi Kepribadian (Malang: Universitas Muhammadiyah, 2007), 382-400. Ibid. , 340-357.
kesempatan, kebebasan atau kemungkinan pada diri individu untuk memilih berbagai kemungkinan tindakan. Dari uraian dan penjelasan di atas, maka untuk mengukur kontrol diri digunakan aspek-aspek sebagai berikut:42 a. Kemampuan mengontrol perilaku. b. Kemampuan mengontrol stimulus. c. Kemampuan mengantisipasi suatu peristiwa atau kejadian d. Kemampuan menfsirkan peristiwa atau kejadian. e. Kemampuan mengambil keputusan.
3. Pentingnya Self Control bagi Siswa. Siswa yang menginjak usia remaja, yaitu masa peralihan, ketika individu tumbuh dari masa anak-anak menjadi individu yang mempunyai kematangan. Pada masa tersebut, ada dua hal penting menyebabkan siswa ataupun remaja melakukan pengendalian diri. Dua hal tersebut adalah: 43 Pertama hal yang bersifat eksternal, yaitu perubahan lingkungan. Saat ini, masyarakat dunia sedang mengalami banyak perubahan begitu cepat yang membawa berbagai dampak, baik positif maupun negative.
42
Ghufron, M. Nur. “Hubungan Kontrol diri, persepsi remaja terhadap penerapan disiplin orang tua dengan prokrastinasi akademik.” Tesis Ilmu Psikologi UGM Yogyakarta, 2003. http://www.damandiri.or.id/file/mnurgufronugmbab2.pdf 43 Singgih D. Gunarsa, Bunga Rampai. Psikologi Perkembangan; Dari Anak Sampai Usia Lanjut ( Jakarta: Gunung Mulia, 2006), 262.
Ada lima aspek yang sedang mengalami perubahan dan memiliki pengaruh bagi kehidupan masa remaja. lima aspek tersebut adalah: 1) Perubahan dalam penggunaan computer (computer revolution) ditandai dengan adanya fasilitas internet yang tersedia 24 jam sehari. Dengan tersedianya fasilitas tersebut, remaja sangat diuntungkan. Remaja dapat memperoleh berbagai pengetahuan atau informasi yang dibutuhkannya. Namun demikian, bersamaan dengan itu, remaja mendapatkan dampak negative dari tersedianya fasilitas internet tersebut. Ada beberapa efek negative
yang
dialami
remaja
akibat
cepatnya
perubahan
dan
perkembangan teknologi internet, yaitu meningkatkanya agresivitas dalam kehidupan seks remaja dan tersitanya sebagaian waktu remaja untuk bermain
computer
dan
menjelajahi
dunia
internet,
sehingga
mengakibatkan terisolasinya hubungan interpersonal remaja dengan lingkungan bahkan dengan orang-orang terdekat di rumahnya. 2) Perubahan dalam kehidupan materi (materialistic revolution). Saat ini, individu termasuk remaja dikelilingi oleh lingkungan yang penuh dengan barang hasil produksi, kemudahan akses dalam membeli barang tersebut, serta informasi iklan yang sangat berlimpah untuk membeli atau mengkonsumsi barang-barang hasil propduksi tersebut. Hammer (dalam. Kompas 16 Juni 2002), yang melakukan survey terhadap isi tas remaja putri, mendapatkan bahwa umumnya isi tas mereka adalah kosmetik dari merk terkenal, telpon genggam, dompet yang berisi lembar uang Rp.
10.000 dan Rp. 20.000, bahkan beberapa remaja ada juga yang sudah memegang kartu kredit, kemampuan remaja dalam menghadapi tuntutan kehidupan materi ini akan mempengaruhi identitas dirinya, yaitu ketika remaja merasa kurang mampu menghadapai tuntutan ini akan merasa ditolak oleh lingkungan sosialnya. Oleh karena itu, untuk menghadapi perubahan kehidupan materi ini, remaja perlu mengendalikan diri dalam bentuk menunda keinginan sesaat untuk membeli atau mengkonsumsi berbagai macam barang yang ada di sekelilingnya. Boleh jadi bila seseorang remaja berhasil menunda keinginanya untuk membeli barang tertentu, remaja yang bersangkutan akan mendapatkan kesempatan untuk benar-benar memikirkan kembali manfaat barang yang akan di belinya tersebut. 3) Perubahan dalam aspek pendidikan (education revolution). Kemajuan teknologi dan kehidupan sosial yang semakin komplek telah menyebabkan kebutuhan akan pendidikan semakin penting dan membutuhkan waktu yang relative lebih lama untuk menyelesaikan studi dibandingkan masamasa sebelumnya.
Perubhan dalam
aspek
pendidikan ini telah
menyebabkan ketergantungan remaja pada orang tua semakin bertambah (rata-rata hingga 24 tahun) serta kedewasaan remaja semakin tertunda. Dengan merespon kebutuhan pendidikan yang dirasakan sangat penting, agar bisa sukses dikemudian hari, remaja perlu menyadari semenjak dini bahwa pemilihan studi yang akan ditempuhnya akan semakin lama.
Lamanya
masa
pendidikan
yang
harus
dijalaninya
menjadikan
pengendalian diri pada masa remaja sebagai unsure yang penting. Dengan pengendalian diri yang baik, remaja diharapkan mampu mengendalikan godaan-godaan yang datang selama masa studi agar mereka dapat berkonsentrasi penuh pada bidang studinya. 4) Perubahan dalam kehidupan seks. (Sexual revolution) ditandai dengan semakin bebasnya media menyajikan topik yang berkaitan dengan permasalahan kehidupan seks, semakin meluasnya penyebaran penyakitpenyakit yang ditularkan secara seksual (sekually transmitted diseases) serta penyakit AIDS, semakin diterimanya sikap positif terhadap perilaku seksual (hubungan intim) pranikah, semakin banyaknya kasus-kasuis kehamilan di luar nikah, serta semakin meningkatnya pengembangan alatalat kontrasepsi. Perubahan-perubahan dalam kehidupan seks ini tentunya akan membawa dampak negative bagi remaja. Di Indonesia, remaja yang sudah terlanjur hamil di luar nikah umumnya cenderung dipojokkan oleh masyarakat lingkungannya, atau bahkan remaja yang bersangkutan cenderung menarik diri dari lingkungan sekolahnya. Namun demikian, perlu disadari dampak yang akan dialami remaja tidak otomatis terpecahkan dengan sekedar sikap menerioma atau menolak sesuai revolution ini. Dalam menghadapi sexual revolution, remaja memerlukan mekanisme pengendalian diri yang baik. Dalam hal ini, pengendalian diri
yang baik berati remaja mampu mengendalikan hasrat seksual dan dorongan biologisnya yang sedang timbul. Tanpa kemampuan untuk mengendalikan hasrat seksaual dan dorongan biologisnya yang sedang timbul tersebut, mudah sekali bagi remaja masuk dalam arus sexual revolution yang banyak memiliki dampak negatif. 5) Perubahan dalam bidang kekerasan hal-hal yang termasuk dalam bidang kekerasan yuang dilakukan oleh para remaja antara lain adalah pemerkosaan, perampokan, pembunuhan, pemukulan, dan perilaku kriminal seperti penggunaan obat terlarang. Untuk mencegah agar remaja tidak masuk ke dalam arus perubahan dalam bidang kriminal ini, remaja perlu memiliki kemampuan pengendalian diri yangt memadai. Dengan kemampuan pengendalian diri yang baik remaja di harapkan mampu mengendalikan dan menahan tingkah laku yang bersifat menyakiti dan merugikan orang lain atau mampu mengendalikan serta menahan tingkah laku yang bertentangan dengan norma-norma sosial berlaku. Kedua adalah hal yang bersifat internal, yaitu karakteristik di dalam diri remaja yang membuat remaja relative lebih bergejolak dibandingkan dengan masa perkembangan lainnya (storm and stress period). Ada tiga elemen kunci yang termasuk dalam konsep masa badai dan tekanan ini adalah: 1. Konflik dengan orang tua, gangguan suasana hati, dan kecenderungan terjadinya tingkah laku yang berisiko. Konflik dengan orang tua sering
kali diisi dengan permasalahan seputar larangan-larangan yang berasal dari orang tua kepada remaja. Larangan-larangan tersebut misalnya kesopanan dalam penampilan, kapan remaja diperbolehkan untuk berpacaran, kemana saja remaja diperbolehkan untuk bepergian, serta jam berapa paling lambat remaja harus sampai di rumah. 2. Gangguan suasana hati. Remaja lebih sering mengalami gangguan suasana hati dibandingkan pada saat masa anak-anak menjelang remaja (preadolescent) atau pada saat memasuki masa dewasa. Remaja memang mengalami suasana hati yang positif. Namun demikian bila ditinjau dari frekuensi suasana hati yang timbul, remaja cenderung lebih sering mengalami suasan hati yang timbul, remaja cenderung lebih sering mengalami suasana hati yang negatif. Adapun suasana hati negatif yang sering dialami oleh remaja diantaranya adalah perasaan aneh atau tidak nyaman, perasaan kesepian, perasaan gugup, khawatir, dan perasaan diabaikan atau kurang diperhatikan. 3. Kecenderungan remaja untuk melakukan tingkah laku yang berisiko. Tingkah laku berisiko didefinisikan sebagai tingklah laku yang secara potensial dapat menyebabkan celaka atau kesulitan pada orang lain atau pada dirinya sendiri. Tingkah laku beresiko yang paling sering timbul pada masa remaja diantaranya adalah penyalah gunaan obat-obatan, keselamatan mengemudi, serta kehidupan yang berkaitahn dengan kehidupan seks remaja. Namun demikian, perlu diingat tidak semua
remaja mencoba tingkah laku yang berisiko tersebut. Remaja yang besar kemungkinan mencoba tingkah laku berisiko tersebut adalah remaja yang memiliki kesenangan untuk mencari sensasi dan remaja yang memiliki kecenderungan untuk menuruti kehendak sesaat (impulsivity). Berdasarkan kecenderungan remaja untuk terlibat konflik dengan orang tua, kecenderungan remaja untuk mengalami gangguan suasana hati, dan kecenderungan remaja untuk mencoba tingkah laku yang berisiko. Maka sangat penting bagi remaja untuk memiliki kemampuan mengendalikan diri. Dengan kemampuann pengendalian diri yang baik, remaja diharapkan dapat mengantisipasi akibat-akibat negatif yang di timbulkan pada masa storm & stress tersebut.
4. Strategi Self Control. Menurut Michele Borba, Ed. D ada tiga langkah penting dalam membangun kontrol diri pada anak-anak, yaitu:44 Beri contoh kontrol diri dan jadikan hal tersebut sebagai prioritas. Doronglah agar anak memotivasi diri. Ajarkan cara mengontrol dorongan agar berpikir sebelum bertindak. Strategi pengendalian diri yang secara konseptual didasarkan pada Teori Belajar sosial (Social Learning Theory) dari Bandura.45 adalah Teknik
44
Michele Borba, Membangun Kecerdasan Moral; Tujuh Kebajikan Utama Agar Anak Bermoral Tinggi. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), 107.
behavior self-management. Pada teknik ini, individu belajar membentuk tingkah laku yang diinginkannya melalui tiga tahap, yaitu tahap selfobsevation,
tahap
environmental-observation,
dan
tahap
behavior
programming. 1. Tahap self-observation. Tahap self-observation adalah tahap ketika individu mengamati tingkah laku dirinya. 2. Tahap environmental-observation. Dalam penerapanya, tahap ini dibagi lagi tahap ini di bagi menjadi tiga tahap, yaitu: 1) Observe the antecendent, yaitu tahap pengamatan terhadap penyebab (dapat berupa orang, peristiwa, tempat, dan lain-lain) dari kondisi yang sedang dialami. 2) Observe the coping strategies, yaitu tahap pengamatan terhadap bagaimana cara orang lain mengatasi kondisi yang sedang dialaminya tersebut.
45
Menurut Bandura, sumber pengontrol tingkah laku adalah resiprokal antara lingkungan, tingkahlaku, dan pribadi, yaitu suatu formulasi mengenai perilaku dan sekaligus dapat memberikan informasi bagaimana peran perilaku itu terhadap lingkungan dan terhadap individu yang bersangkutan. Dan Efikasi diri berhubungan dengan keyakinan bahwa diri memiliki kemampuan melakukan tindakan yang di harapkan dan merupakan variable pribadi yang penting dalam pembentukan perilaku. Sedangkan implementasi dalam pembelajaran adalah adanya empat komponen dalam proses belajar melalui pengamatan, yaitu: perhatian, pencaman, reproduksi gerak motorik, dan ulangan penguatan dan motivasi. Lihat: Alwisol, Psikologi Kepribadian (Malang: Universitas Muhammadiyah, 2007), 347.
3) Observe the consequences, yaitu tahap pengamatan terhadap konsekuensi dari cara yang diterapkan oleh orang lain dalam menghadapi kondisi tersebut. 3. Tahap behavior programming. Tahap behavior programming, yaitu: tahap perencanaan perilaku ini dilakukan
berdasarkan
pengamatan
terhadap
konsekuensi
negatif
(punishement) dan konsekuensi positif (positif-reinforcement) yang di terima orang lain dari lingkungannya.46
B. Penanaman Nilai-Nilai Agama 1. Pengertian dan Perkembangan Nilai-Nilai Agama. Moral berkaitan dengan kemampuan untuk membedakan antara perbuatan yang benar dan yang salah. Dengan demikian, moral merupakan kendali dalam bertingkah laku.47 Sedangkan dalam kaitanya dengan penanaman nilai-nilai keagamaan, maka moral merupakan kontrol dalam bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan nilai-nilai agama yang di maksud.48 Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) nilai agama diartikan sebagai: “ Suatu konsep mengenai penghargaan tinggi yang diberikan oleh 46
Singgih D. Gunarsa, Bunga Rampai. Psikologi Perkembangan; Dari Anak Sampai Usia Lanjut ( Jakarta: Gunung Mulia, 2006), 260. 47 Sunarto & Agung Hartono. Perkembangan Peserta Didik, (Jakarta: Asdi Mahasatya, 2002), 168. 48 Ibid. , 167.
warga masyarakat kepada beberapa masalah pokok dalam kehidupan keagamaan yang bersifat suci sehingga menjadi pedoman bagi tingkah laku keagamaan warga masyarakat yang bersangkutan ”.49 Dalam agama Islam masalah pokok dalam kehidupan keagamaan itu meliputi tiga hal, yaitu aqidah (keimanan), syari’ah (ibadah), dan akhlak. Jadi ketiga hal tersebut harus dapat dijadikan pedoman bagi setiap tingkah laku manusia. Berkenaan dengan proses pembentukan nilai khususnya pendidikan moral, John Dewey mengemukakan postulat adanya tiga level terjadinya pembentukan moral, yaitu:50 1. Pre moral atau pre conventional yaitu tumbuhnya moral atau perilaku yang dimotivasi oleh dorongan biologis atau dorongan sosial. 2. Conventional level yaitu seseorang menerima dengan hanya sedikit kritikan terhadap ukuran-ukuran moral dalam kelompoknya. 3. Autononus level yaitu tingkah laku yang dibimbing oleh pemikiran pribadi dan proses penilaian apakah sesuatu itu baik. Ia tidak menerima begitu saja ukuran-ukuran kelompok tanpa pemekirin refleksi. Hampir mirip dengan pandangan ahli-ahli psikologi yang dicatat oleh Piaget dan Kohlberg bahwa pengalaman keagamaan hampir sama dengan perkembangan moral yakni:51 49
Pusat Pembinaan & Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia ( Jakarta: Balai Pustaka, 1989), 165. 50 Kamrani Buseri, Nilai-Nilai Ilahiah Remaja/Pelajar (Yogyakarta: UII Pers, 2004), 9.
1. Authoritarian stage (apa yang ditunjukkan orang tua kepada saya adalah benar), perkembangan nilai pada diri anak bermula dari penerimaan tanpa pertimbangan. 2. Conforming stage (norma-norma dari peer group adalah benar), perkembangan nilai pada masa adolesen yaitu penerimaan dengan pertimbangan oleh pribadinya. 3. Autonomous stage, ketika seseorang menerima keputusan moral dari dirinya sendiri diatas dasar suatu prinsip-prinsip yang umum. Pada masa ini mereka sudah menjadikan nilai bagian dari hidupnya.
2. Dasar Penanaman Nilai-nilai Agama Dasar merupakan landasan tempat berpijak sesuatu agar sesuatu tersebut dapat berdiri dengan kokoh. Adapun dasar penanaman nilai-nilai Agama atau pendidikan agama ada tiga, yaitu:52 a. Dasar Religius 1. Al-Qur’an. Firman Allah SWT surat At-Taubah ayat 122. 53 (#θßγ¤)xtGuŠÏj9 ×πxÍ←!$sÛ öΝåκ÷]ÏiΒ 7πs%öÏù Èe≅ä. ÏΒ txtΡ Ÿωöθn=sù 4 Zπ©ù!$Ÿ2 (#ρãÏΨuŠÏ9 tβθãΖÏΒ÷σßϑø9$# šχ%x. $tΒuρ
51
Ibid. ,10. Zuhairini. Metodik Khusus Pendidikan Agama Islam (Surabaya: Usaha Nasional, 1980), 21. 53 Al-Qur’an 09: 122. 52
∩⊇⊄⊄∪ šχρâ‘x‹øts† óΟßγ‾=yès9 öΝÍκös9Î) (#þθãèy_u‘ #sŒÎ) óΟßγtΒöθs% (#ρâ‘É‹ΨãŠÏ9uρ ǃÏe$!$# ’Îû
Artinya: Tidak sepatutnya orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. 54 Dari ayat Al-Qur’an di atas dapat disimpulkan bahwa sudah menjadi kewajiban bagi tiap-tiap orang untuk dirinya dari siksa api neraka, tidak lain dan jalan lain mengetahui atau mempelajari agama terdahulu (dalam medan perang). 2. Al-Hadist. Dalam hadist yang lain juga dikatakan sebagai berikut: 55 QjداUk_ اةUhءOP ,ةefg \[ ^SU_ `د اUSUb cb Ob : XRV وQZR[ QRS ]\ اQRSل اUVل رOP QjOlmn_ اوQjاeop_ او
Artinya: Rasû lallah SAW bersabda: Tidaklah anak yang dilahirkan itu kecuali telah membawa fitrah (prasa) percaya kepada Allah atau fitrah agama, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan anak tersebut beragama Yahudi, Nasrani ataupun Majusi. 54 55
Department Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahanya (Semarang: Asy Syifa’, 2000), 164. Imam Bukhori, Sunan Bukhori Juz I (Beirut: Darul Fikr, 1994), 291.
b. Dasar yuridist/hukum Manusia membutuhkan pendidikan dalam kehidupannya. Pendidikan merupakan usaha agar manusia dapat mengembangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaran. Undang-undang Dasar Negeri Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 31 ayat (1) menyebutkan “ Bahwa tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan dan ayat (3) Menegaskan bahwa pemerintah menegaskan bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bagsa yang diatur dengan undang-undang. Untuk itu, seluruh komponen
bangsa
wajib
mencerdaskan
kehidupan
bangsa
yang
merupakan salah satu tujuan negara Indonesia”. 56 Ini menunjukkan bahwa setiap warga negara (Indonesia) berhak atas pendidikan dan pengajaran, baik itu pendidikan umum maupun pendidikan agama (pendidikan agama Islam). c. Dasar psikologis. Dasar psikologi merupakan dasar-dasar pelaksanaan pendidikan agama yang ditinjau dari aspek psikologis atau kejiwaan. Mengenai hal ini Zakiah Daradjat dalam bukunya yang berjudul “Pendidikan Islam dalam keluarga dan Sekolah” Mengungkapkan bahwa aspek psikologis
56
Undang-Undang Republik Indonesia, Tentang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 (Jakarta: Cemerlang, 2003), 7.
(kejiwaan) mempunyai peranan penting dalam kehidupan manusia dan merupakan penentu dari berbagai aspek kehidupan manusia.57 Ditinjau dari aspek psikologis (kejiwaan) semua manusia dalam hiodupnya selalu membutuhkan pegangan hidup yang di sebut agama. Selain itu mereka juga merasakan bahwa dalam jiwanya ada suatu perasan yang mengakui adanya dzat yang maha kuasa tempat mereka berlindung dan memohon pertolongan. Sehingga mereka akan merasa tenang dan tentram jika dekat dengan-Nya.58 Perasaan keagamaan tersebut merupakan potensi atau kemampuan dasar yang merupakan benih yang dapat tumbuh dan berkembang. Adapun pertumbuhan dan perkembangannya memerlukan pendidikan agama, karena pendidikan agama dapat mengarahkan manusia kearah yang benar.59
3. Membangun Suara Hati Melalui Nilai-Nilai Agama. Pendidikan agama hendaknya dapat mewarnai kepribadian anak, sehingga agama itu, benar-benar menjadi bagian dari pribadinya yang akan menjadi pengendali tingkah laku, sikap dan gerak-geriknya dalam hidupnya di kemudian hari. Memang, kadang-kadang kita melihat keyakinan remaja 57
12.
58
Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga & Sekolah (Jakarta: Ruhama, 1995),
Zuhairini. Metodik Khusus Pendidikan Agama Islam (Surabaya: Usaha Nasional, 1980), 23. Arifin, Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama di Lingkungan Sekolah dan Keluarga (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), 25. 59
terombang-ambing, tidak tetap, bahkan kadang-kadang berubah-ubah, sesuai dengan perubahan perasaan yang dilaluinya. Suatu hal yang tidak dapat disangkal, adalah bahwa remaja-remaja itu secara potensial telah beragama.60 Apabila ajaran Agama telah masuk menjadi bagian dari mentalnya, yang telah terbina, maka dengan sendirinya ia akan menjahui segala larangan Tuhan dan mengerjakan segala suruhan-Nya, bukan karena paksaan dari luar, tetapi karena batinya merasa lega dalam mematuhi segala perintah Allah, yang selanjutnya kita akan melihat bahwa nilai-nilai agama tampak tercermin dalam tingkah-laku, perkataan, sikap dan moralnya pada umunya.61 Dengan cara meningkatkan kepercayaan pada Tuhan. Maka remaja akan terbiasa mendengarkan suara hati dalam hal mengendalikan diri dari kebutahan-kebutuhan dan keinginan yang condong ke arah penurutan hawa nafsu yang menguasai.62 Untuk itu tugas guru pendidikan agama Islam adalah menciptakan situasi belajar mengajar yang dapat membantu remaja pelajar dapat meningkatkan keimanan kepada tuhan . Pengendalian diri terhadap hawa nafsu melalui kata hati, dalam Islam di sebut dengan proses tazkiyah-nafs yakni pensucian jiwa.63 60
Zakiah Daradjat, Pendidikan Agama Dalam Pembinaan Mental (Jakarta: Bulan Bintang,
1975), 128. 61
Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), 59. Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar; Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral (Yogyakarta: Kanisius, 1999), 80. 63 Said Hawwa, Mensucikan Jiwa: Konsep Tazkiyatun Nafs Terpadu (Jkarta: Rabbani Press, 2001), 33-141. 62
Proses tazkiyah-nafs bisa dilalui dengan beberapa sarana tazkiyahnafs, yang dimaksud
sarana tazkiyah-nafs ialah amal
perbuatan yang
mempengaruhi jiwa secara langsung dengan menyembuhkanya dari penyakit, membebaskanya dari “tawanan” atau merealisasikan akhlak padanya. Semua hal ini bisa jadi terhimpun dalam suatu amal perbuatan. 1) Sholat merupakan sarana pertama dalam tazkiyatun nafs. Shalat berikut sujud, ruku’, dan dzikirnya membersihkan jiwa dari kesombongan kepada Allah, dan mengingatkan jiwa agar istiqomah di atas perintah-Nya, “Sesungguhnya shalat dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar”. (al-’Ankabut: 45). 2) Zakat dan Infaq bisa membersihkan jiwa dari sifat bakhil dan kikir, dan menyadarkan manusia bahwa pemilik harta yang sebenarnya adalah Allah, “ Yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkannya ”. (al-Lail: 18). 3) Puasa merupakan pembiasaan jiwa untuk mengendalikan syahwat perut dan kemaluan, “Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa”. (al-Baqarah: 183). 4) Membaca
al-Qur’an
dapat
mengingatkan
jiwa
kepada
berbagai
kesempurnaan, “Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya)”. (al-Anfal: 2). 5) Berbagai
dzikir seperti
lafadz-lafadz
asma’ul
husna
yang bisa
memperdalam iman dan tauhid di dalam hati di ikuti dengan tafakkur,
“Ingatlah hanya dengan mengingat-ingat Allah-lah hati menjadi tenteram”. (Ar-Ra’d: 28). Munculnya nilai-nilai dari hati tidak lain adalah melalui perpaduan antara dzikir dan fikir. 6) Mengingat kematian akan dapat mengembalikannya lagi kepada ’ubudiyah-nya dan menyadarkannya bahwa ia tidak memiliki daya sama sekali, “Dan Dia-lah yang mempunyai kekuasaan tertinggi di atas semua hamba-Nya, dan diutus-Nya kepada malaikat-malaikat penjaga, sehingga apabila datang kematian kepada salah seorang di antara kamu, ia diwafatkan malaikat-malaikat Kami, dan malikat-malikat kami tidak melalikan kewajibanya”. (aL-An’am: 61). 7) Muhasabah harian terhadap jiwa dan muraqabullah juga dapat cepat taubat dan memperkuat laju peningkatan (taraqqi), “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap hari memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok”. (aL-Hasy: 18). 8) Jiwa terkadang tidak terkendalikan lalu terjerumus ke dalam kelalaian maksiat atau syahwat sehingga harus dilakukan mujahadah (kerja keras) agar bisa kembali, Allah berfirman, “ Dan orang-orang yang bersungguhsungguh (mencari keridhan) Kami benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. ” (aL-Ankabut: 69) 9) Tidak ada hal yang sedemikian efektif untuk menanamkan kebaikan ke dalam jiwa sebagaimana perintah untuk melakukan kebaikan, dan tidak
ada hal yang sedemikian efektif untuk menjauhkan jiwa dari keburukan sebagaimana larangan darinya. Bahkan orang yang tidak mau menjalankan amar ma’ruf nahi munkar akan di laknat. Kotoran jiwa apakah yang lebih besar dari laknat? “Telah dilaknati orang-orang kafir dari Banu Israil dengan lisan Daud dan Isa putera Maryam. Yang demikian itu, disebabkan
mereka
durhaka
dan
selalu
melampui
batas”.
(al-Ma’idah: 78). Dari proses tazkiyah-nafs melalui sarananya akan menghasilkan buah, seperti: 1. Mengendalikan lidah. 2. Adab berbagai hubungan, seperti memiliki kontrol diri dari berbagai aspek dalam hubungan dengan khaliq (QRRS اcb \qr) dan manusia (سOpS اcb \qr).
4. Cara Penanaman Nilai-nilai Agama di Sekolah Umum. Muhaimin dalam bukunya yang berjudul “ Paradigma Pendidikan Islam Upaya mengektifkan Pendidikan Agama di Sekolah. ” mengungkapkan: “ Pendidikan Agama Islam adalah upaya mendidikkan agama Islam dan nilai-nilainya, agar menjadi way of life (pandangan dan sikap hidup) seseorang. Dalam pengertian ini pendidikan agama Islam dapat berwujud: (1) Segenap kegiatan yang dilakukan seseorang atau sekelompok peserta didik dalam menanamkan dan/atau menumbuh kembangkan ajaran Islam dan nilai-nilainya; (2) Segenap fenomena atau peristiwa perjumpaan antara dua orang atau lebih yang dampaknya ialah tertanamnya dan/atau tumbuh kembangnya ajaran Islam dan nilai-nilai pada salah satu atau beberapa pihak.
Pendidikan agama Islam juga berarti “Proses transformasi dan internalisasi ilmu dan pengetahuan dan nilai-nilai pada anak didik melalui penumbuhan dan kesempurnaan hidup dalam segala aspeknya.” 64 Menurut Muhaimin, Abd. Ghofur, dan Nur Ali (dlm bukunya Muhaimin “Paradigma Pendidikan Islam; Upaya Mengektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, hlm. 153).”65 menyebutkan ada beberapa tahap dalam internalisasi nilai, yaitu: 1. Tahap transformasi nilai. Pada tahap ini guru sekedar menginformasikan nilai-nilai yang baik dan yang kurang baik kepada siswa, yang sematamata merupakan komunikasi verbal. 2. Tahap transaksi nilai, yakni suatu tahap pendidikan nilai dengan jalan melakukan komunikasi dua arah, atau interaksi antar siswa dengan guru bersifat interaksi timbal balik. Kalau pada tahap transformasi, komunikasi masih dalam bentuk satu arah, yakni guru yang aktif
tetapi dalam
transaksi ini guru siswa sama-sama memiliki sifat aktif. Tekanan dari komunikasi ini masih menampilkan sosok fisiknya dari pada sosok mentalnya. Dalam tahap ini, guru tidak hanya menyajikan informasi tentang nilai yang baik dan buruk, tetapi juga terlibat untuk melaksanakan dan memberikan contoh amalan yang nyata dan siswa diminta
64
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Agama Islam; Upaya Mengektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), 48. 65 Ibid. , 299.
memberikan respon yang sama, yakni menerima dan mengamalkan nilai itu. 3. Tahap transinternalisasi, yakni tahap ini jauh lebih dalam dari pada sekedar transaksi. Dalam tahap ini penampilan guru di depan siswa bukan lagi sosok fisiknya, melainkan sikap mentalnya (kepribadiannya). Demikian pula siswa merespon kepada guru bukan hanya gerakan/ penampilan fisiknya, melainkan sikap mental dan kepribadiannya. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa dalam transinternalisasi ini adalah komunikasi dan kepribadian yang masing-masing terlibat secara aktif. Pendidikan Agama Islam di Sekolah Umum terbagi menjadi dua, yaitu proses belajar mengajar Intrakulikuler dan proses belajar mengajar ekstra kulikuler66 1) Proses belajar mengajar intrakulikuler Proses belajar mengajar intrakulikuler yaitu proses belajar mengajar yang berlangsung di dalam kelas dengan waktu dua jam pelajaran dan dengan kurikulum yang sudah di susun oleh Departemen Agama. Pengajaran adalah pemindahan penegetahuan dari seseorang yang mempunyai pengetahuan kepada orang lain yang belum mengetahui. Pengetahuan tersebut berasal dari dua sumber, sumber illahi dan sumber manusiawi. Pemindahannya dilakukan melalui proses belajar mengajar,
66
Depag RI, Kendali Mutu Pendidikan Agama Islam (Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2001), 39.
dimana terjadi interaksi di antara pengajar sebagai katasilator dengan pelajar yang menjadi katalis dan pelajar secara kontinue menyempurnakan diri sehingga mampu menjadi katalis yang semakin meningkat kemampuannya, baik dari segi kognitif, afektif dan psimotoriknya.67 Dalam proses belajar mengajar yang berlangsung di dalam kelas harus memperhatikan berbagai komponen pengajaran sebagai satu sistem. Di antara komponen-komponen tersebut adalah:68 Tujuan Pengajar dan pelajar memiliki tujuan yang hendak di capai, yaitu sesudah mengikuti proses belajar mengajar, pelajar dapat menguasai sejumlah pengetahuan, ketrampilan dan sikap tertentu sesuai dengan isi proses belajar mengajar tersebut. Usaha pencapaian itu akan membiuahkan kualitas pelajar yang biasa di sebut sebagai hasil belajar. Hasil belajar kemudian dinilai agar di peroleh feed back guna rethinking berbagai komponen yang saling terkait yang terdapat dalam usaha pengajaran tersebut. Pengajar Dalam pengajaran komponen yang terpenting adalah pengajar yang selalu berintegrasi dalam proses belajar mengajar. Dari komponen
67 68
pengajar,
meliputi
kemampuan
pengajar
dalam
Ibid. , 40. Ibrahim & Nana Syaodih, Perencanaan Pengajaran (Jakarta: Rineka Cipta, 1995), 51.
menyampaikan materi dan kepribadian pengajar dalam proses belajar mengajar. Karena pada umumnya pengendalian perilaku terletak pada perilaku guru, meskipun siswa mempunyai kesempatan untuk mengendalikan perilakunya.69 Pelajar Dari
komponen
pelajar,
meliputi:
perkembanganya,
kesiapanya, minatnya, aspirasinya dan motivasi. Interaksi antara pengajar dan pelajar. Sedangkan dari komponen interaksi meliputi isi interaksi itu, apa yang dilakukan pelajar, alat-alat yang dipakai, metode yang dipergunakan dalam mengajar, sikap belajar yang timbul pada pelajar sebagai hasil dari interaksi. 2) Proses belajar mengajar ekstra kulikuler Proses ini dilakukan diluar jam sekolah atau pada jam-jam ekstra yang difasilitasi oleh sekolah. Posisi belajar mengajar ekstra kulikuler ini dilakasanakan untuk memberikan nuansa lain dalam proses pendidikan agama Islam pada tingkat intrakulikuler.
69
Tohirin., Psikologi Persada, 2006), 170.
Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (Jakarta: Raja Grafindo
Dalam proses belajar mengajar ekstrakulikuler ini desain kurikulumnya harus berbasis sekolah yang mengakomodasikan kebutuhan siswa dalam penambahan muatan keagamaan yang lebih dalam. 70 Hal ini perlu dilakukan oleh guru pendidikan agama Islam karena anak didik dikatakan berhasil dalam pendidikan keagamaan tidak hanya ketika mereka dapat menjawab sejumlah pertanyan ujian (ranah kognitif) akan tetapi anak harus dapat menenghayati nilai-nilai keagamaan yang menjadi sikap dan menjelama dalam perilaku
sehari-harinya (ranah
afektif dan psikomotorik) seperti disiplin salat, jujur, sabar, ikhlas, suka menolong, tidak serakah, pemalu serta meninggalkan hal-hal yang di larang oleh agama.71 Proses belajar mengajar ekstrakuliukuler dapat dilakukan melalui kegiatan ekstrakulikuler keagamaan, misalnya Rohis atau forum studi keislaman lainnya.72 Melalui kegiatan keagamaan ini pendidikan agama dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan, yaitu: 73
70
Depag RI, Kendali Mutu Pendidikan Agama Islam (Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2001), 44. 71 Kamrani Buseri, Nilai-Nilai Ilahiah Remaja/Pelajar (Yogyakarta: UII Pers, 2004), 13. 72 Depag RI, Kendali Mutu Pendidikan Agama Islam (Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2001), 45. 73 Muhaimin, Paradigma Pendidikan Agama Islam; Upaya Mengektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), 300.
Pendekatan pengalaman, yaitu memberikan pengalaman keagamaan kepada anak dalam rangka pembinaan pengendalian diri melalui penanaman nilai-nilai keagamaan. Pendekatan pembiasaan, yaitu memberikan kesempatan kepada anak untuk senantiasa mengamlakan ajaran agamanya dan akhlakul karimah. Dari uraian-uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penanaman nilai-nilai agama pada siswa dapat dilakukan melalui pendidikan agama Islam, baik melalui strategi belajar mengajar intrakulikuler maupun ekstra kulikuler.
C. Faktor-Faktor Pendidikan Dalam melaksanakan pendidikan Agama, perlu memperhatikan adanya faktor-faktor pendidikan yang ikut menentukan berhasil tidaknya pendidiakan Agama. Adapun faktor-faktor pendidikan tersebut adalah: 1. Anak Didik Faktor anak didik merupakan salah satu faktor pendidikan yang paling penting,
karena tanpa
adanya
anak
didik
pendidikan tidak
dapat
berlangsung.74
74
Zuhairini, Metodik Khusus Pendidikan Agama (Surabaya: Usaha Nasional, 1980), 27.
Secara berarti anak memerlukan pendidikan atau bimbingan dari orang dewasa, termasuk di dalamnya pendidikan agama. Hal ini sesuai denagan firman Allah surat Ar-Rum ayat 30 yang berbunyi:75 4 «!$# È,ù=y⇐Ï9 Ÿ≅ƒÏ‰ö7s? Ÿω 4 $pκön=tæ }¨$¨Ζ9$# tsÜsù ÉL©9$# «!$# |NtôÜÏù 4 $Z‹ÏΖym ÈÏe$#Ï9 y7yγô_uρ óΟÏ%r'sù ∩⊂⊃∪ tβθßϑn=ôètƒ Ÿω Ĩ$¨Ζ9$# usYò2r& ∅Å3≈s9uρ ÞΟÍhŠs)ø9$# ÚÏe$!$# šÏ9≡sŒ
Artinya: Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah), (tetaplah atas) fitrah Allah, yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah (itulah) agama yang lurus tetapi kebanyakan manusia tidaka mengetahui.76 . Dari ayat di atas dapat diketahui bahwa setiap anak yang dilahirkan sudah mempunyai fitrah beragama. Adapun pengembangan fitrah beragama tersebut dapat dilakukan melalui Pendidikan Agama Islam. 2. Pendidik. Dalam pendidikan Islam, pendidik memiliki arti dan peranan yang sangat penting. Hal ini disebabkan karena ia meiliki tanggung jawab dan menentukan arah pendidikan.77 Adapun tugas pendidik agama Islam ialah: a. Mengajarkan ilmu pendidikan agama Islam.
75
Al-Qur’an, 30: 30. Depag RI, Al-Qur ’an dan Terjamahanya (Semarang: Asy Syifa’, 2000), 325. 77 Nur Uhbityati, Ilmu Pendidikan Islam (Bandung: Pustaka Setia, 1998), 82. 76
b. Menanmkan keimanan dalam jiwa anak. c. Mendidik anak agar taat menjalankan agama. d. Mendidik anak agar berbudi pekerti luhur.78 3. Tujuan Pendidikan Tujuan pendidikan adalah faktor yang sangat penting, karena merupakan arah yang hendak dituju oleh pendidikan.79 Menurut Ahmad Tafsir, tujuan pendidikan Islam adalah muslim yang sempurna yakni jasmani yang sehat dan kuat, akal cerdas serta pandai dan hati takwa kepada Allah.80 Dari beberapa pendapat diatas, dapat di simpulkan bahwa tujuan tertinggi pendidikan Islam adalah pengabdian kepada Allah, dengan pengembangan spiritual quotient (SQ), emotional quotient (EQ), intellegent quotient (IQ), dan creativity quotient (CQ), pembentukan Jasmani yang sehat dan kuat sehingga dari situ lahirlah insan-insan kaffah. 4. Alat Pendidikan Alat pendidikan adalah segala sesuatu yang dipergunakan dalan usaha untuk mencapai tujuan pendidikan. Dalam pendidikan agama juga diperlukan alat pendidikan yaitu segala sesuatu yang dipakai dalam mencapai tujuan pendidikan. Dalam memilih alat
78
Zuhairini, Metodik Khusus Pendidikan Agama (Surabaya: Usaha Nasional, 1980), 33 Ibid. ,38. 80 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Persepektif Islam (Bandung: Rosda Karya), 1994), 79
50.
pendidikan ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu: tujuan yang hendak dicapai, penggunaan alat pendidikan, keadaan murid, dan cara menggunkan alat pendidikan.81 Alat pendidikan agama dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu: a. Alat pengajaran agama, yang dibedakan menjadi tiga, yaitu: alat pengajaran klasikal, pengajaran individual dan alat peraga. b. Alat pendidikan langsung yaitu menanmkan pengaruh positif kepada anak didik melalui contoh/tauladan, nasehat, perintah & sebagainya. c. Alat pendidikan tidak langsung, yaitu alat pendidikan yang bersifat kuratif, agar anak menyadari perbuatanya. Yang salah dan berusaha untuk memperbaikinya. Hal ini dapat berupa hukuman.82 5. Faktor Milieu/lingkungan Lingkungan juga merupakan faktor pendidikan karena perkembangan jiwa anak itu sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkungannya baik lingkungan sekolah, keluarga maupun masyarakat. Pengaruh lingkungan tersebut dapat berupa pengaruh yanmg positif dan pengaruh yang negatif. Pengaruh lingkungan dapat dikatakan positif. Jika lingkungan dapat memberikan dorongan kepada anak untruk berbuat hal-hal yang baik dan sebaliknya.83
81
Zuhairini, Metodik Khusus Pendidikan Agama (Surabaya: Usaha Nasional, 1980), 47-48. Ibid. , 48-52. 83 Ibid. ,53. 82
BAB III PENGEMBANGAN SELF CONTROL SISWA DI SMK PGRI 2 PONOROGO MELALUI PENANAMAN NILAI-NILAI AGAMA
A. Gambaran Umum SMK PGRI 2 Ponorogo 1. Sejarah Singkat Berdirinya SMK PGRI 2 Ponorogo.84 Berawal dari kenyataan yang kita hayati di tahun ajaran 1983 / 1984 di mana siswa yang berniat ke sekolah kejuruan semakain banyak sehingga STM Negeri Ponorogo tidak dapat menampung. Gagasan untuk membuka STM PGRI yang di tahun-tahun sebelumnya dalam keragu-raguan maka setelah melihat kenyataan di atas gagasan tersebut dengan tekat bulat guna mengabdi kepada Pendidikan sesuai dengan profesi kita selanjutnya kita wujudkan. Setelah berkonsultasi dengan rekan-rekan STM Negeri demikian pula dari ST Negeri menghadap kepala STM Negeri Ponorogo untuk menyampaikan kesepekatan kita guna mendirikan STM PGRI di samping mohon petunjuk pelaksanaannya. Saran dan Penunjuk dari kepala STM Negeri, penyusun beserta rekanrekan di sarankan untuk menghadap ke YPLP PGRI yang prinsipnya kepala STM Negeri tidak keberatan membantu asalakan YPLP PGRI mengijinkan atas berdirinya STM PGRI.
84
Lihat transkrip dokumentasi nomor: 01 /D /F-1 /8-II /2008 dalam lampiran skripsi ini.
Hari Minggu tanggal 13 Mei 1984 jam 19.00. kami bersama menghadap ke YPLP PGRI (Bapak Drs. Sutrisno) ternyata gagasan untuk mendirikan STM PGRI tersebut tidak lain dinantikan oleh yayasan . spontan yayasan menyambut baik hal tersebut dan selanjutnya kami diberikan syaratsyarat yang harus di lengkapi guna pendirian sekolah baru. Persyaratan Pendirian Sekolah baru di lengkapi dengan bekerja sama antara Yayasan dan pendiri sekolahan. Dan selanjutnya pengawasan izin oprasional merupakan tanggung jawab Yayasan. Setelah memahami segala pretunjuk Yayasan maka pada tanggal 14 Mei 1984. hari Senin mengumpulkan rekan-rekan guru, melengkapi persyaratn pendidikan sekolah baru, yaitu STM PGRI Ponorogo yang ternyata di dukung baik Yayasan maupun Kepala STM Negeri dan kepala ST Negeri Ponorogo, selanjutnya pembagian tugas di laksanakan guna melengkapi semua persyaratan. Pertemuan tanggal 19 Mei 1984 diadakan dengan di hadiri penyususn (H. S. Pirngadi, BA), Bapak
Marzuki, Bapak Abdul Ilhman,
Bapak Sootikno, dan bapak Budiono. Disamping diadakan pembagian tugas di dalam pertemuan ini juga di bicarakan kapan pengesahan pendirian STM PGRI Ponorogo
dilaksanakan dan di mana di adakan. Tempat dapat di
tentukan di mana kita sepakat di ST Negeri dengan terlebih dahulu mohon ijin kepada Bapak Kepala ST Negeri Ponorogo. Sedang hari dan tanggal menurut Bapak Kepala STM Negeri Ponorogo di suruh menunggu setelah ada kepastian jawaban persetujuan dara Bidang Diknonjur . Tanggal 15 Mei 1984
Bapak Kepala STM Negeri Ponorogo kebetulan ke Bidang, yang selanjutnya jawaban dari Bidang tentang persetujuan akan di sampaikan lewat telpon STM Negeri Ponorogo.
2. Letak Geografis.85 Dari hasil observasi yang penulis lakukan pada tanggal 5 Pebruari 2008, lokasi SMK PGRI 2 Ponorogo berada di Jln. Soekarno Hatta Ponorogo yang tepatnya: a. Sebelah Barat gedung SMK Bhakti Ponorogo b. Sebelah Timur koperasi SMK PGRI 2 Ponorogo c. Sebelah Utara pabrik es. d. Sebelah Selatan persawahan pasar legi.
3. Visi, Misi dan Tujuan SMK PGRI 2 Ponorogo.86 I. MOTO “ Disiplin Merupakan Kunci Sukses”. II. VISI Dalam Waktu singkat tamatan sudah dapat terserap:
85 86
•
Dunia kerja
•
Perguruan Tinggi
Lihat transkrip observasi nomor: 01 /O /F-1 /5-II /2008 dalam lampiran skripsi ini. Lihat transkrip dokumentasi nomor: 03 /D /F-1 /5-II /2008 dalam lampiran skripsi ini.
• III.
Berwirausaha
MISI Menyiapkan tamatan: •
Siap memasuki lapangan kerja dengan sikap profesional.
•
Siap berkompetesi dan memiliki karir untuk mengembangkan diri.
•
Menjadi warga negara yang produktif , adaptif dan kreatif.
•
Menjadi tenaga kerja tingkat menengah untuk mengisi kebutuhan dunia. usaha / dunia industri di masa sekarang maupun mendatang.
•
Mampu mengikuti perkembangan imtaq dan imtek di masa mendatang.
IV. TUJUAN SMK PGRI 2 Ponorogo •
Memenuhi tuntutan kebutuhan pengguna jasa pendidikan dan pelatihan.
•
Menghasilkan sumber daya manusia yang mampu memenuhi kebutuhan pasar.
•
Menjaga konsistensi mutu instusi dan tamatan
4. Sarana dan Prasarana SMK PGRI 2 Ponorogo.87
No
Jenis barang
Jml
Luas (m )
Status
Sertifikat
1.
Bangunan
5,344
Milik sendiri
sertifikat
2.
Halaman
2,599
Milik sendiri
Sertifikat
3.
Lap. Olahraga
5,562
Milik sendiri
sertifikat
4.
Ruang kelas /teori
26
5,636
Milik sendiri
Sertifikat
5.
Ruang tamu
1
18
Milik sendiri
Sertifikat
6.
Ruang kepala sekolah
1
18
Milik sendiri
Sertifikat
7.
Ruang guru
1
63
Milik sendiri
Sertifikat
8.
Ruang tata usaha
1
52
Milik sendiri
Sertifikat
9.
Ruang BP /BK
1
9
Milik sendiri
Sertifikat
10.
Ruang perpustakaan
1
102
Milik sendiri
Sertifikat
11.
Ruang UKS
1
12
Milik sendiri
Sertifikat
12.
Ruang praktek komputer
1
76
Milik sendiri
Sertifikat
13.
Ruang koperasi /toko
1
12
Milik sendiri
Sertifikat
14.
Ruang osis
1
28
Milik sendiri
Sertifikat
15.
Masjid
1
266
Milik sendiri
Sertifikat
dan
ruang
rohis/
perpustakaan masjid 16.
Kamar mandi / WC Siswa
3
42
Milik sendiri
Sertifikat
17.
Kamar mandi / WC Guru
2
6
Milik sendiri
Sertifikat
18.
Gudang
2
56
Milik sendiri
Sertifikat
87
Lihat transkrip dokumentasi nomor: 02 /D /F-1 /12-II /2008 dalam lampiran skripsi ini.
19.
Ruang serba guna
1
293
Milik sendiri
Sertifikat
20.
Ruang Pos penjaga sekolah
1
4
Milik sendiri
Sertifikat
21.
Ruang bengkel otonomi
2
252
Milik sendiri
Sertifikat
22.
Ruang bengkel mesin
1
378
Milik sendiri
Sertifikat
23.
Ruang praktek Listrik
1
360
Milik sendiri
Sertifikat
34.
Ruang praktek bangunan
1
360
Milik sendiri
Sertifikat
25.
Ruang lain-lain
1,299
Milik sendiri
Sertifikat
26.
Luas tanah seluruhnya
13,505
Milik sendiri
Sertifikat
B. Deskripsi Data Khusus 1. Pengembangan Self Control Siswa di SMK PGRI 2 Ponorogo Melalui Penanaman Nilai-nilai Agama. SMK PGRI 2 Ponorogo adalah Sekolah Menengah Kejuruan yang lebih menekankan pada lulusan yang siap kerja dan dapat di terima di tengahtengah masyarakat dengan baik. Sehingga selain lulusan menjadi seorang yang berimtek diharapkan juga menjadi seseorang yang berimtaq. Berkenaan dengan hal tersebut maka penanaman nilai-nilai Agama di SMK PGRI ini sangat di pedulikan. Sebagaimana yang di katakan oleh bapak Pirngadi selaku kepala sekolah di SMK PGRI 2 Ponorogo, bahwa:
Kebanyakan masyarakat menganggap kalau Islamnya anak STM itu Islam Abangan. Tetapi jangan di kira SMK PGRI 2 ini tidak memperdulikan tentang keagamaan.88 Bahkan di Masjid yang besar ini adalah tempat kegiatan-kegiatan keagamaan yang di lakukan secara rutin dan terpogram dalam melakukan pembinaan terhadap anak SMK agar di kemudian hari mereka dapat menjadikan Agama sebagai pegangan dalam bertingkah laku.lagi pula hampir 99 % baik guru maupun siswanya beragama Islam.89
Sebagaimana yang dikatakan juga oleh Bapak Ghufron prayitno selaku Guru Pendidikan Agama Islam khusus kelas dua, bahwa: Pembelajaran GPAI di SMK PGRI 2 Ponorogo ini di lalui dengan dua proses pembelajaran yang pertama kegiatan yang di lakukan di dalam kelas dan pembelajaran yang di lakukan di luar kelas. Hal ini di programkan agar keberhasilan pendidikan agama Islam di SMK PGRI 2 Ponorogo ini tidak hanya berhasil dari segi kognitifnya saja tapi yang paling penting yaitu perubahan sikap dan tingkah lakunya dari anak yang tidak pernah tahu apa arti sholat menjadi tahu dan kemudian melaksanakannya. Untuk itu pembentukan lingkungan religius melalui kegiatan-kegiatan keagamaan yang di lakukan di luar kelas mutlak diperlukan.90
Dan juga di perjelas oleh bapak Tantowi Mu’id sebagai ketua guru bidang Pendidikan Agama Islam, bahwa: Sudah menjadi program kami selaku Guru Pendidikan Agama Islam, yaitu mentarjet anak-anak kelas satu harus bisa membaca Al-Qur’an dan di kasih batas waktu hingga akhir kelas satu. Dengan konsekuensi bisa melalui sekolah yaitu kegiatan ekstra al-Quran atau mengaji sendiri di rumah dengan di carikan guru les di rumah. Apabila sampai kelas dua belum bisa ngaji maka orang tua di panggil dan bagi anak di kenakan sanksi, misalnya membeli buku-buku tentang Agama, yang akan menjadi koleksi perpustakaan masjid.91
Hal ini juga di tegaskan oleh bapak Ali Mashud selaku guru pendidikan agama Islam khusus kelas satu, bahwa: 88
Lihat transkip document nomor: 05 /D /F-1 /9-IV /2008 dalam lampiran skripsi ini. Lihat transkip observasi nomor: 09 /O /F-1 /9-IV /2008 dalam lampiran skripsi ini. 90 Lihat transkip wawancara nomor: 01 /1-W /F-1/4-III /2008 dalam lampiran skripsi ini. 91 Lihat transkip wawancara nomor: 11 /3-W /F-1 /27-III/2008 dalam lampiran skripsi ini. 89
Adanya masukan anak STM sini yang mayoritas belum dapat ngaji dan sholat. Semua ini membuat kami selaku guru PAI mengadakan pelatihan sholat dan ekstra Al-Qur ‘an yang sudah menjadi program rutin setiap hari untuk menjadikan hal ini kebiasaan untuk di laksanakan sekaligus memberikan pengertian pada siswa kalau sholat itu wajib di laksanakan bagi setiap orang Islam dan mengaji Al-Qur’an akan lebih mendekatkan diri kita kepada Allah. Karena kalau pembelajaran PAI hanya di kelas saja itu sangat kurang mbak. Apalagi dengan sistem blok. Saya selaku Guru PAI menganjurkan anak kelas satu seluruhnya harus hafal Asma’ul husna beserta artinya dan di terapkan setiap habis mengerjakan sholat lima waktu.92
Sebagaimana juga yang dikatakan oleh bapak Tantowi Mu’id selaku Guru Pendidikan Agama Islam khusus kelas tiga, bahwa: Dalam pembelajaran PAI di SMK sini memerlukan kerja sama antara tiga guru dalam hal mengerjakan siswa mana yang baik dan buruk sesuai dengan nilai-nilai agama. Ketiga guru pun mempunyai karakteristik sendiri-sendiri dalam mengajar karena satu kita dihadapkan dengan pembelajaran dengan menggunakan sistem blok dan juga mayoritas dari siswa yang kurang mengerti dengan nilai-nilai agama. Sebagaimana pak Ali yang faknya kelas satu memfokuskan pada masalah keimanan, pak ghufron pada bidang syari’ah dan praktik-praktik agama seperti pelatihan sholat jenazah, sedangkan saya sendiri lebih menekankan pada bidang pembentukan moral/ akhlak dalam kehidupan bersosial sesuai dengan nilai-nilai agama, seperti materi saya tentang nikah yang ada kaitanya dengan zina. Dan apabila ada perilaku anak yang menyimpang saya lansung menindaknya. 93
Hal ini juga di tegaskan oleh bapak Ghufron Prayitno selaku Seksi bidang Keagamaan di SMK PGRI 2 Ponorogo: PAI yang dilaksanakan di luar kelas adalah kegiatan-kegiatan keagamaan yang dilaksanakan secara rutin dan terpogram oleh Rohis. Rohis adalah organisasi ke-Islaman yang kepengurusanya hanya di ambil dari imam kelas dan mu’adzin kelas satu dan dua saja di bawah bimbingan seksi bidang keagamaan. Tugasnya adalah menjadi imam serta mu’adzin ketika kegiatan sholat jama’ah sesuai dengan jadwal piket yang telah di tentukan.94 Serta melakukan pengabsenan secara ketat agar kegiatan-kegiatan keagaman dapat berjalan dengan rutin. 92 93 94
Lihat transkip wawancara nomor: 03 /2 -W /F-1 /6-III /2008 dalam lampiran skripsi ini. Lihat transkrip wawancara nomor: 05 /3-W /F-1 /11-III /2008 dalam lampiran skripsi ini. Lihat transkip dokumen nomor: 04 /D / F-1/19-II /2008 dalam lampiran skripsi ini.
Dan untuk imam kelas dan mu’adzin yang sedang piket akan di berikan jatah makan siang.95
Tentang bagaimana kegiatan-kegiatan keagamaan di SMK PGRI 2 Ponorogo, Peneliti
ketahui dengan melakukan observasi. Sehingga dapat
digambarkan dengan jelas kegiatan keagamaan-keagamaan di SMK PGRI 2 Ponorogo, meliputi: 1) Sholat jama’ah dhuhur yang wajib diikuti oleh kelas dua dan tiga, setiap pukul 12.30 sampai 13.00 WIB. Dan Sholat jama’ah ’Asyar yang wajib diikuti oleh kelas satu, setiap pukul 15.00 sampai 15.30 WIB. 96 2) Ekstra Al-Qur’an, setiap pukul 11.00 sampai 12.30 WIB untuk kelas satu. Dan Ekstra Al-Qur’an, setiap pukul 13.00 sampai 15.00 WIB untuk kelas dua dan tiga.97 3) Isthighosah, yang dilakukan oleh anak kelas tiga dalam rangka mempersiapkan menghadapi Ujian Akhir Nasional.98 4) Mengaji kitab ta’lim muta’lim setiap habis sholat Jum’at dalam rangka melakukan bimbingan keagamaan kepada siswa. 99 5) Mengadakan dialog interaktif tentang masalah-masalah remaja.100
95
Lihat transkrip wawancara nomor: 10 /1-W /F-1 /27-III /2008 dalam lampiran skripsi ini. Lihat transkrip observasi nomor: 04 /O /F-1 /26-II /2008 dalam lampiran skripsi ini. 97 Lihat transkrip observasi nomor: 05 /O /F-1 /28-II /2008 dalam lampiran skripsi ini. 98 Lihat transkrip wawancara nomor: 05 /3-W /F-1 /11-III /2008 dalam lampiran skripsi ini. 99 Lihat transkrip observasi nomor: 06 /O /F-1 /14-III /2008 dalam lampiran skripsi ini. 100 Lihat transkrip observasi nomor: 09 /O /F-1 /9-IV /2008 dalam lampiran skripsi ini. 96
6) Serta sholat jama’ah Jum’at yang mana pemberi khotbah dan imam jum’at bukan hanya dari guru pendidikan agama saja tapi dari guru umum juga. Dan setelah itu anak wajib untuk beramal/shodaqoh semampunya. 101 7) Mengadakan kegiatan pondok Romadhon setiap bulan Ramadhon untuk melatih siswa agar mau menjalankan puasa. 102 8) Mengadakan acara potong qurban serta membentuk panitia zakat fitrah.103 9) Mengadakan
praktek,
mengafani,
mensholati,
serta
menguburkan
Jenazah.104 Pada hari jum’at siang sekitar jam 13.00 sampai 14.00 WIB, peneliti mengamati kegiatan bimbingan keagamaan yang diadakan melalui kegiatan mengaji kitab ta’lim muta’lim di ruang rohis atau perpustakaan masjid. Dalam bimbingan keagamaan tersebut bapak ghufron selalu menghimbau agar anakanak selalu mengerjakan sholat dhuha, sholat malam, puasa sunnah pada hari senin dan kamis dan amalan-amalan ibadah lainnya. dan juga menegaskan pada anak-anak setiap mau mengerjakan sesuatu yang baik harus di awali dengan niat karena Allah.105 Pada hari selasa, yang berketepatan ada acara rapat kerja rohis dalam mempersiapkan acara dialog interaktif tentang masalah-masalah remaja yang
101 102 103 104 105
Lihat transkrip observasi nomor: 03 /O /F-1 /14-II /2008 dalam lampiran skripsi ini. Lihat transkrip wawancara nomor: 10 /1-W /F-1/ 27-III /2008 dalam lampiran skripsi ini. Lihat transkrip wawancara nomor: 10 /1-W /F-1 /27-III /2008 dalam lampiran skripsi ini. Lihat transkrip wawancara nomor: 01 /1-W /F-1 /4-III /2008 dalam lampiran skripsi ini. Lihat transkrip observasi nomor: 06 /O /F-1 /14-III /2008 dalam lampiran skripsi ini.
di selenggarakan tiap satu tahun sekali. Peneliti mengamati kegiatan rapat tersebut dan menemukan adanya hubungan internalisasi nilai-nilai agama yang terjadi secara langsung antara pengurus rohis dan guru pendidikan agama Islam khususnya bapak Ghufron Prayitno yang selalu
memberi
motivasi pada pengurus rohis, seperti memberikan pujian atas keberhasilan kegiatan-kegiatan rohis sebelumnya melalui ketua rohis dan dalam menyikapi masalah-masalah rohis yang terjadi tidak lupa bapak ghufron mengatakan kepada pengurus rohis untuk bersabar dan menyuruh menunggu hasil musyawarah guru dan osis dulu sebelum mengambil keputusan.106
2. Perkembangan Self Control Siswa SMK PGRI 2 Ponorogo Melalui Penanaman Nilai-nilai Agama. Berdasarkan dari hasil pengamatan peneliti setiap hari kamis, menemukan bahwa aktifis rohis yang sedang piket tidak pernah mengambil jatah makan siang. Karena sedang menjalankan ibadah puasa sunnah setiap senin dan kamis dan juga ditemukan beberapa aktifis rohis yang menjalankan sholat dhuha di masjid. 107 Menurut bapak Ali Mashudi, selaku guru pendidikan agama Islam kelas satu, mengatakan bahwa:
106 107
Lihat transkrip observasi nomor: 08 /O /F-1 /8-IV /2008 dalam lampiran skripsi ini. Lihat transkrip observasi nomor: 02 /O /F-2 /21-II /2008 dalam lampiran skripsi ini.
Anak yang bertutur kata dengan baik dan sopan serta menyapa ketika di hadapan guru baik di dalam dan di luar kelas, dapat di temukan pada diri anak-anak yang aktif dalam kegiatan membaca Al-Qur’an.108
Menurut bapak Ghufron Prayitno, selaku guru pendidikan agama Islam kelas dua, mengatakan bahwa: Selama saya menjadi pembimbing Rohis, saya menemukan banyak perbedaan dalam menangani anak kelas satu dan anak kelas dua, seperti saya masih sering memberikan aba-aba yang di embel-embeli dengan ancaman absen, nilai ataupun dapat dispensasi makan siang untuk anak kelas satu agar mau mengikuti kegiatan-kegiatan keagamaan. Tetapi tidak saya temukan ketika anak tersebut sudah kelas dua, sehingga saya mengurangi sedikit dari aba-aba saya akan tetapi mereka malah semakin bertanggung jawab dalam tugasnya dan mengerjakan kegiatan-kegiatan keagamaan semakin rutin. Setelah mereka kelas tiga mereka sudah lepas dari pengurus rohis, akan tetapi mereka masih tetap aktif dalam kegiatan-kegiatan keagamaan.109
Menurut bapak Tantowi mu’id, selaku guru pendidikan agama Islam kelas tiga mengungkapkan, bahwa: Saya selalu melihat hasil nilai agama dari pada aktifis-aktifis rohis, pasti tertinggi. Khususnya dalam penilaian sikap. Karena saya melihat mereka mengikuti kegiatan-kegiatan keagamaan tanpa menunggu perintah dari saya. 110
Menurut Agus Kurniawan sebagai siswa kelas X E mengatakan, bahwa: Kesadaran saya dalam mengikuti kegiatan-kegiatan keagamaan berawal dari absensi dan ancaman nilai dari guru pendidikan agama Islam, sehingga saya merasa malu apabila tidak mengikuti kegiatankegiatan agama, tapi sekarang saya sadar berkat adanya kegiatankegiatan keagamaan di SMK PGRI 2 Ponorogo, saya semakin bisa menyalurkan bakat saya, yaitu menjadi seorang mu’adzin. Sehingga saya lebih menjaga sikap bagaimana perilaku seorang mu’adzin yang baik. Misalkan ketika saya punya masalah sama teman saya, saya memilih mengalah atau bersabar. Karena hati kecil saya selalu 108 109 110
Lihat transkip wawancara nomor: 06 /3-W /F-2 /6-III /2008 dalam lampiran skripsi ini. Lihat transkip wawancara nomor: 02 /1-W /F-2 /4 -III /2008 dalam lampiran skripsi ini. Lihat transkip wawancara nomor: 06 /3-W /F-2 /11-III /2008 dalam lampiran skripsi ini
mengatakan kalau saya ini seorang muadzin kelas dan mungkin ini juga akibat dari seringnya saya mengumandangkan adzan. 111
Menurut Khoirul Anam sebagai siswa kelas 2 B mengatakan, bahwa: Pada waktu kelas satu dalam mengikuti kegiatan-kegiatan keagamaan di SMK PGRI 2 Ponorogo saya merasakan semua itu masih dalam pengawasan guru agama khususnya orang tua tapi ketika saya sudah kelas dua saya mulai sadar atas semua peraturan yang telah di tetapkan oleh sekolah seperti kegiatan-kegiatan keagamaan yang ada di SMK sini. dan saya berusaha untuk mengikutinya dengan penuh tanggung jawab. Sekarang saya merasakan hikmah dari pada mengikuti keagamaan, seperti kebiasaan sholat membuat saya merasa selalu dapat mengendalikan arah pikiran saya ke arah yang lebih positif. Setiap saya mendapat masalah, kata hati saya selalu bilang untuk berfikir dulu sebelum bertindak sehingga saya selalu dapat menyelesaikan masalah saya dengan penuh pertimbangan tanpa harus marah-marah dulu. 112
Menurut mantan ketua rohis Nur Huda siswa kelas 3 C mengatakan, bahwa: Awal kelas satu saya ya masih adaptasi dengan kegiatan-kegiatan keagamaan di SMK PGRI 2 Ponorogo ini tapi saya sudah menjadi pengurus rohis. Setelah saya di jadikan ketua rohis saya di tuntut harus lebih bertanggung jawab. Dari hasil-hasil pengalaman selama saya ikut pengurus rohis dan yang saya dapat dari mengikuti kegiatan-kegiatan keagaman membuat saya mulai paham terhadap pentingnya agama pada kehidupan saya. saya berkata, bertindak, serta dalam mengambil keputusan pasti sesuai dengan hati nurani. Misalnya: setiap saya berbuat salah pada ibu, hati nurani saya selalu mengatakan agar saya segera bertaubat. Sehingga yang saya kerjakan adalah segera berdo’a kepada Allah minta ampunan serta minta maaf pada ibu saya. 113
111
Lihat transkip wawancara nomor: 08 /4-W /F-2 /18 -III /2008 dalam lampiran skripsi ini
112
Lihat transkip wawancara nomor: 07 /5-W /F-2 /13 -III /2008 dalam lampiran skripsi ini Lihat transkip wawancara nomor: 09 /6-W /F-2 /25 -III /2008 dalam lampiran skripsi ini
113
3. Faktor Pendukung dan Penghambat dalam Pengembangan Self Control Siswa SMK PGRI 2 Ponorogo Melalui Penanaman Nilai-nilai Agama. Faktor Pendukung menurut guru pendidikan agama Islam kelas satu mengatakan, bahwa: Salah satu faktor yang mendukung dalam penanaman nilai-nilai Agama di SMK PGRI 2 Ponorogo ini adalah adanya kegiatan rutinitas keagamaan, yang sudah di programkan melalui rohis.114
Faktor Pendukung menurut guru pendidikan agama Islam kelas tiga mengatakan, bahwa: Bantuan penuh dari pihak sekolah seperti guru BP, kepala sekolah serta guru umum dalam menyelenggarakan kegiatan-kegiatan keagamaan yang telah di program oleh Seksi bidang keagamaan beserta guru PAI lainnya. Seperti Guru BP yang telah membantu proses pemberian sanksi bagi yang belum bisa membaca al-Qur’an sesuai target yang telah di tentukan, dan kepala sekolah yang telah memberikan kelonggaran pada guru PAI untuk mengosongkan hasil nilai akhir Agama anak. selama anak tersebut masih dalam catatan pelanggaran rohis. Dan juga guru-guru umum lainnya yang selalu ikut dalam kegiatan-kegiatan keagamaan di SMK PGRI 2 Ponorogo.115
Faktor Pendukung menurut guru pendidikan agama Islam kelas dua mengatakan, bahwa: Input siswa yang berasal dari MTs atau pondok pesantren serta yang dari keluarga yang agamis dan lingkungan agamis akan membantu anak lebih cepat memahami nilai-nilai agama di sekolah serta adanya kebijaksanaan sekolah dalam menerapkan kedisiplinan penuh.116
Hal yang sama juga di jelaskan oleh bapak Pirngadi, selaku kepala SMK PGRI 2 Ponorogo, bahwa: 114 115 116
Lihat transkip wawancara nomor: 14 /2-W /F-3 /28 -III /2008 dalam lampiran skripsi ini Lihat transkip wawancara nomor: 13 /3-W /F-3 /28-III /2008 dalam lampiran skripsi ini Lihat transkip wawancara nomor: 12 /1-W /F-3 /28 -III /2008 dalam lampiran skripsi ini
SMK sini memang semuanya dilatih untuk disiplin bukan hanya dari siswanya akan tetapai dari pihak guru juga hal ini agar guru dapat menjadi contoh yang baik untuk siswanya. Jadi guru di sini tidak hanya mengajar tapi juga mendidik. Maklumlah anak-anak di SMK yang jumlahnya ribuan harus di latih untuk dapat mengendalikan diri. La melalui kedisiplinan dan juga kegiatan – kegiatan keagamaan yang dilakukan oleh Guru Pendidikan Agama Islam akan membantu perkembangan siswa dalam mengendalikan diri mereka juga. Selain itu biar masyarakat tahu kalau STM sini bukan sekolah Abangan.117
Faktor penghambat menurut guru pendidikan agama Islam kelas satu mengatakan, bahwa: Kurang mampunya anak dalam membaca al-Qur’an serta mengerjakan sholat, menjadi kendala dalam pengembangan pengendalian diri melalui penanaman nilai-nilai Agama di tambah lagi pembelajaran yang dilakukan dengan menggunakan sistem blok. Apalagi siswa SMK sering menganggap PAI tidak terlalu penting karena tujuan sekolah SMK harus siap kerja.118
Faktor penghambat menurut guru pendidikan agama Islam kelas dua mengatakan, bahwa: Siswa kurang adanya pengawasan dari orang tua, karena kebanyakan orang tua siswa kerja jauh, misalnya jadi TKI, sehingga anak hanya di titipkan di tempat nenek ataupun pamannya. Semua ini akan ikut menghambat pengembangan siswa. Karena dalam pembentukan perilaku moral/akhlak. Keluarga merupakan faktor utama dan pertama. Dan juga pendidik yang kurang dapat memberikan contoh yang baik pada siswanya.119
Faktor penghambat menurut guru pendidikan agama Islam kelas tiga mengatakan, bahwa: Faktor lingkungan keluarga dan masyarakat yang kurang baik, akan menghambat perkembangan anak dalam memahami pentingnya nilainilai agama yang telah di terapkan di SMK PGRI 2 Ponorogo. 120 117
Lihat transkip observasi nomor: 09 /O /F-1 /9 -IV /2008 dalam lampiran skripsi ini. Lihat transkip wawancara nomor: 14 /2-W /F-3 /28 -III /2008 dalam lampiran skripsi ini 119 Lihat transkip wawancara nomor: 12 /1-W /F-3 /28 -III /2008 dalam lampiran skripsi ini 120 Lihat transkip wawancara nomor: 13 /3-W /F-3 /28-III /2008 dalam lampiran skripsi ini 118
BAB IV ANALISA TENTANG PENGEMBANGAN SELF CONTROL SISWA DI SMK PGRI 2 PONOROGO MELALUI PENANAMAN NILAI-NILAI AGAMA
A. Analisa Pengembangan Self Control Siswa di SMK PGRI 2 Ponorogo melalui Penanaman Nilai-Nilai Agama. Dalam melakukan pembinaan moral pada siswa yang sudah menginjak usia remaja bukan suatu hal yang mudah. Karena dalam diri siswa sendiri sedang mengalami berbagai macam perubahan baik perubahan eksternal maupun perubahan internal, yang keduanya akan memberi pengaruh pada perkembangan moral siswa. Perubahan eksternal pada siswa di pengaruhi oleh berbagai macam perubahan yang ada di lingkungan, khususnya lingkungan masyarakat. Salah satu dampak nyata modernisasi dalam era globalisasi untuk siswa adalah apa yang dapat kita sebut dengan peningkatan kebutuhan dan keinginan-keinginan, baik dalam jenis maupun dalam ke-adrengan-nya (intensitasnya). Siswa dari berbagai status sosial ekonomi, dan di berbagai macam daerah, tanpa kecuali terkena oleh “virus” informasi yang membawa berita baru, tawaran baru, iming-iming baru yang tampaknya menarik itu akan memberikan motivasi pada siswa dalam memenuhi keinginan dan kebutuhan dalam hidupnya. Keinginan dan kebutuhan yang semakin meningkat seperti itu sebenarnya adalah sesuatu hal yang wajar dan baik asalkan tidak bertentangan dengan nilai-
nilai moral dan sosial yang di terima oleh masyarakat, serta sesuai dengan kemampuan siswa yang bersangkutan (kemampuan fisik, mental, keuangan) dan peraturan yang berlaku. Di pihak lain, keinginan dan kebutuhan yang terus meningkat itu dikwatirkan akan menimbulkan akibat-akibat yang tidak enak bagi siswa yang tidak memiliki kemampuan yang seimbang dengan tuntutan keinginan yang semakin meningkat itu akan merasa kurang beruntung dalam menghadapi berbagai kesulitan yang dapat bermuara pada frustasi ataupun rasa keterasingan. Seperti uang pemberian orang tua yang seharusnya di buat untuk membayar SPP dipergunakan untuk membeli barang yang diidam-idamkan, telpon genggam misalnya. Sedangkan perubahan internal di pengaruhi oleh diri siswa sendiri yang sedang berada pada masa yang di sebut dengan masa kegoncangan (strees and strom period). Hal ini di sebabkan karena perkembangan kognitif siswa yang sudah mencapai tahap berpikir abstrak, dan salah satu tugas perkembangan yang harus di capai adalah kemampuan menyesuaikan perilakunya sesuai dengan tuntutan dan harapan masyarakat. Dalam kondisi jiwa yang seperti itu dan adanya dampak modernisasi yang terus menuntut kebutuhan dan keinginan, maka salah satu kebutuhan siswa yang harus di penuhi oleh pihak sekolah adalah kebutuhan dalam pengendalian diri. Pengendalian diri siswa yang sudah menginjak usia remaja sudah tidak lagi memerlukan kontrol dari luar (seperti orang tua ataupun guru) pada waktu
masa anak-anak. Akan tetapi siswa lebih menggunakan kontrol dari dalam yakni suara hatinya dalam hal pengendali tingkah laku. Untuk mengolah kontrol eksternal yang di berikan pada masa anak-anak menuju kontrol internal yang harus di penuhi oleh siswa yang menginjak masa remaja tidak semudah membalik telapak tangan. Oleh karena itu membantu siswa menumbuhkan pengendalian diri agar memperoleh perkembangan moral yang lebih matang membututuhkan berbagai metode/ strategi. Ada dua cara yang di terapkan oleh pihak SMK PGRI 2 Ponorogo dalam mengupayakan perkembangan pengendalian diri pada siswa melalui penanaman nilai – nilai Agama: 1. Melalui Pembelajaran Intrakulikuler Pembelajaran Intrakulikuler adalah proses belajar mengajar yang berlangsung di dalam kelas dengan waktu dua jam pelajaran dan berlangsung selama satu Minggu secara bergantian antara pelajaran Agama dan umum atau di sebut juga pembelajaran dengan sistem blok. Seorang guru harus menjadi contoh figur yang baik bagi siswanya, sehingga setiap pembelajaran yang berlangsung baik itu dalam pelajaran Agama ataupun umum seorang guru selalu mengawali pelajaran dengan berdo’a dan mengakhiri pelajaran dengan berdo’a juga. Hal ini dilakukan untuk menanamkan nilai-nilai Aqidah/ keimanan kepada siswa agar siswa senantiasa ingat keapa Allah dan dapat menambah keyakinan terhadap kebenaran ajaran Agamanya.
Dalam kaitanya dengan Pembinaan pengendalian diri pada siswa melalui penanaman nilai-nilai Agama. Maka guru pendidikan agama Islam yang paling berperan karena transformasi tentang nilai-nilai Agama lebih banyak di sampaikan oleh guru agama Islam. Oleh karena itu guru pendidikan agama Islam di bagi tugas untuk memegang masing-masing kelas, untuk kelas satu di pegang oleh Bapak Ali Mashudi yang memfokuskan pelajaran pada masalah keimanan. Dan untuk kelas dua oleh bapak Ghufron Prayitno yang memfokuskan kepada pelajaran syari’ah dan praktik agama. Dan untuk kelas tiga oleh bapak Tantowi Mu’id yang memfokuskan tentang perubahan sikap yang dilihat dari perilaku atau akhlak siswa sebagai seorang muslim. Dalam proses belajar mengajar intrakulikuler tidak lupa bagi guru pendidikan agama Islam untuk memberikan pendidikan moral langsung yaitu dengan memberikan penanganan secara langsung siswa yang berperilaku yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang di ajarkan oleh Agama. 2. Melalui Pembelajaran Ekstra kulikuler. Pembelajaran ekstra-kulikuler adalah pembelajaran yang dilakukan di luar jam pelajaran, salah satu pembelajaran ekstra kulikuler di SMK PGRI 2 Ponorogo adalah ekstra kulikuler keagamaan, yang bertujuan untuk menciptakan lingkungan sekolah yang religius dan melatih anak-anak SMK yang kebanyakan belum bisa ngaji dan sholat.
Kegiatan ekstra kulikuler keagamaan ini berupa kegiatan-kegiatan keagamaan dan praktik-praktik keagamaan yang
di program secara rutin
(istiqomah) oleh sekolah melalui organisasi ke-Islamana yaitu Rohis “aL-Firdaus.” SMK PGRI 2 Ponorogo. Untuk mengaktifkan kegiatan-kegiatan keagamaan bapak Ghufron membentuk aktivis-aktivis Rohis yang di ambil dari kelas satu dan dua. Untuk itu setiap kelas yang harus memberikan dua perwakilan untuk menjadi imam kelas
dan
mu’adzin
kelas
dan
mempunyai
tugas
pokok
dalam
mengumandangkan adzan serta mengimami setiap kegiatan sholat berjama’ah sesuai dengan jadwalnya dan tidak lupa juga melakukan pengabsenan ketat agar kegiatan-kegiatan keagamaan bisa berjalan dengan rutin sesuai dengan program yang di buat oleh sekolah. Kegiatan-kegiatan keagamaan di SMK PGRI 2 Ponorogo, meliputi: a) Sholat jama’ah dhuhur yang wajib diikuti oleh kelas dua dan tiga, setiap pukul 12.30 sampai 13.00 WIB. b) Sholat jama’ah ’Asyar yang wajib diikuti oleh kelas satu, setiap 15.00 sampai 15.30 WIB. c) Ekstra Al-Qur’an, setiap pukul 11.00 sampai 12.30 WIB untuk kelas satu dan setiap pukul 13.00 sampai 15.00 WIB untuk kelas dua dan tiga. d) Isthighosah, yang dilakukan oleh anak kelas tiga dalam rangka mempersiapkan menghadapi Ujian Akhir Nasional.
e) Mengaji kitab ta’lim muta’lim setiap habis sholat Jum’at dalam rangka melakukan bimbingan keagamaan kepada siswa. f) Mengadakan dialog interaktif tentang masalah-masalah remaja. g) Serta sholat jama’ah Jum’at yang mana pemberi khotbah dan imam jum’at bukan hanya dari guru pendidikan agama saja tapi dari guru umum juga. Dan di anjurkan bagi setiap siswa bershodaqoh/ ber’amal seikhlasnya. h) Mengadakan kegiatan pondok Romadhon setiap bulan Ramadhon untuk melatih siswa agar mau menjalankan puasa. i) Dan mengadakan acara potong qurban serta membentuk panitia zakat fitrah. Kegiatan-kegiatan keagamaan yang dilaksanakan secara terpogram dan rutin pada waktu-waktu yang telah ditentukan di kelola oleh aktivis rohis di bawah bimbingan bapak Drs. Ghufron Prayitno M.Ag selaku seksi bidang keagamaan serta guru pendidikan agama dan guru umum lainnya, akan dapat membantu siswa dalam mengembangkan suara hati. Karena hati akan dapat menunjukkan siswa ke arah pilihan antara baik dan buruk apabila hati terus menerus di latih untuk selalu mendekatkan diri kepada Allah swt. Akan tetapi apabila hati siswa tidak pernah di latih untuk selalu ingat kepada Allah swt maka hati kita tidak akan dapat mernunjukkan antara yang baik dan buruk sehingga tidak akan dapat membantu siswa dalam mengendalikan diri.
Seksi bidang Keagamaan yakni Bapak Ghufron Prayitno, sering memberikan motivasi kepada aktifis Rohis, diantaranya: 2. Arahan agar sebelum menjalankan kegiatan-kegiatan keagaman harus di mulai dengan niat yang sungguh-sunguh karena Allah. Agar tertanam pada diri kita kalau kita mampu dalam menjalankan perbuatan yang baik. 3. Selalu
memberikan
semangat
kepada
aktifis-sktifis
rohis
untuk
mempertahankan keaktifannya dalam menjalankan kegiatan-kegiatan keagamaan dengan penuh kesabaran karena akan mendapat ganjaran dari Allah dan akan mendapatkan hikmah dan barokah di kemudian hari 4. Dan selalu melatih aktifis Rohis untuk selalu berpikir sebelum bertindak dalam menghadapi masalah yang terjadi. Baik itu masalah pribadi ataupun Rohis. Dari interaksi-interaksi yang terjadi antara aktifis rohis dan guru pendidikan agama Islam, maka akan tumbuh pada diri siswa: 1) Dengan adanya niat yang sungguh-sungguh karena Allah swt, maka self effecacy yang tinggi akan muncul dari diri pribadi aktifis rohis. Sehingga aktifis rohis akan selalu bisa mengarahkan perilakunya pada konsekuensi positif dan mereka akan semakin mampu dalam mengendalikan diri 2) Dengan memberikan motivasi untuk selalu mempertahankan aktifitasaktifitas keagamaan dengan penuh kesabaran, karena suatu hari akan mendapat ganjaran dan barakah dari Allah swt. Sehingga akan timbul
pada diri aktifis rohis tentang keikhlasan dalam hati, yang akan di jadikan kontrol internal dalam mempertahankan diri. 3) Himbauan bapak ghufron setiap rohis ada masalah untuk selalu berpikir dulu sebelum bertindak. Maka kemampuan untuk kontrol diri akan semakin meningkat. Menurut Muhaimin, Abd. Ghofur, dan Nur Ali (dlm bukunya Muhaimin: Paradigma Pendidikan Islam; Upaya Mengektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, hlm. 153) menyebutkan ada beberapa tahap dalam internalisasi nilai, yaitu: I. Tahap transformasi nilai. Sebelum tahap transformasi nilai, siswa akan menjadikan guru khususnya guru pendidikan agama menjadi model/figur yang dapat di contoh dari dari segala aspek kepribadiannya (tahap perhatian/ attention prosses) , setelah itu pada tahap transformasi nilai guru sekedar menginformasikan nilainilai yang baik dan yang kurang baik kepada siswa, Sehingga pada tahap ini semata-mata merupakan komunikasi verbal akan tetapi pada tahap ini siswa sudah mulai dengan representasi verbal memunkinkan siswa untuk mengevaluasi secara verbal tingkah laku yang di amati, dan menentukan mana yang dibuang
dan mana akan di coba lakukan (tahap pencaman/
representation prosess).
Tahap ini di lakukan guru PAI melalui pembelajaran intrakulikuler dengan berbagai macam metode pembelajaran, seperti metode keteladana, metode ibroh wa mauidzoh dan targhib wa tarhib. Jadi, dapat di simpulkan, dari tahap pertama terjadi pengamatan yang di lakukan pribadi terhadap lingkungannya, artinya belum mencapai tahap meniru tingkah laku. Tahap ini dalam teori pengendalian diri bandura di sebut dengan tahap self-observation, yaitu tahap mengamati tingkah lakunya sendiri. II. Tahap transaksi nilai. Tahap transaksi nilai yakni suatu tahap pendidikan nilai dengan jalan melakukan komunikasi dua arah, atau interaksi antar siswa dengan guru bersifat interaksi timbal balik. Kalau pada tahap transformasi, komunikasi masih dalam bentuk satu arah, yakni guru yang aktif tetapi dalam transaksi ini guru siswa sama-sama memiliki sifat aktif. Tekanan dari komunikasi ini masih menampilkan sosok fisiknya dari pada sosok mentalnya. Dalam tahap ini, guru tidak hanya menyajikan informasi tentang nilai yang baik dan buruk, tetapi juga terlibat untuk melaksanakan dan memberikan contoh amalan yang nyata dan siswa diminta memberikan respon yang sama, yakni menerima dan mengamalkan nilai itu. Tahap
ini
dilakukan
guru
pendidikan
agama
Islam
dengan
menggunakan pendekatan pengalaman, yakni memberikan kesempatan kepada peserta didik dalam rangka penanaman nilai-nilai keagamaan.
Jadi, dapat di simpulkan dari kegiatan-kegiatan keagamaan yang dilaksanakan oleh seluruh instasi sekolah baik kepala sekolah, pendidik dan tenaga kependidikan lainya. Siswa akan mencoba menginternalisasikan nilainilai agama yang berasal dari komunikasi verbal.
dengan mengalami
langsung dan menjadikan figur orang dewasa menjadi contoh secara fisik (tahap peniruan tingkah laku/ model behavior production prosses). Pada tahap ini akan di lalui siswa dengan berbagai macam pertimbangan terlebih dahulu (kebutuhan evaluasi) untuk melanjutkan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai agama atau tidak. Tahap inilah yang di sebut dalam teori pengendalian diri bandura dengan tahap environmental observation, yaitu tahap mengendalikan diri yang di lalui dengan tiga cara: Pertama observe the antecedent, yakni tahap pengamatan terhadap penyebab dari kondisi yang sedang di alami, misalkan siswa mencoba mencari terjadinya kondisi ketika ia tidak dapat menahan marah. Ternyata siswa menemukan bahwa penyebabnya adalah dia tidak bisa mengontrol dirinya. Setelah itu, siswa melakukan tahap kedua observese the coping strategies, yakni tahap pengamatan terhadap bagaimana cara orang lain (teman, guru khususnya orang tua) mengatasi kondisi yang sedang di alaminya, misalkan siswa tersebut melihat temanya yang aktif dalam kegiatan-kegiatan keagaman, memiliki pengendalian diri yang bagus artinya tidak suka marah-marah, atau dia juga melihat teman yang lain yang juga dapat mengendalikan diri artinya menghindari marah dengan jalan bersenang-
senang, track-trackan motor misalnya dan sampailah pada tahap ketiga observese the consequences, yakni pengamatan pada konsekuensi
dari cara
diterapkan oleh orang lain dari lingkunganya, misalkan siswa tersebut melihat teman yang menghindari marah dengan cara mengikuti kegiatan-kegiatan keagamaan mendapatkan konsekuensi positif dari sekolah akan tetapi siswa yang menhindari marah dengan jalan track-trackan motor mendapatkan konsekuensi negatif dari sekolah. Dan kemudian sampailah pada tahap ke tiga yaitu tahap behavior programming. III. Tahap transinternalisasi. Tahap transinternalisasi yakni tahap ini jauh lebih dalam dari pada sekedar transaksi. Dalam tahap ini penampilan guru di depan siswa bukan lagi sosok fisiknya, melainkan sikap mentalnya (kepribadiannya). Demikian pula siswa merespon kepada guru bukan hanya gerakan/penampilan fisiknya, melainkan sikap mental dan kepribadiannya. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa dalam transinternalisasi ini adalah komunikasi dan kepribadian yang masing-masing terlibat secara aktif. Tahap
ini
dilakukan
guru
pendidikan
agama
Islam
dengan
menggunakan pendekatan pembiasaan, yakni memberikan kesempatan peserta didik untuk senantiasa mengamalkan ajaran agamanya dan atau akhlak alkarimah. Semua ini bisa dilihat dari keaktifan, keakraban serta kekompakan seksi bidang keagamaan dan aktifis Rohis dalam menangani kegiatan-kegiatan
keagamaan. Sehingga dari tahap ini siswa sudah mulai mencontoh figur orang dewasa tidak hanya dari perbuatan fisiknya saja tapi dari kepribadianya. Jadi, dapat di simpulkan bahwa dari penciptaan lingkungan sekolah yang religius secara rutin dan terpogram akan dapat mempengaruhi anak dalam memilih kegiatan yang lebih positif Hal ini akan menjadi motivasi dan penguat agar siswa terbiasa dalam menjalankannya. Tahap inilah yang dalam teori pengendalian bandura di sebut dengan tahap behavior programming, misalnya dengan melihat konsekuensi positif dari pemilihan temannya yang menghindari marah dengan ikut kegiatankegiatan keagamaan dan pada teman yang menghindari marah dengan cara treck-treckan motor dan mendapatkan konsekuensi negatif. Siswa akan lebih memilih berperilaku dengan konsekuensi positif. Pemilihan siswa yang selalu di arahkan pada motivasi/ penguat yang berdampak positif Akan dapat membantu siswa dalam pengendalian diri. Maka belajar melalu pengamatan akan dapat mentransformasikan dan menginternalisasikan nilai-nilai agama secara baik bagi siswa sehingga agama akan menjadi sumber nilai dan pegangan dalam bersikap dan berperilaku baik dalam lingkup pergaulan, belajar dan lain-lainya. Hasil dari pengembangan kontrol diri di SMK PGRI 2 Ponorogo melalui penanaman nilai-nilai agama ini bisa di lihat dari aktivis rohis yang memang terlibat secara langsung dan aktif, dalam setiap kegiatan keagamaan sehingga mereka mampu mengontrol diri serta dapat menjadikan diri mereka contoh yang
baik bagi teman-teman yang lain. Ini ditunjukkan dengan kepribadian mereka yang selalu menunjukkan sopan santun baik dari perkataan, sikap dan perilakunya.
B. Analisa Perkembangan Self Control Siswa di SMK PGRI 2 Ponorogo melalui Penanaman Nilai-Nilai Agama. Dalam perkembangan self control siswa di SMK PGRI 2 Ponorogo melalui penanaman nilai-nilai agama ini dapat di lihat dari perkembangan pengendalian diri aktivisis rohis yang terlibat langsung dalam kegiatan-kegiatan keagamaan. Aspek dan Jenis kontrol diri yang muncul pada aktivis rohis yang merupakan hasil dari pengembangan self control melalui penanaman nilai-nilai Agama, yaitu: 1. Pada tahap pengenalan nilai-nilai agama yang di dapat dari komunikasi verbal dalam proses belajar mengajar intrakulikuler, dan menghasilkan pengenalan tentang nilai-nilai agama masih sebatas dari apa yang di berikan oleh guru dan di tambah lagi dari orang tua dan lingkungan masyarakat. Sehingga pada tahap ini pengendalian diri siswa pada awalnya di kontrol dari pihak luar (orang tua, guru dan kedisiplinan lingkungan sekolah) yang menghasilkan control perilaku (behavior kontrol). Perkembangan self control model seperti ini banyak terjadi pada aktivis rohis kelas satu. Hal ini di tunjukkan dengan keaktifan mereka dalam mengikuti kegiatan-kegiatan keagamaan karena takut atau malu apabila nilai
agama jelek. Sebagaimana yang dikatakan Hurlock bahwa perilaku yang di kendalikan oleh rasa malu adalah perilaku yang dikendalikan dari luar. 2. Kemudian berkembang sesuai dengan pengalaman-pengalaman yang di dapat oleh siswa selama proses belajar mengajar dengan cara melakukan penilaian dengan melihat segi-segi positifnya yang menghasilkan kontrol kognitif (Kognitif control) pada diri siswa. Tahap ini di sebut dengan tahap penghayatan nilai-nilai agama kemudian akan di dorong oleh perkembangan moral yaitu norma-norma yang berasal dari peer group adalah benar. Perkembangan self control model seperti ini banyak terjadi pada aktivis rohis kelas dua. Hal ini di tunjukkan dengan kemampuan siswa yang semakin bertambah dalam mempertimbangkan suatu kemungkinan untuk menyelesaikan suatu masalah dan mempertanggung jawabkan. Misalnya: aktif dalam kegiatan-kegiatan keagamaan karena memang sudah menjadi tugasnya selaku anggota rohis. 3. Setelah itu barulah terbentuk sikap sesuai dengan nilai-nilai agama dan akhirnya akan terwujud nilai-nilai agama dalam setiap tingkah laku. Pada tahap ini mulai timbul kesadaran komitmen sukarela terhadap nilai-nilai agama. Kemudian berkembanglah kontrol dari dalam diri siswa (decisional control), yaitu kemampuan siswa untuk memilih hasil atau suatu tindakan berdasarkan pada sesuatu yang diyakini atau sesuai dengan suara hati.
Perkembangan self control model seperti ini, lebih banyak di tunjukkan oleh alumni-alumni aktifis rohis yaitu kelas tiga dan aktif dalam kegiatan-kegiatan keagamaan berdasarkan keyakinan dari dalam diri sendiri. Hal ini di tunjukkan dengan rasa bersalah apabila tidak menjalankan apa yang telah di perintahkan Allah dan tidak menjahui apa yang dilarang oleh Allah serta keaktifan mereka dalam kegiatan-kegiatan keagamaan secara ikhlas tanpa ada kontrol dari luar. Sebagaimana yang dikatakan Hurlock bahwa perilaku yang dikendalikan oleh rasa bersalah adalah perilaku yang di kendalikan dari dalam. Dari hasil perkembangan di atas dapat di simpulkan bahwa perkembangan self control siswa di pengaruhi oleh beberapa faktor. Secara garis besarnya faktorfaktor yang mempengaruhi perkembangan self control ini terdiri dari faktor internal (dari diri individu) dan faktor eksternal (lingkungan individu). 1) Faktor Internal. Faktor internal yang ikut andil terhadap perkembangan self control siswa di SMK PGRI 2 Ponorogo adalah usia. Semakin bertambah usia siswa maka semakin baik kemampuan mengontrol diri siswa itu. Perkembangan kemampuan mengontrol diri pada siswa dapat dilihat dari umur siswa yang sudah mencapai tahap pelaksanaan formal dalam kemampuan kognitif (berkisar dari umur 16 sampai 18). Oleh karenanya pengalaman – pengalaman yang dilalui siswa khususnya yang menjadi aktivis rohis selama proses belajar di sekolah dari kelas satu sampai kelas tiga, baik
yang berasal dari dirinya sendiri, orang tua, teman ataupun gurunya serta lingkungan sekolah. Akan dapat diubah dan diperbaiki sesuai dengan tingkat perkembangan usia yang lebih matang. Sehingga siswa akan memiliki pengendalian diri berdasarkan kode moral yang telah di bentuk sendiri berdasarkan konsep benar dan salah. Perubahan tingkah laku siswa ditunjukkan dengan semakin bertanggung jawabnya siswa dalam menjalankan tugas yang di berikan oleh pihak sekolah. Dan hasil perubahan tingkah laku inipun menunjukkan bahwa siswa sudah mampu dalam mengantisapasi suatu peristiwa atau kejadian 2) Faktor eksternal. Faktor eksternal atau faktor lingkungan, meliputi: a. SMK PGRI 2 Ponorogo yang menerapkan kedisiplinan demokaratis baik di luar dan di dalam kelas, serta pemberian pendidikan moral sesuai dengan nilai-nilai agama, seperti memberikan contoh yang baik dari pihak guru dan penanganan secara langsung terhadap siswa yang berperilaku menyimpang. Hal ini dilakukan untuk memberikan bimbingan
kepada siswa dalam mempelajari bagaimana membuat
konsep khusus berlaku umum. b. Serta kondisi lingkungan yang dibuat dengan penuh religius, seperti sholat jama’ah dhuhur, ’Asyar, ekstra Al-Qur ’an serta sholat jama’ah
Jum’at , yang dilaksanakan secara terpogram dan rutin (istiqomah) oleh semua pihak baik pendidik, tenaga kependidikan yang lain.
C. Faktor Pendukung dan Penghambat dalam Pengembangan Self Control Siswa di SMK PGRI 2 Ponorogo melalui Penanaman Nilai-Nilai Agama. Telah di sadari bersama bahwa proses pendidikan itu bisa berhasil dengan baik apabila ada beberapa faktor pendukung baik yang bersifat material maupun spiritual. Menyadari hal yang demikian, sepertinya SMK PGRI 2 Ponorogo telah berupaya namun karena keterbatasanya sehingga beberapa faktor yang semestinya terpenuhi menjadi tidak terpenuhi. Maka wajarlah apabila apabila proses dalam mengembangkan self control siswa di SMK PGRI 2 Ponorogo mealaui penanman nilai-nilai agama mengalami berbagai hambatan, berdasarkan adanya faktor – faktor pendukung dan penghambat dalam proses pendidikan. Maka penulis akan mencoba menganalisis faktor pendukug dan penghambat dalam mengembangkan self control siswa di SMK PGRI 2 Ponorogo meliputi: 1. Tujuan •
Faktor pendukung: Tujuan dapat memberikan pengukuran atau ramburambu dalam ketuntasan belajar.
•
Faktor penghambat: Tujuan secara garis besar di SMK yaitu lulusan yang siap kerja, memberikan kesan kepada seluruh siswa bahwa penanaman nilai-nilai Agama tidak terlalu penting.
4. Pendidik •
Fakor pendukung: Kepribadian pendidik yang di tunjukkan dengan katakata dan perilaku yang baik akan dapat membantu anak dalam mencari figur atau contoh dalam pengendali berperilaku siswa ke arah yang lebih baik.
•
Faktor penghambat: kurang dapat memahami perkembangan dan kebutuhan siswa. Dan guru pendidikan Agama yang di rasakan kurang karena harus menangani beribu-ribu siswa.
5. Peserta didik •
Faktor pendukung: Siswa yang memiliki perkembangan moral ataupun perkembangan agama yang lebih matang akan cenderung mampu berperilaku sesuai dengan nilai-nilai agama. Seperti anak yang sudah lancar dalam membaca al-Qur’an dan dapat mengerjakan sholat tanpa bimbingan lebih mudah di arahkan dari pada anak yang belum bisa.
•
Faktor penghambat: Siswa yang memiliki perkembangan moral ataupun perkembangan agama yang kurang matang. Artinya merasa ragu-ragu terhadap Agamanya. Maka siswa tersebut akan sulit menerima Agama
untuk di jadikan kontrol dalam bertingkah laku. Apalagi siswa tidak bisa sama sekali dalam membaca al-Qur’an. 6. Alat Pendidikan •
Faktor pendukung: Adanya masjid dan perpustakaan masjid yang berisi tentang buku-buku agama dan juga adanya kedisiplinan demokratis yang di
terapkan
oleh
pihak
sekolah
akan
membantu
siswa dalam
perkembangan pengendalian diri melalui penanaman nilai-nilai agama. •
Faktor penghambat: Sistem blok yang di terapkan di SMK PGRI 2 Ponorogo, membuat kurangnya alokasi waktu yang di berikan untuk menyampaikan materi pelajaran Agama.
7. Lingkungan •
Faktor pendukung: Lingkungan keluarga dan masyarakat yang positif akan membantu perkembangan siswa ke arah yang lebih baik. Dan kebanyakan mereka yang punya ghiroh Agama itu dari keluarga ataupun lingkungan rumah yang agamis
•
Faktor penghambat: Lingkungan keluarga dan masyarakat yang negatif akan menghambat perkembangan siswa menuju arah yang lebih baik. Dan kebanyakan mereka yang malas terhadap kegiatan-kegiatan keagamaan, ternyata jauh dari pengawasan orang tua, misalnya orang tuanya bekerja jadi TKI.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan. Dari hasil penelitian tentang pengembangan self control siswa di SMK PGRI 2 Ponorogo, dapat disimpulkan, bahwa: 1. Usaha mengembangkan self control siswa yang sudah menginjak usia remaja dilakukan oleh pihak SMK PGRI 2 Ponorogo, melalui kegiatan-kegiatan keagamaan, seperti shalat berjama’ah dan mengaji Al-Qur ’an, yang dilaksanakan secara rutin oleh semua siswa, tenaga pendidik dan kependidikan dan juga terprogram sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan dan diatur oleh organisasi keagaman (rohis) SMK PGRI 2 Ponorogo. 2. Perkembangan self control siswa dimulai dari perkembangan self control kelas satu yang menjalankan kegiatan-kegiatan keagamaan di sekolah karena takut pada hukuman (nilai jelek), kemudian kelas dua yang sudah mulai bertanggung jawab terhadap tugas, peraturan dan disiplin yang diberikan sekolah, dan akhirnya kelas tiga yang sudah menjalankan kegiatan-kegiatan keagamaan, peraturan dan tugas sekolah tanpa ada perintah dari pihak guru atau sekolah. 3. Faktor lingkungan sekolah di SMK PGRI 2 Ponorogo yang selalu menerapkan keteladanan dan kedisiplinan secara demokratis akan menjadi faktor pendukung dalam usaha mengembangkan self control siswa di SMK PGRI 2 Ponorogo, sedangkan faktor lingkungan keluarga khususnya orang tua siswa
yang kurang memberikan contoh yang baik kepada anaknya menjadi faktor penghambat dalam usaha mengembangkan self control siswa di SMK PGRI 2 Ponorogo.
B. Saran Seperti kata pepatah bahwasanya “ Hancurnya Bangsa di Sebabkan Rusaknya Moral Para Pemuda. ” untuk itu sekolah harus dapat menciptakan lingkungan yang sehat baik secara fisik (pendidik dan tenaga kependidikan) maupun non-fisik (suasana pembelajaran di sekolah). Agar dapat memberikan pengaruh yang baik atau contoh yang baik bagi peserta didik. Sehingga peserta didik dapat mencapai tahap perkembangan moral yang lebih matang.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Terjemahanya. Al-Mighwar, Muhammad. Psikologi Remaja; Petunjuk bagi guru dan orang tua. Bandung: Pustaka Setia, 2006. Alwisol. Psikologi Kepribadian. Malang: Universitas Muhammadiyah, 2007. Arifin. Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama di Lingkungan Sekolah dan Keluarga. Jakarta: Bulan Bintang, 1978. Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rinneka Cipta: 1998. Borba, Michele. Membangun Kecerdasan Moral; Tujuh Kebajikan Utama Agar Anak Bermoral Tinggi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008. Bukhori, Sunan Bukhori Juz I . Beirut: Darul Fikr, 1994. Buseri, Kamrani. Nilai-Nilai Ilahiah Remaja/Pelajar. Yogyakarta: UII Pers, 2004. Daradjat, Zakiah. Remaja Harapan Dan Tantangan. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995. ----------, Zakiah. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Bulan Bintang, 1979. ----------, Zakiah. Pendidikan Islam dalam Keluarga & Sekolah. Jakarta: Ruhama, 1995. ----------, Zakiah Pendidikan Agama Dalam Pembinaan Mental. Jakarta: Bulan Bintang, 1975. Depag RI. Al-Qur’an dan Terjemahanya. Semarang: Asy Syifa’, 2000. Depag RI. Kendali Mutu Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2001. Djamarah, Syaiful Bahri dan Zain, Aswan. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rinneka Cipta, 1996.
Fatimah, Enung. Psikologi Perkembangan; Perkembangan Peserta Didik. Bandung: Pustaka Setia, 2006. Ghufron, M. Nur “ Hubungan Kontrol diri, persepsi remaja terhadap penerapan disiplin orang tua dengan prokrastinasi akademik.” Tesis Ilmu Psikologi UGM Yogyakarta,2003. http://www.damandiri.or.id/file/mnurgufronugmbab2.pdf Gunarsa, Singgih D. Bunga rampai Psikologi Perkembangan; Dari anak sampai usia lanjut. Jakarta: Gunung Mulia, 2006. Hasil observasi awal di SMK PGRI 2 PONOROGO. Pada senin, 1-30 November 2007, pukul. 07.30 WIB-12.45 WIB. Hasil wawancara dengan Pak Didik (Salah satu satpam di SMK PGRI 2 Ponorogo) pada Senin , 26 November 2007, pukul. 12.30 WIB-12.45 WIB. Hawwa, Said. Mensucikan Jiwa: Konsep Tazkiyatun Nafs Terpadu. Jakarta: Rabbani Press, 2001. Hurlock. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga, 1980. Ibrahim & Syaodih, Nana. Perencanaan Pengajaran. Jakarta: Rinneka Cipta, 1995. Kartono, Kartini. Dalam Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999. Langgulung, Hasan. Manusia dan Pendidikan Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan. Jakarta: Al-Husna Zikra, 1995. Magnis-Suseno, Franz. Etika Dasar; Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral. Yogyakarta: Kanisius, 1999. Muhaimin. Paradigma Pendidikan Agama Islam; Upaya Mengektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002. Makmun, Abin Syamsuddin. Psikologi Kependidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005.
Moleong, Lexy. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2002. Pusat Pembinaan & Pengembangan Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1989. Rochmah, Elfi Yuliana. Psikologi Perkembangan. Yogyakarta: Teras, 2005. Sugiyono. Metodologi Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R &D. Bandung: Albeta, 2006. Sunarto & Hartono, Agung. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Asdi Mahasatya, 2002. Suryabrata, Sumadi. Metodologi Penelitian. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998. Sarwono, Jonathan. Metode Penelitian Kuantitatif & Kualitatif. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2006. Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan dalam Persepektif Islam. Bandung: Rosda Karya), 1994. Tohirin. Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006. Undang-Undang Republik Indonesia. Tentang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003. Jakarta: Cemerlang, 2003. Uhbityati. Nur Ilmu Pendidikan Islam. Bandung: Pustaka Setia, 1998. Usman, Uzer. Menjadi Guru Proffesional. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995. Zuhairini. Metodik Khusus Pendidikan Agama Islam. Surabaya: Usaha Nasional, 1980. Zulkarnain. digitized by USU digital library 13 b, 2002. http://cc.msnscache.com/cache.aspx?q=72947682205551&mkt=enID&lang=en-ID&w=b55ac2e6&FORM=CVRE5. Karena Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,